Dampak Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

DAMPAK PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG
HALIMUN SALAK TERHADAP SISTEM PENGHIDUPAN
MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA

KASFY ALLAMA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Penetapan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap Sistem Penghidupan
Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Kasfy Allama
NIM I34100107

ABSTRAK
KASFY ALLAMA. Dampak Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya. Di bawah
bimbingan RILUS A. KINSENG.
Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya dihadapkan pada perubahan fungsi
kawasan hutan yang merupakan sumber hidup mereka. Hutan yang telah
dimanfaatkan bertahun-tahun dalam status hutan produksi berubah menjadi hutan
konservasi yang menyebabkan aktivitas manusia di dalamnya terbatas. Hal
tersebut menyebabkan perubahan akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap hutan adat. Meski demikian, aktivitas nafkah dan pendapatan rumah
tangga tidak terlalu dipengaruhi oleh penetapan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (TNGHS). Selain itu, sebagian besar masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
bersikap netral terhadap penetapan TNGHS. Terdapat hubungan negatif yang
cukup signifikan antara sikap dan status kepemilikan lahan garapan. Sebaliknya,

terdapat hubungan positif yang lemah antara sikap dan luas lahan garapan. Selain
itu, sikap dan pendapatan rumah tangga memiliki hubungan positif yang lemah.
Kata kunci: Kasepuhan, masyarakat adat, sistem penghidupan, taman nasional

ABSTRACT
KASFY ALLAMA. Gunung Halimun Salak National Park’s Determination
Impact to Kasepuhan Cipta Mulya People’s Livelihood System. Supervised by
RILUS A. KINSENG.
Kasepuhan Cipta Mulya people faced change of forest function which is
their life source. Forest that they use for many years in production forest status
changed into conservation forest that limiting human activity inside. That point
caused change of Kasepuhan Cipta Mulya people’s access of customary forest.
Otherwise, households’ livelihood activity and income not too affected by
determination of Gunung Halimun Salak National Park (TNGHS). Moreover,
most of Kasepuhan Cipta Mulya people have neutral attitude about TNGHS’
determination. There is moderate significant correlation between attitude and
owning status of used land. Otherwise, there is weak positive correlation between
attitude and amount of used land. Moreover, attitude and households’ income
have weak positive correlation.
Keywords: Kasepuhan, indigenous people, livelihood system, national park


DAMPAK PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG
HALIMUN SALAK TERHADAP SISTEM PENGHIDUPAN
MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA

KASFY ALLAMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Dampak Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun

Salak terhadap Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
Nama
: Kasfy Allama
NIM
: I34100107

Disetujui oleh

Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Slaipsi : Dampak Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak terhadap Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

: Kasfy Allama
Nama
:134100107
NIM

Disetujui oleh

Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA
Pembimbing

Tanggal Lulus:

24

JAN R PQ@ セ@

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang dilimpahkanNya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak
Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap Sistem Penghidupan
Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya” dengan baik. Skripsi ini dibuat oleh penulis

untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini dapat terselesaikan secara baik dengan bantuan berbagai pihak.
Karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Rilus A. Kinseng,
MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberi
masukan hingga penulisan penulisan skripsi selesai. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada ayahanda Muhammad Kalamy dan ibunda Meuthia Helma
serta adik-adik Hedra Billady, Kaifa Nurussama, dan Isykariman Hanif yang telah
memberikan doa dan dukungan kepada penulis. Selain itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada Intan Permata Sari (KPM 47) dan Ade Mulya Syakirin (SVK
47) yang telah bersedia membantu penulis dalam mengumpulkan data penelitian.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman KPM 47
lainnya terutama Luphita Angelie, Sri Wulan Rahmawati, dan Rosalita yang telah
memberikan semangat, dukungan, dan kebersamaan kepada penulis selama di
KPM serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi hingga
selesai.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2014
Kasfy Allama


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Taman Nasional sebagai Kawasan Konservasi
Masyarakat Adat di Dalam dan Sekitar Hutan Konservasi
Perubahan Rezim Kepemilikan SDA
Perubahan Sistem Penghidupan Masyarakat di Dalam dan Sekitar
Hutan
Sikap Masyarakat Adat di Kawasan Hutan terhadap Perluasan Taman
Nasional


vi
vii
vii
1
1
3
4
4
5
5
5
6
7
8

Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANGAN
Lokasi dan Waktu Penelitian

Pendekatan Penelitian
Teknik Penentuan Responden
Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN DAN
RESPONDEN

11
13
13
17
17
18
18
18
21

KARAKTERISTIK

11


Profil Desa Sirnaresmi
Profil Kasepuhan Cipta Mulya
Karakteristik Responden
PERUBAHAN AKSES MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA
Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya sebelum Penetapan
TNGHS
Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya setelah Penetapan TNGHS
PERUBAHAN AKTIVITAS NAFKAH DAN PENDAPATAN RUMAH
TANGGA MASYARAKAT CIPTA MULYA

21
23
25
29
25

Aktivitas Nafkah dan Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Kasepuhan

38


30
37

ii
Cipta Mulya sebelum Penetapan TNGHS
Aktivitas Nafkah dan Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Kasepuhan
Cipta Mulya setelah Penetapan TNGHS
SIKAP MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA TERHADAP
PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
Sikap Masyarakat
Hubungan Sikap Masyarakat dengan Status Kepemilikan Lahan Garapan
Hubungan Sikap Masyarakat dengan Luas Lahan Garapan
Hubungan Sikap Masyarakat dengan Tingkat Pendapatan Rumah
Tangga
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

