Fenologi dan Dinamika Kandungan Klorofil pada Pembungaan Dua Spesies Belimbing Hutan (Averrhoa dolichocarpa dan Averrhoa leucopetala).

FENOLOGI DAN DINAMIKA KANDUNGAN KLOROFIL
PADA PEMBUNGAAN DUA SPESIES BELIMBING HUTAN
(Averrhoa dolichocarpa dan Averrhoa leucopetala)

MANGUNAH

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

ABSTRAK
MANGUNAH. Fenologi dan Dinamika Kandungan Klorofil pada Pembungaan Dua Spesies
Belimbing Hutan (Averrhoa dolichocarpa dan Averrhoa leucopetala). Dibimbing oleh IBNUL
QAYIM dan INGGIT PUJI ASTUTI.
Averrhoa dolichocarpa merupakan belimbing hutan asal Gorontalo dan Averrhoa leucopetala
berasal dari Papua. Kedua belimbing tersebut mempunyai keunikan karakter pada daun,
infloresens, bunga, dan buahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fenologi bunga dan
dinamika kandungan klorofil daun pada pembungaan dua spesies belimbing hutan Averrhoa
dolichocarpa dan Averrhoa leucopetala. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai
dengan Mei 2012 dengan melakukan pengamatan pada belimbing hutan koleksi Kebun Raya

Bogor. Averrhoa dolichocarpa memiliki waktu inisiasi infloresens selama (8-14) hari, fase kuncup
kecil bunga tunggal (11-15) hari, fase kuncup besar 1 hari, fase anthesis 3 hari, dan perkembangan
buah selama (40-45) hari. Tingkat kerontokan bunganya cukup tinggi dan faktor lingkungan yang
paling berpengaruh adalah kecepatan angin. Kandungan klorofil sangat dinamis serta dipengaruhi
oleh keadaan lokasi dan besarnya kanopi tanaman tersebut. Averrhoa leucopetala memiliki waktu
inisiasi infloresens selama (30-34) hari, fase kuncup kecil (12-15) hari, kuncup besar 1 hari,
anthesis 5 hari, dan perkembangan buah (40-42) hari. Tingkat kerontokan bunga dan buah spesies
ini juga cukup tinggi. Kandungan klorofilnya lebih statis dan cenderung mengalami kenaikan pada
fase pembentukan buah.
Kata kunci : Averrhoa dolichocarpa, Averrhoa leucopetala, Fenologi, Klorofil, Pembungaan.

ABSTRACT
MANGUNAH. Phenology and Chlorophyll Content Dynamics in Flowering of Two Wild
Starfruits Species (Averrhoa dolichocarpa and Averrhoa leucopetala). Supervised by IBNUL
QAYIM and INGGIT PUJI ASTUTI .
Averrhoa dolichocarpa is a wild starfruit from Gorontalo and Averrhoa leucopetala from
Papua. Both starfruits have unique characters of the leaves, infloresens, flowers, and fruit. The
aims of the research were to determine the phenology of flowers and leaf chlorophyll content
dynamics in flowering of two wild starfruits species Averrhoa dolichocarpa and Averrhoa
leucopetala. The study was conducted in February 2012 to May 2012 by doing observations on the

wild starfruits collections of Bogor Botanical Garden. Averrhoa dolichocarpa has infloresens
initiation time (8-14) days, single flower’s small bud phase (11-15) days, large bud phase 1 day,
anthesis 3 days and fruit development (40-45) days. Flower and fruit drop rate is quite high and
the most influential environment factor is the wind speed. The chlorophyll content is very dynamic
and influenced by the state of the location and the large of plant canopy. Averrhoa leucopetala has
infloresens initiation time (30-34) days, small bud phase (12-15) days, large bud phase 1 day,
anthesis 5 days, and fruit development (40-42) days. Flower and fruit drop rate is also quite high.
Chlorophyll content is more static and tends to increase in the fruit development phase.
Keywords: Averrhoa dolichocarpa, Averrhoa leucopetala, Chlorophyll, Flowering, Phenology.

FENOLOGI DAN DINAMIKA KANDUNGAN KLOROFIL
PADA PEMBUNGAAN DUA SPESIES BELIMBING HUTAN
(Averrhoa dolichocarpa dan Averrhoa leucopetala)

MANGUNAH

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi


DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Fenologi dan Dinamika Kandungan Klorofil pada Pembungaan Dua Spesies
Belimbing Hutan (Averrhoa dolichocarpa dan Averrhoa leucopetala)
: Mangunah
: G34080122

Disetujui

Dr. Ir. Ibnul Qayim
Pembimbing I


Dra. Inggit Puji Astuti, M.Si
Pembimbing II

Diketahui

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si
Ketua Departemen Biologi

Tanggal Lulus

:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat serta salam penulis haturkan
kepada Nabi besar Muhammad SAW yang selalu menjadi suri tauladan bagi kita. Karya ilmiah ini
disusun berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Fenologi dan Dinamika Kandungan Klorofil
pada Pembungaan Dua Spesies Belimbing Hutan (Averrhoa dolichocarpa dan Averrrhoa
leucopetala) yang dilakukan di Kebun Raya Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.
Ir. Ibnul Qayim dan Dra. Inggit Puji Astuti, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan

bimbingan, saran, motivasi, serta koreksi selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Terima
kasih kepada Dr. Ir. Dorly, M.Si selaku dosen penguji atas kritik, saran, dan koreksinya. Terima
kasih kepada pihak Kebun Raya Bogor yang telah memberikan ijin untuk mekakukan penelitian.
Terima kasih kepada Bapak, Ibu, kakak, dan seluruh anggota keluarga atas kasih sayang, doa, serta
dorongan semangat yang selalu diberikan. Terima kasih kepada Bapak Rubono yang telah
membantu selama penelitian di Kebun Raya Bogor. Terima kasih kepada Siti Sulfiah, Siti
Suraehah, Umi, Fitriani, Heru, Oktan, dan kak Yuda yang turut membantu dalam penelitian.
Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan (Kemala, kak Fafa, Hana, Nurul, Siti Saidah,
Dalfit, serta teman-teman Biologi 45 lainnya), para sahabat (Mbak Via, April, serta teman-teman
Bawoux), teman-teman Wisma Ar-rohmah, teman-teman KSR PMI Unit I IPB, teman-teman
OWA Biologi, teman-teman di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Biologi IPB, dan temanteman OMDA IKAMANOS IPB yang selalu memberikan motivasi, inspirasi, dan doa hingga
karya ilmiah ini bisa selesai.
Semoga karya ilmiah ini bisa memberikan manfaat bagi pihak yang memerlukan.

