Kajian Kasus Kriptosporidiosis pada Sapi Potong di Kecamatan Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat

KAJIAN KASUS KRIPTOSPORIDIOSIS PADA SAPI POTONG
DI KECAMATAN UJUNGJAYA, SUMEDANG, JAWA BARAT

NATHASIA LARIZKY

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Kasus
Kriptosporidiosis pada Sapi Potong di Kecamatan Ujung Jaya, Sumedang, Jawa
Baratadalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015
Nathasia Larizky
NIM B04090195

ABSTRAK
NATHASIA LARIZKY. Kajian Kasus Kriptosporidiosis pada Sapi Potong di
Kecamatan Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat. Dibimbing oleh UMI
CAHYANINGSIH.
Kriptosporidiosis merupakan zoonosisyang disebabkan oleh protozoa
spesiesCryptosporidium.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan
mengidentifikasi tingkat prevalensi infeksi C. parvum pada sapi potong di
peternakan rakyat pada wilayah Kecamatan Ujung Jaya, Kabupaten Sumedang,
Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini memeriksa sampel feses sapi sebanyak 60
sampel dari 35 peternak. Berdasarkan umur ternak, 60 sampel tersebut terdiri atas
10 pedet, 9 sapi anakan, dan 41 sapi dewasa. Dan berdasarkan jenis kelamin, 60
sampel tersebut terdiri atas 46 sapi betina, dan 14 sapi jantan. Sampel diuji dengan
metode pengapungan gula sheaterdan diamati di bawah mikroskop. Prevalensi
Kriptosporidiosis di Kecamatan Ujung Jaya masih dalam kategori rendah
(11.67%). Melalui analisis statistik didapat hasil bahwa umur dan jenis kelamin
tidak meningkatkan prevalensi Kriptosporidiosis secara signifikan (P>0.05) baik

pada pedet, anakan, atau sapi dewasa. Berdasarkan hasil deskriptif, prevalensi
Kriptosporidiosis lebih tinggi pada sapi jantan (14.29%) daripada sapi betina
(10.87%), juga pada sapi dewasa (7.32%) lebih rendah dari pada pedet (20%) dan
sapi anakan (22.22%)
Kata kunci: Kriptosporidiosis, prevalensi, sapi potong, Ujung Jaya, Sumedang

ABSTRACT
NATHASIA LARIZKY. The Study of Cryptosporidiosis in Cattle on Ujung Jaya
Regency, Sumedang, West Java. Supervised by UMI CAHYANINGSIH.
Cryptosporidiosis is a zoonoses caused by Cryptosporidiumspecies. This
research were aim to study and identification the prevalence of C. parvum in
cattle on Ujung Jaya Regency, Sumedang, West Java. This research studied 60
fecal specimens, consisted of 10 calves, 9 heifers, and 41 adult cattles. And based
on gender, consisted of 46 cows and 14 bulls. Samples were examined by floating
sheater sugar and microscopic examination. The prevalence of Cryptosporidiosis
on Ujung Jaya Regency was 11.67%. Based on statictical analysis, age and
gender could not increase the prevalence of Cryptosporidiosis significantly
(P>0.05). And based on the descriptive analysis the prevalence of
Cryptosporidiosis in bulls (14.29%) higher than in cows (10.87%), and for adult
cows (7.32%) is lower than neonate calf (20%) and calf (22.22%).

Keywords:Cryptosporidiosis, prevalence, cattle, Ujung Jaya, Sumedang

KAJIAN KASUS KRIPTOSPORIDIOSIS PADA SAPI POTONG
DI KECAMATAN UJUNGJAYA, SUMEDANG, JAWA BARAT

NATHASIA LARIZKY

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi :Kajian Kasus Kriptosporidiosis pada Sapi Potong di Kecamatan
Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat

Nama
: Nathasia Larizky
NIM
: B04090195

Disetujui oleh

Prof Dr Drh Umi Cahyaningsih, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 hingga Juni 2013
ini ialah Kajian Kasus Kriptosporidiosis pada Sapi Potong di Kecamatan Ujung
Jaya, Sumedang, Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepadaProf Dr Drh Umi Cahyaningsih, MS
selaku pembimbing skripsi dan kepada dan Drh Surachmi Setyaningsih, PhD
selaku pembimbing akademik. Disamping itu tak lupa penulis juga mengucapkan
kepada seluruh dosen FKH serta staf Laboratorium Endoparasit Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, teman sepenelitian (Sarah,
Bambang, dan Irwan) yang telah membantu jalannya penelitian, orang tua terkasih
(papa-mama) dan seluruh keluarga, Latifah, Risnia, Putra, Novri, Regina, FKH 46
atas doanya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015
Nathasia Larizky

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


ix

DAFTAR GAMBAR

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian


1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Taksonomi Cryptosporidium sp.

