Kajian Stok Ikan Kuniran Upeneus moluccensis (Bleeker, 1855) di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten

KAJIAN STOK IKAN KUNIRAN Upeneus moluccensis
(Bleeker, 1855) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG
DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN

NURUL HIKMAH AMALIA

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kajian Stok Ikan
Kuniran Upeneus moluccensis (Bleeker, 1855) di Perairan Selat Sunda yang
didaratkan di PPP Labuan, Banten adalah benar merupakan hasil karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, Juni 2014

Nurul Hikmah Amalia
NIM C24100063

ABSTRAK
NURUL HIKMAH AMALIA. Kajian Stok Ikan Kuniran Upeneus moluccensis
(Bleeker, 1855) di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten.
Dibimbing oleh YONVITNER dan MENNOFATRIA BOER.
Ikan kuniran merupakan ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis
penting di perairan Selat Sunda dan merupakan salah satu ikan tangkapan dominan
yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Banten. Tingginya
permintaan terhadap ikan kuniran dapat menyebabkan populasi ikan ini menurun
akibat kegiatan penangkapan berlebihan yang dilakukan terus menerus. Penelitian
ini dilakukan untuk mengkaji stok ikan kuniran di perairan Selat Sunda guna
menentukan alternatif pengelolaan yang tepat dan berkelanjutan. Penelitian
dilakukan pada bulan Juni-Oktober 2013 dengan interval waktu pengambilan
contoh setiap lebih kurang 20 hari. Data primer yang dikumpulkan adalah panjang
total, bobot basah, TKG, jenis kelamin, dan bobot gonad melalui pembedahan ikan.

Ikan kuniran dominan tertangkap pada TKG I dan TKG II. Pola pertumbuhannya
bersifat allometrik negatif. Ikan kuniran betina memiliki memiliki nilai koefisien
pertumbuhan (0.17 per tahun) lebih besar dari jantan (0.13 per tahun), sehingga ikan
betina memiliki umur yang lebih panjang. Laju eksploitasi ikan kuniran total
mencapai 0.73, sehingga diduga telah terjadi tangkap lebih di perairan Selat Sunda.
Kata kunci: ikan kuniran, PPP Labuan, selat sunda, stok

ABSTRACT
NURUL HIKMAH AMALIA. Stock Assessment of Goldband Goat Fish Upeneus
moluccensis (Blekeer, 1855) in Sunda Strait which landed on PPP Labuan, Banten.
Supervised by YONVITNER and MENNOFATRIA BOER.
Goldband goat fish is a demersal fish that has an economically important
value in Sunda Strait and it is one of fish catches dominant ashore on PPP Labuan.
High of demand of this fish, it was feared that populations of fish will decline due
to man activities arrest conducted continously. So conducted a study to assess the
Goldband goat fish stock in gulf of Sunda Strait to determine the fish alternative
management more appropriate and sustainable. The study was conducted from
June to October 2013 with each sampling interval approximately 20 days. Primary
data collected were the total length, wet weight, gonad maturity, sex, and weight of
fish gonads surgically. Goldband goat fish were dominant caught gonad maturity I

and II. The growth pattern was allometric negative. Goldband goat fish female
have a growth coefficient (K) is 0.17 per year and for manly is taller 0.13 per year,
so females have a longer life. The rate of exploitation of goldband goat fish to 0.73
so that suspected goldband goat in Sunda Strait have overexploited.
Key words: goldband goat fish, PPP Labuan, stock, sunda strait

KAJIAN STOK IKAN KUNIRAN Upeneus moluccensis
(Bleeker, 1855) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG
DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN

NURUL HIKMAH AMALIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul skripsi : Kajian Stok Ikan Kuniran Upeneus moluccensis (Bleeker, 1855) di
Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten
Nama
: Nurul Hikmah Amalia
NIM
: C24100063
Program Studi : Manajemen Sumber Daya Perairan

Disetujui oleh

Dr Yonvitner, SPi MSi
Pembimbing I

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA
Pembimbing II


Diketahui oleh

Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya Penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Kajian Stok Ikan Kuniran Upeneus
moluccensis (Bleeker, 1855) di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP
Labuan, Banten”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana perikanan pada Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan studi kepada
Penulis.
2. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan

Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
DIPA IPB Tahun Ajaran 2013, kode Mak: 2013. 089. 521219, Penelitian
Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga
Penelitan dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul “Dinamika
Populasi dan Biologi Reproduksi Sumber daya Ikan Ekologis dan Ekonomis
Penting di Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten” yang dilaksanakan oleh
Prof Dr Ir Mennofatria Boer DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr Ir Rahmat
Kurnia MSi (sebagai anggota peneliti). Beasiswa PPA/BBM yang telah
membantu keuangan Penulis untuk menyelesaikan studi.
3. Ali Mashar, SPi MSi selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
motivasi selama perkuliahan.
4. Dr Yonvitner, SPi MSi serta Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, nasehat, dan saran untuk
Penulis dalam penulisan karya ilmiah ini.
5. Prof Dr Ir M F Rahardjo selaku penguji tamu dan Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi
selaku komisi pendidikan Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan
atas saran dan masukan yang sangat berarti.
6. Keluarga Penulis Ibu Farida, Bapak Drs H Muhamad HAR, Adik
Fajriyansyah dan Inayah Salwa Amalia yang telah memberikan banyak
motivasi, doa dan dukungan kepada Penulis baik moril maupun materil.

7. Joel Septiadi atas doa, motivasi dan dukungannya kepada Penulis selama
kuliah di IPB.
8. Sahabat Penulis (Rosilia, Dini, Andini, Runi, Yusron, Adek, dan Novan),
Asisten Bioper 2014, dan teman seperjuangan penelitian BOPTN Labuan,
atas semangat, dukungan, dan doa kepada Penulis.
Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Nurul Hikmah Amalia

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan
Manfaat

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vii
vii
vii
1
1

2
2
2
2
3
10
18
22
23
23
25
36

DAFTAR TABEL
1 Penentuan TKG secara morfologi (Cassie in Effendie 2002)
2 Rasio kelamin berdasarkan waktu pengambilan contoh
3 Parameter pertumbuhan ikan kuniran berdasarkan model von
Bertalanffy
4 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kuniran di PPP Labuan,
Banten

5 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip)
6 Parameter pertumbuhan dari beberapa hasil penelitian

4
11
15
17
17
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

10

Peta lokasi penelitian
Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan kuniran betina
Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan kuniran jantan
Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kuniran betina
Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kuniran jantan
Hubungan panjang bobot ikan kuniran betina
Hubungan panjang bobot ikan kuniran jantan
Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan kuniran betina
Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan kuniran jantan
Model produksi surplus dengan pendekatan model Fox

