Dinamika Leukosit Pada Terapi Cairan Anak Babi (Sus Scrofa) Yang Diinduksi Sepsis

DINAMIKA LEUKOSIT PADA TERAPI CAIRAN
ANAK BABI (Sus scrofa) YANG DIINDUKSI SEPSIS

CINDI NABILA FITRIANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Dinamika Leukosit
pada Terapi Cairan Anak Babi (Sus scrofa) yang Diinduksi Sepsis” adalah benar
karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015
Cindi Nabila Fitriani
NIM B04110159

ABSTRAK
Dinamika Leukosit pada Terapi Cairan Anak Babi (Sus scrofa) yang Diinduksi
Sepsis. Di bawah bimbingan RIKI SISWANDI dan GUNANTI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dinamika leukosit setelah
resusitasi cairan dengan cairan koloid (modified fluid gelatin 4%/MFG 4%) dan
cairan kristaloid (ringer's acetate malate/RAM) pada anak babi yang diinduksi
sepsis. Sepuluh ekor anak babi (Sus scrofa) jantan atau betina berumur 2-3 bulan
dan bobot badan 8-15 kg dibagi ke dalam dua kelompok. Induksi sepsis dilakukan
dengan injeksi LPS (Lipopolysacaride) hingga terjadi renjatan sepsis. Pemberian
perlakuan menggunakan resusitasi cairan dilakukan pada saat renjatan sepsis
terjadi. Kelompok pertama menerima resusitasi cairan MFG 4% dan pada
kelompok kedua menerima resusitasi cairan RAM. Sampel darah diambil melalui
kateter yang dipasang pada vena cava setelah anastesi, saat sepsis, dan 3 jam
setelah resusitasi cairan. Pada saat sepsis terjadi kecenderungan penurunan nilai
leukosit pada kedua kelompok perlakuan. Secara umum resusitasi MFG 4%
maupun RAM tidak terdapat pengaruh yang nyata terhadap nilai leukosit setelah

sepsis terjadi.
Kata kunci: anak babi, koloid, kristaloid, leukosit, resusitasi cairan, sepsis

ABSTRACT
Leukocyte dynamics of Fluid Treatment in Piglets (Sus scrofa) with induced
sepsis. Supervised by RIKI SISWANDI and GUNANTI.
This study was aimed to evaluate leucocytes dynamics after fluid
resuscitation with colloid (modified fluid gelatin 4%/MFG 4%) and crystalloid
(ringer's acetate malate/RAM) on septic induced piglets. Ten piglets (Sus scrofa)
male or female aged 2-3 months of age and 8-15 kg’s body weight were divided
into two groups. Septic induction was done by LPS (Lipopolysaccaride)
administration resulting septic shock to occur. Fluid resuscitation was carried out
after septic shock occurrence. The first group received fluid resuscitation MFG
4% and the second group received RAM fluid resuscitation. Blood samples were
collected using catheters that was placed in the vena cava after anesthesia, during
sepsis, and 3 hours after fluid resuscitations. At the moment of sepsis, there was a
tendency of decrease in the value of leucocytes in both treatment groups. In
general, in fluid resuscitation with MFG 4% and RAM there was no significant
influence on the of leukocytes after induced septic.
Keywords: colloid, crystalloid, fluid resuscitation, leucocyte, piglet, sepsis


DINAMIKA LEUKOSIT PADA TERAPI CAIRAN
ANAK BABI (Sus scrofa) YANG DIINDUKSI SEPSIS

CINDI NABILA FITRIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
dimulai bulan Juni hingga Juli 2013 dengan judul Dinamika Leukosit pada Terapi
Cairan Anak Babi (Sus scrofa) yang Diinduksi Sepsis. Penulis sangat menyadari