44
51
51
52
53
54
55
57
63

DAFTAR TABEL
1
2
3

4
5
6
7
8
9
10
11

12

13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Bundle of Rights Associated with Positions (Ostrom dan Schlager
1992)
Timeline Pelaksanaan Penelitian
Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data Penelitian Dampak
Penetapan TNGHS terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya Tahun 2013
Luas Desa Sirnaresmi berdasarkan Penggunaannya Tahun 2013
Jumlah dan Persentase 1/4 Penduduk Desa Sirnaresmi berdasarkan
Tingkat Pendidikan Tahun 2013
Jumlah dan Persentase Sebagian Penduduk Desa Sirnaresmi
berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Usia Tahun
2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Tingkat
Pendidikan Tahun 2013
Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Responden berdasarkan Total
Anggota Rumah Tangga Tahun 2013
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kepemilikan
Lahan Garapan Tahun 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat
Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Sebelum
Penetapan TNGHS, 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat
Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Setelah Penetapan
TNGHS, 2013
Daftar Aktivitas Nafkah Rumah Tangga dan Upah Masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya Tahun 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah
Tangga Pertanian Padi Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah
Tangga Pertanian Non Padi Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Non
Pertanian sebelum Penetapan TNGHS, 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Tingkat
Pendapatan Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Setelah Penetapan TNGHS, 2013
Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah
Tangga Pertanian Non Padi Setelah Penetapan TNGHS, 2013
Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah
Tangga Non Pertanian Setelah Penetapan TNGHS, 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Pendapatan Rumah
Tangga Setelah Penetapan TNGHS, 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Selisih Pendapatan

9
17
19

21
22
23
26
26
27
27
30

31

37
38
39
40
42
43
44
46
48
48
49

ii

24
25
26
27

Rumah Tangga Setelah dan Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap terhadap
TNGHS Tahun 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Status
Kepemilikan Lahan Garapan Tahun 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Luas
Lahan Garapan Tahun 2013
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Tingkat
Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2013

51
52
53
54

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4

5

Kerangka Pemikiran Penelitian
Struktur Kepengurusan Kasepuhan Cipta Mulya
Perbandingan Persentase Responden berdasarkan Tingkat Kemudahan
Akses terhadap Lahan Garapan Adat Sebelum dan Setelah Penetapan
TNGHS Tahun2013
Perbandingan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Tahun 2013
Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS Tahun 2013
Perbandingan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan Rumah
Tangga Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS Tahun 2013

12
24
32

45

49

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

6
7
8

Kuesioner Penelitian
Panduan Pertanyaan
Kerangka Sampling
Daftar Responden Penelitian
Hasil Korelasi Sikap dengan Status Kepemilikan Lahan Garapan,
Luas Lahan Garapan, dan Tingkat Pendapatan Rumah Tangga
menggunakan SPSS Statistics 17.0 for Windows
Dokumentasi Penelitian
Zonasi Indikatif TNGHS Tahun 2013
Zonasi TNGHS Tahun 2007

63
66
67
69
70

72
74
75

1

PENDAHULUAN
Bab pendahuluan berisi latar belakang, masalah penelitian, tujuan
penelitian, dan kegunaan penelitian.Latar belakang berisi fakta-fakta yang
memperkuat alasan pemilihan topik penelitian.Masalah penelitian memuat
beberapa poin yang perlu dikaji dan tujuan menggambarkan maksud penulisan
dengan berlandaskan pada masalah penelitian.Kegunaan penelitian menjelaskan
kontribusi penelitian yang dilakukan bagi berbagai pihak yang
membacanya.Berikut penjelasan dari poin-poin tersebut.

Latar Belakang
Sektor kehutanan di Indonesia mengalami perubahan seiring berjalannya
waktu. Perubahan tersebut mencakup perubahan fisik hingga sistem pengelolaan
hutan. Perubahan fisik hutan terlihat dari fluktuasi luas tutupan hutan Indonesia.
Tutupan hutan Indonesia tahun 1950 memiliki luas 162 juta ha namun berkurang
menjadi 119 juta ha pada tahun 1985, 95 juta ha pada 1997, bertambah menjadi
103.33 juta ha pada tahun 2000, dan 88.17 juta ha pada 2009, dengan laju
deforestasi Indonesia periode 2000-2009 mencapai 1.51 juta ha/tahun (FWI 2011).
Berdasarkan SK penunjukan kawasan hutan dan perairan hingga
November 2012, kawasan hutan Indonesia tercatat memiliki luas 134 290 240.94
ha, dengan rincian: 1) Hutan Konservasi: 27 086 910.23 ha; 2) Hutan Lindung: 30
539 823.36 ha, dan 3) Hutan Produksi: 76 663 507.34 ha (Kemenhut 2012). Hal
yang perlu diingat adalah bahwa luasan tersebut bukan hanya mencakup tutupan
hutan tetapi juga termasuk kawasan yang tidak ditanami pohon seperti lahan
terbuka, enclave pemukiman warga, pertanian lahan kering, dan peruntukkan
lainnya.Angka tersebut belum bisa merefleksikan perbaikan kondisi hutan di
Indonesia.
Kondisi hutan yang semakin mengkhawatirkan sebenarnya merupakan
salah satu implikasi dari pengelolaan hutan yang kurang memperhatikan
keberlanjutan. Bermula dari kebijakan domein verklaring yang diintroduksikan
oleh Belanda dan kemudian diadopsi sebagai pedoman pengelolaan sumber daya
alam di Indonesia (Ansori et al.2011), pengelolaan hutan menjadi terpusat pada
pemerintah.Adopsi kebijakan domein verklaring tercermin dalam UUD 1945
Pasal 33 (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.Negara, dalam hal ini merujuk pada pemerintah, memiliki
kuasa yang sangat besar dalam pengelolaan sumber daya alam.Terkait
pengelolaan hutan, Negara membentuk Perum Perhutani untuk menjalankan
fungsi hutan lindung dan produksi.
Kondisi hutan Indonesia semakin memburuk pada rezim orde baru yang
mengedepankan pertumbuhan ekonomi.Sektor kehutanan turut terintegrasi pada
sistem kapitalis.Konversi lahan hutan secara gencar dilakukan untuk peningkatan
pendapatan negara hingga pada krisis moneter 1997-1998 kondisi hutan semakin
parah.Akumulasi kegeraman masyarakat terhadap rezim orde baru menyebabkan
terjadinya gerakan terorganisasi yang melahirkan era reformasi. Banyak
masyarakat merasa memiliki hak yang sama untuk dapat mengelola hutan

