Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp pada sapi potong di Kecamatan Cijulang dan Cimerak, Ciamis, Jawa Barat

PREVALENSI INFEKSI Cryptosporidium sp PADA SAPI
POTONG DI KECAMATAN CIJULANG DAN CIMERAK,
CIAMIS, JAWA BARAT

SARAH FRISKA MANALU

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prevalensi infeksi
Cryptosporidium sp pada sapi potong di Kecamatan Cijulang dan Cimerak,
Ciamis, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Sarah Friska Manalu
NIM B04090189

ABSTRAK
SARAH FRISKA MANALU. Prevalensi Infeksi Cryptosporidium sp pada Sapi
Potong di Kecamatan Cijulang dan Cimerak, Ciamis, Jawa Barat. Dibimbing oleh
UMI CAHYANINGSIH.
Cryptosporidium sp merupakan parasit penyebab kriptosporidiosis pada
ternak sapi potong. Kriptosporidiosis dapat menular dari hewan ke manusia begitu
juga sebaliknya (zoonosis). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi
infeksi Cryptosporidium sp pada ternak sapi potong di Kecamatan Cijulang dan
Cimerak Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan sampel feses
sapi. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 145 dari 77 peternak. Berdasarkan
umur ternak, sampel terdiri dari 20 pedet, 33 anakan dan 92 ternak dewasa.
Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, ternak terdiri dari 127 ternak betina dan 18
ternak jantan. Sampel feses diperiksa dengan menggunakan metode gula apung
sheather, dilanjutkan pemeriksaan dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran
450x. Persentase prevalensi Cryptosporidium sp di daerah Cimerak (43,18%)

lebih lebih tinggi dibandingkan di kecamatan Cijulang (14,29%). Hasil pada uji
statistik menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Cryptosporidium sp berdasarkan
umur dan jenis kelamin tidak berbeda nyata (P > 0.05). Akan tetapi, berdasarkan
hasil deskriptif, prevalensi infeksi Cryptosporidium sp pada sapi betina (33.1%)
lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan (23%).
Keywords: Cryptosporidium sp, prevalensi, sapi, umur, jenis kelamin.

ABSTRACT
SARAH FRISKA MANALU. The Prevalence of Cryptosporidium sp Infection in
Cattle on Cijulang and Cimerak Regency, Ciamis, West Java. Supervised by UMI
CAHYANINGSIH.
Cryptosporidium sp is a parasite causes cryptosporidiosis in cattle.
Cryptosporidiosis can be transmitted from animals to humans and vice versa
(zoonosis). This research aimed to determine the prevalence of Cryptosporidium
sp infection in cattle at Cijulang and Cimerak regency, Ciamis, West Java. Fecal
specimens from 145 cattles of 77 farmers, consisted of 20 calves, 33 heifers and
92 adult cattles. Based on gender, the sample was consisted of 127 cows and 18
bulls. Sample of feces were examined by floating Sheather sugar and acid-fast
staining method. Percentage prevalence of Cryptosporidium sp in Cimerak area
(43.18%) was higher than in Cijulang area (14.29%). The result of statistical tests

shows the prevalence of Cryptosporidium sp infection based on age and gender is
no significant difference (P>0.05). However, based on the results of descriptive,
prevalence infection of Cryptosporidium sp in cows (33.1%) was higher than in
bulls (23%).
Keywords: Cryptosporidium sp, prevalence, cattle, age, gender.

PREVALENSI INFEKSI Cryptosporidium sp PADA SAPI
POTONG DI KECAMATAN CIJULANG DAN CIMERAK,
CIAMIS, JAWA BARAT

SARAH FRISKA MANALU

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

Judul Skripsi : Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp pada sapi potong di
Kecamatan Cijulang dan Cimerak, Ciamis, Jawa Barat
Nama
: Sarah Friska Manalu
NIM
: B04090189

Disetujui,

Prof Dr drh Umi Cahyaningsih, MS
Pembimbing

Diketahui,

drh Agus Setiyono MS Ph.D APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 hingga Juni 2013
ini ialah Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp pada sapi potong di Kecamatan
Cijulang dan Cimerak, Ciamis, Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
- Prof Dr drh Umi Cahyaningsih MS selaku dosen pembimbing skripsi, drh
Dewi Ratih Ph.D selaku dosen pembimbing akademik serta drh Arifin
Budiman yang telah banyak memberi saran hingga terselesaikannya
skripsi ini.
- Ibu Nani dan seluruh staf Laboratorium Endoparasit Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat yang telah membantu selama
penelitian dan pengumpulan data.
- Orang tua tercinta ayah Alm. Andus Manalu, ibu Rumondang Simamora,
abang Sanggam Manalu, adik-adik saya tercinta Ribka Manalu, Veronika
Manalu, Richard Manalu dan seluruh keluarga, atas segala doa, kasih
sayang, dan cinta sehingga dapat terlaksananya penelitian ini.

- Teman sepenilitian saya Bambang, Irwan, dan Tasya atas bantuannya
selama menjalani penelitian.
- Sahabat-sahabat saya tercinta kak Desi, kak Kezia, kak Evy, kak Krisna,
kak Yeti, kak Dewi, kak Mita, kak Melinda, kak Farah, Patricia, Nita,
Lantri, kak Farah, Resti dan seluruh Noviaer’s serta teman-teman saya fkh
46 Putra, Ridho, Fardi, Ivan, Joni dan Ardi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2013
Sarah Friska Manalu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
1
1

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi
Morfologi
Siklus hidup
Gejala klinis
Patogenesa
Diagnosa
Epidemiologi
Pencegahan, Pengobatan dan Pengendalian penyakit


2
2
2
2
3
4
4
4
5

METODE
Waktu dan tempat
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
Analisis data

5
5
5

5
6
7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp pada sapi potong di Kecamatan
Cijulang dan Cimerak
Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp berdasarkan jenis kelamin dan
umur ternak
Tingkat prevalensi infeksi Cryptosporidium sp berdasarkan umur ternak
dengan pewarnaan tahan asam (Ziehl Neelsens)

