Analisis Spasial Perubahan Penggunaan dan Fragmentasi Lahan di Wilayah Pinggiran Jakarta
ANALISIS SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN DAN
FRAGMENTASI LAHAN DI WILAYAH PINGGIRAN
JAKARTA
NUNING EMIASIH
ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Spasial Perubahan Penggunaan dan Fragmentasi Lahan di Wilayah Pinggiran Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Nuning Emiasih
(4)
ABSTRAK
NUNING EMIASIH. Analisis Spasial Perubahan Penggunaan dan Fragmentasi Lahan di Wilayah Pinggiran Jakarta. Dibimbing oleh DYAH RETNO PANUJU dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.
Tingginya aktivitas di suatu wilayah akan berdampak terhadap peningkatan perubahan penggunaan lahan dan perubahan struktur lanskap yang berasosiasi dengan tingkat fragmentasi lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan penggunaan lahan dan tingkat fragmentasi lahan pertanian serta lahan terbangun di wilayah pinggiran Jakarta. Keberadaan sawah, galian C dan hutan menambah dinamika perubahan penggunaan lahan di wilayah kajian secara signifikan. Hasil analisis fragmentasi lahan pertanian menunjukkan bahwa kecamatan yang berdekatan dengan kota besar cenderung memiliki parameter NumP rendah, yang mengindikasikan bahwa poligon kawasan terbangun telah menyatu menjadi satu kesatuan poligon yang kompak. Wilayah yang dipengaruhi oleh kota besar yaitu Jakarta dan Kota Depok memiliki laju penurunan nilai NumP dan TE yang kecil sedangkan nilai MPS dipengaruhi oleh kedekatan dengan Kota Depok. Analisis fragmentasi lahan terbangun menunjukkan bahwa wilayah di pinggiran kota besar memiliki laju peningkatan nilai NumP dan TE yang lebih kecil serta penurunan nilai MPS yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah yang jauh dari kota besar. NumP, TE dan MPS dapat digunakan untuk mengetahui laju pembangunan dan pola pembangunan di suatu wilayah. Wilayah yang dipengaruhi kota besar cenderung mengalami laju pembangunan yang lebih rendah dan stabil dengan pola lahan terbangun yang relatif lebih homogen sedangkan wilayah yang berjauhan dengan kota besar cenderung mengalami laju pembangunan yang lebih besar dan kompleks dengan pola lahan terbangun yang cenderung lebih heterogen. Hasil analisis regresi berganda untuk skala desa dan RT menunjukkan variabel utama yang berpengaruh terhadap fragmentasi lahan pertanian adalah kepemilikan lahan dan aksesibilitas sedangkan terhadap lahan terbangun adalah kepemilikan lahan, harga lahan dan aksesibilitas.
(5)
ABSTRACT
NUNING EMIASIH. Spatial Analysis of Land Use Change and Land Fragmentation in The Fringe Teritory of Jakarta. Supervised by DYAH RETNO PANUJU dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.
Human activities will affect on an increasing of land-use change and landscape structure associated with the level of land fragmentation. This research aims to assess the dynamics of land use change and the fragmentation level of agricultural land and built-up land in peri urban of Jakarta. The existence of paddy fields, excavation C and forests accelerate the dynamics of land use change significantly in the study area. The result of agricultural land fragmentation analysis shows that districts which were closer to large cities tend to have lower NumP parameter, which indicates that built-up polygon has united into a single compact polygon. Areas affected by major cities i.e Jakarta and Depok has small TE and NumP, while MPS value was only influenced by the proximity to Depok. The analysis of built-up land fragmentation shows that the fringe of big city has a smaller rate of NumP and TE and more significant decrease of MPS compared to region farther from the big city. NumP, TE and MPS can be used to determine the rate of development and the pattern of development in the region. Areas affected by large cities are likely to have a stable lower rate of development with a homogeneous built-up land, whereas the distant regions to big cities are possibly to have a complex and greater rate of development with a heterogeneous built-up land. The results of multiple regression analysis for the village and neighborhood (RT) scale show that the main variables influencing agricultural land fragmentation are land ownership and accessibility, while factors affecting built-up land fragmentation are land ownership, land prices and accessibility.
Keywords : distance, land fragmentation, MPS, multiple regression analysis, NumP, TE
(6)
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
ANALISIS SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN DAN
FRAGMENTASI LAHAN DI WILAYAH PINGGIRAN
JAKARTA
ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2015
(7)
Judul Skripsi : Analisis Spasial Perubahan Penggunaan dan Fragmentasi Lahan di Wilayah Pinggiran Jakarta
Nama : Nuning Emiasih NIM : A14100008
Disetujui oleh
Dyah Retno Panuju, MSi Pembimbing I
Bambang Hendro Trisasongko, MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua Departemen
(8)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Judul penelitian ini adalah Analisis Spasial Perubahan Penggunaan dan Fragmentasi Lahan di Wilayah Pinggiran Jakarta dalam proses penyelesaian penelitian ini banyak pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Dyah Retno Panuju, MSi dan Bambang H. Trisasongko, MSc selaku pembimbing atas segala nasehat, bimbingan, arahan, motivasi, kesabaran, dan keikhlasan yang telah diberikan selama proses penyelesaian karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Khursatul Munibah, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan
motivasi, saran, dan masukannya.
3. Kedua orang tua tercinta, Bapak Sriyono dan Ibu Danisih, kakak dan kakak ipar tercinta Sutono dan Setyorini serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, motivasi, perhatian, pengorbanan, cinta, dan kasih sayang. 4. Instansi-instansi di Kabupaten Bogor, diantaranya Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah (Bappeda), Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), Dinas Pertanian, Dinas Tata Ruang serta beberapa instansi lainnya yaitu Kecamatan Gunung Putri, Gunung Sindur, Rumpin dan seluruh kecamatan di Kota Depok atas kerjasama dalam memberikan informasi dan data yang diperlukan.
5. Kepala desa, ketua RT, masyarakat Kecamatan Gunung Putri, Gunung Sindur, Rumpin, dan Kota Depok dan seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian ini atas kebersamaannya selama di lapangan, kerjasama, motivasi, dan keterbukaannya dalam memberikan informasi dan data yang diperlukan. 6. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang
telah memberikan ilmu, nasehat, dan kerjasamanya.
7. Seluruh Sahabat Soil Science ’47 terutama Yolla Vivi, Tri Mulyani, Ardiya, Karjono, Mifta, Sudi, Aliyah, Lela Antikawati, Dinda S, Yani, Ria, dan Elianah yang telah memberikan doa, semangat, kebersamaan, dan kasih sayang selama ini.
8. Sahabat seperjuangan Lab. Bangwil (Zulfa, Fia, Angel, Dwi, Aeni, Salimah, Andang, Ardy, Bolo), Bangwilers senior khususnya Mbak Ian, Mbak Karin, dan Mbak Wida, atas doa, motivasi, kebersamaan, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menambah wawasan pembaca.
Bogor, Januari 2015
(9)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Dinamika dan Permasalahan Wilayah Peri Urban 2
Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhi 3
Fragmentasi Lahan 3
Analisis Regresi Berganda 4
METODE PENELITIAN 6
Lokasi dan Waktu Penelitian 6
Jenis Data dan Sumber Data 6
Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan 12
Keterkaitan Lokasi Penelitian dengan Pusat-pusat Kota di Jabodetabek dan
Perubahan Parameter Fragmentasi 16
Hubungan Parameter Fragmentasi Lahan Pertanian dan Jarak Kecamatan
Terhadap Kota Besar 18
Hubungan Parameter Fragmentasi Lahan Terbangun dan Jarak Kecamatan
Terhadap Kota Besar 23
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Fragmentasi Lahan 30
SIMPULAN DAN SARAN 34
Simpulan 34
Saran 35
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 39
(10)
DAFTAR TABEL
1. Jenis data yang digunakan, teknik analisis, dan luaran yang
diharapkan 7
2. Variabel dalam analisis regresi berganda 11
3. Matrik transisi perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian
(ha) 13
4. Jarak kecamatan dengan kota besar 18
5. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan
pertanian skala desa 30
6. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan
pertanian skala RT 31
7. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan
terbangun skala desa 32
8. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan
terbangun skala RT 33
DAFTAR GAMBAR
1. Lokasi penelitian 6
2. Bagan alir analisis data penggunaan lahan 8
3. Sebaran titik sampling cek lapang di Kota Depok dan Bogor 9
4. Alur analisis fragmentasi lahan 10
5. Hasil pengamatan di lapang dan sebaran titik di lokasi penelitian 14 6. Perbandingan luasan perubahan penggunaan lahan antar
kecamatan 15
7. Hubungan jarak lokasi penelitian ke kota besar dengan perubahan NumP lahan terbangun (a), MPS lahan terbangun (b), TE lahan terbangun (c), NumP lahan pertanian (d), MPS lahan pertanian (e),
TE lahan pertanian (f) 17
8. Boxplot nilai NumP lahan pertanian (PTN) tahun 2001-2013 (a),
nilai MPS (b), nilai TE (c) 19
9. Boxplot nilai NumP lahan pertanian (PTN) antar kecamatan tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c) 21 10.Poligon lahan pertanian Kecamatan Rumpin tahun 2001 (a),
Kecamatan Rumpin tahun 2013 (b), Kecamatan Beji tahun 2001
(c), Kecamatan Beji tahun 2013 (d) 22
11.Boxplot nilai NumP lahan terbangun (TBN) tahun 2001-2013 (a),
nilai MPS (b), nilai TE (c) 24
12.Boxplot nilai NumP lahan terbangun (TBN) antar kecamatan tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c) 26 13.Poligon lahan terbangun Kecamatan Rumpin tahun 2001 (a),
Kecamatan Rumpin tahun 2013 (b), Kecamatan Beji tahun 2001
(c), Kecamatan Beji tahun 2013 (d) 27
14.Poligon lahan terbangun Kecamatan Cimanggis dan Sawangan tahun 2001 (a), Kecamatan Cimanggis dan Sawangan tahun 2013
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
1. Dokumentasi kondisi lahan terbangun dan lahan pertanian di lokasi
penelitian serta wawancara terfokus 39
2. Luas perubahan penggunaan lahan tiap kecamatan (ha) 40
3. Hasil analisis fragmentasi lahan pertanian 41
4. Hasil analisis fragmentasi lahan terbangun 41
5. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan pertanian skala
desa 42
6. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan pertanian skala
RT 44
7. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan terbangun skala
desa 45
8. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan terbangun skala
(12)
(13)
Latar Belakang
Penggunaan lahan merupakan wujud aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan (Oyinloye et al. 2011). Semakin intensifnya aktivitas manusia di suatu wilayah akan berdampak terhadap peningkatan perubahan penggunaan lahan (Purwantoro et al. 2013). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya perubahan penggunaan lahan disebabkan beragamnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, faktor sosial ekonomi dan tingginya pertumbuhan penduduk (Bereitschaft et al. 2007, Cakir et al. 2008, Dewan et al. 2012). Lebih lanjut, Kamusoko et al. (2007) menyatakan bahwa selain berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan, aktivitas manusia juga berpengaruh terhadap keseimbangan distribusi lahan, penyempitan lahan dan perubahan struktur lanskap yang berasosiasi terhadap tingkat fragmentasi lahan.