bahwa penelitian ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari
banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak (Hamim) dan Mamah (Siti Haemah) tercinta, yang senantiasa
mencurahkan segala kasih sayang, cinta, dan doanya kepada penulis.
Terimakasih pula kepada adikku tersayang Hilman Adi Utama yang selalu
menghadirkan keceriaan, serta keluarga besar yang tak bisa disebutkan
satu persatu yang senantiasa mendukung penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di FKH IPB.
2. Drh Riki Siswandi, MSi dan Dr Drh Hj Gunanti, MS selaku pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktu dan dengan sabar hingga akhir
penelitian dan penulisan skripsi ini.
3. Dr. Rismala Dewi, SpA(K) atas kerjasamanya dalam penelitian ini.
4. Dr. Dra Nastiti Kusumorini (almh) selaku dosen pembimbing akademik
atas nasihat dan semangat yang telah diberikan.
5. Staf Divisi Bedah dan Radiologi Departemen Klinik, Reproduksi dan
Patologi FKH IPB: Pak Katim dan Pak Engkos yang telah membantu
penulis selama penelitian.
6. Iman Pirman S.T yang selalu memberikan semangat, masukan dan
kebersamaannya untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Sahabat-sahabatku Zahra, Hasna, Intan, Dewi, Dian, Yustin, Anggi, Cerel
dan Mutiara yang senantiasa hadir dalam suka maupun duka terutama saat
proses penyelesaian tugas akhir ini berlangsung.
8. Penghuni Wisma Murni dan keluarga Drh. Abdulgani Amri Siregar atas
semangat yang telah diberikan.
9. Serta keluarga GANGLION 48 yang telah menjadi bagian dari perjuangan
selama di FKH IPB. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015

Cindi Nabila Fitriani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Sepsis

Anak Babi (Sus scrofa)
Cairan Kristaloid dan Koloid
Endotoksin
Leukosit
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Tahap Persiapan
Adaptasi Hewan
Tahap Perlakuan
Prosedur Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Total Leukosit
Jumlah Eosinofil
Jumlah Neutrofil
Jumlah Limfosit
Jumlah Monosit
Jumlah Basofil
Pembahasan Umum
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

vi
vi
1
1
1
1
2
2
3
3
5
5
6
6
6
7

8
8
10
10
10
11
12
12
13
14
14
16
16
16
16

DAFTAR TABEL
1 Rataan jumlah total leukosit (x103/µL)
2 Rataan jumlah eosinofil (×103/µL)
3 Rataan jumlah neutrofil (×103/µL)

4 Rataan jumlah limfosit (×103/µL)
5 Rataan jumlah monosit (×103/µL)

11
12
12
13
13

DAFTAR GAMBAR
1 Skematik perjalanan infeksi
2 Anak babi (Sus srofa) sebagai objek penelitian
3 Jenis-jenis leukosit (A. Mononuklear B. Polimorfonuklear)
4 Alat PiCCO3
5 Tabung EDTA
6 Pengambilan sampel darah
7 Induksi endotoksin
8 Resusitasi Cairan
9 Alur pengambilan sampel darah


2
3
6
7
7
8
9
9
10

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sepsis merupakan salah satu diantara penyebab utama mortalitas yang
cukup tinggi pada anak bayi. Pasien yang mengalami sepsis sebanyak 70%
menghasilkan kultur mikrobiologis yang positif dan 62% dari isolat positif
merupakan bakteri Gram negatif (Vincent et al. 2009). Lipopolisakarida (LPS)
yang disebut sebagai endotoksin merupakan komponen beracun dari bakteri Gram
negatif (Radostits et al. 2000). Sepsis menyebabkan terjadinya perubahan dalam
mikrosirkulasi dan perubahan biokimia maupun karakteristik fisiologis konstituen

