oksidasi apel

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM

MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK KONSUMER

MATERI OKSIDASI APEL

Oleh :

Shara Indriati P. 141710101029

Aurora Urbahillah* 141710101068

Dian Pratiwi* 141710101086

Danar Ilma Firdaus 141710101116 THP-B

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER 2016


(2)

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Apel (Malus domestica Borkh.) termasuk rajanya buah komersial karena konsumennya luar biasa banyaknya. Di Indonesia, apel diperkenalkan oleh orang Belanda dan dikembangkan oleh orang Indonesia. Disamping rasanya yang manis ternyata banyak memiliki kandungan gizi, sehingga ada banyak manfaat ketika kita makan buah apel. Bentuknya yang keras membuat penampilan apel ini kelihatan kokoh.

Seringkali kita melihat proses perubahan warna pada apel setelah dikupas, dipotong, ataupun digigit atau setelah mengalami luka. Hal demikian dinamakan browning atau pencoklatan. Pencoklatan (Browning) adalah terbentuknya warna coklat pada bahan pangan secara alami atau proses tertentu. Reaksi Browning ada dua yaitu secara enzimatis dan non-enzimatis. Pada buah apel terdapat enzim polifenol oksidase(PPO) yang dengan cepat mengoksidasi senyawa fenol yang terdapat pada jaringan buah apel menjadi O-kuinon dari tidak berwarna menjadi kecoklatan.

Pada buah reaksi pencoklatan (Browning) tidak diharapkan. Warna kecoklatan yang muncul ini menjadikan buah apel tidak menarik lagi. Untuk memperlambat reaksi Browning, buah apel dapat ditambahkan seperti asam, garam, dan bawang merah. Oleh sebab itu, pada praktikum kali ini kami akan mengamati pengaruh penambahan vitamin C pada reaksi oksidasi buah apel. 1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum oksidasi apel yaitu untuk mengetahui pengaruh penambahan vitamin C dan perlakuan pengupasan terhadap laju oksidasi apel.


(3)

2.1 Apel

Apel merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari daerah Asia Barat yang beriklim subtropis. Apel telah ditanam di Indonesia sejak tahun 1934 hingga sekarang. Secara taksonomi, apel tergolong dalam divisi spermatophyta dari famili rocaceae. Berikut taksonomi dari apel:

Divisio: spermatophyta Subdivisio: angiospermae Kelas: dycotiledonae Ordo: rosales

Famili: rosaceae Genus: malus

Spesies: malus sylvestris Mill (Untung, 1996).

Menurut Sufrida (2006) dalam 100 gr buah apel mengandung :

Zat Gizi Jumlah Terkandung

Energi 58 kal

Protein 0,3 gr

Lemak 0,4 gr

Karbohidrat 14,9 gr

Kalsium 6 mg

Fosfor 10 mg

Serat 0,07 gr

Besi 1,30 mg

Vit A 24 RE

Vit B1 0,04 mg

Vit B2 0,03 gr

Vit C 5 mg

Niacin 0,1 mg


(4)

a. Apel Manalagi

Apel ini memiliki rasa yang manis walaupun masih muda dan aromanya harum. Diameter buah ini berkisar antara 5-7 cm dengan berat 75-160 gram per buahnya. Daging buahnya berawarna putih, kadar airnya hanya 84,05%.Bentuk bijinya bulat dengan ujung tumpul dan berwarna cokelat tua (Sufrida, dkk., 2004).

b. Apel Rome Beauty

Apel jenis ini merupakan apel yang paling banyak ditanam petani di daerah Batu Malang yaitu sekitar 70%. Kulitnya tebal berwarna merah pudar, daging buahnya berwarna putih kekuningan. Memiliki kandungan air hingga 86,65%. Diameter buah ini berkisar antara 5 –12 cm denganberat 70 –300 gram per buahnya (Sufrida, dkk., 2004).

c. Apel Gala (Royal Gala)

Apel ini merupakan hasil persilangan antara jenis apel kidds orange red dengan apel golden delicious. Menurut penelitian buah ini berasal dari Selandia Baru, yang ditemukan oleh J. H Kidd pada tahun 1934. Bentuknya bulat berukuran sedang dengan warna semburat kuning dan jingga kemerahan. Tekstur daging buah renyah dan warna putih kekuningan (Sufrida, dkk., 2004).

d. Apel Fuji

Apel fuji merupakan hasil seleksi antara red delicious dengan ralls janet yang dilakukan di Jepang. Fuji diperkenalkan tahun 1962 dan kini populer di Jepang, Cina, Koreadan Amerika. Di negara Jepang, apal fuji berwarna merah cerah dan ukurannya sebanding dengan Mc. Intosh. Sedangkan di Malang,kulitnya berubah warna menjadi merah hijau kecoklatan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan yang cukup besar antara kondisi agroklimat di Jepang dan di Indonesia (Sufrida, dkk., 2004)

e. Apel Anna

Apel ini mempunyai aroma yang kuat dengan rasa agak asam. Kadar air dan kandungan vitamin C-nya cukup tinggi. Apel anna berbentuk lonjong seperti trapesium terbalik. Kulit buahnya halus tetapi tipis dan berwarna merah tua. Kadar airnya sekitar 84,12%(Sufrida, dkk., 2004).

f. Apel Mc. Intosch

Apel ini mempunyai aroma yang kuat dengan rasa yang sangat asam. Apel ini berwarna merah tua dengan ukuran yang sangat bervariasi. Rasa apel ini sangat renyah, lembut dan kandunagn airnya banyak ( Sufrida, dkk., 2004).