Bogor, 29 April 2013

Mangunah

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Februari 1990 di Wonosobo dari ayah Masrur dan ibu

Pujiati sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan di TK Pertiwi
Kalierang pada tahun 1994, melanjutkan ke SD 1 Kalierang pada tahun 1996, kemudian
melanjutkan ke MTsN Wonosobo pada tahun 2002, dan melanjutkan ke sekolah menengah atas di
SMA 2 Wonosobo pada tahun 2005. Penulis lulus SMA tahun 2008 dan pada tahun yang sama
lolos seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) menjadi mahasiswa Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi ketua divisi Infokom KSR PMI
Unit I IPB tahun 2009/2010, anggota Gentra Kaheman IPB tahun 2009, Koordinator divisi PSDM
Ikatan Mahasiswa Wonosobo IPB (IKAMANOS IPB) tahun 2010/2011, Sekretaris divisi
Observasi Wahana Alam (OWA) HIMABIO IPB tahun 2011/2012, dan asisten praktikum Biologi
Dasar TPB IPB tahun 2011.
Penulis pernah lolos PKMK didanai DIKTI dengan judul “Sendok Sagu (Metroxylon spp.)
Aneka Rasa Sebagai Inovasi Alat Makan yang Dapat Dimakan dan Kaya Karbohidrat Bagi
Masyarakat” pada tahun 2011 dan pernah menjadi finalis lomba penulisan PKM dalam Pekan
Ilmiah Mahasiswa FMIPA (PIPA) tahun 2011. Penulis pernah turut serta sebagai Tim Pembibitan
pada IPB Goes to Field 2011 dengan tema “Pemulihan Lahan Pertanian Pasca Erupsi Merapi” di
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Penulis juga pernah melakukan kegiatan studi lapang di pantai
Pangandaran dengan judul “Kelenjar Garam dan Dominansi Jenis Tanaman” serta melakukan
kegiatan praktek lapangan di Unit Perkebunan Tanjungsari, PT Tambi, Wonosobo dengan judul
“Pembibitan Tanaman Teh (Camellia sinensis (L) O. Kuntze) dengan setek di PT Tambi,

Wonosobo, Jawa Tengah”.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................

ix

PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................................................................................................................
Tujuan ...............................................................................................................................

1
2

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ............................................................................................................
Bahan dan Alat ..................................................................................................................

Pengamatan Perkembangan Bunga ...................................................................................
Pengamatan Dinamika Kandungan Klorofil .....................................................................
Pengukuran Parameter Lingkungan ..................................................................................
Analisis Data .....................................................................................................................

1
2
2
2
2
2

HASIL
Perkembangan Bunga .......................................................................................................
Ritme Pembungaan ...........................................................................................................
Tingkat Krontokan Bunga .................................................................................................
Dinamika Kandungan Klorofil .........................................................................................
Analisis Regresi Linier Berganda ....................................................................................

3

6
7
7
9

PEMBAHASAN ..........................................................................................................................

9

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ........................................................................................................................... 12
Saran ................................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 12
LAMPIRAN ................................................................................................................................. 15

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perkembangan bunga Averrhoa dolichocarpa pada setiap fase ................................................

4


2 Perkembangan bunga Averrhoa leucopetala pada setiap fase ...................................................

5

3 Persentase kerontokan bunga Averrhoa dolichocarpa pada masing-masing fase ....................

7

4 Persentase kerontokan bunga Averrhoa leucopetala pada masing-masing fase ........................

7

2

5 Nilai Koefisien Determinasi (R ), Koefisien Determinasi yang disesuaikan
(Adjusted R2), Standar Error, Uji F, dan Signifikasi Averrhoa dolichocarpa ........................

9


6 Nilai Uji t, Signifikasi model, dan Nilai Variance Inflation Factor (VIF)
untuk Averrhoa dolichocarpa...................................................................................................

9

2

7 Nilai Koefisien Determinasi (R ), Koefisien Determinasi yang disesuaikan
(Adjusted R2), Standar Error, Uji F, dan Signifikasi Averrhoa leucopetala ..............................

9

8 Nilai Uji t, Signifikasi model, dan Nilai Variance Inflation Factor (VIF)
untuk Averrhoa leucopetala ......................................................................................................

9

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Habitus Averrhoa dolichocarpa (atas) dan Averrhoa leucopetala (bawah) .............................

2

2 Spot penelitian di Kebun Raya Bogor .......................................................................................

3

3 Perkembangan panjang rata-rata inisiasi infloresens , bunga tunggal hingga buah, serta
fase pembungaan pada tiap bulan pada musim berbunga ..........................................................

6

4 Susunan bunga majemuk pada A. dolichocarpa (kiri) dan A. leucopetala (kanan). .................

7

5 Grafik dinamika kandungan klorofil selama penelitian pada Averrhoa dolichocarpa
di tiap lokasi. .............................................................................................................................

8

6 Grafik dinamika kandungan klorofil selama penelitian pada Averrhoa leucopetala.................

8

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta wilayah dan peta aerial Kebun Raya Bogor ...................................................................... 15
2 Struktur Bunga A. dolichocarpa dan A. leucopetala ................................................................. 16
3 Foto-foto proses bunga mekar Averrhoa leucopetala ............................................................... 17
4 Foto-foto polinator serta hewan pengunjung bunga Averrhoa dolichocarpa dan
Averrhoa leucopetala ............................................................................................................... 18
5 Rata-rata kandungan klorofil A. dolichocarpa tiap lokasi pengamatan.................................... 19
6 Rata-rata kandungan klorofil A. leucopetala tiap pengamatan .................................................. 20
7 Rata-Rata Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan A. dolichocarpa...................................... 21
8 Rata-Rata Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan A. leucopetala ........................................ 22
9 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Parameter Lingkungan Terhadap Persentase
Kerontokan Bunga A. dolichocarpa. ....................................................................................... 23
10 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Parameter Lingkungan Terhadap Persentase
Kerontokan Bunga A. leucopetala........................................................................................... 24

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fenologi adalah telaah penampakkan
periodisitas pada tumbuhan, seperti waktu
pembungaan dalam hubungannya dengan
iklim (Abercrombie et al. 1997). Aspek yang
biasanya menjadi kajian fenologi tanaman
meliputi pembentukan tunas, perkembangan
daun,
absisi,
pembungaan,
fertilisasi,
pembentukan biji, pembuahan, penyebaran
biji, dan perkecambahan yang memiliki waktu
masing-masing. Studi fenologi penting
dilakukan untuk memahami interaksi spesies
dengan fungsi komunitas sebagai aspek
spasial (Fenner 1998). Menurut Michalski dan
Durka (2007) waktu pembungaan dalam dan
diantara individu merupakan kepentingan
biologis
yang
fundamental
karena
pengaruhnya pada produksi biji total dan pada
akhirnya pada fitness tanaman itu sendiri.
Informasi tentang fenologi pembungaan dan
pembuahan
bisa
dimanfaatkan
untuk
mengetahui masa berbunga, mengetahui
kondisi lingkungan yang baik bagi tanaman,
produktivitas buah, dan lain sebagainya.
Bunga merupakan alat pembiak dari
tumbuh-tumbuhan karena nantinya akan
berkembang menjadi buah yang berisi biji.
Pembungaan, penyerbukan, pembuahan, dan
pembentukan buah adalah empat faktor
penting yang mempengaruhi produktivitas
tanaman. Adapun dari keempat faktor tersebut
yang terpenting adalah pembungaan karena
merupakan awal dari tahap-tahap selanjutnya
(Darjatno dan Satifah 1990). Perkembangan
bunga dan buah dimulai dari fase inisiasi
bunga, kuncup kecil, kuncup besar, bunga
terbuka (anthesis), dan perkembangan buah
(Jamsari et al. 2007).
Pola pembungaan pada setiap spesies
sangat bervariasi. Waktu berbunga pada suatu
individu bisa berubah pada kondisi suhu,
curah hujan, iklim, dan panjang hari tertentu
(Fenner 1998). Menurut Darjatno dan Satifah
(1990) pembungaan dipengaruhi oleh suhu,
curah hujan, cahaya, dan keadaan lingkungan
lainnya, sedangkan faktor internalnya bisa
berupa genetik, hormon, dan nutrisi yang
tersedia.
Beberapa hal yang penting pada buah
tropis-subtropis yakni menghasilkan sejumlah
besar bunga. Tingkat respirasi tumbuhan pada
kondisi tersebut menjadi tinggi dan total
kebutuhan karbohidrat harian selama bunga
mekar seringkali melebihi produksi fotosintat
biasanya (Lambers et al. 2008). Kebutuhan
fotosintat pada masa pembungaan ini akan