8
8
10
12

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran


13
13
13

DAFTAR PUSTAKA

14

RIWAYAT HIDUP

16

DAFTAR TABEL
1 Tingkat prevalensi infeksi Cryptosporidium sp
2 Sistem manajemen peternakan terkait infeksi Cryptosporidium sp di
Kecamatan Cijulang dan Cimerak
3 Sistem manajemen ternak berdasarkan sumber air yang digunakan
4 Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp berdasarkan jenis kelamin dan
umur ternak

5 Nilai Odds ratio yang mempengaruhi infeksi Cryptosporidium sp
berdasarkan jenis kelamin dan umur ternak
6 Rata-rata jumlah ookista Cryptosporidium sp per 10 lapang pandang
per ekor sapi berdasarkan umur ternak

8
8
10
10
11
12

DAFTAR GAMBAR
1 Siklus hidup Cryptosporidium sp
2 Ookista Cryptosporidium sp dibawah mikroskop pembesaran 1000×

3
12

PENDAHULUAN
Gerakan pembangunan sektor pertanian di Indonesia dilakukan untuk
mengimbangi laju permintaan produk pertanian dan meningkatkan kesejahteraan
petani dan masyarakat. Program Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS)
tahun 2014 merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan permintaan daging sapi dari hasil produksi
dalam negeri (Deptan 2010).
Program swasembada daging sapi dilakukan karena daging sapi merupakan
salah satu komoditi pangan yang dinilai berpotensi untuk pemenuhan pangan.
Daging sapi merupakan salah satu jenis pangan yang memiliki kandungan gizi dan
protein yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan tubuh manusia. Pada
kenyataannya, pelaksanaan program swasembada daging sapi 2014 tidak mudah,
karena terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terutama dari segi kesehatan.
Salah satu masalah dan kendala yang dihadapi adalah penyakit parasit yang
disebabkan oleh Cryptosporidium sp.
Cryptosporidium sp merupakan parasit penyebab kriptosporidiosis pada
ternak sapi (Sischo et al. 2000). Penyakit ini dapat menular dari hewan ke
manusia begitu juga sebaliknya (zoonosis) dan umumnya terjadi pada ternak sapi
yang masih berumur 1 sampai 6 bulan (Silverlas 2010). Kriptosporidiosis
menyebabkan gangguan pencernaan, sehingga menimbulkan gangguan
pertumbuhan, penurunan bobot badan, penurunan produktivitas dan menyebabkan
kematian (CDC 2010). Kerugian lain yang dialami peternak adalah penurunan
nilai jual dan membutuhkan biaya tambahan untuk pengobatan, perawatan dan
manajemen ternak. Oleh sebab itu, untuk mencegah terjadinya penyakit
kriptosporidiosis perlu diperhatikan manajemen ternak, sanitasi kandang dan
peralatan.
Tujuan Penelitian
Mengetahui prevalensi infeksi Cryptosporidium sp pada ternak sapi potong
di Kecamatan Cijulang dan Cimerak, Ciamis, Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi mengenai
prevalensi infeksi Cryptosporidium sp di Kecamatan Cijulang dan Cimerak,
Ciamis, Jawa Barat, serta dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk
penelitian selanjutnya.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi
Cryptosporidium sp merupakan parasit patogen penyebab kriptosporidiosis.
Cryptosporidium sp diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Apicomplexa
: Coccidea
: Eucoccidiorida
: Cryptosporidiidae
: Cryptosporidium
: Cryptosporidium hominis, C. parvum, C.andersoni, C. bovis,
C. canis, C. muris, C. felis, C. wrairi, C. suis, C. baileyi,
C. galli, C. varanii, C. serpentis, dan C. molnari (OIE 2008).

C. hominis menyerang manusia, C. parvum menyerang manusia, lembu, dan
mamalia lain, C.andersoni dan C. bovis menyerang sapi, C. canis menyerang
anjing, C. muris menyerang tikus, C. felis menyerang kucing, C. wrairi
menyerang babi hutan, C. suis menyerang babi, C. baileyi menyerang burung,
C. galli menyerang ayam dan unggas liar, C. varanii menyerang kadal,
C. serpentis menyerang ular dan kadal, dan C. molnari menyerang ikan (OIE
2008).
Morfologi
Cryptosporidium sp merupakan parasit patogen obligat intraselluler (OIE
2008). Ookista Cryptosporidium sp berukuran 4–6 µm berbentuk bulat telur.
Barer dan Wright (1990) menyatakan bahwa ookista Cryptosporidium sp
memiliki struktur dinding tunggal dan ganda, yang terdiri dari empat sporozoit
berbentuk bulan sabit, bersifat refraktil serta terdiri dari 1–8 granul yang menonjol.
Ookista berdinding tunggal tidak ditemukan pada sampel feses atau lingkungan,
karena ookista ini melakukan siklus autoinfeksi didalam tubuh induk semang.
Ookista berdinding ganda dikeluarkan melalui feses dan bertahan pada lingkungan
dalam jangka panjang. Ookista Cryptosporidium sp dapat bertahan hidup di air,
lingkungan buruk, suhu rendah dan kondisi lembab (OIE 2004), namun tidak
dapat bertahan hidup pada kondisi kering. Ookista Cryptosporidium sp resisten
terhadap desinfektan, dan hipoklorit 3 % (OIE 2004).
Siklus Hidup
Cryptosporidium sp mempunyai siklus hidup lengkap pada satu inang, yaitu
berkembang secara aseksual dan seksual (Smith dan Nichols 2009).
Cryptosporidium sp memiliki enam tahap perkembangan utama yaitu: 1) eksistasi
(pelepasan sporozoit infektif), 2) merogoni (multiplikasi aseksual dalam jaringan
epitel inang), 3) gametogoni (pembentukan mikrogamet dan makrogamet), 4)
fertilisasi (pembuahan, penyatuan mikrogamet dan makrogamet), 5) pembentukan

