Biosensor Antioksidan menggunakan Ekstrak Protein dari Bakteri Deinococcus radiodurans Terimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit

i

BIOSENSOR ANTIOKSIDAN MENGGUNAKAN EKSTRAK
PROTEIN DARI BAKTERI Deinococcus radiodurans
TERIMOBILISASI PADA NANOPARTIKEL ZEOLIT

IMAS EVA WIJAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biosensor Antioksidan

menggunakan Ekstrak Protein dari Bakteri Deinococcus radiodurans
Terimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014

Imas Eva Wijayanti
NIM G451120041

iv

RINGKASAN

IMAS EVA WIJAYANTI. Biosensor Antioksidan menggunakan Ekstrak Protein
dari Bakteri Deinococcus radiodurans Terimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit.
Dibimbing oleh DYAH ISWANTINI, NOVIK NURHIDAYAT, dan DEDEN

SAPRUDIN.

Senyawa antioksidan eksogen dibutuhkan pada berbagai bidang, seperti
kesehatan manusia, industri makanan, dan farmasi. Saat ini, banyak penawaran
yang menyatakan suatu produk mempunyai kandungan antioksidan, sehingga
dibutuhkan metode yang tepat untuk mengukur sifat-sifat antioksidan pada
berbagai jenis produk ini. Metode yang umum digunakan untuk penentuan sifat
antioksidan adalah dengan spektrofotometri. Walaupun metode ini memiliki
keakuratan yang tinggi dan dapat langsung menganalisis kandungan antioksidan,
namun ia memiliki beberapa kelemahan diantaranya biaya yang relatif mahal,
waktu yang lama, kurang sensitif, serta dipengaruhi oleh kekeruhan. Oleh karena
itu, dibutuhkan metode yang lebih mudah, cepat, dan sensitif dalam penentuan
kapasitas antioksidan. Biosensor elektrokimia menjadi salah satu alternatif yang
ditawarkan untuk dapat mengatasi berbagai kelemahan metode spektrofotometri.
Biosensor antioksidan telah dikembangkan secara luas untuk mengukur
kapasitas antioksidan. Namun kinerja biosensor antioksidan harus terus
ditingkatkan untuk menghasilkan biosensor dengan aktivitas dan stabilitas yang
semakin baik. Faktor kunci keberhasilan dalam pengembangan biosensor
antioksidan berbasis enzim adalah ketepatan penggunaan teknik dan matriks
imobilisasi sehingga eksplorasi material yang dapat digunakan sebagai matriks

pengimobilisasi terus dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan
kinerja analitik biosensor dari ekstrak protein Superoksida Dismutase (SOD) dari
bakteri Deinococcus radiodurans (D. radiodurans) yang terimobilisasi pada
nanopartikel zeolit (NPZ) secara elektrokimia. Sebagai pembanding, digunakan
pula enzim murni SOD dari eritrosit sapi. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap
percobaan yaitu: aktivasi dan pembuatan NPZ, penumbuhan dan ekstraksi sel D.
radiodurans, imobilisasi enzim, dan pengukuran elektrokimia untuk penentuan
kinerja analitik. Dipakai empat elektrode sebagai perbandingan yaitu elektrode
ekstrak SOD dari bakteri D. radiodurans yang terimobilisasi pada NPZ, elektrode
enzim murni SOD dari eritrosit sapi yang terimobilisasi pada NPZ, elektrode
enzim murni SOD dari eritrosit sapi tanpa imobilisasi NPZ, dan elektrode ekstrak
SOD dari D. radiodurans tanpa imobilisasi NPZ. Kondisi optimum diperoleh
dengan software Minitab 16 dengan program aplikasi Response Surface Methode
(RSM).

v

Penelitian ini menunjukkan bahwa elektrode ekstrak kasar SOD dari bakteri
D. radiodurans dengan imobilisasi NPZ memiliki kinerja yang lebih tinggi
terhadap radikal bebas superoksida (O2-.) daripada ketiga elektrode lainnya. Hal

ini ditunjukkan dengan stabilitas daya simpan sampai pada jam ke-8 pada
elektrode ekstrak kasar SOD dari bakteri D. radiodurans mencapai 58.93%.
Sedangkan elektrode enzim murni SOD yang terimobilisasi pada NPZ, elektrode
ekstrak kasar SOD dan elektrode enzim murni SOD tanpa imobilisasi berturut-turut
tersisa 50.43%, 36.77%, dan 25.99%. Elektrode ekstrak kasar dan enzim murni
SOD yang terimobilisasi pada NPZ juga menunjukkan akurasi yang baik dengan
nilai standar deviasi (SD) sebesar 0.0492 untuk elektrode ekstrak kasar
terimobilisasi pada NPZ dan 0.0335 untuk elektrode enzim murni terimobilisasi
pada NPZ. Sedangkan elektrode yang tidak diimobilisasi untuk elektrode ekstrak
kasar dan enzim murni memiliki standar deviasi yang lebih besar yaitu 0.0921 dan
0.0593.
Pengukuran limit deteksi menunjukkan nilai yang cukup rendah untuk
masing-masing elektrode. Limit deteksi yang diperoleh untuk elektrode ekstrak
kasar dan enzim murni SOD yang terimobilisasi pada NPZ secara berturut-turut
adalah 0.5 μM dan 1.49 μM. Sedangkan untuk elektrode ekstrak kasar dan enzim
murni SOD tanpa terimobilisasi pada NPZ berturut-turut adalah 1.92 μM dan 1.73
μM. Untuk semua pengukuran ini, digunakan rentang konsentrasi Xantina dari 1-7
μM. Pada rentang ini, nilai regresi (R2) untuk elektrode ekstrak kasar SOD dengan
imobilisasi NPZ adalah sebesar 0.9919. Sedangkan untuk elektrode enzim murni
SOD yang terimobilisasi pada NPZ, ekstrak kasar SOD dan enzim murni SOD

tanpa imobilisasi pada NPZ masing-masing memiliki nilai regresi sebesar 0.982,
0.956, dan 0.9237. Dengan berdasarkan nilai regresi yang tinggi, maka sensitivitas
elektrode terdapat pada rentang konsentrasi 1-7 μM adalah sebesar 0.278 AM-1.
Daerah kerja yang linier, limit deteksi yang rendah, serta stabilitas, sensitivitas, dan
akurasi yang tinggi menunjukkan bahwa elektrode ekstrak kasar SOD yang
terimobilisasi pada NPZ dapat dijadikan alternatif pada aplikasi biosensor di masa
depan yang lebih murah dan akurat.

Kata kunci: biosensor antioksidan, imobilisasi, superoksida dismutase, zeolit

vi

SUMMARY

IMAS EVA WIJAYANTI. Antioxidant Biosensors using Protein Extract of
Immobilized Bacterium Deinococcus radiodurans on Zeolite Nanoparticles.
Supervised by DYAH ISWANTINI, NOVIK NURHIDAYAT, and DEDEN
SAPRUDIN.