dihubungkan dengan dinamika kandungan
klorofil selama pembungaan. Warna daun
berasal dari klorofil, pigmen warna hijau yang
terdapat di dalam kloroplas. Klorofil
menyerap energi cahaya untuk fotosintesis.
Averrhoa
leucopetala
merupakan
belimbing hutan yang berasal dari Gorontalo.
Pohon tingginya berkisar (5-8) m, batang
dengan percabangan dekat tanah, cokelat
keabu-abuan, diameter (5-12) cm. Daun
majemuk gasal, dengan jumlah anak daun 513 (Astuti & Rugayah 2009). Belimbing ini
mempunyai susunan bunga cluster dengan
beberapa bunga, ukuran bunga (0.6-0.7) cm
panjang dan diameter 0.4 cm, warna sepal
hijau pucat, warna petal putih, bentuk petal
lanceolate dengan ukuran (6-10 x 2-3) mm,
panjang benang sari bervariasi antara (3.5-7)
mm bentuk glabrous dan panjang putiknya 1.2
mm (Rugayah & Sunarti 2008).
Averrhoa dolichocarpa berasal dari Papua.
Pohon tingginya mencapai 15 m, batangnya
cokelat kehitaman, diameternya berkisar 15
cm, percabangannya (kadang) dekat dengan
tanah. Daun majemuk gasal dengan jumlah
anak daun 10-25 (Astuti & Rugayah 2009).
Belimbing ini mempunyai susunan bunga
cluster dengan bunga yang rapat penuh,
ukuran bunga (0.8-1.0) cm panjang dan
diameter 0.5 cm, warna sepal cokelat agak
kekuningan, warna petal putih di luar, sisi
bagian atas lobus dengan pola garis-garis
ungu dan putih merah muda kecuali pada
margin putih, bentuk petal oblong-ovate
dengan ukuran (6-11 x 2.5-3) mm, panjang
benang sari bervariasi antara 3-5 mm bentuk
glabrous dan panjang putiknya (3.5-4.5) mm
(Rugayah & Sunarti 2008).
Averrhoa dolichocarpa dan Averrhoa
leucopetala merupakan jenis belimbing yang
baru diklasifikasikan menjadi spesies baru
pada tahun 2008. Dalam segi morfologi,
kedua spesies ini berbeda dengan dua spesies
belimbing yang telah diketahui sebelumnya
yaitu Averrhoa carambola. L dan A. bilimbi.
L. Perbedaan ini bisa dilihat dari segi daun,
infloresens, bunga, dan buahnya (Rugayah &
Sunarti 2008). Pengelompokkan spesies ini
juga telah dikarakterisasi dengan amplifikasi
PCR-RAPD terhadap DNA genomnya dan
menunjukkan ada radiasi adaptif sehingga
berbeda dari Averrhoa carambola. L dan A.
bilimbi. L (Yulita 2011). Penelitian pada
kedua belimbing ini baru sampai pada tahap
taksonomi, sehingga masih perlu dilakukan
penelitian pada berbagai aspek.

2

Gambar 1 Habitus Averrhoa dolichocarpa
(atas) dan Averrhoa leucopetala
(bawah).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
fenologi bunga dan dinamika kandungan
klorofil daun pada pembungaan dua spesies
belimbing hutan Averrhoa dolichocarpa dan
Averrhoa leucopetala.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Februari
2012 sampai dengan Mei 2012 di Kebun Raya
Bogor dan di Laboratorium Taksonomi
Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA,
IPB.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah
lima pohon belimbing hutan asal Papua
(Averrhoa dolicocarpa) dan lima pohon
belimbing hutan asal Gorontalo (Averrhoa
leucopetala) yang merupakan tanaman koleksi
Kebun Raya Bogor.
Alat-alat yang digunakan di lapang
meliputi klorofil meter, Digital Instrument 4
in 1 (Lightmeter, Anemometer, Hygrometer,
Termometer), data sekunder curah hujan dari
stasiun klimatologi Kebun Raya Bogor,
kamera digital, jangka sorong, tangga, label
pohon, dan alat tulis. Pengamatan bunga di
laboratorium digunakan mikroskop stereo.
Metode Penelitian
Pengamatan Perkembangan Bunga.
Pengamatan dimulai sejak adanya tandatanda inisiasi bunga berupa munculnya
benjolan pada ujung bakal tangkai bunga

sampai bunga terbuka (anthesis), kemudian
dilakukan pengamatan perkembangan buah.
Sampel bakal bunga yang ditandai untuk
tujuan pengamatan perkembangan sebanyak
59 sampel pada A. dolichocarpa dan 54
sampel pada A. leucopetala. Tahapan-tahapan
yang diamati meliputi inisiasi bunga, kuncup
kecil, kuncup besar, dan bunga terbuka. Pada
masing-masing stadia dilakukan pengamatan
terhadap perubahan warna dan bentuk serta
morfologi bunga lainnya. Pengamatan ini
dilakukan setiap 2 hari sekali. Panjang bunga
dan buah diukur menggunakan jangka sorong.
Tingkat kerontokan dihitung pada setiap fase
pembungaannya. Pengamatan mikroskop
dilakukan agar bisa melihat stadia-stadia
perkembangan bunga yang kurang jelas,
sehingga digunakan mikroskop stereo.
Pengamatan Dinamika Kandungan
Klorofil.
Kandungan klorofil diukur pada daun
menggunakan Klorofil Meter pada rentang
antara pukul 10.00-14.00 setiap dua hari
sekali. Pada masing-masing pohon, dilakukan
lima kali pengukuran di daun yang berbeda.
Daun yang diukur berupa daun yang tidak
terlalu tua dan tidak terlalu muda dengan
posisi beberapa ruas dari pangkal tangkai
daun dan terkena sinar matahari langsung
(tidak ternaungi). Sensor Klorofil Meter
ditempatkan pada bagian mesofil daun dengan
menghindari bagian tulang daunnya. Kelima
sampel daun yang diukur diambil rata-ratanya
dan didapatkan nilai kandungan klorofil yang
mewakili satu pohon. Hasil dari pengukuran
ini
selanjutnya
dibuat
grafik
yang
menggambarkan dinamika kandungan klorofil
dengan mengambil rata-rata pengukuran pada
setiap lokasi tanaman.
Pengukuran Parameter Lingkungan.
Pengukuran
parameter
lingkungan
dilakukan setiap dua hari sekali yang meliputi
pengukuran intensitas cahaya, kecepatan
angin, kelembaban, dan suhu udara
menggunakan Digital instrument 4 in 1.
Banyaknya curah hujan selama pengamatan
digunakan data sekunder dari stasiun
klimatologi Kebun Raya Bogor.
Analisis Data.
Data-data parameter lingkungan dan
kerontokan bunga yang diperoleh selanjutnya
dianalisis menggunakan software SPSS 16
dengan metode Analisis Regresi Linier
Berganda untuk mengetahui faktor yang
paling berpengaruh dalam pembungaan.