2
sehingga melakukan pemanfaatan sumber daya hutan yang dikelola Perhutani
(Ginoga dan Erwidodo 2001).
Seiring dengan jatuhnya rezim orde baru, terbit SK Menteri Kehutanan
No. 677/1998 yang merupakan revisi dari SK No. 622/1995 mengenai hutan
kemasyarakatan.Peraturan ini memperluas kesempatan masyarakat lokal untuk
memperoleh manfaat dari kawasan hutan negara yang ditetapkan sebagai hutan
kemasyarakatan (Wrangham 2003).Kondisi yang tidak stabil setelah reformasi
kemudian membawa inisiatif desentralisasi pengelolaan SDA. Dimulai dari
dikeluarkannya UU No. 22/1999 mengenai otonomi daerah pengelolaan SDA
tergolong ranah tugas pemerintah daerah namun juga merupakan ranah tugas
pemerintah pusat yang diwujudkan oleh peruntukan lain dalam undang-undang
tersebut. Pemerintah pusat seolah masih belum percaya sepenuhnya kepada
pemerintah daerah sehingga Perhutani masih diberi kewenangan dalam
pengelolaan hutan.
Peraturan penting lainnya yang berkaitan dengan kehutanan era reformasi
yakni UU No. 41/1999. Pasal 5 undang-undang tersebut menjelaskan bahwa
berdasarkan status kepemilikan yang melekat di atasnya, hutan terbagi menjadi
dua, yakni hutan negara (yang tidak dibebani hak milik) dan hutan hak (dibebani
hak milik). Berkaitan dengan hal ini, Negara mengakui adanya hutan adat sebagai
tempat kehidupan masyarakat lokal yang hidup berlandaskan adat namun hutan
adat tersebut masih tergolong hutan negara sehingga Negara berwenang mengakui
atau mencabut status masyarakat adat dan hutan adat (Wrangham 2003).Selain itu,
hak masyarakat adat hanya diberikan sejauh tidak bertentangan dengan prioritas
nasional (Wrangham 2003).Peraturan-peraturan mengenai hutan adat tersebut
mengindikasikan kepercayaan pemerintah yang lemah terhadap masyarakat adat.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah megeluarkan UU No. 32/2004
tentang pemerintahan daerah sebagai revisi UU No. 22/1999. Undang-undang
tersebut menyatakan bahwa pemerintahan daerah dilandaskan prinsip otonomi
seluas-luasnya sehingga beberapa hal termasuk pendayagunaan sumber daya alam
menjadi ranah tugas pemerintah daerah.Meski demikian, pelaksanaan UU No.
41/1999 tetap saja masih dilandaskan pada UU No. 22/1999.Selanjutnya pada
tahun 2012 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No. 35/PUU-X/2012
yang merevisi beberapa poin dalam UU No. 41/1999.Perubahan-perubahan yang
tertulis dalam putusan tersebut menegaskan bahwa pemerintah telah sepenuhnya
mengakui hak ulayat masyarakat adat yang diakui keberadaannya.Dengan
demikian hutan adat tidak lagi berada di bawah kendali Negara.
Perubahan kawasan hutan sebagai sumber penghidupan masyarakat adat
memungkinkan terjadinya perubahan pada sistem penghidupan masyarakat
tersebut.Salah satu contoh perubahan kawasan hutan yang terjadi yaitu
penunjukkan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang disahkan
dalam SK Menteri Kehutanan RI No. 175/2003.Diterbitkannya SK tersebut
berimplikasi pada perluasan kawasan TNGH yang semula 40 000 ha menjadi
TNGHS seluas 113 357 ha (Hartono et al. 2007).Keputusan tersebut dibuat karena
terjadi degradasi hutan sebesar 52 persen selama tahun 1990-2001 saat kawasan
Koridor Halimun Salak masih berstatus hutan produksi yang dikelola Perum
Perhutani (Supriyanto et al. 2009).
Masyarakat adat yang ada pada kawasan TNGHS dikenal sebagai
masyarakat kasepuhan yang salah satunya yakni Kasepuhan Cipta Mulya.Hingga

3
saat ini belum ada peraturan daerah dan SK Bupati yang mengakui masyarakat
kasepuhan sebagai komunitas adat. Penetapan kawasan TNGHS diduga mengubah
sistem penghidupan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.Sistem penghidupan
didefinisikan Ellis (2000) sebagai kombinasi aset, aktivitas, dan akses yang
dibentuk individu atau rumah tangga untuk bertahan hidup. Perubahan sistem
penghidupan dapat dilihat dari perubahan akses terhadap lahan garapan adat,
aktivitas nafkah, dan tingkat pendapatan. Perubahan tersebut kemudian berpotensi
menimbulkan sikap negatif masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap
penetapan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Untuk itu, perlu
adanya identifikasi dampak penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
terhadap sistem penghidupan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.

Masalah Penelitian
Perkembangan sejarah Indonesia turut membawa perubahan terhadap
kebijakan terkait sumber daya alam khususnya hutan. Perubahan yang dirasa
sangat signifikan yakni semenjak berlakunya desentralisasi di Indonesia setelah
UU No. 22/1999 mengenai otonomi daerah diterbitkan. Kebijakan tersebut
mempengaruhi UU No.41/1999 yang diterbitkan setelahnya.Salah satu pasal UU
No.41/1999 memuat aturan mengenai hutan adat namun merefleksikan
pendelegasian hutan setengah hati pemerintah kepada masyarakat adat.
Sebenarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 41 telah mengalami perbaikan.
Masyarakat adat kini sudah mulai diakui eksistensi dan hak ulayatnya. Meski
demikian perlu diperhatikan bahwa penetapan TNGHS terjadi pada tahun 2003
yang berarti masih menggunakan UU No. 41/1999 dalam pengelolaan hutan.
Akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap lahan garapan adat
menjadi hal paling penting mengingat terdapat hubungan yang erat antara
masyarakat tersebut dengan hutan. Perluasan TNGH menjadi TNGHS
menyebabkan perubahan pada lahan garapan adat yang dapat diakses oleh
masyarakat. Dengan demikian perlu diteliti lebih lanjut bagaimana perubahan
yang
ditimbulkan
penetapan
TNGHS
terhadap
akses
lahan
garapanadatmasyarakat Kasepuhan Cipta Mulya?
Dalam sistem penghidupan suatu masyarakat, akses, aset, dan aktivitas
menjadi hal yang krusial. Ellis menyebutkan ketiga hal tersebut sebagai kesatuan
yang membentuk sistem penghidupan. Penetapan kawasan TNGHS yang
mengubah akses terhadap lahan garapan berimplikasi pada berubahnya aktivitas
nafkah yang dilakukan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.Kombinasi atau
modifikasi aktivitas nafkah kemudian dapat membentuk strategi nafkah rumah
tangga. Pendapatan rumah tangga yang merupakan hasil aktivitas nafkah dapat
dimungkinkan turut mengalami perubahan. Untuk itu, perlu dikaji lebih
mendalam bagaimana perubahan yang ditimbulkan penetapan TNGHS
terhadap aktivitas nafkah dan tingkat pendapatan rumah tangga
masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya?
Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat penetapan kawasan TNGHS
perlahan-lahan akan membentuk sikap masyarakat terhadap keputusam penetapan
tersebut. Sikap dapat dipengaruhi oleh penguasaan dan kepemilikan lahan garapan
serta pendapatan rumah tangga yang diperoleh. Dengan demikian, perlu ditelusuri

