Uji Viabilitas Polen pada Dua Spesies Belimbing Hutan (Averrhoa dolichocarpa dan A. leucopetala)

UJI VIABILITAS POLEN PADA DUA SPESIES BELIMBING
HUTAN (Averrhoa dolichocarpa dan A. leucopetala)

KAPSAH

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Uji viabilitas polen
pada dua spesies belimbing hutan (Averrhoa dolichocarpa dan A. leucopetala)
adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Kapsah
NIM G34100045

ABSTRAK
KAPSAH. Uji viabilitas polen pada dua spesies belimbing hutan (Averrhoa
dolichocarpa dan A. leucopetala). Dibimbing oleh DORLY dan INGGIT PUJI
ASTUTI.
Belimbing hutan Averrhoa dolichocarpa dan A. leucopetala merupakan
jenis belimbing baru yang dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
viabilitas polen dari bunga sehari sebelum mekar (H-1) dan bunga mekar (H0)
dengan metode pengecambahan dalam media Brewbaker and Kwack (BK) dan
sukrosa 10% serta metode pewarnaan dengan anilin blue 1% dan I2KI 1%. Hasil
penelitian pendahuluan diperoleh bahwa waktu inkubasi optimum uji
perkecambahan polen yaitu 16 jam. Viabilitas polen pada uji perkecambahan lebih
rendah dibanding uji pewarnaan yaitu berturut-turut 64.80% dalam media BK,
54.60% dalam media sukrosa 10%, 88.60% pada anilin blue 1% dan 88.50% pada
I2KI 1%. Viabilitas polen dalam media BK lebih tinggi dibanding dengan media
sukrosa 10%. Pada metode perkecambahan in vitro diperoleh hasil bahwa nilai

viabilitas polen belimbing hutan bunga stadia H0 lebih tinggi dibanding dengan
bunga stadia H-1. Sedangkan pada metode pewarnaan diperoleh hasil sebaliknya
yaitu nilai viabilitas polen bunga stadia H-1 lebih tinggi dibanding bunga stadia H0.
Pada A. dolichocarpa di lereng, viabilitas polen dari filamen panjang lebih tinggi
dibandingkan dengan filamen pendek. Sedangkan faktor filamen pada uji
pewarnaan tidak berbeda nyata. Viabilitas polen pada media sukrosa 10% dengan
I2KI 1% dan anilin blue 1% berkorelasi negatif. Sedangkan viabilitas polen dalam
media BK dengan anilin blue 1% dan I2KI 1% tidak berkorelasi.
Kata kunci: belimbing hutan, viabilitas polen, pengecambahan in vitro, metode
pewarnaan

ABSTRACT
KAPSAH. Pollen viability test at two species of wild starfruit (Averrhoa
dolichocarpa and A. leucopetala). Supervised by DORLY and INGGIT PUJI
ASTUTI.
Wild starfruit Averrhoa dolichocarpa and A. leucopetala are new species
reported. The aims of the research were to testing pollen viability at a day before
anthesis (H-1) and at anthesis (H0) stadia with germination in Brewbaker and
Kwack (BK) and 10% sucrose media and staining test with 1% anilin blue and
1% I2KI. The optimum time for germination was 16 hours. Pollen viability in

staining test results were higher than in germination test ie. 64.80% in BK
medium, 54.60% in sukrosa, 88.60% in aniline blue dye and 88.50% in I2KI. BK
medium showed a better result for germination test than 10% sucrose. In vitro
viability germination test obtained the result that pollen viability value of wild
starfruit at H0 stadia was higher than pollen viability at H-1 stadia. While the result
of staining test obtained that H-1 stadia was higher than at H0 stadia. Long filament
of Averrhoa dolichocarpa located on the slope had higher pollen viability than

short filament. Filament factor in staining test was not significant. Pollen viability
both in 10% sucrose to 1% aniline dye and 10% sucrose to 1% I2KI were
negatively correlated. The correlation of pollen viability was not found either in
BK medium and aniline dye blue or in BK medium and I2KI.
Keywords: starfruit, pollen viability, in vitro germination, staining test

UJI VIABILITAS POLEN PADA DUA SPESIES BELIMBING
HUTAN (Averrhoa dolichocarpa dan A. leucopetala)

KAPSAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Uji Viabilitas Polen pada Dua Spesies Belimbing Hutan (Averrhoa
dolichocarpa dan A. leucopetala)
Nama
: Kapsah
NIM
: G34100045

Disetujui oleh


Dr Ir Dorly, MSi
Pembimbing I

Dra Inggit Puji Astuti, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Ketua Departemen Biologi

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT dan shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Berkat rahmat dan
hidayah Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Uji
viabilitas polen pada dua spesies belimbing hutan (Averrhoa dolichocarpa dan A.
leucopetala)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan program
sarjana di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dorly dan Ibu Inggit selaku pembimbing I dan pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam penulisan skripsi
2. Ibu Kanthi selaku penguji yang telah memberikan saran dan kritik dalam
penulisan skripsi
3. Kedua orang tua yang selalu memberikan nasehat, motivasi, bimbingan,
kasih sayang, semangat dan doa yang tidak pernah berhenti kepada penulis
4. Kakak dan adik tercinta yaitu yayu, icha, enih, masudin, masiwan, mamat,
dede, dan abas yang telah memberi semangat, dukungan serta kasih sayang
kepada penulis
5. Keluarga besar LIPI dan laboratorium Treub Kebun Raya Bogor
khususnya Bu Yayuk, Mba Laras, Mas Fahmi, Mba Titin, Mba Ria dan
Pak Bono yang telah berkenan membantu dan memberikan izin penelitian
kepada penulis terima kasih pula atas kebersamaannya
6. Keluarga Besar Dewan Revolusioner, Zwitterium, Spectrum of Scientist,
Chlorophyl dan Al iffah khususnya Meira, Eng, Tri, Peni, Gandi, Umami
dkk yang telah memberikan kasih sayang, pengalaman dan semangat serta
doa kepada penulis selama tinggal di bogor
7. Ulfah, Fifi, Cahaya dan Devi selaku partner penelitian
8. Teman-teman Biologi 47 untuk kebersamaannya

9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu terimakasih atas
dukungannya
Keterbatasan manusia membuat penulis merasa perlu kritik dan saran dari
rekan-rekan demi kemajuan penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015
Kapsah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

BAHAN DAN METODE

2

Waktu dan tempat

2

Bahan

2

Alat

2


Prosedur

2

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Morfologi Bunga

4

Morfologi Polen

6


Hasil Percobaan Pendahuluan

7

Uji Viabilitas Polen dengan Metode Perkecambahan Secara In Vitro

9

Uji Viabilitas Polen dengan Metode Pewarnaan

15

Uji Korelasi Viabilitas Polen Antara Metode Perkecambahan dan Metode
Pewarnaan

17

SIMPULAN DAN SARAN


18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR TABEL
1 Morfologi polen belimbing hutan
2 Uji DMRT viabilitas perkecambahan polen belimbing hutan dengan
variabel spesies dan filamen
3 Uji DMRT viabilitas perkecambahan polen belimbing hutan dengan
variabel spesies dan jenis media
4 Uji DMRT viabilitas perkecambahan polen belimbing hutan dengan
variabel stadia bunga dan jenis media.
5 Uji DMRT viabilitas perkecambahan polen belimbing hutan dengan
variabel spesies, stadia bunga dan filamen
6 Uji DMRT viabilitas pewarnaan polen belimbing hutan dengan variabel
spesies dan jenis pewarna
7 Hasil uji korelasi antara viabilitas uji perkecambahan dan uji pewarnaan