3
dinding ookista, dan 6) sporogoni (pembentukan sporozoit infektif dalam dinding
ookista) (Keusch et al. 1995 dalam Hannahs 2000).
Ookista Cryptosporidium sp ditransmisikan ke tubuh inang melalui rute
fecal-oral (melalui makanan dan minuman) (OIE 2008). Ookista mengandung
empat sporozoit infektif. Sporozoit infektif dilepas dan menembus enterosit
mikrovili untuk memulai siklus produktif (Barer dan Wright 1990). Sporozoit
akan dilapisi oleh membran sel apikal inang di dalam vakuola parasitoporus dan
kemudian berdiferensiasi menjadi tropozoit. Tropozoit mendapatkan nutrisi dari
induk semang melalui organel feeder yang terlihat seperti lipatan membran. Pada
proses pematangan, tropozoit mengalami pembelahan secara aseksual menjadi
meront tipe 1 yang berisi 6–8 merozoit. Meront tipe 1 pecah dan melepaskan
merozoit ke sel-sel epitel inang yang berdekatan. Merozoit tersebut berkembang
menjadi meront tipe I dan meront tipe II yang berisi 4 merozoit.
Meront tipe II mengalami pembelahan menjadi mikrogamet (jantan) dan
makrogamet (betina). Mikrogamet dan makrogamet bersatu membentuk ookista.
Ookista yang dihasilkan bersporulasi membentuk ookista berdinding tunggal dan
ganda. Ookista berdinding tunggal akan melakukan autoinfeksi pada inang,
sedangkan ookista berdinding ganda akan keluar dari saluran pencernaan dan
menginfeksi inang baru (Fayer 2003).

Gambar 1 Siklus hidup Cryptosporidium sp (Smith et al. 2005)
Gejala Klinis
Kriptosporidiosis lebih dominan terjadi pada hewan muda, karena sistem
kekebalan hewan muda belum terbentuk sempurna (Artama et al. 2005). Gejala
klinis yang muncul adalah anoreksia, diare, tremor dan penurunan bobot badan.
Sedangkan pada manusia adalah diare, nyeri perut dan kembung, mual, muntah,
penurunan bobot badan, demam, serta anoreksia (CDC 2010). Pada penderita

4
imunodefisiensi gejala yang timbul lebih parah, yaitu tubuh melemah akibat
dehidrasi (dapat kehilangan cairan tubuh hingga 20 liter per hari) (Juranek 1995).
Patogenesa
Kriptosporidiosis ditransmisikan melalui rute fecal-oral (melalui air minum
dan makanan) yang terkontaminasi ookista Cryptosporidium sp yang infektif
(Smith dan Nichols 2009). Ookista masuk ke usus kecil dan berkembangbiak
menjadi sebuah koloni (Taylor et al. 2007). Ookista mengalami tahap
perkembangan eksistasi, yaitu pelepasan sporozoit infektif. Sporozoit infektif
menempel pada mukosa epitel, kemudian menembus enterosit mikrovili untuk
memulai siklus produktif (Barer dan Wright 1990). Sporozoit menginduksi sel-sel
mukosa epitel melepaskan sitokin untuk mengaktifkan sel-sel fagosit. Sel-sel
fagosit akan melepaskan faktor pelarut histamin, serotonin, adenosin,
prostaglandin, leukotrien, dan platelet-activating factor. Faktor pelarut akan
meningkatkan sekresi usus (air dan klorida) dan menghambat penyerapan. Hal
tersebut menyebabkan kerusakan sel-sel epitel yang mengakibatkan malabsorbsi
nutrisi dan terjadi rangsangan terhadap nervus parasimpatis yang meningkatkan
gerakan peristaltik usus sehingga timbul gejala diare (Hannah 2000).
Diagnosa
Diagnosa kriptosporidiosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis, Immunofluorescence assay (IFA), Enzyme immunoassay (deteksi
antigen), dan Polymerase chain reaction (PCR) (Oyibo et al. 2011). Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan dengan mikroskop elektron atau mikroskop cahaya
menggunakan ulas sampel feses hewan yang terkontaminasi Cryptosporidium sp
(Soedarto 2003). Pembuatan sampel ulas feses dilakukan dengan metode gula
apung sheather dan pewarnaan. Pewarnaan yang digunakan adalah Ziehl Neelsens,
dan safranin metilen blue. Pada pewarnaan safranin metilen blue ookista berwarna
jingga sampai merah muda dan sporozoit berwarna lebih gelap (Mallinath et al.
2009), sedangkan pada pewarnaan Ziehl Neelsens ookista berwarna merah terang,
dan berdinding tebal (Oyibo et al. 2011).
Metode gula apung sheather yaitu metode yang digunakan untuk memeriksa
feses yang terkontaminasi ookista dengan cara mencampur feses dengan larutan
jenuh natrium klorida atau gula lalu disentrifugasi. Hasil sampel diperiksa dengan
pemeriksaan mikroskopis (Smith et al. 2007). Mallinath et al. (2009) menyatakan
bahwa morfologi ookista Cryptosporidium sp dengan metode gula apung sheather
berbentuk bulat atau oval, badan refraktil dengan membran sitoplasma tipis dan
granular.
Epidemiologi
Kasus kriptosporidiosis dilaporkan terjadi di seluruh dunia (Taylor et al.
2007). Penyakit ini memiliki morbiditas tinggi dan mortalitas rendah (CDC 2010).
Faktor penyebab terjadinya kriptosporidiosis adalah kondisi hewan stres, sistem
kekebalan menurun, dan manajamen buruk (Artama et al. 2005).

