Biosensor glukosa menggunakan glukosa dehidrogenase flavin adenin dinukleotida yang diimobilisasi pada nanopartikel zeolit secara elektrokimia

BIOSENSOR GLUKOSA MENGGUNAKAN GDH-FAD YANG
DIIMOBILISASI PADA NANOPARTIKEL
ZEOLIT SECARA ELEKTROKIMIA

RAUDHATUL FADHILAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biosensor Glukosa
menggunakan Glukosa Dehidrogenase Flavin Adenin Dinukleotida yang
Diimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit secara Elektrokimia adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Raudhatul Fadhilah
NIM G451110041

RINGKASAN
RAUDHATUL FADHILAH. Biosensor Glukosa menggunakan Glukosa
Dehidrogenase Flavin Adenin Dinukleotida yang Diimobilisasi pada Nanopartikel
Zeolit secara Elektrokimia. Dibimbing oleh LATIFAH KOSIM DARUSMAN
dan DYAH ISWANTINI PRADONO.
Biosensor glukosa telah dikembangkan secara luas untuk mengukur kadar
glukosa darah. Kinerja biosensor glukosa terus ditingkatkan untuk menghasilkan
biosensor dengan aktivitas dan stabilitas yang semakin baik. Faktor kunci
keberhasilan dalam pengembangan biosensor glukosa berbasis enzim adalah
ketepatan penggunaan teknik dan matriks imobilisasi sehingga eksplorasi material
yang dapat digunakan sebagai matriks pengimobilisasi terus dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan aktivitas dan stabilitas enzim
glukosa dehidrogenase (GDH) yang diimobilisasi pada nanopartikel zeolit (NPZ)
serta menentukan parameter kinetika dan keragaan analitik dengan metode

elektrokimia. Hasilnya elektrode enzim dengan NPZ dan elektrode enzim dengan
zeolit A menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap glukosa dibandingkan
elektrode enzim tanpa NPZ.
Kinetika reaksi ketiga elektrode enzim mengikuti pola kinetika Dixon.
���
Nilai ���� elektrode enzim tanpa NPZ, dengan NPZ, dan dengan zeolit A secara
���
berturut-turut 27.25 μA, 77.52 μA, dan 48.54 μA. Nilai �� untuk enzim GDH
yang diimobilisasi pada NPZ adalah 1.16 mM, 0.30 mM untuk enzimGDH yang
diimobilisasi pada zeolit A dan 0.95 mM untuk enzim GDH imobilisasi tanpa
NPZ. Elektrode enzim juga menunjukkan sensitivitas yang cukup tinggi dengan
nilai sensitivitas 2.41 µA mM-1 untuk elektrode enzim dengan zeolit A, 0.81 µA
mM-1 untuk elektrode enzim dengan NPZ, dan 0.58 µA mM-1 untuk elektrode
enzim tanpa NPZ.
Ketiga elektrode enzim menghasilkan daerah linear yang berbeda-beda
dengan rentang konsentrasi untuk elektrode enzim tanpa NPZ, dengan NPZ dan
dengan zeolit A secara berturut-turut 1.00 mM-15.00 mM, 2.00 mM-20.00 mM,
dan 0.06 mM-10.00 mM. Rentang konsentrasi glukosa darah normal pada
manusia yaitu dari 4 sampai 6 mM, sehingga elektrode enzim dengan NPZ dan
tanpa NPZ yang cocok digunakan dalam penentuan konsentrasi gula darah.

Sementara elektrode enzim dengan zeolit A memiliki range yang lebih sempit
sehingga lebih cocok diaplikasikan dalam penentuan konsentrasi gula dalam
makanan atau minuman.
Elektrode enzim dengan NPZ dan elektrode enzim dengan zeolit A
menunjukkan akurasi baik dengan nilai kesalahan relatif secara berturut-turut
sebesar 3.84% dan 3.48%. Keterulangan pengukuran juga menunjukkan hasil
yang cukup teliti dengan nilai standar deviasi relatif (%RSD) sebesar 3.83% untuk
elektrode enzim dengan NPZ dan untuk elektrode enzim dengan zeolit A sebesar
3.16%. Tingginya aktivitas, akurasi dan keterulangan pengukuran elektrode enzim
yang diimobilisasi pada NPZ dan zeolit A disebabkan oleh adanya kombinasi dua
teknik imobilisasi, yaitu adsorpsi fisik antara enzim dengan zeolit dan penjebakan
pada elektrde pasta karbon. Elektrode enzim dengan NPZ dan elektroda enzim
dengan zeolit A menunjukkan respon elektrokimia yang baik terhadap glukosa

sehingga dapat diterapkan dalam penentuan kadar glukosa darah maupun kadar
glukosa dalam makanan dan minuman.
Kata kunci:biosensor glukosa, glukosa dehidrogenase, imobilisasi, zeolit

SUMMARY
RAUDHATUL FADHILAH. Glucose Biosensor using a Glucose Dehydrogenase

Flavin Adenine
Dinucleotide Electrochemically Immobilized on Zeolite
Nanoparticles. Supervised by LATIFAH KOSIM DARUSMAN and DYAH
ISWANTINI PRADONO.
A glucose biosensor was developed to measure blood glucose levels. The
performance of these new glucose biosensors was continuously improved,
producing better performance and stability. The technique selection and
immobilization matrix are key factors for biosensor development, so that the
prospecting of materials that can be used as a matrix for supporting enzyme,
continue to be explore.
The purpose of this study was to determine the activity and stability of the
enzyme glucose dehydrogenase (GDH) that were immobilized on zeolite
nanoparticles (NPZ) and determine the kinetic parameters and analytical
performance by electrochemical methods. The resulting enzyme electrode with
NPZ and enzyme electrode with zeolite A showed a high activity against the
enzyme electrode glucose than without NPZ.
The reaction kinetics of third electrodes of enzyme followed the Dixon
���
equation. The ����
values for enzyme electrode without NPZ, with NPZ, and with

���
zeolite A were 27.25 μA, 77.52 μA, and 48.54 μA, respectively. The �� values
for GDH enzyme that immobilized on the NPZ were 1.16 mM, 12.30 mM for
GDH enzyme that immobilized on zeolite A and 0.95 mM for GDH enzyme
immobilization without NPZ. The enzyme electrode without NPZ, with NPZ, and
with zeolite A also showed a high sensitivity with value for the sensitivity were
0.58 μA mM-1, 0.81 μA mM-1, and 2.51 μA mM-1, respectively.
The third enzyme electrodes showed different linear area with range for
the enzyme electrode without NPZ, with NPZ and with zeolite A were 1.00-15.00
mM, 2.00-20.00 mM, and 0.06-10.00 mM, respectively. The blood glucose level
of normal person ranged from 4 to 6 mM, so that the enzyme electrode with NPZ
and without NPZ are suitable for use in the determination of the concentration of
blood glucose. While the enzyme electrode with zeolite A has a smaller range so it
is more suitable to use in the determination of glucose concentration in the foods
or beverages.
The enzyme electrode with NPZ and the enzyme electrode with zeolite A
showed a good accuracy with relative error values were 3.84% and3.48%,
respectively. Repeatability measurements also showed a good precission results
with relative standard deviation values (%RSD) for the enzyme electrode with
NPZ and enzyme electrode with zeolite A were 3.83% and 3.16%, respectively.

