Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak)
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib
disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya.
Hutan sendiri mempunyai banyak peran penting bagi kehidupan manusia.
Peran-peran hutan itu antara lain sebagai penentu sistem penyangga kehidupan dan
kemakmuran rakyat, sebagai perlindungan sumberdaya genetik, pengaturan
stabilitas hidro-orologi, pengaturan stabilitas iklim, media penyerbukan ilmiah
bagi vegetasi alam dan tanaman, obyek wisata dan rekreasi alam, media
pengembangan kreativitas sosial ekonomi budaya, melestarikan cadangan benih,
populasi, dan cadangan keanekaragaman hayati (Departemen Kehutanan, 2002).
Dengan adanya hutan sebagai pengatur stabilitas hidro-orologi menyebabkan
persediaan air terjamin sehingga hidupan liar berlangsung dengan baik dan juga
dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup masyarakat.
Hutan sebagai salah satu sumberdaya yang bersifat common-pool resources (CPRs) memiliki sifat sebagai barang publik (common property). Mangkoesoebroto (1993) menyebutkan dua sifat barang publik yaitu
penggunaannya tidak bersaingan (non rivalry) dan tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non excludability) sehingga dalam pengelolaan sumberdaya hutan seringkali menghadapi masalah yaitu sumberdaya hutan cenderung dieksplotasi
secara berlebihan (over exploitation) (Purnamadewi dan Tanjung 2005). Pengertian sumberdaya sendiri dapat diartikan sebagai suatu konsep yang
(2)
2 kelangkaan pada sumberdaya terutama sumberdaya hutan dapat berakibat sesuatu
yang semula dianggap tidak berguna menjadi berguna dan bernilai
(Reksohadiprodjo dan Pradono 1998). Selain itu, sumberdaya secara jelas akan
tergantung pada kondisi yang diwariskan di masa lalu, teknologi sekarang dan
masa mendatang, kondisi ekonomi serta selera.
Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
kawasan hutan dibagi ke dalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan
Hutan Produksi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya. Hutan konservasi sendiri terdiri dari : a) Kawasan suaka alam
yang berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM), b) Kawasan
pelestarian alam yang berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura),
dan Taman Wisata Alam (TWA) serta c) Taman Buru (Statistik Kehutanan 2007).
Taman nasional sendiri menurut UU No. 5 Tahun 1990 adalah kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya dan rekreasi.
Salah satu contoh kawasan taman nasional yang ada di Indonesia adalah
Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak (TNGHS) merupakan salah satu taman nasional dengan memiliki
hutan hujan terluas di Pulau Jawa yang kaya akan keanekaragaman hayati,
bentang alam dan beragam budaya tradisional. TNGHS terletak di Propinsi Jawa
Barat dan Banten serta secara administratif terletak di tiga kabupaten yaitu
(3)
3 Kawasan TNHGS yang secara geografis terletak pada bujur 106o12’58” BT-106o45’50” BT dan 06o32’14” LS-06o55’12” LS memang menyimpan banyak sekali keanekaragaman hayati di dalamnya. Untuk keragaman flora di dalam
kawasan ini tercatat sebanyak lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga, 75 jenis
anggrek, 12 jenis bambu dan tumbuhan obat sebanyak 117 jenis dari 69 famili
serta 10 diantaranya merupakan tumbuhan obat unggulan. Selain keragaman flora
tersebut, keragaman fauna yang terdapat di TNGHS antara lain 4 jenis primata, 67
jenis mamalia, 27 jenis amfibi, 49 jenis reptil, 77 jenis kupu-kupu, dan 244 jenis
burung yang diantaranya sebanyak 32 jenis merupakan endemik jawa (Hartono et al 2007). Banyaknya keanekaragaman hayati yang ada di TNGHS ini merupakan sumber pemenuhan kebutuhan hidup bagi masyarakat yang ada di sekitar dan di
dalam kawasan TNGHS, contohnya seperti pemanfaatan tumbuhan obat, kayu
untuk bahan bangunan dan bahan bakar.
Hartono et al. (2007) juga menyebutkan jumlah penduduk di dalam dan sekitar kawasan TNGHS lebih dari 250.000 jiwa. Masyarakat lokal yang ada
umumnya adalah Suku Sunda, yang terbagi ke dalam kelompok kasepuhan dan
bukan kasepuhan. Kelompok kasepuhan di TNGHS adalah kelompok masyarakat
Adat Sunda yang disebut Kasepuhan Banten Kidul. Kasepuhan adat terletak
terutama di wilayah Kabupaten Sukabumi sebelah barat hingga ke Kabupaten
Lebak dan ke utara hingga Kabupaten Bogor (Wikipedia 2010).
Emilia dan Suwito (2006) menyebutkan beberapa kasepuhan yang ada di
TNGHS antara lain Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan
Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek serta Kasepuhan Cibedug.
(4)
4 sudah pasti masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memiliki ketergantungan yang
tinggi terhadap sumberdaya hutan terutama untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan misalnya, untuk
kebutuhan bahan bakar dan bahan pembuatan rumah mereka memanfaatkan kayu
yang ada di hutan, wilayah hutan yang datar mereka jadikan lahan pemukiman
serta lahan persawahan dan kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dalam memanfaatkan sumberdaya hutan TNGHS sebagai pemenuhan
kebutuhan hidup, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug menerapkan kearifan lokal
yang mereka berlakukan di dalam kasepuhan mereka. Kearifan lokal yang mereka
terapkan yaitu dalam konsep alokasi pembagian ruang adat yang mereka bagi
menjadi lahan pemukiman, leuweung (hutan), reuma dan lahan garapan. Kearifan lokal yang ada di kasepuhan juga berupa aturan batasan (boundary rule) dan pemberlakuan sanksi atau hukuman terhadap yang melakukan pelanggaran.
Walau dengan adanya konsep kearifan lokal yang diterapkan di Kasepuhan
Cibedug ini tetapi masih ada peluang potensi ancaman yang bisa mengganggu
kondisi dari sumberdaya hutan TNGHS itu sendiri. Potensi ancaman ini bisa
datang dari aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat adat kasepuhan yang
membuka lahan hutan menjadi reuma, lahan garapan seperti sawah dan kebun serta menjadi lahan tempat tinggal. Potensi ancaman ini bisa menjadi kenyataan
apabila ditambah asumsi tiap tahun jumlah individu dalam kasepuhan ini
meningkat yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup meningkat sehingga
aktifitas yang telah disebutkan diatas semakin sering dilakukan. Keterkaitan
antara tingkat pertumbuhan penduduk dengan kondisi sumberdaya yang ada
(5)
5 tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang cenderung tumbuh
secara eksponensial (Fauzi 2004).
Dengan pemaparan tersebut maka penting dilakukan studi mengenai
bagaimana sistem pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan
Cibedug berdasarkan aturan-aturan pemanfaatan yang diberlakukan. Hal ini
menjadi penting mengingat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
sumberfaya hutan TNGHS sehingga memiliki keterkaitan terhadap kondisi
sumberdaya hutan TNGHS di masa yang akan datang.
1.2. Perumusan Masalah
Keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak secara tidak langsung telah
dilestarikannya salah satu dari ragam budaya tradisional yang ada di Indonesia
oleh TNGHS. Akan tetapi dengan keberadaan masyarakat adat ini di dalam
kawasan juga dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap kondisi dari
sumberdaya hutan TNGHS itu sendiri. Kehidupan sehari-hari masyarakat adat
bergantung pada sistem pertanian tradisional yang pada umumnya masyarakat
adat kasepuhan memanfaatkan hutan atau lahan yang ada dalam berbagai cara.
Hartono et al (2007) menyebutkan huma atau ladang, sawah, kebun, kebun talun dan talun sebagai bentuk-bentuk yang digunakan dalam memanfaatkan hutan atau
lahan yang ada. Siklus penanaman secara tradisional adalah sebagai berikut :
setelah menebang hutan primer, hutan sekunder atau semak, lahan yang telah
dibersihkan tersebut kemudian dijadikan huma atau ladang selama beberapa
(6)
6 Pada dataran tinggi ditanami padi dan sayur-sayuran seperti jagung,
singkong dan kacang-kacangan. Padi dipanen satu kali dalam setahun dan
sayur-sayuran beberapa kali dalam setahun. Untuk padi sendiri, setelah panen
tergantung pada kondisi tanah dan kandungan air dalam lahan tersebut yang
tergenang di atas tanah. Apabila air mencukupi maka mereka mengubah lahan
tersebut menjadi sawah sehingga ekosistem alami menjadi hilang, karena sawah
digarap terus menerus (Hartono et al. 2007).
Sistem pengelolaan yang dikembangkan masyarakat adat kasepuhan yaitu
menggunakan konsep turun-temurun dengan adanya leuweung titipan atau hutan titipan, leuweung kolot serta leuweung cadangan (Hartono et al 2007). Leuweung titipan atau hutan titipan dan leuweung kolot memiliki pengertian sebagai kawasan yang tidak boleh diganggu karena menjaga mata air dan leuweung cadangan atau hutan cadangan memiliki pengertian sebagai lahan yang dicadangkan oleh warga untuk jangka panjang ke depan dengan penggunaan yang
bervariasi dari mulai cadangan garapan sampai cadangan pemukiman bahkan
fungsi perlindungan (konservasi). Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan pun
hanya digunakan untuk keperluan sendiri tidak untuk dijual atau dikomersilkan.
Walaupun dengan adanya sistem pengelolaan hutan sebagai kearifan lokal yang
telah diterapkan, tidak cukup untuk menyatakan bahwa sistem masyarakat adat
Kasepuhan Cibedug tersebut tidak akan menimbulkan perubahan apalagi
kerusakan terhadap kondisi sumberdaya TNGHS.