2

Morfologi Cryptosporidium sp.

2

Siklus hidup Cryptosporidium sp.

2

Kriptosporidiosis


4

Epidemiologi

4

Pemeriksaan untuk Diagnosa

4

Penularan, Pencegahan, dan Pengobatan

5

METODE

6

Waktu dan Tempat


6

Prosedur Analisis Data

6

Pengumpulan Data

6

Ukuran Sampel

6

Pengambilan Sampel Feses

6

Pemeriksaan Sampel Feses


7

Pewarnaan Sampel Feses

7

Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

7
8

Prevalensi Infeksi Cryptosporidium sp. pada Sapi Potong di Kecamatan
Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat

8

Prevalensi Infeksi Cryptosporidium sp. berdasarkan Jenis Kelamin dan
Umur Ternak


10

SIMPULAN DAN SARAN

12

Simpulan

12

Saran

12

DAFTAR PUSTAKA

13

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1 Cryptosporidium sp. yang menular ke manusia berdasarkanOffice
International des Epizooties/OIE
2 Tingkat prevalensi infeksi Cryptosporidium sp.
3 Sistem manajemen peternakan di Kecamatan Ujung Jaya
4 Sistem manajemen ternak berdasarkan sumber air yang digunakan
5 Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp. berdasarkan jenis kelamin dan
umur ternak
6 Nilai odds ratio infeksi Cryptosporidium sp. berdasarkan jenis kelamin
dan umur ternak

2
8
9
10
11
11

DAFTAR GAMBAR
1 Siklus Hidup Cryptosporidium sp.

3

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jumlah penduduk Indonesia, setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan,
menurut data dari BPS tahun 2010, terdapat peningkatan dari tahun 1980 hingga
tahun 2010, masing-masing adalah 147 490 298 dan 237 641 326 jiwa. Adanya
peningkatan jumlah penduduk memengaruhi peningkatan kebutuhan pangan
terutama kebutuhan konsumsi daging. Namun di Indonesia terjadi penurunan
produksi daging. Kurangnya produksi daging salah satunya dapat disebabkan
karena adanya infeksi Cryptosporidium sp. pada ternak.
Pada hewan ternak, Cryptosporidium sp. berhubungan dengan terjadinya
diare pada pedet yang telah berumur 30 hari (Mohammed et al. 1999).
Cryptosporidium sp. menginvasi dan tinggal dalam sel epitel, kebanyakan
terdapat pada usus halus, dan tidak menginvasi lapisan mukosa yang lebih dalam
(Laurent et al. 1999). Enteritis dan kolitis dapat ditemukan pada usus halus yang
terinfeksi C. parvum ( Fayer dan Ungar 1986). Gejala klinis lain yang telah
diketahui adalah hewan malas untuk bergerak, letargi, anoreksia, demam,
dehidrasi, dan kondisi tubuh yang semakin menurun (Dubey et al. 1978). Selain
menular pada sapi, kriptosporidiosis juga dapat menular pada manusia.Tanaman
pangan yang diberi pupuk kandang dapat berperan sebagai sumber infeksi.
Namun, kontaminasi sumber air adalah sumber utama infeksi pada manusia
(Ramirez et al. 2004).
Dalam melakukan penelitian ini, keberadaan ookista Cryptosporidium sp.
pada saluran pencernaan diperiksa melalui feses sapi sehingga dapat diketahui
derajat infeksinya. Dengan demikian, peternak dapat mencegahterjadinya
infeksi.Agar produksi daging sapi dapat lebih baik dan mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat Indonesia.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengidentifikasi tingkat
prevalensi infeksi Cryptosporidium sp. pada sapi potong di peternakan rakyat
pada wilayah Kecamatan Ujung Jaya, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui penyebaran kriptosporidiosis
di Kecamatan Ujung Jaya. Selain itu juga mengetahui cara atau upaya
pengendalian serta pencegahan penularan kriptosporidiosis yang sangat mudah
terjadi antara ternak ke ternak maupun ternak ke manusia. Dengan demikian,
masyarakat lebih waspada akan bahaya kriptosporidiosis.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Cryptosporidium sp.
Cryptosporidium merupakan patogen penting dalam dunia peternakan dan
kehidupan manusia, termasuk dalamfamili Cryptosporididae, ordo Eucoccidiorida,
kelas Sporozoasida, dan filum Apicomplexa (OIE 2008). Jenis
Cryptosporidiumyang menular ke manusia berdasarkan Office International des
Epizooties/OIE(2008) dicantumkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Cryptosporidium sp. yang menular ke manusia berdasarkanOffice
International des Epizooties/OIE (2008)
Spesies
C. hominis
C. parvum
C. suis
C. felis
C. canis
C. meleagridis
C. muris