3
11
12
13
14
15
15
16
16
18

DAFTAR LAMPIRAN
Uji Chi-square terhadap proporsi kelamin ikan kuniran
tingkat kematangan gonad ikan kuniran betina
Tingkat kematangan gonad ikan kuniran jantan
Ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran
Dugaan kelompok umur ikan kuniran betina dan jantan
Hubungan panjang dan bobot ikan kuniran
Pendugaan parameter pertumbuhan ikan kuniran
Proses penentuan laju mortalitas (Z) melalui kurva
yang dilinierkan berdasarkan data panjang
9 Pendugaan mortalitas ikan kuniran
10 Model produksi surplus
11 Standarisasi alat tangkap
1
2
3
4
5
6
7
8

26
26
27
27
28
28
29
30
32
34
35

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan kuniran (Upeneus moluccensis) merupakan ikan dominan yang
ditangkap di perairan Selat Sunda dan didaratkan di Pelabuhan Perikanan
Pantai (PPP) Labuan, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi
Banten. Hal ini dibuktikan dengan hasil tangkapan ikan kuniran yang selalu
meningkat setiap tahun sebesar lebih kurang 2000 ton tiap tahunnya. Pada
tahun 2013 hasil tangkapannya turun menjadi 1076 ton, walaupun masih 16%
dari jumlah tangkapan total (DKP Pandeglang 2013). Penangkapan ikan
kuniran dilakukan setiap hari sepanjang tahun.
Ikan kuniran merupakan ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis
penting disertai permintaan yang terus meningkat. Hal ini menjadikan ikan
kuniran sebagai salah satu target utama penangkapan nelayan. Permintaan
ikan kuniran meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam bentuk segar maupun
yang telah diolah. Pemanfaatan dan eksploitasi yang tinggi terhadap ikan
kuniran mengakibatkan stok ikan kuniran di perairan Selat Sunda terus
menurun. Hal yang telah disebutkan menjadi dasar perlunya pengkajian
mengenai stok ikan kuniran di perairan Selat Sunda untuk menjadi salah satu
faktor pertimbangan utama dalam menetapkan strategi pengelolaan perikanan.
Oleh karena itu, penelitian mengenai sumber daya ikan khususnya stok ikan
kuniran penting dilakukan untuk mengetahui informasi sumber daya ikan
kuniran yang terdapat di perairan Indonesia, khususnya di perairan Selat
Sunda.

Perumusan Masalah
Ikan kuniran (Upeneus moluccensis) merupakan salah satu ikan bernilai
ekonomis penting yang mempunyai potensi cukup tinggi bagi kesejahteraan
masyarakat. Kegiatan penangkapan terhadap ikan kuniran yang tinggi dapat
mengakibatkan penurunan stok ikan kuniran di perairan Selat Sunda yang
berujung pada penurunan pendapatan nelayan. Tingginya penangkapan
terhadap ikan kuniran dibuktikan dengan melimpahnya hasil penangkapan.
Hasil tangkapan tersebut didominasi oleh ikan-ikan berukuran kecil.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fadlian (2012), ikan kuniran di
perairan Selat Sunda diindikasikan mengalami tekanan penangkapan. Hal ini
terlihat dari laju eksploitasi yang telah melebihi laju eksploitasi optimumnya.
Selain itu, penggunaan alat tangkap yang tidak selektif menyebabkan ikan
dengan ukuran kecil serta ikan yang belum matang gonad ikut tertangkap.
Ikan-ikan masih muda yang ikut tertangkap mengindikasikan bahwa ikan
kuniran telah mengalami growth overfishing. Kegiatan pelayaran di Selat
Sunda dapat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan yang dapat
mempengaruhi populasi ikan kuniran di perairan Selat Sunda (Amri 2008).
Realita ini memerlukan adanya pengkajian stok ikan kuniran agar
pemanfaatan sumber daya yang lestari dan berkelanjutan dapat tercapai.

2

Salah satu model pendugaan stok ikan yang dapat digunakan adalah model
analisys length frequency. Data yang digunakan pada model analisys length
frequency adalah data panjang dan bobot ikan. Berdasarkan model tersebut,
dapat diketahui parameter pertumbuhan ikan di antaranya, distribusi
frekuensi panjang, pola pertumbuhan, laju mortalitas dan laju eksploitasi.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi stok ikan kuniran
(Upeneus moluccensis) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP
Labuan, Banten.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa informasi terkait
kondisi stok ikan kuniran sehingga dapat dijadikan sebagai dasar
pertimbangan dalam pengelolaan ikan kuniran secara berkelanjutan.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan contoh ikan kuniran dilakukan di PPP Labuan,
Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Data yang
digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Pengambilan contoh data primer dilakukan sebanyak tujuh kali, dimulai pada
Bulan Juni 2013 hingga Oktober 2013 dengan interval waktu pengambilan
contoh lebih kurang 20 hari. Analisis data dilakukan di Laboratorium Biologi
Perikanan, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data
sekunder dilakukan selama penelitian berlangsung. Gambar 1 menunjukkan
lokasi penelitian dan daerah penangkapan dari ikan yang didaratkan.

Pengumpulan Data
Data primer meliputi panjang ikan total (mm), bobot ikan (gram),
jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad (TKG). Pengambilan contoh
ikan dilakukan dengan metode pengambilan contoh acak sederhana (PCAS)
dari ikan kuniran yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. Jumlah ikan
contoh yang diambil 30-100 ekor ikan setiap pengambilan contoh. Panjang
ikan kuniran yang diukur adalah panjang total ikan menggunakan penggaris.
Bobot ikan kuniran yang diukur adalah bobot basah total tubuh ikan
menggunakan timbangan digital. Analisis jenis kelamin dan tingkat

3

kematangan gonad (TKG) dapat diketahui dengan membedah ikan kuniran
tersebut dan mengamati gonad ikan secara morfologi yang dilakukan di
Laboratorium Biologi Perikanan, Bagian Manajemen Sumber Daya
Perikanan, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian
Data sekunder didapatkan selama penelitian berlangsung dengan
mengumpulkan data arsip statistik produksi ikan dan data upaya alat tangkap
di kantor pengelola PPP Labuan Banten, Kementerian Kelautan dan
Perikanan Kabupaten dan Provinsi Banten. Informasi lainnya diperoleh
melalui wawancara nelayan dan penduduk sekitar PPP Labuan.