Ditambah lagi berdasarkan hasil penelitian Aprianto (2008), dikatakan
bahwa keberadaan Kasepuhan Cibedug ini di dalam zona inti Taman Nasional
(7)
7 di dalam zona inti taman nasional telah melanggar Pasal 33 Ayat 1
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 yang berbunyi setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman
nasional. Dalam pasal 34 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa masyarakat hukum adat bisa menjadi pengelola kawasaan hutan tetapi
untuk pemanfaatan hutan sendiri harus berdasarkan pasal 24 yaitu pemanfaatan
dapat dilakukan pada kawasan hutan kecuali hutan cagar alam serta zona inti dan
zona rimba pada taman nasional dan juga ditegaskan pada pasal 25 pemanfaatan
di dalam taman nasional yang termasuk ke dalam kawasan pelestarian alam diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penambahan jumlah
penduduk di Kasepuhan Cibedug khususnya pendatang yang bukan asli
masyarakat adat menyebabkan kebutuhan terhadap sumberdaya hutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup juga bertambah. Hal ini mengakibatkan semakin
meningkatnya aktifitas pembukaan lahan kawasan hutan TNGHS untuk dijadikan
lahan garapan serta pemukiman.
Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BTNGHS) sebagai pihak
resmi yang mengelola kawasan TNGHS sudah jelas mempunyai wewenang kuat
untuk mengeluarkan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug karena menempati
kawasan zona inti taman nasional yang sebelumnya disebutkan tidak boleh
dilakukan perubahan di dalam kawasan zona inti tersebut. Proses pengeluaran
masyarakat yang ada di dalam kawasan zona inti taman nasional bisa berjalan
apabila kondisinya penetapan kawasan tersebut menjadi zona inti terlebih dahulu
dilakukan dibandingkan keberadaan masyarakat yang menetap di dalam kawasan
(8)
8 Hasil penelitian Aprianto (2008) disebutkan keberadaan masyarakat adat
kasepuhan Cibedug sudah ada jauh sebelum ditetapkannya kawasan Gunung
Halimun-Salak sebagai taman nasional. Dalam penelitian itu disebutkan bahwa
leluhur dari masyarakat adat Kasepuhan Cibedug telah menempati kawasan
TNGHS sejak tahun 1920 dan masyarakat sudah benar-benar mendiami kawasan
dalam jumlah cukup banyak mulai tahun 1942 sedangkan penetapan Gunung
Halimun-Salak baru dilakukan pada tahun 2003 berdasarkan SK Menteri
Kehutanan No 175/Kpts-II/2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun (Departemen Kehutanan 2003). Berarti apabila dilakukan proses
pengeluaran masyarakat adat yang ada di dalam kawasan zona inti maka tidak
bisa dilakukan begitu saja karena masyarakat adat pasti akan tetap bersikukuh
dengan keberadaannya di dalam kawasan zona inti TNGHS beserta dengan
nilai-nilai yang melekat pada dirinya.
Dengan kondisi yang seperti ini, konsep kolaboratif manajemen atau
ko-manajemen bisa menjadi alternatif pengelolaan yang dilakukan pihak TNGHS
terhadap keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di dalam
zona inti TNGHS. Landasan ko-manajemen ini tertuang pada UU No 41 tahun
1999 di Amar c yaitu pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan
mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat
dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum
nasional dan dipertegas pada pasal 4 ayat 3 UU No 41 tahun 1999 bahwa
penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
(9)
9 Dari permasalahan diatas, penelitan ini akan mencoba untuk mengetahui
dan memahami masalah-masalah berikut :
1. Bagaimana kelembagaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam
pemanfaatan sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak?
2. Apakah terdapat indikasi ancaman dari pemanfaatan sumberdaya hutan oleh
masyarakat adat Kasepuhan Cibedug terhadap kawasan TNGHS.?
3. Bagaimana bentuk ko-manajemen yang telah terbangun antara TNGHS dan
Kasepuhan Cibedug serta peran Balai TNGHS dan stakeholder terkait terhadap keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan
TNGHS?
1.3. Tujuan
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
tentang kondisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di dalam
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terutama dalam sistem
pemanfaatan sumberdaya hutan kawasan TNGHS serta pengaruhnya pada kondisi
sumberdaya hutan TNGHS dan secara khusus tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis peran BTNGHS serta stakeholder yang terkait dengan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan TNGHS.
2. Melihat kesesuaian serta potensi dampak yang dihasilkan dari pemanfaatan
sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug
melalui perbandingan aturan adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan
perundangan yang berlaku pada pengelolaan kawasan TNGHS.
3. Mengevaluasi kegiatan ko-manajemen yang telah terbangun antara TNGHS
(10)
10
1.4. Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi bagi Balai Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak mengenai kondisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam
pemanfaatan sumberdaya hutan taman nasional dan masukan dalam
bentuk pengelolaan kawasan taman nasional dengan adanya masyarakat
adat kasepuhan yang bermukim di dalam kawasan.
2. Memperkaya literatur mengenai bentuk pengelolaan kawasan konservasi
terutama taman nasional.
3. Menjadi sarana bagi penulis dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang
diperoleh dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa batasan, antara lain yaitu :
a. Penelitian ini merupakan studi kasus analisis kelembagaan dan kebijakan
terhadap sistem pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat
Kasepuhan Cibedug. Hal ini perlu dikaji karena masyarakat adat tersebut
memiliki kearifan lokal dan kelembagaan adat yang biasanya secara
prinsip tidak merusak hutan.
b. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah keberadaan yang
memanfaatkan sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhannya
mengancam kelestarian kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. Biasanya masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam
(11)
11 perlu dikaji perbandingan antara aturan adat masyarakat Kasepuhan
Cibedug dengan peratuan pemerintah terkait pemanfaatan sumberdaya
hutan. Perlu juga dikaji kelembagaan yang ada di dalam masyarakat adat
tersebut.
c. Penelitian dilakukan di masyarakat adat Kasepuhan Cibedug Kabupaten
Lebak karena kasepuhan ini berada di dalam zona inti Taman Nasional
Gunung Halimun Salak sebelum ditetapkan sebagai zona tradisional. Hasil
(12)
II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional
Taman nasional merupakan salah satu kawasan yang termasuk dalam
kategori kawasan pelestarian alam yang memiliki pengertian sesuai dalam UU No
5 tahun 1990 pasal 1 ayat 14 yaitu kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan
rekreasi. MacKinnon et al (1993) menyebutkan taman nasional adalah suatu kawasan yang diperuntukkan bagi perlindungan kawasan alami dan
berpemandangan indah yang penting, secara nasional dan internasional serta
memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan alami
ini relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan
sumberdaya tambang tidak diperkenankan.
Basuni (1987) menyatakan bahwa taman nasional merupakan kawasan
konservasi di darat atau di laut yang memiliki ciri-ciri keaslian dan
keanekaragaman ekosistem yang khas karena flora dan fauna atau geomorfologis
dan atau budaya, memiliki nilai keindahan yang secara keseluruhan menyangkut
kepentingan dan merupakan warisan kekayaan alam nasional atau internasional,
dikelola untuk tujuan pengawetan sumberdaya alam, penelitian, pendidikan
lingkungan, turisme dan rekreasi. Miller (1978) dalam Basuni (1987) secara
terinci menyebutkan ada 10 tujuan pengelolaan yang relevan dengan
pembangunan ekonomi regional, sosial dan pengelolaan lingkungan.
(13)
13
Tabel 1. Tujuan Normatif Pengelolaan Taman Nasional
No Tujuan Normatif Pengelolaan Taman Nasional
Keterkaitan dengan Pengelolaan 1 Memelihara contoh yang mewakili unit-unit
biotik utama untuk melestarikan fungsinya dalam ekosistem
Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional
2 Memelihara keanekaragaman ekologis dan hukum lingkungan
Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 3 Memelihara sumberdaya genetik (plasma
nutfah)
Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 4 Memelihara obyek, struktur dan tapak
peninggalan/warisan kebudayaan
Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 5 Melindungi keindahan panorama alam Utama, tetapi terbatas pada
sebagian areal taman nasional 6 Menyediakan fasilitas pendidikan, penelitian
dan pemantauan lingkungan di dalam areal alamiah
Utama, tetapi terbatas pada sebagian areal taman nasional
7 Menyediakan fasilitas rekreasi dan turisme Utama, tetapi terbatas pada sebagian areal taman nasional
8 Mendukung pembangunan/pengembangan
daerah pedesaan dan penggunaan lahan marginal secara rasional
Utama, tetapai dicapai dengan tujuan-tujuan lainnya
9 Memelihara produksi daerah aliran sungai Penting, dan dicapai dalam kaitannya dengan tujuan-tujuan lain yang sesuai 10 Mengendalikan erosi dan pengendapan
(sedimentasi) serta melindungi investasi daerah hilir
Penting, dan dicapai dalam kaitannya dengan tujuan-tujuan lain yang sesuai Sumber : Miller (1978) dalam Basuni (1987)
Sistem pengelolaan taman nasional dilakukan dengan zonasi yang
dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial. ekonomi, dan budaya
masyarakat. Pedoman zonasi taman nasional diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan No 56 Tahun 2006. Sistem zonasi dalam taman nasional dapat dibagi
menjadi :
1. Zona inti, merupakan bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam
baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh
(14)
14 2. Zona rimba, adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan
potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan
zona pemanfaatan.
3. Zona pemanfaatan, adalah bagian dari taman nasional yang letak, kondisi dan
potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata
alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
4. Zona lain yang terdiri dari zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi,
budaya dan sejarah serta zona khusus.
Dalam penentuan tata batas zonasi taman nasional, tidak hanya dilakukan
oleh pihak balai taman nasional saja tetapi melibatkan pihak-pihak lain yang
berkaitan seperti Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Kelompok Masyarakat dan Mitra Kerja. Begitu pula dalam
hal pengelolaan, memang pihak Balai Taman Nasional yang memiliki wewenang
penuh dalam mengelola kawasan taman nasional tetapi dalam hal kebijakan yang
menyangkut kawasan juga turut melibatkan pihak-pihak lain yang berkaitan
seperti yang disebutkan diatas.