3

III

IV

II

I

U

Keterangan:
= Lokasi tanaman A. dolichocarpa
= Lokasi tanaman A. leucopetala
I = Pembibitan selatan
II = Fak. VII. D. No. 96-96a dan 98-98a
III = Pembibitan dan Reintroduksi
tanaman langka
IV = Orchidarium
Sumber:
http://www.raincity.byethost4.com/FASILITA
S.htm

Gambar 2 Spot penelitian di Kebun Raya Bogor

HASIL
Perkembangan Bunga
Tahap perkembangan bunga dimulai dari
fase inisiasi. Pada Averrhoa dolichocarpa,
fase ini ditunjukkan dengan adanya benjolan
agak bulat berwarna putih kemerah mudaan
(Tabel 1). Pada A. leucopetala bentuknya
lebih memanjang dan warnanya putih
kehijauan (Tabel 2). Bakal bunga pada kedua
spesies tersebut tersebar pada sekitar batang.
Tahap kedua yaitu fase kuncup kecil. Fase
ini merupakan fase awal dimulainya
pembentukan
bunga-bunga
tunggal.
Segmentasi
bunga-bunga
pada
bunga
majemuk (infloresens) sudah mulai terlihat.
Pada A.dolichocarpa penampakan luarnya
berupa tonjolan berbentuk bulat dengan warna
hijau kecoklatan dan pada bagian sepalnya
terdapat garis merah muda. Jika dibelah
membujur sudah mulai terlihat struktur
bunganya yaitu karpel berwarna kehijauan,
anther berwarna hyalin hingga putih susu,
serta calon petal berwarna kehijauan dengan
ujung merah muda (Tabel 1). Pada A.
leucopetala penampakan luarnya berupa
tonjolan bulat juga dengan warna hijau muda.
Jika dibelah membujur akan tampak anther
berwarna kuning, karpel agak merah muda,
serta calon petal masih kehijauan dan belum
tampak jelas (Tabel 2).
Fase ketiga yaitu fase kuncup besar.
Seperti terlihat pada Tabel 1 dan 2, mulainya
fase ini ditunjukkan dengan adanya ujung
petal yang mulai tampak keluar dari sepalnya.
Penampakkan dalam bunganya bila dibelah
secara membujur hampir sama dengan fase
kuncup kecil hanya saja sudah lebih
memanjang dari sebelumnya. Pada A.

leucopetala petalnya sudah terlihat jelas dan
berwarna putih.
Fase keempat yang diamati yaitu anthesis
atau bunga mekar. Pada fase ini terlihat jelas
petal sudah keluar dari sepalnya. Pada A.
dolichocarpa terlihat petal yang berwarna
merah muda dengan bagian putih di tepi dan
pangkalnya, sepal berwarna hijau dengan
garis merah muda di tepi, anther sudah
dipenuhi serbuk sari berwarna putih (Tabel 1).
Pada A. leucopetala akan tampak petal yang
berwarna putih, anther dipenuhi serbuk sari
berwarna kuning. Apabila sudah terjadi
penyerbukan, lalu fertilisasi untuk mulai
membentuk buah, filamen mulai berubah dari
putih menjadi kecokelatan, serbuk sari
menjadi kering, stigma juga menjadi cokelat,
dan petal mulai layu (Tabel 2). Petal bunga
pada kedua spesies ini akan mengatup
kembali. Setelah mencapai akhir fase,
biasanya petal bunga Averrhoa dolichocarpa
akan mudah rontok dan jatuh, sedangkan pada
A. leucopetala tampak petal yang semakin
layu dan mengering meskipun tidak rontok
jatuh atau dengan kata lain masih menempel
pada bunganya meskipun sudah mulai
membentuk buah.
Fase terakhir yaitu perkembangan buah.
Fase ini merupakan fase lanjutan setelah
pembungaan. Buah yang awal terbentuk
masih tertutup oleh sepal. Warnanya dimulai
dari hijau kecokelatan, kemudian menjadi
hijau muda, hijau tua, dan pada saat matang
pada A. dolichocarpa akan berwarna hijau
kekuningan, sedangkan pada A. leucopetala
masih tampak hijau pekat dengan ujung agak
kuning bahkan ada yang hijau murni (Tabel 1
dan 2).

4

Fase

Tabel 1 Perkembangan bunga Averrhoa dolichocarpa pada setiap fase
Pengamatan langsung
Pengamatan mikroskop
Utuh
Sayatan membujur

Inisiasi

Kuncup
kecil

Kuncup
besar

Bunga
mekar
(anthesis)

Buah

(awal)

(matang)

5

Fase

Tabel 2 Perkembangan bunga Averrhoa leucopetala pada setiap fase
Pengamatan langsung
Pengamatan mikroskop
Utuh
Sayatan membujur

Inisiasi

Kuncup
kecil

Kuncup
besar

Bunga
mekar
(anthesis)

Buah

(awal)

(matang)

6

Ritme Pembungaan
Averrhoa dolichocarpa memiliki waktu
inisisasi yang relatif cepat, berlangsung 8
sampai 14 hari. Panjang bakal bunga sekitar 2
sampai 3 mm. Fase kuncup kecil berlangsung
sekitar 11 sampai 15 hari dengan panjang
awal sekitar 0.12 sampai 0.18 cm dan pada
akhir fase mencapai 0.4 hingga 0.66 cm. Fase
kuncup besar hanya berlangsung sehari
dengan ukuran antara 0.6 hingga 1.46 cm.
Fase anthesis berlangsung selama 3 hari yang
meliputi 1 hari terjadi mekar sempurna
berukuran ± 1 cm dan 2 hari layu mahkota.
Fase buah berlangsung antara (40-45) hari.
Ukuran buah awal hanya sekitar 1.5 cm dan
pada saat matang berukuran rata-rata 12 cm
(Gambar 3).
Pada Gambar 3 terlihat bahwa fase inisiasi
pada A. leucopetala berlangsung antara 30
hinga 34 hari (1 bulan). Panjang bakal bunga
sekitar 0.15 hingga 0.49 cm. Fase kuncup
kecil berlangsung selama 12 hingga 15 hari
dengan panjang awal 0.1 sampai 0.14 dan
pada akhir fase mencapai 0.42 sampai 0.63

Keterangan: F0= Fase inisiasi
F1= Fase kuncup kecil
F2= Fase kuncup besar
F3= Fase Anthesis (bunga mekar)
F4= Fase buah

cm. Memasuki fase kuncup besar, panjang
bunga berkisar antara 0.5 sampai 0.86 cm.
Fase ini hanya berlangsung selama sehari.
Fase anthesis berlangsung selama 5 hari yang
meliputi 1 hari merupakan fase mekar
sempurna dan 4 hari layu mahkota. Ukuran
bunga mekar sekitar 0.66 sampai 0.86 cm.
Pembentukan buah berlangsung selama 40
hingga 42 hari dengan ukuran pada awal
pembentukan sekitar 0.85 hingga 1.6 cm dan
pada saat matang panjang buahnya berukuran
± 7 cm.
Bunga dari kedua belimbing ini
merupakan bunga majemuk (infloresens)
terbatas dengan bentuk paniculiform cyme
pada A. dolichocarpa dan simple dichasium
(cyme sederhana) biasa pada A. leucopetala
(Gambar 4). Dengan bentuk bunga seperti ini,
selang satu atau beberapa hari akan dimulai
ritme yang sama untuk bunga tunggal lain
dalam satu bunga majemuk. Bahkan untuk A.
leucopetala, dalam satu infloresens ada bunga
yang sudah membentuk buah kemudian baru
muncul kuncup baru.