Analisis Data

Rasio Kelamin
Rasio kelamin adalah perbandingan jumlah frekuensi ikan kuniran
jantan dan betina dalam suatu populasi. Rasio jantan betina ini dapat dihitung
menggunakan rumus (Effendie 2002).
A

p = x 100%
B

(1)

p adalah rasio kelamin (jantan atau betina), A adalah jumlah jenis ikan
tertentu (jantan atau betina), dan B adalah jumlah total individu ikan yang ada
(ekor). Hubungan rasio antara jantan dan betina dalam suatu populasi dapat
diuji melalui uji Chi-square (� :

4

� =

∑ � −�� 2
��

(2)

� adalah nilai peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mengikuti
sebaran khi kuadrat (Chi-square), oi adalah frekuensi ikan jantan dan betina
yang diamati dan ei adalah frekuensi harapan ikan jantan dan betina.

Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 2002). Penentuan tingkat
kematangan gonad ikan kuniran ditentukan secara morfologi menggunakan
klasifikasi dari modifikasi Cassie pada Tabel 1. Data yang dibutuhkan dalam
tingkat kematangan gonad adalah ukuran gonad dan bentuk morfologi gonad.
Tahap-tahap perkembangan gonad ikan ditentukan secara morfologi yang
merupakan modifikasi dari Cassie in Effendie (2002) (Tabel 1).
Tabel 1 Penentuan TKG secara morfologi (Cassie in Effendie 2002)
TKG
I

Betina
Jantan
Ovari seperti benang, panjang Testes seperti benang, warna
sampai depan rongga tubuh, jernih, dan ujungnya terlihat di
permukaannya licin
rongga tubuh

II

Ukuran ovari lebih besar. Ukuran testes lebih
Warna ovari kekuningang, dan pewarnaan seperti susu
telur belum terlihat jelas

III

Ovari berwarna kuning dan Permukaan
testes
tampak
secara morfologi telur mulai bergerigi, warna makin putih dan
terlihat
ukuran makin besar

IV

Ovari makin besar, telur Dalam keadaan diawet mudah
berwarna
kuning,
mudah putus, testes semakin pejal
dipisahkan. Butir minyak tidak
tampak,
mengisi
1/2-2/3
rongga perut

V

Ovari berkerut, dinding tebal, Testes bagian belakang kempis
butir telur sisa terdapat didekat dan dibagian dekat pelepasan
pelepasan
masih berisi

besar

5

Ukuran Pertama Kali Matang Gonad
Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan kuniran
yang pertama kali matang gonad adalah metode Spearman-Karber (Udupa
1986):
m= [

x

+

2

] − (x ∑ pi )

(3)

sehingga,
M = antilog m

dan selang kepercayaan 95% bagi log M dibatasi sebagai:
=

��

(

± 1.96 √



� �



)

(4)

m adalah log panjang ikan pada kematangan gonad pertama, adalah log
nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x adalah
log pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang
gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i,
ni adalah jumlah ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, dan M adalah
panjang ikan pertama kali matang gonad.

Sebaran Frekuensi Panjang dan Identifikasi Kelompok Umur
Sebaran frekuensi panjang ditentukan dengan menggunakan data
panjang total ikan kuniran (Upeneus moluccensis). Data panjang ikan
kuniran dikelompokkan ke dalam beberapa kelas panjang, sehingga setiap
kelas panjang ke-i memiliki frekuensi (fi). Identifikasi kelompok umur
dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang melalui metode
NORMSEP (Normal Separation) (FISAT II, FAO-ICLARM Stock
Assesment Tool). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam
beberapa kelompok umur yang menyebar dengan nilai rata-rata panjang dan
simpangan baku pada masing-masing kelompok umur (Gayanilo et al. 1994
in Oktaviyani 2013). Menurut Boer (1996), jika fi adalah frekuensi ikan
dalam kelas panjang ke-i (i = 1, 2, ..., N), µ j adalah rata-rata panjang kelompok
umur ke-j dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j= 1, 2, ...,
G), maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {µ j, σj, pj} adalah
fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function):

dan

∑�=

=∑=

qij =

1
σj √2π

-

e

1 xi -μj
2 σj

(5)

2

(6)

6

yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah µ j dan
simpangan baku σj, xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif
L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing
terhadap µ j, σj dan pj, sehingga diperoleh dugaan µ j, σj, dan pj yang akan
digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

Hubungan Panjang Bobot
Analisis hubungan panjang-bobot ikan kuniran dihitung menggunakan
rumus yang umum sebagai berikut (Effendie 2002).
W = aLb

(7)

W adalah bobot (gram), L adalah panjang (mm), a adalah konstanta dan b
adalah penduga pola hubungan panjang-bobot. Rumus umum tersebut bila
ditransformasikan ke dalam logaritma, akan diperoleh persamaan:
Log W = Log a + b Log L

(8)

Penduga a dan b yang digunakan diperoleh dari analisis regresi dengan
Log W sebagai ordinat (y) dan Log L sebagai absis (x), sehingga didapatkan
persamaan regresi:
yi = β0 +β1 X +εi
i

(9)

sebagai model observasi dan
ŷi =b0 +b1 xi
sebagai model dugaan.
Konstan b1 diduga dengan:
b1 =

1
n
2
1
∑ni=1 xi 2 - (∑ni=1 xi )
n

∑ni=1 xi yi - ∑ni=1 xi ∑ni=1 yi

dan konstanta
b0 = ̅-b
y 1 x̅

(10)

(11)

diduga dengan:
(12)

sedangkan a dan b diperoleh melalui hubungan b = b1 dan a = 10b0 .
Hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b
(sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan kedua parameter), yaitu
dengan hipotesis:
1. Bila � = 3, dikatakan ikan tersebut memiliki hubungan isometrik (pola
pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot) atau
pertumbuhan bobot sebanding dengan pertambahan panjangnya.

7

2. Bila � ≠ 3, dikatakan memiliki hubungan allometrik, yaitu pola
pertumbuhan allometrik ada dua macam, yaitu allometrik positif (b>3)
yang mengindikasikan pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan
dengan pertumbuhan panjang dan allometrik negatif (b ttabel, maka hipotesis nol (H0) dapat ditolak,
sehingga pola pertumbuhan allometrik. Jika thitung < ttabel, maka hipotesis nol
(H0) gagal ditolak, sehingga pola pertumbuhan isometrik (Walpole 1995).

