Indeks Eritrosit Pada Resusitasi Cairan Anak Babi (Sus Scrofa) Yang Diinduksi Sepsis.

INDEKS ERITROSIT PADA RESUSITASI CAIRAN ANAK
BABI (Sus scrofa) YANG DIINDUKSI SEPSIS

MUHAMMAD ABHI PURNOMOSIDI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Indeks Eritrosit pada
Resusitasi Cairan Anak Babi (Sus scrofa) yang Diinduksi Sepsis adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Muhammad Abhi Purnomosidi
NIM B04110138

ABSTRAK
Indeks Eritrosit pada Resusitasi Cairan Anak Babi (Sus scrofa) yang Diinduksi
Sepsis. Di bawah bimbingan GUNANTI dan RIKI SISWANDI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi indeks eritrosit (jumlah eritrosit,
konsentrasi hemoglobin, hematokrit, VER, HER, KHER) pada anak babi (Sus
scrofa) setelah diinduksi sepsis dan diresusitasi oleh cairan koloid (modified fluid
gelatin 4%) atau kristaloid (ringer asetat malat). Sepuluh ekor anak babi berumur
2-3 bulan dengan berat badan 8-13 kg dibagi menjadi dua kelompok. Induksi sepsis
dilakukan dengan injeksi endotoksin Eschericia coli melalui rute intravena hingga
terjadi renjatan sepsis. Resusitasi cairan dilakukan pada saat renjatan sepsis terjadi
melalui rute intravena. Kelompok pertama menerima resusitasi cairan
menggunakan modified fluid gelatin 4% (MFG 4%) dan pada kelompok yang kedua
menerima resusitasi cairan menggunakan cairan ringer asetat malat (RAM).
Pengambilan sampel darah dilakukan pada saat setelah anestesi, saat sepsis, dan 3
jam setelah resusitasi cairan. Hasil evaluasi nilai indeks eritrosit menunjukkan

bahwa hewan mengalami anemia makrositik regeneratif. Kondisi sepsis dan
resusitasi cairan koloid (modified fluid gelatin 4%) maupun cairan kristaloid (ringer
asetat malat) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai indeks
eritrosit.
Kata kunci: anak babi, indeks eritrosit, koloid, kristaloid, sepsis

ABSTRACT
Erythrocytes indices of Fluid Resuscitation in Piglets (Sus scrofa) which Induced
Sepsis. Under supervision of GUNANTI and RIKI SISWANDI.
The aim of this study was to evaluate erythrocyte indices (erythrocyte count,
hemoglobin concentration, hematocrit, MCV, MCH and MCHC) in piglets (Sus
scrofa) after induced sepsis and resuscitated with colloid fluid (modified fluid
gelatin 4%) or crystalloid fluid (ringer acetate malate). Ten piglets 2-3 months of
age and 8-13 kg body weight were divided into two groups. Sepsis induction was
performed by giving endotoxin Eschericia coli injection via intravenous route until
shock septic occurs. Fluid resuscitation was given when shock septic occurs via
intravenous route. The first group recieved fluid resuscitation using modified fluid
gelatin 4% (MFG 4%) and the second group recieved fluid resuscitation using
ringer asetat malat (RAM) fluid. Blood samples were collected when after
anesthesia , sepsis, and 3 hours after fluid resuscitation. The result of erythrocytes

indices value showed that the animals suffered regeneratif macrocytic anemia.
There were no significant differences in erythrocytes indices value that caused by
sepsis and fluid resuscitation using colloid fluid (modified fluid gelatin 4%) and
crystalloid fluid (ringer acetate malate).
Keywords: colloid, crystalloid, erythrocyte indices, piglet, sepsis

INDEKS ERITROSIT PADA RESUSITASI CAIRAN ANAK
BABI (Sus scrofa) YANG DIINDUKSI SEPSIS

MUHAMMAD ABHI PURNOMOSIDI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi
dalam penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Juli 2014
adalah “Indeks Eritrosit pada Resusitasi Cairan Anak Babi (Sus scrofa) yang
Diinduksi Sepsis”. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung untuk
disertasi dr Rismala Dewi, SpA(K) yang dipromotori oleh Dr Drh Gunanti, MS.
Adapun penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Gunanti, MS selaku
pembimbing I dan Drh Riki Siswandi, MSi selaku pembimbing II. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Ibu Dra Sintowati Rini
Utami, MPd dan Bapak Ir Sukardi, keluarga, Asoka, Dea, Cipet, Uchay, Dendi,
serta teman-teman Ganglion FKH 48 atas segala doa dan dukungannya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis juga ucapkan terima
kasih kepada dr Rismala Dewi, SpA(K) dan rekan-rekan satu tim penelitian (Willa,
Ega, Bagus, Rina, dan Cerel) atas kerjasamanya. Semoga penulis dapat
menghasilkan skripsi yang bermanfaat khususnya bagi penulis, dan umumnya bagi
pembaca.