6
13
13
14
14
17
18

DAFTAR GAMBAR
1 Variasi letak pistil pada belimbing hutan
2 Morfologi bunga antara stadia H-1 dan H0 pada bunga dengan mahkota
yang dilepas dan mahkota lengkap
3 Morfologi polen belimbing hutan
4 Grafik panjang tabung polen belimbing hutan H-1 pada jam ke 1-16
5 Grafik panjang tabung polen belimbing hutan H0 pada jam ke 1-16
6 Grafik persentase viabilitas kecambah polen belimbing hutan
7 Polen belimbing hutan yang anomali
8 Polen A. dolichocarpa yang dikecambahkan menggunakan media BK
dan sukrosa 10%
9 Grafik panjang tabung polen belimbing hutan
10 Grafik persentase viabilitas pewarnaan pada polen belimbing hutan
11 Viabilitas pewarnaan dengan pewarna anilin blue dan I2KI

4
5
7
8
9
11
11
12
15
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data Umur dan Tinggi Pohon A. dolichocarpa dan A. leucopetala
(Rugayah & Sunarti 2008)
2 Hasil pengukuran suhu dan kelembaban nisbi lingkungan A.
dolichocarpa dan A. leucopetala
3 Analisis ragam uji perkecambahan polen secara in vitro
4 Sidik ragam dalam rancangan petak terbagi pengaruh utama dan
interaksi media dengan perlakuan faktor terhadap viabilitas
perkecambahan polen in vitro
5 Analisis ragam uji pewarnaan polen
6 Sidik ragam dalam rancangan petak terbagi pengaruh utama dan
interaksi media dengan perlakuan faktor terhadap viabilitas pewarnaan
polen

20
21
22

22
23

23

PENDAHULUAN
Belimbing hutan Averrhoa dolichocarpa dan A. leucopetala adalah jenis
baru asli Indonesia yang dilaporkan oleh Rugayah dan Sunarti tahun 2008. Secara
morfologi, kedua jenis belimbing ini berbeda dengan dua jenis belimbing yang
sudah dikenal sebelumnya yaitu A. carambola L dan A. bilimbi L. Berdasarkan
karakter vegetatif, A. leucopetala dan A. dolichocarpa mirip dengan A. bilimbi L,
sedangkan berdasarkan karakter generatif kedua jenis belimbing tersebut lebih
mirip dengan A. carambola L. Rugayah & Sunarti (2008) menyebutkan bahwa
perbedaan spesifiknya terdapat pada karakter daun, infloresen, bunga dan
buahnya. Kondisi ini diperkuat oleh Yulita (2011) yang berdasarkan karakterisasi
dengan amplifikasi RAPD terhadap DNA genom belimbing hutan menunjukkan
adanya perbedaan sifat genetik yang mengindikasikan proses radiasi adaptif
tersendiri di wilayah persebarannya yaitu Papua dan Gorontalo sehingga berbeda
dari A. bilimbi L dan A. carambola L.
Karakter generatif yang paling spesifik dalam perbedaan karakter
belimbing hutan dengan A. bilimbi L dan A. carambola L adalah bunganya.
Susunan bunga belimbing hutan terdiri dari kelopak, mahkota bunga, benang sari,
putik dan bakal buah. Benang sari terdiri dari anter dan filamen. Sedangkan putik
terdiri dari stigma dan stilus (Darjanto & Satifah 1990).
Menurut Heslop-Harrison dan Heslop-Harrison (1970), pada sebagian
besar tumbuhan, masa kematangan stigma dan anter terjadi dalam waktu antara 1
sampai 3 hari. Bahkan pada beberapa jenis tumbuhan, masa kematangan stigma
dan anter hanya terjadi dalam beberapa jam saja. Menurut Soepadmo (1989),
kematangan stigma dan anter dari A. carambola L terjadi dalam waktu yang
berbeda, dimana anter matang lebih dahulu dibandingkan stigma.
Mangunah et al. (2013) melaporkan bahwa ciri-ciri bunga pada fase
antesis (H0) yaitu sudah terlihat jelas petal keluar dari sepalnya, pada bunga A.
dolichocarpa terlihat petal yang berwarna merah muda dengan bagian putih di
tepi dan pangkalnya, sepal berwarna hijau dengan garis merah muda di tepi,
filamen sudah dipenuhi serbuk sari berwarna putih. Pada A. leucopetala tampak
petal yang berwarna putih, filamen dipenuhi serbuk sari berwarna kuning.
Sedangkan ciri-ciri bunga H-1 yaitu adanya ujung petal yang mulai tampak keluar
dari sepalnya. Tingkat kerontokan bunga A. dolichocarpa dan A. leucopetala pada
fase pra antesis (sebelum bunga mekar) dan fase antesis cukup tinggi, sehingga
tingkat keberhasilan perkembangan bunga sampai menjadi buah relatif kecil.
Rendahnya tingkat keberhasilan pembentukan buah pada A. dolichocarpa
dan A. leucopetala diduga ada kaitannya dengan masa kematangan stigma dan
anter. Hasanuddin (2009) melaporkan bahwa keberhasilan pembentukan buah dan
jumlah biji sangat dipengaruhi oleh viabilitas polen. Mengingat A. dolichocarpa
dan A. leucopetala adalah jenis baru, sehingga informasi terkait dengan masa
kematangan stigma dan anternya belum banyak diketahui demikian juga dengan
viabilitas polennya. Oleh karena itu penelitian uji viabilitas polen kedua jenis
belimbing hutan perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
viabilitas polen A. dolichocarpa dan A. leucopetala dengan uji perkecambahan
menggunakan media Brewbaker and Kwack (BK) dan sukrosa 10% serta uji

2
pewarnaan dan mempelajari korelasi antara metode perkecambahan in vitro
dengan metode pewarnaan.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2014.
Pengambilan sampel dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya
Bogor. Uji perkecambahan polen dilakukan di Laboratorium Treub Kebun Raya
LIPI. Pengamatan uji pewarnaan dilakukan di Laboratorium Taksonomi,
Departemen Biologi FMIPA IPB.
Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah sampel polen dari bunga sehari
sebelum bunga mekar(H-1) dan saat bunga mekar (H0) masing-masing sebanyak
10 cluster bunga dari dua individu pohon A. dolichocarpa pembibitan dan dua
individu pohon A. dolichocarpa lereng asal Papua serta dua individu pohon
belimbing hutan asal Gorontalo (A. leucopetala) yang merupakan tanaman koleksi
Kebun Raya Bogor. Umur dan tinggi pohon terlampir pada Lampiran 1.
Bahan kimia yang digunakan antara lain: anilin blue 1%, I2KI 1%, dan
media Brewbaker & Kwack (BK) yang terdiri atas sukrosa 10%, H3BO4 100 ppm,
Ca(NO3)2.4H2O 300 ppm, MgSO4.7H2O 200 ppm, dan KNO3 100 ppm dalam
1000 mL akuades.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan analitik,
labu takar, cawan petri, gelas obyek, pH meter, cover glass, lup,mikroskop
trinokuler optika M-699 yang dilengkapi dengan Optilab Vision Lite 2.1,
mikroskop trinokuler optika SZ-CTV 4083.8, tangga, meteran, dan counter.
Prosedur
Penelitian ini terdiri dari percobaan pendahuluan dan percobaan utama
berupa uji perkecambahan in vitro dan uji pewarnaan.
Percobaan Pendahuluan
Pengamatan morfologi bunga dan polen dilakukan pada tanaman
belimbing hutan. Fenologi pembungaan A. dolichocarpa dan A. leucopetala telah
diteliti oleh Mangunah et al. (2013) sehingga bunga stadia (H-1) dan bunga stadia
(H0) sudah diketahui. Media perkecambahan terlebih dahulu diadaptasi dengan
suhu AC 24oC. Pengambilan polen dilakukan pada pukul 07.00-08.00 (Lampiran
2). Suhu dan kelembaban nisbi lingkungan A. dolichocarpa dan A. leucopetala
saat pengambilan bunga berturut-turut berkisar antara 23 - 28.5oC dan 78-99 %.
Bunga mekar pada A. leucopetala dan A. dolichocarpa terjadi sekitar pukul 04.00
hingga 06.00 pagi (Mangunah et al. 2013). Percobaan pendahuluan dilakukan
untuk menentukan waktu optimum perkecambahan polen A. dolichocarpa dan A.
leucopetala. Percobaan pendahuluan penelitian ini mengacu kepada penelitian
Wahyudin (1999).