(5)

g. Apel Mutsu

Apel ini merupakan perpaduan antara apel jenis golden delicious dan indo di Jepang yang dikawinsilangkan pada tahun 1930. Buahnya berwarna hijau dengan garis kuning ditepinya (Sufrida, dkk., 2004).

h. Apel Princess Noble

Apel ini dikenal juga dengan sebutan apel australia, Karen aapel ini didatangkan dari Australia pada tahun 1932. Warna kulitnya hijau kekuningan dengan bintik-bintik putih. Memiliki pori-pori yang halus dan renggang. Tangkai buahnya panjang dan kecil berwarna hijau, kadar airnya 86,35% dan rasanya asam (Sufrida, dkk., 2004).

i. Apel Granny Smith

Apel ini berasal dari Australia. Apel jenis granny smith mulai dikonsumsi sekitar tahun 1868. Di negara 4 musim, seperti Inggris, apel ini rasanya tawar sehingga hanya dipakai sebagai buah olahan. Namun, granny smith yang berbuah di Indonesia rasanya lebih manis dari princess noble. Buah ini memiliki ukuran buah yang cukup besar yaitu 64 x61 mm. Kandungan airnya banyak dan berwarna putih (Sufrida, dkk., 2004).

j. Apel Golden Delicious

Golden delicious merupakan jenis apel yang paling banyak ditanam di dunia. Apel yang berasal dari Amerika ini ditemukan oleh A.H. Mullins pada tahun 1980. Ukuran buah ini termasuk ukuran sedang yaitu antara 67 x64 mm,kulit buah berwarna hijau kekuningan. Buah ini memiliki aroma yang harum,kandungan airnya tinggi dan rasanya manis agak asam (Sufrida, dkk., 2004).

k. Apel Red Delicious

Apel jenis ini merupakan salah satu apel yang paling terkenal di dunia. Di Indonesia, buah ini juga banyak dijumpai dipasar swalayan dan pasar tradisional. Buah ini memiliki warna kulit yang merah tua sesuai dengan namanya. Ukuran buah ini tergolong besar yaitu 70 x 70 mm. Daging buah ini berwarna putih, bertekstur renyah dengan kandungan air yang banyak serta rasanya yang manis (Sufrida, dkk., 2004).

Bagi kesehatan, buah apel mempunyai manfaat yang nyata dalam hal:  Menurunkan kolesterol darah


(6)

 Menurunkan tekanan darah  Meningkatkan HDL

 Memperlancarkan pencernaan  Menjaga kesehatan jantung

 Mengurangi nafsu makan (Sufrida, 2006) 2.2 Macam-macam Senyawa Fenolik Buah Apel

Komponen fenolik pada apel berupa flavonoid dan asam fenolik. Flavonoid yang ada di dalam apel adalah flavonol, catechin, dan epicatechin. Contoh asam fenolik yang ada di dalam apel adalah asam cafeic dan asam p-coumaric yang membentuk ester dengan asam quinic di dalam apel. Senyawa fenolik lainnya adalah floretin glikosida. Konsentrasi masing-masing senyawa fenolik pada apel bervariasi, bergantung pada bagian-bagian di mana senyawa tersebut ada. Pada kulit apel, senyawa fenolik yang mendominasi adalah quercetin glikosida dan flavonol. Bagian inti dan biji buah apel banyak mengandung floretin glikosida. Bagian korteks buah apel banyak mengandung asam fenolik. Sebagian besar komponen fenolik yang dimiliki oleh apel berbentuk senyawa o-difenol (Carmelita, 2011).

2.3 Reaksi Browning Buah Apel

Apel apabila dikupas, daging buah atau umbinya akan berwarna coklat. Pencoklatan (browning) pada buah apel terjadi akibat proses enzimatik oleh polifenol oksidase (Bastian, 2004). Pencoklatan (browning) pada apel harus dihilangkan karena bersifat racun. Enzim polifenol tersebut akan mudah teroksidasi dengan adanya oksigen akan membentuk senyawa radikal orto-kuinon (Palupi, 2007). Gugus 0-kuinon inilah yang membentuk warna coklat. Senyawa orto-kuinon tersebut sangat reaktif dan apabila bereaksi dengan protein dapat membentuk senyawa komplek yang melibatkan asam amino lisin sehingga ketersediaan akan menurun. Selain itu senyawa komplek protein-polifenol tersebut sulit ditembus oleh enzim protease sehingga daya cerna proteinnya juga rendah, sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan nilai gizi protein tersebut juga akan turun (Palupi, 2007). Pencoklatan (browning) pada apel melibatkan


(7)

hidroksilase dari monophenol ke diphenol dan oksidasi o-diphenol menjadi O-quinon (Christiane et al. 2008) Terjadinya reaksi pencoklatan diperkirakan seperti terlihat pada Gambar 1. berikut ini (Ruhiye, 2003).