Exogenous antioxidant compounds required in various fields, such as human

health, food industry, and pharmaceutical. Nowadays, many states offer a product
that has antioxidants, so it takes the proper method to measure the properties of
antioxidant from various types of products. A common method to determinate the
antioxidant properties is by spectrophotometry methods. Although this method
has high accuracy and can be analyzed the antioxidant content directly, but it has
several drawbacks, there are its relatively high cost, long time of analysis, less of
sensitivity, and could be affected by turbidity. Therefore, it takes an easier method,
more rapid, and more sensitive for the determination of antioxidant capacity.
Electrochemical biosensor is an alternative methods that can be used to overcome
the weaknesses of spectrophotometric methods.
Biosensors antioxidants have been extensively developed widely for
measuring antioxidant capacity. Biosensor antioxidants performance continues to
produce biosensors with improved activity and stability are the better. The key
factor of success in the development of biosensors based antioxidant enzymes is
the use of precision engineering and immobilization matrix so that the exploration
of materials which can be used as an immobilization matrix could be continued.
The purpose of this study is to determine the analytical performance of the
biosensor enzymes superoxide dismutase extract (SOD) from Deinococcus
radiodurans bacterium (D. radiodurans) immobilized on zeolite nanoparticles
(NPZ) electrochemically. As a comparison, pure SOD enzyme from bovine

erythrocytes was used. This study consisted of several steps of experiments, that
is: activation and NPZ manufacture, cultivation and extraction of D. radiodurans
cells, immobilization of enzymes, and electrochemical measurements for the
determination of analytical performance. Four electrodes used for comparison,
there are SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans
which were immobilized on NPZ, pure SOD enzyme electrode of bovine
erythrocyte which were immobilized on NPZ, SOD enzyme electrode from crude
extract of bacterium D. radiodurans without immobilization on NPZ, and pure
SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte without immobilization on NPZ.
The optimum condition was obtained by software Minitab 16 with an application
program of Response Surface Method (RSM) method.

vii

This study shows that SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium
D. radiodurans which were immobilized on NPZ has higher performance against
superoxide free radicals (O2-.) than any other electrodes. It was showed by the
stability of the power - save up to 8 hours on a crude extract SOD which were
immobilized on NPZ electrode remaining, which was 58.93%. While the pure
SOD enzyme which were immobilized on NPZ electrode, SOD enzyme electrode

from crude extract of bacterium D. radiodurans without immobilization NPZ, and
pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte without immobilization NPZ
only remaining 50.43%, 36.77%, and 25.99% respectively. SOD enzyme
electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans and pure SOD enzyme
electrode of bovine erythrocyte which were immobilized on NPZ also showed
good accuracy with standard deviation (SD) of 0.0492 and 0.0335. While SOD
enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans and pure SOD
enzyme electrode of bovine erythrocyte without immobilitation on NPZ are 0.921
and 0.0593.
Measurements showed that each electrode has low enough value of detection
limit. Limit of detection obtained for SOD enzyme electrode from crude extract of
bacterium D. radiodurans and pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte
which were immobilized on the NPZ are 0.5 μM and 1.49 μM. While SOD
enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans and pure SOD
enzyme electrode of bovine erythrocyte without immobilization on NPZ are 1.92
μM and 1.73 μM. For all these measurements, xanthine concentration was in
range of 1-7 μM. In this range, the value of regression (R2) for the SOD enzyme
electrode from crude extract of bacterium D. radioduransis 0.9919. While for
pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte which were immobilized on
NPZ, SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans, and

pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte without immobilized on NPZ
show regression value of 0.982, 0.956, and 0.9237. With a high value based
regression, the sensitivity of electrodes are in the range of 1-7 μM concentration.
Linear working area, low limit of detection, as well as stability, sensitivity, and
high accuracy indicates that the SOD enzyme electrode from crude extract of
bacterium D. radiodurans which were immobilized on the NPZ can be an
alternative to the application of biosensors in the future cheaper and accurate
which were not only more accurate but also unexpensive.

Keywords: antioxidants biosensors, immobilization, superoxide dismutase, zeolite

viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ix

BIOSENSOR ANTIOKSIDAN MENGGUNAKAN EKSTRAK
PROTEIN DARI BAKTERI Deinococcus radiodurans
TERIMOBILISASI PADA NANOPARTIKEL ZEOLIT

IMAS EVA WIJAYANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Akhiruddin Maddu, MSi

xi

Judul Tesis

: Biosensor Antioksidan menggunakan Ekstrak Protein dari Bakteri
Deinococcus radiodurans Terimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit

Nama

: Imas Eva Wijayanti

NIM

: G451120041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Dyah Iswantini Pradono, MScAgr
Ketua

Novik Nurhidayat, PhD
Anggota

Dr Deden Saprudin, MSi
Anggota
Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Kimia

Prof Dr Dyah Iswantini Pradono, MScAgr

Tanggal Ujian: 19 Juni 2014

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

xii

xiii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini ialah
tentang pemanfaatan biodiversitas untuk biosensor, dengan judul Biosensor
Antioksidan menggunakan Ekstrak Protein dari Bakteri Deinococcus radiodurans
Terimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Dyah Iswanti Pradono,
MScAgr, Bapak Novik Nurhidayat PhD, dan Bapak Dr Deden Saprudin, MSi
selaku pembimbing. Juga kepada Bapak Dr Akhiruddin Maddu, MSi dan Ibu Sri
Sugiarti, PhD sebagai penguji yang telah memberi banyak saran. Selain itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Laboratorium Kimia Fisik
IPB (Bapak Ismail dan Ibu Ai Siti Jamilah), Laboratorium Bersama Kimia IPB
(Bapak Wawan dan Mas Eko Firmansyah), Laboratorium Genetika LIPI Cibinong
(Ibu Neri, Teh Ratih, dan Bapak Acun), dan Laboratorium Fisika Puspitek LIPI
Serpong (Bapak Agus Sukarto, PhD) yang telah membantu selama penelitian. Tak
lupa pula, ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada kakak-kakak dan
teman-teman Pascasarjana Kimia (Mbak Dhilah, Kak Titi, Mbak Nurul, Kak
Bekti, Fathur, Mbak Dewi, Dhian, Damay, dan Aji), dan S1 Kimia grup riset
biosensor (Waskito Aji, Fahrul, dan Royhan) atas masukan, saran dan motivasi
yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ayah,
ibu, serta seluruh keluarga tercinta, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

Imas Eva Wijayanti

xiv

xv

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xvi

DAFTAR GAMBAR

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 METODE
Alat
Bahan
Lingkup kerja
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Biosensor Antioksidan
Pengondisian dan Pembuatan Nanopartikel Zeolit
Penumbuhan Sel D. radiodurans dan Ekstraksi SOD
Imobilisasi Ekstrak Protein SOD dalam NPZ
Pengukuran Elektrokimia
Optimasi Nanopartikel Zeolit sebagai Matriks Imobilisasi
Penentuan Stabilitas Elektrode
Penentuan Sensitivitas dan Linieritas Elektrode
Penentuan Limit Deteksi Pengukuran
Penentuan Keterulangan Pengukuran
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUTAKA

1
1
3
3
3
3
3
4
7
7
8
12
13
15
17
21
22
23
23
24
24
24
25

LAMPIRAN

29

RIWAYAT HIDUP

39

xvi

DAFTAR TABEL
1 Estimasi pengaruh variabel bebas terhadap respon pada
elektrode ekstrak protein SOD dari D. radiodurans
2 Estimasi pengaruh variabel bebas terhadap respon pada
elektrode enzim SOD dari eritrosit sapi
3 Kondisi optimum untuk ekstrak kasar dan enzim murni SOD
4 Keterulangan pengukuran dari berbagai elektrode

18
19
20
24

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13

Cara kerja nanobiosensor
Struktur zeolit
Sebaran diameter partikel nanozeolit
Hasil pemindaian SEM nanopartikel zeolit
Situs aktif pada Enzim Superoksida Dismutase (SOD)
Interaksi enzim SOD dengan radikal superoksida (O2-.)
Proses transfer dari reaksi enzimatis SOD terimobilisasi
dalam NPZ ke permukaan elektrode pasta karbon yang
dimediasi oleh ferosen
Voltammogram siklik enzim murni dan ekstrak kasar SOD
yang terimobilisasi dan yang tidak terimobilisasi pada NPZ
Kontur konsentrasi NPZ versus konsentrasi ekstrak kasar
SOD
Kontur konsentrasi NPZ versus konsentrasi enzim murni SOD
Struktur enzim SOD yang diekstrak dari bakteri D.
radiodurans dan enzim SOD dari eritrosit sapi
Diagram aktivitas relatif versus waktu elektrode biosensor
antioksidan
Grafik linieritas elektrode ekstrak kasar protein SOD dan
enzim murni SOD yang terimobilisasi dan yang tanpa
terimobilisasi pada NPZ

8
9
10
11
12
14

15
17
18
19
20
21

22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Bagan alir penelitian secara umum
Optimasi variabel bebas pada elektrode enzim murni SOD dari
eritrosit sapi yang terimobilisasi pada NPZ
Optimasi variabel bebas pada elektrode ekstrak kasar protein
SOD dari D. radiodurans yang terimobilisasi pada NPZ
Stabilitas daya simpan biosensor antioksidan
Sensitivitas elektrode biosensor antioksidan
Limit deteksi elektrode biosensor antioksidan
Keterulangan elektrode biosensor antioksidan

29
31
32
33
34
35
37

1

1

PENDAHULUAN

Adanya fenomena gaya hidup, stres, dan radikal bebas akan mengakibatkan
berbagai penyakit degeneratif. Spesi oksigen reaktif (ROS), termasuk radikal
bebas akan memicu kerusakan pada tingkat organ yang akan menyebabkan
penyakit jantung, kanker, stroke, diabetes, dan gejala penuaan dini jika radikal
bebas pada oksigen berpasangan dengan elektron dari sel manusia yang sehat
(Devasagayam et al. 2004). Antioksidan diperlukan tubuh untuk melawan radikal
bebas. Tubuh manusia memiliki antioksidan endogen yaitu enzim katalase,
peroksidase, Superoksida Dismutase (SOD), dan glutationa S-transferase. Namun
antioksidan endogen ini perlu juga dibantu dari luar (eksogen). Senyawa
antioksidan eksogen dibutuhkan pada berbagai bidang, seperti kesehatan manusia,
industri makanan, dan farmasi (Lindley 1998). Saat ini begitu banyak penawaran
yang menyatakan suatu produk mempunyai kandungan antioksidan, sehingga
dibutuhkan metode yang tepat untuk mengukur sifat-sifat antioksidan pada
berbagai jenis produk ini.
Kapasitas antioksidan adalah kemampuan suatu komponen atau bahan dalam
mengukur sifat-sifat senyawa penangkal reaksi oksidasi. Metode yang umum
digunakan untuk penentuan kapasitas antioksidan adalah dengan spektrofotometri
(Khalaf et al. 2008). Meskipun metode ini akurat, namun ia memiliki beberapa
kelemahan diantaranya biaya yang relatif mahal karena menggunakan bahan
kimia yang bermacam-macam dalam jumlah banyak, waktu yang lama karena
membutuhkan preparasi sampel, kurang sensitif terutama dalam menguji sampel
berwarna, serta dipengaruhi oleh kekeruhan. Pengukuran antioksidan
menggunakan metode spektrofotometeri juga seringkali terkendala terhadap
preparasi sampel, contohnya preparasi ABTS dan FRAP yang sangat sensitif
terhadap cahaya. Selain itu, pembentukan ABTS.- memerlukan waktu inkubasi
selama 12-16 jam dalam kondisi gelap (Tawaha et al. 2007).
Selain terkendala masalah preparasi sampel, pengukuran kapasitas
antioksidan yang umum dilakukan juga memerlukan peralatan yang mahal,
misalnya metode ORAC-FL (Thaipong et al. 2006). Kromatografi juga telah
digunakan untuk menentukan kapasitas antioksidan golongan polifenol dari
ekstrak teh hijau. Kapasitas antioksidan dari jeruk Irlandia dan sayuran sisa olahan
produk telah ditentukan oleh Wijngaard et al. (2009) dengan menggunakan
HPLC-DAAD, namun penggunaan HPLC dalam mengukur kapasitas antioksidan
memerlukan preparasi sampel dan waktu pendeteksian yang lama. Oleh karena
itu, dibutuhkan metode yang lebih mudah, akurat, cepat, dan sensitif dalam
penentuan kapasitas antioksidan.
Salah satu kinerja biosensor adalah dengan menggunakan transduser dan
komponen pengenal hayati. Campanella et al. (2004) melaporkan bahwa
biosensor elektrokimia dapat mengatasi kelemahan metode spektrofotometri.
Metode ini sangat menjanjikan karena waktu analisis yang relatif cepat, tidak
membutuhkan instrumen yang mahal, protokol operasi yang sederhana, dan
akurat. Pengukuran kapasitas antioksidan pada sampel yang kompleks
menggunakan biosensor juga tidak memerlukan pemisahan komponen terlebih