3
Untuk masing-masing individu pohon diambil 10 cluster bunga, dimana
masing-masing cluster bunga diambil satu bunga stadia H-1 dan satu bunga stadia
H0. Bunga A. dolichocarpa dan A. leucopetala stadia H-1 dan H0 tiap cluster bunga
diambil dari pohon dan ditempatkan di dalam cawan petri yang telah dilapisi oleh
tisu basah. Polen bunga A. dolichocarpa dan A. leucopetala stadia H-1 dan H0 dari
tiap bunga dibedakan antara sumber polen dari filamen panjang dan filamen
pendek. Dalam satu bunga belimbing hutan terdapat lima buah filamen panjang
dan lima buah filamen pendek. Polen dari lima buah filamen panjang dicampur
menjadi satu preparat amatan, begitu pula halnya dengan filamen pendek.
Sebagian polen yang dicampur tadi dimasukkan ke dalam media BK, dan
sebagian lagi dimasukkan ke dalam media sukrosa 10% yang telah diteteskan
pada gelas obyek untuk dikecambahkan. Gelas obyek berisi media diletakkan di
cawan petri yang dilapisi tisu basah kemudian ditutup dan diinkubasi selama 1, 2,
3, 4, 5, 6, 7, 16 dan 17 jam hingga diperoleh waktu optimum polen berkecambah.
Perkecambahan diamati dibawah mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan
mikrometer dan Optika Vision Lite 2.1. Kemudian dilakukan pengamatan untuk
menentukan waktu optimum dan dilakukan pengukuran terhadap 10 polen secara
acak pada lima bidang pandang untuk diukur panjang tabungnya. Pengukuran
diameter polen dilakukan terhadap lima bidang pandang dari setiap gelas obyek.
Untuk masing-masing bidang pandang diambil 35 polen secara acak.
Uji Perkecambahan Polen Secara In Vitro
Pengambilan sampel polen yang digunakan untuk perkecambahan in vitro
pada percobaan utama sama seperti pada percobaan pendahuluan. Pengamatan
viabilitas polen dan pengukuran panjang tabung polen dilakukan di lima bidang
pandang pada saat optimum setelah 16 jam polen dikecambahkan. Polen
dikategorikan normal berkecambah apabila panjang tabung polen sudah mencapai
minimal sama dengan diameter polen tersebut. Pada pengukuran tabung polen
untuk masing-masing bidang pandang diambil 10 polen secara acak. Persentase
viabilitas polen dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Viabilitas =

(1)

Uji Viabilitas Polen dengan Pewarnaan
Uji viabilitas polen dengan metode pewarnaan menggunakan pewarna
anilin blue 1% dan I2KI 1%. Pengambilan sumber polen dari dua individu pohon
untuk masing-masing belimbing hutan dilakukan terhadap tiga cluster bunga.
Untuk masing-masing cluster bunga diambil satu bunga stadiaH-1 dan satu bunga
stadia H0. Polen dipisahkan dari filamen panjang dan pendek. Polen yang telah
disiapkan diletakkan pada gelas obyek yang telah ditetesi anilin blue 1% dan I2KI
1%, lalu ditutup dengan cover glass ditunggu 10 menit kemudian diamati dibawah
mikroskop. Banyaknya polen tiap ulangan gelas obyek sekitar 100-200 butir.
Polen dikategorikan viabel apabila polen sudah terwarnai menjadi biru tua pada
pewarnaan dengan anilin blue dan coklat kehitaman pada pewarnaan dengan I2KI.
Viabilitas polen dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Viabilitas =

(2)

4
Analisis Data
Percobaan menggunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) 4 faktor.
Faktor pertama yaitu spesies yang terdiri dari 3 populasi tanaman A. dolichocarpa
di pembibitan (D1), A. dolichocarpa di lereng (D2) dan A. leucopetala (L).
Faktor kedua adalah stadia bunga (H-1 dan H0). Faktor ketiga yaitu polen dari
filamen panjang (PJG) dan filamen pendek (PDK). Faktor keempat adalah jenis
media pengecambahan polen yang terdiri atas 2 macam yaitu media Brewbaker &
Kwack (BK) dan media sukrosa 10% (S).
Analisis sidik ragam dilakukan terhadap viabilitas polen pada uji
pengecambahan dan uji pewarnaan. Apabila hasil sidik ragam berbeda nyata,
dilakukan uji lanjut Duncan Mean Range Test (DMRT). Uji korelasi dilakukan
untuk melihat korelasi viabilitas polen antara metode perkecambahan in vitro
dengan metode pewarnaan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
software SPSS 16.0, dan Minitab 15.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi Bunga
Berdasarkan posisi pistil terhadap filamen, pada A. dolichocarpa
ditemukan tipe pistil yang berbeda yaitu pistil panjang ditemukan pada A.
dolichocarpa di pembibitan dan pistil pendek ditemukan pada A. dolichocarpa di
lereng, sedangkan A. leucopetala memiliki letak pistil di bagian bawah (Gambar
1). Tipe pistil pada pistil panjang ditemukan pada A. dolichocarpa seperti ini
disebut tipe distili.

(a)

(b)

(c)

Gambar 1 Variasi letak pistil pada belimbing hutan (a) A. dolichocarpa pembibitan (b) A.
dolichocarpa lereng (c) A. leucopetala. aa = filamen panjang, b = filamen pendek, c =
stilus

Pada belimbing hutan sebagian anter stadia bunga H-1 sudah pecah
sebelum bunga mekar. Sedangkan anter stadia bunga H0 sekitar pukul 07.00 anter
sudah pecah baik anter pada filamen panjang maupun filamen pendek (Gambar 2).

5
Jenis belimbing hutan

H-1

Bunga A. dolichocarpa di
pembibitan dengan
mahkota dilepas

H0
a

a
c
b
b

Bunga A. dolichocarpa di
pembibitan dengan
mahkota disayat

a

c
a

c

b

b
d

f

Bunga A. dolichocarpa di
lereng dengan mahkota
dilepas

e

c

f

c
a

a
b

b

Bunga A. dolichocarpa di
lereng dengan mahkota
disayat

e
c
a
b

e
d
b
f

Bunga A. leucopetala
dengan mahkota dilepas

a

a

b

b

c

c

c
a

6
Bunga A. leucopetala
dengan mahkota disayat

a
e
a

e
b
c

f
d

d

f

Gambar 2 Morfologi bunga belimbing hutan stadia H-1 dan H0 dengan mahkota dilepas dan
mahkota disayat.
a
a = filamen panjang, b = filamen pendek, c = stilus, d = kelopak bunga, e = mahkota
bunga, f = bakal biji.