2.2 Masyarakat Adat
Masyarakat adat memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisi yang
bermanfaat bagi penetapan dan pengaturan fungsi hutan (Poerwanto, 2000).
Poerwanto (2000) juga menyebutkan bahwa kearifan lokal ini merupakan salah
satu dari pola adaptasi yang dikembangkan oleh masyarakat adat agar mampu
memanfaatkan lingkungan sekitar demi kepentingannya baik untuk memperoleh
bahan pangan, menghindari diri dari bahaya serta dapat dikatakan juga sebagai
(15)
15 hidupnya. Istilah masyarakat adat menjadi populer sejak beberapa aktivis LSM
dan masyarakat melakukan pertemuan yang diorganisir oleh Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI) di Tanah Toraja pada tahun 1993. Pertemuan
menyepakati masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki
asal-usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki
sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri
(Sangaji 2001).
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No 5 Tahun 1999 disebutkan masyarakat hukum adat adalah
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan. Menurut UN Economic and Social Council, masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang karena mempunyai kelanjutan
historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya,
menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di
wilayah mereka. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No 56 tahun 1996,
masyarakat adat yang terdapat di dalam kawasan taman nasional disebut sebagai
kelompok masyarakat yang mempunyai pengertian sebagai sekumpulan orang
yang karena kondisi kesejarahan, ikatan ekonomi, religi, sosial dan budaya yang
hidup dan tinggal secara bersama-sama dalam wilayah tertentu.
Kearifan lokal dalam terminologi budaya seperti yang disebutkan Warren
(1991) dalam Wahyu (2007) dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan lokal
yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan
(16)
16 bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Secara
lebih spesifik, kearifan lokal dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan yang unik,
yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat yang dapat dijadikan dasar
pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian (agriculture), kesehatan (health care), penyediaan makanan (food preparation), pendidikan (education), pengelolaan sumberdaya alam (natural resource management) dan beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas (a host of other activities in communities). Kearifan dan pengetahuan tradisi ini diturunkan secara turun temurun dari generasi sebelumnya ke generasi sesudahnya.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kearifan lokal adalah bentuk
pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang melalui kehidupan dari
generasi ke generasi yang berhubungan dekat dengan alam (Reid et al (2002) dalam Wahyu (2007)). Oleh karena itu, kearifan lokal yang dibangun oleh
masyarakat adat tidak akan lepas dari pemanfaatan sumberdaya yang
dimanfaatkan oleh mereka, salah satunya hutan. Hutan yang ditempati oleh
masyarakat adat bisa diakui oleh Negara menjadi hutan adat. Dalam
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 disebutkan hutan adat adalah hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat adat. Masyarakat hukum adat sendiri berhak
melakukan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat dan tidak bertentangan
dengan undang-undang. Inti dari konsep kearifan adalah bahwa manusia hidup
bergantung pada alam, tidak hanya mampu melihat ekologi tetapi juga mampu
membaca ekologi sehingga kemampuan untuk memaknai kearifan lokal menjadi
(17)
17
2.3. Kelembagaan Masyarakat Adat
Institution atau lembaga didefinisikan sebagai aturan-aturan, norma-norma dan bentuk-bentuk konsensus sosial lainnya yang sifatnya kokoh yang mengatur
individu (Sanim et al 2006). Aturan-aturan tersebut dibuat untuk menghambat kemungkinan munculnya perilaku oportunistis dan sewenang-wenang dalam
interaksi kehidupan manusia. Ostrom (1986) menyebutkan kelembagaan dapat
diartikan sebagai menetapkan aturan-aturan kerja yang digunakan untuk
memutuskan siapa yang dapat dipilih untuk membuat keputusan suatu arena,
tindakan-tindakan apa saja yang diizinkan atau yang dibatasi, kesatuan
aturan-aturan apa yang akan digunakan, prosedur apa saja yang harus diikuti, informasi
apa yang harus dan tidak harus disediakan, dan akibat apa yang harus diberikan
terhadap individu bergantung dari tindakan mereka.
Menurut North (1990) dalam Sanim et al (2006), secara umum kelembagaan memiliki dua pengertian penting, yaitu : pertama, kelembagaan diartikan sebagai aturan main (the rules of the game). Sebagai aturan main, kelembagaan berupa aturan baik formal maupun informal, yang tertulis dan tidak
tertulis mengenai tata hubungan manusia. Kedua, kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki. Sebagai suatu organisasi, ada beberapa
stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya termasuk hutan. Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan
antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajibannya dalam
kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya.
Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama, yaitu : (1) hak-hak
(18)
18 materi, (2) batas yuridiksi (yurisdictional boundary), untuk menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan suatu masyarakat, dan (3) aturan
representasi (rule of representation) atau perangkat yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi (Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan 1989
dalam Sanim 2006). Fungsi dasar dari suatu lembaga adalah (1) memfasilitasi
kerjasama diantara orang-orang, (2) melindungi hak otonomi individu, dan (3)
mencegah dan memecahkan konflik yang mungkin terjadi dalam kerjasama.
Suatu lembaga yang efektif akan mampu memprediksi perilaku dari
pihak-pihak yang melakukan kerjasama karena dengan adanya lembaga tersebut
ketidakpastian menjadi berkurang. Adanya kemampuan dalam memprediksi
perilaku tersebut selanjutnya akan menimbulkan adanya kepercayaan atau saling
percaya dari masing-masing pihak yang artinya timbul rasa aman diantara pihak
yang bekerjasama sehingga akhirnya kerjasama yang terjadi menjadi lebih
produktif. Kriteria lembaga yang efektif antara lain adalah : (1) mudah dipahami
atau harus sesederhana mungkin, (2) fair atau bersifat adil, (3) relatif stabil sepanjang waktu, dan (4) enforced atau aturan diberlakukan (Sanim et al. 2006).
Berdasarkan studi literatur seperti pada penelitian Ramli (2007),
kelembagaan yang dibangun di masyarakat adat di Indonesia pada umumnya
relatif sama. Pada setiap sistem adat tersebut terdapat pimpinan tertinggi dan
dibantu oleh wakil-wakil yang ada dibawahnya. Contohnya adalah masyarakat
adat Baduy. Dalam pimpinan adat Baduy dipimpin oleh seorang puun lalu dalam menjalankan tugasnya, puun dibantu oleh sejumlah wakil seperti girang seurat
(19)
19
jaro tangtu selain sebagai wakil puun juga berperan sebagai juru bicara untuk hubungan-hubungan luar.
2.4. Kolaboratif Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan
Ko-manajemen atau kolaborasi manajemen merupakan salah satu bentuk
dari pengelolaan sumberdaya dan lingkungan. Untuk kawasan konservasi seperti
taman nasional, ketidakefektifan pengelolaan taman nasional saat ini dapat
disebabkan oleh beragamnya para pemangku kepentingan (stakeholder) yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda serta beragam masalah dari hambatan
dalam menjalankan perannya. Untuk alasan inilah, maka pengelolaan taman
nasional harus dijembatani melalui sistem manajemen taman nasional yang
bersifat kolaboratif agar semua pemangku kepentingan sumberdaya dari taman
nasional memiliki tanggung jawab dalam pengelolaannya. Pendekatan manajemen
kolaborasi membutuhkan adanya suatu pengelolaan yang awalnya top-bottom
menjadi pengelolaan yang bersifat terdesentralisasi dengan harapan dapat
memberikan dukungan lokal terhadap agenda konservasi nasional dengan
melibatkan pengguna sumberdaya dalam pengambilan keputusan.
Ko-manajemen adalah pengintegrasian rezim pengelolaan yang berbasis
masyarakat dengan yang berbasis pemerintah atau bisa diartikan sebagai derivatif
yang berasal dari rezim PSALBM (pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
berbasis masyarakat) dan rezim PSALP (pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan berbasis pemerintah) atau dengan kata lain ko-manajemen dapat
didefinisikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan
wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya
(20)
20 dalam Sungkar (2010) manajemen kolaborasi merupakan sebuah kesepakatan
antara dua atau lebih pemangku kepentingan (stakeholder) untuk membagi informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungan dan
mekanisme kemitraan yang disetujui bersama. Manajemen kolaborasi diharapkan
dapat menciptakan sebuah tata kelola mandiri yang akan menciptakan keuntungan
bagi seluruh stakeholder. Ciri khas dari kolaborasi adalah adanya proses saling belajar (sharing), terutama berbagi informasi yang akan membantu para pemangku kepentingan untuk menciptakan rencana-rencana kegiatan yang
adaptif.
Secara umum, tujuan ko-manajemen adalah status pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan yang lebih tepat, lebih efisien serta lebih adil
dan merata. Selain itu ko-manajemen lahir disebabkan oleh dua hal, pertama
adalah karena adanya kemauan serta inisiatif pemerintah dan masyarakat, yang
kedua adalah karena adanya sensitivitas dan kesadaran pemerintah atau masyarakat terhadap perkembangan suatu keadaan atau situasi. Tujuan secara
khusus dari ko-manajemen adalah : (1) Ko-manajemen merupakan jalan menuju
arah terwujudnya pembangunan berbasis masyarakat, (2) Ko-manajemen
merupakan cara untuk mewujudkan proses pengambilan keputusan secara
desentralisasi sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif, dan (3)
Ko-manajemen adalah mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan masyarakat dalam
mengelola sumberdaya dan lingkungan serta mengurangi konflik melalui proses
demokrasi partisipatif.
Menurut Sen dan Nielsen (1996) dalam Hidayat (2009), bentuk
(21)
21 sejauh mana peanan pemerintah dan kelompok masyarakat pengguna terlibat
dalam proses pengambilan keputusan dan implementasinya. Klasifikasi tersebut
antara lain : (1) Instruksi, (2) Konsultasi, (3) Koperasi, (4) Pendampingan, dan
(5) Informasi.