By combining two immobilization techniques, physical adsorption on zeolite and
entrapment on carbon paste, high enzymatic activity, good accuracy, and
repeatability was attained. The enzyme electrode with NPZ and the enzyme
electrode with zeolite A demonstrated a good electrochemical response toward
glucose, allowing it to detect blood glucose levels and glucose levels in foods and

beverages.
Key words: glucose biosensor, glucose dehydrogenase, immobilization, zeolite

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

BIOSENSOR GLUKOSA MENGGUNAKAN GDH-FAD YANG

DIIMOBILISASI PADA NANOPARTIKEL
ZEOLIT SECARA ELEKTROKIMIA

RAUDHATUL FADHILAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Eti Rohaeti, MS

Judul Tesis : Biosensor Glukosa menggunakan Glukosa Dehidrogenase Flavin
Adenin Dinukleotida yang Diimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit

secara Elektrokimia
Nama
: Raudhatul Fadhilah
NIM
: G451110041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Latifah K Darusman, MS
Ketua

Prof Dr Dyah Iswantini Pradono, MScAgr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kimia

Dekan Sekolah Pascasarjana


Prof Dr Dra Purwantiningsih Sugita, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 31 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah
biosensor, dengan judul Biosensor Glukosa menggunakan Glukosa Dehidrogenase
Flavin Adenin Dinukleotida yang Diimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit secara
Elektrokimia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Latifah Kosim
Darusman, MS dan Ibu Prof Dr Dyah Iswantini Pradono, MScAgr selaku komisi
pembimbing, Ibu Dr Eti Rohaeti, MS selaku dosen penguji luar komisi, serta
seluruh dosen Pascasarjana Kimia atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan.

Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Laboratorium
Kimia Analitik IPB (Bapak Eman, Ibu Nunung, Bapak Kosasih), Pusat Studi
Biofarmaka IPB (Mbak Salina, Ibu Nunuk, Mbak Wiwik, Mas Zaim, Mas Nio,
Mas Endi, Mas Feri), Laboratorium Bersama Kimia IPB (Bapak Wawan, Mas
Eko), dan Laboratorium Fisika Puspitek LIPI Serpong (Bapak Agus Sukarto)
yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Pimpinan dan keluarga besar Universitas Muhammadiyah Pontianak,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), dan Pusat Studi Biofarmaka IPB
atas beasiswa dan bantuan dana penelitian dari Pendanaan Pusat Unggulan yang
telah diberikan, serta kepada Bapak Dr Zaenal Abidin, MScAgr yang telah
memberikan zeolit A. Tak lupa pula, ungkapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Ibu Trivadila, teman-teman Pascasarjana Kimia (Kak Titi, Qadri, Kak
Ammar, Kak Budi), dan S-1 Kimia group riset biosensor (Lukman La Gia,
Yuanita, Dinie) atas masukan, saran dan motivasi yang diberikan. Untuk ayah,
ibu, kakakku Desi dan Erni, abangku Fadhli, adikku Nova dan Arul, keponakanku
Aurellio dan Aura, dan seluruh keluarga terima kasih atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Raudhatul Fadhilah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis

1
1
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Biosensor
Glukosa Dehidrogenase
Imobilisasi Enzim
Zeolit
Metode Elektrokimia
Kinetika Enzim

3
3
4
4
5
6
7

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Penelitian

7
7
8
8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengondisian Zeolit Alam
Pembuatan Nanopartikel Zeolit Alam
Skrining Faktor menggunakan Desain Fractional Factorial (FF)
Optimasi Respon menggunakan RSM
Imobilisasi Enzim GDH tanpa NPZ dan pada NPZ
Aktivitas Enzim GDH Terimobilisasi tanpa NPZ, pada NPZ dan Zeolit A
Parameter Kinetika Enzim
Limit Deteksi
Ketepatan Pengukuran
Keterulangan Pengukuran
Stabilitas Elektrode

12
12
12
14
15
16
18
20
25
27
28
29

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

30
30
30

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
1 Output minitab estimasi pengaruh variabel bebas terhadap respon pada
elektrode enzim tanpa nanopartikel zeolit
2 Output minitab estimasi pengaruh variabel bebas terhadap respon pada
elektrode enzim dengan nanopartikel zeolit
3 Output minitab estimasi koefisien persamaan model elektrode enzim
tanpa nanopartikel zeolit
4 Output minitab estimasi koefisien persamaan model elektrode enzim
dengan nanopartikel zeolit
5 Analisis parameter kinetika
6 Hasil pengukuran ketepatan pengukuran
7 Hasil pengukuran keterulangan pengukuran

14
14
15
16
24
27
28

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Teknik imobilisasi enzim
Struktur zeolit A
Distribusi frekuensi ukuran nanopartikel zeolit
Kontur hubungan antara faktor dan arus
Ilustrasi model elektrode enzim (a) tanpa NPZ (b) dengan NPZ
Citra SEM (a) NPZ (b) enzim terimobilisasi pada NPZ
Citra TEM (a) NPZ (b) enzim terimobilisasi pada NPZ
Voltammogram siklik elektrode enzim
Hubungan konsentrasi substrat glukosa dan aktivitas GDH pada
elektrode enzim
10 Linearitas konsentrasi glukosa dan aktivitas GDH elektrode enzim
11 Linearitas elektrode enzim pada rentang konsentrasi 0.01 – 0.10 mM
12 Stabilitas elektrode enzim tanpa NPZ, dengan NPZ dan zeolit A

5
6
13
16
17
17
18
19
21
22
26
29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Diagram alir penelitian
Skrining variabel bebas (faktor) pada elektrode enzim tanpa NPZ
Skrining variabel bebas (faktor) pada elektrode enzim dengan NPZ
Optimasi aktivitas enzim GDH pada elektrode enzim tanpa NPZ
Optimasi aktivitas enzim GDH pada elektrode enzim dengan NPZ
Spektrum inframerah zeolit dan enzim terimobilisasi zeolit
Nilai rata-rata puncak arus oksidasi
Analisis kinetika