5
Pencegahan, Pengobatan dan Pengendalian Penyakit
Pencegahan dan pengendalian kriptosporidiosis dapat dilakukan dengan
memperhatikan manajemen ternak, meliputi sanitasi kandang, menghindari
kondisi hewan stres, pakan dan air minum bebas kontaminasi
Cryptosporidium sp, serta mengisolasi hewan sakit (Kennedy 2001). Paparan 5%
ammonia, 10% garam formol atau 3% hidrogen peroksida selama 18 jam dapat
mengurangi infektivitas Cryptosporidium sp (OIE 2004). Ramirez et al. (2004)
menyatakan bahwa ookista Cryptosporidium sp dapat dimusnahkan dengan
larutan amonia (≥50%), formalin (≥10%) selama 30 menit atau dengan
pengeringan.
Pengobatan Kriptosporidiosis pada hewan ternak hingga saat ini masih
kurang efektif, karena ookista Cryptosporidium sp bersifat obligat intraseluler
sehingga obat sulit mencapai target. Pengobatan Cryptosporidium sp
membutuhkan biaya yang cukup tinggi, sehingga menyebabkan kerugian bagi
peternak. Taylor et al. (2007) menyatakan bahwa pemberian kolostrum pada 24
jam pertama setelah kelahiran dan memisahkan ternak pedet dengan ternak
dewasa akan mengurangi resiko infeksi Cryptosporidium sp. Kolostrum berfungsi
untuk meningkatkan sistem kekebalan ternak dan mencegah terjadinya infeksi
penyakit.
Ramratman dan Flanigan (1997) menyatakan bahwa terapi suportif efektif
pada hewan yang terinfeksi kriptosporidiosis, karena terapi akan mengganti cairan
tubuh yang hilang akibat malabsorbsi dan diare. Cairan elektrolit yang digunakan
adalah cairan glukosa, sodium bikarbonat dan potassium. Cairan ini dapat
diberikan secara peroral maupun intravena.

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 sampai Juni 2013 di
Laboratorium Protozoologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Pengambilan sampel dilaksanakan di Kecamatan Cijulang dan Cimerak, Ciamis,
Jawa Barat.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah feses sapi, aquades, gula
sheater, larutan Ziehl Neelsens A (pewarna karbol fuchsin), Ziehl Neelsens B
(alkohol asam: HCl 3% dalam methanol 95%), dan Ziehl Neelsens C (pewarna
biru metilen).
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, batang pengaduk,
tabung reaksi, plastik bening, sentrifugasi, mikroskop, gelas objek, gelas penutup,

6
vial, pipet, lemari pendingin, bunsen, dan rak untuk meletakkan gelas objek saat
dipanaskan.
Prosedur Penelitian
Pengumpulan Data
Pengumpulan data ternak sapi potong di Kecamatan Cijulang dan Cimerak,
Ciamis, Jawa Barat dilakukan oleh enumerator melalui pengisian kuisioner
dengan metode wawancara. Informasi pada kuisioner berisi tentang manajemen
pemeliharaan ternak dan sumber air yang digunakan. Responden pada
pengumpulan data adalah pemilik atau petugas kandang sapi potong.
Ukuran Sampel
Populasi target dari penelitian ini adalah sapi potong peternakan rakyat di
Kecamatan Cijulang dan Cimerak, Ciamis, Jawa Barat. Unit sampling yang
digunakan adalah 145 ekor sapi potong dari 77 peternak. Sampel feses diambil
dari sapi potong dewasa (>12 bulan), anak (>6 sampai 12 bulan) dan pedet (0
sampai 6 bulan). Pengambilan ukuran sampel dilakukan dengan menggunakan
rumus:

Keterangan : N
n*
n
p
q
L






: Ukuran contoh
: Jumlah populasi ternak
: Ukuran populasi sampel
: Prevalensi dugaan
: 1- Prevalensi dugaan
: Tingkat kesalahan

Jumlah sampel yang digunakan dihitung dengan asumsi sebagai berikut:
Sensitivitas uji 95%
Spesifitas uji 100 %
Prevalensi dugaan 20%
Tingkat kepercayaan 95%
Tingkat kesalahan 6%

Pengambilan Sampel Feses
Pengambilan sampel feses dilakukan secara langsung dari rektum sapi.
Apabila sampel feses tidak dapat diambil secara langsung, maka sampel feses
diambil dari feses yang baru dikeluarkan dengan mengambil bagian atas. Sampel