Fragmentasi lahan dapat terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Berdasarkan hasil penelitian Bereitschaft et al. (2014), pertumbuhan perkotaan yang cepat dan kompleks menyebabkan tingkat fragmentasi lahan yang lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Tingginya fragmentasi lahan di perkotaan secara tidak langsung akan mempengaruhi daerah di sekitarnya yang disebut dengan daerah pinggiran kota. Wilayah pinggiran kota merupakan zona transisi antara daerah perkotaan dan perdesaan dengan dominasi lahan pertanian dimana karakteristiknya dipengaruhi oleh kombinasi penggunaan lahan dengan perubahan sosial yang dinamis. Ketersediaan lahan yang masih luas dan kemudahan aksesibilitas menjadikan wilayah pinggiran kota sebagai alternatif untuk melakukan investasi dan menjadi tujuan tempat tinggal bagi para pendatang. Kondisi ini menyebabkan penurunan sektor pertanian dan peningkatan sektor infrastruktur serta terjadinya konflik kepentingan antar berbagai aktor didalamnya (Sari et al. 2007).
Salah satu contoh konflik kepentingan yang dimaksud adalah ketidakmampuan petani dalam mempertahankan lahan akibat tekanan investor untuk membangun infrastruktur, akibatnya kepemilikan lahan pertanian pun semakin sempit dan memicu terjadinya fragmentasi lahan (Firman 2000). Kondisi ini akan berdampak cukup besar dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya dan pengaturan pemanfaatan ruang di suatu wilayah (Serrano et al. 2002). Dampak lain yang ditimbulkan diantaranya penurunan luas lahan garapan, penurunan produksi primer, perubahan komposisi dan konfigurasi yang ditandai dengan penurunan penggunaan lahan serta perubahan karakteristik spasial (Dewan et al.
2012, Kamusoko et al. 2007).
Berbagai dampak fragmentasi lahan telah banyak dikaji oleh para peneliti. Namun, informasi tersebut dianggap belum cukup lengkap terutama di wilayah pinggiran perkotaan sehingga diperlukan informasi lain berupa pola sebarannya. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini berupaya untuk mengidentifikasi pola sebaran fragmentasi lahan pertanian dan lahan terbangun serta mengkaji tingkat dan penyebab fragmentasi dalam kaitannya dengan dinamika penggunaan lahan di pinggiran wilayah Jakarta. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi salah satu masukan bagi proses perencanaan wilayah di lokasi tersebut.
(14)
Tujuan Penelitian
Berdasarkan formulasi permasalahan di atas, penelitian ini secara spesifik bertujuan untuk: a) mengkaji dinamika perubahan penggunaan lahan di wilayah pinggiran Jakarta pada tahun 2001 dan 2013, b) menelaah tingkat fragmentasi lahan pertanian dan lahan terbangun di wilayah pinggiran Jakarta, c) menganalisis faktor penyebab terjadinya fragmentasi lahan dan perubahan penggunaan lahan.
TINJAUAN PUSTAKA
Dinamika dan Permasalahan Wilayah Peri Urban
Kawasan atau daerah pinggiran kota (peri urban) merupakan salah satu wilayah yang secara fisik berada di pinggir kota (Sari et al. 2007), dipengaruhi oleh perkembangan kota dan menjadi lokasi pilihan utama untuk pengembangan wilayah kota (Sulistiyani 2002). Daerah ini terbentuk karena perkembangan dan rembetan dari daerah inti. Semakin besar interaksi antara daerah inti dengan wilayah pinggirannya maka semakin besar pula perkembangan yang terjadi di wilayah pinggirannya (Giyarsih 2001). Beberapa faktor lain yang mendorong masyarakat beralih ke wilayah pinggiran yaitu: (1) keinginan untuk memiliki ruang yang lebih besar, (2) kenyamanan lingkungan, (3) kebebasan untuk melakukan aktivitas yang tidak diizinkan di kota, (4) tempat menarik untuk membesarkan anak, dan (5) harapan untuk memperoleh keuntungan ekonomi (Sari et al. 2007).
Tingginya kebutuhan akan lahan di wilayah pinggiran tersebut memicu perubahan penggunaan lahan yang umumnya dari lahan pertanian ke non pertanian. Salah satu jenis lahan yang meningkat dengan laju cukup tinggi adalah permukiman. Lebih lanjut, Giyarsih (2001) menyatakan bahwa perubahan lahan yang tinggi menunjukkan suatu wilayah pinggiran yang dinamis.
Kondisi aksesibilitas baik secara fisik dan ekonomi dari wilayah pinggiran terhadap kota besar berdampak terhadap kondisi pertanian dan sosial ekonomi masyarakat. Aksesibilitas berkaitan erat dengan intensitas perubahan pemanfaatan lahan pertanian menjadi pemanfaatan non pertanian. Semakin tinggi derajat aksesibilitas semakin tinggi pula tekanan akan perkembangan pemanfaatan lahan non pertanian dan kondisi ini tercermin dengan tingginya laju konversi lahan pertanian (Hardati 2011). Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan salah satunya adalah perubahan pekerjaan warga dari petani menjadi non petani. Petani yang masih memiliki lahan mayoritas mendatangkan buruh tani dari luar daerah. Bahkan kadang-kadang ada sawah yang terpaksa terbengkalai tidak di garap karena kesulitan mencari buruh tani untuk menggarapnya (Haryono 1999).
(15)
Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhi Perubahan penggunaan lahan mengandung pengertian terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan industri, fasilitas umum dan sebagainya. Perubahan penggunaan lahan pertanian merupakan ancaman yang serius dan sulit dihindari sementara dampak yang dapat ditimbulkan bersifat permanen, kumulatif dan progresif. Dampak permanen yang ditimbulkan meliputi permasalahan pangan dalam jangka panjang meskipun konversi tidak terjadi lagi. Dampak bersifat kumulatif merupakan akumulasi dari hasil produksi yang setiap tahun mengalami penurunan. Sedangkan dampak bersifat progresif merupakan peningkatan hilangnya produksi pangan dari tahun ke tahun yang semakin besar (Irawan 2005).
Menurut Isa (2014) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain: (1) faktor kependudukan, peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan taraf hidup masyarakat menyebabkan permintaan akan lahan semakin meningkat seperti permintaan untuk perumahan, industri, tempat rekreasi, fasilitas umum dan sebagainya, (2) kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian yang membutuhkan lahan yang luas seperti real estate, kawasan industri, kawasan perdagangan dan lainnya. Kondisi ini semakin buruk ketika terdapat lahan sawah dengan luasan kecil yang terletak diantara lahan yang terkonversi sehingga petani tidak memiliki pilihan untuk tetap mempertahankan lahan sawahnya, (3) faktor ekonomi, tingginya nilai
landrent yang diperoleh dari kegiatan non pertanian dibandingkan dengan
kegiatan pertanian sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan konversi lahan pertanian, (4) faktor sosial budaya, keberadaan hukum waris yang menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan pertanian sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, (5) degradasi lingkungan, terjadinya kemarau panjang, hama, rusaknya lingkungan, pencemaran air yang berpotensi merusak kondisi lahan pertanian, (6) otonomi daerah yang lebih mengutamakan pembangunan pada sektor yang memberikan keuntungan yang tinggi dalam jangka pendek daripada memperhatikan kepentingan masyarakat dalam jangka panjang, (7) lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan-peraturan yang ada.
Fragmentasi Lahan
Fragmentasi merupakan proses terjadinya pembagian lahan pertanian menjadi unit-unit (patch) berukuran kecil yang telah mengalami eksploitasi (Hartvigsen 2014). Sedangkan pengertian fragmentasi perkotaan merupakan sebuah fenomena spasial hasil tindakan memisahkan diri, terpecah dari, atau lepas dari struktur kota dan sistem kota. Binns (1950) dalam Hartvigsen (2014) mengidentifikasi empat alasan mendasar yang terkait dengan terjadinya fragmentasi lahan antara lain: (1) kondisi alam atau bencana alam, (2) adanya aktivitas terkait pembangunan seperti pembangunan jalan, kereta api, kanal, dan lain-lain; (3) kegiatan pertanian yang berlebihan, (4) alasan yang tidak termasuk kedalam tiga alasan diatas.
(16)
Fragmentasi lahan dapat memberikan keuntungan dan kerugian. Fragmentasi lahan memberikan kerugian di bidang pertanian. Pertama, fragmentasi menghambat perkembangan pertanian khususnya peningkatan penggunaan mekanisasi dan pengembangan irigasi dan infrastruktur pertanian lainnya. Kedua, fragmentasi menghasilkan berbagai inefisiensi ekonomi melalui pembuangan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, waktu, bahan bakar, dan sebagainya. Ketiga, fragmentasi meningkatkan harga lahan dan pangan (1982)
dalam Hartvigsen 2014). Keuntungan yang ditimbulkan oleh fragmentasi antara
lain mengurangi resiko gagal panen karena kekeringan, hujan, hama penyakit dan bencana alam. Fragmentasi juga cenderung untuk melestarikan keanekaragaman hayati yang bertentangan dengan kondisi habitat (Bentley (1987) dalam
Hartvigsen 2014).
Perpecahan lahan atau fragmentasi lahan pertanian dapat dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya menurut waktu yaitu permanen dan sementara. Fragmentasi lahan bersifat permanen terjadi karena adanya sistem waris lahan dan jual beli lahan pertanian di masyarakat. Warisan memberikan hak secara penuh kepada ahli waris untuk tetap mempertahankan lahan yang telah dimiliki atau melakukan aktivitas tertentu terhadap lahannya. Petani menganggap bahwa lahan sebagai sumberdaya langka dan menjadi sarana untuk mencari nafkah salah satunya dengan melakukan transaksi jual beli lahan. Fragmentasi lahan yang bersifat sementara terjadi karena sewa-menyewa lahan, bagi hasil dan sistem gadai lahan pertanian. Dalam sewa-menyewa lahan apabila pemilik lahan menyewakan lahan sebagian dari lahannya maka akan terjadi perpecahan lahan. Dengan adanya bagi hasil maka fragmentasi lahan pemilikan dan lahan garapan akan terjadi perbedaan (Susanti et al. 2013).
Analisis Regresi Berganda
Regresi merupakan komponen integral dari setiap analisis data yang bersangkutan dengan menggambarkan hubungan antara variabel tak bebas dengan satu atau lebih variabel bebas. Variabel tak bebas merepresentasikan laju perubahan variabel bebas per unit perubahan variabel tak bebas. Pada metode regresi, terdapat kemungkinan terjadinya peluruhan variabel yang tidak berpengaruh. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan interpetasi terhadap hasil regresi yaitu pertama, menentukan fungsi hubungan antara variabel tak bebas dan variabel bebas. Kedua, menjelaskan unit perubahan untuk variabel bebas (Hosmer et al. 1989).
Dalam analisis regresi berganda terdapat beberapa pelanggaran-pelanggaran yang sering kali dilakukan terhadap asumsi-asumsinya, diantaranya adalah multikolinieritas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Multikolinieritas menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antar variabel. Adanya multikolinieritas dapat ditunjukkan dari nilai VIF (Variance Inflation Factor). Ketika nilai VIF lebih kecil dari 5 maka tidak terjadi multikolinieritas. Nilai VIF lebih dari 5 menunjukkan tejadinya multikolinieritas. Sedangkan nilai VIF lebih dari 10, menunjukkan tingkat multikolinieritas yang tinggi. Heteroskedastisitas terjadi ketika ragam tidak konstan. Pada kondisi ini, peningkatan nilai variabel tak bebas tidak diikuti peningkatan variabel bebas dikarenakan nilai ragam yang tidak
(17)
konstan dan nilai ragam sama dengan nilai rataan. Selanjutnya, autokorelasi terjadi ketika adanya hubungan antara variabel error dengan variabel error lainnya. Kondisi ini dapat diketahui dengan metode Durbin-Watson (Neter et al.1990).