Parameter Pertumbuhan
Pertumbuhan dapat diduga dengan menggunakan model pertumbuhan
von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999).
Lt =L∞ [1-e-K t-t0 ]

(15)

Lt+1 =L∞ (1-e-K t+1-t0 )

(16)

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan � dan L∞ dilakukan dengan
menggunakan metode Ford Wallford yang diturunkan dari model von
Bertalanffy untuk t sama dengan t+1, sehingga persamaannya menjadi:

Lt+1 adalah panjang ikan pada saat umur t+1 (satuan waktu), L∞ adalah
panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien
pertumbuhan (persatuan waktu), dan t0 adalah umur teoritis pada saat panjang
ikan sama dengan nol. Kedua rumus di atas disubstitusikan dan diperoleh
persamaan:

atau:

Lt+1 -Lt =[L∞ -Lt ][1-e-K ]

(17)

Lt+1 =L∞ [1-e-K ]+Lt e-K

(18)

8

Persamaan terakhir di atas diduga dengan persamaan regresi linier = +
, dengan Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y)
sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong
dengan absis sama dengan L∞[1 – e-K]. Dengan demikian, nilai K dan L∞
diperoleh dengan cara:
K= - ln b1

(19)

dan
b

L∞ = 1-b0

(20)

1

Adapun dugaan untuk nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama
dengan nol) diperoleh melalui persamaan Pauly (1984):
log -t0 = 0.3922 - 0.2752 logL∞ - 1.038 log K

(21)

Keterangan:
t0
: Umur ikan pada saat panjang ikan 0
L∞
: Panjang asimtotik ikan (mm)
K
: Koefisien laju pertumbuhan (mm/satuan waktu)

Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Menurut Sparre dan Venema (1999) parameter mortalitas meliputi
mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan mortalitas total (Z).
Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan
berdasarkan data panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:
ln

C (L1 +L2 )
∆t L1 ,L 2

=h–Zt

L1 +L2

(22)

2

Persamaan (22) diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y = b0+b1x,
C (L1 +L2 )
L +L
dengan y = ln
sebagai ordinat, x = 1 2 sebagai absis, dan Z = -b1
∆t L1 ,L 2

2

(Lampiran 8). Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linier dengan
kemiringan (b) = -Z. Laju mortalitas alami (M) dapat diduga dengan
menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999)
sebagai berikut.
Ln M= - 0.152 - 0.279 Ln L∞ +0.6543 Ln K +0.463 Ln T
M = 0.8 e-0.152-0.279 Ln L∞ +0.6543 Ln K+0.463 Ln T

(23)

(24)
L∞ adalah panjang asimtotik (mm), K adalah koefisien pertumbuhan dari
persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, dan T adalah rata-rata suhu
permukaan air (⁰ C). Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan:

9

F=Z–M

(25)

Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan
(F) dengan mortalitas total (Z) Pauly (1984):
E=

F

=

F+M

F
Z

(26)

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut
Gulland (1971):
F optimum = M sehingga E optimum = 0.5

(27)

Model Produksi Surplus
Pendugaan potensi ikan kuniran dapat diduga dengan model produksi
surplus Schaefer dan Fox yang menganalisis hasil tangkapan (catch) dan
upaya penangkapan (effort). Model ini dapat diterapkan apabila diketahui
dengan baik hasil tangkapan per unit upaya tangkap (CPUE) atau berdasarkan
spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya
penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang
dicakup (Sparre dan Venema 1999). Tingkat upaya penangkapan optimun
( � ) dan tangkapan maksimum lestari (MSY) dapat diduga melalui
persamaan:
ct
ft

= a-bft

(28)

dan
c

ln f t = a-bft
t

(29)

masing-masing untuk model Schaefer dan model Fox, sehingga diperoleh
dugaan fMSY untuk Schaefer dan Fox adalah:
fMSY =

a
2b

(30)

dan
fMSY =

1

(31)

b

dan MSY masing-masing untuk Schaefer dan Fox:
MSY =


4b

(32)

10

dan
1

MSY = e(a-1)
b
Keterangan:
a
: Perpotongan
b
: Kemiringan
e
: Exponen
��
: Hasil tangkapan (ton)
: Upaya tangkap (trip)


(33)

Selanjutnya dilakukan pembandingan nilai koefisien determinasi (R2)
dan nilai koefisien korelasi (r) dari kedua model tersebut. Model yang akan
digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi dan determinasi yang
lebih tinggi.
Berdasarkan MSY dari model yang dipilih ditentukan potensi lestari
(PL) ikan kuniran.
Selanjutnya ditentukan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan atau total allowable catch (TAC) dan tingkat pemanfaatan
sumber daya ikan dapat ditentukan dengan analisis produksi surplus dan
berdasarkan prinsip kehati-hatian Syamsiah (2010) sebagai berikut.
PL = 90% x MSY

(34)

sehingga dapat ditentukan:
TAC = 80% x PL

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Rasio Kelamin
Rasio kelamin adalah perbandingan jenis kelamin jantan dan betina.
Penentuan jenis kelamin dilakukan secara morfologi. Kestabilan populasi
ikan yang ada di alam dapat diketahui dengan cara menghitung nisbah
kelamin atau proporsi jenis kelamin. Tabel 2 memperlihatkan rasio kelamin
dari ikan kuniran pada setiap pengambilan contoh.
Tabel 2 menunjukkan bahwa secara total ataupun berdasarkan setiap
pengambilan contoh, jumlah ikan kuniran jantan lebih besar dari ikan betina.
Perbandingan antara ikan kuniran jantan dengan ikan kuniran betina, yaitu
1.5: 1 atau 60%:40%. Setelah dilakukan uji Chi-square pada selang
kepercayaan 95% diperoleh hasil perbandingan ikan kuniran jantan dan ikan
kuniran betina dalam suatu populasi yang tidak seimbang (Lampiran 1).

11

Tabel 2 Rasio kelamin ikan kuniran berdasarkan waktu pengambilan
contoh
Tanggal pengamatan
07-Jul-13
27-Jul-13
16-Ags-13
06-Sep-13
26-Sep-13
13-Okt-13

Jumlah
Betina
Jantan
26
1
31
37
64
79
15
41
49
66
25
88
210
312

Ratio
Betina
Jantan
26
1
1
1,2
1
1,2
1
2,7
1
1,3
1
3,5

n
27
68
143
56
115
113
522

Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 2002). Pada Gambar 2 dan 3
disajikan grafik tingkat kematangan gonad (TKG) ikan kuniran betina dan
jantan pada setiap pengambilan contoh berdasarkan selang kelas panjang ikan
(Lampiran 2 dan 3).
Gambar 2 menggambarkan bahwa ikan kuniran betina TKG II hampir
ada pada semua selang kelas. Sedangkan pada ikan kuniran jantan (Gambar
3) dominan tertangkap pada TKG I dan II di setiap selang kelas. Ikan kuniran
betina yang matang gonad tertangkap pada selang kelas 105-189 (Gambar 2),
sedangkan untuk ikan kuniran jantan pada selang kelas 107-181 (Gambar 3)
tertangkap ikan yang sedang matang gonad.
100%
80%
70%
60%
50%

TKG IV

40%

TKG III

30%

TKG II

20%
TKG I

10%
0%

85-89
90-94
95-99
100-104
105-109
110-114
115-119
120-124
125-129
130-134
135-139
140-144
145-149
150-154
155-159
160-164
165-169
170-174
175-179
180-184
185-189

frekuensi relatif (%)