Gambar 1. Reaksi pencoklatan (Ruhiye, 2003)

Reaksi umum gambar 1. menjelaskan dimana fenol dan oksigen adalah substrat dan BH2, singkatan dari senyawa o-diphenol sebagai donor elektron (aktifitas monophenolase). Sedangkan pada aktifitas diphenolase, BH2 tidak diperlukan karena ada o-diphenol cukup untuk reaksi dan kedua atom dari molekul oksigen direduksi menjadi air dan pada akhirnya O-quinon berpolimerisasi membentuk pencoklatan. (Melanti,2013)

2.4 Cara Mencegah Reaksi Browning

Beberapa substansi yang dapat digunakan untuk mencegah pencoklatan pada buah apel antara lain:

a) Asam

Penggunaan antioksidan, misalnya vitamin C ataupun senyawa sulfit dapat mencegah oksidasi komponen-komponen fenolat menjadi kuinon yang berwarna gelap. Sulfit dapat menghambat enzim fenolase secara langsung atau mereduksi hasil oksidasi kuinon, sedangkan penggunaan vitamin C dapat mereduksi kembali kuinon berwarna hasil oksidasi (o-kuinon) menjadi senyawa fenolat (o-difenol) tak berwarna. Ketika vitamin C habis, komponen berwarna akan terbentuk sebagai hasil reaksi polimerisasi yang irreversibel.


(8)

Jadi produk berwarna hanya akan terjadi jika vitamin C yang ada habis dioksidasi dan quinon terpolimerisasi. Asam askorbat (vitamin C) dapat berperan sebagai antioksidan. Oksigen akan bereaksi terlebih dahulu dengan asam askorbat daripada bereaksi dengan enzim fenolase pada buah apel.Asam askorbat dapat menurunkan pH dari jaringan buah-buahan untuk meminimalisasi aktivitas dari fenolase. Jika pH dapat diturunkan hingga di bawah 3.0 maka aktivitas fenolase sebagian besar akan dihambat (Sapers, 1993).

b) Garam

Perendaman dengan air garam dilakukan untuk mencegah apel agar tidak kontak dengan oksigen sehingga tidak terbentuk senyawa polifenol oksidase (fenolase). NaCl menghambat browning dengan cara menurunkan pH pada apel sehingga mencegah terjadinya browning. Garam juga dapat digunakan untuk meningkatkan cita rasa dari apel (Friedman, 1996).

c) Air

Pengurangan oksigen (O2) dengan cara menempatkan buah apel yang segar dalam rendaman air akan mencegah reaksi pencoklatan, karena air dapat membatasi jumlah oksigen yang kontak dengan jaringan buah apel. Dengan kata lain semakin minimal jumlah oksigen yang mengalami kontak langsung dengan buah apel maka semakin minimal proses pencoklatan yang akan terjadi (Friedman, 1996).

d) Pemanasan

Pemanasan juga dapat menghambat pencoklatan dengan cara menginaktivasi enzim fenolase. Enzim umumnya bereaksi optimum pada suhu 30-40 ºC. Pada suhu 45 ºC enzim mulai terdenaturasi dan pada suhu 60 ºC mengalami dekomposisi. Blanching merupakan suatu proses pemanasan pada bahan pangan dengan menggunakan suhu dibawah 100°C. Blanching dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemanasan secara langsung dengan air panas (Hot Water Blanching) atau dengan menggunakan uap (Steam blanching). Blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang memungkinkan perubahan warna, tekstur, cita rasa bahan pangan (Aoyama et al., 2007).

e) Bawang Merah

Bawang merah dapat digunakan untuk mencegah pencoklatan pada buah apel. Hal ini dikarenakan bawang merah mengandung senyawa sulfihidril (SH atau


(9)

thiol). Senyawa sulfihidril dalam bawang merah dapat menghambat aktivitas enzim polifenol oksidase (fenolase). Hanya saja penggunaan bawang merah pada buah apel akan mempengaruhi aroma dari buah apel tersebut (Kim, Kim & Park, 2005).

BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM 3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat 1. Gelas ukur 2. Blender 3. Saringan 4. Pisau 5. Spatula

6. Gelas bekas air mineral 7. Kertas alumunium 3.1.2 Bahan

1. Apel 2. Vitamin C 3. Air


(10)

3.2 Skema Kerja

Apel

Kupas Tanpa Kupas

+ air, apel:air 1:6 Pemblenderan

Penyaringan

Filtrat

Pemasukan pada 4 gelas, masing-masing 100 ml

+ air, apel:air 1:6 Pemblenderan

Penyaringan

Filtrat

Pemasukan pada 4 gelas, masing-masing 100 ml

Penambahan vitamin C 4g; 7g;

10g dan kontrol

Penambahan vitamin C 4g; 7g;

10g dan kontrol

Pengamatan selama 7 hari

Pengamatan selama 7 hari


(11)

BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN 4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Warna Perlaku

an

Penamba han Vitamin C

Hari

ke-0 1 2 6 7

Tanpa Kupas

Kontrol +++ ++++ ++++ ++++ ++++

4 mg ++ +++ +++ +++ ++++

7 mg ++ +++ +++ +++ +++

Kupas

Kontrol ++++ ++++

+ +++++ +++++ ++++++

4 mg +++ ++++ ++++

+ +++++ ++++++

7 mg ++ ++++ ++++

+ +++++ ++++++

4.1.2 Endapan Perlaku

an

Penamba han Vitamin C

Hari

ke-0 1 2 6 7

Tanpa Kupas

Kontrol - ++ ++ +++ +++

4 mg - ++ ++ +++ +++

7 mg - + + ++ ++

Kupas

Kontrol - ++ ++ +++ +++

4 mg - ++ ++ +++ +++


(12)

4.1.3 Buih Perlaku

an

Penamba han Vitamin C

Hari

ke-0 1 2 6 7

Tanpa Kupas

Kontrol - ++ + -

-4 mg - + + -

-7 mg - + + +

-Kupas

Kontrol - ++ ++ +

-4 mg - +++ ++ +

-7 mg - ++++ +++ +++ +

4.2 Hasil Perhitungan

Pada praktikum ini tidak dilakukan perhitungan.