Hirarki dalam Ko-manajemen dilihat dari tiga hal yang menentukan variasi
bentuk Ko-manajemen, antara lain : (1) Peranan pemerintah dan masyarakat
dalam pengambilan keputusan, (2) Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang
dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau
didistribusikan di antara kedua pihak, (3) Tahapan proses manajemen ketika
secara aktual kerjasama pengelolaan betul-betul terwujud (Hidayat 2009). Berikut
adalah gambar bentuk ko-menejemen sumberdaya alam dan lingkungan antara
pemerintah dengan pemegang kepentingan.
(a)
(b)
Gambar 1. (a) Ilustrasi Bentuk Ko-Manajemen Sen dan Nielsen (1996), (b) Ko-Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Antara Pemerintah dengan Pemegang Kepentingan
Masyarakat
Ko-Manajemen
Pembagian tanggung jawab
& wewenang
Konsumen
Pemerhati Akademisi
Tokoh Akademisi
Pusat
Daerah
Informatif Pendampingan Kooperatif
Konsultatif Instruktif PSALBM (Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat)
PSALP(Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Pemerintah)
(22)
22 Bentuk Ko-manajemen yang ideal adalah pemerintah dan masyarakat
adalah mitra yang sejajar yang bekerjasama untuk melaksanakan semua tahapan
dan tugas proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan serta memahami peran
dan tanggungjawab masing-masing sehingga sistem Ko-manajemen bisa sukses
berjalan.
2.5. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil studi dari beberapa penelitian terdahulu, diperoleh hasil
kajian mengenai kelembagaan masyarakat adat dan kolaboratif manajemen.
Beberapa penelitian tersebut diantaranya yaitu :
2.5.1. Penelitian tentang Kelembagaan Masyarakat Adat
No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan 1 Afif Aprianto Komparasi Kearifan
Tradisional Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Dengan Aturan Formal Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
1) Terdapat kelembagaan yang jelas dan lengkap dengan organisasi yang menegakkan norma-norma/aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari mekanisme sanksi yang berlaku adalah mekanisme “kabendon”
2) Kearifan tradisional masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sangat terkait dengan konsep tata ruang wilayah masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dan aturan-aturan /norma yang ada di dalamnya. Tata ruang wilayah meliputi
wewengkon dan pemukiman, leuweung
(hutan), reuma, lahan garapan, tutupan dan titipan
3) Aturan adat masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sangat konsisten dengan aturan formal pengelolaan TNGHS dalam hal asas, tujuan dan zonasi
2 Muhammad Ramli
Kelembagaan
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Masyarakat Adat Baduy Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten
1) Struktur kelembagaan masyarakat adat Baduy bersifat vertikal, dengan masing-masing pemegang jabatan adat memiliki batasan dan wewenag khusus dalam setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan
2) Masyarakat Baduy memiliki pengetahuan tradisi yang telah berlangsung sejak lama dan diwariskan secara turun temurun baik dalam pengelolaan hutan pemanfaatan hasil hutan atau dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang tersirat di dalam pikukuh karuhun.
(23)
23
No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan 3 Golar Strategi Adaptasi
Masyarakat Adat Toro Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah
1) Telah terjadi perubahan lingkungan yang disebabkan intervensi ekonomi pasar dan dinamika politik
2) Perubahan preferensi ekonomi masyarakat serta dinamika politik di Toro berimplikasi terhadap kestabilan sumberdaya hutan di Toro
3) Kelembagaan adat yang direvitalisasi telah dinilai baik berdasarkan kriteria Ostrom maupun criteria umum masyarakat Toro
4) Perubahan kelembagaan adat secara umum memiliki implikasi terhadap kelestarian pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Toro
5) Eksistensi sumberdaya hutan sangat penting bagi masyarakat Toro. Hal tersebut tercemin melalui pola hubungan yang kompleks antara masyarakat dengan sumberdaya hutan
2.5.2. Penelitian tentang Kolaboratif Manajemen
No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan 1 Wulandari Implementasi
Manajemen
Kolaboratif Dalam Pengelolaan
Ekowisata Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Kampung Citalahab Sentral-Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat)
1) Pelaksanaan Kolaborasi dalam program ekowisata berbasis masyarakat di kampung Citahab telah berada pada tahap ke tiga yaitu melaksanakan kesepakatan. Namun, kolaborasi hanya sebatas pelaksanaan saja dan belum diadakan kegiatan mereview kesepakatan. Selain itu juga belum adanya pelibatan
stakeholder lain seperti dinas pariwisata dan swasta dalam pengembangan kesepakata. 2) Manfaat pengelolaan kolaboratif ekowisata
berbasis masyarakat di Kampung Citalahab meliputi manfaat ekonomi, sosial, dan manfaat ekologis. Manfaat ekonomi yaitu penyerapan tenaga kerja lokal sebagai penyedia home stay, pemandu lokal, porter dan juru masak. Manfaat sosial yaitu meningkatnya pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang ekowisata, pelestarian budaya lokal khususnya budaya sunda. Manfaat ekologisnya yaitu masyarakat ikut membantu Taman Nasional untuk menjaga sumberdaya alam yang ada dalam kawasan.
(24)
24
No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan 2 Clara Christina
Theresia
Efektivitas Pengelolaan Hutan Kolaboratif Antara Masyarakat Dengan Perum Perhutani (Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH Majalengka Perum Perhutani Unit III Jawa Barat)
1) Telah terbangun kepercayaan (trust) antara pihak yang terlibat
2) Setiap pihak juga telah mengerti mengenai pembagian peran dan tanggung jawab
3) Kapasitas masing-masing pihak dinilai sudah dapat menunjang dalam pelaksanaan kegiatan PHBM
4) Pentingnya resiko sudah dipahami bahwa sudah terpenuhinya dana, pekerja, peralatan dan waktu dalam proses kolaborasi
(25)
III.KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis
3.1.1. Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang terlibat
di dalam sistem kelembagaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dan peran yang
dijalankan serta aturan-aturan adat yang diterapkan pada Kasepuhan Cibedug. Teori
dasarnya berangkat dari fungsi kelembagaan sebagai alat (tool) untuk mengarahkan, mengharmoniskan, mensinergikan atau membatasi perilaku perilaku manusia (human behavior) yang cenderung mementingkan diri sendiri, opportunistis, dan lain-lain (Hidayat 2009). Perilaku manusia atau human behavior dapat diterangkan dengan tiga teori (Hidayat 2009), yaitu : (1) Ekonomi klasik / neoklasik memandang perilaku
manusia dipengaruhi oleh pasar, (2) Sosiologi dan politik melihat perilaku manusia
dari sudut pandang hirarki, dan (3) Ekonomi kelembagaan menerangkan perilaku
manusia dengan teori permainan tidak bekerjasama (non-cooperative game theory). Dalam analisis kelembagaan dan pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) seperti dipaparkan Hidayat (2009), yang menjadi fokus analisis adalah perilaku manusia arena aksi (Arena Action, AA). Arena aksi dapat berupa suatu organisasi, masyarakat atau komunitas masyarakat (petani, nelayan, pesisir,
suatu bangsa, negara, dan lain-lain). Dalam Arena Action rule (aturan) memiliki peran penting sebagai faktor untuk mengharmoniskan hubungan antara karakteristik
fisik dunia dengan sifat masyarakat (nature of community). Rule akan mewarnai pola interaksi diantara individu dalam suatu arena yang terjadi. Pola ini seharusnya
berjalan dinamis untuk terus berupaya mencari pola interaksi terbaik dalam suatu
(26)
26 dan transformasi dari sumberdaya alam dan lingkungan yang mempengaruhi
keterkaitan aksi dengan outcome dan pengetahuan aktor. Jika rule (aturan) yang mengatur aktor dimana aksi utamanya adalah pemanfaatan sumberdaya hutan, maka
aturan yang dibentuk harus disesuaikan dengan sifat fisik dari hutan itu sendiri.
Kesalahan memahami karakteristik fisik akan kesalahan aturan main yang pada
gilirannya akan mempengaruhi hasil akhir (outcome). Attributes of community
didefinisikan sebagai norma perilaku, common understanding dari situasi aksi/arena, individual preferensi, dan alokasi/distribusi sumberdaya di kalangan anggota
komunitas yang dianggap penting dan mempengaruhi situasi aksi.
Dalam action arena atau arena aksi terdapat dua komponen (Hidayat 2009) yaitu :
1. Situasi aksi (action situation), merupakan ruang sosial (social space) tempat individu-individu berinteraksi mempertukarkan barang dan jasa, terlibat dalam
aktifitas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, memecahkan
permasalahan atau bersaing mengenai hal-hal yang setiap saat individu perbuat
dalam arena. Situasi ini bersifat continous, dinamis dan berubah sehingga sulit menentukan kapan suatu aksi mulai dan kapan berakhir. Situasi aksi meliputi
komponen yang antara lain :
a. Partisipan, merupakan aktor yang telah berpartisipasi dalam situasi aksi.
b. Posisi, tempat dimana partisipan berperan dalam situasi aksi, bisa sebagai
bos, pekerja, pedagang, pengguna sumberdaya alam, dan lain-lain.
c. Aksi, kegiatan yang dapat dilakukan oleh partisipan, misalnya menebang
(27)
27 d. Potensial outcome, sesuatu yang dapat dihasilkan dari suatu dan dampak
yang diakibatkan oleh aksi partisipan.
e. Fungsi transformasi, pemetaan aksi partisipan dengan outcome
f. Informasi, merupakan informasi yang tersedia bagi partisipan dimana
dengan informasi tersebut diharapkan partisipan dapat melakukan aksi
yang benar dan dapat memprediksi dari outcome tersebut.
g. Biaya dan manfaat.