90%

selang kelas (mm)
Gambar 2 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan kuniran betina

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

TKG IV
TKG III
TKG II
TKG I
87-91
92-96
97-101
102-106
107-111
112-116
117-121
122-126
127-131
132-136
137-141
142-146
147-151
152-156
157-161
162-166
167-171
172-176
177-181

frekuensi relatif (%)

12

selang kelas (mm)
Gambar 3 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan kuniran jantan

Kelompok Umur
Analisis kelompok umur dilakukan berdasarkan distribusi frekuensi
panjang total dari ikan yang diamati pada setiap waktu pengambilan contoh.
Analisis sebaran frekuensi panjang dapat digunakan untuk menduga umur
ikan dan kelompok umur ikan. Hal ini disebabkan frekuensi panjang ikan
tertentu menggambarkan umur yang sama dan cenderung membentuk sebaran
normal.
Berdasarkan Gambar 4 dan 5 diketahui adanya pergeseran kelompok
umur pada ikan kuniran betina dan jantan pada bulan Juli-Agustus.
Pergeseran kelompok umur ke arah kanan menandakan terjadinya
pertumbuhan pada ikan kuniran betina dan jantan (Lampiran 5).

Hubungan Panjang dan Bobot
Analisis hubungan panjang bobot digunakan untuk menduga pola
pertumbuhan suatu organisme. Gambar 6 dan 7 menyajikan hasil analisis
hubungan panjang dan bobot ikan kuniran betina dan jantan (Lampiran 6).
Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang bobot ikan kuniran,
diketahui bahwa ikan kuniran betina memiliki persamaan W = 0.00002L2.971,
sedangkan untuk ikan kuniran jantan memiliki persamaan W = 0.00003L2.809.

15
10
5
0
87
92
97
102
107
112
117
122
127
132
137
142
147
152
157
162
167
172
177
182
187

07-Jul-13
n = 26

Panjang (mm)

Panjang (mm)

87
92
97
102
107
112
117
122
127
132
137
142
147
152
157
162
167
172
177
182
187

28-Jul-13
n = 31

16-Agus-13
n = 64

87
92
97
102
107
112
117
122
127
132
137
142
147
152
157
162
167
172
177
182
187

Frekuensi (ind)

15
10
5
0

15
10
5
0

Panjang (mm)

Panjang (mm)

Panjang (mm)

87
92
97
102
107
112
117
122
127
132
137
142
147
152
157
162
167
172
177
182
187

5-Sep-13
n = 15

28-Sep-13
n = 49

13-Okt-13
n = 25

87
92
97
102
107
112
117
122
127
132
137
142
147
152
157
162
167
172
177
182
187

Frekuensi (ind)

Frekuensi (ind)

15
10
5
0

15
10
5
0

15
10
5
0

Panjang (mm)

Gambar 4 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kuniran betina

87
92
97
102
107
112
117
122
127
132
137
142
147
152
157
162
167
172
177
182
187

Frekuensi (ind)

Frekuensi (ind)

Frekuensi (ind)

13

14

Frekuensi (ind)

Frekuensi (ind)

Frekuensi (ind)

Frekuensi (ind)

Frekuensi (ind)
10

07-Jul-13
n=1

Panjang (mm)

28 -Jul-13
n = 37

89
94
99
104
109
114
119
124
129
134
139
144
149
154
159
164
169
174
179

5

0

30

20

Panjang (mm)

16-Agus-13
n = 79

89
94
99
104
109
114
119
124
129
134
139
144
149
154
159
164
169
174
179

10

0

30

20

Panjang (mm)

05-Sep-13
n = 41

89
94
99
104
109
114
119
124
129
134
139
144
149
154
159
164
169
174
179

10

0

30

20

Panjang (mm)

28-Sep-13
n = 66

89
94
99
104
109
114
119
124
129
134
139
144
149
154
159
164
169
174
179

10

0

30

20

Panjang (mm)

13-Okt-13
n = 88

89
94
99
104
109
114
119
124
129
134
139
144
149
154
159
164
169
174
179

10

0

30

20

89
94
99
104
109
114
119
124
129
134
139
144
149
154
159
164
169
174
179

10

0

Panjang (mm)

Gambar 5 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kuniran jantan

Frekuensi (ind)

15

Bobot (gram)

100

W = 0.00002L2.971
R² = 90.60%

80
60
40
20
0
0

50

100

150

200

Panjang (mm)
Gambar 6 Hubungan panjang bobot ikan kuniran betina

Bobot (gtam)

200

W = 0.00003L2.809
R² = 86.30%

150
100
50
0
0

50

100

150

200

250

Panjang (mm)
Gambar 7 Hubungan panjang bobot ikan kuniran jantan

Parameter Pertumbuhan
Hasil analisis parameter pertumbuhan terhadap ikan kuniran
mencakup koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik atau panjang yang
tidak dapat dicapai oleh ikan (L∞) dan umur teoritik ikan pada saat panjang
ikan nol (t0) dapat dilihat pada Tabel 3 (Lampiran 7).
Tabel 3 Parameter pertumbuhan ikan kuniran berdasarkan model von
Bertalanffy
Parameter Pertumbuhan
Betina
Jantan
L∞ (mm)
195.33
202.92
K (tahun)
0.17
0.13
t0
-0.59
-0.76
Persamaan pertumbuhan model von Bertalanffy untuk ikan kuniran
betina berdasarkan Tabel 3 adalah Lt = 195.33 (1-e -0.17(t+059)) dan untuk ikan
kuniran jantan adalah Lt = 202.92 (1- e -0.13(t+0.76)). Kurva pertumbuhan von

16

Bertalanffy ikan kuniran betina dan ikan kuniran jantan disajikan pada
Gambar 8 dan 9.
200

Lt (mm)

150
Lt = 195.33 (1- e -0.17(t+0.59))

100
50
0
-1

1

3

5

7

9
11 13 15 17 19
t (tahun)
Gambar 8 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan kuniran betina
200

Lt (mm)

150
Lt = 202.92 (1- e -0.13(t+0.76))

100
50
0
-1

1

3

5

7

9
11
t (tahun)

13

15

17

19

Gambar 9 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan kuniran jantan

Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan kuniran dilakukan
dengan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang
(Lampiran 8). Informasi mengenai laju mortalitas dan laju eksploitasi
disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa nilai mortalitas penangkapan
ikan kuniran jantan dan betina lebih besar dari nilai mortalitas alami. Laju
eksploitasi ikan kuniran jantan dan betina, masing-masing sebesar 0.73 dan
0.70 (Lampiran 9).