darah. Perlambatan aliran kapiler darah merupakan akibat dari penurunan tekanan
perfusi dan penyempitan arteriol lokal, perubahan viskositas, dan gangguan
Reologi sel darah merah dan sel darah putih yang termasuk perubahan
mikrosirkulasi (Piagnerelli et al. 2003).
Penggunaan resusitasi cairan koloid maupun cairan kristaloid merupakan
salah satu tujuan utama sebagai terapi awal pada kejadian sepsis. Pemilihan cairan
kristaloid atau koloid sebagai cairan resusitasi yang ideal hingga saat ini belum
didapatkan bukti bahwa salah satu jenis cairan tersebut lebih baik dibandingkan
dari yang lain. Survei mengatakan lebih dari 2400 dokter ICU dari European and
French Intensive Care Societies, 65% klinikus dilaporkan menggunakan
kombinasi kristaloid dan koloid seperti Ringer laktat, hydroxyethyl starch (HES)
dan gelatin sebagai cairan resusitasi (Schortgen et al. 2004).
Pemeriksaan darah lengkap merupakan salah satu pemeriksaan darah yang
dilakukan untuk menunjang diagnosa suatu penyakit, melihat bagaimana respon
tubuh terhadap suatu penyakit, serta melihat respon terapi cairan pada pasien yang
menderita suatu penyakit infeksi dengan mengetahui kondisi sel darah pasien.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan pemeriksaan dinamika leukosit yaitu:
jumlah total leukosit, jumlah eosinofil, jumlah neutrofil, jumlah limfosit, jumlah
monosit, dan jumlah basofil.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dinamika leukosit setelah
resusitasi cairan koloid (modified fluid gelatin 4%/MFG 4%) dan cairan kristaloid
(ringer asetat malat/RAM) pada anak babi yang diinduksi sepsis.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran leukosit pada anak
babi yang menderita sepsis. Penelitian ini juga diharapkan mampu mengetahui
pengaruh MFG 4% dan RAM pada kejadian sepsis dengan hewan coba anak babi.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sepsis
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks yang dapat
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit dalam sirkulasi sistemik sebagai
respon terhadap faktor-faktor proinflamasi (Russel 2006). Penyebab yang sering
terjadi yaitu sepsis infeksi oleh bakteri terutama bakteri Gram negatif. Bakteri
yang masuk ke dalam tubuh akan mati dan mengeluarkan toksin atau endotoksin
yang menjadi pemicu adanya reaksi radang. Kelebihan produksi sitokin inflamasi
akan menyebabkan aktivasi respon sistemik terutama pada paru-paru, hati, ginjal,
usus, dan organ lainnya sehingga dapat terjadi apoptosis, nekrosis jaringan, Multi
Organ Dysfunction (MOD) dilanjutkan dengan syok septik, serta kematian (ElMenyar et al. 2012).
Sepsis menyebabkan terjadinya kerusakan sel endotelial mikrovaskular serta
pelepasan mediator inflamasi oleh sel endotel. Sepsis yang disertai disfungsi
organ atau hipoperfusi didefinisikan sebagai sepsis berat sedangkan renjatan
septik adalah sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular (Goldstein et al.
2005). Terdapat berbagai istilah yang berkaitan dengan kondisi sepsis seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1. Sepsis berat disertai dengan keterlibatan satu atau
lebih gangguan sistem organ yang diawali dengan menurunnya perfusi ke jaringan
sehingga mengakibatkan disfungsi sistem organ, gangguan perfusi dan sistem
organ ditandai dengan adanya ruam kulit yang kemerahan, peningkatan waktu
pengisian kapiler ≥ γ detik, penurunan produksi urin, peningkatan laktat serum,
perubahan drastis status mental atau elektroensepalogram, penurunan jumlah
trombosit atau adanya koagulasi intravaskular diseminata, sindrom pernafasan
akut dan kelainan fungsi jantung yang dibuktikan melalui pemeriksaan
ekokardiografi (Merx dan Weber 2007).

Gambar 1 Skematik perjalanan infeksi
Pada renjatan septik dapat ditemukan tanda gangguan sirkulasi seperti
penurunan kesadaran, penurunan tekanan darah, akral dingin, sianosis, perabaan
nadi yang lemah, peningkatan waktu pengisian kapiler serta oliguria. Selain itu
dijumpai pula gangguan respirasi seperti takipnea, asidosis metabolik serta edema
paru (O’Brien et al. 2007).

3
Anak Babi (Sus scrofa)
Babi (Sus scrofa) (Gambar 2) sering dijadikan hewan model dalam
penelitian bedah eksperimental untuk sejumlah penyakit infeksius yang
disebabkan oleh mikroba yang relevan dengan kesehatan manusia (Gambar 2).
Babi juga mempunyai hubungan yang dekat dengan manusia dalam hal anatomi,
genetika dan fisiologi. Model ini mencakup model penyakit alami didasarkan pada
patogen babi yang secara erat identik dengan patogen manusia, dan model infeksi
eksperimental atau pengganti di mana patogen manusia dalam kondisi
eksperimental diberikan kepada babi (Meurens et al. 2012).