Drapper dan Smith. (1998) menyatakan bahwa pengujian regresi linier berganda dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis uji, antara lain:
(1) Uji simultan atau uji F atau uji ragam regresi.
Uji F merupakan pengujian hubungan regresi secara simultan dari variabel-variabel tak bebas yang bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel tak bebas. Bila nilai Fhitung
lebih besar dari Ftabel atau tingkat signifikan lebih kecil dari 5% (α = 5%) maka
hipotesis ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh antara variabel tak bebas secara bersama-sama terhadap variabel bebas.
(2) Uji parsial koefisien regreasi atau uji terhadap b1 atau uji t koefisien
regresi.
Uji t adalah pengujian koefisien regresi setiap variabel bebas terhadap variabel tak bebas untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Bila thitung lebih besar daripada ttabel atau nilai
signifikan α < 5% maka hipotesis ditolak artinya ada pengaruh antara variabel bebas secara parsial terhadap variabel tak bebas.
(3) Uji koefisien korelasi berganda atau uji R
Koefisien korelasi digunakan untuk menentukan korelasi antara peubah tidak bebas dengan peubah bebas. Koefisien ini disebut dengan koefisien determinasi. Nilai koefisien determinasi dapat diperoleh dengan mengakarkan nilai koefisien determinasi (r2) keseluruhan. Berdasarkan hubungan antar variabel yang satu dengan variabel lainnya dinyatakan dengan koefisien korelasi dimana berkisar antara -1 ≤ r ≤ 1. Jika dua variabel berkorelasi negatif maka nilai koefisien akan mendekati -1, jika dua veriabel tidak berkorelasi maka nilai koefisien korelasinya akan mendekati 0 dan jika dua variabel berkorelasi positif maka nilai koefisien berkorelasinya akan mendekati 1.
(18)
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Depok dan tiga kecamatan yang terletak di Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Gunung Putri, Gunung Sindur, dan Rumpin. Kecamatan terpilih terletak di pinggiran Jakarta dan berbatasan langsung dengan wilayah administratif Jakarta. Analisis data dilakukan di Studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departeman Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung mulai dari bulan Februari 2014 sampai dengan Agustus 2014. Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi penelitian
Jenis Data dan Sumber Data
Pada penelitian ini, data primer diperoleh dari hasil survei lapang secara langsung melalui pengamatan dan wawancara kepada Sekretaris Desa atau Kepala Urusan Pemerintah serta perwakilan tiga ketua RT untuk setiap desa. Data spasial yang digunakan berupa peta dasar yaitu peta administrasi serta peta sungai dan jalan dengan skala 1:100.000. Selain itu digunakan pula citra Landsat 7 tahun 2001 dan Landsat 8 tahun 2013 yang diperoleh dari USGS (United States
Geological Survey). Peralatan yang digunakan untuk survei lapang adalah
(19)
dan kuesioner. Jenis data yang digunakan, teknik analisis dan luaran yang diharapkan menurut tujuan penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis data yang digunakan, teknik analisis, dan luaran yang diharapkan
No Tujuan Penelitian Jenis Data Teknik Analisis Luaran yang
Diharapkan 1. Mengkaji dinamika
perubahan
penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2013
Citra Landsat 7
2001 dan
Landsat 8 2013, peta
administrasi dan peta jalan
a) Data fusion,
koreksi geometri, digitasi, klasifikasi visual penggunaan lahan
b) Validasi cek lapang
Perubahan penggunaan lahan
2. Menelaah tingkat fragmentasi lahan pertanian dan lahan terbangun
Peta
penggunaan lahan tahun 2001 dan 2013
a) Analisis data spasial dengan
Patch Analysis b)Kuesioner, survei,
dan wawancara Nilai indikator fragmentasi lahan Informasi terjadinya fragmentasi lahan di lokasi penelitian 3. Menganalisis faktor
penyebab terjadinya fragmentasi lahan dan perubahan penggunaan lahan
Data kuesioner desa dan RT
a) Analisis multiple regresi
b) Survei dan wawancara Faktor penyebab terjadinya fragmentasi lahan dan perubahan penggunaan lahan Analisis Data Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan
Dinamika perubahan penggunaan lahan dianalisis berdasarkan data penggunaan lahan yang diperoleh melalui klasifikasi visual citra Landsat tahun 2001 dan 2013. Gambar 2 menunjukkan bagan alir tahapan analisis. Untuk mengatasi kendala resolusi yang rendah pada citra Landsat maka pengolahan citra diawali dengan melakukan proses fusi data (data fusion) citra dengan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5. Metode data fusion digunakan untuk menggabungkan suatu citra berspektral ganda (multispectral) yang mempunyai resolusi spasial rendah dengan suatu citra hitam putih atau tingkat keabuan
(panchromatic) yang mempunyai resolusi spasial tinggi sehingga akan
menghasilkan citra dengan tingkat resolusi yang lebih tinggi. Proses fusi citra dilakukan dengan menggunakan teknik transformasi PC Spectral Sharpening. Metode PC Spectral Sharpening menghasilkan citra yang hampir sama dengan citra asli yang ditunjukkan dengan kanal-kanal warna yang terang dan juga kenampakan spasial yang dihasilkan tajam sehingga memudahkan dalam tahap klasifikasi (Nurhayati et al. 2012). Hasil fusi citra menunjukkan tampilan citra yang lebih jelas dibandingkan dengan proses penampalan (stacking). Hal ini terlihat pada perubahan resolusi spasial citra Landsat dimana resolusi spasial sebelum dilakukan proses fusi adalah 30 meter dan mengalami perubahan menjadi 15 meter setelah dilakukan proses tersebut. Tampilan citra yang lebih jelas memudahkan dalam melakukan digitasi dan klasifikasi penggunaan lahan.
(20)
Gambar 2. Bagan alir analisis data penggunaan lahan
Selanjutnya data hasil fusi dikoreksi secara geometri. Koreksi geometri berguna untuk menyamakan koordinat citra dengan koordinat sesungguhnya di permukaan bumi sehingga akan menghasilkan data yang kompatibel. Sistem proyeksi yang digunakan adalah sistem UTM dengan datum WGS 84 zona 48S. Citra Landsat 7 dan Landsat 8 terlebih dahulu direktifikasi dengan peta jalan dan sungai Jawa Barat. Koreksi goemetri dilakukan dengan menggunakan ArcGIS 9.3
dengan menentukan titik kontrol (Ground Control Point).
Citra hasil fusi yang telah dikoreksi selanjutnya didigitasi dengan menggunakan Arcview GIS 3.2 dengan skala 1:25000 berdasarkan penggunaan lahannya sehingga menghasilkan peta penggunaan lahan saat ini. Klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian ini dibedakan menjadi sembilan tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, kebun campuran, sawah, permukiman, emplasemen, kebun karet, kebun kelapa, hutan dan galian C.
Pengecekan Lapang
Pengecekan lapang bertujuan untuk memvalidasi hasil interpretasi visual citra dengan kondisi aktual yang terjadi di lapangan sehingga hasil interpretasi visual citra memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Pada tahap ini, perangkat navigasi GPS, kamera digital dan kuesioner telah digunakan. Pengecekan lapang dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada para perangkat desa dan ketua RT di setiap desa sebagai responden. Lokasi pengecekan lapang di tiga kecamatan yang terletak di Kabupaten Bogor meliputi Kecamatan Gunung Putri, Gunung Sindur dan Rumpin serta perwakilan 15 kelurahan di Kota Depok yang berbatasan dengan Jakarta. Perwakilan titik cek lapang untuk ketua RT ditentukan dengan mempertimbangkan jarak terdekat, sedang dan terjauh dari kantor desa atau
Klasifikasi visual dan digitasi Koreksi
geometri
Citra Landsat 8 tahun 2013
Citra Landsat 7 tahun 2001
Fusi data antara citra berspektral ganda dengan citra hitam putih
Cek lapang Citra Landsat
8 tahun 2013 terkoreksi
Citra Landsat 7 tahun 2001 terkoreksi
Penggunaan lahan tahun 2001 dan 2013
Fusi data antara citra berspektral ganda dengan citra hitam putih
(21)
kelurahan. Pengambilan titik cek lapang di tiga kecamatan pada Kabupaten Bogor sebanyak tiga titik untuk perwakilan ketua RT dan satu titik untuk perwakilan kantor desa atau kelurahan. Sedangkan untuk Kota Depok diambil perwakilan satu titik cek lapang untuk ketua RT dan satu titik untuk perwakilan kantor desa atau kelurahan. Jumlah titik sampling dalam penelitian ini sebanyak 163 titik. Sebaran titik contoh disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Sebaran titik sampling cek lapang di Kota Depok dan Bogor
Analisis Fragmentasi Lahan dengan Patch Analysis
Hasil interpretasi citra selanjutnya direklasifikasi menjadi dua kategori yaitu lahan pertanian dan lahan terbangun, sehingga pada analisis fragmentasi lahan pertanian, terdapat dua kelas yaitu lahan pertanian dan bukan lahan pertanian (lahan terbangun). Sedangkan pada analisis fragmentasi lahan terbangun, terdapat dua penggunaan lahan yaitu lahan terbangun dan lahan non terbangun (lahan pertanian).
Penggunaan lahan yang termasuk dalam kategori lahan pertanian dalam penelitian ini antara lain sawah, kebun campuran, perkebunan karet, perkebunan kelapa, badan air, dan hutan. Kategori untuk lahan non pertanian (terbangun) antara lain permukiman, emplasemen, dan galian C. Gambar 4 menyajikan alur analisis fragmentasi lahan dengan parameter yang digunakan untuk mengetahui tingkat fragmentasi dalam penelitian ini antara lain NumP (Number of Patch), MPS (Mean Patch Size) dan TE (Total Edge). NumP menunjukkan total jumlah
patch yang terdapat pada lanskap. MPS adalah ukuran rata-rata luas dari kelas
penggunaan, merepresentasikan luasan rata-rata dari total keseluruhan lanskap. Menurut Dewan et al. (2012) luas rata-rata dapat berfungsi sebagai indeks
(22)
fragmentasi dari habitat. Sedangkan TE merupakan ukuran panjang total tepi dari jenis penggunaan tertentu dari patch. Indeks ini menunjukkan bentuk tepi dari
patch, TE bernilai ≥ 0. TE = 0, jika tidak ada tepi kelas pada lanskap. TE > 0, jika
tepi patch semakin besar yang berarti bahwa bentuk patch semakin tidak beraturan dan tingkat fragmentasi semakin tingi (Gunawan et al. 2013).