= akhir fase bunga, mulai fase buah
= akhir fase buah, muncul inisiasi
bunga baru pada pohon

Gambar 3 Perkembangan panjang rata-rata inisiasi infloresens, bunga tunggal hingga buah, serta
fase pembungaan pada tiap bulan pada musim berbunga.

7

paniculiform cyme

simple dichasium (cyme
sederhana)

Gambar 4 Susunan bunga majemuk pada A.
dolichocarpa
(kiri)
dan
A.
leucopetala (kanan).
Aktivitas bunga mekar terjadi pada pukul
04.00 malam hingga pukul 06.00 pagi.
Polinator mulai berdatangan begitu bunga
telah mekar sempurna. Pada A. dolichocarpa
polinator aktif dari pagi hingga sore hari,
sedangkan pada A. leucopetala polinator
paling aktif pada pukul 06.00-08.00 pagi.
Tingkat Kerontokan Bunga
Pengamatan tingkat kerontokan bunga
pada A. dolichocarpa digunakan 59 sampel.
Dari sampel-sampel tersebut terdapat 35.59%
gagal membentuk bunga karena telah rontok
pada fase inisiasi. Sebesar 39.47% bunga
rontok pada fase kuncup kecil dan gagal
membentuk kuncup besar. Bunga yang
berhasil mekar dari kuncup besar sebanyak
86.96%. Bunga yang rontok pada fase
anthesis sebesar 60% sehingga yang berhasil
menjadi buah sebesar 40%. Kerontokan buah
sebelum menjadi matang cukup tinggi yakni
sebesar 87.5% (Tabel 3).
Tabel 3 Persentase
kerontokan bunga
Averrhoa
dolichocarpa
pada
masing-masing fase
Fase
Persentase
Persentase
Kerontokan Keberhasilan
(%)
(%)
Inisiasi
35.59
64.41
Kuncup kecil
39.47
60.53
Kuncup besar
13.04
86.96
Anthesis
60
40
Buah
87.5
12.5
Matang
100
0
Keterangan: Buah yang matang pada akhirnya
rontok semua.

Pada Averrhoa leucopetala pengamatan
persentase kerontokan bunga dan buah
digunakan 54 sampel. Seperti yang terlihat
pada Tabel 4, bakal bunga yang telah kering
atau rontok pada fase inisiasi sebesar 24.07%.
Kerontokan pada fase kuncup kecil sebanyak
31.7%. Pada pengamatan ini tidak dijumpai
kerontokan pada fase kuncup besar, akan
tetapi terjadi kerontokan sebanyak 64.29%
pada fase anthesis sehingga bunga yang
berhasil menjadi buah sebanyak 35.71%.
Kerontokan buah cukup tinggi yaitu sebesar
90% dan yang berhasil menjadi matang
sebesar 10%.
Tabel 4 Persentase
kerontokan bunga
Averrhoa
leucopetala
pada
masing-masing fase
Fase
Persentase
Persentase
Kerontokan Keberhasilan
(%)
(%)
Inisiasi
24.07
75.93
Kuncup kecil
31.70
68.30
Kuncup besar
0
100
Anthesis
64.29
35.71
Buah
90
10
Matang
100
0
Keterangan: Buah yang matang pada akhirnya
rontok semua
Dinamika Kandungan Klorofil
Pada Averrhoa dolichocarpa dilakukan
pengukuran pada 5 individu yaitu A, B, C, D,
dan E. Kelima pohon tersebar ke dalam 3
lokasi. Individu A berada pada lokasi II,
Individu B, C, D berada di lokasi III, dan
Individu E berada di lokasi I (Gambar 1).
Begitu pula pada A. leucopetala, pengukuran
kandungan dilakukan pada individu F, G, H, I,
dan J yang semuanya berada di lokasi IV.
Grafik
dinamika
kandungan
klorofil
merupakan rata-rata kandungan klorofil pada
tiap lokasi pengamatan (Gambar 5 dan 6).
Musim bunga mekar A. dolichocarpa
ditemui dua kali selama 3 bulan pengamatan
yaitu pada akhir Februari hingga awal Maret
dan pertengahan April. Namun, musim bunga
pada bulan April tidak sebanyak pada bulan
Februari-Maret dan bersamaan dengan
aktivitas pembuahan. Amatan ke 7-14 pada
Gambar 5 merupakan rentang periode
pemekaran bunga. Pada amatan ini banyak
ditemui kuncup besar yang kemudian banyak
ditemui pula fase anthesis cukup dominan dari
amatan ke-8 hingga ke-12. Antara amatan ke
13-14 masih ditemui aktivitas bunga mekar
tetapi jumlahnya sudah mulai menurun. Fase
pembungaan periode April juga demikian.

8

Rata-rata kandungan klorofil
(unit SPAD)

Kandungan klorofil paling tinggi terdapat
pada individu E pada saat ditemui aktivitas
pemekaran bunga, akan tetapi kondisi
terendah individu E juga didapati pada pada
periode ini. Kandungan klorofil terendah dari
seluruh pengamatan rata-rata kandungan
klorofil tiap lokasi dijumpai pada individu A
pada periode pemekaran bunga bulan April.
Rata-rata kandungan klorofil B, C, dan D
memiliki aktivitas tertinggi pada amatan ke-7
serta ke-39 dan kandungan terendahnya pada
amatan ke-46.
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Musim bunga A. leucopetala terjadi setiap
bulan, namun rentangnya lebih singkat dari A.
dolichocarpa. Grafik yang terbentuk pada
spesies ini juga lebih statis. Kandungan yang
cukup tinggi dijumpai pada amatan ke-29 dan
ke-46 yang berada pada fase pembentukan
buah serta inisiasi, namun kisaran kandungan
klorofil terukur cenderung lebih rendah
daripada A. dolichocarpa. Kandungan klorofil
terendahnya ada pada amatan ke-16 (Gambar
6).

Akhir Feb-Awal Mar

April

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45
Pengamatan keIndividu A
Keterangan:

Rata-rata B, C, dan D

Individu E

: Daerah aktivitas pembungaan cukup tinggi (banyak dijumpai bunga mekar)

Rata-rata kandungan klorofil
(unit SPAD)

Gambar 5 Grafik dinamika kandungan klorofil selama penelitian pada Averrhoa dolichocarpa di
tiap lokasi.

April

35
30
25
20
15
10
5
0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45
Pengamatan keRata-rata kandungan klorofil individu F, G, H, I, dan J

Keterangan:

: Daerah aktivitas pembungaan cukup tinggi (banyak dijumpai bunga mekar)

Gambar 6 Grafik dinamika kandungan klorofil selama penelitian pada Averrhoa leucopetala.