Morfologi Polen
Tipe polen pada belimbing hutan adalah trikolpata dengan tiga apertur
(Gambar 3). Hal ini sesuai dengan pernyataan Erdtman (1972) yang melaporkan
bahwa tipe polen dari famili Oxalidaceae adalah trikolpata. Diameter polen
maksimum yang dimiliki A. dolichocarpa di pembibitan dari filamen panjang
adalah 34.75 ± 3.88 μm. Diameter minimum A. dolichocarpa di lereng dari
filamen pendek adalah 24.19 ± 1.19 μm. Dilihat dari kisaran ukuran diameter
polennya tersebut ukuran diameter polen belimbing hutan menurut Fahn (1982)
termasuk kelompok polen tipe media (25-50 μm) dan sesuai dengan pendapat
Safitri et al. (2011) yang melaporkan bahwa pada A. bilimbi ukuran polen dari
filamen panjang umumnya memiliki diameter lebih besar dibandingkan diameter
pada polen filamen pendek.
Menurut Warid (2009), banyaknya apertur yang dimiliki polen dapat
mempengaruhi jumlah tabung polen yang muncul. Pada pengamatan daya
kecambah polen belimbing hutan ditemukan polen yang memiliki tiga tabung
polen. Namun dari tiga tabung polen tersebut yang memanjang hanya satu tabung.
Disamping itu juga ditemukan polen dengan tabung yang bercabang. Kondisi ini
seperti yang dilaporkan oleh Warid (2009) bahwa banyaknya jumlah apertur pada
permukaan polen potensial untuk menjadi tempat keluarnya tabung polen.
Tabel 1 Morfologi polen belimbing hutan dengan SEM
Spesies
A. dolichocarpa
A. leucopetala

Bentuk
Bulat
Bulat

Bentuk
apertur
Kolpata
Kolpata

Jumlah
apertur
3
3

Permukaan
polen
Tidak rata
Halus

7

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 3 Morfologi polen hasil SEM : (a) A. dolichocarpa tunggal (b) kumpulan polen A.
dolichocarpa (c) A. leucopetala tunggal (d) kumpulan polen A. leucopetala. bar = 10
µm

Hasil Percobaan Pendahuluan
Pengukuran panjang tabung polen belimbing hutan pada kedua jenis media
BK dan sukrosa 10% diamati perjam selama 7 jam pertama dan dilanjutkan pada
saat 16 jam setelah diinkubasi. Data hasil pengukuran panjang tabung polen dapat
dilihat pada Gambar 4 dan 5. Setelah polen diinkubasi selama 17 jam ternyata
tabung polen mengalami lisis. Oleh karena itu waktu optimum yang digunakan
untuk inkubasi pada penelitian berikutnya yaitu selama 16 jam. Waktu optimum
ditentukan ketika sebagian besar polen dalam gelas obyek telah berkecambah dan
sebelum tabung polen mengalami lisis. Ukuran tabung polen bertambah panjang
setiap jamnya, dan mencapai maksimum pada pengamatan setelah diinkubasi 16
jam. Pada media BK panjang tabung polen saat 16 jam setelah inkubasi berkisar
antara 300-400 µm, sedangkan pada media sukrosa 10% hanya berkisar antara
100-200 µm. Pertumbuhan tabung polen pada belimbing hutan stadia H-1 dan H0
baik pada polen dari filamen panjang maupun di filamen pendek dengan
menggunakan media BK maupun sukrosa umumnya meningkat secara signifikan
pada jam ke 4 hingga jam ke 16. Polen A. dolichocarpa di lereng stadia bunga H0
menghasilkan panjang tabung tertinggi pada stadia bunga H0 maupun H-1 baik
dalam media BK maupun sukrosa 10%. Pada media BK pertumbuhan panjang
tabung tiap jam menghasilkan panjang tabung yang lebih panjang dibandingkan
dengan polen yang dikecambahkan dalam media sukrosa. Selain itu juga panjang
tabung polen belimbing hutan stadia bunga H0 tiap jam menghasilkan panjang
tabung yang lebih panjang apabila dibandingkan dengan polen stadia bunga H-1
(Gambar 4 dan 5).

8
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

D1 H0 PJG

D1 H0 PDK

D2 H0 PJG

D2 H0 PDK

L H0 PJG

L H0 PDK

14

15

16

(a)
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16

D1 H0 PJG

D1 H0 PDK

D2 H0 PJG

D2 H0 PDK

L H0 PJG

L H0 PDK

(b)
Gambar 4 Ukuran panjang tabung polen belimbing hutan H-1 pada jam ke 1- 16:
(a) dengan media BK, (b) dengan media sukrosa 10%
a
D1 = A. dolichocarpa di pembibitan, D2 = A. dolichocarpa di lereng, L = A. leucopetala,
H0 = bunga antesis, PJG = filamen panjang, PDK = filamen pendek ; bPengamatan
dilakukan pada jam 1-7 dan jam ke 16

Panjang tabung (µm)

9
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16

Jam pengamatan
D1 H0 PJG

D1 H0 PDK

D2 H0 PJG

D2 H0 PDK

L H0 PJG

L H0 PDK

Panjang tabung (µm)

(a)
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16

Jam pengamatan
D1 H0 PJG

D1 H0 PDK

D2 H0 PJG

D2 H0 PDK

L H0 PJG

L H0 PDK

(b)
Gambar 5 Ukuran panjang tabung polen belimbing hutan H0 pada jam ke 1- 16:
(a) dengan media BK, (b) dengan media sukrosa 10%
a
D1 = A. dolichocarpa di pembibitan, D2 = A. dolichocarpa di lereng, L = A. leucopetala,
H0 = bunga antesis, PJG = filamen panjang, PDK = filamen pendek ; bPengamatan
dilakukan pada jam 1-7 dan jam ke 16

Uji Viabilitas Polen dengan Metode Perkecambahan Secara In Vitro
Nilai persentase viabilitas belimbing hutan tertinggi didapati pada polen A.
dolichocarpa di lereng filamen pendek stadia H0 menggunakan media BK dengan
persentase viabilitas sebesar 75.12%, sedangkan nilai persentase viabilitas
belimbing hutan terendah dijumpai pada polen A. dolichocarpa di lereng filamen
pendek H-1 menggunakan media sukrosa 10% dengan persentase viabilitas sebesar
36.12%. Nilai viabilitas polen belimbing hutan stadia H0 lebih tinggi
dibandingkan viabilitas polen belimbing hutan H-1. Hal ini sesuai dengan