Gambar 4. Alur analisis fragmentasi lahan
Analisis Faktor Penyebab Terjadinya Fragmentasi Lahan
Analisis regresi adalah teknik statistika yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas (independent variable) dan variabel tak bebas
(dependent variable) (Hosmer et al. 1989). Dalam penelitian ini digunakan
analisis regresi berganda (multiple regression) untuk menganalisis hubungan antara variabel terkait fragmentasi (Y) dengan beberapa variabel bebas (X). Metode ini dipilih karena variabel bebas lebih banyak dari variabel tak bebas. Jenis variabel-variabel yang digunakan tersaji pada Tabel 2. Variabel tak bebas yang digunakan antara lain perubahan nilai NumP, MPS, dan TE lahan pertanian serta perubahan nilai NumP, MPS, dan TE lahan terbangun. Sedangkan variabel bebas yang digunakan pada skala desa berjumlah 24 variabel sedangkan untuk RT sebesar 16 variabel (Tabel 2).
Secara matematis bentuk umum dari analisis regresi logistik berganda adalah sebagai berikut (Hosmer et al. 1989)
Keterangan: Yi : Peubah tak bebas
βo : Konstanta / Intercept
β1... βp : Koefisien arah garis regresi
Xk : Peubah bebas
ε : Error / Galat / komponen stokastik Sembilan
kelas penggunaan lahan
Tahap segmentasi
Tahap klasifikasi Kategori lahan non terbangun
Kategori lahan terbangun
Kategori lahan non pertanian
Kategori lahan pertanian
Analisis
fragmentasi dengan Patch Analysis pada ArcView 3.2
Parameter fragmentasi
(23)
Tabel 2. Variabel dalam analisis regresi berganda
Variabel Tak Bebas Variabel Bebas
Desa RT Desa RT
1. Y1.1 =
Perubahan NumP PTN 2. Y1.2 =
Perubahan MPS PTN 3. Y1.3 =
Perubahan TE PTN 4. Y1.4 =
Perubahan NumP TBN 5. Y1.5 =
Perubahan MPS TBN 6. Y1.6 =
Perubahan TE TBN
1. Y2.1 =
Perubahan NumP PTN 2. Y2.2 =
Perubahan MPS PTN 3. Y2.3 =
Perubahan TE PTN
4. Y2.4 =
Perubahan NumP TBN 5. Y2.5 =
Perubahan MPS TBN 6. Y2.6 =
Perubahan TE TBN
1. X1.1 = Pertumbuhan
penduduk 2. X1.2 = Rata-rata
jumlah anak per KK 3. X1.3 = Jumlah KK
4. X1.4 = Persentase
pekerjaan petani 5. X1.5 = Persentase
pekerjaan non petani 6. X1.6 = Jumlah
kelompok tani 7. X1.7 = Ukuran rumah
8. X1.8 = Ukuran rumah
dan pekarangan 9. X1.9 = Persentase
kepemilikan lahan absentee
10. X1. 10 = Jumlah PBB
11. X1.11 = Persentase
peningkatan pajak 12. X1.12 = Harga
transaksi lahan 13. X1.13 = Harga sawah
dekat jalan
14. X1.14 = Harga sawah
jauh dari jalan 15. X1.15 = Harga lahan
non sawah dekat jalan
16. X1.16 = Harga lahan
non sawah jauh dari jalan
17. X1.17 = Ukuran sawah
18. X1.18 = Panjang
dilalui jalan tol 19. X1.19 = Panjang
dilalui jalan Negara 20. X1.20 = Jarak ke jalan
tol
21. X1.21 = Jarak ke kota
desa
22. X1.22 = Jarak ke kota
atau kabupaten 23. X1.23 = Waktu
tempuh ke kecamatan 24. X1.24 = Waktu
tempuh ke kabupaten
1. X2.1 = Pertumbuhan
warga
2. X2.2 = Rata-rata
pertambahan KK tiap RT
3. X2.3 = Rata-rata
jumlah anak per KK 4. X2.4 = Persentase
pekerjaan petani 5. X2.5 = Persentase
pekerjaan non petani 6. X2.6 = Persentase
lahan pertanian warga pribumi
7. X2.7 = Persentase
lahan pertanian warga non pribumi
8. X2.8 = Luas lahan
pertanian milik warga pribumi
9. X2.9 = Luas lahan
pertanian milik warga non pribumi
10. X2.10 = Persentase
kepemilikan lahan absentee
11. X2.11 = Ukuran rumah
12. X2.12 = Ukuran rumah
dan pekarangan 13. X2.13 = Ukuran
rata-rata luas sawah 14. X2.14 = Jarak ke jalan
tol
15. X2.15 = Jarak ke balai
desa
16. X2.16 = Waktu tempuh
ke balai desa
Sumber : Hasil wawancara kepada aparat desa dan ketua RT Keterangan : TBN (lahan terbangun), PTN (lahan pertanian)
(24)
Dari analisis regresi tersebut dihitung beberapa parameter antara lain koefisien determinan, koefisien regresi, nilai galat baku koefisien dan peluang kesalahan setiap koefisien. Koefisien dengan nilai p kurang dari 0.5 dinyatakan sebagai penanda bahwa variabel terkait nyata secara statistik dengan tingkat kesalahan kurang dari 5%. Selanjutnya juga dihitung koefisien untuk mengetahui keterkaitan antar variabel. Koefisien korelasi antara variabel X dan Y dihitung dengan persamaan berikut:
Keterangan r : Koefisien korelasi Yi : Peubah tak bebas
X1i : Peubah bebas
n : Jumlah data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan
Interpretasi visual yang dilakukan pada penelitian ini mencangkup sembilan kelas penggunaan lahan antara lain badan air (BA), emplasemen (EMP), galian C (GAL-C), kebun campuran (KC), perkebunan karet (KRT), perkebunan kelapa (KLP), hutan (HTN), permukiman (PMK), dan sawah (SWH). Hasil interpretasi selanjutnya dibandingkan dengan hasil pengecekan lapang. Gambar 5 menunjukkan hasil perubahan penggunaan lahan, sebaran titik cek lapang serta foto hasil pengecekan lapang. Penggunaan lahan pada tahun 2001 didominasi oleh penggunaan lahan untuk kebun campuran sebesar 30.28% dan sawah sebesar 30.82% (Tabel 3). Namun demikian, kondisi berbeda terlihat pada tahun 2013 dimana penggunaan lahan didominasi oleh penggunaan lahan untuk permukiman sebesar 42.51% (Tabel 3). Secara umum, luas lahan pertanian terbesar terletak di Kecamatan Rumpin dan Gunung Sindur sedangkan luas lahan terbangun terpusat di Kecamatan Gunung Putri dan Kota Depok. Perbedaan kenampakan pada citra menunjukkan telah terjadi perubahan penggunaan lahan.
Selama kurun waktu dua belas tahun antara tahun 2001 sampai 2013 perubahan penggunaan lahan terjadi cukup menyebar terutama perubahan lahan pertanian menjadi permukiman (Tabel 3). Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat desa, peningkatan lahan terbangun dan penurunan lahan pertanian didorong oleh tingginya kebutuhan dasar untuk tempat tinggal serta kecenderungan perubahan aktivitas masyarakat yang mengubah lahan pertanian menjadi emplasemen untuk membangun usaha lain terutama oleh pengusaha dari daerah lain. Selain itu, penyebab lainnya dari perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian adalah tingginya laju urbanisasi. Hal ini dikarenakan di lokasi tujuan urbanisasi cenderung memiliki lahan yang relatif lebih luas dengan harga yang
(25)
relatif lebih murah berkisar antara Rp. 15.000,00 sampai Rp. 350.000,00 per m2, sehingga mampu memenuhi kebutuhan lahan bagi para pendatang. Sejalan dengan perkembangan urbanisasi, penurunan lahan pertanian dapat menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan bagi manusia (Wu et al. 2011).
Selain perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun, terdapat pula beberapa perubahan dari lahan pertanian menjadi non terbangun yaitu perubahan lahan sawah menjadi badan air dan galian C serta perubahan hutan menjadi galian C (Tabel 3). Perubahan tersebut menyebabkan peningkatan luasan badan air dan galian C serta penurunan luas lahan sawah dimana banyak terjadi di Kecamatan Rumpin. Meskipun perubahan tersebut dalam luasan kecil namun diperkirakan dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang cukup signifikan seperti penurunan fungsi ekologis hutan (Liu et al. 2014).
Tabel 3. Matrik transisi perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian (ha) 2001
2013
BA EMP
GAL-C
KC KRT KLP HTN PMK SWH TOTAL %
BA 852.69 68.51 921.20 2.06
EMP 1305.88 1305.88 2.91
GAL-C 125.88 125.88 0.28
KC 373.11 73.61 8331.17 4786.10 13563.99 30.28
KRT 210.99 210.99 0.47
KLP 96.94 96.94 0.22
HTN 17.26 137.41 3923.16 127.70 4205.53 9.38
PMK 10567.11 10567.11 23.58
SWH 105.29 224.99 121.35 7840.91 3566.46 1945.99 13804.99 30.82
TOTAL 957.98 1989.75 58.25 16172.08 210.99 96.94 3923.16 19047.37 1945.99 44802.51
% 2.14 4.44 0.13 36.09 0.47 0.22 8.76 42.51 5.24 100
Terjadinya fenomena tersebut disebabkan oleh masih banyaknya sumber daya alam khususnya batuan kapur sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan eksplorasi terhadap sumber daya tersebut (Lampiran 1.1). Banyaknya perusahaan yang melakukan investasi berdampak terhadap kerusakan alam khususnya kondisi perbukitan yang terletak di Desa Kertajaya, Sukamulya dan Sukasari. Kerusakan alam tidak hanya terjadi pada hutan namun banyak juga terjadi pada kerusakan lahan sawah yang telah menjadi badan air akibat galian pasir yang dilakukan secara berlebihan.
(26)
(27)
Gambar 6. Perbandingan luasan perubahan penggunaan lahan antar kecamatan
Gambar 6 menunjukkan perbandingan luasan perubahan penggunaan lahan antar kecamatan di lokasi penelitian. Peningkatan lahan terbangun untuk permukiman pada periode analisis tertinggi terjadi di Kecamatan Rumpin, Cimanggis dan Sawangan. Peningkatan yang tinggi dapat disebabkan oleh ketersediaan lahan untuk dialihfungsikan menjadi permukiman masih luas (As-syakur 2011). Peningkatan yang tinggi diikuti pengurangan luas lahan sawah yang tinggi pula. Peningkatan permukiman terendah terjadi pada Kecamatan Beji. Hal ini terjadi karena kecamatan tersebut tidak memiliki lahan pertanian yang cukup untuk dialihfungsikan. Sebagian besar wilayah Beji merupakan lahan terbangun. Selain ketersedian lahan, berdasarkan keterangan aparat desa dikatakan bahwa pembangunan di Kecamatan Beji lebih banyak dilakukan sebelum tahun 2001 sehingga pada rentang tahun 2001-2013 lebih banyak kegiatan renovasi dan pembangunan dalam luasan kecil. Peningkatan lahan terbangun lainnya terjadi pada penggunaan lahan untuk emplasemen. Peningkatan tertinggi terjadi di Kecamatan Gunung Putri. Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Bogor (2013) jumlah industri besar dan sedang yang terdapat di Kecamatan Gunung Putri sebanyak 191 di tahun 2012. Industri-industri tersebut mayoritas berada di Desa Tlajung Udik, Cicadas dan Wanaherang. Fenomena ini terjadi karena adanya peraturan dari pemerintah Kecamatan Gunung Putri yang mengkhususkan desa tersebut menjadi pusat industri serta desa lain sebagai pusat perumahan dan kebun campuran (Lampiran 1.2). Perluasan pembangunan industri dan perumahan menunjukkan terjadinya transformasi fisik di daerah-daerah pinggiran kota. Transformasi fisik akan mendorong terjadinya transformasi-transformasi lain seperti transformasi sosial ekonomi masyarakat sekitar akibat pengaruh yang ditimbulkan oleh kota-kota besar di sekelilingnya (Sari et al. 2007).