35
37
38
39
40
40
41
41

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
Singkatan
GDH Glukosa dehidrogenase
NPZ
Nanopartikel zeolit
DM
Diabetes melitus
WHO World Health Organization (Badan Kesehatan Dunia)
GOD Glukosa oksidase
NAD Nikotin adenin dinukleotida
PQQ
Pyrroloquinoline quinone
FAD
Flavin adenin dinukleotida
IUPAC International Union of Pure and Applied Chemistry
KTK Kapasitas tukar kation
PSA
Particle size analyzer
FF
Fractional factorial
RSM Response surface methodology (Metode permukaan respon)
AOAC Association of Official Analytical Chemists
PBM Planetary ball mill
SEM Scanning electron microscope
TEM Transmission electron microscope
FT-IR Fourier transform infrared

i
i
1
1
1
1
1
1
3
8
9
9
9
12
12
17
17
17

Lambang
app
KM
Konstanta Michaelis Menten hasil pengukuran
app
Imax
Arus maksimum hasil pengukuran
RSD
Relative standard deviation (standar deviasi relatif)
V max
Laju maksimum
r
Koefisien korelasi
LD
Limit deteksi
Kr
Kesalahan relatif
KV
Koefisien variansi
ΔIpa
Perubahan arus puncak anode

i
i
i
7
11
11
11
12
20

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis yang ditandai dengan kadar
glukosa darah yang tinggi akibat pankreas tidak memproduksi insulin yang cukup
atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2011, 346 juta
orang di seluruh dunia mengidap DM. DM dibedakan menjadi tiga. Pertama, DM
tipe 1 ditandai dengan kekurangan produksi insulin dan membutuhkan konsumsi
insulin harian. Penyebab DM tipe 1 belum diketahui dan belum dapat dicegah
dengan pengetahuan saat ini. Kedua, DM tipe 2 merupakan akibat dari
penggunaan insulin yang tidak efektif. DM tipe 2 merupakan jenis yang diderita
90% penderita DM di seluruh dunia, dan sebagian besar diakibatkan karena
kelebihan berat badan dan aktivitas fisik. Ketiga, DM gestational merupakan jenis
DM yang muncul saat kehamilan. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan
jumlah penderita diabetes dari 8.4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21.3 juta
pada tahun 2030. Tingginya angka tersebut menjadikan Indonesia peringkat
keempat jumlah penderita DM terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat, India,
dan Cina (WHO 2010). Oleh karena itu diperlukan cara untuk memantau kadar
glukosa darah, salah satunya dengan biosensor.
Biosensor di dunia pertama kali dikembangkan oleh Leland Clark tahun
1956. Clark menggunakan enzim glukosa oksidase (GOD) sebagai komponen
pengenal analat yang bereaksi spesifik dengan glukosa dan secara alamiah
dihasilkan dari jamur Aspergillus niger. Mekanisme kerja enzim ini sangat
bergantung pada keberadaan oksigen. Akibatnya, alat pengukur kadar gula dalam
darah memberikan hasil yang berbeda dari individu yang sama. Hal tersebut,
mendorong penggantian enzim GOD dengan enzim glukosa dehidrogenase
(GDH). Enzim GDH spesifik terhadap substrat glukosa dan aktivitasnya tidak
dipengaruhi oleh kadar oksigen (Monosik et al. 2012). Koenzim yang cocok
untuk membuat biosensor yang tidak memerlukan O 2 sebagai akseptor elektron
atau nikotin adenin dinukleotida (NAD) sebagai koenzim adalah pyrroloquinoline
quinone (PQQ) (Li et al. 2008) atau flavin adenin dinukleotida (FAD) (Tsujimura
et al. 2006).
Pemanfaatan GDH-PQQ sebagai biosensor untuk penggunaan komersial
sangatlah rumit. Hal ini berdasarkan fakta bahwa GDH-PQQ yang diisolasi dari
permukaan luar membran sitoplasma memerlukan pembersih yang sesuai untuk
solubilisasi dan purifikasi (Matsushita et al. 1980). Sementara itu, GDH-PQQ
yang diisolasi dari dalam sel memiliki spesifitas rendah dan dapat mengoksidasi
berbagai sakarida seperti manosa, maltosa, laktosa, dan gula lain sehingga
menyebabkan gangguan dalam pengukuran (Igarashi dan Sode 2004). Selama 10
tahun terakhir, laporan mengenai kesalahan pembacaan kadar glukosa darah
karena gangguan dari gula lain selain glukosa yang terkait dengan uji strip sGDHPQQ mengakibatkan 13 kematian (Frias et al. 2010). Berkenaan dengan faktafakta tersebut pengembangan biosensor GDH dengan koenzim FAD menarik
untuk dilakukan. Keunggulan GDH-FAD dibandingkan sGDH-PQQ adalah pada

2

GDH-FAD hampir tidak bereaksi dengan maltosa, xilosa, dan galaktosa
(Frias et al. 2010).
Perkembangan biosensor glukosa sampai saat ini di antaranya adalah novel
FAD bergantung pada GDH dengan mediator Fe(CN) 6 3- menghasilkan sensor
yang stabil dan tahan lama (1 bulan) dengan selektivitas yang tinggi (Tsujimura et
al. 2006), biosensor glukosa menggunakan bakteri asal Indonesia menunjukkan
bahwa E. coli yang diimobilisasi di atas permukaan elektrode pasta karbon dapat
mendeteksi konsentrasi glukosa sampai 20 mM (Iswantini et al. 2011), biosensor
glukosa amperometri memanfaatkan GDH-FAD yang diimobilisasi pada
nanokomposit elektrode menghasilkan stabilitas yang tinggi dan tahan lama
(Monosik et al. 2012).
Penelitian untuk mengembangkan biosensor glukosa yang memiliki
sensitivitas dan stabilitas yang tinggi serta tahan lama terus dilakukan. Penelitian
yang dilakukan Iswantini et al. (2011) menunjukkan bahwa mGDH yang
dihasilkan E. coli dengan kofaktor PQQ memiliki stabilitas selama 6 jam. Setelah
6 jam, aktivitas GDH menurun menjadi 58%. Monosik et al. (2012) dalam
penelitiannya menemukan bahwa kestabilan aktivitas enzim GDH bertambah
ketika enzim GDH diimobilisai dengan nanokomposit elektrode. Aktivitas enzim
baru menurun setelah minggu kelima menjadi 82%. Faktor kunci keberhasilan
Monosik et al. (2012) mempertahankan aktivitas GDH selama 5 minggu
dikarenakan penggunaan kitosan sebagai matriks pengimobilisasi enzim. Enzim
diadsorpsi pada kitosan model sandwich sehingga menyediakan lingkungan yang
hidrofilik yang cocok dengan enzim. Oleh karena itu pencarian material lain
sebagai matriks pengimobilisasi enzim perlu dieksplorasi.
Salah satu kandidat material yang paling menjanjikan sebagai matriks
pendukung adsorpsi enzim GDH adalah zeolit. Hal ini disebabkan oleh sifat zeolit
yang memiliki karakteristik struktur yang unik dan tahan terhadap biodegradasi
serta permukaan dapat dimodifikasi dan mudah disiapkan dengan rongga mulai
dari mikro pori (< 20 Å) (Xing et al. 2000).
Penelitian tentang pemanfaatan zeolit sebagai matriks pengimobilisasi untuk
sensor telah banyak dilakukan. Balal et al. (2009) melakukan modifikasi elektrode
pasta karbon yang termodifikasi zeolit Y dengan mediator Fe3+ untuk mengukur
dopamin dan triptofan. Hasilnya elektrode pasta karbon termodifikasi zeolit Y
menghasilkan stabilitas yang cukup tinggi dengan puncak arus oksidasi dopamin
dan triptofan hanya berkurang 11% setelah 24 jam Goriushkina et al. (2010)
melaporkan bahwa penggunaan zeolit jenis silicalite-1 untuk imobilisasi glukosa
oksidase pada biosensor amperometri dapat mempertahankan stabilitas GOD
selama 16 hari. Setelah 16 hari, stabilitas GOD hanya berkurang 17%. Penelitian
yang dilakukan oleh Weniarti (2011) juga menemukan bahwa penggunaan
nanokomposit zeolit sebagai matriks pengimobilisasi enzim superoksida
dismutase (SOD) meningkatkan sensitivitas biosensor yang ditunjukkan dengan
puncak arus anodik pada enzim SOD yang diimobilisasi dengan zeolit lebih
tinggi, yaitu sebesar 1.02 μA dibandingkan dengan enzim SOD tanpa imobilisasi,
yaitu sebesar 0.08 μA (Trivadila 2011).
Penelitian menggunakan nanopartikel zeolit sebagai matrik imobilisasi pada
biosensor GDH-FAD belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini
menggunakan imobilisasi enzim dengan nanopartikel zeolit sebagai material
pendukung untuk biosensor GDH-FAD.