4
lebih lanjut bagaimana sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap
penetapan TNGHS?

Tujuan
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak penetapan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap sistem penghidupan masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya. Tujuan utama tersebut akan dijawab melalui tujuantujuan khusus penelitian:
1. Mengidentifikasi perubahan yang ditimbulkan penetapan TNGHS terhadap
akses lahan garapan adat masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis perubahan yang ditimbulkan penetapan
TNGHS terhadap aktivitas nafkah dan pendapatan rumah tangga masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap penetapan TNGHS.

Kegunaan Penelitian
Secara umum hasil studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
terhadap pengembangan ilmu sosial yang berkaitan dengan perubahan sosial
khususnya mengenai dampak kebijakan penetapan taman nasional terhadap sistem
penghidupan masyarakat adat. Dengan adanya studi ini diharapkan pemerintah
lebih mempertimbangkan dampak dari kebijakan-kebijakan yang akan dan telah
dibuat khususnya terkait penghidupan masyarakat adat. Secara lebih khusus, hasil
penelitian yang akan dilakukan diharapkan mampu menggambarkan sistem
penghidupan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya sebagai akibat dari kebijakan
perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak serta dapat menambah
kepekaan pembaca terhadap posisi dan kondisi masyarakat adat.

5

PENDEKATAN TEORITIS
Pendekatan teoritis memuat beberapa poin yakni tinjauan pustaka,
kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, dan definisi operasional. Tinjauan
pustaka berisi teori-teori serta hasil penelitian sebelumnya yang digunakan
sebagai landasan analisis penelitian.Kerangka pemikiran membentuk alur pikir
penelitian berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan. Hipotesis merupakan
dugaan sementara sebelum dilakukan penelitian dan definisi operasional memuat
penjelasan variabel-variabel penelitian secara terperinci. Berikut penjelasan
mengenai keempat poin tersebut.

Tinjauan Pustaka
Taman Nasional sebagai Kawasan Konservasi
Taman nasional merupakan salah satu upaya konservasi yang pertama kali
diinisiasi oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Menurut
IUCN dalam Dudley (2008) taman nasional digolongkan dalam kawasan
perlindungan kategori 2 dan didefinisikan sebagai:
…large natural or near natural areas set aside to protect largescale ecological processes, along with the complement of species
and ecosystems characteristic of the area, which also provide a
foundation for environmentally and culturally compatible spiritual,
scientific, educational, recreational and visitor opportunities
(IUCN dalam Dudley 2008).
Indonesia turut mengadopsi taman nasional sebagai salah satu upaya
konservasi sumber daya hayati. Definisi lain mengenai taman nasional tertuang
dalam pasal 1 Undang-undang No. 5/1990:
…kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi (UU No. 5/1990).
Definisi taman nasional dalam undang-undang tersebut disempurnakan
oleh kementerian kehutanan dalam bentuk Peraturan Menteri Kehutanan No. P.
56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Melalui permenhut
tersebut pemerintah menegaskan bahwa kawasan pelestarian alam yang dimaksud
dapat berupa daratan maupun perairan. Selain itu, ditambahkan pula bahwa selain
keenam tujuan yang telah disebutkan, taman nasional juga bertujuan untuk
menunjang budaya.
Definisi-definisi tersebut menjelaskan fungsi taman nasional yang tidak
hanya berperan memelihara ekosistem tetapi juga untuk kepentingan lain.
Pemeliharaan taman nasional perlu melibatkan banyak pihak karena turut
dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

6
Terdapat 4 zona dalam taman nasional yaitu zona inti, zona rimba, zona
pemanfaatan, dan zona lain yang mencakup zona tradisional; zona rehabilitasi;
zona religi, budaya, dan sejarah; dan zona khusus (Permenhut No. P. 56/MenhutII/2006). Taman nasional sebagai kawasan konservasi lebih terfokus pada
kelestarian ekologi, seperti yang dinyatakan Ngadiono (2004):
Pengelolaan kawasan hutan konservasi terutama tertuju pada aspek
kelestarian ekologis, sementara aspek kelestarian fungsi ekonomi
dan fungsi sosial kurang diperhatikan…(Ngadiono 2004).
Disebutkan pula oleh Ngadiono (2004) bahwa hutan konservasi tidak akan
lestari tanpa kombinasi ketiga pilar pembangunan kehutanan yang berkelanjutan
(pilar ekologi, ekonomi, dan sosial). Ditinjau dari aspek ekonomi, hutan
konservasi dipandang sebagai beban karena tidak mendatangkan keuntungan yang
mampu menutup biaya konservasi yang diperlukan (Ngadiono 2004). Dari sisi
sosial, Sriyanto dan Sudibjo (2005) dalam Putro et al. (2012) menyatakan bahwa
pengelolaan taman nasional masih menghadapi masalah berupa konflik yang
beberapa di antaranya terkait dengan masyarakat lokal di dalam dan sekitar hutan.