Inang
Manusia
Manusia
Babi
Kucing
Anjing
Kalkun
Hewan pengerat

Dapat Menginfeksi ke Manusia
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya

Namun, terdapat juga beberapa jenis Cryptosporidium yang tidak
menyerang manusia, antara lain C. wrairi (marmut), C. fayeri (kangguru merah),
C. bovis (sapi), sertaC. baileyi (unggas) (OIE 2008).

Morfologi Cryptosporidium sp.
Ookista Cryptosporidium sp. berbentuk bulat, dan berdiameter 3–6 μm.
Terdapat dua jenis ookista, ookista berdinding tebal dan yang berdinding tipis
(Ramirez et al. 2004). Ookista yang berdinding tebal akan dikeluarkan melalui
feses dan bertahan dilingkungan (Hijjawi et al. 2004). Ookista yang berdinding
tipis dapat bereksitasi didalam tubuh inang(sapi) dan menyebabkan autoinfeksi,
yang menggambarkan terjadinya infeksi yang persisten (pada penderita AIDS)
walaupun tidak ditemukan adanya ookista berdinding tebal pada feses (Currentdan
Garcia 1991 dalam Ramirez et al. 2004). Ookista yang bersporulasi mengandung
empat sporozoit (Fayer dan Ungar 1986).

Siklus hidupCryptosporidium sp.
Inang yang terinfeksi akan menyebarkan ookista melalui feses. Ookista yang
dikeluarkan bersifat infeksius dan dapat bertahan lama di lingkungan tanpa
kehilangan infektivitasnya karena dinding ookistayang sangat kuat sehingga dapat
melindungi keempat sprozoit di dalam ookista tersebut dari bahaya kimia maupun
fisik.

3
Jika ookista tertelan oleh inang yang baru, ookista akan mengalami eksitasi.
Eksitasi sporozoit memerlukan enzim pankreas dan juga garam empedu. Akan
tetapi, eksitasi juga dapat terjadi secara spontan di dalam air (Laurent et al. 1999).
Empat sporozoit yang motil akan dilepas di usus halus dan menginvasi sel epitel
dari usus halus tersebut, kebanyakan adalah jejunum dan ileum. Parasit akan
menginfeksi bagian apeks dari epitel usus dan berdiam dibawah membran sel
tetapi berada diluar sitoplasma (Hijjawi et al. 2004).Cryptosporidiumsp.
mendapatkan nutrisi dari inang melalui feeder organelle yang terlihat seperti
lipatan membran yang dihubungkan dengan vesikel kecil pada sitoplasma inang
(Laurent et al. 1999).

Gambar 1Siklus Hidup Cryptosporidium sp. (Fayer dan Ungar 1986)
Sporozoit kemudian berdiferensiasi menjadi tropozoit (Fayer dan Ungar
1986). Selama proses maturasi, multiplikasi secara aseksual terjadi dan
menghasilkan meront tipe 1 yang mengandung 6–8 merozoit. Ketika pecah,
merozoit akan menginvasi sel epitel inang dan akan berkembang menjadi meront
tipe 1 dan meront tipe 2 (Laurent et al. 1999).Meront tipe 1 berkembang secara
aseksual sedangkan meront tipe 2 berkembang secara seksual yang kemudian
akan berubah menjadi mikrogamon. Mikrogamon akan menjadi mikrogamet dan
makrogamon. Mikrogamet akan memfertilisasi makrogamon. Ookista merupakan
hasil dari produksi seksual (Fayer dan Ungar 1986).Ada dua ookista yaitu ookista
berdinding tebal dan tipis. Ookista berdindingtipis dapat bersporulasi pada inang
yang sama dan memulai siklus hidup yang baru (autoinfeksi). Hal ini dapat
menyebabkan infeksi yang lebih berat lagi terhadap epitel usus halus dan
menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi dan diare.Ookista yang berdinding
tebal akan dikeluarkan melalui feses dan bertahan dilingkungan (Hijjawi et al.
2004).