Intensifikasi penggunaan lahan pertanian serta perluasan pembangunan struktur untuk tujuan perumahan dan komersial di seluruh lokasi penelitian dapat dipahami sebagai suatu langkah penyesuaian di tingkat rumah tangga akibat pengembangan dan perubahan kebijakan di tingkat makro. Transisi dari ketergantungan pada pertanian ke basis ekonomi yang lebih beragam
-3000 -2500 -2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500
BA EMP GC KC KKT KKP HTN PMK SWH
P er ub a ha n L ua sa n (ha ) Rumpin Gunung Putri Gunung Sindur Beji Limo Cimanggis Sawangan Sukmajaya Pancoran Mas
(28)
menunjukkan adanya keterkaitan antara kondisi ruang di daerah pedesaan dengan daerah perkotaan (Bittner et al. 2013). Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian di wilayah pinggiran kota sangat tinggi seiring dengan pertumbuhan penduduk. Besarnya perubahan tersebut mengindikasikan perkembangan lahan terbangun dan tingkat kedinamisan wilayah pinggiran kota.
Keterkaitan Lokasi Penelitian dengan Pusat-pusat Kota di Jabodetabek dan Perubahan Parameter Fragmentasi
Tingginya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di kota besar menyebabkan penurunan luas lahan pertanian sehingga kebutuhan lahan oleh penduduk kota tidak dapat terpenuhi. Akibatnya wilayah pinggiran kota menjadi pilihan utama penduduk kota besar dan para pendatang sebagai tempat hunian baru dengan harga lahan yang lebih murah (Hardati 2011).
Gambar 7 menunjukkan hubungan antara jarak lokasi penelitian dengan kota-kota besar dan perubahan parameter fragmentasi. Empat kota besar yang dijadikan acuan adalah DKI Jakarta, Kota Depok, Tangerang dan Bekasi dengan titik pusat pengukuran jarak berturut-turut antara lain Monas, Margonda Raya, BSD, dan Stasiun Bekasi yang dianggap sebagai pusat kegiatan pada masing-masing kota. Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa Jakarta dan Kota Depok memiliki pola mendekati linier dan relatif lebih teratur dibandingkan dengan Tangerang dan Bekasi. Hal ini menunjukkan bahwa selain Jakarta, Kota Depok memiliki peluang yang besar dalam mempengaruhi kondisi perekonomian daerah di sekitarnya. Selain itu, Kota Depok juga memberikan pengaruh terhadap perubahan parameter fragmentasi untuk lahan terbangun dan lahan pertanian.
Peningkatan nilai NumP lahan terbangun yang cukup besar terjadi pada lokasi penelitian dengan jarak yang jauh dari Kota Depok (Gambar 7a) begitu juga dengan penurunan nilai MPS dan peningkatan nilai TE (Gambar 7b, 7c). Daerah yang berjauhan dengan Kota Depok mengalami fragmentasi lahan terbangun lebih besar dibandingkan dengan daerah yang berdekatan dengan Kota Depok. Begitu juga dengan kondisi fragmentasi lahan pertanian di daerah yang berjauhan dengan Kota Depok mengalami pola relatif sama dinilai dari tiga parameter fragmentasi lahan (Gambar 7d, 7e, 7f). Penelitian Shrestha et al. (2012) juga menunjukkan bahwa perubahan fragmentasi lebih banyak terjadi pada daerah dengan tingkat pembangunan daerah pada densitas rendah. Peningkatan fragmentasi terjadi pada wilayah pinggiran kemudian menurun pada pusat kota dan daerah terpencil yang belum mengalami pertumbuhan.
(29)
a) b)
c) d)
e) f)
Gambar 7. Hubungan jarak lokasi penelitian ke kota besar dengan perubahan NumP lahan terbangun (a), MPS lahan terbangun (b), TE lahan terbangun (c), NumP lahan pertanian (d), MPS lahan pertanian (e), TE lahan pertanian (f)
0 100 200 300 400 500 600 700
0 20 40 60
N u m P T B N Jarak (km) Monas Depok Bekasi Tangerang -50000 -45000 -40000 -35000 -30000 -25000 -20000 -15000 -10000 -5000 0
0 20 40 60
M PS T B N ( m 2) Jarak (km) Monas Depok Bekasi Tangerang 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000
0 20 40 60
T E T B N ( m ) Jarak(km) Monas Depok Bekasi Tangerang -700 -600 -500 -400 -300 -200 -100 0
0 20 40 60
N u m P PT N Jarak (km) Monas Depok Bekasi Tangerang -5000 0 5000 10000 15000 20000 25000
0 20 40 60
M PS PT N ( m 2) Jarak (km) Monas Depok Bekasi Tangerang -600000 -500000 -400000 -300000 -200000 -100000 0
0 20 40 60
T E PT N ( m ) Jarak (km) Monas Depok Bekasi Tangerang
(30)
Hubungan Parameter Fragmentasi Lahan Pertanian dan Jarak Kecamatan Terhadap Kota Besar
Kedekatan kecamatan dengan kota besar seperti Jakarta dan Kota Depok secara tidak langsung memberikan dampak terhadap kondisi wilayah sekitarnya. Berdasarkan Tabel 4, sembilan kecamatan di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kecamatan yang berdekatan dengan kota besar antara lain Kecamatan Beji, Cimanggis, Limo, Pancoran Mas, Sawangan dan Sukmajaya, serta kecamatan yang berjauhan dari kota besar yaitu Kecamatan Rumpin, Gunung Sindur dan Gunung Putri.
Tabel 4. Jarak kecamatan dengan kota besar
No Kecamatan Jakarta (km) Kota Depok (km)
1 Rumpin 31.50 18.60
2 Gunung Sindur 24.30 14.10
3 Gunung Putri 25.80 11.40
4 Beji 19.50 1.50
5 Cimanggis 19.20 6.00
6 Limo 17.70 6.00
7 Pancoran Mas 22.20 1.50
8 Sawangan 23.10 6.30
9 Sukmajaya 21.30 3.00
Kedua kelompok tersebut memiliki perbedaan dalam nilai NumP, MPS dan TE. Secara umum, nilai NumP dan TE lahan pertanian mengalami penurunan sedangkan nilai MPS memiliki pola tersendiri dibandingkan dengan kedua parameter lainnya (Gambar 8). Selain itu ditinjau dari nilai NumP dan TE lahan pertanian, terlihat bahwa seluruh lokasi penelitian memiliki sebaran nilai yang lebar (Gambar 8a, 8c). Hal berbeda terjadi pada nilai MPS, dimana seluruh lokasi penelitian memiliki sebaran data yang kecil dan terdapat nilai ekstrem yang tidak termasuk dalam sebaran data di tahun 2001 dan 2013 (Gambar 8b). Berdasarkan pada Gambar 9a, kecamatan yang berdekatan dengan kota besar memiliki nilai NumP yang rendah di tahun 2001. Sedangkan kecamatan yang berjauhan dengan kota besar memiliki nilai NumP yang tinggi. Kecamatan yang kurang dipengaruhi oleh kota besar dan kecamatan yang sangat dipengaruhi oleh kota besar dapat dibatasi oleh nilai ambang batas NumP sebesar 1.100. Kedua kelompok kecamatan tersebut masih dapat dipisahkan dengan jelas pada NumP tahun 2013. Selain dapat dikelompokkan dengan ambang batas nilai NumP, kecamatan di wilayah studi juga dapat dikelompokkan oleh nilai TE. Gambar 9c menunjukkan bahwa kecamatan yang berjauhan dengan kota besar memiliki nilai TE yang lebih tinggi sedangkan kecamatan yang berdekatan dengan kota besar memiliki nilai TE yang lebih rendah di tahun 2001. Kedua kelompok kecamatan tersebut dapat dibatasi dengan nilai ambang batas TE sekitar 1.100.000 meter.
(31)
a)
b)
c)
Gambar 8. Boxplot nilai NumP lahan pertanian (PTN) tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c)
(32)
Pada kelompok kecamatan yang berjauhan dengan kota besar, Kecamatan Rumpin memiliki jarak paling jauh dan mengalami penurunan nilai NumP dan TE paling besar. Tergabung dalam kelompok kecamatan yang berdekatan dengan kota besar, Kecamatan Beji memiliki jarak paling dekat pada kelompok tersebut dan memiliki penurunan nilai NumP dan TE yang rendah. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa laju peningkatan nilai NumP dan TE dapat digunakan untuk mengetahui pola dan struktur lanskap di setiap kecamatan. Kecamatan yang berjauhan dengan kota besar cenderung memiliki laju penurunan parameter fragmentasi yang lebih besar, begitupun sebaliknya. Hal ini terkait dengan kondisi kecamatan yang berdekatan dengan kota besar yang telah jenuh dalam perubahan penggunaan lahan sehingga kondisi penggunaan lahan cenderung tetap dan fragmentasi lahan menjadi relatif konstan.
Berdasarkan nilai parameter MPS, terdapat dua kelompok kecamatan yang memiliki karakteristik berbeda. Kelompok pertama adalah Kecamatan Rumpin yang masih memiliki ukuran rataan lahan yang relatif besar. Kondisi ini dipengaruhi oleh keberadaan hutan yang masih cukup luas dan berada dalam satu poligon yang kompak (contiguous). Kelompok kecamatan kedua adalah seluruh kecamatan lain yang diteliti selain Rumpin. Kelompok kedua menunjukkan adanya pengaruh wilayah perkotaan yang cenderung menyebabkan zona pemanfaatan lahan menjadi terfragmentasi dan tidak menghasilkan suatu zonasi yang kompak. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Kamusoko et al. (2007) yang menyimpulkan bahwa lahan pertanian yang semakin menyempit dengan peluang fragmentasi yang besar dapat dipengaruhi oleh tingginya aktivitas lahan terbangun.
Menurut Solon (2009) pada dasarnya semakin jauh jarak suatu wilayah terhadap perkotaan maka kondisi lahan pertanian akan semakin mengelompok dengan bentuk yang sederhana. Konsep tersebut teramati di Kecamatan Rumpin. Berdasarkan kedekatan lokasi penelitian dengan kota besar yaitu Jakarta dan Kota Depok, terdapat kecenderungan awal bahwa kondisi perubahan nilai MPS lebih dipengaruhi jarak kecamatan terhadap Kota Depok. Hal ini sesuai dengan hasil analisis regresi berganda lahan pertanian skala desa (Tabel 5) yang menunjukkan bahwa semakin jauh jarak kecamatan ke kota besar akan mengalami perubahan nilai MPS yang tinggi pula. Wilayah dengan penurunan nilai MPS yang tinggi umumnya terletak pada lokasi yang berjauhan dari Kota Depok. Sebaliknya, terjadi agregasi wilayah non terbangun di kecamatan-kecamatan yang berdekatan dengan pusat Kota Depok sehingga menyebabkan peningkatan nilai MPS. Penurunan nilai MPS menunjukkan peningkatan dinamika pola penggunaan lahan, sehingga struktur lanskap menjadi lebih kecil akibat sistem pembagian lahan (Kamusoko et al. 2007).