3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan aktivitas dan stabilitas enzim GDH
yang diimobilisasi pada nanopartikel zeolit serta menentukan parameter kinetika
dan keragaan analitik dengan metode elektrokimia.
.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah nanopartikel zeolit
dapat digunakan sebagai matriks imobilisasi enzim GDH karena dapat
meningkatkan aktivitas dan stabilitas biosensor GDH-FAD.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Biosensor
Biosensor menurut International Union of Pure and Applied Chemistry
(IUPAC) didefinisikan sebagai suatu alat yang menggunakan reaksi biokimia
spesifik yang dimediasi oleh enzim, sistem kekebalan tubuh, jaringan, organel
atau seluruh sel yang diisolasi untuk mendeteksi senyawa kimia oleh sinyal listrik
(electrical signal), panas (thermal signal) atau optis (optical signal) (IUPAC
1997). Biosensor terdiri atas dua bagian utama, yaitu komponen pengenal hayati
yang berinteraksi secara interaktif terhadap analat target dan transduser yang
berfungsi mengubah respon hayati yang dihasilkan menjadi sinyal yang dapat
diukur (Castilo et al. 2004). Perkembangan biosensor dibagi menjadi tiga
generasi, yaitu generasi pertama, generasi kedua dan generasi ketiga. Biosensor
generasi pertama melibatkan oksigen dalam pengukuran. Biosensor generasi
kedua merupakan generasi biosensor yang menggunakan mediator untuk
menghubungkan reaksi oksidasi substrat dengan elektrode, sedangkan biosensor
generasi ketiga mulai meningkatkan integrasi mediator dengan elektrode (Liu dan
Wang 2000).
Perancangan biosensor yang lebih inovatif terus dilakukan untuk
menyempurnakan biosensor yang telah berkembang selama ini yang memiliki
berbagai kelemahan di antaranya: (1) tidak dapat digunakan secara berulang, (2)
daya variasi kurang tinggi, (3) waktu respon yang relatif rendah, (4) rentang linear
sempit, (5) sensitivitas rendah dan kurang stabil, dan (6) presisi dan deteksi yang
masih rendah (Wang et al. 2008).
Biosensor glukosa merupakan salah satu dari aplikasi biosensor yang
berkembang dengan cepat dan telah dimanfaatkan secara komersial (Fiorito dan
Torresi 2001; Castillo et al. 2004). Biosensor glukosa pertama kali dikembangkan
pada tahun 1956 oleh Lend Clark. Clark menggunakan enzim GOD yang
bereaksi spesifik dengan glukosa dan dapat dihasilkan secara alamiah dari jamur
Aspergillus niger.

4

Glukosa Dehidrogenase
Glukosa dehidrogenase (GDH) adalah enzim yang berperan dalam reaksi
oksidasi langsung glukosa membentuk asam glukonat (EBI 2005). Enzim GDH
aktif dalam pengambilan atom hidrogen dari substrat (spesifik terhadap substrat
glukosa) dan aktivitasnya tidak dipengaruhi kadar oksigen (Winarno 2010).
Reaksinya secara umum adalah:
glukosa + penerima elektron  asam glukonat + penerima elektron tereduksi (1)
Reaksi oksidasi glukosa membentuk asam glukonat dengan bantuan enzim
GDH merupakan jalur lain dari proses metabolisme glukosa selain jalur fosforilasi
membentuk glukosa-6-fosfat. Proses reaksi oksidasi glukosa ini juga bersamaan
dengan terjadinya transfer elektron ke ubiquinon oksidase melalui ubiquinon pada
rantai respirasi (Elias et al. 2001).
Glukosa dehidrogenase terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan kofaktor redoks
yang digunakan, yaitu kelompok 1.1.1 EC menggunakan NAD atau nikotin
adenin dinukleotida fosfat (NADP) sebagai kofaktor, kelompok 1.1.5 EC
menggunakan PQQ sebagai kofaktor dan kelompok 1.1.99.10 EC menggunakan
FAD sebagai kofaktor. GDH dengan menggunakan FAD sebagai kofaktor
mendapat banyak perhatian karena berpotensi dalam aplikasi sensor dengan
selektivitas yang tinggi (Ferri et al. 2011).

Imobilisasi Enzim
Enzim imobilisasi adalah suatu enzim yang secara fisik maupun kimia tidak
bebas bergerak sehingga enzim dapat dikendalikan kapan harus kontak dengan
substrat. Proses ini dapat dilakukan secara fisika maupun kimia. Cara fisika
merupakan cara yang tidak melibatkan pembentukan ikatan kovalen. Cara ini
umumnya revesibel, yaitu enzim dapat kembali pada keadaan aslinya. Sedangkan
cara kimia merupakan cara imobilisasi enzim yang melibatkan paling sedikit satu
ikatan kovalen antara dua atau lebih residu enzim yang sejenis. Cara kimia
menjadikan molekul ireversibel, yaitu enzim tidak dapat kembali ke keadaan
aslinya (Winarno 2010).
Keuntungan enzim yang diimobilisasi dibandingkan dengan enzim bebas
adalah dapat digunakan kembali, sesuai untuk aplikasi dalam operasi yang
berkesinambungan, menghasilkan produk yang bebas enzim sehingga tidak perlu
dilakukan proses lebih lanjut seperti penghilangan atau penginaktifan enzim dan
meningkatkan stabilitas dari aktivitas enzim. Laurinavicius et al. (2004)
melakukan studi terhadap aktivitas enzim mGDH yang dimobilisasi dan tidak
diimobilisasi (native enzyme). Studinya menunjukkan bahwa imobilisasi mGDH
menghasilkan sifat yang sangat berbeda dari sifat native enzyme. Imobilisasi
enzim meningkatkan selektivitas substrat, meningkatkan laju regenerasi pusat
aktif dan laju dari pengikatan substrat mulai memberikan peran yang signifikan
terhadap keseluruhan proses (Laurinavicius et al. 2004).
Enzim redoks banyak digunakan dalam biosensor elektrokimia karena
enzim ini dapat menghasilkan atau menggunakan elektron dalam mengatalisis