Bogor, September 2015
Muhammad Abhi Purnomosidi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Sepsis

2

Cairan Kristaloid dan Koloid

3


Lipopolisakarida

5

Indeks Eritrosit

5

Anak Babi (Sus scrofa)

6

METODE PENELITIAN

7

Waktu dan Tempat Penelitian

7


Alat dan Bahan Penelitian

7

Tahap Persiapan

9

Tahap Perlakuan

9

Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

11
12

Jumlah Eritrosit


12

Nilai Hemoglobin

12

Nilai Hematokrit (PCV)

13

Nilai Volume Eritrosit Rata-rata (VER)

13

Nilai Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (HER)

14

Nilai Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER)


14

Pembahasan Umum

15

SIMPULAN DAN SARAN

17

Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA


18

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Nilai indeks eritrosit anak babi
Rataan jumlah eritrosit (x106/µl)
Rataan nilai hemoglobin (g/dL)
Rataan nilai hematokrit (%)
Rataan nilai VER (fL)
Rataan nilai HER (pg)
Rataan nilai KHER (%)

6
12
12
13
14
14
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

`

Anak babi (Sus scrofa)
Alat PiCCO2
Tabung EDTA
Pengambilan sampel darah
Induksi endotoksin
Resusitasi cairan
Alur pengambilan sampel darah

7
8
8
10
10
10
11

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepsis merupakan keadaan klinis yang ditandai oleh sindrom respon
inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome/SIRS). Sepsis
disertai oleh bakteri patogen (infeksi) yang dapat ditemukan melalui kultur atau
pewarnaan Gram dari spesimen tubuh seperti darah, sputum, feses, urin dan
spesimen tubuh lainnya (Merx dan Weber 2007). Kondisi sepsis dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan sel endotelial mikrovaskular serta pelepasan
mediator inflamasi oleh sel endotel. Kerusakan sel endotelial menyeluruh
menyebabkan peningkatan permeabilitas sehingga timbul edema dan kehilangan
cairan yang cukup banyak ke jaringan interstisial (Vincent dan Abraham 2006).
Selain itu, kondisi sepsis juga menyebabkan perubahan dalam mikrosirkulasi dan
perubahan biokimia maupun karakteristik fisiologis konstituen darah (Piagnerelli
et al. 2003).
Hasil penelitian Vincent et al. (2009) menunjukan 70% dari pasien yang
mengalami sepsis menghasilkan kultur mikrobiologis yang positif dan sebesar 62%
dari isolat positif merupakan bakteri Gram negatif. Komponen beracun dari bakteri
Gram negatif adalah lipopolisakarida atau endotoksin yang dianggap bertanggung
jawab untuk infeksi dan dapat menyebabkan kerusakan endotel langsung (Radostits
et al. 2000). Lipopolisakarida merupakan aktivator pengaktifan makrofag yang
dapat menyebabkan sintesis cepat interleukin 1 (IL 1) dan tumor necrosis factor
(Burkovskiy 2013).
Resusitasi cairan merupakan tata laksana terkini untuk sepsis yang bertujuan
mengoptimalkan hemodinamik dalam 6 jam pertama yang dikenal sebagai early
goal directed therapy dengan target mempertahankan central venous pressure
(CVP) 8-12 mmHg, mean arterial pressure (MAP)  65 mmHg dan saturasi vena
cava superior (ScvO2)  70%, dan hal ini memperlihatkan keuntungan yang cukup
bermakna (Nguyen dan Rivers 2005). Sampai saat ini masih menjadi kontroversi
mengenai pemilihan cairan kristaloid atau koloid sebagai cairan resusitasi yang
ideal (Dewi 2015).
Pemeriksaan indeks eritrosit merupakan bagian dari pemeriksaan darah
lengkap (complete blood count). Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk
menunjang diagnosa suatu penyakit, mengetahui adanya kelainan maupun
perubahan pada darah akibat infeksi sistemik, dan melihat kemajuan atau respon
terapi pada pasien yang menderita suatu penyakit infeksi (Voigt dan Swist 2011).
Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan darah untuk mengetahui kondisi awal
pasien serta perubahan yang terjadi akibat infeksi dan respon terapi pada pasien.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi nilai indeks eritrosit berupa
jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit, nilai indeks eritrosit
yang meliputi volume eritrosit rata-rata (VER), hemoglobin eritrosit rata-rata
(HER), dan konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) pada anak babi yang