17

Tabel 4 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kuniran di PPP Labuan, Banten
Nilai (per bulan)
Jantan
Betina
0.56
0.57
0.20
0.24
0.76
0.81
0.73
0.70

Parameter
Mortalitas Penangkapan (F)
Mortalitas Alami (M)
Mortalitas Total (Z)
Eksploitasi (E)

Model Produksi Surplus
Model produksi surplus digunakan untuk menentukan upaya
optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu tangkapan
maksimum lestari. Data hasil tangkapan ikan kuniran dan upaya penangkapan
disajikan pada Tabel 5 (DKP Kabupaten Pandeglang 2013).
Berdasarkan Tabel 5, hasil tangkapan ikan kuniran mengalami
fluktuasi dengan upaya penangkapan yang terus meningkat mulai dari tahun
2009 (Lampiran 10). Hasil tangkapan ikan kuniran tertinggi terjadi pada
tahun 2004, yaitu 1871 ton dengan upaya penangkapan 502 trip. Terendah
terjadi pada tahun 2013, yaitu 1076.2 ton dengan upaya penangkapan 1088.83
trip. Analisis potensi sumber daya ikan kuniran menggunakan model Fox.
Tabel 5 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip)
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

Hasil Tangkapan (ton)
1661.80
1871.00
1274.70
1211.50
1332.00
1486.60
1389.40
1238.40
1204.20
1456.40
1076.20

Upaya (trip)
838.73
502.73
510.57
327.00
339.63
327.97
1172.77
1111.76
1117.25
1275.15
1088.83

18

MSY dan Fmsy
Hasil Tangkap
Hasil Tangkapan per

Hasil tangkapan (ton)

1500
1000

500
0
0

1000

2000
3000
Upaya (trip)

4000

Gambar 10 Model produksi surplus dengan pendekatan model Fox
Hasil analisis menunjukkan bahwa model produksi surplus ikan
kuniran dengan menggunakan pendekatan model Fox memiliki koefisien
determinasi (R2) sebesar 94%. Pada pendekatan model ini diperoleh upaya
penangkapan optimum (fmsy) ikan kuniran sebanyak 646 trip per tahun dengan
nilai MSY 1589 ton per tahun dan jumlah tangkapan ikan kuniran yang
diperbolehkan atau total allowable catch (TAC) sebesar 1144 ton per tahun.

Pembahasan

Rasio Kelamin
Perbandingan antara ikan kuniran betina dan jantan secara
keseluruhan adalah 1:1.5. Ikan kuniran jantan yang tertangkap di perairan
Selat Sunda lebih banyak dibandingkan dengan ikan kuniran betina. Setelah
dilakukan uji Chi-square diperoleh hasil bahwa proporsi ikan kuniran dalam
keadaan yang tidak seimbang. Hal ini serupa dengan penelitian yang
dilakukan Husna (2012) di perairan Selat Sunda yang menghasilkan
perbandingan 1:1.25. Variasi dalam rasio kelamin sering terjadi akibat
adanya 3 faktor, yaitu perbedaan pola tingkah laku, perbedaan laju mortalitas,
dan laju pertumbuhan antara ikan jantan dan betina (Effendie 1997).
Sementara menurut Ismen (2005) perbedaan pada rasio jenis kelamin terjadi
karena adanya perbedaan panjang (atau usia), kematangan seksual dan
perbedaan dalam distribusi panjang akibat perbedaan kedalaman (Ismen
2005).
Martasuganda et al. (1986) in Susilawati (2000) menyatakan bahwa
perbandingan ikan jantan dan betina dalam suatu populasi diharapkan dalam
keadaan yang seimbang, yaitu 1:1. Menurut Wahyuno et al. (1983), apabila
jantan dan betina dalam keadaan seimbang atau betina lebih banyak dapat
diartikan bahwa populasi tersebut masih ideal untuk mempertahankan
kelestarian.

19

Tingkat Kematangan Gonad
Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk
mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan
yang tidak melakukan reproduksi (Affandi et al. 2007). Berdasarkan hasil
perhitungan dengan metode Sperman Karber (Udupa 1986), dugaan ukuran
pertama kali matang gonad (Lm) ikan berada pada ukuran 130.75-143.37 mm
untuk betina dan 120.58-146.40 untuk jantan (Lampiran 4). Pada penelitian
Husna (2012) tercatat ukuran pertama kali ikan kuniran matang gonad untuk
betina sebesar 144 mm dan jantan sebesar 159 mm. Sementara ukuran
pertama kali matang gonad untuk ikan Upeneus sulphureus di perairan Utara
Jawa, untuk ikan jantan pada ukuran panjang 115 mm dan ikan betina pada
ukuran panjang 120 mm (Herianti dan Subani 1993). Ukuran waktu pertama
kali matang gonad bervariasi antarspesies dan di dalam spesies (Udupa 1986),
di antaranya disebabkan oleh perbedaan kecepatan adaptasi ikan (Busing
1987 in Susilawati 2000), serta adanya perbedaan kondisi perairan. Pada
suatu pengusahaan perikanan seharusnya membiarkan sebagian ikan-ikan
dengan panjang yang sama atau lebih besar dari Lm untuk melakukan
reproduksi, agar tidak mengganggu proses perkembangbiakan yang dapat
membahayakan kelestarian sumber daya (Brojo dan Sari 2002).

Sebaran Frekuensi Panjang dan Identifikasi Kelompok Umur
Frekuensi panjang ikan kuniran total menyebar dari selang kelas
panjang 85-185 mm. Apabila dibandingkan dengan penelitian Saputra et al.
(2009), panjang ikan kuniran total yang tertangkap di perairan Selat Sunda
berkisar antara 82-268 mm. Perbedaan ukuran panjang ikan yang tertangkap
dapat disebabkan oleh waktu dan lokasi pengambilan contoh yang
berpengaruh terhadap kemampuan pertumbuhan ikan di perairan tersebut.
Menurut Boer (1996), penggunaan histogram frekuensi panjang sering
dianggap teknik yang paling sederhana diterapkan untuk mengetahui
tingkatan stok ikan, tetapi yang perlu dicatat bahwa struktur data panjang
sangat bervariasi tergantung letaknya, baik secara geografis, habitat, maupun
tingkah laku. Spesies ikan yang sama tapi hidup pada lokasi perairan yang
berbeda akan mengalami pertumbuhan yang berbeda pula karena adanya
faktor dalam dan faktor luar. Menurut Effendie (2002), faktor dalam adalah
faktor yang umumnya tidak dapat dikontrol seperti keturunan, jenis kelamin,
umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar utama yang mempengaruhi
pertumbuhan ikan, yaitu perbedaan suhu dan ketersediaan makanan.
Analisis kelompok umur dilakukan untuk melihat perubahan rata-rata
panjang ikan pada setiap pengambilan contoh. Pada Gambar 4 dan 5 terlihat
adanya pergeseran kurva ke arah kanan yang menunjukkan adanya
pertumbuhan pada ikan kuniran jantan dan betina. Pada akhir bulan
September memiliki ukuran panjang yang kecil, dapat dikatakan bahwa ikan
kuniran usia muda tertangkap oleh nelayan. Menurut Handoyo (1991) in
Prahardina (2013), penangkapan ikan pada usia muda sangat mempengaruhi
stok dari sumber daya ikan tersebut.