7
feses diberi label pada plastik pembungkus, kemudian disimpan di dalam cool box
yang berisi es batu untuk dibawa ke laboratorium.
Pemeriksaan Sampel Feses
Pemeriksaan sampel dilakukan dengan metode pengapungan gula sheater,
yaitu 1 gram sampel feses diencerkan dengan 14 ml aquades, lalu disentrifugasi
dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Supernatannya dibuang dan
sedimennya ditambahkan larutan gula sheater hingga volume menjadi 15 ml,
kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit.
Supernatan dikoleksi untuk diperiksa dibawah mikroskop cahaya dengan
pembesaran 450 kali (Castro et al. 2002), untuk melakukan identifikasi
berdasarkan morfologi dan ukuran (Marcelo dan Borges 2002).
Pewarnaan Sampel Feses
Pewarnaan sampel feses dilakukan dengan metode pewarnaan tahan asam
(Ziehl Neelsen) yang berfungsi untuk mewarnai ookista Cryptosporidium sp.
Pewarnaan Ziehl Neelsens menggunakan larutan Ziehl Neelsens A (pewarna
karbol fuchsin), Ziehl Neelsens B (alkohol asam: HCl 3% dalam methanol 95%),
dan Ziehl Neelsens C (pewarna biru metilen). Ziehl Neelsens A berfungsi sebagai
pewarna utama, Ziehl Neelsens B sebagai peluntur sedangkan Ziehl Neelsens C
sebagai pewarna latar. Hasil yang akan didapat pada pewarnaan tahan asam ini
adalah Cryptosporidium sp berwarna merah dan sekitarnya berwana biru.
Langkah-langkah pewarnaan Ziehl Neelsens yaitu objek gelas dibersihkan
menggunakan alkohol 70% agar terbebas dari lemak. Preparat ulas dibuat dari
ookista yang mengapung diatas larutan gula sheather. Preparat ulas dikeringkan di
udara kemudian difiksasi diatas nyala api. Teteskan larutan Ziehl Neelsens A pada
sediaan yang telah difiksasi, dan dilewatkan di atas api bunsen sampai beberapa
kali selama 5–10 menit. Proses pemanasan berfungsi untuk membantu Ziehl
Neelsens A terserap kedalam sel. Teteskan larutan Ziehl Neelsens B hingga
pewarnaan terlihat pucat (merah muda), lalu cuci pada air mengalir dan keringkan
di udara. Proses selanjutnya, teteskan larutan Ziehl Neelsens C sebanyak 2 tetes
selama 2–3 menit, lalu cuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Pengamatan
dilalukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x.
Analisis Data
Data kuesioner dan pemeriksaan natif dianalisis secara deskriptif,
dilanjutkan dengan uji sidik ragam (ANOVA) menggunakan uji lanjut Duncan,
untuk melihat adanya pengaruh jenis kelamin dan umur terhadap infeksi
Cryptosporidium sp. Selanjutnya, dilakukan analisis regresi logistik untuk
menentukan faktor resiko infeksi Cryptosporidium sp berdasarkan jenis kelamin
dan umur ternak terhadap infeksi Cryptosporidium sp. Data hasil pewarnaan Ziehl
Neelsens dianalisis menggunakan uji sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut
Duncan untuk membandingkan jumlah parasit Cryptosporidium sp berdasarkan
umur ternak. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2007
dan program SPSS 16.

8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp pada sapi potong di Kecamatan
Cijulang dan Cimerak
Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp pada sapi potong di Kecamatan
Cijulang dan Cimerak disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Tingkat prevalensi infeksi Cryptosporidium sp
Kode Kecamatan
Cijulang
Cimerak

Jumlah Sampel
57
88

Jumlah sampel positif
3
17

Prevalensi (%)
5.26
19.32

Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp di Kecamatan Cimerak (19.32%)
lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Cijulang (5.26%). Prevalensi di
kedua kecamatan tersebut tergolong rendah. Silverlas (2010) menyatakan bahwa
infeksi Cryptosporidium sp dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu sistem
imun, dosis infeksi, dan manajemen ternak. Manajemen ternak yang buruk akan
meningkatkan resiko infeksi kriptosporidiosis pada ternak sapi. Menurut Artama
et al. (2002) tingkat infeksi Cryptosporidium sp dipengaruhi oleh pencemaran
lingkungan, suhu, kelembaban, dan letak wilayah.
Beberapa faktor manajemen ternak penyebab infeksi Cryptosporidium sp
antara lain sistem pemeliharaan, frekuensi penggembalaan, alas kandang, dan
sumber air yang digunakan. Sistem manajemen peternakan rakyat di Kecamatan
Cijulang dan Cimerak disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Sistem manajemen peternakan terkait infeksi Cryptosporidium sp di
Kecamatan Cijulang dan Cimerak
Cijulang
Cimerak
Manajemen Peternakan
n
n*
%
n
n*
%
Alas Kandang
- Semen
57
2
3.51
88
32
36.36
- Tanah
57
44
77.19
88
56
63.64
- Lainnya
57
11
19.30
88
0
0
Sistem Pemeliharaan
- Dikandangkan terus57
48
84.21
88
67
76.14
menerus
- Dilepas pada siang hari
dan dikandangkan pada
57
9
15.79
88
16
18.18
malam hari
- Dilepas/digembalakan
57
0
0
88
5
5.68
terus-menerus
Frekuensi membersihkan kandang
- Setiap hari
57
54
94.74
88
78
88.64
- Seminggu sekali
57
3
5.26
88
10
11.36
a