2. Aktor merupakan individu-individu yang terlibat dalam situasi aksi yang
memiliki proferensi, kemampuan memproses informasi, kriteria seleksi dan
sumberdaya. Aktor meliputi komponen antara lain :
a. Preferensi, kesukaan atau kecenderungan aktor dalam merespon potensi
outcome yang terkadang sangat tergantung pada rasionalitasnya.
b. Kemampuan individu memproses informasi berdasarkan informasi yang
tersedia.
c. Individu selection criteria, kriteria yang dipakai oleh individu dalam membuat keputusan.
d. Sumberdaya individual, merupakan modal untuk dapat melakukan aksi.
Berdasarkan penjelasan diatas , maka dalam menganalisis kelembagaan pada
masyarakat adat Kasepuhan Cibedug TNGHS dapat dilihat melalui Gambar 2
(28)
28
Gambar 2. Diagram Teknik Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional and Development Analysis) Kasepuhan Adat Cibedug, TNGHS
3.2. Kerangka Operasional
Kawasan hutan di Jawa Barat terutama di dalam kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak selain menjadi kawasan pelestarian alam yang berfungsi
melestarikan keberadaan dari keanekaragaman hayati yang ada didalamnya juga
dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat yang berada di sekitar
kawasan taman nasional maupun masyarakat adat kasepuhan yang berada di dalam
kawasan taman nasional. Bentuk pemanfaatannya berupa hasil hutan kayu dan non
kayu ataupun hasil dari jasa lingkungan dari hutan taman nasional tersebut, misalnya
sebagai penghasil sumber air bersih.
Kondisi Karakteristik Hutan TNGHS
(Attributes of physical world)
Alokasi SDH di masyarakat adat kasepuhan Cibedug (Attributes of community)
Aturan-aturan, nilai adat-adat yang digunakan oleh masyarakat adat kasepuhan
Aktor atau pihak-pihak masyarakat kasepuhan yang
terlibat dalam penggunaan SDH TNGHS Situasi aksi merupakan daerah adat masyarakat kasepuhan Cibedug TNGHS
Arena aksi
Pola interaksi yang dibentuk (pattern of interaction)
Hasil dan dampak yang
ditimbulkan dari arena aksi
di masyarakat kasepuhan terhadap SDH
TNGHS
Kriteria evaluasi
(29)
29 Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug berdasarkan informasi dari penelitian
sebelumnya berada di dalam kawasan zona inti TNGHS (Aprianto 2008).
Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug selain menempati kawasan zona inti untuk
bermukim, mereka juga melakukan pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan didalam
zona inti TNGHS. Bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan (SDH) oleh masyarakat
adat Kasepuhan Cibedug menimbulkan kekhawatiran bahwa aktifitas yang mereka
lakukan dapat menyebabkan terjadinya potensi perubahan kondisi sumberdaya hutan
TNGHS terutama didalam zona inti TNGHS yang secara aturan formal negara tidak
sesuai dengan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Pasal 33 Ayat 1.
Sebagai masyarakat adat yang selalu memegang teguh tradisi leluhur secara
turun-temurun, penentuan pembagian lahan SDH sudah tentu tidak dilakukan secara
sembarangan proses pengelompokkannya. Selain itu, dalam pengelompokkan lahan
SDH tersebut masyarakat adat juga mengelompokkan SDH yang dijaga
keberadaannya oleh mereka yaitu dalam leuweung titipan (hutan titipan) sehingga timbul sebuah hipotesis apakah benar dengan keberadaan masyarakat adat kasepuhan
Cibedug didalam kawasan zona inti TNGHS menyebabkan kemungkinan dapat
menimbulkan kerusakan terhadap sumberdaya hutan kawasan TNGHS.
Dengan menggunakan instrumen Institutional Analysis and Development
(IAD), penelitian ini akan coba menggambarkan bagaimana pembentukan aturan
main (rule) dan arena aksi yang terdapat di dalam masyarakat adat kasepuhan terhadap pemanfaatan yang dilakukan pada sumberdaya hutan serta potensi dampak
yang ditimbulkan dari arena aksi tersebut. Sistem pemanfaatan terhadap sumberdaya
(30)
30 menggunakan aturan formal perundang-undangan dengan tujuan melihat apakah
aturan adat Kasepuhan Cibedug sesuai dengan peraturan perundangan. Peraturan
perundangan yang digunakan mencakup aspek masyarakat adat beserta hak-hak yang
didapat, aspek pemanfaatan kawasan hutan, aspek pemanfaatan sumberdaya hutan
dan aspek sanksi. Peraturan perundangan yang digunakan yaitu dengan
Undang-Undang No 41 Tahun 1999, Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999,
Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun
2007.
Konsep Ko-manajemen juga menjadi bahan analisis sebagai pertimbangan
untuk mengetahui apakah konsep ini bisa dijadikan rekomendasi pengelolaan di
TNGHS terhadap keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam
kawasan TNGHS dengan aktifitas pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan
tanpa mengurangi fungsi taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam. Secara
(31)
31 Keterangan :
Lingkup Penelitian
Gambar 3. Diagram Alir Kerangka Berpikir Operasional
Tidak Merusak Hutan
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Balai Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Resort Cibedug TNGHS Pemanfaatan Sumberdaya Hutan TNGHS Pola Pemanfaatan Sumberdaya Hutan berdasarkan Adat Kasepuhan Cibedug Dasar Pengelolaan
• UU No 41 Tahun 1999
• Permenhut No 56
Tahun 2006
• UU No 5 Tahun 1990
• Permen Agraria No 5 Tahun 1999
• PP No 28 Tahun 2011
• PP No 6 Tahun 2007
Sejalan dengan Aturan Formal
Analisis Kelembagaan
dengan IAD
Tidak Sejalan dengan Aturan Formal
Potensi Merusak Hutan
Ko-Manajemen Sebagai Salah Satu Konsep Pengelolaan
Pengelolaan Sumberdaya Hutan TNGHS secara Lestari
Stakeholder terkait:
a. Pemerintah Desa Citorek Barat
b. LSM RMI
a. Menyampaikan informasi mengenai urusan terhadap pemerintah desa
b. Mendokumentasikan aturan adat yang ada di Kasepuhan Cibedug
Mengawasi kawasan TNGHS dan menindak pelanggaran yang ada di kawasan TNGHS
Mengelola
Dimanfaatkan
(32)
IV.METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu
Pengambilan data dilakukan di Kasepuhan Adat Cibedug, Desa Citorek
Barat, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Penentuan lokasi penelitian dilakukan
secara sengaja (purposive) karena wilayah Kasepuhan Cibedug terletak di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak serta melakukan pemanfaatan
terhadap sumberdaya hutan taman nasional. Waktu yang digunakan untuk
pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juli 2011.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara secara
mendalam (depth interview) terhadap key person yang dianggap dapat mewakili
stakeholder terkait. Masyarakat Kasepuhan Cibedug diwakili oleh kepala adat dan
baris kolot Kasepuhan Cibedug, pemerintah setempat diwakili oleh kepala desa dan BPD Citorek Barat, serta pemerintah sebagai pemilik dan pengelola TNGHS diwakili
oleh kepala resort dan staf resort Cibedug TNGHS. Observasi juga dilakukan di
wilayah Kasepuhan Cibedug berfungsi untuk melihat secara langsung keadaan
lingkungan daerah penelitian, penerapan kearifan lokal dalam pemanfaatan
sumberdaya hutan oleh masyarakat serta mengamati tempat-tempat yang diceritakan
informan yang berkaitan dengan penelitian
Data sekunder diperoleh dari catatan berupa laporan penelitian atau arsip dari
lembaga-lembaga dan instansi terkait meliputi keadaan umum penelitian dan peta
ruang adat dari kasepuhan adat Cibedug ini serta aturan-aturan formal mengenai
(33)
33 Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006, Undang-Undang No 5 Tahun 1990
dan Perarturan Menteri Agraria No 5 Tahun 1999.
4.3. Metode Pengambilan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey.
Singarimbun (1989) menyebutkan survey adalah metode pengambilan sampel dari
suatu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang
pokok. Seorang peneliti dapat mengumpulkan data tertentu dengan memilih sampel
dari suatu populasi dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan dengan
melakukan teknik survey.