Gambar 2 Anak babi (Sus srofa) sebagai objek penelitian
Cairan Kristaloid dan Koloid
Cairan kristaloid dan koloid merupakan cairan yang sering digunakan pada
terapi renjatan septik. Pembagian jenis cairan ini didasarkan pada kemampuan
larutan melalui membran. Cara penggunaan kedua jenis larutan plasma masih
menjadi kontroversi (Schortgen et al. 2004).
Kristaloid
Kristaloid adalah jenis larutan yang paling umum digunakan dalam praktik
kedokteran hewan. Larutan kristaloid mengandung elektrolit atau dekstros dan
tidak mengandung molekul besar. Pemberian kristaloid perlu dilakukan dalam
volume lebih banyak daripada volume darah yang hilang. Contoh larutan
kristaloid yang sering digunakan adalah ringer laktat (RL), ringer asetat (RA), dan
NaCl 0,9% (Leksana 2009).
Kristaloid tidak memberikan kontribusi terhadap tekanan onkotik, tetapi
mereka memberikan kontribusi terhadap tekanan osmotik. Keuntungan kristaloid
adalah mudah didapat, murah, dan efek samping minimal sehingga sering
digunakan sebagai tata laksana yang membutuhkan cairan intravaskular (renjatan
hipovolemik). Kristaloid tidak memberikan reaksi radang terhadap pasien yang
menerimanya. Kerugian dari pemakaian kristaloid adalah edema interstisial
dengan efek yang paling mudah dilihat berupa edema paru-paru. Dengan
demikian terlihat bahwa adanya edema interstisial (dalam hal ini edema paru)
belum tentu menggambarkan bahwa cairan intravaskular sudah cukup. Hal ini
sering membuat tata laksana resusitasi cairan kehilangan pegangan apabila tidak

4
menggunakan indikator lain sebagai parameter kecukupan cairan intravaskular
(Shih et al. 2008).
Ringer asetat malat (Ringerfundin®) adalah larutan elektrolit isotonik
seimbang yang disesuaikan dengan plasma yang secara fisiologis merupakan
elektrolit yang sangat penting dan mengandung 140 mmol/l sodium. Konsentrasi
kalium, magnesium dan kalsium dari Ringerfundin® menyerupai yang ditemukan
dalam plasma manusia, sedangkan konsentrasi klorida sedikit lebih tinggi untuk
mencapai osmolaritas fisiologis. Ketidakseimbangan elektrolit dengan cepat dapat
dipulihkan karena Ringerfundin® memiliki komposisi elektrolit sama dengan
plasma manusia (Zadak et al. 2010).
Berbeda dengan konvensional Ringer dan cairan Ringer laktat,
Ringerfundin® mengandung anion metabolis asetat dan malat yang berperan
sebagai prekursor bikarbonat dan akan menetralkan asidosis hiperkloremik.
Ringerfundin® mempunyai beberapa ciri khas yaitu; datang sebagai larutan
elektrolit penuh, merupakan larutan isotonik, mengandung asetat / malat bukan
laktat, menyediakan potensi kelebihan dasar yang seimbang (BEpot), tidak
meningkatkan konsumsi O2 dan kebutuhan total energi serta tidak mengakibatkan
perubahan komposisi ion di serum (Zadak et al. 2010).
Ringerfundin® adalah memiliki komposisi elektrolit isotonik menyerupai
plasma manusia. Komposisi dari cairan tersebut adalah 1000 ml Ringerfundin®
ISO B.Braun solusi untuk infus berisi : Natrium klorida 6.80 g, Kalium klorida
0.30 g, Magnesium klorida hexahydrate 0.20 g, Kalsium klorida dihidrat 0.37 g,
Sodium asetat trihidrat 3.27 g, L-Malic acid 0.67 g, Konsentrasi elektrolit :
mmol/l, Natrium 145.0, Kalium 4.0, Magnesium 1.0, Kalsium 2.5, Klorida
127.0, Asetat 24.0, Malat 5.0, Teoritis Osmolaritas 309 mosm/l, pH 5.1-5.9
(Braun 2009).
Koloid
Koloid merupakan cairan resusitasi yang banyak digunakan pada kasus syok
hipovolemik akibat hemoragi. Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti
plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau “plasma expander” (Hartanto
2007). Koloid berkontribusi terhadap tekanan onkotik, sedangkan kristaloid tidak.
Koloid sering digunakan sebagai resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok
hipovolemik/hemoragik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan
kehilangan protein yang banyak (Hartanto 2007). Pengaruh utama dari koloid
adalah pemberian pada ruang intravaskular, dan koloid tidak bertindak untuk
mengisi kompartemen ekstravaskuler. Administrasi kristaloid selain koloid
dianjurkan untuk perlindungan dari kompartemen interstitinal dan intraseluler.
Kerugian yang terkait dengan administrasi koloid adalah reaksi anafilaktoid,
kelebihan volume, dan pada beberapa kasus terjadi muntah dan hipotensi. Koloid
harus digunakan dengan hati-hati pada hewan dengan penyakit jantung atau
gangguan ginjal karena ekspansi volume vaskular tidak dapat ditoleransi pada
pasien ini (Donohoe 2012). Keuntungan utama dari cairan koloid yaitu
mempunyai bobot molekular yang lebih rendah dibandingkan cairan koloid yang
lain. Administrasi larutan gelatin succinylated menyebabkan terjadinya
peningkatan volume plasma sekitar 10% lebih rendah dari volume yang
diadministrasikan (DiBartola 2012).