(33)
a)
b)
c)
Gambar 9. Boxplot nilai NumP lahan pertanian (PTN) antar kecamatan tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c)
(34)
Kecamatan Rumpin memiliki kondisi khusus dibandingkan kecamatan lain terkait tiga parameter fragmentasi lahan pertanian. Beberapa kondisi yang hanya terjadi di Kecamatan Rumpin dan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan ketiga parameter fragmentasi adalah peningkatan aktivitas pembangunan pada rentang tahun 2001 sampai 2013. Hasil pengamatan lapangan dan didukung dengan wawancara dengan para pihak terkait menunjukkan bahwa pembangunan rumah warga mendominasi perubahan dan selanjutnya beragregasi menjadi zonasi yang lebih besar dan kompleks. Hal ini diduga dapat mempengaruhi penurunan nilai NumP. Kondisi ini umumnya terjadi di sekitar jalan sehingga lahan pertanian dan non pertanian mengumpul dalam suatu kesatuan. Selain keberadaan hutan yang relatif terjaga, faktor lain yang menyebabkan peningkatan nilai MPS yang tinggi adalah terjadinya pemusatan lahan pertanian di beberapa desa seperti Desa Leuwibatu, Cibodas, Gobang, Kampung Sawah, Cidokom dan Rabak. Selain itu, lahan terbangun pada kecamatan ini relatif terpusat pada lokasi utama yaitu di Desa Cipinang, Sukasari, Sukamulya, dan Kertajaya (Gambar 10a, 10b). Lahan pertanian yang cenderung mengelompok memberikan dampak positif terhadap kelestarian lingkungan di desa-desa tersebut, namun demikian hal ini juga berdampak negatif terhadap kelengkapan fasilitasnya.
a) b)
c) d)
Gambar 10. Poligon lahan pertanian Kecamatan Rumpin tahun 2001 (a), Kecamatan Rumpin tahun 2013 (b), Kecamatan Beji tahun 2001 (c), Kecamatan Beji tahun 2013 (d)
(35)
Terdapat kecenderungan bahwa semakin dekat suatu wilayah dengan kota besar maka lahan pertanian akan cenderung mengalami penurunan luas. Fenomena tersebut teramati di Kecamatan Beji (Gambar 10). Perubahan nilai MPS yang relatif kecil di kecamatan ini disebabkan oleh pemusatan lahan pertanian yang dikonversi menjadi perumahan dan emplasemen sehingga lahan pertanian yang tersisa umumnya terdapat di sekitar perbatasan antar desa dan di sekitar sungai (Gambar 10c, 10d). Kemudahan aksesibilitas dan kondisi jalan yang baik menjadi penyebab tingginya pembangunan dalam luasan yang besar. Pembangunan yang dilakukan antara tahun 2001 sampai 2013 menurut keterangan aparat desa dan ketua RT antara lain pembangunan ruko, kos-kosan dan perumahan. Pembangunan banyak terjadi mulai tahun 2001 dan mengalami tahap tidak berubah secara signifikan (leveling off)di tahun 2013 akibat ketiadaan lahan yang dapat dikonversi. Hal ini menjadi salah satu penyebab penurunan nilai NumP dan TE lahan pertanian yang rendah di Kecamatan Beji.
Penelitian ini menunjukkan bahwa informasi yang ditunjukkan oleh analisis fragmentasi dapat memperkaya telaah penggunaan lahan terutama berkaitan dengan upaya memproteksi wilayah pertanian. Menurut Rahman et al.
(2008), peningkatan 1% fragmentasi lahan akan menurunkan produktivitas beras sebesar 0.05% serta menurunkan efisiensi teknis sebesar 0.03%. Kondisi yang ditemukan di lokasi penelitian selaras dengan hasil penelitian Dewan et al. (2012) yang menunjukkan bahwa bahwa laju pembangunan yang tinggi mengakibatkan lanskap menjadi lebih homogen dan mengelompok.
Hubungan Parameter Fragmentasi Lahan Terbangun dan Jarak Kecamatan Terhadap Kota Besar
Analisis fragmentasi lahan terbangun dilakukan pada penggunaan lahan permukiman, emplasemen dan galian C tahun 2001 dan 2013. Hasil yang diperoleh berupa perubahan nilai parameter fragmentasi untuk sembilan kecamatan di lokasi penelitian. Kesembilan kecamatan memiliki kondisi wilayah yang berbeda-beda terutama dalam peningkatan penggunaan lahan permukiman dan emplasemen. Peningkatan lahan terbangun menyebabkan terbentuknya zona-zona yang merupakan peralihan antara desa ke kota. Perkembangan lahan terbangun yang terletak di pinggiran wilayah Jakarta cenderung tidak teratur (Darda 2009). Kondisi ini akan berpengaruh terhadap tingkat fragmentasi lahan dan kebijakan pemerintah dalam melakukan perencaan penataan ruang.
Gambar 11a menunjukkan sebaran nilai NumP lahan terbangun yang semakin meningkat dari tahun 2001 sampai 2013. Sebaran nilai berbeda ditunjukkan pada nilai MPS dan TE lahan terbangun. Nilai MPS memiliki sebaran nilai yang tinggi di tahun 2001 namun pada tahun 2013 sebaran nilai tersebut menurun dan adanya nilai pencilan yang tidak termasuk dalam nilai sebaran (Gambar 11b). Sedangkan untuk nilai TE memiliki sebaran nilai yang rendah dan adanya nilai pencilandan ekstrem di tahun 2001 serta memiliki sebaran nilai yang tinggi di tahun 2013 (Gambar 11c).
(36)
a)
b)
c)
Gambar 11. Boxplot nilai NumP lahan terbangun (TBN) tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c)
(37)
Secara umum terdapat dua pola utama pada nilai NumP dan TE lahan terbangun yaitu pola peningkatan nilai NumP dan TE yang signifikan dan pola peningkatan nilai NumP dan TE yang tidak signifikan (Gambar 11). Peningkatan nilai yang signifikan terjadi pada kelompok kecamatan yang berjauhan dengan kota besar dan dua kecamatan yang berdekatan dengan kota besar yaitu Kecamatan Cimanggis serta Sawangan. Sebaliknya, kecamatan lainnya yang berdekatan dengan kota besar mengalami peningkatan nilai NumP dan TE yang tidak signifikan (Gambar 12a, 12c). Berbeda dengan analisis fragmentasi lahan pertanian, terdapat kecenderungan awal dimana nilai NumP dan TE lebih dipengaruhi oleh Kota Depok dibandingkan dengan Jakarta (Tabel 4) terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi lajupeningkatan nilai NumP dan TE terjadi pada kecamatan yang berjauhan dengan Kota Depok. Kedua kelompok peningkatan nilai NumP dapat dibedakan pada nilai ambang batas tahun 2001 sebesar 150 dan masih mampu dibedakan dengan jelas pada tahun 2013. Sedangkan untuk peningkatan nilai TE tidak mampu dibedakan pada nilai ambang batas tahun 2001, namun dapat dibedakan pada nilai ambang batas tahun 2013 sebesar 700.000 meter.
Pada nilai MPS terdapat kecenderungan bahwa kecamatan yang berjauhan dengan kota besar mengalami laju penurunan yang tidak signifikan dibandingkan kecamatan yang berdekatan dengan kota besar. Berbeda dengan nilai NumP dan TE lahan pertanian, untuk nilai MPS lebih dipengaruhi keberadaan DKI Jakarta dibandingkan dengan Kota Depok.
Berdasarkan kondisi ini terlihat bahwa ketiga parameter fragmentasi dapat digunakan untuk mengetahui laju pembangunan lahan terbangun dan pola pembangunan yang terjadi di kecamatan tersebut. Kecamatan yang kurang dipengaruhi oleh kota besar mengalami kecenderungan peningkatan jumlah lahan terbangun yang tinggi dengan laju penambahan luas lahan terbangun dari tahun 2001 sampai 2013 relatif tetap. Sebaliknya kecamatan yang lebih dipengaruhi oleh kota besar mengalami peningkatan jumlah lahan terbangun yang relatif kecil tetapi ukuran rata-rata lahan terbangun mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan poligon lahan terbangun yang muncul memiliki ukuran yang relatif kecil sehingga berakibat pada penurunan nilai MPS. Berdasarkan kondisi ini terlihat bahwa kecamatan yang kurang dipengaruhi oleh kota besar mengalami laju pembangunan yang tinggi dengan pola pembangunan yang menyebar dan kompleks sedangkan kecamatan yang lebih dipengaruhi oleh kota besar cenderung mengalami pembangunan yang relatif lebih stabil.
(38)
a)
b)
c)
Gambar 12. Boxplot nilai NumP lahan terbangun (TBN) antar kecamatan tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c)
(39)
Kecamatan Rumpin dan Beji mengalami kekonsistenan dalam perubahan tiga parameter tersebut. Dengan kondisi wilayah yang berbeda, Kecamatan Rumpin mengalami perubahan paling tinggi sedangkan Kecamatan Beji mengalami perubahan paling rendah diantara kecamatan lainnya. Ketersediaan lahan pertanian yang masih luas di Kecamatan Rumpin mendorong peningkatan pembangunan dan perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Pembangunan di Kecamatan Rumpin lebih didominasi oleh rumah warga dengan bentuk yang lebih kompleks (Gambar 13a, 13b). Tingginya ketidakteraturan bentuk poligon akan meningkatkan proses terjadinya fragmentasi lahan dan mempersulit dilakukannya penataan ruang di lokasi tersebut. Beragamnya penyebaran lahan terbangun menyebabkan kondisi lanskap yang semakin kompleks dan keberagaman aktivitas manusia (Dewan et al. 2012).
Ketidakteraturan tersebut dapat menjadi acuan untuk mengetahui pola pertumbuhan lahan terbangun khususnya pola penyebaran permukiman yang terbentuk. Pola pertumbuhan permukiman di pedesaan yang berada di pinggiran kota tidak selalu seragam. Beberapa wilayah didominasi oleh penduduk berpenghasilan menengah, sementara di wilayah lain didominasi kawasan industri yang padat, perumahan murah atau kawasan yang dikembangkan sebagai penghasil produk pertanian. Kondisi ini akan mempengaruhi pola perkembangan permukiman di suatu wilayah (Tacoli 2003).
a)
c)
b)
d)
Gambar 13. Poligon lahan terbangun Kecamatan Rumpin tahun 2001 (a), Kecamatan Rumpin tahun 2013 (b), Kecamatan Beji tahun 2001 (c), Kecamatan Beji tahun 2013 (d)
(40)
Selanjutnya, di Kecamatan Beji tahun 2001 mengalami pembangunan dalam luasan besar, terlihat dari nilai MPS tahun 2001 yang artinya pembangunan didominasi oleh emplasemen, ruko, dan perumahan. Namun pada tahun 2013, pembangunan mengalami penurunan yang signifikan dimana pembangunan lebih banyak pada luasan kecil dengan tingkat kompleksitas yang lebih rendah (Gambar 12c, 12d). Berdasarkan perubahan tersebut, terlihat bahwa tingginya konversi yang terjadi pada kecamatan tersebut menyebabkan Kecamatan Beji berada dalam tahap tidak berubah secara signifikan (lavelling off). Hal ini sejalan dengan kondisi fragmentasi lahan pertanian (Gambar 9). Selain itu, kepadatan lahan terbangun di pusat kecamatan menyebabkan perembetan lahan terbangun ke arah pinggiran kecamatan, hal ini menyebabkan penurunan luas lahan terbangun yang kecil di tahun 2013 (Gambar 13c, 13d).