4
Kriptosporidiosis
Cryptosporidium sp.adalah parasit yang menyebabkan Kriptosporidiosis.
Jenis Cryptosporidium sp. yang paling banyak menyerang ternak adalah
Cryptosporidium parvum. Parasit ini menginfeksi sel-sel epitel pencernaan pada
usus halus bagian distal, sekum, dan kolon. Vili usus menjadi atrofi, dan terjadi
pemendekan mikrovili usus serta pengelupasan sel epitel pada infeksi yang berat.
Dan biasanya akan sembuh setelah 2 minggu menunjukkan gejala kesakitan.
Mortalitasnya rendah kecuali terjadi infeksi sekunder seperti oleh rotavirus.
Infeksi C.parvum dapat menyebabkan dehidrasi, kedinginan, anoreksia, demam
dan penurunan kondisi tubuh (OIE 2008).Gejala klinis infeksi Cryptosporidium sp.
dapat terlihat pada pedet yang berumur 1 sampai 4 minggu. Gejala klinis yang
paling dapat dikenali adalah diare yang profuse, encer, dan berwarna kuning yang
kadang terdapat sedikit darah. Pada pedet sering terjadi dehidrasi dan febrile.
Beberapa memiliki rambut yang kasar dan lemas atau ataxia (Fayer dan Ungar
1986). Mortalitas yang disebabkan oleh Kriptosporidiosis hampir mencapai angka
35% pada pedet (Singh et al. 2006 dalam Masood et al. 2013)
Diare pada hewan yang menderita Kriptosporidiosis disebabkan tingginya
produksi prostaglandin pada saluran pencernaan. Peningkatan produksi
prostaglandin pada usus distimulasi oleh makrofag yang diinduksi oleh adanya
invasi Cryptosporidium sp. pada mukosa usus. Prostaglandin menyebabkan
terhambatnya penyerapan NaCl dan juga meningkatkan gerak peristaltik usus
menyebabkan terjadinya diare. Rusaknya sel epitel serta vili usus juga
menyebabkan terjadinya malabsorpsi gizi (Laurent et al. 1999).
Epidemiologi
Cryptosporidium parvum adalah parasit protozoa yang menyebabkan infeksi
pada saluran pencernaan pada banyak jenis mamalia dan juga manusia (Causapéet
al. 2002). Transmisi dapat terjadi dengan penyebaran ookista secara fekal-oral
(Laurent et al. 1999). Tingginya prevalensi infeksi pada pedet terjadi akibat
mengkonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi (Ramirez et al. 2004). Menurut
Artama et al. (2005) faktor penyebab terjadinya kriptosporidiosis pada pedet
adalah adanya kontak langsung dengan lantai yang tercemar C. parvum dari
ternak dan lingkungan yang tercemar serta kualitas kolostrum yang buruk.
Penggunaan pupuk kandang pada tanaman di ladang maupun di sawah juga
merupakan faktor penyebab kriptosporidiosis.
Pemeriksaan untuk Diagnosa
Pemeriksaan infeksi Cryptosporidium sp. dapat dilakukan dengan
pewarnaan immunofuoresen atau dengan enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) serta metode immune-chromatographic (IC) (OIE 2008). Pemeriksaan
dengan melakukan pewarnaan pada feses juga dapat dilakukan. Terdapat beberapa
metode pada pewarnaan feses yaitu Giemsa, pewarnaan tahan asam (ZiehlNeelsen), pewarnaan dengan safranin dan biru metilen, methanamine silver,
nigrosin, periodic acid-Schiff, trichrome, pewarnaan dengan eosin dan biru
metilen, serta pewarnaan Gram (Fayer dan Ungar 1986).