2

dahulu (Mello & Kubota 2007). Perkembangan biosensor elektrokimia saat ini
menjadi semakin pesat karena dapat menganalisis pada tingkat renik dan selektif,
sehingga telah banyak diterapkan dalam bidang elektroanalisis, bidang kesehatan,
makanan, obat-obatan, dan lingkungan.
Mello dan Kubota (2007) telah melakukan penelitian untuk mendapatkan
biosensor antioksidan berbasis enzim lakase, peroksidase, dan tirosinase.
Biosensor berbasis enzim SOD telah terbukti dapat mengukur kapasitas
antioksidan pada minyak zaitun (Coban 2008). Namun, salah satu kelemahan
biosensor berbasis enzim adalah penggunaan enzim sebagai pengenal hayati yang
memiliki harga mahal, sehingga salah satu solusi yang ditempuh adalah
penggunaan mikroba yang dapat menghasilkan enzim. Prieto-Simon et al. (2008)
telah mengembangkan biosensor berbasis enzim Superoksida Dismutase (SOD)
yang menunjukkan performa lebih menjanjikan daripada sitokrom c. Iswantini et
al. (2011) telah mengembangkan biosensor glukosa menggunakan bakteri asal
Indonesia sebagai pengganti enzim murni. Biosensor berbasis bakteri E. coli yang
diimobilisasi di atas permukaan elektrode pasta karbon ini dapat mendeteksi
konsentrasi glukosa sampai 20 mM. Yuan et al. (2007) menyatakan bahwa bakteri
Deinococcus radiodurans adalah salah satu bakteri yang dapat menghasilkan
enzim SOD. Bakteri ini memiliki sistem antioksidan yang tinggi, sehingga
berpotensi sebagai pengenal hayati pada biosensor antioksidan (Trivadilla 2011).
Biosensor antioksidan berbasis SOD dari ekstrak protein Deinococcus
radiodurans ternyata menghasilkan afinitas enzim substrat yang tinggi daripada
SOD murni (Iswantini et al. 2013).
Enzim SOD memiliki stabilitas yang rendah sehingga perlu diimobilisasi
pada suatu matriks agar stabilitasnya meningkat. Berberich et al. (2005)
menyatakan bahwa enzim yang diimobilisasi pada polimer memiliki stabilitas
yang signifikan hingga lebih dari 30 hari pada suhu 37 oC. Goriushkina et al.
(2010) juga menyatakan bahwa biosensor berbasis enzim glukosa oksidase (GOD)
yang diimobilisasi dengan zeolit lebih selektif. Penelitian mengenai biosensor
yang pengembangannya dilakukan ke arah nanomaterial diduga dapat
menghasilkan sensitivitas yang tinggi, stabilitas, dan efektivitas secara jangka
panjang (Di et al. 2007). Dalam penelitiannya, Mateo et al. (2007) menyatakan
bahwa metode yang dapat digunakan untuk menjaga stabilitas enzim adalah
dengan melakukan imobilisasi pada nanomaterial. Tujuan material matriks dibuat
dalam ukuran nanometer adalah karena jika semakin kecil ukuran partikel maka
interaksi antara pengisi dan matriks semakin tinggi (Kohls & Beaucage 2010).
Weniarti (2011) telah melakukan penelitian mengenai pembuatan biosensor
berbasis ekstrak SOD dari Deinococcus radiodurans yang diimobilisasi pada
nanokomposit zeolit. Pada penelitian ini, Km enzim SOD lebih kecil daripada nilai
Km ekstrak kasar SOD, hal ini menunjukkan afinitas ekstrak kasar enzim SOD
lebih rendah dibandingkan dengan enzim SOD. Nilai Km merupakan ukuran kuat
dan rendahnya enzim mengikat substrat. Jika Km kecil, enzim mengikat substrat
dengan kuat sehingga dengan substrat yang rendah cukup untuk menjenuhkan
enzim. Sebaliknya, jika Km besar maka enzim tidak mengikat dengan kuat substrat
sehingga substrat yang dibutuhkan untuk menjenuhkan enzim lebih banyak.

3

Keberadaan nanokomposit zeolit dapat berpotensi sebagai material pendukung
untuk biosensor antioksidan berbasis SOD.
Penelitian ini merupakan lanjutan dari Weniarti (2011) yang menggunakan
matriks dalam ukuran nanometer, namun dalam bentuk komposit yaitu matriks
yang tersusun dari kombinasi dua atau lebih material yang berbeda. Berdasarkan
pada penelitian Zhou et al. (2007), nanopartikel zeolit sebagai matriks imobilisasi
pada enzim tirosinase, ternyata biosensor memiliki stabilitas yang tinggi.
Nanopartikel zeolit juga telah berhasil digunakan sebagai matriks imobilisasi
enzim GDH dalam meningkatkan aktivitas enzim GDH yang ditunjukkan dengan
puncak arus oksidasi yang tinggi (Fadhillah 2013).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan kinerja analitik biosensor
antioksidan, seperti stabilitas, sensitivitas, linieritas, limit deteksi, dan
keterulangan pengukuran dengan menggunakan zeolit dalam bentuk ukuran
nanopartikel sebagai matriks imobilisasi. Dari berbagai parameter ini, diharapkan
diperoleh prototype suatu model biosensor antioksidan dengan imobilisasi pada
material nano dari zeolit.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini secara khusus akan menggunakan zeolit dalam bentuk
ukuran nanometer sebagai matriks imobilisasi yang diharapkan dapat
meningkatkan kinerja analitiknya. Selain itu, pada penelitian ini juga
memperhitungkan kinerja analitik seperti limit deteksi, sensitivitas, linieritas,
stabilitas, dan keterulangan pengukuran yang dibutuhkan untuk dapat membuat
prototype dari suatu model alat biosensor. Dari berbagai parameter ini, diharapkan
penentuan kapasitas antioksidan menggunakan nanobiosensor berbasis ekstrak
SOD dari bakteri D. radiodurans ini dapat diawali dan terus dikembangkan.

2 METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah eDAQ Potensiostat–
Galvanostat yang dilengkapi perangkat lunak Echem v2.1.0 dengan sistem 3
elektrode (elektrode Ag/AgCl sebagai electrode pembanding, elektrode pasta
karbon sebagai elektrode kerja, dan elektrode platina sebagai elektrode bantu),
Scanning Electron Microscope (SEM), Particle Size Analyzer (PSA), Planetary
Ball Milling (PBM), vakum, laminar air flow, inkubator, High Speed Refrigated