5

suatu substrat menjadi produk (Grieshaber 2008). Ada beberapa pemasalahan
yang muncul dalam penggunaan enzim dalam biosensor, yaitu: pemulihan enzim,
stabilisasi enzim, selektivitas enzim dan reduksi inhibisi oleh medium atau
produk. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menjaga kestabilan enzim
adalah dengan melakukan imobilisasi enzim pada material yang berpori dan untuk
meningkatkan stabilitas dapat digunakan nanomaterial (Mateo et al. 2007).
Penggunaan nanomaterial (seperti karbon nanotube, nanopartikel) untuk
desain perangkat biosensing merupakan pendekatan yang menarik dan baru untuk
meningkatkan kinerja deteksi platform. Nanomaterial merupakan prospek yang
sangat menjanjikan karena sifatnya yang unik. Karbon nanotube memiliki sifat
listrik, mekanik dan struktur yang luar biasa (Wang 2005b). Nanomaterial dapat
meningkatkan reaktivitas elektrokimia biomolekul dan dapat meningkatkan reaksi
transfer elektron pada protein. Nanopartikel dari komposisi dan ukuran yang
berbeda juga telah digunakan beberapa tahun terakhir sebagai pelacak yang
sensitif dan serbaguna untuk elektronik, optik atau transduksi mikrogravimetri
biomolekuler yang berbeda (Wang 2005a). Konduktivitas logam nanopartikel
yang sangat baik memungkinkan untuk meningkatkan transfer elektron antara
pusat redoks pada protein dan permukaan elektrode (Luo et al. 2008.; Pingarron et
al. 2008). Selain itu, adsorpsi langsung enzim ke permukaan logam sering
menyebabkan denaturasi protein dan hilangnya bioaktivitas yang dapat dihindari
jika enzim pertama teradsorpsi ke nanopartikel sebelum elektrodeposisi pada
permukaan elektrode (Liu et al. 2005). Beberapa teknik imobilisasi disajikan pada
Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Teknik imobilisasi enzim (Sassolas et al. 2012)

Zeolit
Zeolit secara harfiah berasal dari kata yunani “zein” yang berarti
mendidihkan dan “lithos” yang berarti batu atau disebut juga batu mendidih
(Goltardi dan Galli 1985). Zeolit adalah mineral yang terdiri atas kristal alumino
silikat terhidrasi yang mengandung kation alkali atau alkali tanah dalam kerangka
tiga
dimensi.
Zeolit
biasanya
ditulis
dengan
rumus
kimia

6

M x/n [(AlO 2 ) x (SiO 2 ) y .zH 2 O, dengan x dan y adalah bilangan bulat, y/x sebanding
atau lebih besar dari 1, n adalah valensi logam M, z adalah jumlah molekul air
dalam masing-masing unit, x dan y adalah masing-masing jumlah alumina dan
silika (Tang 2003).
Zeolit dapat dimanfaatkan dalam elektrokimia dengan merancang berbagai
modifikasi elektrode zeolit dan dapat diaplikasikan dalam bidang sensor molekul,
elektrokatalisis dan elektroanalisis (Hamlaoui et al. 2008). Contoh struktur zeolit
diperlihatkan pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Struktur zeolit (Xinyuan 2006)
Nano zeolit merupakan senyawa yang dimanfaatkan karena peningkatan
kinerja dari adanya pori yang lebih teratur. Pemanfaatan ini berdasarkan pada
kemampuan molekul untuk masuk ke permukaan bagian dalam nano zeolit yang
akan meningkatkan kemampuan katalitik dari zeolit tersebut. Kemampuan dari
nano zeolit ini dapat ditingkatkan lagi dengan cara memodifikasi permukaan
zeolit dengan beberapa gugus fungsi sehinga menjadi lebih selektif terhadap
reaktan yang berinteraksi dengan permukaan (Bauer et al. 2007). Kugbe et al.
(2009) melaporkan nanokomposit zeolit-geotit hasil sintesis merupakan komposit
dengan sifat adsorben yang sangat baik.
Zeolit yang digunakan dalam penelitian ini adalah zeolit sintesis (zeolit A)
dan zeolit alam asal Lampung. Zeolit A merupakan jenis zeolit sintesis rendah
silika dengan rasio Si/Al =1. Zeolit ini merupakan isotop dari zeolit Lindan Type
A yang memiliki 8 cincin dengan diameter pori 0.41 nm dan memiliki rongga
berbentuk spherical dengan ukuran 1.14 nm (Chen 2001). Sedangkan zeolit alam
asal Lampung merupakan jenis Klinoptilolit (Arif 2011).

Metode Elektrokimia
Elektrokimia merupakan ilmu yang mempelajari aspek elektronika dari
reaksi kimia. Elektrokimia mempelajari hubungan antara reaksi kimia dan aliran
listrik. Reaksi yang dimaksud adalah reaksi yang melibatkan adanya pelepasan
dan penerimaan elektron atau yang dikenal dengan reaksi oksidasi dan reduksi
(reaksi redoks). Terdapat 3 metode dasar yang biasa digunakan dalam analisis
elektrokimia, yaitu: (1) pengukuran potensial dengan kondisi tanpa arus yang

7

mengalir, (2) pengukuran potensial dengan arus tetap, dan (3) pengukuran arus
dengan potensial terkontrol (Harvey 2000). Penggunaan metode elektrokimia
dalam pengoptimuman aktivitas enzim GDH (Ikeda et al. 1998) terdiri atas
voltametri dan amperometri.
Voltametri merupakan metode elektroanalisis yang berdasarkan pada
pengukuran arus listrik sebagai fungsi peubah potensial listrik yang diterapkan
pada sel elektrolisis. Sel elektrolisis terdiri atas elektrode kerja (working
electrode) yaitu elektrode tempat reaksi terjadi, elektrode bantu (auxiliary
electrode) yaitu sebuah elektrode inert yang berfungsi membawa sebagian besar
arus listrik dan elektrode pembanding (reference electrode) yaitu elektrode yang
memiliki nilai potensial tetap. Elektrode yang digunakan dalam sistem voltametri
biasanya merupakan elektrode mikro dengan tujuan untuk meningkatkan
polarisasi (Brett dan Brett 1998; Monk 2001; Wang 2000).

Kinetika Enzim
Sifat enzim terimobilisasi berbeda dari enzim bebas dikarenakan adanya
pengaruh dari material penyangga, matriks, perubahan konformasi enzim yang
berasal dari interaksi enzim dengan material penyangga dan modifikasi kovalen
dari residu asam amino. Perubahan konformasi pada struktur protein sekunder dan
tersier mungkin terjadi disebabkan oleh modifikasi kovalen atau karena efek
elektrostatik, ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dengan material penyangga.
Faktor-faktor utama yang memengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi
enzim, substrat, produk, senyawa (inhibitor dan aktivator), pH, dan suhu
lingkungan. Sifat-sifat enzim dapat dipelajari dengan mengetahui pengaruh
faktor-faktor tersebut terhadap enzim, sekaligus mengetahui lingkungan yang
dapat memaksimumkan maupun menghambat aktivitas enzim (Muchtadi et al.
1992). Aktivitas spesifik dari enzim pada imobilisasi hampir menurun dan nilai
laju kecepatan maksimum (V max ) substrat menjadi produk menjadi turun
sedangkan K M meningkat. Untuk itu diperlukan pengukuran kinetika enzim yang
terimobilisasi berupa parameter K M dan V max (Weniarti 2011). Nilai K M dapat
digunakan dalam menentukan ukuran afinitas enzim-substrat (E-S), yang
merupakan suatu indikator kekuatan ikatan kompleks E-S atau suatu tetapan
keseimbangan untuk disosiasi kompleks E-S menjadi E dan S. Nilai K M kecil
berarti kompleks E-S mantap, afinitas enzim tinggi terhadap substrat, sedangkan
bila K M besar berlaku kebalikannya (Fox 1991).