Pengambilan data yang digunakan dalam wawancara akan menggunakan
teknik pendekatan informan kunci (Key Informant Approach). Menurut Rudito dan Femiola (2008) dalam pendekatan ini mencoba mengumpulkan data melalui
orang-orang tertentu yang dipandang sebagai pemimpin, pengambil keputusan atau juga
dianggap sebagai juru bicara dari kelompok atau komunitas yang jadi obyek
pengamatan, dan orang tersebut dianggap akan bisa memberikan informasi akurat
dalam mengidentifikasi masalah-masalah dalam komunitas tersebut. Orang-orang ini
merupakan atau dianggap sebagai pemimpin dari kelompok-kelompok orang dalam
komuniti atau masyarakat, dan biasanya diwakili oleh tokoh-tokoh informal, seperti
seseorang yang dianggap oleh anggota masyarakat atau komuniti lainnya sebagai ahli
agama, ahli adat kebiasaan dan ahli pemerintahan. Selanjutnya, wawancara secara
snowball juga dilakukan yakni jawaban yang diperoleh dari seorang informan kemudian dikembangkan dan dicari jawabannya pada informan lain yang dianggap
(34)
34 dapat menjelaskan permasalahan lebih lanjut. Berikut rincian jenis, sumber dan
analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Tujuan Jenis Data Sumber Data Analisis Data
Melihat kesesuaian serta potensi dampak yang dihasilkan dari pemanfaatan SDH oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug
Primer dan Sekunder 1. Aturan pembagian
ruang adat 2. Aturan dalam
pemanfaatan SDH 3. Aturan batasan
pemanfaatan SDH 4. Aturan akses
pemanfaatan SDH 5. Aturan formal
perundangan yang berlaku dalam pemanfaatan SDH 6. Potensi dampak
akibat pemanfaatan SDH
1. Wawancara dengan kepala adat Kasepuhan Cibedug
2. Aturan-aturan adat Kasepuhan Cibedug 3. Peraturan formal
perundangan
4. UU No 41 tahun 1999 pasal 24, 37, 50, 67, 74, 75 dan 78
5. UU No 5 tahun 1990 pasal 26, 27 dan 33. 6. PP No 28 tahun 2011
pasal 35
7. PP No 6 tahun 2007 pasal 19
8. Permen Agraria No 5 tahun 1999 pasal 1 dan 2 9. Permenhut No 56 tahun
2006 pasal 5
1. Analisis Kesesuaian 2. Analisis Deskriptif Peranan Balai TNGHS serta
Stakeholder terkait keberadaan
Kasepuhan Cibedug
Primer dan Sekunder 1. Aktor kelembagaan 2. Aturan pengawasan pemanfaatan SDH 3. Aturan sanksi
pemanfaatan SDH 4. Aturan
penyelesaian konflik
1. Wawancara dengan kepala adat Kasepuhan Cibedug
2. Wawancara dengan Kepala dan Staf Resort Cibedug TNGHS 3. Laporan riset, studi,
penelitian oleh pihak lain seperti LSM atau peneliti
1. Institutional Analysis and Development
2. Analisis evaluasi kelembagaan 3. Analisis Deskriptif -Mengevaluasi kegiatan ko-manajemen yang telah terbangun antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug di dalam
pengelolaan kawasan TNGHS
Primer dan Sekunder 1. Pertukaran informasi antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug 2. Penentuan keputusan di kawasan TNGHS
1. Wawancara dengan kepala adat Kasepuhan Cibedug
2. Wawancara dengan Kepala dan Staf Resort Cibedug TNGHS 3. Aturan pengawasan
pemanfaatan SDH 4. Aturan sanksi
pemanfaatan SDH 5. Aturan penyelesaian
konflik 1. Analisis evaluasi kelembagaan 2. Analisis Deskriptif
(35)
35
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang akan dikumpulkan antara lain adalah data kualitatif yang berasal
dari data kelembagaan yang terdapat di Kasepuhan adat Cibedug mencakup deskripsi
situasi aksi (action situation), aktor (actor) dan tata cara aturan-aturan adat yang mereka terapkan dalam kasepuhan. Setelah data-data tersebut terkumpul kemudian
digunakan untuk dianalisis dengan menggunakan Institutional Analysis and Development (IAD) mengenai bentuk kelembagaan yang diterapkan dalam masyarakat adat Kasepuhan Cibedug. Setelah dilakukan analisis kelembagaan,
selanjutnya dilakukan analisis evaluasi dari sistem pengelolaan pemanfaatan yang
dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug. Selanjutnya peraturan
perudangan digunakan untuk menganalisis keseuaian aturan adat Kasepuhan
Cibedug. Setelah semua analisis yang dilakukan, lalu dilihat sudah sampai tingkatan
berapa ko-manajemen yang telah diterapkan sebagai win-win solution pada sistem adat yang diterapkan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dengan pihak balai
TNGHS sebagai pemilik dari kawasan taman nasional tersebut.
4.4.1. Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug
Untuk mengetahui sistem kelembagaan yang diterapkan dalam kasepuhan
adat Cibedug TNGHS, digunakan analisis deskriptif dalam menganalisisnya.
Analisis deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia,
suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu kelas peristiwa
pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat suatu deskripsi, gambaran
atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat
(36)
36 Analisis kelembagaan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
IAD yang telah dikembangkan lagi oleh Olstrom (Olstrom 1999 dalam Hidayat
2009). Beberapa atribut yang dapat digunakan untuk menganalisis kelembagaan
sistem pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug
antara lain : pertama, aktor dalam kelembagaan dianalisis dengan mengidentifikasi struktur kelembagaan yang terdapat dalam sistem pemanfaatan hutan di Kasepuhan
Adat Cibedug. Kedua, aturan kelembagaan diidentifikasi dalam empat bagian, yaitu : (1) boundary rule mengenai aturan tata batas aturan masuk dalam kelembagaan, (2) aturan akses terhadap sumberdaya yang dikelola secara bersama-sama, (3)
monitoring dan sanksi dalam setiap pelanggaran yang dilakukan, dan (4) aturan
dalam penyelesaian konflik yang terjadi dalam lingkup kelembagaan. Berikut adalah
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam menganalisis kelembagaan dalam
pemanfaatan hutan di Kasepuhan Adat Cibedug yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Parameter Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug
Parameter Analisis
Profil kelembagaan Kasepuhan Adat Cibedug :
- Aktor dalam kelembagaan - Aturan Kelembagaan : 1. Boundary rule
2. Akses sumberdaya hutan 3. Sanksi dan monitoring
4. Penyelesaian konflik dalam kelembagaan
Analisis aktor dan aturan dalam kelembagaan melalui wawancara dengan pemimpin adat Kasepuhan Cibedug beserta jajarannya.
Aktor dianalisis secara deskriptif dengan mengidentifikasi struktur kelembagaan dengan peran masing-masing aktor tersebut.
Aturan diklasifikasi dalam aturan boundary, akses, sanksi, monitoring dan penyelesaian konflik kemudian dianalisis menggunakan analisis deskriptif
(37)
37 Setelah analisis terhadap sistem kelembagaan adat Kasepuhan Cibedug
dilakukan, lalu dirumuskan apakah konsep ko-manajemen bisa dijadikan
rekomendasi yang dapat diterapkan dari pihak TNGHS kepada masyarakat adat
Kasepuhan Cibedug sebagai win-win solution terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan TNGHS yang dilakukan masyarakat adat tersebut sehingga sumberdaya hutan
dapat dimanfaatkan secara keberlanjutan.
4.4.2. Analisis Evaluasi Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug
Setelah analisis terhadap kelembagaan adat masyarakat Kasepuhan Cibedug
dilakukan, langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi terhadap sistem
kelembagaan adat Kasepuhan Cibedug yang dijalankan tersebut. Kriteria yang
digunakan dalam menilai sistem pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat
adat Kasepuhan Cibedug adalah kriteria umum seperti disebutkan dalam Hidayat
(2009) antara lain :
a. Efisiensi
b. Keberlanjutan, dan
c. Pemerataan
Kriteria efisiensi dalam evaluasi kelembagaan adat Kasepuhan Cibedug ini sama
dengan yang dilakukan oleh Novaczek et al (2001) dalam mengevaluasi sistem sasi di desa-desa Maluku Tengah, yaitu : 1) Pengambilan keputusan bersama, 2)
Kemudahan akses terhadap sumberdaya yang dimanfaatkan, 3) Pengawasan terhadap
akses ke sumberdaya yang dimanfaatkan (monitoring), dan 4) Kepatuhan terhadap peraturan.
(38)
38 Kriteria keberlanjutan untuk mengevaluasi sistem adat Kasepuhan Cibedug
menggunakan indikator berdasarkan Novaczek et al (2001), yaitu : 1) Keberlanjutan sosial yang memiliki pengertian dari sistem adat ini dapat mempertahankan tradisi
aksi kolektif, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan pendapatan, menjaga
keharmonisan masyarakat, serta memberi ruang bagi masalah-masalah lokal untuk
dipecahkan secara bersama, dan 2) Keberlanjutan secara biologi, diartikan apabila
kesehatan sumberdaya dan hasil sumberdaya tetap baik.
Untuk kriteria pemerataan sendiri memiliki empat komponen (Hanna 1994
dalam Hidayat 2010), yaitu : 1) Representatif : dalam sistem adat, manajemen yang
lebih adil harus mampu mewakili keseluruhan keinginan dan mengakomodasi
keseluruhan keragaman yang ada dalam masyarakat, 2) Kejelasan proses : proses
manajemen harus memiliki tujuan yang jelas dan pelaksanaannya dilakukan secara
transparan, 3) Harapan yang homogen : seluruh pihak yang terlibat atau semua
pemegang kepentingan harus memiliki kesepakatan tentang proses dan tujuan
pengelolaan sumberdaya, dan 4) Dampak distribusi : proses dan pelaksanaan
manajemen harus mampu memberikan perubahan distribusi barang dan jasa. Untuk
lebih jelasnya, analisis evaluasi kelembagaan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Kriteria dan Indikator Evaluasi Kelembagaan
Kriteria Kondisi Sumberdaya Sosial
Efisiensi
a. Akses terhadap sumberdaya yang dimanfaatkan
a. Pengambilan keputusan bersama b. Pengawasan terhadap akses ke
sumberdaya
c. Kepatuhan terhadap peraturan
Keberlanjutan a. Keberlanjutan biologi a. Keberlanjutan sosial
Pemerataan a. Dampak distribusi a. Representatif b. Kejelasan proses c. Harapan yang homogen
(39)
39
4.4.3. Analisis Kesesuaian Sistem Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Kasepuhan Cibedug dengan Peraturan Perundangan
Analisis dilakukan dengan membandingkan antara aturan adat Kasepuhan
Cibedug dalam sistem pemanfaatan sumberdaya hutan dengan aturan perundangan
yang berlaku terkait pemanfaatan hutan di kawasan konservasi. Analisis ini
dilakukan untuk melihat apakah sistem pemanfaatan hutan oleh masyarakat
Kasepuhan Cibedug tidak menyalahi aturan perundangan sehingga keberadaan
masyarakat adat tersebut dapat seiring sejalan dengan kepentingan pemerintah dalam
menjalankan fungsi konservasi dari kawasan TNGHS. Peraturan perundangan yang
digunakan antara lain :
a. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 pasal 24, pasal 37, pasal 50, pasal 67, pasal
74, pasal 75 dan pasal 78.
b. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 pasal 26, pasal 27 dan pasal 33.
c. Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 pasal 35
d. Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 pasal 19
e. Peraturan Menteri Agraria No 5 Tahun 1999 pasal 1 dan pasal 2.
f. Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006 pasal 5.