BAB 5. PEMBAHASAN 5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan

Praktikum oksidasi apel bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan vitamin C dan perlakuan pengupasan terhadap laju oksidasi apel. Sampel utama yang digunakan yaitu buah apel dengan perbedaan perlakuan berupa pengupasan dan tanpa kupas. Kemudian apel tersebut ditambah air dengan perbandingan antara apel dan air yaitu 1:6. Kemudian dilakukan penghancuran menggunakan blender sehingga dihasilkan jus apel. Jus apel tersebut disaring untuk memisahkan antar filtrat dan residunya. Filtrat yang dihasilkan merupakan objek utama penelitian pada praktikum ini. Filtrat tersebut diberi 4 perlakuan yang masing-masing diletakkan pada gelas sebanyak 100 ml. Perlakuan tersebut yaitu tanpa pemberian vitamin C sebagai kontrol, pemberian vitamin C sebanyak 4 mg, 7 mg dan 10 mg. Pemberian vitamin C dapat menghambat terjadinya proses oksidasi sehingga dapat juga menghambat perubahan kenampakan pada ekstrak apel. Masing-masing sampel yang telah diberi perlakuan ditutup rapat menggunakan


(13)

aluminium foil. Kemudian dilakukan pengamatan selama 7 hari dengan parameter pengamatan yaitu perubahan warna, terbentuknya endapan dan buih. Pengamatan dilakukan secara visual dengan memberikan nilai + untuk setiap parameter yang diamati. Semakin tinggi nilai + maka warna ekstrak apel semakin gelap, semakin banyak terbentuk endapan dan semakin banyak buih yang terbentuk.

5.2 Analisa Data 5.2.1 Warna

Oksidasi merupakan interaksi kontak langsung diantara molekul oksigen dan semua zat yang berbeda dari benda mati hingga jaringan hidup seperti tumbuhan. Oksidasi pada buah

dapat ditandai dengan reaksi pencoklatan (browning). Pencoklatan

(Browning) adalah terbentuknya warna coklat pada bahan pangan secara alami atau proses tertentu.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan selama 7 hari, semakin lama waktu penyimpanan, warna yang terbentuk pada jus apel semakin gelap. Warna gelap terbentuk karena adanya reaksi pencoklatan pada jus apel. Reaksi

pencoklatan tersebut terjadi akibat proses enzimatik oleh polifenol oksidase

(Bastian, 2004). Enzim polifenol tersebut akan mudah teroksidasi dengan adanya oksigen akan membentuk senyawa radikal orto-kuinon (Palupi, 2007). Gugus O-kuinon inilah yang membentuk warna coklat.

Pada sampel kontrol dan pemberian vitamin C sebanyak 4 mg menghasilkan warna yang lebih gelap dibanding dengan sampel dengan pemberian vitamin C sebanyak 7 mg. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh adanya penghambatan reaksi oksidasi karena jika oksidasi terhambat maka stabilitas larutan tidak mudah terganggu sehingga perubahan warna tidak terlalu besar terjadi. Vitamin C atau asam askorbat mereduksi kembali O-quinon yang terbentuk menjadi senyawa fenol dimana vitamin


(14)

C melepaskan 2 molekul hidrogennya dengan membentuk dihidro asam askorbat. Dengan terbentuknya senyawa fenol kembali maka reaksi lanjutan pembentukan melanin dari quinon tidak berlangsung (Janovitz and Richard, 1990). Akibatnya reaksi pencoklatan dapat ditekan.

Proses oksidasi pada jus apel ditandai dengan semakin gelapnya warna jus selama penyimpanan. Pada proses oksidasi diperlukan oksigen untuk berlangsungnya proses oksidasi tersebut. Namun proses oksidasi ini tidak berlangsung secara terus menerus. Hal ini disebabkan karena substrat yang diubah atau yang teroksidasi telah habis atau bahkan oksigen sebagai katalis oksidasi yang ada pada kemasan telah habis. Hasil pengamatan menunjukkan semakin banyak penambahan Vitamin C maka reaksi pencoklatan semakin dapat dihambat. Vitamin C dapat mereduksi kembali kuinon berwarna hasil oksidasi (o-kuinon) menjadi senyawa fenolat (o-difenol) tak berwarna. Ketika vitamin C habis, komponen berwarna akan terbentuk sebagai hasil reaksi polimerisasi yang irreversibel. Jadi produk berwarna hanya akan terjadi jika vitamin C yang ada habis dioksidasi dan quinon terpolimerisasi.

Pada sampel yang diberi perlakuan penambahan vitamin C 7 mg terjadi perbedaan warna pada sampel yang dikupas dan tidak dikupas. Warna jus apel pada sampel yang diberi perlakuan pendahuluan pengupasan lebih terlihat gelap dibanding perlakuan tanpa pengupasan. Hal tersebut diakibatkan kerena apel yang diberi perlakuan pendahuluan berupa pengupasan telah mengalami oksidasi yang lebih cepat, apel akan terkontak dengan udara dan menyebabkan apel mengalami proses oksidasi.