10
penelitian Agustin et al. (2014) yang melaporkan bahwa daya kecambah polen
segar melon dari bunga stadia H0 lebih tinggi dibandingkan dengan polen yang
dipanen sehari sebelum antesis (H-1).
Nilai viabilitas polen belimbing hutan dalam media BK lebih tinggi
dibandingkan viabilitas polen belimbing hutan dalam media sukrosa 10%. Hal ini
dikarenakan media BK mengandung asam borat sebanyak 100 ppm dan sukrosa
10% serta unsur lainnya sedangkan sukrosa 10% bukanlah sumber karbon yang
esensial. Sukrosa 10% merupakan media yang memiliki sifat osmotik yang
berperan untuk menstimulasi polen agar berkecambah. Waktu optimum untuk
perkecambahan polen belimbing hutan adalah 16 jam. Jangka waktu
perkecambahan polen belimbing hutan termasuk jangka waktu pendek yaitu
kurang dari 48 jam (Galleta 1983; Nygaard dalam Webber dan Masimbert 1993).
Boron merupakan unsur yang sangat berpengaruh dalam proses perkecambahan
dan panjang tabung polen. Nilai viabilitas polen belimbing hutan filamen panjang
lebih tinggi viabilitasnya apabila dibandingkan dengan nilai viabilitas polen
belimbing hutan filamen pendek baik pada media BK maupun pada media sukrosa
10% (Gambar 6).
Polen tumbuhan kelas Angiospermae selalu memerlukan gula dalam
perkecambahannya (Galleta 1983). Untuk memperoleh hasil perkecambahan yang
lebih baik diperlukan boron dan nutrisi lain. Perkecambahan polen belimbing
hutan menggunakan media BK yang mengandung asam borat sebanyak 100 ppm,
menunjukkan adanya peningkatan perkecambahan polen secara in vitro. Hal ini
membuktikan pernyataan Peter and Stanley (1974) dalam Malik (1979) yang
melaporkan bahwa penambahan 3 ppm boron dapat meningkatkan
perkecambahan polen secara in vitro sebesar 5%. Pernyataan Malik ini didukung
oleh Rihova et al. (1996) yang melaporkan bahwa tanpa adanya asam borat
viabilitas perkecambahan polen kentang kurang dari 5%. Akan tetapi penambahan
boron di atas 17.6 ppm dapat menurunkan perkecambahan polen kentang. Selain
itu juga meskipun boron cukup penting bagi perkecambahan polen, konsentrasi
boron yang tinggi juga mampu menurunkan daya berkecambah, karena boron
merupakan unsur yang sangat berpengaruh dalam proses perkecambahan dan
panjang tabung polen, terlebih apabila mediumnya mengandung gula.
Boron berfungsi untuk menstimulasi pemecahan gula seperti sukrosa oleh
sel. Boron sebagai pendorong pemecahan sukrosa untuk menunjang pertumbuhan
tabung polen (Hrabetova dan Tupy 1964). Kwack dalam Galleta (1983),
melaporkan bahwa ion Ca perlu ditambahkan dalam medium perkecambahan
untuk tanaman hortikultura. Selain Ca, asam borat dan sukrosa 10%, media BK
juga mengandung MgSO4.7H2O sebanyak 200 ppm, KNO3 sebanyak 100 ppm.
Unsur lain yang mendukung perkecambahan polen secara in vitro adalah mangan
(Mn).
Menurut Malik (1979), sukrosa merupakan senyawa gula sebagai sumber
karbon yang mudah diabsorbsi oleh sel tanaman, sehingga sukrosa sering
digunakan dalam media perkecambahan polen karena dapat menghasilkan
persentase perkecambahan yang lebih tinggi dan perpanjangan tabung polen.
Menurut Warid (2009), media BK yang tidak mengandung sukrosa hanya mampu
menghasilkan perkecambahan pada Nicotiana tabacum (Famili Solanaceae),
sedangkan media BK dan PGM (Pollen Germination Medium) yang mengandung

11
sukrosa cenderung menghasilkan perkecambahan yang lebih baik pada Poaceae,
Euphorbiaceae, Solanaceae, dan Myrtaceae. Polen Codiaeum variegatum yang
termasuk ke dalam famili Solanaceae memberikan perkecambahan yang lebih
tinggi yaitu sebesar 74.40% pada sukrosa 10% dibandingkan media BK dan PGM.
Viabilitas kecambah polen (%)

90
80
70
60
50
40
30

H-1

20

H0

10
0
D1 D2 L PDK D1 D2 L PDK D1 D2 L PJG D1 D2 L PJG
PDK PDK BK PDK S PDK S S PJG PJG BK PJG S PJG S S
BK BK
BK BK
Variabel perlakuan

Gambar 6 Viabilitas kecambah polen belimbing hutan
a
D1 = A. dolichocarp di pembibitan, D2 = A. dolichocarpa di lereng, L = A. leucopetala,
H0 = bunga antesis, H-1 = bunga satu hari sebelum antesis, BK = media brewbaker dan
kwack, S = sukrosa 10%, PJG = filamen panjang, PDK = filamen pendek

Pada polen belimbing hutan, ditemukan tabung polen yang bercabang.
Selain itu terkadang juga diperoleh tabung polen yang anomali yaitu terdapat
tabung polen yang lebih dari satu walaupun hanya ada satu tabung yang dominan
tumbuh memanjang (Gambar 7). Polen anomali ini sangat jarang dijumpai.
Tabung polen yang normal hanya ditemukan dengan satu tabung polen saja. Polen
yang anomali ini ditemukan pada A. dolichocarpa di pembibitan sedangkan pada
A. dolichocarpa di lereng dan A. leucopetala tidak dijumpai polen yang anomali.

(a)

(b)

Gambar 7 Polen belimbing hutan yang anomali : (a) Tabung polen yang bercabang, (b) Tabung
polen yang tumbuh lebih dari satu, namun hanya satu yang dominan memanjang

Polen kedua jenis belimbing hutan yang dikecambahkan dalam media BK
cenderung memiliki tabung polen dengan permukaan yang halus, sedangkan polen

12
yang dikecambahkan dalam media sukrosa 10% cenderung memiliki tabung polen
yang bergelombang (Gambar 8). Hal ini diduga disebabkan karena sifat osmotik
yang dimiliki oleh media tunggal sukrosa 10% terhadap perkecambahan tabung
polen.

(a)
a)

(

(b)

Gambar 8 Polen A. dolichocarpa : (a) polen yang dikecambahkan menggunakan media BK, (b)
polen yang dikecambahkan menggunakan media sukrosa 10%

Hasil uji statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) empat
faktor. Faktor yang diuji adalah spesies, stadia bunga, jenis filamen dan jenis
media. Faktor yang berinteraksi antara lain spesies, stadia bunga dan filamen,
stadia bunga dan jenis media, spesies dengan jenis media, spesies dengan filamen
dan spesies dengan stadia bunga (Lampiran 3). Interaksi antara spesies dengan
stadia bunga diperoleh bahwa nilai viabilitas polen belimbing hutan stadia H0
lebih tinggi dibandingkan viabilitas polen belimbing hutan H-1.
Interaksi antara spesies dengan jenis filamen, diperoleh bahwa nilai
persentase viabilitas polen belimbing hutan yang tinggi dijumpai pada polen A.
dolichocarpa di pembibitan pada filamen panjang maupun pendek dan A.
dolichocarpa di lereng, sedangkan nilai persentase viabilitas polen belimbing
hutan terendah dijumpai pada polen A. leucopetala pada filamen pendek. Nilai
viabilitas polen belimbing hutan pada A. dolichocarpa di pembibitan tidak
berbeda nyata, sedangkan pada A. dolichocarpa di lereng dan A. leucopetala
berbeda nyata. Nilai persentase viabilitas polen A. dolichocarpa di lereng pada
filamen panjang lebih tinggi dibandingkan dengan filamen pendeknya (Tabel 2).
Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Safitri et al. (2011) bahwa rata-rata
viabilitas polen dari filamen panjang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan
polen dari filamen pendek.