Masyarakat Adat di Dalam dan Sekitar Hutan Konservasi
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Kongres Masyarakat
Adat Nusantara (KMAN) I tahun 1999 yang dikutip oleh Nababan (2013)
mendefinisikan masyarakat adat sebagai:
…komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur
secara turun temurun di atas suatu wilayah adat yang memiliki
kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya,
yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan hidup masyarakatnya (AMAN dalam Nababan
2013).
Masyarakat adat sering juga disebut orang asli atau indigenous people.
Terkait dengan istilah tersebut, Martinez Cobo berdasarkan studi lapangnya
mendefinisikan:
Indigenous communities, peoples and nations are those which,
having a historical continuity with pre-invasion and pre-colonial
societies that developed on their territories, consider themselves
distinct from other sectors of the society and are determined to
preserve, develop and transmit to future generations their
ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of their
continue existence as peoples, in accordance with their own
cultural patterns, social institutions and legal system (Cobo dalam
UN 2009).

7
Kedua definisi tersebut mencerminkan pola kehidupan masyarakat adat
yang telah turun temurun bergantung terhadap sumber daya alam. Masyarakat
adat memiliki identitas khas yang diwujudkan dalam etnik, pola budaya,
kelembagaan lokal, dan hukum adat. Terkait dengan konteks hutan, Colchester et
al. (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara
masyarakat adat dengan hutan. Keeratan hubungan tersebut ditunjukkan dengan
penggunaan sumber daya hutan dalam berbagai aktivitas dilengkapi dengan
pengaturan akses dan penggunaan hutan yang diatur dalam hukum adat.
Selain itu dalam penelitian yang dilakukan Rahayu (2004) menunjukkan
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memaknai hutan secara ekonomis,
sosiologis, psikologis, serta adat dan budaya. Makna hutan tersebut kemudian
mempengaruhi tindak pengelolaan hutan yang dilakukan.
Colchester et al. (2003) mempertegas posisi penting hutan bagi
masyarakat melalui data komposisi masyarakat adat di dalam dan sekitar hutan.
…areas classified as forests in Indonesia occupy some 70% of the
national territory and are variously estimated to be inhabited by
between 40 and 95 million people, of whom approximately 40-65
million are long-term residents living in communities governed to
various extents by custom (Colchesteret al. 2003).
Paragraf di atas menyatakan peramalan terhadap komposisi masyarakat
adat di dalam dan sekitar hutan. Disebutkan bahwa sebagian besar masyarakat
yang hidup di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat adat. Dengan
demikian, pengelolaan hutan di Indonesia perlu memperhatikan kepentingan
masyarakat, terutama masyarakat adat yang memiliki hubungan yang sangat erat
dengan sumber daya alam.

Perubahan Rezim Kepemilikan Sumber Daya Hutan
Hutan tergolong Common property, yakni sumber daya yang sulit untuk
dieksklusi sehingga dapat dimanfaatkan secara bebas oleh berbagai pihak (Feeny
et al. 1990). Menurut Feeny et al. (1990) terdapat empat rezim kepemilikan
sumber daya alam: 1) open access, 2) private property, 3) communal property, 4)
state property. Sumber daya alam yang tergolong open access dapat dimanfaatkan
secara bebas oleh siapa saja karena tidak ada regulasi yang mengikat (Feeny et al.
1990). Bertentangan dengan hal itu, pada ketiga rezim lainnya terdapat pihak yang
memiliki hak untuk membatasi orang lain dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Private property (kepemilikan pribadi) mengindikasikan hak yang dimiliki
individu atau sekelompok individu (biasanya perusahaan) untuk membatasi pihak
lain dalam pemanfaatan sumber daya. Hak yang dimiliki oleh individu atau
sekelompok individu tersebut telah dilegalisasi oleh pemerintah. Sumber daya
alam yang tergolong communal property secara eksklusif dimanfaatkan oleh
kelompok tertentu. Kelompok tersebut dapat membatasi pemanfaatan sumber
daya alam oleh pihak lain yang bukan anggota kelompoknya. Communal property
dapat diakui secara de jure oleh pemerintah namun dalam beberapa kasus
communal property hanya sebatas penguasaan secara de facto (Feeny et al. 1990)

8
Sumber daya alam yang tergolong state property (kepemilikan negara)
mengindikasikan hak negara untuk mengatur dan mengelola sumber daya demi
kepentingan publik. Setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam
pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Pengelolaan state property diatur dalam
regulasi pemerintah yang bersifat koersif (Feeny et al. 1990)
Pengelolaan sumber daya yang tergolong common property sering
mengalami kendala, salah satunya yakni tragedy of the common yang
diungkapkan oleh Garrett Hardin. Menurut Hardin (1968), sumber daya bersama
seperti laut dan hutan berpotensi mengalami degradasi akibat pemanfaatan secara
bebas tanpa ada pengaturan yang membatasi penggunaan sumber daya tersebut.
Solusi yang menurut Hardin (1968) dapat menyelesaikan masalah tersebut yakni
privatisasi dan pengelolaan oleh negara namun rupanya jutsru menimbulkan
konflik.
Ketika sejumlah sumber daya diprivatisasi (biasanya oleh perusahaan) atau
dinyatakan sebagai milik negara secara otomatis telah terjadi peningkatan
kemampuan eksklusi dan pembatasan pemanfaatan SD. Perusahaan atau negara
yang sah secara hukum memiliki suatu SDA berhak membatasi pihak lain dalam
memasuki dan memanfaatkan SDA tersebut. Pembatasan mengakibatkan pihak
lain yang biasanya memenuhi kebutuhan hidup dari SDA tersebut menjadi tidak
mampu memanfaatkannya karena tidak mempunyai hak.
Menurut Adiwibowo (2012) terjadi perubahan rezim pengelolaan sumber
daya alam sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia. Sebelum merdeka,
sumber daya alam di Indonesia diatur dan dikelola sendiri oleh kelompok
masyarakat sehingga tergolong communal property. Setelah kemerdekaan, secara
de jure sumber daya alam yang tidak dibebani hak milik tergolong state property
namun secara de facto kelompok masyarakat masih menguasai sumber daya alam
tersebut dengan berlandaskan kelembagaan non formal. Hal tersebut
mengakibatkan sumber daya alam yang sebenarnya merupakan milik pemerintah
terkesan open access.