n: jumlah ternak, n*: jumlah ternak pengguna, %: persentase n*

9
Menurut hasil data survei kuesioner pada Tabel 2, alas kandang yang
digunakan terbagi menjadi tiga, yaitu alas kandang semen, tanah, dan lainnya.
Berdasarkan survei penggunaan alas kandang menunjukkan bahwa baik di
Kecamatan Cijulang dan Cimerak tergolong buruk. Hal ini dikarenakan tingginya
penggunaan alas kandang tanah dan rendahnya penggunaan alas kandang semen
di Kecamatan Cijulang dan Cimerak. Castro et al. (2002) menyatakan bahwa
ternak yang menggunakan alas kandang tanah memiliki resiko terinfeksi
Cryptosporidium sp lebih tinggi dibandingkan dengan ternak yang menggunakan
alas kandang semen. Penggunaan alas kandang tanah akan memungkinkan ookista
Cryptosporidium sp bertahan hidup lebih lama, karena alas kandang tanah relatif
lembab. Office International des Epizooties [OIE] (2004) menyatakan bahwa
ookista Cryptosporidium sp dapat bertahan hidup cukup lama pada lingkungan
buruk, air, suhu rendah dan kondisi lembab, namun ookista Cryptosporidium sp
tidak dapat bertahan lama pada kondisi kering. Ookista Cryptosporidium sp dapat
bertahan lama pada lingkungan buruk karena memiliki struktur berdinding ganda
(Barer dan Wright 1990).
Sistem pemeliharaan ternak sapi dilakukan dengan tiga cara, yaitu
pemeliharaan intensif (dikandangkan terus-menerus), semiintensif (digembalakan
pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari), dan ekstensif (digembalakan
terus-menerus). Hasil survei pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sistem
pemeliharaan ternak di Kecamatan Cimerak dan Cijulang tergolong buruk.
Tingginya persentase ternak yang dikandangkan terus-menerus dan rendahnya
ternak yang digembalakan secara berkala maupun terus-menerus memiliki resiko
terinfeksi Cryptosporidium sp lebih tinggi. Muhid (2011) menyatakan bahwa
prevalensi infeksi Cryptosporidium sp lebih tinggi pada ternak yang
dikandangkan secara terus-menerus, karena umumnya ternak defekasi dan
mengkonsumsi pakan dan air pada tempat yang sama. Namun, infeksi
Cryptosporidium sp juga dapat terjadi pada ternak yang digembalakan. Ternak
yang digembalakan secara semiintensif dan ekstensif akan memungkinkan untuk
mengkonsumsi pakan dan air yang telah terkontaminasi Cryptosporidium sp.
Selain itu, hewan sakit akan defekasi disembarang tempat, sehingga dapat
menularkan kriptosporidiosis pada hewan sehat lain.
Frekuensi membersihkan kandang merupakan salah satu faktor penting
untuk diperhatikan, karena berkaitan dengan sanitasi kandang. Sanitasi kandang
yang baik akan menurunkan prevalensi kriptosporidiosis. Frekuensi
membersihkan kandang di Kecamatan Cimerak dan Cijulang terbagi menjadi dua,
yaitu dibersihkan setiap hari dan seminggu sekali. Hasil survei pada Tabel 2
menunjukkan bahwa frekuensi membersihkan kandang di Kecamatan Cimerak
dan Cijulang tergolong baik. Frekuensi membersihkan kandang yang teratur dapat
mengurangi terjadinya penumpukan kotoran. Penumpukan kotoran umumnya
akan menyebabkan kondisi kandang lembab dan basah. Kondisi kandang yang
lembab dan basah baik untuk kelangsungan hidup ookista Cryptosporidium sp
infektif (OIE 2004).
Penularan kriptosporidiosis terjadi melalui rute fecal-oral (melalui air
minum dan makanan) yang terkontaminasi ookista Cryptosporidium sp yang
infektif (Smith dan Nichols 2009). Oleh karena itu, sumber air yang digunakan
penting untuk diperhatikan. Hasil survei manajemen ternak berdasarkan sumber
air yang di gunakan di Kecamatan Cijulang dan Cimerak diklasifikasikan menjadi

10
air sumur gali, air sumur pantek, dan air sungai / telaga / kolam. Air tersebut
digunakan sebagai sumber air minum dan air untuk membersihkan kandang.
Tabel 3 Sistem manajemen ternak berdasarkan sumber air yang digunakan
Jumlah Pengguna
Kode
Sumber Air
Jumlah
Persentase
Kecamatan
n
pengguna
(%)
Air sumur gali
Cijulang
57
44
77.19
Cimerak
88
46
52.27
Air sumur pantek
Cijulang
57
0
0
Cimerak
88
42
47.73
Air sungai /
Cijulang
57
24
42.11
telaga / kolam
Cimerak
88
0
0
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada Kecamatan Cijulang dan Cimerak,
sumber air yang digunakan sudah tergolong baik. Hal tersebut disebabkan oleh
tingginya penggunaan sumber air sumur gali dan sumur pantek dibandingkan
penggunaan air sungai / telaga / kolam. Air sumur gali dan air sumur pantek
memiliki resiko terkontaminasi Cryptosporidium sp relatif lebih rendah dibanding
air sungai / telaga / kolam. Air sungai / kolam / telaga umumnya digunakan
sebagai tempat untuk memandikan ternak, sehingga akan meningkatkan
pencemaran ookista Cryptosporidium sp infektif. Kondisi lingkungan sungai /
kolam / telaga yang basah dan cukup lembab akan memungkinkan ookista
Cryptosporidium sp untuk bertahan hidup selama berbulan-bulan (OIE 2004).
Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp berdasarkan jenis kelamin dan umur
ternak
Tabel 4 Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp berdasarkan jenis kelamin dan
umur
Peubah
Jenis kelamin
- Betina
- Jantan
Umur
- Pedet
- Anak
- Dewasa
a

n : jumlah ternak.

n

Cijulang
Positif Persentase (%)

n

Cimerak
Positif Persentase (%)