13
Tabel 2 Uji DMRT viabilitas perkecambahan polen belimbing hutan dengan
variabel spesies dan filamen
Perlakuan
1
2
3
4
5
6

Variabel
D1 PJG
D1 PDK
D2 PJG
D2 PDK
L PJG
L PDK

Viabilitas (%) ± SD
65.07 ± 11.12c
65.89 ± 11.24c
64.75 ± 12.85c
60.05 ± 9.74b
57.54 ± 14.05ab
55.59 ± 16.58a

a

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% ; bD1 = A. dolichocarpa di pembibitan, D2 = A. dolichocarpa
di lereng, L = A. leucopetala, PJG = filamen panjang, PDK = filamen pendek

Interaksi antara spesies dengan jenis media diperoleh bahwa nilai
persentase viabilitas polen belimbing hutan yang tinggi dijumpai pada polen A.
dolichocarpa di pembibitan, A. dolichocarpa di lereng, dan A. leucopetala dalam
media BK, sedangkan nilai persentase viabilitas polen belimbing hutan terendah
dijumpai pada polen A. leucopetala dalam media sukrosa 10%. Terdapat
perbedaan respon polen belimbing hutan apabila diuji menggunakan media
sukrosa 10% (Tabel 3). Media sukrosa 10% pada perkecambahan polen belimbing
hutan tidak berpengaruh nyata karena sukrosa hanya sebagai media tunggal, bila
polen dikecambahkan dalam media BK dengan unsur-unsur pelengkap lainnya
maka tabung polen lebih panjang, karena nutrisi lengkap di dalam media BK
mampu menstimulasi tabung polen agar berkecambah lebih panjang dan
menghasilkan viabilitas kecambah polen yang lebih tinggi.
Tabel 3 Uji DMRT viabilitas perkecambahan polen belimbing hutan dengan
variabel spesies dan jenis media
Perlakuan
1
2
3
4
5
6

Variabel
D1 BK
D1 S
D2 BK
D2 S
L BK
LS

Viabilitas (%) ± SD
69.08 ± 11.09d
61.89 ± 10.06c
67.17 ± 11.64d
57.62 ± 9.46b
68.93 ± 8.87d
44.20 ± 9.30a

a

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% ; bD1 = A. dolichocarpa di pembibitan, D2 = A. dolichocarpa
di lereng, L = A. leucopetala, BK = media brewbaker dan kwack, S = sukrosa 10%.

Interaksi antara stadia bunga dengan jenis media, diperoleh bahwa nilai
persentase viabilitas polen belimbing hutan yang tertinggi dijumpai pada polen
stadia bunga H0 dalam media BK, sedangkan nilai persentase viabilitas polen
belimbing hutan terendah dijumpai pada polen stadia bunga H-1 dalam media
sukrosa.Viabilitas polen belimbing hutan pada stadia bunga H0 maupun H-1 dalam
media BK dan sukrosa 10% seluruhnya berbeda nyata pada taraf uji 5% (Tabel 4).

14
Tabel 4 Uji DMRT viabilitas perkecambahan polen belimbing hutan dengan
variabel stadia bunga dan jenis media
Perlakuan
1
2
3
4

Variabel
H-1 BK
H0 BK
H-1 S
H0 S

Viabilitas (%) ± SD
63.71 ± 9.47c
73.08 ± 9.57d
51.64 ± 11.45a
57.50 ± 12.25b

a

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata ; bH0
= bunga antesis, H-1 = bunga satu hari sebelum antesis, BK = media brewbaker dan kwack, S =
sukrosa 10%

Interaksi antara spesies, stadia bunga dan jenis filamen, diperoleh bahwa
nilai persentase viabilitas polen belimbing hutan yang tinggi dijumpai pada polen
A. dolichocarpa di pembibitan stadia bunga H0 filamen panjang dan pendek serta
A. dolichocarpa di lereng stadia bunga H0 filamen panjang, sedangkan nilai
persentase viabilitas polen belimbing hutan terendah dijumpai pada polen A.
leucopetala stadia bunga H-1 filamen pendek (Tabel 5).
Tabel 5 Uji DMRT viabilitas perkecambahan polen belimbing hutan dengan
variabel spesies, stadia bunga dan filamen
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Variabel
D1 H-1 PJG
D1 H-1 PDK
D1 H0 PJG
D1 H0 PDK
D2 H-1 PJG
D2 H-1 PDK
D2 H0 PJG
D2 H0 PDK
L H-1 PJG
L H-1 PDK
L H0 PJG
L H0 PDK

Viabilitas (%) ± SD
58.24 ± 9.80bc
62.06 ± 8.66c
71.91 ± 7.64d
69.72 ± 12.26d
61.16 ± 13.28c
59.33 ± 9.73bc
68.33 ± 11.45d
60.76 ± 9.80bc
55.77 ± 10.80b
49.48 ± 15.12a
59.30 ± 16.60bc
61.69 ± 15.83c

a

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu perlakuan menunjukkantidak berbeda
nyataberdasarkan uji DMRT pada taraf 5% ; bD1 = A. dolichocarpa di pembibitan, D2 = A.
dolichocarpa di lereng, L = A. leucopetala, H0 = bunga antesis, H-1 = bunga satu hari sebelum
antesis, PJG = filamen panjang, PDK = filamen pendek

Polen belimbing hutan memiliki sensitifitas perpanjangan tabung polen
yang berbeda jika berada pada media BK dan sukrosa 10%. Panjang tabung polen
tertinggi dijumpai pada polen A. leucopetala filamen pendek dalam media BK,
sedangkan panjang tabung terendah dijumpai pada polen A. leucopetala dari
filamen pendek dalam media sukrosa 10%. Panjang tabung polen belimbing hutan
apabila dibandingkan antara media BK dan sukrosa 10% pada H0 dan H-1 dengan
variabel pembeda berupa filamen panjang dan filamen pendek dijumpai bahwa
polen dari filamen panjang cenderung memiliki panjang tabung polen yang lebih
pendek bila dibandingkan dengan polen dari filamen pendek baik menggunakan
media BK maupun media sukrosa 10% (Gambar 9). Polen melepaskan enzim

15
serta prekursor enzim sehingga tabung polen dapat memanjang. Komponen
protein dari eksudat stigma, dan protein yang dibebaskan oleh butir-butir polen
diduga berperan penting dalam proses-proses interaksi antara polen dan stigma
(Mattsson et al. 1974).

Gambar 9 Panjang tabung polen belimbing hutan
a
D1 = A. dolichocarpa di pembibitan, D2 = A. dolichocarpa di lereng, L = A. leucopetala,
H0 = bunga antesis, H-1 = bunga satu hari sebelum antesis, BK = media brewbaker dan
kwack, S = sukrosa 10%, PJG = filamen panjang, PDK = filamen pendek

Uji Viabilitas Polen dengan Metode Pewarnaan
Nilai viabilitas uji pewarnaan belimbing hutan baik menggunakan anilin
blue maupun I2KI dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan dengan uji
perkecambahan, yaitu rata-rata sebesar 88.60 % pada anilin blue dan 88.50 %
pada I2KI. Nilai viabilitas uji pewarnaan polen tertinggi didapati pada A.
dolichocarpa di lereng filamen panjang H-1 dengan pewarna anilin blue yaitu
sebesar 93.79%. sedangkan nilai viabilitas uji pewarnaan polen terendah didapati
pada polen A. leucopetala filamen panjang H-1 dengan pewarna anilin blue yaitu
sebesar 79.20%. Viabilitas polen H-1 dengan uji pewarnaan umumnya lebih tinggi
dibandingkan dengan viabilitas polen H0 baik pada pewarna anilin blue maupun
I2KI (Gambar 10).