5
Modified fluid gelatin 4% (Gelofusine®) adalah cairan penggantian volume
koloid berdasarkan 4% cairan gelatin. Komposisi dari cairan tersebut adalah 1000
ml mengandung gelatin Succinylated (Dimodifikasi gelatin cairan ) 40.00 g,
Natrium klorida 7.01 g, konsentrasi elektrolit Sodium 154 mmol/l, Klorida 120
mmol/l, Teoritis osmolaritas : 274 mOsm/I, pH : 7.4 ± 0.3 (Braun 2009).

Endotoksin
Escherichia coli (E. coli) merupakan mikroflora alami yang dapat
ditemukan pada usus hewan maupun manusia. Escherichia coli merupakan bakteri
Gram negatif yang bersifat fakultatif anaerob, tumbuh pada suhu 37 oC, dan
bergerak dengan flagela peritrichous.
E. coli dapat ditemukan pada air yang terkontaminasi dengan kotoran, akibat
sanitasi yang buruk. Kasus sepsis pada babi yang lebih muda memiliki gejala
klinis diare berair, dehidrasi, lesu, tidak adanya penambahan berat badan, dan
pneumonia (Salvadori et al. 2003).
Endotoksin merupakan bagian dari membran luar dari dinding sel bakteri
gram negatif. Aktivitas biologis endotoksin dikaitkan dengan lipopolisakarida
(LPS). Kandungan lipid A dalam lipopolisakarida bersifat beracun yang
menjadikan infeksi setiap bakteri gram negatif berpotensial menyebabkan masalah
medis yang serius (Black 2004).

Leukosit
Darah terdiri dari bagian padatan yang terdiri dari sel-sel dan bagian cairan
yang disebut plasma. Sel-sel darah terdiri atas eritrosit, leukosit, dan trombosit
yang dikenal sebagai benda-benda darah. Darah memiliki fungsi sebagai
pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju jaringan
tubuh, penyalur oksigen dari paru-paru ke jaringan dan CO2 dari jaringan ke paruparu. Selain itu berfungsi sebagai pembawa sisa metabolisme tubuh untuk
dieksresikan melalui urin (ginjal), pembawa hormon ke organ lain dalam tubuh,
penyeimbang asam-basa, serta penyeimbang kandungan air tubuh dan sebagai
pembekuan darah sehingga mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebih
pada saat luka (Ganong 2003).
Menurut Tizard (1982), leukosit terdiri dari dua tipe yaitu polimorfonuklear
leukosit (granulosit) dan mononuklear leukosit (agranulosit). Terdapat tiga jenis
leukosit granuler yaitu: neutrofil, basofil, dan eosinofil. Leukosit agranuler dibagi
menjadi dua yaitu limfosit dan monosit. Leukosit tipe polimorfonuklear
diproduksi oleh ekstravaskularisasi dari sumsum tulang. Neutrofil merupakan sel
bundar dengan diameter 12 μm. Memiliki granula halus dan ditengahnya terdapat
nukleus bersegmen yang terdiri dari 2-5 lobus. Basofil adalah sel yang jumlahnya
paling sedikit di dalam darah hewan. Jumlahnya sekitar 0.5% dari leukosit darah.
Basofil memiliki granula yang bersifat yang bersifat basofilik seperti
hematoksilin. Eosinofil memiliki sitoplasma berlobus dua, retikulum endoplasma,
mitokondria dan aparatus golgi kurang berkembang (Tizard 1982).