49
8

2
1

4.08
12.5

78
10

16
1

20.51
10

7
14
36

0
1
2

0
7.14
5.56

13
19
56

2
6
9

15.36
31.58
16.07

11
Tabel 5 Nilai Odds ratio infeksi Cryptosporidium sp berdasarkan jenis kelamin
dan umur ternak
Peubah

P

Cijulang
OR
SK 95 %

Cimerak
OR
SK 95 %

P

Jenis kelamin
- Jantan vs Betina

0.348

0.298

0.24-3.733

0.440

0.431

0.051-3.652

Umur
- Pedet vs Anak
- Pedet vs Dewasa
- Anak vs Dewasa

0.999
0.999
0.832

1.243
9.503
1.308

0.000
0.000
0.109-15.679

0.308
0.951
0.151

2.538
1.053
2.410

0.424-15.211
0.199-5.577
0.725-8.017

Keterangan : uji Regresi logistik: uji Regresi logistik: * signifikan (p0.05) baik
di Kecamatan Cijulang dan Cimerak (Tabel 5). Hasil tersebut sesuai dengan Nasir
et al. (2009) yang menyatakan bahwa hewan betina dan jantan memiliki resiko
terinfeksi Cryptosporidium sp tidak berbeda nyata, karena sistem pertahanan
tubuh yang sama. Akan tetapi, hasil pada Tabel 5 berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Ayenmode dan Benjamin (2010) yang menyatakan bahwa
hewan betina memiliki resiko terinfeksi dua kali lebih besar dibandingkan hewan
jantan (OR: 2.847, SK: 1.755-4.618). Penyebab betina lebih beresiko terinfeksi
Cryptosporidium sp dibandingkan jantan masih belum diketahui, kemungkinan
hal tersebut berkaitan dengan adanya masa kebuntingan dan masa laktasi pada
hewan betina (Ayenmode dan Benjamin 2010).
Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp secara deskriptif berdasarkan umur
ternak pada Kecamatan Cijulang menunjukkan bahwa anak (7.14%) lebih tinggi
dibandingkan dengan dewasa (5.56%), demikian juga pada Kecamatan Cimerak
yang menunjukkan bahwa anak (31.58%) lebih tinggi dibandingkan dengan pedet
(15.36%) dan dewasa (16.07%) (Tabel 4). Hasil (Tabel 4) kemudian dianalisis
secara statistika, yang menunjukkan bahwa pedet, anak, dan dewasa tidak berbeda
nyata (P>0.05) baik di Kecamatan Cijulang dan Cimerak (Tabel 5). Hal tersebut
mengindikasikan bahwa umur ternak tidak berpengaruh terhadap infeksi
Cryptosporidium sp. Hal ini tidak sesuai dengan literature, menurut Faubert dan
Litvinsky (2000) yang menyatakan bahwa infeksi Cryptosporidium sp lebih
dominan pada pedet dan anakan dibanding dewasa, karena sistem kekebalan pada
ternak muda belum terbentuk sempurna. Akan tetapi, Artama et al. (2005)
menyatakan bahwa kejadian infeksi dapat terjadi pada semua tingkat umur. Hal
tersebut tergantung pada tatalaksana peternakan, yang meliputi penggabungan
semua ternak pada satu kandang, belum adanya saluran pembuangan maupun bak
penampungan kotoran ternak, dan limbah ternak yang belum tertangani dengan
baik (Artama et al. 2005).

12
Tingkat prevalensi infeksi Cryptosporidium sp berdasarkan umur ternak
dengan pewarnaan tahan asam (Ziehl Neelsens)
Pewarnaan Ziehl Neelsens dilakukan sebagai pemeriksaan lanjutan dari
pemeriksaan natif. Pewarnaan ini dilakukan untuk megurangi adanya positif palsu
pada pemeriksaan natif dan juga untuk melihat perbandingan jumlah parasit
berdasarkan umur ternak. Sampel feses yang telah diperiksa secara natif dan
mendapat hasil positif akan dilanjutkan dengan pewarnaan Ziehl Neelsens,
kemudian diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000×. Pada
pewarnaan Ziehl Neelsens menunjukkan bahwa morfologi ookista
Cryptosporidium sp berwarna merah padat dengan latar belakang biru tua.

Gambar 2 Ookista Cryptosporidium sp (kiri) hasil penelitian dengan pewarnaan
Ziehl Neelsens, pembesaran 1000×, dan kanan gambar referensi
(Pinge et al. 2004).
Tabel 6 Rata-rata jumlah ookista Cryptosporidium sp per 10 lapang pandang per
ekor sapi berdasarkan umur ternak
Rata-rata jumlah ookista Cryptosporidium sp per 10
Umur
n
lapang pandang per ekor sapi
Pedet
2
12. 50±2.12a
Anak
7
9.14±9.73a
Dewasa
11
5.54±2.54a
Keterangan : uji ANOVA dengan uji lanjut Duncan; huruf kecil superskrip yang berbeda pada
kolom yang sama menyatakan hasil berbeda nyata, (p0.05). Menurut
Garcia (2001) jumlah ookista di 20 bidang yang dipilih secara acak pada 1000×
pembesaran, dikategorikan menjadi empat yaitu tidak ditemukan ookista
dinyatakan negatif, 1-5 ookista dinyatakan positif namun kategori sedikit, 6-10
kategori sedang, lebih dari 10 tergolong relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
rataan jumlah ookista Cryptosporidium sp per 10 lapang pandang per ekor sapi di
Kabupaten Ciamis tergolong relatif tinggi.
Menurut Artama et al. (2005) jumlah ookista pada setiap hewan bervariasi,
hal ini diduga karena faktor lingkungan dan sistem kekebalan tubuh ternak. Ratarata jumlah ookista per gram ternak sapi pada periode laktasi adalah 500
ookista/gram (Faubart dan Litvinsky 2000), pada pedet sebanyak 215
ookista/gram (Nizeyi 2002), dan pada kondisi akut sebanyak 107 ookista/gram
(Yoshinori et al. 2000). Berdasarkan lokasi rata-rata jumlah ookista per gram pada

13
daerah dataran tinggi adalah 19,32 ookista/gram (16,79−21,85 ookista/gram) dan
pada dataran rendah adalah 4,88 ookista/gram (2,51−7,25 ookista/gram) (Artama
et al. 2005).

SIMPULAN
Tingkat prevalensi infeksi Cryptosporidium sp pada ternak sapi potong di
Kecamatan Cijulang dan Cimerak tergolong rendah. Umur dan jenis kelamin tidak
berpengaruh terhadap infeksi Cryptosporidium sp. Rataan jumlah ookista
Cryptosporidium sp pada ternak pedet, anak, dan dewasa tidak berbeda nyata.
Manajemen peternakan berdasarkan sistem pemeliharaan ternak, frekuensi
membersihkan kandang, dan sumber air yang digunakan sudah cukup baik, namun
berdasarkan penggunaan alas kandang, peternak masih menggunakan alas
kandang tanah.

SARAN
Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada peternakan rakyat di
Kecamatan Cijulang dan Cimerak, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat untuk
memperhatikan penggunaan alas kandang dan sistem pemeliharaan ternak.