4

Centrifuge KUBOTA 6500, autoklaf, Ultrasonic Homogenizer UH-150,
Spektroscopy UV-Pharmaspec 1700, pipet mikro, batang gelas, sel elektrokimia
serta alat-alat gelas lainnya. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah enzim murni SOD dari eritrosit sapi (Sigma Chemical Co), sel bakteri
Deinococcus radiodurans, zeolit alam dari Bayah, media untuk pertumbuhan
bakteri Deinococcus radiodurans, grafit, ferosen, parafin cair, dimetil sulfoksida
(DMSO), bufer fosfat, membran dialisis, xantina oksidase, xantina, dan
amonium serium sulfat.
Lingkup Kerja
Penelitian terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah peningkatan kualitas
biosensor yang telah diperoleh sebelumnya menggunakan matriks imobilisasi
nanopartikel zeolit sehingga dapat ditingkatkan aktivitasnya. Tahap kedua adalah
penentuan aktivitas ekstrak protein SOD dari bakteri Deinococcus radiodurans
yang terimobilisasi pada nanopartikel zeolit untuk menentukan mekanisme kerja
biosensor berdasarkan pada kinerja analitiknya yaitu stabilitas dan sensitivitas
elektrode, serta linieritas, keterulangan, dan limit deteksi pengukuran.
Pembuatan Elektrode Pasta Karbon (Mirel et al. 1998)
Elektrode pasta karbon dibuat dari campuran grafit dan parafin cair 2:1.
Grafit dicampur dengan parafin cair hingga membentuk pasta. Kemudian pasta
karbon dimasukkan ke dalam badan elektrode hingga memadat sampai ke
permukaan kaca. Permukaan kaca elektrode dihaluskan dan dibersihkan dengan
ampelas dan kertas minyak.
Pembuatan Nanopartikel Zeolit (Wahyudi et al. 2010)
Sebanyak 50 gram zeolit Bayah diaktivasi dengan menambahkan 250
mL HCl 3 M ke dalam gelas piala dan diaduk selama 1 jam. Zeolit yang
telah diaktivasi disaring, kemudian dicuci dengan akuades sampai pH netral.
Larutan hasil saringan diuji kandungan klorin dengan AgNO 3 dan dicuci
kembali dengan akuades sampai tidak mengandung klorin. Setelah pH netral
dan bebas klorin, zeolit dikeringkan pada suhu 300 oC selama 3 jam. Zeolit
yang telah dikondisikan kemudian digerus dengan alat planetary ball milling
(PBM) secara basah (wet milling) menggunakan metanol dan amonium serium
sulfat 5% selama 10 jam. Hasil yang diperoleh kemudian diultrasonikasi selama
30 menit pada amplitudo 40%, ditentukan kapasitas tukar kation (KTK), dan
diukur ukuran partikelnya dengan Particle Size Analyzer (PSA). Untuk melihat
morfologi struktur zeolit yang sudah dibuat nanopartikel, maka dilakukan
Scanning Electron Microscope (SEM).
Penumbuhan Sel dan Ekstraksi SOD dari D. radiodurans (Chou& Tan 1991)
D. radiodurans dari kultur murni ditumbuhkan pada media yang
mengandung tripton 1%, yeast extract 0.5%, dan NaCl 0.5%. Selanjutnya bakteri

5

diinkubasi pada 30 oC dan panjang gelombang 600 nm. Sebelum sel dipanen,
diukur terlebih dahulu pada fase logaritmik awal untuk memudahkan ekstraksi
pada nilai OD (Optical Density) 0.5-0.6. Selanjutnya sel dipanen dengan
sentrifugasi 7000 x G, 4 oC selama 10 menit untuk memisahkan sel mikrob
dengan media. Selanjutnya sel (pelet) dicuci sebanyak 3 kali ulangan dengan
menggunakan bufer fosfat pH 9.0 dan disuspensikan kembali dalam larutan bufer
fosfat pH 9.0. Suspensi sel disonikasi 75 – W untuk melisis sel mikrob selama 6
menit, yaitu 3 x 2 menit dan diantara sonikasi ini didiamkan terlebih dahulu
selama 1 menit. Selama sonikasi suspensi sel didinginkan dalam penangas es. Sel
disentrifugasi 10.000 x G, 4 oC selama 30 menit untuk memisahkan supernatan
dengan pellet. Ekstrak kasar (crude extract) protein berada di supernatan. Ekstrak
sitoplasma hasil dialisis selanjutnya diukur nilai serapannya pada panjang
gelombang 260 dan 280 nm untuk mengetahui konsentrasi ekstrak protein SOD.
Imobilisasi Ekstrak Protein SOD dalam NPZ (Ikeda et al. 1998)
Matriks nanopartikel zeolit yang digunakan dibuat bervariasi 225 mg, 185
mg, 125 mg, 65 mg, dan 25 mg dicampurkan dengan 10 mL akuades sehingga
membentuk suspensi. Sebanyak 20 μL ekstrak kasar SOD dalam bufer fosfat pH
9 dicampur dengan 10 μL suspensi zeolit, didiamkan 10 menit, kemudian
diteteskan sebanyak 10 µL pada permukaan elektrode, didiamkan hingga
pelarutnya menguap. Selanjutnya permukaan elektrode dilapisi dengan membran
dialisis, ditutup dengan jaring nilon, dan diikat dengan parafilm. Elektrode
dapat langsung digunakan untuk pengukuran aktivitas antioksidan ekstrak
SOD dengan metode voltammetri siklik. Elektrode direndam dalam bufer fosfat
pH 9 pada suhu 4 ºC ketika tidak digunakan untuk memberikan keadaan yang
sama dengan lingkungan sebenarnya. Imobilisasi ini juga dilakukan terhadap
enzim SOD murni.
Pengukuran Elektrokimia
Pengukuran elektrokimia dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat
potensiostat/galvanostat eDAQ dan komputer beserta perangkat lunak pengolah
data Echem v2.1.0. Elektrode yang digunakan yaitu elektroda Ag/AgCl, platina
dan elektrode pasta karbon berturut-turut sebagai elektroda rujukan, pembantu dan
kerja. Parameter pengukuran diatur sebagai berikut:
Mode
: Cyclic
Initial E
: -400 mV
Final E
: -400 mV
Rate
: 250 mV/s
Step W
: 20 ms
Upper E
: 1000 mV
Lower E
: -400 mV
Sebanyak 1.9 mL larutan bufer fosfat 0.05 M pH 9 ditambahkan ke dalam
sel elektrokimia dan puncak arus anode yang terbentuk diamati sebagai blanko.
Selanjutnya ditambahkan 100 μL ferosen, 100 μL larutan xantin oksidase 0.1

6

U/mL dan 1 mL xantina 2.1 mM ke dalam sel elektrokimia. Setiap penambahan
satu larutan ke dalam sel elektrokimia, perubahan arus yang terjadi diamati hingga
mencapai arus keadaan tunak secara runut.
Optimasi Nanopartikel Zeolit sebagai Matriks Imobilisasi
Optimasi yang dilakukan adalah dengan kombinasi pada variabel pH (7-11),
konsentrasi ekstrak SOD (1250-2000 μg/mL), enzim SOD (1-5 U/mL), dan
konsentrasi nanopartikel zeolit (25-225 mg/10 mL). Metode yang digunakan
untuk pengoptimuman aktivitas SOD adalah Response Surface Method. Setelah
dilakukan optimasi, kemudian dilakukan pengukuran parameter analitiknya.
Penentuan Sensitivitas Elektrode (Harvey 2000)
Sensitivitas adalah ukuran seberapa baik elektrode mengukur ion utama
dalam bentuk sekelumit. Digunakan konsentrasi xantina diperoleh persamaan
sehingga menyatakan konsentrasi xantina terendah yang masih dapat terukur oleh
elektrode. Rentang konsentrasi Xantina yang dipakai adalah dari 1-7 μM.
Penentuan Stabilitas Elektrode (Harvey 2000)
Stabilitas elektrode ditentukan dari pengukuran aktivitas enzim SOD setelah
didapatkan kondisi optimum. Nilai aktivitas yang diperoleh pada pengukuran awal
dianggap 100%. Aktivitas diukur ulang pada setiap waktu tertentu dan aktivitas
yang tersisa.
I saat jam ke - ( A)
x 100%
Aktivitas antioksidan relatif (%) =
I saat awal ( A)
Penentuan Linieritas Pengukuran (Harvey 2000)
Penentuan konsentrasi linier ditetapkan melalui pengukuran enzim SOD
pada kondisi optimum elektrode dan parameter instrumen pada berbagai rentang
konsentrasi. Linieritas dan daerah kerja diperoleh dari interpretasi kurva kalibrasi.
Konsentrasi yang memberikan hubungan linier adalah rentang konsentrasi kerja
elektrode. Hubungan yang linier dinyatakan dengan koefisien korelasi (r) yang
mengikuti persamaan:

Dengan xi adalah konsentrasi enzim SOD ke-i,x̄adalah konsentrasi rata-rata
enzim SOD, yi adalah arus puncak yang terukur pada konsentrasi enzim SOD ke-i
dan ȳ adalah arus puncak rata-rata.