20

Hubungan Panjang dan Bobot
Terdapat dua model matematik yang dapat digunakan untuk menduga
suatu pertumbuhan, yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model
yang berhubungan dengan panjang (Effendie 2002). Pada penelitian ini
hampir keseluruhan ikan kuniran, baik jantan maupun betina memiliki tipe
pertumbuhan allometrik negatif. Analisis hubungan panjang dan bobot pada
ikan kuniran betina menghasilkan nilai b sebesar 2.971, sedangkan untuk ikan
jantan menghasilkan nilai b sebesar 2.809. Nilai konstanta b dipengaruhi oleh
tingkat perkembangan ontogenik, seperti perbedaan umur, tingkat
kematangan gonad, dan jenis kelamin (Dulcic et al. in Kunto 2005). Tipe
pertumbuhan allometrik negatif menandakan bahwa pertambahan panjang
lebih dominan dibandingkan pertambahan bobot. Penelitian ini serupa
dengan penelitian yang telah dilakukan Ruth (2011) yang menyebutkan
bahwa ikan kuniran memiliki tipe pertumbuhan allometrik negatif.

Parameter Pertumbuhan
Parameter pertumbuhan diduga dengan menggunakan metode Ford
Walford. Data panjang yang digunakan diperoleh dari hasil analisis metode
NORMSEP dalam program FISAT II. Hasil analisis menunjukkan bahwa
koefisien pertumbuhan (K) ikan kuniran jantan lebih rendah daripada ikan
betina. Menurut Sparre dan Venema (1999), semakin rendah koefisien
pertumbuhan, semakin lama waktu yang dibutuhkan spesies tersebut untuk
mendekati panjang asimtotik, dan sebaliknya. Hasil analisis beberapa
penelitian mengenai ikan kuniran disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Parameter pertumbuhan ikan kuniran dari beberapa hasil penelitian
Sumber

Lokasi

Syamsiah (2010)
Ozvarol et al. (2010)
Ruth (2011)
Fadlian (2012)
Penelitian ini (2013)

Perairan Utara Jawa
Selat Antalya (Turki)
Perairan Teluk Jakarta
Perairan Selat Sunda
Perairan Selat Sunda

Parameter Pertumbuhan
K
L∞
0.28
313.43
0.14
255.60
0.26
139.76
0.12
216.71
0.22
212.61

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa pada lokasi perairan yang
berbeda diperoleh nilai parameter pertumbuhan yang berbeda pula.
Perbedaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan panjang asimtotik (L∞)
dipengaruhi oleh kondisi perairan. Kondisi perairan sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan ikan (Tutupoho 2008). Selain itu, adanya perubahan
faktor lingkungan secara periodik akan mempengaruhi kondisi ikan tersebut
(Handayani 2006). Menurut Ozvarol et al. (2010), perbedaan nilai koefisien
pertumbuhan disebabkan oleh adanya perbedaan tempat, waktu, nutrisi, dan
iklim.

21

Laju Mortalitas dan Eksploitasi
Suatu stok sumber daya ikan akan mengalami penurunan akibat
tingkat kematian atau mortalitas yang tinggi. Pendugaan konstanta laju
mortalitas total (Z) ikan kuniran dilakukan dengan kurva hasil tangkapan
yang dilinierkan, berbasis data panjang. Laju mortalitas penangkapan (F) ikan
kuniran betina dan jantan lebih besar dibandingkan dengan laju mortalitas
alami (M). Hal ini menandakan bahwa ikan kuniran jantan dan betina lebih
banyak mati akibat aktivitas penangkapan.
Mortalitas dari suatu spesies ikan digunakan untuk memperkirakan
tingkat eksploitasi ikan tersebut (Khan et al. 2003 in Oktaviyani 2013).
Penentuan laju eksploitasi (E) didapatkan dari hasil bagi antara laju mortalitas
penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z). Semakin besar aktivitas
penangkapan maka keberadaan sumber daya ikan tersebut akan semakin
terancam. Laju eksploitasi ikan kuniran betina dan jantan masing sebesar
0.70 dan 0.73. Menurut Gulland (1971) in Pauly (1984), angka eksploitasi
optimal sebesar 0.50, sehingga angka tersebut menunjukkan bahwa
berdasarkan analisis laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kuniran di
perairan Selat Sunda telah mengalami tangkap lebih.

Model Produksi Surplus
Hasil analisis produksi surplus menunjukkan bahwa nilai koefisien
determinasi (R2) dengan model Fox, yaitu 0.94 yang berarti model ini dapat
mewakili keadaan sebenarnya sebesar 94%. Model Fox menduga upaya
optimum (fmsy) sebesar 646 trip per tahun dan maximum sustainable yield
(MSY) sebesar 1589 ton per tahun. Keadaan ini mengindikasikan bahwa ikan
kuniran di perairan Selat Sunda telah mengalami tangkap lebih karena hasil
tangkapan tidak mencapai nilai hasil tangkap maksimum, sedangkan upaya
penangkapan telah melebihi upaya tangkap optimum.
Jika dibandingkan dengan tahun 2012, hasil tangkapan ikan kuniran
mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adanya bahwa ikan kuniran
mengalami penurunan stok. Penurunan stok ikan disebabkan oleh dua faktor,
yaitu mortalitas alami dan eksploitasi spesies yang berupa mortalitas
penangkapan. Mortalitas alami disebabkan oleh kematian ikan, terutama
predasi, sedangkan mortalitas penangkapan disebabkan oleh kegiatan
penangkapan (King 1995).