a)
b)
Gambar 14. Poligon lahan terbangun Kecamatan Cimanggis dan Sawangan tahun 2001 (a), Kecamatan Cimanggis dan Sawangan tahun 2013 (b)
(41)
Kondisi khusus terlihat pada Kecamatan Cimanggis dan Sawangan dimana kedua kecamatan ini memiliki kedekatan dengan kota besar namun mengalami perubahan parameter yang hampir sama dengan kecamatan yang berjauhan dengan kota besar. Kedua kecamatan yang terletak di Kota Depok tersebut memiliki lahan pertanian yang cukup luas dibandingkan kecamatan lain di Kota Depok sehingga berpengaruh terhadap tingkat pembangunan di kecamatan tersebut. Selain itu, dilihat dari batas administrasi terlihat bahwa kedua kecamatan merupakan kecamatan yang berjauhan dengan pusat Kota Depok dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Gunung Putri dan Gunung Sindur (Gambar 14a, 14b). Lokasi dari kedua kecamatan tersebut dapat mempengaruhi pola perubahan parameter fragmentasi lahan terbangun. Berdasarkan keterangan dari aparat desa dan ketua RT, pembangunan dalam luasan besar sudah terjadi sebelum tahun 2001 dan pembangunan tersebut masih berjalan sampai tahun 2013 tetapi dalam jumlah yang kecil sedangkan pembangunan lebih banyak pada pembangunan rumah dan kos-kosan. Hal ini menyebabkan perbedaan perubahan parameter fragmentasi antara Kecamatan Cimanggis dan Sawangan dibandingkan kecamatan lain di Kota Depok.
Kondisi lahan terbangun di kecamatan dengan perubahan parameter yang signifikan cenderung mengalami pembangunan lahan terbangun yang lebih heterogen. Hal ini akibat pengaruh pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien, lemahnya peraturan dari pemerintah daerah, terjadinya over-sentralisasi lembaga pengelolaan lahan dari pemerintah pusat, dan kurangnya keterjaminan hak kepemilikan lahan bagi warga pribumi (Firman 2004). Alasan lain yang mempengaruhi yaitu tingginya tekanan dari pengembang dan masyarakat perkotaan membuat penduduk pribumi khususnya petani untuk merelakan lahan yang dimilikinya untuk dijual dengan kompensasi yang tidak layak (Bittner et al.
2013). Sedangkan pada empat kecamatan lainnya memiliki kondisi lahan terbangun yang cenderung lebih homogen dalam kesatuan yang besar, hal ini akan mempermudah dalam pengaturan penataan ruang namun berpengaruh negatif terhadap lahan pertanian yang semakin sempit. Sebaliknya dengan kondisi lahan terbangun yang heterogen dan menyebar dalam luasan kecil cenderung mempersulit dalam penataan ruang dengan kondisi lahan pertanian yang relatif lebih luas.
(42)
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Fragmentasi Lahan
Pada penelitian ini, analisis regresi berganda digunakan untuk mengidentifikasi faktor yang berpengaruh terhadap tingkat fragmentasi lahan terbangun dan lahan pertanian. Analisis regresi berganda dilakukan dengan menggunakan data hasil wawancara pada skala desa dan RT. Ringkasan hasil analisis regresi disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan pertanian skala desa
Variabel Y Variabel X Beta t Sig R2 Adjusted
R2 Y1.1 =
Perubahan NumP PTN
X1.9 = Persentase
kepemilikan lahan
absentee
-0.966 -11.079 0.000 0.810 0.797
X1.18 = Panjang dilalui
jalan tol
0.214 2.459 0.020
Y1.2 = Perubahan
MPS PTN
X1.20 = Jarak ke jalan
tol
0.561 3.774 0.001 0.315 0.293
Y1.3 = Perubahan
TE PTN
X1.9 = Persentase
kepemilikan lahan
absentee
-0.831 -8.310 0.000 0.690 0.680
*Hasil lengkap tersaji di Tabel Lampiran 5
Tabel 5 menyajikan variabel yang secara statistik nyata berperan mempengaruhi fragmentasi lahan pertanian untuk unit data desa. Hasil lengkap disajikan di Tabel Lampiran 5. Secara umum, terdapat dua variabel yang mempengaruhi fragmentasi lahan pertanian pada skala desa yaitu kepemilikan lahan dan aksesibilitas. Variabel utama yang berpengaruh pada fragmentasi lahan adalah kombinasi kepemilikan lahan absentee dan akses jalan tol, dengan nilai R2 sebesar 81%. Peningkatan kepemilikan lahan absentee diketahui dapat menurunkan Y1.1 dan Y1.3. Hal ini disebabkan oleh kondisi dimana lahan yang
dibeli oleh pendatang sebagian besar digunakan untuk membangun rumah dan/atau dijadikan tanah kosong, sementara itu hanya sebagian kecil yang tetap dijadikan sebagai lahan pertanian. Jika kondisi ini berlanjut, maka jumlah dan ukuran poligon lahan pertanian dapat menurun dan menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan pertanian (Gunawan et al. 2013). Selain itu, posisi desa terhadap jalan tol berkorelasi positif terhadap nilai NumP. Dengan demikian dapat ditunjukkan bahwa bila suatu wilayah dilalui oleh jalan tol maka lahan pertanian dapat terkonversi melalui proses pemecahan poligon lahan pertanian sehingga dapat berpengaruh terhadap peningkatan nilai NumP. Dampak lain yang ditimbulkan dari pemecahan poligon antara lain perubahan kondisi lingkungan fisik, kimia dan ekologi (LI et al. 2010). Menurut Rahman et al. (2008), pemecahan poligon mampu menurunkan efisiensi teknis sebesar 0.03%, menurunkan produktivitas lahan, mempercepat laju degradasi lingkungan dan menghambat pembangunan pertanian. Selanjutnya pada Tabel 6 disajikan ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan pertanian dengan data skala rumah tangga.
(43)
Tabel 6. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan pertanian skala RT
Variabel Y Variabel X Beta t Sig R2 Adjusted
R2 Y2.1 = Perubahan
NumP PTN
X2.11 = Ukuran rumah -0.786 -9.051 0.000 0.796 0.782
X2.14 = Jarak ke jalan
tol
0.244 -2.810 0.009
Y2.2 = Perubahan
MPS PTN
X2.16 = Waktu tempuh
ke balai desa
0.914 2.622 0.014 0.720 0.681
X2.10 = Persentase
kepemilikan lahan
absentee
-1.752 -5.739 0.000
X2.3 = Rata-rata
jumlah anak per KK
1.569 3.363 0.002
X2.6 = Persentase
lahan pertanian warga pribumi
-0.414 -3.146 0.004
Y2.3 = Perubahan
TE PTN
X2.10 = Persentase
kepemilikan lahan
absentee
-0.726 -7.141 0.000 0.729 0.711
X2.13 = Ukuran
rata-rata luas sawah
-0.260 -2.558 0.016
*Hasil lengkap tersaji di Tabel Lampiran 6
Nilai R2 untuk model Y1.2 tercatat sebesar 31.5% dengan variabel yang
berpengaruh adalah jarak ke jalan tol. Daerah yang berdekatan dengan jalan tol cenderung mengalami konversi lahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang jauh dari jalan tol. Tingginya pembangunan tersebut akan menurunkan luasan lahan pertanian yang berimplikasi terhadap penurunan nilai MPS sehingga menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan (Cakir et al. 2008). Menurut Li et al. (2010), kondisi jalan beraspal seperti jalan tol, jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten menunjukkan tingkat perkembangan wilayah dari suatu kawasan perkotaan. Konsekuensi yang diperoleh dari pembangunan sarana infrastruktur jalan adalah percepatan pertumbuhan fragmentasi lanskap dan gangguan ekologi misalnya terjadinya isolasi populasi, degradasi kualitas habitat, dan penyempitan habitat yang akan mengancam kelestarian makhluk hidup di dalamnya (Gunawan et al. 2009).
Pada skala RT, secara umum variabel yang berpengaruh relatif sama dengan analisis skala desa yaitu kepemilikan lahan dan ukuran luas lahan yang dimiliki. Variabel yang mempengaruhi Y2.1 antara lain ukuran rumah dan ukuran luas
rata-rata sawah dengan nilai R2 sebesar 79.6%. Selain mempengaruhi Y2.1, ukuran
rata-rata sawah juga mempengaruhi Y2.3. Variabel-variabel tersebut menurunkan
nilai NumP dan nilai TE. Penurunan ini menyebabkan lahan pertanian semakin mengumpul dengan bentuk yang lebih sederhana akibat penurunan luas lahan sawah.