14

DAFTAR PUSTAKA
Artama K, Cahyaningsih U, Sudarnika E. 2005. Prevalensi infeksi
Cryptosporidium parvum pada sapi bali di dataran rendah dan dataran tinggi
di Kabupaten Karangasem Bali [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ayinmode BA, Benjamin OF. 2010. Prevalence of Cryptosporidium infection in
cattle from South Western Nigeria. Vet archive. 80(6):723-731.
Barer MR, Wright AW. 1990. Cryptosporidium and Water. United Kingdom
(UK): University of Newcastle upon Tyne. hlm 271-277.
Castro HJA, Losadaand YAG, Aresmazas E. 2002. Prevalence of and risk factor
invold in the spread of neonatal bovine Cryptosporidiosis in Galacia (NW
Spain). Vet Parasitol. 106(1):1-10.
[CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2010. ParasiteCryptosporidium. America serikat (US) [Internet]. [diunduh 2013 Mei 18].
Tersedia pada: http://www.cdc.gov/pa rasites/crypto.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging
Sapi Tahun 2014. Departemen Pertanian Republik Indonesia (ID). 122 hlm.
Fayer R. 2003. Basic Biology of Cryptosporidium parvum. United State (US):
Kansas State University [Internet]. [diunduh 2013 Mei 10]. Tersedia pada:
http://www.ksu.edu/par asitology/basicbio.
Faubert GM, Litvinsky Y. 2000. Natural transmission of Cryptosporidium parvum
between dams and calves on a Dairy Farm. J Parasitol. 86(3):495-500.
Garcia LS. 2001. Diagnostic Medical Parasitology 4th ed. Washington DC (US):
ASM Press. Di dalam: Ayinmode BA, Benjamin OF. 2010. Prevalence of
Cryptosporidium infection in cattle from South Western Nigeria. Vet
archive. 80(6):723-731.
Hannah G. 2000. Cryptosporidium parvum: an Emerging Pathogen. Ohio (US):
Kenyon College [Internet]. [diunduh 2013 Juni 4]. Tersedia pada:
http://biology.kenyon.edu/slonc/bio38/hannahs/crypto.htm.
Juranek DD. 1995. Cryptosporidiosis: Source of Infection and Guidelines for
Prevention. Clinical Infectious Disease. 21 Suppl1: S57-61.
Kennedy MD. 2001. Coccidiosis in Cattle [Internet]. [diunduh 2013 Juni 4].
Tersedia
pada:
http://www1.agric.gov.ab.ca/$department/deptdocs.nsf/all/agdex3455.
Keusch GT, Hamer D, Joe A, Kelley M, Griffiths J, Ward H. 1995.
Cryptosporidia: Who is at Risk?. Schweiz Med Wochenschr. 125(18):899908. Di dalam: Hannah G. 2000. Cryptosporidium parvum: an Emerging
Pathogen. Ohio (US): Kenyon College [Internet]. [diunduh 2013 Juni 4].
Tersedia pada: http://biology.kenyon.edu/slonc/bio3 8/hannahs/crypto.htm.
Mallinath RHK, Chikkachowdappa PG, Ananda KJG, Placid ED. 2009. Studies
on the prevalence of cryptosporidiosis in bovinus in organized dairy farms
in and around Bangalore. South India (IN): Veterinary College.
Marcelo S, Borges AS. 2002. Some Aspects of Protozoan Infections in
Immunocompromised Patients-A Review. Rio de janeiro (BR): Mem Inst
Oswaldo Cruz. 97(4):443-457.
Muhid A, Roberston I, Josephine NG, Ryan U. 2011. Prevalence of and
management factors contributing to Cryptosporidium sp Infection in pre-

15
weaned and post-weaned calves in Johor, Malaysia. Exp Parasitol. 127:534538.
Nasir A, Avais M, Khan MS, Ahmad N. 2009. Prevalence of Cryptosporidium
parvum infection in Lahore (Pakistan) and its association with diarrhea
dairy calves. Int J Agric Biol. 11:221-224.
Nizeyi JB, Cranfield MR, Graczyk TK. 2002. Cattle near the Bwindi Impenetrable
National Park, Uganda, as a reservoir of Cryptosporidium parvum and
Giardia duodenalis for local community and freeranging gorillas. J.
Parasitol. 88(4):380−385.
[OIE] Office International des Epizooties Collaborating Center Iowa State
University College of Veterinary Medicine. 2004. Cryptosporidiosis. United
State (US): Iowa State University.
[OIE] Office International des Epizooties. 2008. OIE Terrestrial Manual Chapter
2.9.4: Cryptosporidiosis [Internet]. [diunduh 2013 Juni 6]. Tersedia pada:
http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Healthstandards/tahm/2.09.04CRPT
O.pdf.
Ojuromi T. 2011. Diagnosis of Intestinal Cryptosporidiosis in Africa: Prospect
and Challenges. Nigeria (NG): Lagos State University.
Oyibo WA, Okangba CC, Obi RK, Nwanebu FC, Ojuromi T. 2011. Diagnosis of
Intestinal Cryptosporidiosis in Africa: Prospect and Challenges. Nigeria
(NG): Lagos State University.
Pinge VS, Douglas C, Antony W. 2004. Cyclospora infection masquerading as
coeliac disease. Med J. 180(6):295-296.
Ramirez NE, Lucy AW, Srinand S. 2004. A review of the biology and
epidemiology of cryptosporidiosis in humans and animal. J. Parasitol.
6(8):773-85.

16

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Sarah Friska Manalu. Penulis dilahirkan di
Lampung Barat pada tanggal 21 Juli 1992. Penulis merupakan putri kedua dari
lima bersaudara dari pasangan bapak Andus Manalu (alm) dan Ibu Rumondang
Simamora. Penulis menempuh Sekolah Menengah Atas di SMA N 1
Doloksanggul KM 2.5 kabupaten Humbang Hasundutan Sumatra Utara.
Selanjutnya penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN). Selama menempuh pendidikan di IPB Penulis mengikuti organisasi
Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB, Persekutuan Fakultas Kedokteran
Hewan IPB, Organisasi Mahasiswa Daerah Siborong-borong (GAMASINTAN),
dan Himpro HKSA. Selain itu, Penulis juga selalu berpartisipasi dalam
Pemeriksaan Kesehatan Hewan dan Daging Kurban setiap Idul Adha yang rutin
diadakan oleh FKH IPB setiap tahun.