6
Leukosit mononuklear mempunyai sitoplasma yang tidak memiliki granul
seperti pada leukosit polimorfonuklear dan hanya memiliki satu buat inti. Limfosit
normal memiliki inti relatif besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin
inti padat, anak inti baru terlihat dengan elektron mikroskop. Monosit berjumlah
3-8% dari total leukosit normal, memiliki diameter 9-10 μm, tetapi pada sediaan
darah kering diameternya mencapai β0μm, atau lebih (Tizard 198β).

Gambar 3. Jenis-jenis leukosit (A. Mononuklear B. Polimorfonuklear)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 6 Juni sampai dengan tanggal 11
Juli 2014. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bedah Divisi Bedah dan
Radiologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Institut Pertanian Bogor.
Pemeliharaan hewan dilakukan di kandang ruminansia kecil Unit Pengelolaan
Hewan Laboratorium (UPHL) FKH IPB.

Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan selama perlakuan adalah seperangkat alat
bedah minor, laryngoscope, endotracheal tube, infus set, alat monitoring
hemodinamik set (PiCCO2®, PULSION Medical Systems) seperti yang terlihat
pada Gambar. 3, pompa syringe, three way stop cock, kateter intravena, jarum
bulat tumpul, tabung EDTA, benang jahit silk dan polypropilen. Pengambilan data
suhu tubuh dan pulsus jantung dilakukan dengan menggunakan termometer digital
AKL -20901900848 GP Care dan pulse oxymetry magnetek 1300 yang dipasang
pada pangkal ekor hewan model. Resusitasi cairan menggunakan cairan koloid
modified fluid gelatin 4% (Gelofusine®, B.Braun) dan cairan kristaloid ringer
asetat malat (Ringerfundin®, B.Braun). Anestesi dilakukan dengan menggunakan
obat bius yang terdiri dari ketamin 10% (Ketamil®, Ilium) dan xylazine 10%
(Ilium Xylazil-100®, Ilium) via intramuskular untuk induksi anestesi, isoflurane

7
(Aerrane®, Baxter) untuk anestesi tambahan, dan ketamin 10% 6 ml/jam via
intravena untuk maintenance. Induksi sepsis dilakukan dengan pemberian
endotoksin LPS secara intravena dan eutanasia dilakukan dengan pemberian
Kalium Klorida (KCL 7.46®, Otsuka) secara intravena. Pemeriksaan darah
menggunakan hematology analyzer (RT–7600S Hematology Analyzer, Rayto).

Gambar 4 Alat PiCCO3

Gambar 5 Tabung EDTA

Tahap Persiapan
Anak babi (Sus scrofa) jantan atau betina sejumlah 10 ekor berumur 2-3
bulan dengan berat badan 8-13 kg diperiksa dan dinyatakan sehat secara klinis dan
radiologis oleh dokter hewan. Anak babi dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama terdiri dari 5 ekor babi yang diberikan perlakuan dengan
pemberian MFG 4%. Kelompok kedua diberikan perlakuan dengan pemberian
RAM pada 5 ekor babi. Penelitian ini dilakukan dengan persetujuan kode etik dari
komisi etik hewan IPB dengan nomor FRM/FKH/000-78.

8
Adaptasi Hewan
Adaptasi anak babi dilakukan selama tujuh hari sebelum dilakukannya
operasi. Adaptasi dilakukan dalam lingkungan dan pakan baru untuk
membiasakan hewan dan mengurangi tingkat stres pada anak babi. Anak babi
diberi pakan dan minum (ad libitum) pada pagi dan sore hari. Kandang hewan
dibersihkan pada pagi dan sore hari dan disterilkan tiga hari sekali. Anak babi
juga menjalani penapisan sebelum penelitian yang meliputi: pemeriksaan fisik,
pemeriksaan radiologi, pemberian antibiotik Enrofloxacin (Roxine®, Sanbe
Farma) dengan dosis 6-11 mg/kg berat badan melalui intramuskular dan
pemberian obat cacing oxfendazole (Vermo-O®, Sanbe) 5 mg/kg berat badan
secara peroral.