3 BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2012 sampai Juni 2013 di
Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia IPB, Laboratorium Bersama

8

Kimia Departemen Kimia IPB, Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB,
Laboratorium Kimia Fisika Departemen Kimia IPB, Laboratorium Biofisika
Departemen Fisika IPB, dan Laboratorium Puspitek Fisika LIPI Serpong.

Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah enzim GDH
berasal dari Aspergillus sp. dengan aktivitas 1050 U/mg dibeli dari Sekisui
Inggris, FADNa2.×H2O dibeli dari Sigma, aquabides, air bebas ion, NaCl, KCl,
gliserol, grafit, parafin cair, D-glukosa, kalium ferisianida, larutan bufer fosfat,
membran dialisis, NaOH, gas N2, amonium serium sulfat, etanol, metanol, zeolit
A, dan zeolit alam asal Lampung.
Alat atau instrumen yang digunakan dalam penelitian antara lain eDAQ
Potensiostat-Galvanostat (Ecorder 410) yang dilengkapi dengan perangkat lunak
Echem v2.1.0 dengan sistem 3 elektrode (elektrode Ag/AgCl sebagai elektrode
pembanding, elektrode pasta karbon sebagai elektrode kerja, elektrode platina
sebagai elektrode bantu), sel elektrokimia, pipet mikro, Spektrofotometer
Inframerah Transform Fourier (IR Prestige-21, Shimadzu), Scanning Electron
Microscope, Transmission Electron Microscope (JEM-1400), Particle Size
Analyzer (Delsa Nano), Planetary Ball Mill serta alat-alat gelas lainnya.

Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri atas 6 tahap. Tahap pertama yaitu pengondisian zeolit,
pembuatan nanopartikel zeolit, dan penentuan nilai kapasitas tukar kation (KTK)
zeolit alam. Tahap kedua yaitu pembuatan dan karakterisasi elektrode pasta
karbon. Tahap ketiga yaitu penentuan desain eksperimen. Tahap keempat, yaitu
imobilisasi enzim GDH pada matriks nanopartikel zeolit dan permukaan
elektrode pasta karbon. Tahap kelima, yaitu optimasi aktivitas GDH. Dan tahap
keenam, yaitu penentuan parameter kinetika dan keragaan analitik meliputi:
stabilitas elektrode, linearitas pengukuran, limit deteksi pengukuran, ketepatan
pengukuran, dan keberulangan pengukuran. Diagram alir penelitian dicantumkan
pada Lampiran 1.

Pengondisian zeolit alam (Djaeni et al. 2010)
Zeolit awalnya dihancurkan, dikeringkan, dan disaring sampai didapatkan
fraksi yang diinginkan (ukuran 325 mesh). Sebanyak 200 g zeolit dicuci dengan
larutan 500 mL NaOH 1 M dididihkan selama 6 jam dengan 2 kali ulangan.
Sampel kemudian disaring dan dicuci dengan air deionisasi sampai pH = 7.
Selanjutnya sampel dikeringkan pada suhu 60 ºC selama 12 jam. Sampel yang
telah kering kemudian ditentukan kapasitas tukar kation (KTK)nya.

9

Pembuatan nanopartikel zeolit alam ( Wahyudi et al. 2010)
Zeolit yang telah dikondisikan digerus dengan alat planetary ball mill secara
basah (wet milling) menggunakan metanol dan amonium serium sulfat 5% selama
10 jam. Hasil yang diperoleh kemudian diultrasonikasi selama 30 menit pada
amplitudo 40% dan diukur dengan Particle Size Analyzer (PSA).
Pembuatan dan karakterisasi elektrode pasta karbon (Mirel et al. 1998)
Elektrode pasta karbon dibuat dari campuran grafit dan parafin cair 2:1.
Grafit dicampur dengan parafin cair hingga membentuk pasta. Kemudian pasta
karbon dimasukkan ke dalam badan elektrode hingga memadat sampai ke
permukaan kaca. Permukaan kaca elektrode dihaluskan dan dibersihkan dengan
ampelas dan kertas minyak. Elektrode ini selanjutnya dikarakterisasi dengan
elektrolit pendukung KCl 0.10 M menggunakan teknik voltametri siklik.
Pengukuran ini menggunakan elektrode pembanding Ag/AgCl dan elektrode
bantu kawat platina.
Karakterisasi elektrode standar Ag/AgCl (Hattu 2009)
Elektrode standar Ag/AgCl dikualifikasi kinerjanya dengan elektrolit
pendukung KCl 0.10 M menggunakan teknik voltametri siklik. Pengukuran ini
menggunakan elektrode kerja emas dan elektrode bantu platina.
Desain eksperimen (Engineering 2003)
Desain eksperimen dilakukan melalui dua tahap, yaitu screening factor
menggunakan desain Fractional Factorial (FF) dan optimasi menggunakan
metode permukaan respon(RSM). Tahap skrining dilakukan dengan memasukkan
kombinasi faktor-faktor peubah bebas yang meliputi pH (5.00–8.00), konsentrasi
glukosa (5.00–35.00 mM), konsentrasi kalium ferisianida (25.00–100.00 mM),
konsentrasi FADNa 2 .×H 2 O (1.00–12.00 μM), jumlah zeolit (25.00–250.00 mg)
terhadap aktivitas enzim GDH pada perangkat lunak statistika Minitab 14 English
dengan menggunakan 2 replikat. Selanjutnya percobaan dilakukan sesuai dengan
kombinasi yang dihasilkan (Lampiran 2).
Skrining faktor bertujuan melihat faktor mana yang paling berpengaruh
terhadap aktivitas enzim GDH. Setelah diperoleh faktor yang paling berpengaruh
terhadap respon, dilakukan pengoptimumam respon menggunakan metode
permukaan respon (RSM). Metode ini dilakukan dengan cara memasukkan
kombinasi faktor-faktor peubah bebas hasil screening terhadap aktivitas enzim
GDH pada perangkat lunak statistika Minitab 14 English dengan menggunakan 3
replikat. Selanjutnya percobaan dilakukan sesuai dengan kombinasi yang
dihasilkan untuk memperoleh nilai aktivitas optimum (Lampiran 3).
Imobilisasi enzim GDH pada nanopartikel zeolit alam
Enzim GDH diimobilisasi dengan metode adsorpsi menggunakan
nanopartikel zeolit dengan memodifikasi penelitian Salih (2012). Modifikasi yang