7

Penentuan Limit Deteksi Pengukuran (Harvey 2000)
Limit deteksi ditentukan dengan melakukan pengukuran terhadap enzim
SOD dalam larutan elektrolit pendukung dengan rentang konsentrasi terkecil.
Limit deteksi (LD) dihitung dengan persamaan:
3 x a
LD=
b
Dengan δa adalah simpangan baku dari intersep dan b adalah kemiringan
persamaan regresi.

Penentuan Keterulangan Pengukuran (AOAC 2002)
Keterulangan pengukuran ditentukan dengan melakukan pengukuran pada
enzim SOD pada konsentrasi optimum selama 10 kali, kemudian dihitung
simpangan baku (SB) menggunakan persamaan berikut:

Persen koefisien variasi (% KV) yang menunjukkan kesalahan pengukuran arus
dihitung dengan persamaan berikut:

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Biosensor Antioksidan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kinerja analitik dari sebuah
prototype biosensor antioksidan. Adapun definisi antioksidan dapat diartikan
sebagai zat yang dengan konsentrasi rendah dapat menghambat oksidasi
(Antolovich, et al. 2002). Pada semua organisme, terdapat serangkaian sistem
mekanisme pertahanan dari paparan radikal bebas berbagai sumber. Mekanisme
pertahanan terhadap radikal bebas meliput: ii) mekanisme pencegahan, (ii)
mekanisme perbaikan, (iii) pertahanan fisik, dan (iv) pertahanan antioksidan
(Valko, et al. 2007). Enzim antioksidan di dalam sel merupakan pertahanan yang
penting untuk melawan radikal bebas. Pertahanan antioksidan enzimatik meliputi
superoksida dismutase, glutation peroksidase, dan katalase. Aktivitas katalitik
enzim ini memungkinkan transformasi anion superoksida menjadi hidrogen
peroksida dan air, sehingga menonaktifkan sejumlah penting oksidan. Unsur
enzimatis seperti selenium, seng, tembaga, dan mangan memainkan peran
katalisator penting untuk aktivitas enzimatik. Antioksidan non-enzimatik diwakili
oleh asam askorbat (vitamin C), α-tokoferol (vitamin E), glutation (GSH),
karotenoid, flavonoid, dan antioksidan lainnya (Valko, et al. 2007).

8

Biosensor terdiri dari dua bagian utama, yaitu komponen pengenal hayati
dan transduser. Komponen pengenal hayati biosensor berinteraksi secara interaktif
terhadap analat target untuk memastikan selektivitas dari sensor. Sedangkan
transduser mengubah respon hayati yang dihasilkan dari interaksi dengan analat
target menjadi sinyal yang dapat diukur, tranduser menentukan kepekaan
biosensor (Castillo et al. 2004). Perkembangan biosensor dibagi menjadi tiga
generasi, yaitu generasi pertama, generasi kedua, dan generasi ketiga. Biosensor
generasi pertama melibatkan oksigen dalam pengukuran. Reaksi redoks yang
terjadi melibatkan oksigen dan enzim-enzim yang terlibat diantaranya adalah
oksigenase dan oksidase. Kelemahan dari biosensor generasi pertama adalah data
yang dihasilkan tidak akurat karena pengaruh oksigen bebas dari lingkungan.
Biosensor generasi kedua merupakan generasi biosensor yang menggunakan
mediator untuk menghubungkan reaksi oksidasi substrat dengan elektrode.
Sedangkan biosensor generasi ketiga mulai meningkatkan integrasi mediator
dengan elektroda (Liu & Wang 2000). Cara kerja biosensor diperlihatkan pada
Gambar 1.

Gambar 1 Cara kerja biosensor
Perancangan biosensor yang lebih inovatif terus dilakukan karena
memiliki kelemahan, yaitu tidak dapat digunakan secara berulang, daya variasi
kurang tinggi, waktu respon yang relatif rendah, rentang linier sempit, sensitivitas
rendah, kurang stabil, serta presisi dan deteksi yang masih rendah (Wang et al.
2008). Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, saat ini sedang dikembangkan
biosensor menggunakan matriks, dalam hal ini matriks yang banyak digunakan
adalah berbasis zeolit berukuran nanometer sehingga diperoleh nanobiosensor.
Nanobiosensor adalah biosensor yang menggabungkan komponen biologis dan
detektor fisikokimia dengan matriks pengimobilisasi pada skala nanometer.
Pengondisian dan Pembuatan Nanopartikel Zeolit
Zeolit adalah mineral yang terdiri atas kristal alumino silikat terhidrasi yang
mengandung kation alkali atau alkali tanah dalam kerangka tiga dimensi. Zeolit
biasanya ditulis dengan rumus kimia Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y.zH2O], dengan x dan y

9

adalah bilangan bulat, y/x sebanding atau lebih besar dari 1, n adalah valensi
logam M, z adalah jumlah molekul air dalam masing-masing unit, x dan y adalah
masing-masing jumlah alumina dan silika (Tang 2003). Zeolit yang digunakan
pada penelitian ini berasal dari Bayah dan termasuk ke dalam jenis klinoptilolit.
Penggunaan zeolit untuk modifikasi elektrode pasta karbon telah dilakukan
Goriushkina et al. (2010) menggunakan zeolit untuk imobilisasi glukosa oksidase,
dan Balal et al. (2009) menggunakan zeolit untuk modifikasi elektrode
pasta karbon yang digunakan untuk mengukur kadar dopamin dan triptofan.
Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa elektrode pasta karbon termodifikasi
zeolit, akan menghasilkan arus yang lebih tinggi dan memiliki stabilitas yang baik
dalam percobaan berulang-ulang dan membuat pengukuran menjadi lebih
sensitif dan selektif. Contoh struktur zeolit disajikan pada Gambar 3 berikut:

Gambar 2 Struktur zeolit
Enzim SOD memiliki stabilitas yang rendah sehingga perlu diimobilisasi
pada suatu matriks agar stabilitasnya meningkat. Salah satu metode yang dapat
digunakan untuk menjaga kestabilan enzim adalah dengan melakukan imobilisasi
pada material yang memiliki pori dan untuk meningkatkan selektivitas dapat
digunakan nanomaterial (Mateo et al. 2007).
Penelitian yang telah dilakukan Weniarti (2011) digunakan matriks
pengimobilisasi berupa material komposit, yaitu matriks yang tersusun dari
kombinasi dua atau lebih material yang berbeda, dalam ukuran nanometer. Juga
pada penelitian Zhou et al. (2007), yang menggunakan nanopartikel zeolit sebagai
matriks imobilisasi pada enzim tirosinase, ternyata biosensor memiliki stabilitas
yang tinggi. Nanopartikel zeolit juga telah berhasil digunakan sebagai matriks
imobilisasi enzim GDH dalam meningkatkan aktivitas enzim GDH yang
ditunjukkan dengan puncak arus oksidasi yang tinggi (Fadhillah 2013).
Pada penelitian ini, digunakan zeolit alam dari Bayah yang berupa tipe
zeolit klinoptilolit dengan rasio Si:Al 5:1. Zeolit alam dari Bayah ini diduga masih
memiliki pengotor, sehingga dilakukan pengondisian sebagai upaya untuk
membersihkan pengotor yang terikat pada zeolit. Zeolit dikondisikan secara asam
dengan penambahan HCl dengan tujuan untuk membersihkan permukaan pori dan
menata kembali atom yang ditukarkan seperti Fe, Mg, dan logam-logam lain di
sekitar kristal. Aktivasi secara asam ini menyebabkan terjadinya dekationisasi
yang menyebabkan bertambah luasnya permukaan zeolit karena berkurangnya
pengotor yang menutupi pori-pori. Adanya luas permukaan yang bertambah ini,
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan zeolit dalam proses penjerapan
enzim.

10

Zeolit yang sudah dikondisikan secara asam ini kemudian ditentukan nilai
KTKnya. Setelah dikondisikan secara asam, terjadi peningkatan nilai KTK zeolit,
yaitu dari 60.89 mek/100g menjadi 94.6 mek/100g. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Al Jabri (2008) yang mengondisikan zeolit secara asam.
Nilai KTK yang semakin tinggi mengindikasikan zeolit semakin bersifat
hidrofilik sehingga baik digunakan sebagai matriks pengimobilisasi enzim.
Setelah zeolit dikondisikan, zeolit dibuat ukuran nanopartikel.

Gambar 3 Sebaran diameter partikel nanozeolit
Nanopartikel zeolit (NPZ) dibuat dengan metode top down (memperkecil
material yang besar secara langsung) dengan cara penggilingan menggunakan
alat Planetary Ball Milling (PBM) secara basah (wet milling) menggunakan
metanol dan ammonium serium sulfat 5% sebagai grinding agent. Partikel yang
dihasilkan dari proses penggilingan ini terlihat lebih halus karena pada proses
penggilingan dengan alat PBM, sampel ditumbukkan dengan bola penggiling
dalam botol penggiling yang diletakkan di atas pergerakan rotasi yang disebut
dengan gaya Corioli. Perbedaan kecepatan antara bola dan botol penggiling
menghasilkan interaksi antara gaya gesek dan tekan yang melepaskan energi
dinamik yang tinggi. Perbedaan gaya inilah yang menghasilkan tingkat pengecilan
ukuran yang efektif. Namun, partikel yang dihasilkan dari proses penggilingan ini
masih teraglomerasi sehingga perlu diultrasonikasi agar dalam penentuan ukuran
partikel diperoleh nilai yang sesungguhnya. Ultrasonikasi menghasilkan
gelombang tekanan rendah dan tekanan tinggi yang saling bertukar dalam cairan,
sehingga dapat memecah gumpalan dari ukuran bahan mikro dan nano (Wahyudi
et al. 2010). Setelah diultrasonikasi, partikel diukur menggunakan alat Particle
Size Analyzer (PSA).
Gambar 3 memperlihatkan terbentuk 4 puncak dengan ukuran diameter
partikel yang berbeda-beda. Frekuensi tertinggi adalah partikel yang berdiameter
pada range 90.7-97.5 nm dengan rata-rata diameter partikel 97.5 nm sebesar 90%,
sementara frekuensi terendah yaitu 2% adalah partikel yang memiliki diameter
pada range 73.5-78.6 nm. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran nano partikel yang
terbentuk tidak seragam. Artinya, pada proses ultrasonikasi, penguraian partikel-

11

partikel zeolit yang teraglomerasi tidak terjadi secara merata. Selain itu,
disebabkan oleh keterbatasan alat PSA yang digunakan. PSA yang digunakan
tidak bisa mengukur sampel berbentuk padatan, sehingga zeolit dilarutkan terlebih
dahulu dalam etanol sebelum diukur, sementara zeolit merupakan padatan yang
sulit terdispersi dalam pelarut sehingga hasil PSA memperlihatkan distribusi yang
tidak seragam. Ukuran nanopartikel zeolit pada penelitian ini masih lebih besar
jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang diperoleh Wahyudi et al. (2010)
yang berhasil mensintesis nanopartikel zeolit berdiameter sebesar 42.1 nm dan
Sulistiyono (2012) yang berhasil mensintesis nanopartikel zeolit berdiameter
sebesar 23 nm dengan menggunakan metode yang sama. Perbedaan hasil ini
disebabkan oleh penggunaan grinding agent yang berbeda. Grinding agent
merupakan material yang memiliki sifat keras dan abrasif sehingga membantu
proses penggilingan menjadi lebih efektif. Grinding agent yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ammonium serium sulfat, sedangkan Wahyudi et al. (2010)
menggunakan ammonium serium nitrat. Ammonium serium nitrat bersifat lebih
keras dan abrasif daripada ammonium serium sulfat sehingga proses penggilingan
menghasilkan partikel yang lebih kecil.
Salah satu kelemahan perlakuan ultrasonikasi karena adanya gelombang
tekanan rendah dan tekanan tinggi yang saling bertukar dalam cairan, sehingga
dapat memecah gumpalan dari ukuran bahan mikro dan nano. Namun hal ini
dapat menyebabkan struktur partikel menjadi rusak. Oleh karenanya, dilakukan
Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengetahui bahwa struktur tidak
rusak. Gambar hasil pemindaian SEM ditampilkan pada Gambar 4 berikut
menunjukkan pada NPZ terjadi penggumpalan, ada rongga untuk penjebak enzim,
serta saling bertumpuk membentuk agregat. Karakter ini menunjukkan bahwa
NPZ tidak mengalami kerusakan setelah diultrasonikasi.