4.4.4. Analisis Ko-Manajemen
Untuk analisis ko-manajemen, analisis ini dilakukan sebagai sebuah
rekomendasi atau win-win solution yang dapat ditawarkan kepada pihak Balai TNGHS dengan adanya keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang
mendiami kawasan TNGHS yang memanfaatkan sumberdaya hutan didalam
kawasan tersebut. Sebelumnya, terlebih dahulu dilihat sejauh mana ko-manajemen
(40)
40 ko-manajemen ini dilihat berdasarkan pada Sen dan Nielsen (1996) yang antara lain :
(1) Instruksi (2) Konsultasi (3) Koperasi (4) Pengarahan dan (5) Informasi. Kriteria
yang akan digunakan dalam analisis ko-manajemen ini melihat bagaimana
pertukaran informasi yang dilakukan antara Kasepuhan Cibedug dengan taman
nasional serta penentuan pengambilan keputusan. Hasil dari bentuk ko-manajemen
tersebut lalu diusulkan selanjutnya kepada taman nasional. Dengan adanya tawaran
ko-manajemen ini, diharapkan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug
dapat diakui keberadaannya didalam kawasan TNGHS tanpa mengurangi fungsi dari
kawasan taman nasional itu sendiri sehingga keberadaan sumberdaya hutan TNGHS
dapat berlangsung secara berkelanjutan (sustainable). Tingkatan ko-manajemen beserta kriteria penilaiannya disajikan pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5. Tingkatan Ko-Manajemen
No Tingkat Ko-Manajemen Keterangan
1 Instruktif Ada suatu mekanisme untuk berdialog dengan masyarakat. Pemerintah hanya menginformasikan kepada masyarakat tentang keputusan-keputusan yang akan dibuat
2 Konsultatif Ada suatu mekanisme yang tersedia bagi pemerintah untuk berkonsultasi/musyawarah dengan masyarakat tetapi semua keputusan dibuat oleh pemerintah
3 Koperasi Antara pemerintah dan masyarakat bersama-sama dalam pengambilan keputusan
4 Pendampingan Masyarakat memberi masukan/saran/nasehat tentang suatu keputusan dan pemerintah memberi dukungan terhadap keputusan tersebut
5 Informasi Masyarakat mendapat kekuasaan untuk membuat keputusan dari pemerintah dan bertanggungjawab untuk menginformasikan keputusan-keputusan yang telah dibuat kepada pemerintah
(41)
V. GAMBARAN UMUM
5.1. Taman Nasional Gunung-Halimun Salak (TNGHS)
Kawasan Gunung Halimun sebelum menjadi taman nasional merupakan
kawasan hutan lindung dibawah Pemerintahan Belanda pada tahun 1924.
Kemudian pada tahun 1935 kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai
kawasan cagar alam oleh Djawatan Kehutanan Republik Indonesia dan
pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintahan Belanda beserta Republik
Indonesia. Selama menjadi cagar alam, pengelolaan kawasan Halimun mengalami
beberapa pergantian pengelolaan. Pada tahun 1961 kawasan cagar alam Gunung
Halimun dikelola dibawah Perum Perhutani Jawa Barat, tahun 1979 dikelola Balai
Konservasi Sumberdaya Alam III dibawah Sub Balai Konservasi Sumberdaya
Alam Jawa Barat dan kemudian dikelola oleh Taman Nasional Gunung
Gede-Pangrango pada tahun 1990 (Hartono et al, 2007).
Awal sejarah penunjukkan kawasan Gunung Halimun sebagai kawasan
taman nasional adalah berawal dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
282/Kpts-II/1992 pada tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40.000 hektar
sebagai Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Atas dasar kondisi
sumberdaya alam hutan di Gunung Salak yang semakin terancam rusak dan
adanya desakan para pihak yang peduli konservasi alam menjadi alasan kawasan
Halimun dan Salak ditetapkan sebagai kawasan taman nasional (Hartono et al
2007). Alasan selanjutnya adalah kawasan hutan yang berada di Gunung Halimun
dan Gunung Salak juga merupakan kesatuan hamparan hutan yang memilik tipe
yang sama, yaitu hutan dataran rendah dan hutan pegunungan. Kedua kawasan ini
(42)
42 lingkungan yang penting yaitu berupa sumber mata air yang sangat berguna bagi
kehidupan masyarakat sekitar hutan Gunung Halimun dan Salak (Dephut 2003).
Alasan-alasan tersebut yang kemudian membuat kawasan TNGH ditambah
dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut serta kawasan di sekitarnya
yang status sebelumnya merupakan hutan produksi terbatas dan hutan lindung
yang dikelola Perum Perhutani diubah fungsinya menjadi hutan konservasi dalam
satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
(TNGHS) melalui SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 dengan luas total
113.357 hektar (Hartono et al, 2007).
Hartono et al (2007) juga menyebutkan alasan lain yang mendasari penunjukkan kawasan Gunung Halimun sebagai taman nasional adalah kawasan
ini memiliki karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki ekosistem
hutan hujan tropis di Pulau Jawa terutama Jawa Barat. Alasan selanjutnya adalah
kawasan Gunung Halimun juga berfungsi sebagai kawasan tangkapan air dan juga
merupakan habitat satwa unik yang ada di Gunung Halimun seperti Owa Jawa,
Elang Jawa dan Macan Tutul. Pengelolaan TNGHS berada di bawah Balai Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS). Sejarah TNGHS dijabarkan pada
Tabel 6 berikut :
Tabel 6. Sejarah Perkembangan Kawasan TNGHS
Tahun Status Kawasan Gunung Halimun
1924-1934 Status sebagai hutan lindung dibawah pemerintahan Belanda dengan luas mencakup 39,941 hektar
1935-1961 Status cagar alam dibawah pengelolaan pemerintahan Belanda dan Republik Indonesia/ Djawatan Kehutanan Republik Indonesia
1961-1978 Status cagar alam dibawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat 1979-1990 Status cagar alam dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya
Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat 1990-1992 Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango 1992-1997 Status taman nasional dibawah pengelolaan Taman Nasional Gunung
(43)
43
Tabel 6. (lanjutan)
Tahun Status Kawasan Gunung Halimun
1997-2003 Status taman nasional dibawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III
2003 Status penunjukkan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113.357 hektar (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya)
Sumber : Hartono et al (2007)
Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) terletak di
dua propinsi yakni Propinsi Jawa Barat dan Banten serta tiga kabupaten yaitu
Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Dalam tiga
kabupaten tersebut, terdapat 26 Kecamatan (9 Kecamatan berada di Kabupaten
Bogor, 8 Kecamatan berada di Kabupaten Sukabumi dan 9 Kecamatan di
Kabupaten Lebak) serta terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya di
dalam dan/atau berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS (Dephut 2007).
Sumber : Hartono et al (2007)
(44)
44 Kawasan TNGHS memiliki jalur batas yang panjang dan juga terdapat
beberapa enclave berada di dalamnya. Seperti enclave Perkebunan Nirmala dan Cianten yang merupakan dua enclave perkebunan teh. Selain itu, terdapat pula beberapa lahan garapan pertanian dan pemukiman. Konon, para petani sudah
tinggal berpuluh-puluh tahun sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Walau banyak dari mereka yang sudah meninggalkan kawasan tetapi
keturunannya masih tetap tinggal di kawasan taman nasional sampai sekarang
(Hartono et al. 2007)
Terdapatnya kampung adat didalam kawasan TNGHS yang mempunyai
pola hidup berpindah-pindah menjadi salah satu kekhawatiran akan terjadinya
degradasi SDA di TNGHS. Dalam kurun waktu 1989-2004 diperkirakan telah
terjadi deforestasi sebesar 25% atau berkurang sebesar 22000 Ha dengan laju
sebesar 1.3% per tahun. Deforestasi tersebut diikuti dengan kenaikan secara
konsisten semak belukar, ladang dan perumahan (Prasetyo dan Setiawan 2006)
dan sebagian besar deforestasi terjadi di wilayah perluasan. Data mengenai
kecamatan dan desa yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak dapat dilihat pada Tabel 6.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan P. 29/ Menhut-II/2006
tanggal 2 Juni 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai dan Unit Taman
Nasional dan Surat Kepala Balai No: SK. 16/Kpts/VI-T.13/Peg/2011 TNGHS 6
Januari 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (Departemen Kehutanan 2007), TNGHS termasuk taman nasional
tipe B yaitu terdiri dari satu orang Kepala Balai setingkat eselon IIIa ditambah
(45)
45 jabatan fungsional yang terdiri dari Polisi Kehutanan (POLHUT) dan Pengendali
Ekosistem Hutan (PEH). Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
(BTNGHS) memiliki tiga Kantor Seksi Wilayah yang antara lain Kantor Seksi
Wilayah I Lebak, Kantor Wilayah Seksi II Bogor dan Kantor Seksi Wilayah III
Sukabumi. Wilayah Kasepuhan Adat Cibedug berada di wilayah Kantor Seksi
Lebak dibawah Resort Cibedug. Untuk lebih jelas, bisa dilihat pada Gambar 5.