(15)

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan selama 7 hari, semakin lama waktu penyimpanan, endapan yang terbentuk semakin banyak. Pada hari ke-0 semua sampel tidak terbentuk endapan. Pada hari ke-1 dan 2 terbentuk sedikit endapan. Pada pengamatan hari ke-6 dan 7 jumlah endapannya semakin banyak. Endapan tersebut terbentuk karena adanya reaksi kimia yang terjadi pada ekstrak apel. Pembentukan endapan tersebut dijelaskan oleh (Whitney, 1997; Persson and Gekas, 1994) yaitu partikel-partikel kecil terhidrasi terbentuk selama proses ekstraksi jus apel dan ada di suspensi yang stabil karena ukurannya kecil dan adanya gaya elektrostatik. Hal ini sesuai dengan teori stabilitas partikel koloid yang bergantung pada keseimbangan gaya menarik dan menolak antar partikel yang dipengaruhi oleh unsur pokok partikel, lingkungan ion dan hidrasi partikel. Ketidakstabilan partikel yang secara enzimatis dipengaruhi oleh keberadaan aktivitas pektin metilesterase dan poligalakturonase. Aktivitas ini menyerang lapisan pektin, mengeluarkan inti protein yang bersifat positif dan terjadi agregasi elektrostatis pada partikel. Pengendapan meningkat dengan pertumbuhan ukuran partikel hasil agregasi dan reduksi pada viskositas yang terjadi karena adanya pektin terlarut dalam jus (Beveridge, 1997).

Pada sampel kontrol dan pemberian vitamin C sebanyak 4 mg menghasilkan jumlah endapan yang lebih banyak dibanding dengan sampel dengan pemberian vitamin C sebanyak 7 mg. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh adanya penghambatan reaksi oksidasi karena jika oksidasi terhambat maka stabilitas larutan tidak mudah terganggu sehingga pembentukan endapan tidak terlalu besar. Berdasarkan literatur endapan atau kabut timbul akibat adanya reaksi kimia,


(16)

penggabungan, atau pembentukan komplex yang biasanya disertai adanya komponen makromolekul seperti pati, polifenol, protein, pektin, dan beberapa komponen anorganik seperti Cu dan Fe (Heatherbell, 1976; Heatherbell, 1976, Neubert and Veldhuis, 1994; Keiser, et al., 1957; Brunner and Tanner, 1986).

Meskipun pada sampel telah ditutup rapat dan dihambat dengan pemberian vitamin C, tetap terjadi proses oksidasi yang ditandai dengan adanya pembentukan endapan. Pada proses oksidasi diperlukan oksigen untuk berlangsungnya proses oksidasi tersebut. Pada kondisi gelas yang tertutup, masih terdapat sejumlah oksigen pada headspace karena tidak dilakukan perlakuan vacum. Sehingga proses oksidasi masih mungkin terjadi. Namun proses oksidasi ini tidak berlangsung secara terus menerus. Hal ini disebabkan karena substrat yang diubah atau yang teroksidasi telah habis atau bahkan oksigen sebagai katalis oksidasi yang ada pada kemasan telah habis.

Pada sampel yang diberi perlakuan penambahan vitamin C 7 mg terlihat jelas jumlah endapan yang berbeda pada sampel yang dikupas dan tidak dikupas. Jumlah endapan pada sampel yang diberi perlakuan pendahuluan pengupasan sedikit lebih banyak dibanding perlakuan tanpa pengupasan. Karena jumlah pembentukan endapan dipengaruhi pula oleh adanya oksidasi apel, maka data tersebut telah sesuai. Apel yang diberi perlakuan pendahuluan berupa pengupasan telah mengalami oksidasi yang lebih cepat dan lebih banyak karena pada saat proses pengupasan, apel akan terkontak dengan udara dan menyebabkan apel mengalami proses oksidasi. Dengan demikian jumlah endapan yang dihasilkan juga semakin banyak karena suspensinya semakin tidak stabil.


(17)

5.2.3 Buih

Berdasarkan pengamatan oksidasi pada sari apel selama 7 hari diperoleh hasil bahwa pada hari ke-0 tidak ditemukan buih. Sedangkan pada hari pertama ditemukan buih pada masing-masing sampel. Proses pembentukan buih ini diakibatkan karena terjadinya reaksi kimia selama proses penyimpanan berupa reaksi oksidasi. Penjelasan reaksi oksidasi enurut Siegbahn (2004) yaitu mekanisme reaksi PPO dalam pembentukan quinon dimulai dengan reduksi Cu dengan adanya hidroksida. Hidroksida memisahkan proton dari substrat katekol yang pertama. Satu atom oksigen akan terikat langsung pada logam membentuk grup oxo, sementara atom oksigen lain menerima dua proton membentuk molekul air. Pada keadaan ini, Katekol oksidase berubah dari oksigenase menjadi oksidase. Hal ini dijelaskan bahwa proton hidroksil dipisahkan dari substrat oleh anion radikal superoksida. Setelah pergantian produk quinon dengan substrat katekol yang baru, ikatan O–O dari peroksida terputus. Ini menyebabkan adanya transfer proton dari satu grup hidroksil katekol. Keadaan ini dinamakan keadaan transisi yang diikuti oleh pemisahan atom H dari substrat, meninggalkan kompleks Cu dengan quinon. Setelah penyerahan elektron pada atom logam, produk quinon segera terbentuk. Dengan demikian selain terbentuknya warna, reaksi oksidasi pada sari apel juga mengeluarkan atom H dalam bentuk gas. Gas tersebut yang terperangkap oleh larutan dan terbentuk filem-filem yang menyelimuti gas sehingga terbentuk buih.