Perubahan Sistem Penghidupan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan
Chambers dan Conway (1992) mendefiniskan sistem penghidupan sebagai
“...the capabilities, assets (stores, resources, claims and access) and activities
required for a means of living;…”. Definisi aset (modal) yang dinyatakan oleh
Conway mencakup sumber daya (alam, fisik, manusia, keuangan, dan sosial),
klaim, dan akses.Selain itu Chambers dan Conway (1992) turut melibatkan
kemampuan (capability) sebagai komponen sistem penghidupan.
Memodifikasi definisi Chambers dan Conway (1992), Ellis (2000)
menyatakan definisi sistem penghidupan sebagai “...the assets (natural, physical,
human, financial, and social capital), the activities, and the accessto these
(mediated by institutions and social relations) that together determine the living
gained by the individual or household”. Namun dalam definisi ini, Ellis
memfokuskan definisi aset Chambers dan Conway pada pembagian aset (modal)
menjadi 5 macam: 1) modal alam, 2) modal fisik, 3) modal manusia, 4) modal
keuangan, dan 5) modal sosial. Ellis mengeluarkan akses dan klaim dari cakupan
aset sehingga aset terpisah dari akses.

9
Definisi akses yang dimaksud Ellis merujuk pada Scoones (1998) yang
menyatakan bahwa akses merupakan kemampuan untuk memiliki, mengontrol,
mengklaim, dan menggunakan sumber daya.Ditambahkan pula bahwa akses
mencakup kemampuan berpartisipasi dan menerima manfaat pelayanan
publik.Sementara itu Ribot dan Peluso (2003) menekankan bahwa akses berbeda
dengan hak, yakni kemampuan untuk mengambil manfaat dari sesuatu, mencakup
objek material, orang, institusi, dan simbol. Terkait dengan pemanfaatan sumber
daya alam, khususnya hutan, masyarakat Nuaulu yang sejak lama dikenal sebagai
masyarakat pegunungan dapat dengan mudah mengambil manfaat dari sumber
daya hutan di teritorinya (Ellen 2002).
Berbeda dengan definisi yang diungkapkan Ribot dan Pelluso, Ostrrom
dan Schlager (1992) mendefinisikan akses sebagai “…the right to enter a defined
physical property.” Meski demikian, Ostrom dan Schlager mengkombinasikan
hak akses dengan hak pemanfaatan dalam bundle of rights associated with
positions.
Tabel 1 Bundle of Rights Associated with Positions

Sumber: Ostrom dan Schlager (1992)

Sehubungan dengan modal sosial, Ostrom dan Ahn (2003) menyatakan
tiga bentuk modal sosial: 1) trustworthiness (saling percaya), 2) networks
(jejaring), dan 3) formal and informal rules or institution (aturan atau
kelembagaan formal dan informal). Terkait dengan kelembagaan, Soekanto
(1982) mendefinisikannya sebagai “himpunan norma-norma segala tingkatan yang
berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat”.
Tingkatan-tingkatan norma terdiri dari: 1) cara (usage), 2) kebiasaan (folkways),
tata kelakuan (mores), dan adat-istiadat (customs). Masyarakat adat identik
dengan tingkatan norma keempat (adat-istiadat/customs). Contohnya saja upacara
adat pedarak dan gawai pada masyarakat Dayak Iban Sungai Utik (Rahmawati
2013)
Masyarakat adat yang bepola hidup tradisional umumnya melakukan
aktivitas nafkah di bidang pertanian. Meski demikian, tidak menutup
kemungkinan masyarakat adat melakukan strategi nafkah yang didefinisikan oleh
Dharmawan (2007) sebagai taktik individu atau kelompok dalam upaya bertahan
hidup dengan mempertimbangkan infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem
nilai budaya yang berlaku. Scoones (1998) membagi strategi nafkah ke dalam tiga
aktivitas: 1) intensifikasi dan ekstentifikasi pertanian, 2) pola nafkah ganda, dan 3)
migrasi. Dengan demikian, dalam melaksanakan taktik bertahan hidup,
masyarakat dapat memodifikasi aktivitas nafkah dengan bermigrasi atau
melakukan intensifikasi dan ekstentifikasi pertanian dan/atau mengkombinasikan

10
beberapa aktivitas nafkah (melakukan pola nafkah ganda). Terkait dengan hal
tersebut, penelitian Niswah (2011) menunjukkan bahwa baik sebelum maupun
sesudah perluasan TNGHS, pola nafkah ganda tetap dominan di masyarakat
Kasepuhan Sinar Resmi, Kampung Cimapag.
Penelitian Ginoga dan Erwidodo (2001), Ellen (2002) Sylviani (2008),
Sylviani dan Sakuntaladewi (2010), serta Khalil (2009) menunjukkan bahwa
terjadi perubahan upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat termasuk mata
pencarian masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sylviani (2008) turut
menambahkan bahwa terjadi perubahan akses dan pemanfaatan sumber daya
hutan oleh masyarakat.
Masyarakat adat menggunakan cara-cara tradisional dalam hal pengelolaan
sumber daya alam yang sudah terlembaga secara turun temurun (Ellen 2002;
Niswah 2011; Rahmawati 2013). Intervensi dari pihak luar menjadi faktor utama
penyebab perubahan sistem penghidupan masyarakat adat. Penelitian Sylviani
(2008), Niswah (2011), Dewi (2011), dan Rahmawati (2013) menunjukkan
perubahan penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan akibat alih fungsi
lahan hutan menjadi kawasan konservasi berupa taman nasional.
Pada salah satu kasus yang dibahas pada penelitian Sylviani (2008), yakni
di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi, terjadi ketidaksepahaman
antara Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dengan Pemerintah yang
mencanangkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas
(RPTNBD). Adanya kawasan TNBD diakui BKSDA sebagai wadah untuk
menjamin kelangsungan hidup Komunitas Adat Orang Rimba (KAOR).
Bertentangan dengan hal itu, terdapat implementasi aturan RPTNBD yang
memisahkan KAOR dari kawasan konservasi (Sylviani 2008). Hal ini tentunya
akan menyulitkan KAOR dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kasus di Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi yang diteliti oleh
Niswah (2011), Dewi (2011) dan Rahmawati (2013) menunjukkan perubahan
sistem penghidupan masyarakat kasepuhan akibat perluasan Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Penelitian Niswah (2011) menunjukkan
perubahan strategi nafkah masyarakat kasepuhan sedangkan Dewi (2011) lebih
terfokus pada strategi adaptasi kelembagaan lokal yang dilakukan masyarakat
kasepuhan. Selanjutnya Rahmawati (2013) mengulas dinamika sistem pertanian
yang pernah terjadi akibat revolusi hijau.
Ellen (2003) memaparkan perubahan yang terjadi pada masyarakat
Nuaulu, Kepulauan Seram akibat masuknya negara penjajah. Terintegasinya
Nuaulu dalam sistem dunia mengubah pola pengelolaan hutan. Masyarakat
Nuaulu menanam tanaman perdagangan dan tanaman komersil. Selain itu,
masyarakat Nuaulu tidak hanya memikirkan subsistensi tetapi juga keuntungan
dalam bentuk uang yang dapat diperoleh. Cara-cara inilah akhirnya merusak
kondisi ekologi setempat. Dengan kesadaran akan pentingnya hutan bagi
subsistensi, masyarakat Nuaulu kembali ke sistem penghidupan semula.