2
mengalami sepsis dan setelah resusitasi dengan cairan koloid (modified fluid gelatin
4%) atau dengan cairan kristaloid (ringer asetat malat).

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu mengetahui pengaruh modified fluid gelatin
4% (MFG 4%) dan cairan ringer asetat malat (RAM) pada kejadian sepsis dengan
hewan coba anak babi.

TINJAUAN PUSTAKA
Sepsis
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi karena adanya respon tubuh
yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme (Guntur 2008).
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks yang dapat ditandai
dengan menurunnya kadar limfosit dalam sirkulasi sistemik sebagai respon
terhadap faktor-faktor proinflamasi (Russel 2006). Kelebihan produksi sitokin
inflamasi akan menyebabkan aktivasi respon sistemik terutama pada paru-paru, hati,
ginjal, usus, dan organ lainnya sehingga dapat terjadi apoptosis, nekrosis jaringan,
multi organ dysfunction (MOD), syok septik, serta kematian (Guntur 2008).
Sepsis menyebabkan terjadinya kerusakan sel endotelial mikrovaskular serta
pelepasan mediator inflamasi oleh sel endotel. Disfungsi endotel menyeluruh
mempunyai peran penting dalam patogenesis renjatan septik, dengan akibat
terjadinya peningkatan permeabilitas sehingga timbul edema dan kehilangan cairan
yang cukup banyak ke jaringan interstisial. Hal ini menimbulkan efek hipotensi
yang diperberat oleh vasodilatasi perifer akibat dilepaskannya kinin, histamin, dan
peptida vasoaktif lainnya selama aktivasi kaskade inflamasi (Vincent dan Abraham
2006).
Nitric oxide merupakan kunci mediator dalam lipopolysaccharide-mediated
hypotension. Nitric oxide (NO) diproduksi oleh sel endotel dari L-arginin oleh
constitutive nitric oxide synthases (cNOS) atau inducible nitric oxide synthases
(iNOS). Pada kondisi fisiologis, cNOS memainkan peran penting dalam
memproduksi sejumlah kecil NO untuk mempertahankan patensi kapiler. Dalam
keadaan sepsis, lipopolisakarida (LPS) dan sitokin seperti tumor nekrosis faktor
(TNF) dan interferon-g (INF-g) menginduksi iNOS, sehingga produksi kuantitas
NO jauh lebih besar. Aksi NO pada otot polos pembuluh darah tidak hanya
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah jaringan, tetapi juga dapat
menyebabkan arterial hipotensi (Piagnerelli et al. 2003).
Sepsis yang disertai disfungsi organ atau hipoperfusi didefinisikan sebagai
sepsis berat sedangkan renjatan septik adalah sepsis yang disertai disfungsi organ
kardiovaskular (Goldstein et al. 2005). Sepsis berat disertai dengan keterlibatan
satu atau lebih gangguan sistem organ yang diawali dengan menurunnya perfusi ke
jaringan sehingga mengakibatkan disfungsi sistem organ, gangguan perfusi dan
sistem organ ditandai dengan adanya ruam kulit yang kemerahan, peningkatan
waktu pengisian kapiler ≥ 3 detik, penurunan produksi urin, pengingkatan laktat