Jumlah buih pada pengamatan hari ke-2 sampai ke-7 semakin kecil bahkan tidak ada. Hal tersebut dapat disebabkan karena stabilitas suspensi. Fenomena ini telah sesuai dengan penjelasan Cherry dan McWaters (1981) yang menyatakan


(18)

bahwa terjadinya oksidasi akan menyebabkan agregasi (pengumpulan) dan melemahnya permukaan filem dan diikuti dengan pecahnya gelembung buih.

Jumlah buih yang dihasilkan akibat penambahan vitamin C berbeda-beda, jumlah buih yang ditambah dengan vitamin C pada sampel yang tidak dikupas lebih sedikit dibanding kontrol tanpa pemberian vitamin C. Sedangkan pada sampel yang diberi perlakuan pengupasan memiliki jumlah buih yang banyak pada sampel yang ditambah dengan vitamin C. Hal ini tidak sesuai dengan literatur pembentukan buih yang telah disebutkan sebelumnya. Seharusnya dengan adanya penambahan vitamin C maka reaksi oksidasi akan terhambat dan jumlah pembentukan buih akan lebih kecil.

BAB 6. PENUTUP 6.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari praktikum oksidasi apel yang telah dilakukan sebagai yaitu pemberian vitamin C dapat menghambat terjadinya oksidasi pada jus apel, sehingga mampu menekan pembentukan warna yang semakin gelap, pembentukan endapan dan pembentukan buih. Semakin lama waktu penyimpanan maka warna jus apel yang terbentuk semakin gelap, endapan yang terbentuk semakin banyak, dan buih yang terbentuk semakin sedikit. Perlakuan pengupasan menyebabkan laju oksidasi semakin besar, akibatnya warna jus apel yang dikupas lebih gelap, endapan lebih banyak, dan juga jumlah buih lebih banyak dibandingkan jus apel tanpa dikupas.


(19)

Adapun saran untuk praktikum oksidasi buah selanjutnya yaitu sebaiknya wadah yang digunakan untuk penyimpanan jus buah diseragamkan, karena dimungkinkan dengan wadah yang berbeda akan menyebabkan reaksi oksidasi pada setiap wadah berbeda pula, artinya luas permukaan wadah dapat berpengaruh terhadap oksidasi yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Aoyama, S., & Yamamoto, Y. 2007. Antioxidant activity and flavonoid content of Welsh onion (Allium fistulosum) and the effect of thermal treatment. Food Science and Technology Research, 13, 67–72

Bastian. 2004. Mempelajari Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Buah Apel Varietas Red Delicious (Malus Sylvetris). Seminar Hasil Penelitian. Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanudin.

Beveridge, T. 1997. Haze and Cloud in Apple Juices. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 37(1): 75-91

Brunner, H. R. And H. Tanner. 1986. Analysis of Beverages-enzymatic procedures, beverage turbidities. Confructa Stud. 30, 183.

Carmelita, Gabriella. 2011. “Proses Pencokelatan pada Buah Apel.” Kompasiana. Hal 7


(20)

Cherry, J. P. And K. H. Mc. Watters. 1981. Whippability and Aeration. American Chemical Society Washington, D. C.

Christiane Queiros., Lopes, Maria L.M., Fialho, Eliane., and Mesquita, Vera L.V., 2008. Polyphenol Oxidase : Characteristics And Mechanisms Of Browning control. Food Reviews International, 24 :361-375

Friedman, M.(1996).Food browning and its prevention: an overview. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 44, 631–653.

Heatherbell, D. A. 1976. Haze Formation from Strach Degeration Products in Apple Wine and Clarified Apple Juice. Confructa, 21, 36.

_______________. 1976. Haze and Sediment Formation in Clarified Apple Juice and Apple Wine. II. The Role of Polyvalent Cations, Polyphenolics and Protein. Food Technol. 11, 17. Keiser, M. E, A. Pollard, and C. F. Timberlake. 1957. Metallic

Components of Fruit Juices. I. Copper as a Factor Affecting Sedimentation in Bottled Apple Juices. J. Sci. Food Agric. 8, 151.

Kim, M., Kim, C. Y., & Park, I. 2005. Prevention of enzymatic browning of pear by onion extract. Food Chemistry, 89, 181–184.

Melanti, Riska. 2013. Preparasi Porous Carbon dari Molase dan Aplikasinya dalam Penurunan Efek Browning Sari Buah Apel. [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang Neubert, A. M. and M. K. Veldhuis. 1994. Clouding and

Sedimentation in Clarified Apple Juice. J. Fruit Prod. 23, 324. Palupi, NS., FR Zakaria., dan E prangdimurti., 2007. Pengaruh Pengolahan

Terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul e-Learning ENBP. Departemen Ilmu & Teknologi Pangan. IPB.

Persson, K. M and V. Gekas. 1994. Factors in Influencing Aggregation of Macromolecules in Solution. Process Biochem. 29, 89.