11
Sikap Masyarakat Adat di Kawasan Hutan terhadap Perluasan Taman
Nasional
Sikap didefinisikan oleh Zanden (1984) sebagai kecenderungan atau
predisposisi yang dipelajari dan relatif bertahan lama sebagai pengarah atau acuan
dalam mengevaluasi orang, peristiwa atau situasi. Kecenderungan ini akan
mempengaruhi tingkah laku seseorang terhadap hal yang dievaluasinya. Zanden
juga menyebutkan tiga komponen sikap yakni kognitif, afektif, dan perilaku.
Komponen kognitif dimaknai sebagai cara seseorang mempersepsikan sesuatu.
Komponen afektif lebih diidentikkan dengan perasaan atau emosi seseorang
terhadap sesuatu. Lebih jauh, komponen perilaku mencerminkan kecenderungan
aksi atau respon seseorang terhadap sesuatu.
Terdapat berbagai cara pengukuran sikap yang telah diperkenalkan oleh
para ahli yakni skala Thurstone, skala Likert, skala Guttman, dan skala perbedaan
semantik yang diperkenalkan Osgood (Zanden 1984). Osgood menyatakan bahwa
pada skala perbedaan semantik terdapat skala bipolar yang mengandung unsur
evaluasi, unsur potensi, dan unsur aktivitas yang dapat digunakan dalam
mengukur tiga dimensi sikap: 1) evaluasi responden tentang objek/konsep, 2)
persepsi responden tentang potensi objek/konsep, dan 3) persepsi responden
tentang aktivitas objek (Effendi 1987).
Penelitian mengenai sikap masyarakat adat sering kali difokuskan pada
komponen kognitif atau persepsi. Dalam penelitian Wahyuni dan Mamonto
(2012) ditunjukkan bahwa masyarakat Desa Kobe Kulo yang sebagian besar
merupakan penduduk asli memiliki persepsi rendah (negatif) terhadap keberadaan
Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Manado. Sebaliknya, masyarakat Desa
Binagara yang sebagian besar merupakan pendatang memiliki persepsi tinggi
(positif) terhadap keberadaan taman nasional tersebut.
Terkait kasus perluasan taman nasional, penerbitan serta penerapan
kebijakan penetapan kawasan taman nasional merupakan rangsang/stimuli bagi
individu masyarakat kasepuhan. Rangsang tersebut kemudian disadari dan
dipahami sehingga selanjutnya masyarakat dapat memberi respon berupa perilaku.
Penelitian yang dilakukan Dewi (2011) menunjukkan bahwa masyarakat
Kasepuhan Sinar Resmi memiliki persepsi buruk terhadap perluasan TNGHS.

Kerangka Pemikiran
Kebijakan pengelolaan sumber daya alam sering dibuat secara top-down
tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat, khususnya masyarakat desa hutan.
Salah satu kebijakan tersebut yaitu pada kasus penetapan kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak melalui SK Menteri Kehutanan RI No.
175/2003. Penetapan tersebut berpotensi mengakibatkan perubahan sistem
penghidupan masyarakat kasepuhan dari segi akses dan aktivitas.
Sesuai dengan pernyataan Ribot dan Peluso (2003), akses didefinisikan
sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Aktivitas nafkah
terbagi menjadi dua, yakni aktivitas nafkah pertanian dan aktivitas nafkah non
pertanian. Perubahan akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya mempengaruhi
aktivitas nafkah yang dilakukan oleh masyarakat. Selanjutnya, perubahan aktivitas

12
nafkah diduga berpengaruh terhadap tingkat pendapatan rumah tangga. Selain itu,
penguasaan dan kepemilikan lahan garapan serta tingkat pendapatan rumah tangga
diduga akan mempengaruhi sikap masyarakat terhadap penetapan kawasan
TNGHS.

Penetapan TNGHS
1. Perubahan status hutan produksi
menjadi hutan konservasi
2. Pertentangan kelembagaan formal
TNGHS dan non formal adat
terkait pengelolaan hutan
Akses Masyarakat terhadap
Lahan Garapan Adat
1. Kemampuan memasuki lahan
garapan adat
2. Kemampuan menanam di
lahan garapan adat
3. Kemampuan mengambil hasil
dari lahan garapan adat

Penguasaan dan Kepemilikan
Lahan Garapan
1. Status kepemilikan lahan
garapan yang dikuasai
masyarakat
2. Luas lahan garapan yang
dikuasai masyarakat

Aktivitas Nafkah Masyarakat
1. Aktivitas nafkah pertanian
a. Pertanian padi
b. Pertanian non padi
2. Aktivitas nafkah non
pertanian

Pendapatan Rumah
Tangga
1. Tingkat pendapatan
pertanian padi
2. Tingkat pendapatan
pertanian non-padi
3. Tingkat pendapatan nonpertanian

Sikap Masyarakat terhadap
Penetapan Taman Nasional
1. Positif
2. Netral
3. Negatif

Keterangan:
: Mempengaruhi
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

13
Hipotesis Penelitian
1. Penetapan TNGHS mempersulit akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap lahan garapan adat.
2. Penetapan TNGHS menyebabkan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
menambah aktivitas nafkah rumah tangga.
3. Penetapan TNGHS menyebabkan pendapatan rumah tangga masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya berkurang.
4. Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya memiliki sikap negatif terhadap
penetapan TNGHS.
5. Terdapat hubungan positif antara sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap penetapan TNGHS dengan status lahan garapan yang dikuasai.
6. Terdapat hubungan positif antara sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap penetapan TNGHS dengan luas lahan garapan yang dikuasai.
7. Terdapat hubungan positif antara sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap penetapan TNGHS dengan tingkat pendapatan rumah tangga.