Nilai R2 untuk Y2.2 sebesar 72% dengan jumlah variabel paling banyak
(1)
Variabel Y Variabel X Beta t Sig R Adjusted R2 Y1.3 =
Perubahan TE PTN
X1.22 = Jarak ke kota atau
kabupaten
-0.141 -0.584 0.563
0.690
0.680X1.23 = Waktu tempuh ke
kecamatan
0.000 -0.003 0.998
X1.24 = Waktu tempuh ke
kabupaten
-0.130 -0.576 0.569
Lampiran 6. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan pertanian
skala RT
Variabel Y Variabel X Beta t Sig R2 Adjusted
R2 Y2.1 =
Perubahan NumP PTN
X2.1 = Pertumbuhan warga -0.077 -0.509 0.615
0.796
0.782X2.2 = Rata-rata pertambahan
KK tiap RT
-0.064 -0.538 0.595
X2.3 = Rata-rata jumlah anak
per KK
-0.211 -0.679 0.503
X2.4 = Persentase pekerjaan
petani
-0.118 -0.947 0.352
X2.5 = Persentase pekerjaan
non petani
-0.211 -0.789 0.436
X2.6 = Persentase lahan
pertanian warga pribumi
-0.059 -0.579 0.567
X2.7 = Persentse lahan
pertanian warga non pribumi
-0.077 -0.662 0.513
X2.8 = Luas lahan pertanian
milik warga pribumi
-0.065 -0.553 0.585
X2.9 = Luas lahan pertanian
milik warga non pribumi
-0.046 -0.495 0.624
X2.10 = Persentase
kepemilikan lahan absentee
-0.265 -1.037 0.308
X2.12 = Ukuran rumah dan
pekarangan
-0.183 -1.100 0.280
X2.14 = Jarak ke jalan tol -0.247 -1.550 0.132
X2.15 = Jarak ke balai desa -0.208 -0.810 0.424
X2.16 = Waktu tempuh ke
balai desa
-0.298 -1.272 0.213
Y2.2 =
Perubahan MPS PTN
X2.1 = Pertumbuhan warga -0.294 -1.551 0.132
0.720
0.681X2.2 = Rata-rata pertambahan
KK tiap RT
-0.191 -1.333 0.194
X2.4 = Persentase pekerjaan
petani
-0.124 -0.637 0.530
X2.5 = Persentase pekerjaan
non petani
0.110 0.306 0.762
X2.7 = Persentse lahan
pertanian warga non pribumi
-0.009 -0.057 0.955
X2.8 = Luas lahan pertanian
milik warga pribumi
0.024 0.213 0.833
X2.9 = Luas lahan pertanian
milik warga non pribumi
0.066 0.598 0.555
X2.11 = Ukuran rumah -0.112 -0.266 0.792
X2.12 = Ukuran rumah dan
pekarangan
(2)
Variabel Y Variabel X Beta t Sig R2 Adjusted R2 Y2.2 =
Perubahan MPS PTN
X2.13 = Ukuran rata-rata luas
sawah
-0.026 -0.232 0.818
0.720
0.681X2.14 = Jarak ke jalan tol -0.180 -0.690 0.496
X2.15 = Jarak ke balai desa -0.009 -0.011 0.991
Y2.3 =
Perubahan TE PTN
X2.1 = Pertumbuhan warga 0.009 0.048 0.962 0.729 0.711
X2.2 = Rata-rata pertambahan
KK tiap RT
-0.072 -0.547 0.588
X2.3 = Rata-rata jumlah anak
per KK
-0.326 -0.977 0.337
X2.4 = Persentase pekerjaan
petani
-0.125 -0.778 0.443
X2.5 = Persentase pekerjaan
non petani
-0.142 -0.573 0.571
X2.6 = Persentase lahan
pertanian warga pribumi
-0.057 -0.461 0.649
X2.7 = Persentse lahan
pertanian warga non pribumi
-0.111 -0.740 0.465
X2.8 = Luas lahan pertanian
milik warga pribumi
-0.115 -0.873 0.390
X2.9 = Luas lahan pertanian
milik warga non pribumi
-0.096 -0.962 0.344
X2.10 = Persentase
kepemilikan lahan absentee
-0.365 -1.685 0.103
X2.11 = Ukuran rumah -0.232 -0.861 0.396
X2.12 = Ukuran rumah dan
pekarangan
-0.229 -1.550 0.132
X2.14 = Jarak ke jalan tol 0.092 0.411 0.684
X2.15 = Jarak ke balai desa 0.085 0.119 0.906
Lampiran 7. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan terbangun
skala desa
Variabel Y Variabel X Beta t Sig R2 Adjusted
R2 Y1.4 =
Perubahan NumP TBN
X1.1 = Pertumbuhan
penduduk
0.054 0.666 0.511
0.832
0.821X1.2 = Rata-rata jumlah
anak per KK
0.177 0.828 0.414
X1.3 = Jumlah KK 0.129 0.930 0.360
X1.4 = Persentase
pekerjaan petani
0.910 0.829 0.414
X1.5 = Persentase
pekerjaan non petani
0.130 0.432 0.669
X1.6 = Jumlah kelompok
tani
-0.120 -0.113 0.910
X1.7 = Ukuran rumah -0.440 -0.525 0.603
X1.10 = Jumlah PBB 0.350 0.340 0.737
X1.11 = Persentase
peningkatan pajak
0.300 0.276 0.784
X1.12 = Harga transaksi
lahan
0.920 0.817 0.420
X1.13 = Harga sawah
dekat jalan
(3)
R Y1.4 =
Perubahan NumP TBN
X1.14 = Harga sawah jauh
dari jalan
0.019 0.162 0.872
0.832
0.821X1.15 = Harga lahan non
sawah dekat jalan
0.068 0.555 0.583
X1.16 = Harga lahan non
sawah jauh dari jalan
-0.220 -0.193 0.849
X1.17= Ukuran sawah 0.130 0.401 0.691
X1.18 = Panjang dilalui
jalan tol
-0.146 -1.686 0.102
X1.19 = Panjang dilalui
jalan Negara
0.096 1.091 0.284
X1.20 = Jarak ke jalan tol 0.103 0.756 0.456
X1.21 = Jarak ke kota
desa
-0.053 -0.394 0.696
X1.22 = Jarak ke kota atau
kabupaten
0.230 1.198 0.240
X1.23 = Waktu tempuh ke
kecamatan
-0.041 -0.301 0.766
X1.24 = Waktu tempuh ke
kabupaten
0.215 1.250 0.221
Y1.5 =
Perubahan MPS TBN
X1.1 = Pertumbuhan
penduduk
0.178 1.557 0.131 0.659 0.624
X1.2 = Rata-rata jumlah
anak per KK
0.051 0.350 0.729
X1.4= Persentase
pekerjaan petani
0.770 0.652 0.520
X1.3 = Jumlah KK -0.190 -0.869 0.392
X1.5 = Persentase
pekerjaan non petani
-0.730 -0.403 0.690
X1.6 = Jumlah kelompok
tani
0.122 0.956 0.347
X1.7 = Ukuran rumah 0.039 0.238 0.813
X1.8 = Ukuran rumah dan
pekarangan
0.053 0.328 0.745
X1.9 = Persentase
kepemilikan lahan
absentee
-0.056 -0.312 0.757
X1.11 = Persentase
peningkatan pajak
0.350 1.556 0.131
X1.13 = Harga sawah
dekat jalan
0.136 1.226 0.230
X1.14 = Harga sawah jauh
dari jalan
0.139 0.762 0.452
X1.15 = Harga lahan non
sawah dekat jalan
-1.023 -1.591 0.123
X1.17 = Ukuran sawah 0.001 0.011 0.992
X1.18 = Panjang dilalui
jalan tol
-0.131 -1.153 0.259
X1.19 = Panjang dilalui
jalan Negara
0.000 -0.007 0.994
X1.20 = Jarak ke jalan tol -0.023 -0.172 0.865
(4)
Variabel Y Variabel X Beta t Sig R2 Adjusted R2 Y1.5 =
Perubahan MPS TBN
X1.22 = Jarak ke kota atau
kabupaten
-0.045 -0.302 0.765 0.659 0.624
X1.23 = Waktu tempuh ke
kecamatan
-0.193 -1.377 0.179
X1.24 = Waktu tempuh ke
kabupaten
-0.090 -0.617 0.542
Y1.6 =
Perubahan TE TBN
X1.1 = Pertumbuhan
penduduk
-0.062 -0.707 0.485
0.814
0.802X1.2 = Rata-rata jumlah
anak per KK
0.029 0.125 0.901
X1.3 = Jumlah KK 0.107 0.736 0.468
X1.4 = Persentase
pekerjaan petani
0.107 1.001 0.325
X1.5 = Persentase
pekerjaan non petani
-0.126 -0.398 0.693
X1.6 = Jumlah kelompok
tani
-0.012 -0.113 0.911
X1.7 = Ukuran rumah 0.119 0.348 0.730
X1.8 = Ukuran rumah dan
pekarangan
0.220 1.108 0.277
X1.10 = Jumlah PBB 0.145 1.413 0.168
X1.11 = Persentase
peningkatan pajak
0.125 1.152 0.130
X1.12 = Harga transaksi
lahan
0.179 1.557 0.130
X1.13 = Harga sawah
dekat jalan
0.086 0.971 0.339
X1.14 = Harga sawah jauh
dari jalan
0.084 0.654 0.518
X1.15 = Harga lahan non
sawah dekat jalan
0.156 1.247 0.223
X1.16 = Harga lahan non
sawah jauh dari jalan
-0.007 -0.540 0.957
X1.17 = Ukuran sawah -0.096 -1.109 0.276
X1.19 = Panjang dilalui
jalan Negara
-0.002 -0.017 0.987
X1.20 = Jarak ke jalan tol -0.134 -0.845 0.405
X1.21 = Jarak ke kota
desa
-0.029 -0.209 0.836
X1.22 = Jarak ke kota atau
kabupaten
-0.034 -0.134 0.894
X1.23 = Waktu tempuh ke
kecamatan
-0.034 -0.236 0.815
X1.24 = Waktu tempuh ke
kabupaten
(5)
skala RT
Variabel Y Variabel X Beta t Sig R2 Adjusted
R2 Y2.4 =
Perubahan NumP TBN
X2.1 = Pertumbuhan
warga
-0.018 -0.127 0.900
0.841
0.830X2.2 = Rata-rata
pertambahan KK tiap RT
0.052 0.492 0.627
X2.3 = Rata-rata jumlah
anak per KK
0.402 1.615 0.117
X2.4 = Persentase
pekerjaan petani
-0.022 -0.178 0.860
X2.5 = Persentase
pekerjaan non petani
0.361 2.021 0.053
X2.6 = Persentase lahan
pertanian warga pribumi
0.015 0.155 0.878
X2.7 = Persentse lahan
pertanian warga non pribumi
-0.030 -0.262 0.795
X2.9 = Luas lahan
pertanian milik warga non pribumi
-0.085 -0.740 0.465
X2.10 = Persentase
kepemilikan lahan
absentee
0.311 1.898 0.068
X2.11 = Ukuran rumah 0.322 1.576 0.126
X2.12 = Ukuran rumah
dan pekarangan
0.201 1.668 0.106
X2.13 = Ukuran rata-rata
luas sawah
0.110 1.092 0.284
X2.14 = Jarak ke jalan tol 0.080 0.488 0.630
X2.15 = Jarak ke balai
desa
-0.139 -0.249 0.805
Y2.5 =
Perubahan MPS TBN
X2.1 = Pertumbuhan
warga
0.115 0.428 0.671 0.255 0.231
X2.2 = Rata-rata
pertambahan KK tiap RT
0.078 0.362 0.720
X2.3 = Rata-rata jumlah
anak per KK
0.695 1.556 0.130
X2.4 = Persentase
pekerjaan petani
0.247 1.301 0.203
X2.6 = Persentase lahan
pertanian warga pribumi
0.066 0.352 -0.727
X2.7 = Persentse lahan
pertanian warga non pribumi
-0.088 -0.418 0.679
X2.8 = Luas lahan
pertanian milik warga pribumi
0.097 0.584 -0.563
X2.9 = Luas lahan
pertanian milik warga non pribumi
0.050 0.304 0.763
X2.10 = Persentase
kepemilikan lahan
absentee
(6)
Variabel Y Variabel X Beta t Sig R2 Adjusted R2 Y2.5 =
Perubahan MPS TBN
X2.11 = Ukuran rumah 0.174 0.351 0.728 0.255 0.231
X2.12 = Ukuran rumah
dan pekarangan
0.219 0.810 0.425
X2.13 = Ukuran rata-rata
luas sawah
0.090 0.535 0.597
X2.14 = Jarak ke jalan tol 0.411 1.685 0.102
X2.15 = Jarak ke balai
desa
-0.177 -0.413 0.682
Y2.6 =
Perubahan TE TBN
X2.1 = Pertumbuhan
warga
-0.016 -0.118 0.907
0.853
0.837X2.2 = Rata-rata
pertambahan KK tiap RT
0.044 0.438 0.665
X2.3 = Rata-rata jumlah
anak per KK
0.258 0.856 0.399
X2.4 = Persentase
pekerjaan petani
0.137 1.180 0.248
X2.5 = Persentase
pekerjaan non petani
0.122 0.487 0.630
X2.6 = Persentase lahan
pertanian warga pribumi
0.054 0.582 0.565
X2.7 = Persentse lahan
pertanian warga non pribumi
0.018 0.160 0.874
X2.8 = Luas lahan
pertanian milik warga pribumi
0.089 0.897 0.377
X2.9 = Luas lahan
pertanian milik warga non pribumi
0.058 0.754 0.457
X2.11 = Ukuran rumah 0.119 0.432 0.669
X2.12 = Ukuran rumah
dan pekarangan
0.148 1.218 0.234
X2.14 = Jarak ke jalan tol 0.087 0.577 0.569
X2.16 = Waktu tempuh ke
balai desa