3
serum, perubahan drastis status mental atau elektroensepalogram, penurunan
jumlah trombosit atau adanya koagulasi intravaskular diseminata, sindrom
pernafasan akut dan kelainan fungsi jantung yang dibuktikan melalui pemeriksaan
ekokardiografi (Merx dan Weber 2007). Pada renjatan septik dapat ditemukan tanda
gangguan sirkulasi seperti penurunan kesadaran, penurunan tekanan darah, akral
dingin, sianosis, perabaan nadi yang lemah, peningkatan waktu pengisian kapiler
serta oliguria. Selain itu dijumpai pula gangguan respirasi seperti takipnea, asidosis
metabolik serta edema paru (O’Brien et al. 2007).
Cairan Kristaloid dan Koloid
Cairan kristaloid dan koloid merupakan cairan yang sering digunakan pada
terapi renjatan septik. Pembagian jenis cairan ini bertujuan untuk membedakan
larutan yang dapat melalui membran atau tidak dapat melalui membran. Beberapa
ahli mengungkapkan bahwa parameter yang dapat digunakan sebagai indikator
kecukupan cairan intravaskular adalah kesadaran cukup baik, denyut nadi kuat,
tekanan darah stabil (sistolik dan diastolik), dan produksi urin yang cukup (Shih et
al. 2008).
Kristaloid
Kristaloid adalah jenis cairan yang paling umum digunakan dalam praktek
kedokteran hewan. cairan ini mengandung berbagai tingkat gula dan garam. Cairan
kristaloid terdiri dari partikel dengan berat molekul yang rendah dan relatif kecil,
dengan demikian perpindahan cairan ini tidak dibatasi sepanjang kompartemen
cairan tubuh (Donohoe 2012). Contoh larutan kristaloid yang sering digunakan
adalah ringer laktat (RL), ringer asetat (RA), dan NaCl 0.9% (Leksana 2009).
Kristaloid tidak memberikan kontribusi terhadap tekanan onkotik, tetapi
mereka memberikan kontribusi terhadap tekanan osmotik. Sebagian hal ini
menyatakan administrasi kristaloid memiliki efek yang paling nyata dalam ruang
interstitial. Kristaloid yang diadministrasikan secara intravena tidak tetap dalam
ruang intrvaskular dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Cairan ini akan
menyeberangi membran pembuluh darah dan memasuki kompartemen interstitial
(Donohoe 2012). Hal ini terjadi relatif cepat dalam waktu kurang lebih 1 sampai 2
jam setelah administrasi (Rudloff 2001). Silverstein (2009) menyatakan bahwa 1
jam setelah administrasi kristaloid secara intravena, hanya 20% -25% dari volume
yang diadministrasikan tetap dalam pembuluh darah.
Keuntungan kristaloid adalah mudah didapat, murah, efek samping minimal
sehingga sering digunakan sebagai tata laksana yang membutuhkan cairan
intravaskular (renjatan hipovolemik). Kerugian kristaloid adalah dengan
penambahan intravaskular, sebagian besar cairan akan berpindah ke intersisial
sehingga memudahkan terjadinya edema intersisial dan salah satu yang sering
terjadi adalah edema paru. Dengan demikian terlihat bahwa adanya edema
interstisial (dalam hal ini edema paru) belum tentu menggambarkan bahwa cairan
intravaskular sudah cukup. Hal inilah yang sering membuat tata laksana resusitasi
cairan kehilangan pegangan apabila tidak menggunakan indikator lain sebagai
parameter kecukupan cairan intravaskular (Shih et al. 2008).