10

dilakukan yaitu penggantian enzim urease dengan enzim GDH. Imobilisasi enzim
GDH dilakukan dengan menyiapkan 8.0 U/mL enzim GDH, gliserol (10%).
Setelah itu, nanopartikel zeolit dengan komposisi tertentu dicampurkan dengan
gliserol (10%) dan 1 mL larutan enzim GDH kemudian diaduk hingga homogen.
Campuran selanjunya dishaker selama 24 jam. Kemudian larutan diteteskan
pada permukaan elektrode pasta karbon dan didiamkan hingga pelarutnya
menguap/mengering. Selanjutnya permukaan elektrode dilapisi dengan membran
dialisis, ditutup dengan jaring nilon, dan diikat dengan parafilm. Elektrode
kemudian direndam dalam bufer fosfat pada suhu 5 ºC ketika tidak digunakan,
untuk memberikan keadaan yang sama dengan lingkungan sebenarnya. Elektrode
dapat langsung digunakan untuk pengukuran aktivitas GDH secara elektrokimia.
Pengukuran elektrokimia
Pengukuran elektrokimia dilakukan dengan memodifikasi penelitian
Iswantini et al. (2000). Modifikasi yang dilakukan yaitu penggantian bakteri
E. coli K-12 penghasil enzim GDH dengan enzim GDH, penggantian kofaktor
PQQ menjadi FAD, penggantian mediator Q 0 menjadi kalium ferisianida.
Pengukuran elektrokimia dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat eDAQ
potensiostat-galvanostat yang dilengkapi perangkat lunak Echem v2.1.0.
Elektrode yang digunakan ialah elektrode Ag/AgCl sebagai elekrode pembanding,
platina sebagai elektrode bantu, dan elektrode enzim sebagai elektrode kerja.
Sebanyak 1 mL larutan bufer fosfat ditambahkan ke dalam sel elektrokimia
dan puncak arus anode yang terbentuk diamati sebagai blanko. Selanjutnya,
ditambahkan berturut-turut mediator (kalium ferisianida), glukosa, kofaktor
(FAD) dan MgSO 4 . Sebelum dilakukan pengukuran, larutan dideaerasi dengan
mengalirkan gas nitrogen selama ± 1 menit. Setelah penambahan setiap zat ke
dalam larutan, perubahan arus yang terjadi diamati hingga mencapai arus keadaan
tunak secara runut.
Penentuan parameter kinetika (Hoshino et al. 2012)
Penentuan parameter kinetika dilakukan setelah diperoleh kondisi optimum
aktivitas GDH-FAD. Parameter kinetika enzim GDH yang diimobilisasi
ditentukan dengan menggunakan persamaan Michaelis–Menten:
�=

���

���� [�−�������]

���

��

+[�−�������]

(1)
���

���
dengan ����
adalah respon arus maksimal yang terukur (apparent), �� adalah
konstanta Michaelis–Menten (apparent) dan [D-glukosa] adalah konsentrasi Dglukosa. Persamaan Michaelis-Menten yang diperoleh dibuat turunannya, yaitu
plot Lineweaver-Burk, Eadie-Hofstee dan Dixon. Prosedur pengukuran adalah
sama, namun pada uji kinetika ini, konsentrasi substrat GDH divariasikan, yaitu
dengan memvariasikan konsentrasi D-glukosa antara 0.00–35.00 mmol/mL.

11

Penentuan stabilitas elektrode (Trivadilla 2006)
Stabilitas elektrode ditentukan dari pengukuran aktivitas enzim GDH
setelah didapat kondisi optimum. Nilai aktivitas yang diperoleh pada pengukuran
awal dianggap 100%. Aktivitas diukur ulang pada setiap waktu tertentu dan
aktivitas yang tersisa.
Aktivitas enzim GDH (%) =

����� ��−� (µ�)

����� ���� (µ�)

Penentuan linearitas pengukuran (Harvey 2000)

� ���%

(2)

Penentuan konsentrasi linear ditetapkan melalui pengukuran larutan standar
D-glukosa pada kondisi optimum elektrode dan parameter instrumen pada
berbagai rentang konsentrasi. Arus puncak yang terbaca dialurkan terhadap
konsentrasi larutan standar untuk memperoleh kurva kalibrasi. Linearitas dan
daerah kerja diperoleh dari interpretasi kurva kalibrasi. Konsentrasi yang
memberikan hubungan linear adalah rentang konsentrasi kerja elektrode.
Hubungan yang linear dinyatakan dengan koefisien korelasi (r) yang mengikuti
persamaan:
∑ [(� −�̅ )(� −�� )]
� = [{∑ (� � �2 }{∑ (�� �)2 }]1/2
(3)


� −�̅ )



� −�

Dengan x i adalah konsentrasi larutan D-glukosa ke-i, �̅ adalah konsentrasi ratarata larutan D-glukosa, yi adalah arus puncak yang terukur pada konsentrasi
larutan D-glukosa ke-i dan �� adalah arus puncak rata-rata.

Penentuan limit deteksi pengukuran (Harvey 2000)

Limit deteksi ditentukan dengan melakukan pengukuran terhadap larutan Dglukosa dalam larutan elektrolit pendukung dengan rentang konsentrasi terkecil.
Limit deteksi (L D ) dihitung dengan persamaan:
�� =

3���


(4)

Dengan �� adalah simpangan baku dari intersep dan b adalah kemiringan
persamaan regresi.
Penentuan ketepatan pengukuran (Ermer dan Miller 2005)
Ketepatan pengukuran ditentukan dengan melakukan pengukuran terhadap
larutan glukosa dengan konsentrasi yang diketahui. Konsentrasi yang terukur
dihitung menggunakan persamaan kurva kalibrasi. Selanjutnya dihitung kesalahan
relatifnya menggunakan persamaan sebagai berikut:
�� =

�� −��
��

� 100%

(5)

12

Dengan ketentuan K r adalah kesalahan relatif, x i adalah nilai hasil pengukuran
dan x t adalah nilai sesungguhnya.
Sementara persen perolehan kembali ditentukan dengan persamaan berikut:
����� �������

������ ������ℎ�� ������� = ����� ���������� � 100%

(6)

Penentuan keterulangan pengukuran (AOAC 2002)
Keterulangan pengukuran ditentukan dengan melakukan pengukuran pada
larutan glukosa pada konsentrasi optimum selama 10 kali, kemudian dihitung
simpangan baku (S B ) menggunakan persamaan berikut:
�� = �

∑�(��− �̅ )2 1/2
(�−1)



(7)

� 100%

(8)

Sementara persen koefisien variasi (%KV) dihitung dengan persamaan berikut:
%�� =

��
�̅

Hasil perhitungan menunjukkan kesalahan pengukuran arus.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengondisian Zeolit Alam
Pengondisian zeolit alam bertujuan membersihkan pengotor yang terikat
pada zeolit alam. Pada penelitian ini zeolit dikondisikan secara basa, kemudian
ditentukan nilai KTKnya. Setelah dikondisikan secara basa terjadi peningkatan
nilai KTK zeolit, yaitu dari 60.89 mek/100g menjadi 91.34 mek/100g. Hasil ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Arif (2011) yang menyebutkan bahwa
perlakuan basa akan semakin meningkatkan nilai KTK karena dengan perlakuan
basa, permukaan dari zeolit akan berubah menjadi semakin negatif. Nilai KTK
yang semakin tinggi mengindikasikan zeolit semakin bersifat hidrofilik sehingga
baik digunakan sebagai matriks pengimobilisasi enzim.