Ruhiye Yoruk dan Marshal, Maurice R., 2003. Physicochemical Properties And Function Of Plant Polyphenol Oxidase : A review 1, institute of food and agriculture science, Food science and human nutrition department, University of Florida.

Sapers, G.M. 1993. Browning of foods: control by sulfites, antioxidants and other means. Food Technology, 47(10), 75–84

Siegbahn, P. E. M. 2004. The Catalytic Cycle of Catechol Oxidase. Journal of Biological Inorganic Chemistry. 12. 1251-1264 Sufrida dan Maloedyn S. 2006. 30 Ramuan Penakluk Hipertensi. Edisi 1. Jakarta:


(21)

Sufrida, Y., Irlansyah, Edi J, dan Mofatis W. 2004. Khasiat dan Manfaat Apel. Jakarta: Agromedia. Hal 11, 26-28.

Untung. 1996. Apel: Jenis dan Budidayanya. Jakarta: Penebar Swadaya.

Whitney, R. 1997. Chemistry of Colloidal Substances: General Principles, Food Colloids. Westport: AVI Publishing.


(1)

penggabungan, atau pembentukan komplex yang biasanya disertai adanya komponen makromolekul seperti pati, polifenol, protein, pektin, dan beberapa komponen anorganik seperti Cu dan Fe (Heatherbell, 1976; Heatherbell, 1976, Neubert and Veldhuis, 1994; Keiser, et al., 1957; Brunner and Tanner, 1986).

Meskipun pada sampel telah ditutup rapat dan dihambat dengan pemberian vitamin C, tetap terjadi proses oksidasi yang ditandai dengan adanya pembentukan endapan. Pada proses oksidasi diperlukan oksigen untuk berlangsungnya proses oksidasi tersebut. Pada kondisi gelas yang tertutup, masih terdapat sejumlah oksigen pada headspace karena tidak dilakukan perlakuan vacum. Sehingga proses oksidasi masih mungkin terjadi. Namun proses oksidasi ini tidak berlangsung secara terus menerus. Hal ini disebabkan karena substrat yang diubah atau yang teroksidasi telah habis atau bahkan oksigen sebagai katalis oksidasi yang ada pada kemasan telah habis.

Pada sampel yang diberi perlakuan penambahan vitamin C 7 mg terlihat jelas jumlah endapan yang berbeda pada sampel yang dikupas dan tidak dikupas. Jumlah endapan pada sampel yang diberi perlakuan pendahuluan pengupasan sedikit lebih banyak dibanding perlakuan tanpa pengupasan. Karena jumlah pembentukan endapan dipengaruhi pula oleh adanya oksidasi apel, maka data tersebut telah sesuai. Apel yang diberi perlakuan pendahuluan berupa pengupasan telah mengalami oksidasi yang lebih cepat dan lebih banyak karena pada saat proses pengupasan, apel akan terkontak dengan udara dan menyebabkan apel mengalami proses oksidasi. Dengan demikian jumlah endapan yang dihasilkan juga semakin banyak karena suspensinya semakin tidak stabil.


(2)

5.2.3 Buih

Berdasarkan pengamatan oksidasi pada sari apel selama 7 hari diperoleh hasil bahwa pada hari ke-0 tidak ditemukan buih. Sedangkan pada hari pertama ditemukan buih pada masing-masing sampel. Proses pembentukan buih ini diakibatkan karena terjadinya reaksi kimia selama proses penyimpanan berupa reaksi oksidasi. Penjelasan reaksi oksidasi enurut Siegbahn (2004) yaitu mekanisme reaksi PPO dalam pembentukan quinon dimulai dengan reduksi Cu dengan adanya hidroksida. Hidroksida memisahkan proton dari substrat katekol yang pertama. Satu atom oksigen akan terikat langsung pada logam membentuk grup oxo, sementara atom oksigen lain menerima dua proton membentuk molekul air. Pada keadaan ini, Katekol oksidase berubah dari oksigenase menjadi oksidase. Hal ini dijelaskan bahwa proton hidroksil dipisahkan dari substrat oleh anion radikal superoksida. Setelah pergantian produk quinon dengan substrat katekol yang baru, ikatan O–O dari peroksida terputus. Ini menyebabkan adanya transfer proton dari satu grup hidroksil katekol. Keadaan ini dinamakan keadaan transisi yang diikuti oleh pemisahan atom H dari substrat, meninggalkan kompleks Cu dengan quinon. Setelah penyerahan elektron pada atom logam, produk quinon segera terbentuk. Dengan demikian selain terbentuknya warna, reaksi oksidasi pada sari apel juga mengeluarkan atom H dalam bentuk gas. Gas tersebut yang terperangkap oleh larutan dan terbentuk filem-filem yang menyelimuti gas sehingga terbentuk buih.

Jumlah buih pada pengamatan hari ke-2 sampai ke-7 semakin kecil bahkan tidak ada. Hal tersebut dapat disebabkan karena stabilitas suspensi. Fenomena ini telah sesuai dengan penjelasan Cherry dan McWaters (1981) yang menyatakan


(3)

bahwa terjadinya oksidasi akan menyebabkan agregasi (pengumpulan) dan melemahnya permukaan filem dan diikuti dengan pecahnya gelembung buih.