4
Ringer asetat malat (Ringerfundin®) adalah larutan elektrolit isotonik
seimbang yang disesuaikan dengan plasma yang secara fisiologis merupakan
elektrolit yang sangat penting dan mengandung 140 mmol/l sodium. Konsentrasi
kalium, magnesium dan kalsium dari Ringerfundin® menyerupai yang ditemukan
dalam plasma manusia, sedangkan konsentrasi klorida sedikit lebih tinggi untuk
mencapai osmolaritas fisiologis. Ketidakseimbangan elektrolit dengan cepat dapat
dipulihkan karena Ringerfundin® memiliki komposisi elektrolit sama dengan
plasma manusia (Zadak et al. 2010).
Berbeda dengan konvensional Ringer dan cairan Ringer laktat, Ringerfundin®
mengandung anion metabolis asetat dan malat yang berperan sebagai prekursor
bikarbonat dan akan menetralkan asidosis hiperkloremik. Ringerfundin®
mempunyai beberapa ciri khas yaitu; datang sebagai larutan elektrolit penuh,
merupakan larutan isotonik, mengandung asetat / malat bukan laktat, menyediakan
potensi kelebihan dasar yang seimbang (BEpot), tidak meningkatkan konsumsi O2
dan kebutuhan total energi serta tidak mengakibatkan perubahan komposisi ion di
serum (Zadak et al. 2010).
Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma substitute” atau “plasma expander” (Hartanto 2007). Koloid adalah cairan
yang mengandung partikel yang berat dan bermolekul besar. Ketika
diadministrasikan, cairan koloid akan tetap dalam ruang intravaskular tidak seperti
cairan kristaloid yang nantinya akan pindah ke kompartemen lainnya. Hal ini
dikarenakan molekul koloid berukuran lebih besar daripada pori-pori kapiler yang
sehat. Bateman (2003) menyatakan koloid berkontribusi terhadap tekanan onkotik,
sedangkan kristaloid tidak. Sehingga cairan koloid menawarkan ekspansi volume
vaskular jauh lebih besar pervolume diadministrasikan daripada cairan kristaloid.
Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat
terutama pada syok hipovolemik/hemoragik atau pada penderita dengan
hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (Hartanto 2007).
Koloid yang dipindahkan ke pembuluh darah tidak hanya memegang cairan
dalam ruang ini, tetapi koloid juga menarik cairan dari kompartemen lain. Pengaruh
utama dari koloid adalah pemberian pada ruang intravaskular, dan koloid tidak
bertindak untuk mengisi kompartemen ekstravaskuler. Administrasi kristaloid
selain koloid dianjurkan untuk perlindungan dari kompartemen interstitinal dan
intraseluler. Administrasi koloid memerlukan administrasi secara terus menerus
dan dengan pemantauan yang tekun. Efek samping negatif yang terkait dengan
administrasi koloid adalah reaksi anafilaktoid, kelebihan volume, dan dalam
beberapa kasus terjadi muntah dan hipotensi. Koloid harus digunakan dengan hatihati pada hewan dengan penyakit jantung atau gangguan ginjal karena ekspansi
volume vaskular tidak dapat ditoleransi pada pasien ini (Donohoe 2012).
Cairan gelatin disusun oleh degradasi kolagen sapi dan datang dalam
beberapa bentuk. Keuntungan utama dari cairan ini adalah memiliki bobot
molekular yang lebih rendah dibandingkan cairan koloid yang lain. Cairan ini
tampak menghasilkan minimal antigenik dan memiliki efek minimal terhadap
koagulasi. Administrasi larutan gelatin succinylated menyebabkan peningkatan
volume plasma sama dengan atau sekitar 10% lebih rendah dari volume yang
diadministrasikan, maka terdapat risiko kecil terjadi volume yang berlebihan. Dari

5
volume yang diadministrasikan, sekitar 50% terdapat dalam sirkulasi setelah 4
sampai 5 jam resusitasi cairan (DiBartola 2012).

Lipopolisakarida
Lipopolisakarida atau yang biasa disebut endotoksin merupakan bagian dari
membran luar dari dinding sel bakteri Gram negatif. Kandungan lipid A dalam
lipopolisakarida bersifat beracun yang menjadikan infeksi setiap bakteri Gram
negatif berpotensial menyebabkan masalah medis yang serius. Komponen Lipid A
lipopolisakarida terbentuk dari disakarida glukosamin terfosforilasi
(phosphorylated glucosamine disaccharide) yang dikelilingi oleh asam lemak
ganda. Lipid A menyebabkan demam dan dilatasi pembuluh darah sehingga
menyebabkan penurunan tekanan darah secara drastis (Black 2004).
Endotoksemia terjadi ketika adanya komponen lipopolisakarida dinding sel
bakteri Gram negatif dalam darah dan dikarakteristikan secara klinik dengan
abnormalitas pada semua sistem utama tubuh. Abnormalitas yang terjadi adalah
perubahan fungsi kardiopulmoner, abnormalitas pada elemen sel darah yang
terkadang memicu terjadinya koagulopati, perubahan integritas vaskular,
penurunan aliran darah dan metabolisme yang menyebabkan kegagalan jantung dan
ginjal, dan penurunan perfusi jaringan perifer yang menyebabkan syok (Radostits
et al. 2000).