Pembuatan Nanopartikel Zeolit Alam (NPZ)
Nanopartikel zeolit alam (NPZ) dibuat dengan metode top down
(memperkecil material yang besar secara langsung) dengan cara penggilingan
menggunakan alat planetary ball mill (PBM) secara basah (wet milling)
menggunakan metanol dan ammonium serium sulfat sebagai grinding agent.

13

f (%)

Partikel yang dihasilkan dari proses penggilingan ini terlihat lebih halus
dikarenakan pada proses penggilingan dengan alat PBM, sampel ditumbukkan dengan
bola penggiling dalam botol penggiling yang diletakkan di atas pergerakan rotasi
yang disebut dengan gaya Corioli. Perbedaan kecepatan antara bola dan botol
penggiling menghasilkan interaksi antara gaya gesek dan tekan yang melepaskan
energi dinamik yang tinggi. Perbedaan gaya inilah yang menghasilkan tingkat
pengecilan ukuran yang tinggi dan efektif. Namun, partikel yang dihasilkan dari
proses penggilingan ini masih teraglomerasi sehingga perlu diultrasonikasi agar
dalam penentuan ukuran partikel diperoleh nilai yang sesungguhnya.
Ultrasonikasi menghasilkan gelombang tekanan rendah dan tekanan tinggi yang
saling bertukar dalam cairan, sehingga dapat memecah gumpalan dari ukuran
bahan mikro dan nano (Fuchs diacu dalam Wahyudi et al. 2011). Setelah
diultrasonikasi, partikel diukur menggunakan alat PSA dengan hasil disajikan
pada Gambar 3 berikut.

40,0
30,0
20,0
10,0
0,0

70,0 77,3
85,4 94,3
d (nm)
Gambar 3 Distribusi frekuensi ukuran NPZ
Gambar 3 memperlihatkan terbentuk 4 puncak dengan ukuran diameter
partikel yang berbeda-beda. Frekuensi tertinggi adalah partikel berdiameter 70.0
nm yaitu sebesar 38.7%, sementara frekuensi terendah yaitu 6.9% adalah partikel
yang memiliki diameter 94.3 nm. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran nano
partikel yang terbentuk tidak seragam. Artinya, pada proses ultrasonikasi,
penguraian partikel-partikel zeolit yang teraglomerasi tidak terjadi secara merata.
Selain itu, disebabkan oleh keterbatasan alat PSA yang digunakan. PSA yang
digunakan tidak bisa mengukur sampel berbentuk padatan, sehingga zeolit
dilarutkan terlebih dahulu dalam etanol sebelum diukur, sementara zeolit
merupakan padatan yang sulit terdispersi dalam pelarut sehingga hasil PSA
memperlihatkan distribusi yang tidak seragam. Ukuran nanopartikel zeolit pada
penelitian ini masih lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang
diperoleh Wahyudi et al. (2010) yang berhasil mensintesis nanopartikel zeolit
berdiameter sebesar 42.1 nm dengan menggunakan metode yang sama. Perbedaan
hasil ini disebabkan oleh penggunaan grinding agent yang berbeda. Grinding
agent merupakan material yang memiliki sifat keras dan abrasif sehingga
membantu proses penggilingan menjadi lebih efektif (Varma 1991). Grinding
agent yang digunakan dalam penelitian ini adalah ammonium serium sulfat,
sedangkan penelitian yang dilakukan Wahyudi et al. (2010) menggunakan
ammonium serium nitrat. Ammonium serium nitrat bersifat lebih keras dan

14

abrasif dibandingkan ammonium serium sulfat sehinggga proses penggilingan
menggunakan ammonium serium nitrat menjadi lebih efektif.

Skrining Faktor menggunakan Desain Fractional Factorial (FF)
Desain FF digunakan untuk menskrining variabel bebas (faktor) yang
berpengaruh signifikan pada respon yang dipengaruhi oleh banyak faktor.
Terdapat 4 faktor yang berpengaruh dalam aktivitas enzim pada elektrode enzim
tanpa NPZ, yaitu pH (X 1 ), konsentrasi glukosa (X 2 ), konsentrasi kalium
ferisianida (X 3 ) dan konsentrasi FAD (X 4 ). Sedangkan, pada elektrode enzim
dengan NPZ faktor yang berpengaruh dalam aktivitas enzim adalah pH (X 1 ),
konsentrasi glukosa (X 2 ), konsentrasi ferisianida (X 3 ), konsentrasi FAD (X 4 ), dan
konsentrasi zeolit (X 5 ). Hasil eksperimen diolah dengan minitab dan output hasil
eksperimen untuk elektrode enzim tanpa NPZ dan dengan NPZ disajikan pada
Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1 Output minitab estimasi pengaruh variabel bebas terhadap respon pada
elektrode enzim tanpa NPZ
Term
Coef
T
Constant
12.54
14.31
X1
-1.15
-1.32
X2
1.65
1.88
X3
7.45
8.51
X4
-2.37
-2.70
S = 3.51 R-Sq = 91.87% R-Sq(adj) = 84.76%

P
0.00
0.22
0.09
0.00
0.03

Tabel 2 Output minitab estimasi pengaruh variabel bebas terhadap respon pada
elektrode enzim dengan NPZ
Term
Coef
T
P
Constant
13.52
14.54
0.00
X1
0.63
0.67
0.51
X2
-0.01
-0.01
0.99
X3
10.07
10.83
0.00
X4
-0.001
-0.00
0.99
X5
4.59
4.93
0.00
S = 5.26 R-Sq = 90.80% R-Sq(adj) = 82.20%
Tabel 1 memperlihatkan bahwa faktor yang berpengaruh signifikan dalam
meningkatkan respon (arus) pada elektrode enzim tanpa NPZ yang ditunjukkan
dengan P value < 0.05 adalah konsentrasi ferisianida (0.00) dan konsentrasi FAD
(0.027). Sementara pada elektrode enzim dengan NPZ, faktor yang berpengaruh
signifikan dalam meningkatkan arus adalah konsentrasi ferisianida dan
konsentrasi zeolit dengan P value sama-sama 0.00 (Tabel 2).

15

Optimasi Respon menggunakan RSM.
Setelah diperoleh faktor yang berpengaruh signifikan terhadap respon, maka
faktor tersebut dioptimasi menggunakan metode RSM. RSM merupakan
himpunan metode-metode matematika dan statistika yang bertujuan
mengoptimalkan respon (Montgomery 2001). Kelebihan dari optimasi
menggunakan RSM dibandingkan dengan konvensional adalah RSM dapat
mengoptimasi faktor dengan melihat hubungan antar sesama faktor dengan respon
dalam waktu bersamaan. Hasil optimasi aktivitas enzim GDH pada elektrode
enzim tanpa NPZ diperlihatkan pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Sementara
output minitab estimasi koefisien persamaan model elektrode enzim tanpa NPZ
ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Output minitab estimasi koefisien persamaan model elektrode enzim
tanpa NPZ
Term
Constant
X3
X4
X32
X42
X 3 .X 4

Coef
8.93
4.12
0.41
0.6