Jumlah buih yang dihasilkan akibat penambahan vitamin C berbeda-beda, jumlah buih yang ditambah dengan vitamin C pada sampel yang tidak dikupas lebih sedikit dibanding kontrol tanpa pemberian vitamin C. Sedangkan pada sampel yang diberi perlakuan pengupasan memiliki jumlah buih yang banyak pada sampel yang ditambah dengan vitamin C. Hal ini tidak sesuai dengan literatur pembentukan buih yang telah disebutkan sebelumnya. Seharusnya dengan adanya penambahan vitamin C maka reaksi oksidasi akan terhambat dan jumlah pembentukan buih akan lebih kecil.

BAB 6. PENUTUP 6.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari praktikum oksidasi apel yang telah dilakukan sebagai yaitu pemberian vitamin C dapat menghambat terjadinya oksidasi pada jus apel, sehingga mampu menekan pembentukan warna yang semakin gelap, pembentukan endapan dan pembentukan buih. Semakin lama waktu penyimpanan maka warna jus apel yang terbentuk semakin gelap, endapan yang terbentuk semakin banyak, dan buih yang terbentuk semakin sedikit. Perlakuan pengupasan menyebabkan laju oksidasi semakin besar, akibatnya warna jus apel yang dikupas lebih gelap, endapan lebih banyak, dan juga jumlah buih lebih banyak dibandingkan jus apel tanpa dikupas.


(4)

Adapun saran untuk praktikum oksidasi buah selanjutnya yaitu sebaiknya wadah yang digunakan untuk penyimpanan jus buah diseragamkan, karena dimungkinkan dengan wadah yang berbeda akan menyebabkan reaksi oksidasi pada setiap wadah berbeda pula, artinya luas permukaan wadah dapat berpengaruh terhadap oksidasi yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Aoyama, S., & Yamamoto, Y. 2007. Antioxidant activity and flavonoid content of Welsh onion (Allium fistulosum) and the effect of thermal treatment. Food Science and Technology Research, 13, 67–72

Bastian. 2004. Mempelajari Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Buah Apel Varietas Red Delicious (Malus Sylvetris). Seminar Hasil Penelitian. Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanudin.

Beveridge, T. 1997. Haze and Cloud in Apple Juices. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 37(1): 75-91

Brunner, H. R. And H. Tanner. 1986. Analysis of Beverages-enzymatic procedures, beverage turbidities. Confructa Stud. 30, 183.

Carmelita, Gabriella. 2011. “Proses Pencokelatan pada Buah Apel.” Kompasiana. Hal 7


(5)

Cherry, J. P. And K. H. Mc. Watters. 1981. Whippability and Aeration. American Chemical Society Washington, D. C.

Christiane Queiros., Lopes, Maria L.M., Fialho, Eliane., and Mesquita, Vera L.V., 2008. Polyphenol Oxidase : Characteristics And Mechanisms Of Browning control. Food Reviews International, 24 :361-375

Friedman, M.(1996).Food browning and its prevention: an overview. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 44, 631–653.

Heatherbell, D. A. 1976. Haze Formation from Strach Degeration Products in Apple Wine and Clarified Apple Juice. Confructa, 21, 36.

_______________. 1976. Haze and Sediment Formation in Clarified Apple Juice and Apple Wine. II. The Role of Polyvalent Cations, Polyphenolics and Protein. Food Technol. 11, 17. Keiser, M. E, A. Pollard, and C. F. Timberlake. 1957. Metallic

Components of Fruit Juices. I. Copper as a Factor Affecting Sedimentation in Bottled Apple Juices. J. Sci. Food Agric. 8, 151.

Kim, M., Kim, C. Y., & Park, I. 2005. Prevention of enzymatic browning of pear by onion extract. Food Chemistry, 89, 181–184.

Melanti, Riska. 2013. Preparasi Porous Carbon dari Molase dan Aplikasinya dalam Penurunan Efek Browning Sari Buah Apel. [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang Neubert, A. M. and M. K. Veldhuis. 1994. Clouding and

Sedimentation in Clarified Apple Juice. J. Fruit Prod. 23, 324. Palupi, NS., FR Zakaria., dan E prangdimurti., 2007. Pengaruh Pengolahan

Terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul e-Learning ENBP. Departemen Ilmu & Teknologi Pangan. IPB.

Persson, K. M and V. Gekas. 1994. Factors in Influencing Aggregation of Macromolecules in Solution. Process Biochem. 29, 89.

Ruhiye Yoruk dan Marshal, Maurice R., 2003. Physicochemical Properties And Function Of Plant Polyphenol Oxidase : A review 1, institute of food and agriculture science, Food science and human nutrition department, University of Florida.

Sapers, G.M. 1993. Browning of foods: control by sulfites, antioxidants and other means. Food Technology, 47(10), 75–84

Siegbahn, P. E. M. 2004. The Catalytic Cycle of Catechol Oxidase. Journal of Biological Inorganic Chemistry. 12. 1251-1264 Sufrida dan Maloedyn S. 2006. 30 Ramuan Penakluk Hipertensi. Edisi 1. Jakarta:


(6)

Sufrida, Y., Irlansyah, Edi J, dan Mofatis W. 2004. Khasiat dan Manfaat Apel. Jakarta: Agromedia. Hal 11, 26-28.

Untung. 1996. Apel: Jenis dan Budidayanya. Jakarta: Penebar Swadaya.

Whitney, R. 1997. Chemistry of Colloidal Substances: General Principles, Food Colloids. Westport: AVI Publishing.