Indeks Eritrosit
Darah terdiri dari bagian padatan yang terdiri dari sel-sel dan bagian cairan
yang disebut plasma. Warna merah pada darah segar disebabkan oleh adanya
hemoglobin dalam eritrosit. Pada mamalia, sel darah secara aktif dihasilkan di
dalam rongga sumsum tulang seluruh tulang (Ganong 2001). Sel darah merah babi
berbentuk bikonkaf dan tidak mempunyai inti. Babi memiliki jumlah sel darah
merah sekitar 6-8 juta per mililiter kubik darah (Aspinall dan O’Reilly 2004). Sel
darah merah atau eritrosit pada babi memiliki diameter sekitar 4-8 mikrometer
dengan rata–rata 6.0 mikrometer. Babi dewasa memiliki volume darah berkisar 6168 ml/kg dengan sistem pembekuan darah babi serupa dengan manusia (Swindle
2007). Indeks eritrosit merupakan suatu nilai yang diperoleh setelah jumlah eritrosit,
kadar hemoglobin, serta nilai hematokrit diketahui (Reece 2006). Indeks eritrosit
menunjukkan ukuran rata–rata dan kandungan hemoglobin dalam eritrosit (Weiss
dan Tvedten 2004).
Indeks eritrosit dapat digunakan untuk membedakan jenis anemia
berdasarkan morfologinya. Indeks eritrosit terdiri atas: jumlah eritrosit, konsentrasi
hemoglobin, nilai hematokrit atau packed cell volume (PCV), volume eritrosit ratarata (VER), hemoglobin eritrosit rata-rata (HER), dan konsentrasi hemoglobin
eritrosit rata-rata (KHER). Volume eritrosit rata-rata (VER) adalah perhitungan
volume rata-rata sebuah eritrosit yang dinyatakan dengan femtoliter (fL).
Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) adalah banyaknya hemoglobin per eritrosit
disebut dengan pikogram (pg). Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER)
adalah kadar hemoglobin yang didapat per eritrosit, dinyatakan dengan persen (%)

6
atau satuan yang lebih tepat adalah gr/dL. Perhitungan indeks eritrosit (VER, HER
dan KHER) menurut Meyer dan Harvey (2004) adalah sebagai berikut.
VER (fL) = PCV x ∑ �
HER (pg) = Hb x ∑ �
KHER (gr/dL) = Hb x

� �

Tabel 1 Nilai indeks eritrosit anak babi
Eritrosit (x106/µL)
Hemoglobin (g/dL)
Hematokrit (%)
VER (fL)
HER (pg)
KHER (%)

Kisaran
5.11-6.47
9.1-11.1
29.0-35.0
49.9-63.1
15.5-19.7
30.1-32.1

Rata-rata
5.79
10.1
32.0
56.5
17.6
31.1

(Svoboda dan Drabek 2002)

Anak Babi (Sus scrofa)
Babi domestik (Sus scrofa domesticus) mempunyai hubungan yang dekat
dengan manusia dalam hal anatomi, genetika dan fisiologi, dan mewakili hewan
model yang sangat baik untuk mempelajari berbagai penyakit infeksius yang
disebabkan oleh mikroba. Eksperimen pada babi jauh lebih cenderung
memprediksikan perawatan terapetik pada manusia dibandingkan eksperimen pada
tikus. Babi telah digunakan sebagai model untuk sejumlah penyakit infeksius yang
relevan dengan kesehatan manusia. Model ini mencakup model penyakit alami,
yang didasarkan pada patogen babi yang secara erat terkait atau identik dengan
patogen manusia , dan model infeksi eksperimental atau pengganti di mana patogen
manusia dalam kondisi eksperimental diberikan kepada babi (Meurens et al. 2012).
Anatomi jantung babi mempunyai persamaan dengan jantung manusia
kecuali pada vena azygous yang memperdarahi sitem interkostal ke arah sinus
koronarius. Sistem koroner babi menunjukan kesamaan hampir 90% dengan
manusia. Secara hemodinamik, babi menunjukan persamaan dengan manusia
dalam hal fungsi jantung. Oleh karena itu babi merupakan hewan model yang
sangat cocok untuk penyakit kardiovaskular.
Babi termasuk salah satu jenis hewan mamalia besar berdarah panas dalam
tingkatan klasifikasi sebagai berikut:
Dunia
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Cetartiodactyla
Famili
: Suidae
Genus
: Sus

7
Spesies
Subspesies

: Sus scrofa
: Domesticus

Babi mempunyai trakea yang pendek dengan diameter yang kecil dan
mempunyai 32-35 buah cincin trakea. Selain itu, babi mempunyai laring yang
relatif besar dengan paru-paru yang terbagi atas lobus dan lobulus. Terkadang,
bagian lobus kanan paru babi mempunyai bagian apikal yang ganda (Swindle 2007).