9

Analisis Regresi Linier Berganda
Analisis regresi linier berganda digunakan
untuk mengetahui pengaruh parameter
lingkungan pada kerontokan bunga A.
dolichocarpa dan A. leucopetala. Persen
kerontokan tiap pengamatan menjadi variabel
dependen atau konstan dan parameter
lingkungan menjadi variabel independen.
Analisis pada tanaman A. dolichoarpa
didapatkan koefisien determinasi (R2) sebesar
0.339 artinya 33.9% kerontokan bisa
dijelaskan oleh faktor lingkungan terukur,
sedangkan 66.1% oleh variabel-variabel lain.
Tingkat signifikasi kurang dari 0.05 yaitu
0.009 menunjukkan bahwa model regresi
cukup
signifikan
dan
layak
untuk
memprediksi variabel dependen (Tabel 5).
Namun, pada uji t (Tabel 6) terlihat bahwa
hanya kecepatan angin yang signifikan. Hal
ini berarti kecepatan angin merupakan
variabel
yang
paling
mempengaruhi
kerontokan bunga. Uji VIF juga menunjukkan
bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar
variabel
parameter
lingkungan
dalam
mempengaruhi kerontokan bunga karena
nilainya kurang dari 5.
Tabel 5 Nilai Koefisien Determinasi (R2),
Koefisien
Determinasi
yang
disesuaikan (Adjusted R2), Standar
Error, Uji F, dan Signifikasi
Averrhoa dolichocarpa
Standar
Adjusted
Model R2
Eror
F
Sig.
2
R
(SEE)
1

.339

.247

.28779 3.685 .009a

Tabel 6 Nilai Uji t, Signifikasi model, dan
Nilai Variance Inflation Factor
(VIF) untuk Averrhoa dolichocarpa
Uji Kolinearitas
Model
t
Sig.
Tolerance VIF
1 (Constant)
Suhu
Kelembaban
Kecepatan
angin
Intensitas
cahaya
Curah hujan

-1.472
1.404
1.696
3.775

.150
.169
.099
.001

.316
.297
.863

3.169
3.364
1.159

-1.340 .189

.894

1.119

.884

1.132

.920

.364

Dependent Variable: persen kerontokan
Analisis regresi linier berganda Averrhoa
leucopetala seperti tertera pada tabel 7
dihasilkan koefisien determinasi (R2) sebesar

0.123. Hal ini menunjukkan bahwa hanya
12.3% kerontokan bunga yang bisa dijelaskan
oleh faktor lingkungan terukur, sedangkan
87.7% oleh variabel-variabel lain. Tingkat
signifikasi lebih dari 0.05 menunjukkan
bahwa model regresi tidak signifikan (kurang
layak untuk memprediksi variabel tergantung)
dan belum bisa menjelaskan pengaruh
parameter lingkungan pada kerontokan bunga.
Begitu pula pada uji t (Tabel 8) terlihat bahwa
tidak ada variabel yang signifikan.
Tabel 7 Nilai Koefisien Determinasi (R2),
Koefisien
Determinasi
yang
disesuaikan (Adjusted R2), Standar
Error, Uji F, dan Signifikasi
Averrhoa leucopetala
Standar
Adjusted
Model R2
Eror
F
Sig.
R2
(SEE)
1

.123

.002

.76990 1.014 .424a

Tabel 8 Nilai Uji t, Signifikasi model, dan
Nilai Variance Inflation Factor
(VIF) untuk Averrhoa leucopetala
Uji Kolinearitas
Model
t
Sig.
Tolerance VIF
1 (Constant)
Suhu
Kelembaban
Kecepatan
angin
Intensitas
cahaya
Curah hujan

.665
-.167
-1.382
-.406

.510
.869
.175
.687

.457
.430
.841

2.186
2.328
1.190

.164

.871

.933

1.072

1.811 .079

.859

1.164

Dependent Variable: persen kerontokan

PEMBAHASAN
Averrhoa termasuk ke dalam famili
Oxalidaceae. Famili ini memiliki tipe
perbungaan (infloresens) berbentuk cyme.
Cyme merupakan tipe bunga majemuk
terbatas. Bunga bagian ujung atau di bagian
tengah infloresens mekar terlebih dahulu
kemudian diikuti bunga-bunga lateralnya
sehingga infloresens tidak bertambah panjang.
Kelompok Averrhoa memiliki bunga yang
biseksual dan aktinomorf. Calyx merupakan
aposepalous dengan 5 sepal penutup. Korola
berbentuk aposepalous, stamen biseriat,
anther
longitudinal
pada
dehiscence,
gynoecium syncarpous dengan ovary yang
superior.

10

Bentuk sederhana dari tipe cyme adalah
simple dichasium yang bunga-bunganya
hanya bercabang di sumbu utama bunga
majemuk. Tipe bunga tersebut dimilki oleh A.
leucopetala (Gambar 4). Tipe yang lebih
kompleks adalah paniculiform cyme. Tipe ini
merupakan perkembangan dari simple
dichasium yang memiliki cabang bunga yang
lebih muda di sumbu bunga sekunder dan
memiliki cabang bunga yang lebih muda lagi
di sumbu tertier. Tipe tersebut dimiliki oleh
bunga A. dolichocarpa (Gambar 4).
Bentuk bunga paniculiform cyme pada
Averrhoa
dolichocarpa
menyebabkan
terjadinya beberapa kali proses pemekaran
bunga dalam 1 infloresens. Bentuk bunga ini
menunjukkan bahwa
dalam satu musim
bunga bisa terjadi 3-4 kali proses pemekaran
secara bertahap antara bunga yang lebih tua di
sumbu utama infloresens dan bunga yang
lebih muda di cabang sumbu infloresens.
Ritme pembungaan pada Gambar 3 hanya
menunjukkan rata-rata proses pembungaan
untuk bunga tunggal, bukan total pada
infloresens. Meskipun demikian, waktu yang
dibutuhkan dalam setiap fase pembungaan
bunga tunggal sudah dapat diketahui.
Polinator Averrhoa dolichocarpa aktif
menyerbuki setelah bunga mekar dari pagi
hingga sore hari. Penyerbukan bunganya
dibantu oleh beberapa jenis polinator.
Beberapa hewan yang ditemui dan diduga
polinator antara lain lebah madu, lebah hitam,
dan Trigona sp., sedangkan dua jenis semut,
dan hewan kecil yang belum diketahui
jenisnya (Lampiran 4) diduga hanya sebagai
pengunjung.
Nama
spesiesnya
belum
diketahui secara pasti karena tidak dilakukan
penangkapan dan identifikasi lebih lanjut.
Jenis-jenis
polinator
yang
ditemukan
kemungkinan tidak jauh berbeda dengan yang
biasa ditemukan di belimbing lain. Menurut
Castro (2002) pada A. carambola Asia tropik,
bunga biasanya dikunjungi oleh lebah madu
(Apis cerana), lalat, dan insekta lain seperti
yang ditemukan di India. Pengunjung
belimbing di daerah Malaysia juga ditemukan
dari kelompok Apis cerana dan Trigona
thoracicia.
Berdasarkan grafik dinamika kandungan
klorofil yang terbentuk dari hasil pengamatan,
tidak dijumpai adanya kenaikan kandungan
klorofil yang kontinyu selama masa bunga
mekar. Meskipun menurut Mclaughlin &
Williams (2000) pada saat infloresens mekar,
akan dijumpai aktivitas fotosintesis yang
menjadi naik untuk memproduksi karbohidrat