5

Penularan, Pencegahan, dan Pengobatan
Penularan dapat dilakukan secara fekal dan oral. Biasanya penularan melalui
pakan dan minuman. Dan juga secara langsung dari feses yang berasal dari hewan
yang terinfeksi. Feses yang ditampung untuk digunakan sebagai pupuk tanpa
diolah terlebih dahulu juga dapat memudahkan penularan parasit ini. Ookista yang
terdapat didalam feses akan hanyut ketika hujan dan menuju penampungan air
seperti dam, danau atau sungai. Hal ini akan menyebabkan penularan ke manusia
menjadi lebih mudah (OIE 2008).
Pencegahan dan pengendalian kriptosporidiosis dapat dilakukan dengan
meningkatkan kualitas sanitasi pada peternakan, mengisolasi ternak yang sakit,
dan juga memastikan pedet yang baru lahir mendapat kolostrum yang baik.
Pembatasan jumlah ternak, pemisahan ternak muda dengan ternak dewasa,
meminimalisir kontak antara pekerja kandang dengan pedet dapat mengurangi
kesempatan bagi parasit untuk menyebar di dalam peternakan. Letak peternakan
juga lebih baik jika jauh dari sungai agar tidak terjadi kontaminasi secara
langsung jika terjadi hujan (Ramirez et al. 2004). Pemanasan hingga 65°C selama
30 menit menyebabkan ookista Cryptosporidium sp. bersifat non-infeksius
(Tzipori 1983 dalam Fayer dan Ungar 1986). Larutan 5% amonia juga dapat
digunakan untuk membersihkan lantai peternakan (Ramirez et al. 2004).
Dalam melakukan pengobatan Kriptosporidiosis, sampai saat ini rehidrasi
melalui oral atau intravena masih merupakan salah satu pengobatan yang paling
banyak digunakan untuk meminimalisir gejala klinis pada manusia maupun
hewan (Ramirez et al. 2004).

6

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi, Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Bulan Oktober 2012
sampaidengan Juni 2013. Pengambilan sampel dilaksanakan di Kecamatan Ujung
Jaya, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.

Prosedur Analisis Data
Pengumpulan Data
Pengumpulan data ternak sapi potong di Kecamatan Ujung Jaya, Sumedang,
Jawa Barat dilakukan oleh enumerator dengan melakukan pengisian kuesioner dan
wawancara untuk mengumpulkan data dari responden. Responden adalah peternak
atau petugas kandang. Kuesioner berisi data mengenai sumber air yang digunakan
dan manajemen pemeliharaan ternak.
Ukuran Sampel
Sampel target populasi adalah sapi potong peternakan rakyat Kabupaten
Sumedang, Jawa Barat. Sampel yang digunakan adalah 60 ekor sapi potong dari
35 peternak. Sampel feses diambil dari sapi potong dewasa (umur lebih dari 12
bulan), anak (umur lebih dari 6 sampai 12 bulan), dan pedet (umur 0 sampai 6
bulan). Pengambilan ukuran sampel dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan : n
p
q
L

:
:
:
:

Ukuran populasi sampel
Prevalensi dugaan
1- Prevalensi dugaan
Tingkat kesalahan

Jumlah sampel yang digunakan dihitung dengan asumsi sebagai berikut:
1. Prevalensi dugaan 20%
2. Tingkat kepercayaan 95%
3. ingkat kesalahan 6%
Pengambilan Sampel Feses
Pengambilan sampel feses dilakukan dengan dua cara yaitu langsung
dilakukan dengan mengambil feses dari rektum sapi dan tidak langsung dengan
mengambil feses yang baru keluar (dengan cara mengambil bagian atasnya).
Sampel feses kemudian disimpan di dalam cool box untuk selanjutnya diperiksa di
laboratorium. Setiap sampel dibungkus plastik dan diberi label.