Gambar 1 Anak babi (Sus scrofa)

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 6 Juni sampai dengan tanggal 11 Juli
2014. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bedah Divisi Bedah dan Radiologi
Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi dan Rumah Sakit Hewan Institut
Pertanian Bogor. Pemeliharaan anak babi dilakukan di kandang ruminansia kecil
unit pengelolaan hewan laboratorium (UPHL) Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Alat dan Bahan Penelitian
Selama penelitian digunakan seperangkat alat bedah minor, seperangkat alat
anestesi inhalasi, syringe 1 ml, syringe 3 ml, syringe 20 ml, infus set, Alat
monitoring hemodinamik set (PiCCO2®, PULSION Medical Systems), syringe
pump, three way stop cock, kateter intravena, kateter arteri, kateter vena sentral
(Certofix®, B.Braun), jarum bulat tumpul, benang jahit silk dan polypropylene.

8
Pengamatan suhu tubuh menggunakan termometer digital sedangkan pengamatan
saturasi oksigen dan pulsus jantung menggunakan pulse oxymetry magnetek 1300
yang dipasang pada pangkal ekor anak babi. Pengambilan sampel darah dilakukan
dengan menggunakan syringe 3 ml melalui kateter vena sentral yang dipasang pada
vena cava cranialis. Sampel darah kemudian dimasukkan pada tabung khusus yang
mengandung antikoagulan tripotassium EDTA (K3EDTA) dan dianalisis
menggunakan hematology blood analyzer. Induksi sepsis dilakukan dengan
pemberian endotoksin dari Eschericia coli. Resusitasi cairan menggunakan cairan
koloid modified fluid gelatin 4% (Gelofusine®, B.Braun) dan cairan kristaloid
ringer asetat malat (Ringerfundin®, B.Braun). Anestesi dilakukan dengan
menggunakan obat bius yang terdiri dari ketamine 10% (Ketamil®, Ilium) dan
xylazine 2% (ilium Xylazil-100®, Ilium) untuk induksi anestesi, isofluran
(Aerrane®, Baxter) untuk anestesi inhalasi, dan ketamin 10% (Ketamil®, Ilium) via
intravena untuk maintenance. Eutanasia dilakukan dengan menggunakan kalium
klorida (KCl 7.46®, Otsuka).

Gambar 2 Alat PiCCO2

Gambar 3 Tabung EDTA

9

Tahap Persiapan
Populasi target pada penelitian ini adalah anak babi (Sus scrofa) jantan dan
betina berumur 2-3 bulan dengan berat badan 8-13 kg sebanyak 10 ekor. Anak babi
diberi pakan dua kali sehari dan air minum ad libitum. Anak babi menjalani
penapisan sebelum penelitian yang meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan
radiologi thorax, pemberian antibiotik Enrofloxacin (Roxine®, Sanbe Farma)
dengan dosis 6-11 mg/kg berat badan melalui intramuskuler dan pemberian obat
cacing oxfendazole (Vermo-O®, Sanbe Farma) 5 mg/kg berat badan secara peroral.
Anak babi sudah dinyatakan sehat oleh dokter hewan melalui pemeriksaan fisik dan
radiologi thorax. Anak babi dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing
kelompok terdiri atas 5 ekor anak babi untuk perlakuan dengan resusitasi modified
fluid gelatin 4% (MFG 4%) dan 5 ekor anak babi untuk perlakuan dengan resusitasi
cairan ringer asetat malat (RAM). Penelitian ini telah disetujui oleh komisi etik
hewan IPB dengan nomor persetujuan kode etik FRM/FKH/000-78.