Tahap Perlakuan
Administrasi ketamin dan xylazine sebagai induksi anestesi dilakukan
secara intramuscular pada m. semimembranosus/ semitendinosus. Setelah anak
babi terbius, dilakukan pemasangan saturasi oksigen probe pada pangkal ekor,
jalur intravena perifer di telinga, dan pemasangan endotracheal tube untuk
pemasangan alat anestesi pada saat anak babi teranestesi. Setelah itu dilakukan
pemasangan kateter pada vena cava.
Induksi endotoksin (Gambar 6) dilakukan secara intravena sebanyak 50
µg/kg berat badan. Sepsis dikatakan telah terjadi jika terlihat parameter yaitu
demam (suhu tubuh > 39,8 ºC) atau hipotermia (suhu tubuh < 38,7 ºC), takikardia
(frekuensi jantung > 120 kali/menit) dan takipnea (frekuensi napas > 58
kali/menit). Pemantauan tanda-tanda renjatan sepsis dilihat dari Extravascular
Lung Water (EVLW) > 10 ml/kg, penurunan tekanan darah, denyut nadi yang
meningkat, takikardia dengan penurunan perfusi, pemanjangan waktu pengisian
kapiler, dan ekstremitas dingin. Setelah tanda-tanda renjatan sepsis terlihat,
dilakukan pemberian RAM atau MFG 4% (Gambar 7) sebanyak 20 ml/kg bobot
badan. Setelah semua sampel diperoleh, dilakukan eutanasia menggunakan kalium
klorida sebanyak 20 ml.

Gambar 6 Pengambilan sampel darah

9

Gambar 7 Induksi endotoksin

Gambar 8 Resusitasi cairan
Pengambilan sampel darah (Gambar 5) dilakukan melalui kateter yang
dipasang pada vena cava dengan syringe 3 ml. Kemudian darah yang telah
diambil dimasukkan pada tabung khusus yang mengandung antikoagulan EDTA.
Sampel darah diambil pada saat setelah anastesi (penapisan), saat sepsis, dan 3
jam setelah dilakukan resusitasi cairan. Sampel darah yang diambil selanjutnya
dikirim ke laboratorium komersial untuk dianalisis menggunakan hematology
blood analyzer analyzer (RT–7600S Hematology Analyzer, Rayto) dengan
metode otomatik optik.

10

Anastesi
Pengambilan sampel
darah I
Induksi
endotoksin
Pengambilan sampel
darah II

Sepsis

Renjatan sepsis

Kelompok I
Cairan koloid
(modified fluid gelatin 4%)
)

Kelompok II
Cairan kristaloid
(ringer asetat malat)

3 jam setelah resusitasi cairan

Pengambilan sampel
darah III

Eutanasia
Gambar 9 Alur pengambilan sampel darah

Prosedur Analisis Data
Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku. Data
diolah menggunakan IBM SPSS Statistic 20 dan Microsoft Excel 2013. Data
variabel dianalisis menggunakan analisis ragam One-way Analyze of Variant
(ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan pada selang kepercayaan
95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Total Leukosit
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral
terhadap organisme asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan

11
melalui proses diapedesis, leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos
sel-sel endotel (Colville dan Bassert 2002).
Data rataan jumlah total leukosit disajikan pada tabel 1. Rataan jumlah total
leukosit saat penapisan pada kelompok babi MFG 4% adalah 18.04±3.42x103/µL
dan RAM adalah 15.86±3.09x103/µL. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan
MFG 4% maupun RAM pada penapisan memperoleh hasil tidak adanya
perbedaan nyata pada rataan jumlah total leukosit antar kelompok perlakuan
maupun antar tahap pengambilan darah. Rataan jumlah total leukosit saat
penapisan berada dikisaran normal. Jumlah total leukosit normal pada babi adalah
7-20x103/μL (Hanifah 2015).
Tabel 1 Rataan jumlah total leukosit (x103/µL)
Waktu pengambilan data

Kelompok babi
MFG 4%
RAM
Penapisan
18.04±3.42a,x
15.86±3.09a,x
Sepsis
3.46±1.72a,y
8.22±2.30b,y
a,y
Tiga jam setelah resusitasi cairan
3.02±1.19
3.56±1.35a,z
Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p