16

Gambar 10 Viabilitas pewarnaan pada polen belimbing hutan
a
D1 = A. dolichocarpa di pembibitan, D2 = A. dolichocarpa di lereng, L = A. leucopetala,
H0 = bunga antesis, H-1 = bunga satu hari sebelum antesis, BK = media brewbaker dan
kwack, S = sukrosa 10%, PJG = filamen panjang, PDK = filamen pendek

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap uji viabilitas pewarnaan dengan
pewarna anilin blue 1% terdapat tiga perbedaan intensitas warna yaitu biru pekat,
biru muda, dan tidak berwarna atau bening. Butir polen yang berwarna biru pekat
dan bulat utuh pada uji pewarnaan dengan anilin blue 1% merupakan butir polen
yang viabel. Sedangkan yang berwana biru muda dan bening dengan bentuk polen
bulat utuh maupun tidak adalah butir polen yang tidak viabel. Uji viabilitas
pewarnaan dengan pewarna I2KI 1% terdapat tiga perbedaan intensitas warna
yaitu coklat kehitaman, coklat muda, dan bening. Butir polen yang coklat
kehitaman dan bulat utuh merupakan butir polen yang viabel, sedangkan yang
berwana coklat muda, dan bening dengan bentuk polen bulat utuh maupun tidak
adalah butir polen yang tidak viabel (Gambar 11).
Anilin blue merupakan salah satu pewarna yang cukup banyak digunakan
pada pengujian viabilitas polen. Butir polen yang berwarna biru pekat dan bulat
utuh merupakan butir polen yang viabel. Hal ini dikarenakan pewarna ini bereaksi
dengan kalosa. Kalosa adalah karbohidrat yang memisahkan sel induk mikrospora
(MMC) dari sel lainnya dan menyelimuti polen sesudah meiosis (Lersten 2004).
Apabila suatu polen mengandung kalosa, maka polen tersebut akan terwarnai oleh
anilin blue menjadi biru pekat. Sedangkan butir polen yang viabel bila diwarnai
dengan I2KI akan berwarna coklat kehitaman. Hal ini terjadi karena I2KI
mewarnai amilum yang terdapat pada polen. Butir polen yang matang
mengandung amilum dalam jumlah besar. Amilum pada setiap butir polen
tersebut akan digunakan sebagai sumber energi untuk berkecambah. Intensitas
warna yang dihasilkan masing-masing butir polen berbeda bergantung jumlah pati
yang dikandungnya. Sehingga diasumsikan semakin tinggi kandungan pati dalam
polen, maka akan semakin tinggi viabilitas polen tersebut (Warid 2009).

17

Gambar 11 Viabilitas pewarnaan pada A. dolichocarpa : (a) Polen H0 Anilin blue (b) Polen H0 I2KI.
a
Tanda panah hitam : viabel; tanda panah merah : tidak viabel

Berdasarkan uji statistik, faktor yang berinteraksi dan berpengaruh nyata
hanya spesies dan jenis pewarna (Lampiran 4). Interaksi antara spesies dengan
jenis pewarna diperoleh bahwa nilai persentase viabilitas polen belimbing hutan
yang tinggi dijumpai pada polen A. leucopetala dalam pewarna anilin blue dan
I2KI, sedangkan nilai persentase viabilitas polen belimbing hutan terendah
dijumpai pada polen A. dolichocarpa di lereng dengan pewarna anilin blue (Tabel
6).
Tabel 6 Uji DMRT viabilitas pewarnaan polen belimbing hutan dengan variabel
spesies dan jenis pewarna
Perlakuan
1
2
3
4
5
6

Variabel
D1 I2KI
D1 AB
D2 I2KI
D2 AB
L I2KI
L AB

Viabilitas (%) ± SD
88.78 ± 6.14c
91.01 ± 7.48d
83.52 ± 8.84b
81.23 ± 13.49a
93.32 ± 1.90e
93.43 ± 2.05e

a

Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Uji Korelasi Viabilitas Polen Antara Metode Perkecambahan dan Metode
Pewarnaan
Hasil uji korelasi viabilitas polen pada uji perkecambahan dengan uji
pewarnaan memberikan hasil yang bervariasi. Viabilitas polen pada media
sukrosa 10% dengan pewarna I2KI 1% dan anilin blue 1% berkorelasi negatif.
Sedangkan antara viabilitas polen pada media BK dengan pewarna anilin blue dan
I2KI tidak berkorelasi (Tabel 7). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi viabilitas
polen dengan sukrosa 10%, maka semakin rendah viabilitas polen dengan
pewarna I2KI 1%, begitu pula sebaliknya. Hal ini diduga karena viabilitas polen
dengan menggunakan metode pewarnaan memberikan hasil viabilitas polen yang
tinggi yaitu sekitar 88.60%, sedangkan pada media sukrosa 10% hasil viabilitas
yang dihasilkan cukup rendah yaitu sekitar 54.60%. Berbeda halnya pada media
BK dengan pewarna anilin blue dan I2KI yang ternyata menunjukkan hasil tidak
berkorelasi. Hal ini berarti bahwa metode pewarnaan tidak dapat dijadikan
alternatif pengganti metode perkecambahan in vitro dengan media BK.

18
Tabel 7 Hasil uji korelasi antara viabilitas uji perkecambahan dan uji pewarnaan
No.
1
2
3
4
a

Variabel 1
Sukrosa 10%
Sukrosa 10%
Media BK
Media BK

Variabel 2
Pewarna I2KI
Pewarna Anilin blue
Pewarna I2KI
Pewarna Anilin blue

Pearson
correlation

P-Value

-0.246
-0.137
-0.014
0.034

0.000
0.018
0.815tn
0.563tn

Tidak ada korelasi pada taraf uji 5% = tn

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Waktu inkubasi optimum perkecambahan polen belimbing hutan dalam
media BK dan sukrosa 10% yaitu 16 jam. Viabilitas polen pada uji
perkecambahan lebih rendah dibanding uji pewarnaan yaitu berturut-turut 64.80%
dalam media BK, 54.60% dalam media sukrosa 10%, 88.60% pada anilin blue 1%
dan 88.50% pada I2KI 1%. Pada metode perkecambahan in vitro diperoleh hasil
bahwa nilai viabilitas polen belimbing hutan bunga stadia H0 lebih tinggi
dibanding dengan bunga stadia H-1. Sedangkan pada metode pewarnaan diperoleh
hasil sebaliknya yaitu nilai viabilitas polen bunga stadia H-1 lebih tinggi dibanding
bunga stadia H0. Uji viabilitas polen dalam media sukrosa 10% dengan uji
pewarnaan anilin blue 1% dan I2KI 1% berkorelasi negatif. Sedangkan viabilitas
polen dalam media BK dengan pewarna anilin blue 1% dan I2KI 1% tidak
berkorelasi.
Saran
Untuk persilangan pada pemuliaan tanaman sebaiknya menggunakan
polen pada bunga stadia H0. Pada A. dolichocarpa di lereng sebaiknya
menggunakan polen dari filamen panjang, sedangkan untuk polen A. dolichocarpa
di pembibitan, dan A. leucopetala boleh menggunakan polen dari filamen panjang
maupun filamen pendek.

DAFTAR PUSTAKA
Agustin H, Palupi ER, Suhartanto MR. 2014. Pengelolaan polen untuk produksi
benih melon hibrida sunrise meta dan orange meta (Pollen management
for hybrid seed production of melon sunrise meta and orange meta). J
Hort. 24(1): 32-41.
Brewbaker JL, Kwack BH. 1963. The Calcium Ion and Substances Influencing
Pollen Growth. In: H. F. Linskens (Ed). Pollen Physiologyand Fertilization.
Amsterdam. North-Holland Publishing Co.
Darjanto, Satifah S. 1990. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik
Penyerbukan Silang Buatan. PT. Gramedia, Jakarta.