7
Pemeriksaan Sampel Feses
Pemeriksaan sampel menggunakan metode pengapungan gula sheater.
Sampel feses1 gram diencerkan dengan menggunakan air sebanyak 14 mL.
Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm/10 menit. Supernatan
dibuang sedangkan sedimennya ditambahkan larutan gula sheater hingga volume
15 mL. Kemudian dilakukan sentrifugasi kembali dengan kecepatan 1500 rpm/10
menit. Supernatan diambil dan diperiksa di mikroskop cahaya dengan pembesaran
450 kali (Castro-Hermidaet al. 2002).
Pewarnaan Sampel Feses
Metode yang digunakan untuk mewarnai isolatCryptosporidium sp. adalah
pewarnaan tahan asam (Ziehl Neelsens). Pewarnaan menggunakan Ziehl Neelsens
A (pewarna karbol fuksin) sebagai pewarna utama, Ziehl Neelsens B (alkohol
asam) sebagai peluntur, dan Ziehl Neelsens C (pewarna biru metilen) sebagai
pewarna penutup. Hasilnya ialah Cryptosporidium sp. berwarna merah dan daerah
sekitarnya berwarna biru.
Tahapan dalam pewarnaan Ziehl Neelsens ialah membersihkan objek gelas
menggunakan alkohol agar tidak terdapat lemak. Ookista yang mengapung pada
larutan gula sheater digunakan untuk membuat preparat ulas. Preparat ulas
dikeringkan di udara dan kemudian difiksasi diatas api. Larutan Ziehl Neelsens A
diteteskan pada preparat ulas yang telah difiksasi, dan keringkan di atas api
bunsen dengan cara dilewatkan hingga beberapa kali selama 5−10 menit. Proses
tersebut dilakukan agar Ziehl Neelsens A terserap ke dalam sel. Selanjutnya
larutan Ziehl Neelsens B diteteskan hingga pewarnaan terlihat pucat (berwarna
merah muda) dan dicuci pada air mengalir kemudian keringkan di udara. Tahapan
berikutnya ialah larutan Ziehl Neelsens C diteteskan sebanyak 2 tetes dan
didiamkan selama 3 menit, setelah itu dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan
di udara. Pengamatan dilakukan di mikroskop dengan perbesaran 1000 kali.
Ookista Cryptosporidium sp.akan berwarna merah.

Analisis Data
Data yang diperoleh melalui kuesioner dan pemeriksaan natif dianalisis
secara deskriptif. Dan kemudian dirangkum kembali dan dengan uji sidik ragam
(ANOVA) menggunakan uji lanjut Duncan untuk melihat adanya pengaruh jenis
kelamin dan umur terhadap infeksi Cryptosporidium sp.Selanjutnya, dilakukan
analisis regresi logistik untuk menentukan faktor resiko infeksi Cryptosporidium
sp.berdasarkan jenis kelamin dan umur ternak.Analisis data dilakukan dengan
menggunakan Microsoft Excel 2007 dan program SPSS 16.0.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi Infeksi Cryptosporidium sp. pada Sapi Potong
di Kecamatan Ujung Jaya, Sumedang, Jawa Barat
Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp. di Kecamatan Ujung Jaya adalah
11.67%(Tabel 2). Prevalensi pada kecamatan ini masih tergolong rendah.
Rendahnya prevalensi infeksi Cryptosporidium sp.pada Kecamatan Ujung Jaya
dapat disebabkan iklim yang panas mulai dari pagi hari hingga siang hari dan
terletak di dataran rendah.
Tabel 2Tingkat prevalensi infeksi Cryptosporidium sp.
Kecamatan
Ujung Jaya