Pengelolaan Ikan Kuniran
Berdasarkan hasil penelitian, penangkapan terhadap ikan kuniran
sudah mengalami over exploited atau tangkap lebih. Beberapa hal yang
diduga menjadi indikasi dari kondisi tersebut adalah ukuran ikan maksimum
yang tertangkap sebesar 185 mm untuk betina dan 180 mm untuk jantan,
sedangkan panjang asimtotiknya 195.33 mm untuk betina dan 202.92 mm
untuk jantan. Rendahnya ukuran ikan kuniran disebabkan oleh adanya
tekanan akibat penangkapan. Hal tersebut memaksa ikan-ikan muda untuk
matang gonad lebih cepat. Ikan kuniran tidak diberi kesempatan untuk

22

melakukan reproduksi karena ikan kuniran yang dominan tertangkap di Selat
Sunda memiliki TKG 1 dan TKG 2.
Menurut FAO (1997) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan
adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya, dan
implementasi dari aturan-aturan lain di bidang perikanan dalam rangka
menjamin kelangsungan produktivitas sekunder dan penyampaian tujuan
perikanan. Walaupun sumber daya ikan laut merupakan sumber daya dapat
pulih (renewable resources), akan tetapi sumber daya ikan ini bukan tidak
terbatas. Guna menjamin kelestarian sumber daya, pemanfaatan sumber daya
ikan tidak boleh melebihi potensinya (FAO 1996 in Susilo 2009). Tingginya
aktivitas penangkapan akan mempengaruhi ketersediaan stok dari ikan
(Oktaviyani 2013).
Untuk mencegah kondisi perikanan seperti ini,
diperlukan suatu pengelolaan yang dapat mengurangi laju eksploitasi dari
ikan kuniran (Upeneus moluccensis) serta pemanfaatannya yang lestari dan
berkelanjutan.
Pengelolaan ikan kuniran di Selat Sunda dapat berupa pengaturan
upaya penangkapan yang mengacu pada jumlah tangkapan yang
diperbolehkan dan upaya penangkapan yang optimum (Lampiran 11). Selain
itu, pendekatan rencana pengelolaan pada penelitian ini adalah menggunakan
konsep MSY dengan model Fox, yaitu upaya penangkapan tidak melebihi
646 trip per tahun dengan MSY 1589 ton per tahun dan jumlah tangkapan
yang diperbolehkan atau total allowable catch (TAC) sebesar 1144 ton per
tahun.
Pengelolaan juga dapat dilakukan dengan penggunaan alat tangkap
selektif melalui pengaturan ukuran mata jaring. Penetapan sanksi yang tegas
perlu diberlakukan bagi pelanggar kebijakan dan kerjasama antara
stakeholder, agar kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga dan nelayan
sejahtera.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ikan kuniran di perairan Selat Sunda diduga telah mengalami over
exploitasi karena rata-rata penangkapan ikan kuniran telah melebihi batas
upaya optimum dan laju eksploitasi sebesar 0.73 untuk ikan jantan, dan 0.70
untuk ikan betina. Nilai laju eksploitasi ikan kuniran telah melebihi laju
eksploitasi optimum sebesar 0.5. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran
di Selat Sunda diduga telah mengalami tangkap lebih.

23

Saran
Upaya Pengelolaan ikan kuniran di perairan Selat Sunda yang dapat
dilakukan berupa pengaturan upaya penangkapan yang mengacu pada jumlah
tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar 1144 ton per tahun dan
penurunan upaya penangkapan sebesar 40.67% trip per tahun, sehingga dapat
menghasilkan hasil tangkapan maksimum (MSY) sebesar 1589 ton per tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi R, Sulistiono, Firmansyah A, Sofiah S, Brojo M, Mamengke J. 2007.
Aspek biologi ikan butini (Glossogobius Matanensis) di Danau Towuti,
Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia.
14(1): 13-22.
Amri K. 2008. Hubungan kondisi oseanografi (suhu permukaan laut, klorofilA, dan arus) dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Selat
Sunda. Jurnal Lit. Perikanan Indonesia. 14(1): 51-61.
Boer M. 1996. Pendugaan koefisien pertumbuhan (L∞, K, t0) berdasarkan
data frekuensi panjang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan
Indonesia. 4(1): 75-84.
Brojo M, Sari RP. 2002. Biologi reproduksi ikan kurisi Nemipterus
tambuloides (Blk.) yang didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan Labuan,
Pandeglang. Jurnal Iktiologi Indonesia. 2(1): 9-13
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID). Yayasan Pustaka
Nusatama. 163 hal.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2013. Data Statistik Perikanan
Tangkap Kabupaten Pandeglang, Banten.
Fadlian R. 2012. Kajian stok ikan kuniran Upeneus moluccensus (Bleeker,
1855) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten.
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[FAO] Food Agriculture Organization. 1997. Code of Conduct for
Responsible Fisheries. FAO Rome. Italy.
Gulland JA. 1971. The fish resources of the ocean. West Byfleet, Surrey.
Fishing News for FAO. Revised edition of FAO Fish. 425 hal.
Handayani T. 2006. Aspek biologi ikan lais di Danau lais. Journal of Tropical
Fisheries. 1(1): 12-23.
Herianti I, Subani W. 1993. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad
beberapa jenis ikan demersal di perairan Utara Jawa. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut (78): 46-58.
Husna F. 2012. Reproduksi ikan kuniran Upeneus moluccensis (Bleeker,
1855) dari perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan,
Banten.[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

24

Irhamni W. 2009. Potensi pengembangan usaha penangkapan ikan di
Kabupaten Pandeglang dan dukungan PPP Labuan.[skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Ismen A. 2005. Age, growth and reproduction of the Goldband Goatfish,
Upeneus moluccensis (Bleeker, 1855) in Iskenderun Bay, the Eastern
Mediterranean. Turk J Zool. 25: 301-309.
Kunto P, Katamirardja ES. 2005. Pertumbuhan, mortalitas, dan kebiasaan
makan ikan tawes (Barbodes gonionotus) di Waduk Wonogiri. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia . 11(2):1-7.
Oktaviyani.S. 2013. Kajian stok ikan kurisi Nemipterus japonicas (Bloch,
1791) di perairan Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu,
Banten. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ozvarol ZAB, Balci BA, Tasli MGA, Kaya Y, Pehlian M. 2010. Age, growth
and reproduction of Goldband Goatfish (Upeneus moluccensis
(Bleeker, 1855)) from the Gulf of Antalya (Turkey). Journal of Animal
and Veterinary Advances. 9 (5): 939-945.
Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters: a manual for
use with programmable calculator. ICLARM. Manila. Filipina. 325 hal.
Prahadina VD. 2013. Kajian stok ikan kembung lelaki Rastrelliger kanagurta
(Cuvier,1817) di perairan Teluk Banten yang didaratkan di PPN
Karangantu, Banten.[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ruth EK.2011. Kajian stok dan analisis ketidakpastian ikan kuniran Upeneus
sulphureus (Cuvier,1829) dengan menggunakan sidik frekuensi
panjang yang didaratkan di TPI Cilincing, Jakarta.[skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Saputra WS, Soedarsono P, Sulistyawati GA. 2009. Beberapa aspek biologi
Ik