19
Erdtman G. 1972. Pollen Morphology and Plant Taxonomy – Angiosperms (An
Introduction to Polynology. I). New York. Hafner Publishing Co.
Fahn A. 1982. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Pr.
Galleta GJ. 1983. Pollen and seed management. Di dalam: J. N. More and J.
Janick (Eds.). Methods in Fruit Breeding. West Lavayette Ind: Purdue
Univ Pr. hlm 23-35.
Hasanuddin. 2009. Penentuan viabilitas polen dan reseptif stigma pada melon
(Cucumis melo L.) serta hubungannya dengan penyerbukan dan produksi
buah. J Biol Edu. 1 (2): 22-28.
Heslop-Harrison J, Heslop-Harrison Y. 1970. Evaluation of pollen viability by
enzymatically induced fluorescence; intracellular hydrolysis of florescein
diacetate. Stain Technology. 45 (1): 115-120.
Hrabetova E, Tupy J. 1964. The growth effect of some sugars and their
metabolism in pollen tubes. In : H. F. Linskens (Ed.). Pollen Physiology
and Fertilization. Amsterdam. North-Holland Publishing Co.
Lersten NR. 2004. Flowering Plant Embryology. Ames IOWA USA : Blackwell
Publishing Professional.
Malik CP. 1979. Current Advantages in Plant Reproductive Biology. New Delhi :
Kalyani Ludhiana.
Mangunah, Qayim I, Astuti IP. 2013. Fenologi dan dinamika kandungan klorofil
pada pembungaan dua jenis belimbing hutan (Averrhoa dolichocarpa dan
A. leucopetala). Bul Kebun Raya. 16(2): 101-112.
Mattsson O, Knox RB, Heslop-Harrison J, Heslop-Harrison Y. 1974. Protein
pellicle of stigmatic papillae as a probable recognition site in
incompatibility reactions. Nature. 274: 298-300.
Rihova L, Hrabetova E, Tupy J. 1996. Optimization of conditions for in vitro
pollen growth in potatoes. Int J Plant Sci. 157(5): 561-566.
Rugayah, Sunarti S. 2008. Two new wild species of averrhoa (Oxalidaceae) from
Indonesia. Reinwardtia. 12(4):325-331.
Safitri E, Sjahridal D, Mansyurdin. 2011. Tingkat keberhasilan polinasi pada
Averrhoa bilimbi L (belimbing wuluh) tipe distili. JPAI. 2(1):2-5.
Soepadmo E. 1989. Contribution of Reproductive Biological Studies Towards the
Conservation and Development of Malaysian Plant Genetic Resources. Di
dalam : A.H. Zakri, editor. Genetic Resources of Under-utilized Plants in
Malaysia. Proceeding of The National Workshop on Plant Genetic
Resources ; 1988 Nov 23 ; Subang Jaya, Malaysia. Malaysia National
Committee on Plant Genetic Resources. hlm : 1-41.
Wahyudin DS. 1999. Daya simpan serbuk sari salak (Salacca Sp.) pada tingkat
kemasakan yang berbeda. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Warid. 2009. Korelasi metode perkecambahan in vitro dengan pewarnaan dalam
pengujian viabilitas polen. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Webber JE, Masimbert MB. 1993. The response of dehydrated Douglas fir
(Pseudotsuga menziesii) pollen to three in vitro viability assays and their
relationship to actual fertility. Ann. Sci. For. 50: 1-22.
Yulita KS. 2011. Variasi dan kekerabatan genetik pada dua jenis baru belimbing
(Averrhoa leucopetala Rugayah et Sunarti sp nov dan A. dolichocarpa
Rugayah et Sunarti sp nov. Oxalidaceae) berdasarkan profil random
amplified polymorphic DNA. J Biol Indones 7(2):321-330.

20
Lampiran 1 Data umur dan tinggi pohon A. dolichocarpa dan A. leucopetala
(Rugayah & Sunarti 2008)
VAK

VI.C.

310a.

VII.D.

96-96a
(TYPE)

*

*

*

*

XXIV.B

79.
(TYPE)

XXIV.B

81.

.

.
a

NO

Nama

Lokasi

Averrhoa
dolicocarpa
Rugayah & Sunarti.
Averrhoa
dolicocarpa
Rugayah & Sunarti.
Averrhoa
dolicocarpa
Rugayah & Sunarti.
Averrhoa
dolicocarpa
Rugayah & Sunarti.
Averrhoa
leucopetala
Rugayah & Sunarti.
Averrhoa
leucopetala
Rugayah & Sunarti.

Lereng

Waktu
tanam

Umur
Pohon

Tinggi
Pohon
(cm)
26 Maret 26 tahun 3 367.8
1988
bulan

Lereng

26 Maret 26 tahun 3 348.5
1988
bulan

Pembibitan

26 Maret 26 tahun 3 671.3
1988
bulan

Pembibitan

26 Maret 26 tahun 3 627.5
1988
bulan

Orchidarium

16
April 7 tahun 2 269.5
2007
bulan

Orchidarium

17
November
2007

Bukan tanaman koleksi sehingga tidak teregistrasi = *
Sumber umur pohon : Registrasi koleksi LIPI Kebun raya Bogor.

6 tahun 7 255.5
bulan

21
Lampiran 2 Hasil pengukuran suhu dan kelembaban nisbi lingkungan A.
dolichocarpa dan A. leucopetala
Tanggal

Jam

04-Jun
10-Jun
11-Jun
16-Jun
17-Jun
18-Jun
19-Jun
20-Jun
23-Jun
24-Jun
25-Jun
26-Jun
27-Jun
30-Jun
01-Jul
02-Jul
03-Jul
04-Jul
07-Jul
08-Jul
09-Jul
10-Jul
11-Jul
14-Jul
15-Jul
16-Jul
17-Jul
18-Jul
21-Jul
22-Jul
23-Jul

7.30
7.59
8.23
7.53
8.38
7.53
8.10
8.43
7.59
9.53
7.50
8.00
8.50
7.57
7.59
8.26
8.33
9.35
9.15
7.45
7.50
8.13
8.30
8.40
8.15
8.07
8.00
8.10
9.03
8.57
9.00

A
28.5
27
28.5
25.3
25.5
26.2
25.3
25.4
27
25
23.5
23.7
24.5
25.3
25.3
26.6
25.8
28.5
26.5
24
24.5
25
25
26
25
25
25.5
26
26.2
26.5
24.5

Suhu (oC)
B
C
26
27.7
27
27.3
27.4
29
25.1
26
25
26
26.1
26.8
25.8
26.1
25.2
26.2
27
27.9
24.3
26.4
23
24.1
23
24.1
23.7
25
25.1
25.7
25
27.5
26
27
24.1
26.4
28
29
25.2
27
23.9
25.4
24.1
25.1
23.8
26
24.1
25.8
25.8
26.7
24.3
25.1
24.1
25.4
25.4
26.1
25.8
26.7
26
26.9
25.9
26.8
24
25.4

Kelembaban (% RH)
A
B
C
86
90
88
99
89
99
94
89
86
87
94
90
99
80
78
83
92
90
91
93
91
90
95
93
81
89
80
70
94
90
99
94
91
92
94
88
96
82
90
8