lebih banyak dan dialokasikan ke pembungaan
dan produksi buah.
Seperti yang sudah dijelaskan pada hasil,
kandungan klorofil tertinggi A. dolichocarpa
terdapat pada individu E amatan ke-9 sebesar
40.72 Unit SPAD (Lampiran 5) pada saat
banyak ditemui fase kuncup besar dan
anthesis bunga. Kandungan terendah dari
seluruh pengamatan ditemui pada individu A
amatan ke-34 sebesar 26.56 Unit SPAD
dengan fase sama (Gambar 5). Kandungan
yang rendah pada individu E juga ditemui di
dua titik. Pertama ketika banyak ditemui fase
kuncup besar serta anthesis dan kedua ketika
banyak dijumpai fase kuncup kecil serta
inisiasi. Titik tertinggi dan terendah rata-rata
kandungan klorofil pada individu B, C, D juga
dijumpai pada fase-fase bunga yang bervariasi
(Gambar 5). Kondisi tersebut menggambarkan
bahwa kandungan klorofil spesies ini kurang
berkorelasi dengan fase pembentukan bunga
dan sangat dinamis. Faktor yang berpengaruh
kemungkinan adalah suasana di lokasi
tanaman yang berubah-berubah terkait hujan,
penutupan awan, maupun kondisi terik
sehingga berpengaruh pada serapan cahaya
untuk fotosintesis. Cahaya merupakan faktor
lingkungan yang kompleks dengan sinyal
komponen yang berkaitan dengan kualitas
cahaya, intensitas cahaya, dan fotoperiodisitas
yang
secara
langsung
mempengaruhi
perbedaan dalam banyak aspek perkembangan
tanaman (Ausin et al. 2005).
Rentang kandungan klorofil antar lokasi
tanaman memiliki kisaran yang berbeda-beda
meskipun masih dalam satu spesies. Individu
A cenderung lebih rendah (26.56-35.9 Unit
SPAD), individu E cenderung lebih tinggi
(32.6-40.72 Unit SPAD), dan rata-rata B, C, D
berada di pertengahan (31.2-37.27 Unit
SPAD) (Lampiran 5). Faktor
yang
mempengaruhi kemungkinan adalah lokasi
tempat tumbuh dan besarnya kanopi tanaman
tersebut. Individu A, B, C, D, dan E memiliki
umur yang sama yaitu 25 tahun. Akan tetapi,
pertumbuhan tanaman di tiap lokasi sangat
berbeda yang kemungkinan terkait dengan
faktor kecukupan nutrisi pada lokasi tempat
tumbuh. Individu A tingginya baru mencapai
± 2 m, sehingga walaupun tanaman ini sudah
menghasilkan bunga, hanya terdiri atas
beberapa infloresens. Kanopi tanaman ini juga
cukup kecil dibandingkan keempat pohon
lainnya. Individu B, C, dan D berada pada
satu lokasi. Tinggi tanaman berkisar (5.5–7.2)
m, lebar kanopinya sedang dengan kondisi
lingkungan yang cukup terbuka serta terpapar
cahaya langsung. Individu E paling subur

11

diantara yang lain, tingginya mencapai 13 m
dan paling banyak menghasilkan bunga.
Kanopi pohonnya juga paling besar diantara
yang lain. Menurut Schulrze dan Caldwell
(1995) habitat dan penutupan kanopi pada
tempat tanaman tumbuh mempengaruhi
variasi integrasi intensitas cahaya atau photon
flux density (PFD) harian. Perubahan besar
dalam PFD juga dialami daun ketika ada
perubahan penutupan awan yang menghalangi
sinar matahari.
Kerontokan bunga spesies A. dolichocarpa
bisa dikatakan cukup tinggi dan paling banyak
terjadi kegagalan pada fase perkembangan
buah yaitu sebesar 87.5%. Kerontokan paling
sedikit terjadi ketika berada pada fase kuncup
besar hingga mekar sebesar 13.04% (Tabel 3).
Berdasarkan analisis regresi linier berganda
antara persen kerontokan tiap pengamatan
dengan parameter lingkungan diketahui
bahwa kecepatan angin adalah variabel yang
berpengaruh secara signifikan (Tabel 6) pada
kerontokan. Tetapi analisis ini hanya bisa
menjelaskan sebesar 33.9% pengaruh variabel
dan 66.1% persen oleh variabel-variabel lain.
Pada penelitian belimbing (A. carambola) di
daerah subtropis Florida selatan, angin
menyebabkan kerontokan belimbing karena
menyebabkan kerusakan buah pada musim
dingin yang berasosiasi dengan temperatur
rendah dan peningkatan radiasi matahari yang
menekan pertumbuhan tanaman, sedangkan
kanopi tanamannya rendah (Nunez-Elisea &
Crane1998). Dalam kasus ini, dimungkinkan
kecepatan angin berpengaruh karena lokasi
tempat tumbuh yang terbuka dan besar
kanopinya kurang menghalangi angin,
sehingga bunga dan buah menjadi mudah
rontok.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa
Averrhoa leucopetala mempunyai bentuk
cyme sederhana (simple dichasium) yang
hanya terdapat satu sumbu infloresens.
Walaupun demikian, bunga-bunga tunggal
muncul secara bertahap, bahkan bunga
tunggal yang paling muda didapati muncul
ketika bunga tunggal yang paling tua sudah
memasuki fase buah. Hal ini mengkibatkan
dalam 1 infloresens bisa terjadi dua kali
musim bunga. Buah yang berhasil dihasilkan
dari 1 infloresens berjumlah 1-3 dengan
persen keberhasilan dari bunga yang bertahan
hingga fase ini sebesar 35.71%, tetapi hanya
10% yang bertahan hingga matang (Tabel 4).
Semua sampel pohon A. leucopetala
berada pada satu lokasi. Umur tanaman
kelima individu juga sama yaitu 11 tahun.
Grafik yang terbentuk pada spesies A.