Tabel 7. Wilayah Administratif Pemerintahan Desa, Kecamatan, Kabupaten di Sekitar Kawasan TNGHS
Kabupaten Wilayah Administrasi yang Termasuk Dalam Kawasan Hutan TNGHS Kecamatan Desa
Sukabumi Cicurug Cisaat, Tenjolaya, Kutajaya, Pasawahan Cidahu Girijaya, Cidahu
Parakan Salak Sukatani, Parakansalak Kalapanunggal Gunung Endut, Pulosari
Cikidang Cikiray, Mekarnangka, Gunung Malang Cisolok Karangpapak, Sirnaresmi
Cikakak Cimaja, Cileungsing, Margalaksana, Sirnarasa
Kabandungan Mekarjaya, Kabandungan, Cipeuteuy, Cihamerang, Cinaga Bogor Sukajaya Kiarasari, Cisarua, Kiarapandak, Pasirmadang, Cileuksa, Sukamulih
Jasinga Jugalajaya, Pangradin, Curug
Nanggung Malasari, Bantarkaret, Curugbitung, Cisarua Leuwiliang Puraseda, Purasari
Pamijahan Gn. Picung, Cibunian, Gn. Asri, Ciasihan, Gn. Bunder 2 Tenjolaya Tapos I, Gn.Malang
Tamansari Tamansari, Sukajadi, Sukaluyu
Cijeruk Cipelang, Sukaharja, Tajurhalang, Cijeruk Cigombong Pasirjaya, Tugujaya
Lebak Cipanas Cipanas, Luhurjaya, Banjaririgasi, Ciladaeun, Lebakgedong, Banjarsari, Lebaksitu, Lebaksangka
Muncang Pasirnangka, Karang Combong, Cikarang
Sobang Cirompang, Sobang, Hariang, Cilebang, Sukajaya, Majasari, Sukamaju, Citujah, Sindanglaya, Ciparay
Sajra Leuwikopo, Ciminyak, Maraya, Pasirhaur, Girijaya, Jayapura, Giriharja
Leuwidamar Kanekes
Cijaku Cikate
Panggarangan Gununggede, Sogong, Jatake
Bayah Cisuren
Cibeber Cihambali, Mekarsari, Hegarmanah, Neglasari, Kujangjaya, Sirnagalih, Cikadu, Cisungsang, Kujangsari, Situmulya, Citorek, Ciusul
Sumber : BPS Kab. Sukabumi, BPS Kab. Bogor tahun (2004-2005) dalam Aprianto (2008)
(46)
46
5.2. Kondisi Umum Resort Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Resort Cibedug memiliki luas 11.526,435 Ha dan secara geografis terletak
pada 106o12’58”-106o20’32” bujur timur dan 06o40’58”-06o48’15” lintang selatan. Secara administratif kawasan Resort Cibedug terletak pada 4 kecamatan
yaitu Kecamatan Sobang, Cibeber, Panggarangan, Cijaku dan terletak pada 9 Desa
antara lain Desa Ciparay, Citorek, Sukamaju, Cirompang, Sukajaya, Cilebang,
Gn. Gede, Jatake, dan Cikate. Kantor Resort Cibedug sendiri terletak di Desa
Ciparay/ Citorek Timur Kecamatan Cibeber (BTNGHS 2010).
Kawasan resort Cibedug memiliki topografi yang bergelombang,
berbukit-bukit dan bergunung dengan ketinggian tempat bervariasi mulai dari 600- 1100
meter diatas permukaan laut (mdpl) dengan kemiringan lereng berkisar antara
15% sampai dengan 40%. Berdasarkan Schmidt dan Ferguson (1951), daerah
Resort Cibedug mempunyai tipe iklim B dengan perbandingan jumlah rata-rata
bulan kering dan bulan basah (Q) adalah 24,7 serta suhu rata-rata bulanan 21o Celcius. Suhu terendah di Resort Cibedug adalah 17o Celcius dan suhu tertinggi adalah 33o Celcius dengan kelembaban udara rata-rata 75% dan rata-rata curah hujan yaitu 4000-6000 mm/tahun.
(1)
114
No Pertanyaan Jawaban
8 Lalu untuk sejarah sendiri antara Kasepuhan Citorek dengan Cibedug bagaimana?
Dahulu itu, semuanya satu kasepuhan. Jadi masyarakat Kasepuhan Cibedug itu induknya ke citorek, hanya beberapa aturan tertentu yang tidak sama.
9 Lalu sebenarnya masyarakat Cibedug itu asalnya dari Citorek? Betul. Jadi begini, dulu asalnya Cidiki, lalu ke sajra. Sebelum menjadi kasepuhan, dia tinggal disana bertanya atau mengguru. Karena memang ia dituakan oleh kasepuhan disini, ditunjuk agar kamu saja jadi kasepuhan. Lalu menerima perintah dari sini, aturan-aturan seperti ini, cara bertani seperti ini. Dia menganggap ketika ditanya ti mana asal sekarang ya memang turunan sajra, adapun sekarang setelah dia pegang disini mandat yang dari kasepuhan citorek sama dengan kasepuhan yang ada di sajra. Untuk masalah pengangkatan kepala adat, tidak sama dengan pengangkatan kepala desa. Disini itu ditunjuk dari pusat, dari timur. Timur itu mana Citorek. Lalu untuk mencari kehidupan, berpindah-pindah, mencari tempat yang enak, lama kelamaan penduduknya banyak. Sekarang pun penduduk yang ada disana, ada yang dari sini. Banyak orang yang menikah disini, tinggal kesana. Suaminya atau istrinya yang dari sini.
(2)
115 LAMPIRAN 4
Elang Ular Bido (Spilornis cheela) terbang melintas di sekitar Resort Cibedug (atas) dan Kondisi tutupan vegetasi hutan di Resort Cibedug (bawah)
(3)
116 LAMPIRAN 5
Peta Pembagian Ruang Adat Kasepuhan Cibedug
Sumber : Kasepuhan Cibedug (2010)
Batas wilayah Wewengkon Kasepuhan Cibedug Batas wilayah LeuweungTitipan
Batas wilayah Leuweung Kolot
Batas wilayah Leuweung Cadangan
Batas wilayah Lahan Garapan Batas wilayah Pemukiman
(4)
117
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 Februari tahun 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua saudara pasangan Sumeh, SE dan Sunarsih. Pendidikan formal penulis diawali di TK Al-Hidayah Pondok Kacang Timur, tahun 1995 melanjutkan pendidikan ke SDN III Pondok Kacang Timur, tahun 2001 melanjutkan pendidikan ke SLTPN 3 Kota Tangerang, dan tahun 2004 melanjutkan pendidikan ke SMAN 63 Jakarta Selatan. Tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Sejak tahun 2007 sampai 2012 penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKM UKF) IPB dan pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Konservasi Reptil Amfibi (DKRA) UKF IPB pada periode 2009-2010. Selama berorganisasi, penulis pernah menjadi fasilitator pada acara Kemah Konservasi di TNGHS tahun 2008 dan acara “Young Transformers” di Muara Angke tahun 2009. Penulis juga pernah mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mandiri (BBM) pada tahun 2008.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi di Fakultas Ekonomi Manajemen IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak)” di bawah bimbingan Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc dan Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si.
(5)
RINGKASAN
AGUNG KURNIAWAN. Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan
Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak).
METI EKAYANI dan KASTANA SAPANLI.
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug adalah salah satu komunitas masyarakat hukum adat yang memanfaatkan sumberdaya hutan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Poerwanto (2000) menyebutkan masyarakat adat memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisi yang bermanfaat bagi penetapan dan pengaturan fungsi hutan. Walau dalam pemanfaatan sumberdaya hutan (SDH) hanya untuk dimanfaatkan sehari-hari dan tidak diperjual belikan bukan berarti keberadaan mayarakat Kasepuhan Cibedug di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) tidak membahayakan kelestarian TNGHS. Penambahan jumlah penduduk di Kasepuhan Cibedug khususnya pendatang yang bukan asli masyarakat adat menyebabkan kebutuhan terhadap sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup juga bertambah. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya aktivitas pembukaan lahan kawasan hutan TNGHS untuk dijadikan lahan garapan serta pemukiman.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang kondisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak terutama dalam pola pemanfaatan sumberdaya hutan kawasan TNGHS serta pengaruhnya pada kondisi sumberdaya hutan TNGHS tersebut. Tujuan khusus penelitian ini antara lain : (1) menganalisis peran Balai TNGHS serta stakeholder terkait dengan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan TNGHS, (2) melihat kesesuaian serta potensi dampak yang dihasilkan dari pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug melalui perbandingan aturan adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan perundangan yang berlaku pada pengelolaan kawasan TNGHS, (3) mengevaluasi kegiatan co-management yang telah terbangun antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug di dalam pengelolaan kawasan TNGHS. Analisis kelembagaan dilakukan dengan metode deskriptif menggunakan Institutional Analysis and Development. Peraturan perundangan digunakan untuk menganalisis kesesuaian aturan adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan perundangan yang berlaku tentang pemanfaatan sumberdaya hutan.
Aturan-aturan adat Kasepuhan Cibedug dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan di TNGHS memiliki banyak kesesuaian dengan peraturan perundangan yang berlaku. Akan tetapi, masih terdapat ketidaksesuaian dalam aturan adat tersebut seperti alih fungsi lahan menjadi lahan petanian dan pemukiman serta pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat Kasepuhan Cibedug. Walaupun ketidaksesuaian tersebut hanya sedikit namun bila tidak dikelola dengan baik dapat berpotensi mengancam kelestarian kawasan TNGHS.
Melalui wawancara yang mendalam (depth interview) dengan teknik informan kunci (Key Informant Approach) dihasilkan bahwa masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memiliki kearifan lokal terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan. Kearifan lokal tersebut antara lain pembagian ruang adat, aturan batasan
(6)
dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, aturan akses pemanfaatan sumberdaya hutan dan aturan sanksi terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan. Kasepuhan Cibedug juga memiliki struktur kelembagaan inti yang dipimpin oleh seorang Kepala Adat. Stakeholder yang terkait dengan keberadaan masyarakat Kasepuhan Cibedug antara lain TNGHS melalui Resort Cibedug, Pemerintah Desa Citorek Barat, dan lembaga swadaya masyarakat RMI.
Antara Kasepuhan Cibedug dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak telah terbentuk Ko-manajemen secara informal dan telah mencapai tingkat konsultatif. Hal ini bisa dilihat dalam bentuk pertukaran informasi dan penentuan keputusan antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug berupa dijadikannya mandor dan tokoh masyarakat Cibedug sebagai perpanjangan tangan dari TNGHS melalui pihak resort untuk mengingatkan masyarakatnya agar tidak merusak hutan.
Kata Kunci : Kelembagaan, Sumberdaya Hutan, Taman Nasional, Management, Masyarakat Adat