Definisi Operasional
1. Sistem Penghidupan: kombinasi akses, aset, dan aktivitas untuk
mempertahankan atau meningkatkan taraf hidup rumah tangga. Dalam hal ini,
lebih difokuskan pada akses dan aktivitas nafkah.
A. Akses: Kemampuan dan kemudahan masyarakat kasepuhan dalam
memasuki, menanami, dan mengambil hasil tanam di lahan adat.
Kuesioner untuk mengukur akses masyarakat kasepuhan terhadap lahan
garapan tercakup pada bagian II yang terdiri dari 3 pertanyaan. Masingmasing pertanyaan memiliki 2 pilihan jawaban (a dan b). Jawaban a
bernilai 2 dan b bernilai 1. Dengan demikian, akses masyarakat kasepuhan
terhadap lahan garapan dinyatakan:
a) Mudah jika total skor 5-6 (kode 1)
b) Sulit jika total skor 3-4 (kode 2)
B. Aktivitas Nafkah: berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat
kasepuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas nafkah terbagi
dalam tiga bagian:
1) Aktivitas nafkah pertanian padi, merupakan kegiatan yang dilakukan
rumah tangga untuk memperoleh hasil pertanian berupa padi sebagai
konsumsi rumah tangga dan akan disimpan untuk keperluan
mendatang.
2) Aktivitas nafkah pertanian non padi, merupakan kegiatan yang
dilakukan rumah tangga untuk menghasilkan komoditas bukan padi
untuk konsumsi sehari-hari dan/atau dijual.
3) Aktivitas nafkah non pertanian, merupakan kegiatan yang dilakukan
rumah tangga untuk memperoleh penghasilan berupa uang untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Aktivitas nafkah yang dilakukan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
dapat membentuk kombinasi:

14
a) Aktivitas nafkah pertanian (padi & non padi) dan non pertanian (kode
1)
b) Aktivitas nafkah pertanian (padi) dan non pertanian (kode 2)
c) Aktivitas nafkah pertanian (padi & non padi) (kode 3)
2. Pendapatan rumah tangga: total uang yang didapatkan rumah tangga
responden dari aktivitas nafkah pertanian dan non pertanian. Pendapatan
rumah tangga dibagi menjadi:
1) Pendapatan pertanian padi, yakni sejumlah uang yang dihasilkan dari
kegiatan bercocok tanam padi. Kegiatan yang dimaksud yakni menanam
hingga memanen padi serta menjadi buruh tani (kuli babad, macul, panen,
dan sebagaiya). Hasil panen padi yang diperoleh rumah tangga petani,
dinyatakan dalam satuan ikat (pocong). Satu ikat padi memiliki bobot ratarata 0.96 kg. Sesuai dengan harga pasar, harga beras per kg mencapai
Rp9 000 sehingga, satu ikat padi dihargai sekitar Rp8 600.
2) Pendapatan pertanian non padi, yakni sejumlah uang hasil panen
komoditas bukan padi yang diperoleh rumah tangga. Harga komoditas
bukan padi ditentukan oleh harga pasar.
3) Pendapatan non pertanian, yakni sejumlah uang yang diperoleh dari
aktivitas nafkah pada sektor lain di luar pertanian seperti industri, jasa, dan
usaha kecil menengah yang dilakukan rumah tangga.
Pendapatan rumah tangga responden dibagi menjadi dua yakni pendapatan
sebelum dan setelah penetapan TNGHS. Kategori pendapatan rumah
ditentukan oleh standar deviasi dan rata-rata (mean).
A. Kategori pendapatan sebelum penetapan TNGHS
a) Tinggi, jika pendapatan rumah tangga >Rp924 143per bulan (kode 1)
b) Menengah, jika pendapatan rumah tangga berada dalam rentang
Rp158 190dan Rp924 143 per bulan (kode 2)
c) Rendah, jika pendapatan rumah tangga ≤ Rp158 190 per bulan (kode
3)
B. Kategori pendapatan setelah penetapan TNGHS
a) Tinggi, jika pendapatan rumah tangga > Rp7 191 290per bulan (kode1)
b) Menengah, jika pendapatan rumah tangga berada dalam rentang
Rp440 030 dan Rp7 191 290per bulan (kode 2)
c) Rendah, jika pendapatan rumah tangga ≤ Rp440030 per bulan (kode3)
Selain kategori pendapatan, dilakukan pula penghitungan selisih
pendapatan rumah tangga dan sebelum penetapan TNGHS untuk
mengetahui peningkatan atau penurunan pendapatan responden. Selisih
pendapatan rumah tangga diperoleh dari pendapatan rumah tangga setelah
penetapan TNGHS (Ia) dikurangi pendapatan rumah tangga sebelum
penetapan TNGHS (Ib). Selisih pendapatan rumah tangga dapat
dinyatakan:
a) Positif, jika Ia>Ib (kode 1)
b) Nol, jika Ia = Ib (kode 2)
c) Negatif, jika Ia5864.55 m² (kode 1)
b) Sedang, jika total luas lahan berada di antara 1495.45 dan 5864.55 m²
(kode 2)
c) Sempit, jika total luas lahan garapan ≤1495.45 m² (kode 3)
4. Sikap: Penilaian/pandangan dalam diri individu mengenai penetapan TNGHS.
Pengukuran sikap tercakup dalam kuesioner bagian V yang dikemas dalam
bentuk skala perbedaan semantik. Terdapat 10 pasangan kata positif-negatif
yang dipisahkan oleh skala 1 sampai 5. Angka yang dipilih mencerminkan
skor masing-masing poin. Semakin kecil angka yang dipilih responden
semakin menunjukkan sikap negatif terhadap penetapan TNGHS. Dengan
demikian masyarakat dapat dinyatakan memiliki sikap:
a) Positif, jika jumlah skor berada pada kisaran 37-50 (kode 1)
b) Netral, jika jumlah skor berada pada kisaran 24-36 (kode 2)
c) Negatif, jika jumlah skor berada pada