leucopetala lebih statis daripada A.
dolichocarpa. Kisaran kandungan klorofil
terukur pada A. leucopetala lebih rendah dari
A. dolichocarpa. A. dolichocarpa berkisar
antara
26.56 sampai 40.72 Unit SPAD
sedangkan A. leucopetala antara 24.74 sampai
29.84 Unit SPAD. Hal ini kemungkinan
berhubungan dengan jumlah bunga yang
dihasilkan oleh A. leucopetala lebih sedikit
daripada A. dolichocarpa. Perbedaan tinggi
tanaman pada spesies A. leucopetala ini tidak
terlalu jauh yaitu berkisar (1.7–3) m. Faktor
lain yang mempengaruhi kemungkinan adalah
bentuk daun A. leucopetala yang lebih kecil
dengan warna yang lebih muda dan jumlah
daun daun tunggal pada tangkai daun
majemuk yang lebih sedikit daripada A.
dolichocarpa. Daun-daunnya yang terlalu
terpapar cahaya juga cepat mengalami
kerontokan dan kadang daun pengganti belum
cukup ideal untuk dijadikan sampel.
Kerontokan ini diakibatkan adaptasinya pada
kondisi lingkungan seperti cahaya dan angin.
Angin bisa menambah kecepatan transpirasi
dan menentukan elastisitas daun (Decoteu
2005). Kecepatan angin terukur paling besar
didapati ketika menjelang hujan bisa
mencapai 1.2 m/s.
Kandungan klorofil yang cukup tinggi
ditemui pada pengamatan ke-29 sebesar 28.73
Unit SPAD ketika banyak ditemui inisiasi
serta pembentukan buah dan pengamatan ke46 sebesar 29.84 Unit SPAD yang juga berada
pada fase pembentukan buah. Kandungan
klorofil yang cukup rendah ditemui pada
pengamatan ke 2, 16, dan 40 yang semuanya
berada pada fase pembentukan buah (Gambar
6) dengan kisaran kandungan klorofilnya
berturut-turut 25.24; 24.74; dan 25.26 Unit
SPAD (lampiran 6). Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa pada saat fase
pembentukan
buah
terjadi
kenaikan
kandungan klorofil yang cukup tinggi
meskipun awalnya berada pada titik yang
rendah saat bersamaan dengan fase inisiasi.
Tinggi rendahnya kandungan klorofil A.
leucopetala ini kemungkinan berhubungan
dengan besarnya kanopi dari kelima individu
yang agak berbeda dan ada sedikit penutupan
kanopi pohon lain yang lebih tinggi. Faktor
lingkungan penting yang mempengaruhi
fotosintesis adalah struktur kanopi karena
akan berpengaruh pada penyerapan cahaya
dan konversi energi (McDonald 2003).
Aktivitas bunga mekar pada A. leucopetala
terjadi sekitar pukul 04.00 malam sampai
06.00 pagi (Lampiran 3). Hal ini
menunjukkan bahwa bunga Averrhoa

12

memiliki sensitifitas pada kondisi suhu rendah
dan kondisi kelembaban di malam hari
menjelang pagi untuk merangsang aktivitas
bunga
mekar.
Berbeda
dengan
A
dolichocarpa, polinator pada spesies ini
paling aktif pada pagi hari sekitar pukul 06.00
hingga pukul 08.00 pagi. Hal ini
dimungkinkan
karena
A.
leucopetala
mempunyai bunga mekar untuk diserbuki
yang lebih sedikit dari A. dolichocarpa sesuai
bentuk infloresensnya. Warna bunga dari
kedua spesies ini juga berbeda sehingga
dimungkinkan menimbulkan ketertarikan pada
polinator yang agak berbeda pula. Hewan
yang diduga polinator antara lain lebah madu
dan Trigona sp., sedangkan 1 jenis semut,
serta ada pengunjung dari kelompok lalat
(Lampiran 4) diduga hanya sebagai
pengunjung.
Tingkat kerontokan bunga pada A.
leucopetala juga bisa dikatakan cukup tinggi
seperti halnya A. dolichocarpa. Kerontokan
bunga tertinggi dijumpai pada fase anthesis
sebesar 64.29%. Kerontokan yang terjadi pada
fase buah lebih tinggi lagi yakni sebesar 90%.
Model analisis regresi linier berganda tidak
signifikan, sehingga belum bisa menjelaskan
pengaruh
parameter
lingkungan
pada
kerontokannya. Namun, bukan berarti
parameter lingkungan tidak berpengaruh
karena bisa saja kondisi lingkungan berubahubah dalam satu hari di luar jam pengamatan.
Menurut Sugiartini & Soebagio (2007),
kerontokan bunga pada tanaman belimbing
biasanya terjadi pada kondisi iklim yang tidak
mendukung seperti musim kering panjang
dengan suhu udara yang sangat panas atau
intensitas hujan tinggi. Kerontokan bunga dan
buah belimbing juga bisa disebabkan oleh
hormon endogen seperti auksin dan giberelin
yang kurang optimal (Kurniawati 2008).
Hambatan perkembangan bunga pada
kedua spesies selain disebabkan oleh
kerontokan juga terjadi karena kekeringan
pada waktu inisiasi dan gagal membentuk
bunga. Kemungkinan hal ini disebabkan
kanopi pohon dan jumlah daun sebagai tempat
utama fotosintesis kurang optimal sehingga
kebutuhan nutrisi untuk perkembangan bunga
kurang tercukupi. Menurut Kinet et al. (1985)
kurang ketersediaannya karbohidrat ke bunga
bisa menghambat perkembangan bunga dan
mengakibatkan rontok kuncup. Keberhasilan
perkembangan bunga tertinggi kedua spesies
ditemui saat perkembangan dari kuncup besar
hingga anthesis. Hal ini disebabkan karena
waktu yang dibutuhkan untuk proses
perkembangan tersebut relatif cepat yaitu 1

hari sehingga tidak banyak mengalami
gangguan dari keadaan lingkungan yang
kurang mendukung.

SIMPULAN
Averrhoa dolichocarpa memiliki waktu
inisiasi infloresens selama (8-14) hari, fase
kuncup kecil bunga tunggal (11-15) hari, fase
kuncup besar 1 hari, fase anthesis 3 hari, dan
perkembangan buah selama (40-45) hari.
Tingkat kerontokan bunga cukup tinggi dan
faktor lingkungan yang paling berpengaruh
adalah kecepatan angin. Kandungan klorofil
sangat dinamis dan dipengaruhi oleh keadaan
lokasi dan besarnya kanopi tanaman.
Averrhoa leucopetala memiliki waktu
inisiasi infloresens selama (30-34) hari, fase
kuncup kecil (12-15) hari, kuncup besar 1
hari, anthesis 5 hari, dan perkembangan buah
(40-42) hari. Tingkat kerontokan bunga dan
buah cukup tinggi. Kandungan klorofil lebih
statis dan cenderung mengalami kenaikan
kandungan klorofil pada fase perkembangan
buah.

SARAN
Masih perlu diamati secara lebih detail
mengenai jenis polinator pada kedua spesies
belimbing hutan, pola perkembangan bunga
untuk infloresens, perkembangan biji dan
buahnya, serta uji viabilitas polen untuk
menentukan jumlah biji yang bisa terbentuk.

DAFTAR PUSTAKA
Abercrombie M, Hickman M, Johnson ML,
Thain M. 1997. Kamus Lengkap Biologi.
Ed ke-8. Sutarmi S, Sugiri N,
penerjemah.
Terjemahan
dari:
Dictionary of Biology.
Astuti IP, Rugayah. 2009. Averrhoa spp. di
Kebun Raya Bogor dan upaya
konservasinya. Di dalam: Kurniawan A,
Undaharta NKE, Wibawa IPAH, Tirta
IG, Sujarwo W, editor. Prosiding
Peranan Konservasi Flora Indonesia
dalam Mengatasi Dampak Pemanasan
Global; Bali, 14 Juli 2009. Jakarta: LIPI
Press. 2009. hlm 261-264.
Ausin I, Blanko CA, Miguei J, Zapater M.
2005. Environmental regulation of
flowering. Int J Dev Biol 49:689-705.
Castro MS. 2002. Bee fauna of some tropical
and exot