12.6 μm

SEM Tipe JSM-5000; MAG X7.500; ACC 20kV

Gambar 4 Hasil pemindaian SEM nanopartikel zeolit
Menurut Kang et al. (2006), parameter bahwa sebuah NPZ tidak
mengalami kerusakan adalah dengan melihat morfologi NPZ secara keseluruhan.
Ciri-ciri yang mudah dilihat adalah dengan adanya penggumpalan yang

12

menunjukkan bahwa sebagian NPZ masih ada yang teraglomerasi sebagai akibat
tidak meratanya proses ultrasonikasi, adanya rongga pada NPZ menunjukkan
bahwa NPZ dapat menjebak enzim sehingga kestabilan enzim dapat meningkat,
molekul yang saling bertumpuk serta membentuk agregat. Adapun PSA dan SEM
adalah instrumen yang digunakan untuk membuktikan bahwa zeolit telah
berukuran nanometer. PSA untuk pengujian secara kuantitatif yang diperlihatkan
dengan hasil distribusi 90% dengan diameter rata-rata sebesar 97.5 nm, sedangkan
SEM untuk pengujian secara kualitatif, melihat morfologi (bentuk) kristal pada
zeolit yang telah dibuat ukuran nanometer secara milling dan ultrasonik. Selain
melihat morfologi kristal zeolit dengan SEM, dapat juga dilakukan analisis X-Ray
Diffraction (XRD) untuk meyakinkan bahwa zeolit tidak mengalami kerusakan
pada saat penggerusan di dalam PBM dan ultrasonikasi yang menggunakan suhu
dan tekanan tinggi. Dengan analisis XRD, Sulistiyono (2012) pada penelitiannya
membuktikan bahwa dengan perlakukan penggerusan pada PBM dan ultrasonikasi,
morfologi kristal tidak mengalami kerusakan. Berdasarkan hasil perhitungan
XRD terlihat bahwa proses ultrasonik menghasilkan perubahan ukuran kristal.
Sebelum proses ultrasonik ukuran kristal 38 nm kemudian menjadi 17 nm
untuk media aquabides, 28 nm untuk media etanol absolut dan 11 nm untuk
etilen glikol. Hal ini mununjukkan pecahnya butiran akibat gelombang ultrasonik
berakibat pada pecahnya kristal juga.
Penumbuhan Sel D. radiodurans dan Ekstraksi SOD
Pada berbagai penelitian, SOD memperlihatkan efek regeneratif pada
jaringan yang mengalami kerusakan akibat faktor usia, penyakit, dan luka. SOD
memberikan keuntungan maksimal sebagai anti aging (Lefaix, 1993). SOD
mengkatalis dismutasi radikal anion superoksida menjadi hidrogen peroksida
mengikuti reaksi: 2O2-. + 2H+  H2O2 + O2. Aktivitas SOD dihambat oleh H2O2
maka dalam kerjanya SOD sangat membutuhkan katalase (Rice-Evan et al. 1991).
SOD banyak ditemukan pada kelenjar adrenalin, ginjal, darah, limfa, pankreas,
hati, usus, ovarium, otak dan timus. SOD memiliki situs aktif berupa histidin dan
asparagin seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Situs aktif pada Enzim Superoksida Dismutase

13

Penggunaan enzim SOD murni dari eritrosit sapi (EC Number 1.15.1.1)
dalam biosensor merupakan kendala karena harga enzim mahal. Oleh sebab itu,
penggunaan bakteri penghasil SOD merupakan solusi untuk menekan biaya. SOD
telah diisiolasi dari bakteri hipertermofilik dari Aquifex pyrophilus, Thermothrix
sp, Rhodothermus sp, Bacillus sp. MHS47 (Areekit et al. 2011) dan Deinococcus
radiophilus (Yun et al. 2004). Menurut Yuan et al. (2007), Deinococcus
radiodurans juga merupakan salah satu bakteri penghasil SOD. Bakteri
Deinococcus radiodurans termasuk dalam filum Deinococci, ordo Deinococcales,
famili Deionococcuceae, genus Deinococcus, spesies radiodurans. Bakteri ini
merupakan gram positif, aerob, dan non patogen yang sangat resistan terhadap
radiasi ultraviolet, ionisasi, desikasi dan ROS. Kemampuan Deinococcus
radiodurans ini karena terdapat Mn-SOD dan katalase yang merupakan sistem
antioksidan yang dapat melindungi dari serangan radiasi. Berdasarkan aktivitas
spesifik yang didapatkan maka Deinococcus radiodurans memiliki potensi untuk
digunakan sebagai komponen pengenal pada biosensor antioksidan.
Bakteri D. radiodurans ditumbuhkan dalam media LB cair selama 48 jam
dengan suhu 30 oC. Setelah 48 jam bakteri dapat dipanen untuk mengambil enzim
SOD. Sel bakteri dipecah untuk mengekstrak protein pada sitoplasma sel yang
mengandung enzim SOD dengan menggunakan ultrasonic homogenizer. Protein
yang terekstrak memiliki konsentrasi sebesar 6246 µg/mL. Konsentrasi ini lebih
kecil dibandingkan dengan Mn-SOD yang dihasilkan dari udang Macrobrachium
nipponerse sebesar 17100 mg (Yao et al. 2004). Sedangkan Seatovics et al.
(2004) mendapatkan ekstrak kasar Mn-SOD dari bakteri Thermotherix sp.
sebanyak 53 mg/17.5 mL. Dalam penelitian ini, bakteri Thermotherix sp. diisolasi
dari pemandian air hangat di Serbia kemudian dibiakkan dalam media nutrien
broth (pepton 1.5%, meat extract 0.5%, NaCl 0.5%, dan K2HPO4 pH 7.2).
Kecilnya rendemen ekstrak yang dihasilkan dibandingkan dengan yang lain
diduga karena D. radiodurans memiliki dinding sel yang tebal. Selain itu,
bentuknya yang tetrad dan besar menyebabkan sulit untuk memecah dinding sel
D. radiodurans dan mengekstrak sitoplasmanya (Trivadila 2011).
Imobilisasi Ekstrak Kasar SOD dalam NPZ
Stabilitas dan sensitivitas sangat dibutuhkan dalam penentuan kinerja
analitik dari sebuah alat biosensor. Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh
adanya perubahan suhu dan pH yang ekstrim, karena dapat membuat enzim
mudah terdenaturasi. Untuk menjaga fungsi katalitik enzim pada kondisi ekstrim
tersebut, dilakukan imobilisasi pada permukaan material penyangga padat. Enzim
redoks banyak digunakan dalam biosensor elektrokimia karena enzim ini dapat
menghasilkan atau menggunakan elektron dalam mengkatalisis suatu substrat
menjadi produk, sehingga elektron ini yang akan dideteksi pada transduser
(Grieshaber et al. 2008). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menjaga
kestabilan enzim adalah dengan melakukan imobilisasi enzim pada material yang
berpori dan untuk meningkatkan stabilitas dapat digunakan nanomaterial (Mateo
et al. 2007).

14

Imobilisasi enzim bertujuan mempertahankan aktivitas dan stabilitas
enzim. Hal ini karena enzim memiliki stabilitas dan sensitivitas yang tinggi jika
dalam kondisi normal, tapi sangat sensitif terdenaturasi oleh pH dan suhu yang
ekstrim, pelarut organik, dan deterjen. Untuk menjaga fungsi katalitik enzim pada
kondisi ekstrim ini maka dilakukan imobilisasi pada permukaan material
penyangga padat seperti nanopartikel zeolit. Stabilitas dan sensitivitas suatu
biosensor enzim terimobilisasi pada matriks, selain dipengaruhi oleh substrat juga
dipengaruhi oleh metode imobilisasi dan material penyangga yang digunakan
(Zhou et al. 2007). Imobilisasi enzim meningkatkan selektivitas substrat,
meningkatkan laju regenerasi pusat aktif, dan laju pengikatan substrat
(Laurinavicius et al. 2004). Goriushkina et al. (2010) menggunakan zeolit untuk