Tahap Perlakuan
Tahap perlakuan dimulai dengan penimbangan berat badan anak babi lalu
dilakukan induksi anestesi anak babi menggunakan kombinasi ketamine 10% dan
xylazine 2% dengan rute pemberian intramuskuler. Setelah anak babi teranestesi,
anak babi diletakkan di atas meja operasi dan dilakukan pemasangan saturasi
oksigen probe pada pangkal ekor serta jalur intravena perifer di telinga. Kemudian
dilakukan pemasangan alat anestesi inhalasi menggunakan preparat anestesi
isofluran. Setelah itu dilakukan pemasangan kateter vena sentral pada vena cava
cranialis dan kateter arteri pada arteri femoralis sebagai tempat sensor alat
PiCCO2®. Anestesi inhalasi dihentikan setelah pemasangan kateter selesai
dilakukan dan dilanjutkan dengan pemberian ketamine secara berkelanjutan dengan
syringe pump. Kemudian diinduksikan endotoksin 50 ug/kg berat badan melalui
kateter vena sentral dan dilakukan pemantauan gejala sepsis yaitu demam (suhu
tubuh > 39.8 ºC), takikardia (frekuensi jantung > 120 kali/menit) dan takipnea
(frekuensi napas > 58 kali/menit).
Pemantauan selanjutnya adalah tanda-tanda renjatan sepsis (shock septic)
yang dilihat dari extravascular lung water index (ELWI) > 10 ml/kg berat badan,
takikardia, waktu pengisian kapiler  3 detik, dan ekstremitas dingin. Setelah tandatanda renjatan sepsis terlihat, dilakukan resusitasi modified fluid gelatin 4% (MFG
4%) atau cairan ringer asetat malat (RAM) sebanyak 20 ml/kg berat badan melalui
kateter vena sentral. Setelah semua sampel diperoleh, dilakukan eutanasia
menggunakan kalium klorida sebanyak 20 ml melalui kateter vena sentral.
Eutanasia dilakukan pada keadaan hewan tetap teranestesi dengan tujuan
memperhatikan kesejahteraan hewan.
Pengambilan sampel darah dilakukan pada saat setelah induksi anestesi
(penapisan), saat gejala sepsis terlihat, dan 3 jam setelah dilakukan resusitasi cairan.
Pengambilan sampel darah dilakukan menggunakan syringe 3 ml melalui vena
auricularis untuk data penapisan dan melalui kateter vena sentral untuk data saat
sepsis dan 3 jam setelah dilakukan resusitasi cairan. Kemudian darah yang telah

10
diambil dimasukkan pada tabung khusus yang mengandung antikoagulan
tripotassium EDTA. Sampel darah yang diambil selanjutnya dianalisis
menggunakan hematology blood analyzer.

Gambar 4 Pengambilan sampel darah

Gambar 5 Induksi endotoksin

Gambar 6 Resusitasi Cairan

11

Anestesi
Pengambilan sampel
darah I
Induksi
endotoksin

Sepsis

Pengambilan sampel
darah II

Renjatan sepsis

Kelompok I
Cairan koloid
(modified fluid gelatin 4%)

Kelompok II
Cairan kristaloid
(ringer asetat malat)

3 jam setelah resusitasi cairan

Pengambilan sampel
darah III

Eutanasia

Gambar 7 Alur pengambilan sampel darah

Analisis Data
Data berupa rataan dan simpangan baku diolah menggunakan IBM SPSS
Statistic 20 dan Microsoft Excel 2013. Perbedaan pada antar waktu pengambilan
sampel darah dan antar kelompok perlakuan dianalisis menggunakan analisis ragam
(analysis of variant/ANOVA). Data dianalisis lebih lanjut dengan uji Duncan pada
selang kepercayaan 95%.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Eritrosit
Jumlah eritrosit adalah banyaknya eritrosit dalam tiap mikroliter darah.
Jumlah eritrosit dapat dihitung menggunakan alat hemasitometer yang diamati
menggunakan mikroskop dan dilakukan penghitungan secara langsung
menggunakan hand tally counter (Meyer dan Harvey 2004). Hasil yang diperoleh
menunjukkan tidak ada perbedaan nyata rataan jumlah eritrosit antar kelompok
perlakuan maupun antar waktu pengambilan sampel darah (Tabel 2). Rataan jumlah
eritrosit pada saat penapisan, sepsis, dan 3 jam setelah resusitasi cairan berada di
bawah nilai referensi jumlah eritrosit normal anak babi pada kedua kelompok. Nilai
referensi jumlah eritrosit normal anak babi adalah 5.11-6.47x106/μL dengan ratarata 5.79x106/μl (Svoboda dan Drabek 2002). Hasil rataan jumlah eritrosit saat
penapisan yang berada di bawah rentang referensi jumlah eritrosit normal anak babi
pada kedua kelompok dapat diduga bahwa anak babi mengalami anemia sejak awal.
Tabel 2 Rataan jumlah eritrosit (x106/µl)
Kelompok babi
MFG 4%
RAM
Penapisan
4.30±1.33a,x
4.90±0.66a,x
Sepsis
3.83±1.01a,x
3.96±0.91a,x
a,x
Tiga jam setelah resusitasi cairan
3.72±1.01
4.63±1.04a,x
Keterangan: Huruf superscript (a) yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya
perbedaan nyata (p