Jumlah sampel
60

Jumlah positif
7

Prevalensi (%)
11.67

Artama et al. (2005) menyatakan bahwa faktor penyebab infeksi
Cryptosporidium adalah pencemaran lingkungan, suhu, letak wilayah, dan curah
hujan. Selain itu, Silverlas (2010)
menyatakan bahwa infeksi
Cryptosporidiumsp.tergantung dosis infeksi dan manajemen ternak, antara lain
jenis alas kandang, sistem pemeliharaan, frekuensi pembersihan kandang, dan
sumber air yang digunakan.
Pada peternakan sapi potong di Kecamatan Ujung Jaya, jenis alas kandang
yang digunakan terdapat 3 jenis yaitu semen, tanah, dan lainnya. Pada Kecamatan
Ujung Jaya, alas kandang yang paling banyak digunakan adalah alas
semen.Ternak yang menggunakan alas kandang semen dan terinfeksi
Cryptosporidium sp. terdapat sebanyak 3 ekor dan ternak yang menggunakan alas
kandang tanah dan terinfeksi Cryptosporium sp. sebanyak 4 ekor. CastroHermidaet al. (2002) mengungkapkan bahwa ternak yang menggunakan alas
kandang tanah lebih rentan terinfeksi oleh Cryptosporidium sp. dibandingkan
yang menggunakan alas semen. Hal ini juga berhubungan dengan ookista C.
parvumyang dapat bertahan dalam waktu lama (lebih dari 6 bulan) pada keadaan
lembab (OIE 2008). Pada Tabel 3 ditunjukkan bahwajumlah ternak yang
terinfeksi lebih sedikit jika menggunakan alas semen dibanding menggunakan alas
tanah. Sama seperti yang dingkapkan oleh Trotz-William et al. (2008) yang
menyatakan peternakan yang menggunakan alas kandang semen memiliki resiko
terinfeksi Cryptosporidium sp. lebih rendah dibandingkan dengan alas kandang
yang berupa tanah.
Sistem pemeliharan sapi terdapat tiga jenis penggembalaan, yaitu
dikandangkan terus menerus (intensif), dilepas siang hari dan dikandangkan
malam hari (semi-intensif), serta dilepas terus menerus (ekstensif). Pada
Kecamatan Ujung Jaya, peternak hanya menggunakan dua metode
penggembalaan, yaitu dikandangkan terus menerus (intensif) serta dilepas pada
siang hari dan dikandangkan pada malam hari (semi-intensif).

9
Tabel 3Sistem manajemen peternakan di Kecamatan Ujung Jaya
Manajemen peternakan
Alas kandang
- Semen
- Tanah
- Lainnya
Sistem pemeliharaan
- Dikandangkan terus-menerus
- Dilepas pada siang hari dan
dikandangkan pada malam hari
- Dilepas/digembalakan terusmenerus
Frekuensi membersihkan kandang
- Setiap hari
- Seminggu sekali
- Beberapa kali dalam seminggu

N

n

n*

Ujung Jaya
%

P

OR

60
60
60

35
16
9

3
4
0

58.33
26.67
15

0.114
0.102
0.363

0.281
0.000
0.000

60

27

5

45

0.135

3.523

60

33

2

55

0.135

0.000

60

0

0

0

60
60
60

58
2
0

7
0
0

96.67
3.33
0

0.601

0.000

N: jumlah ternak, an: jumlah ternak pengguna, n*: jumlah ternak pengguna yang positif, %:
persentase an, P*: P- value, OR: Odds ratio

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ternak yang dikandangkan terus menerus
(intensif) lebih mudah terinfeksi dibandingkan dengan ternak yang dikandangkan
hanya pada malam hari (semi-intensif). Hal ini dikarenakan ternak akan lebih
sering berinteraksi dengan feses yang mungkin saja terkontaminasi dengan
Cryptosporidium sp. jika berada di kandang secara terus menerus. Pakan dan
minum dapat juga terkontaminasi feses. Penggembalaan sapi secara semi-intensif
dapat mengurangi kontak ternak dengan feses. Faktor lain yangdapat
memengaruhi prevalensi infeksi Cryptosporidiumsp. pada sapi adalah frekuensi
membersihkan kandang. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa peternak di Kecamatan
Ujung Jaya melakukan pembersihan kandang setiap hari atau seminggu sekali.
Jika kandang dibersihkan secara terus menerus, maka akan mengurangi kontak
sapi dengan feses yang mungkin terkontaminasi dengan Cryptosporidiumsp.
sehingga dapat mengurangi risiko ternak terinfeksi. Cryptosporidium sp. memiliki
ookista yang dapat bertahan di air selama 140 hari (Hooda et al. 2000 dalam
Ramirez et al. 2004) dan sulit dihancurkan dengan klorinasi (Ramirez et al. 2004).
Berdasarkan uji regresi logistik pada Tabel 3, faktor manajemen yang
berasosiasi terhadap prevalensi infeksi Cryptosporidium sp. hanya pada sistem
pemeliharaan saja. Sapi yang dikandangkan secara terus menerus sepanjang hari
(intensif) memiliki resiko terinfeksi 3.523 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
sapi yang dikandangkan hanya pada malam hari (semi-intensif)tetapi tidak
berbeda nyata. Sedangkan jenis alas kandang yang digunakan dan frekuensi
pembersihan kandang tidak berasosiasi terhadap prevalensi infeksi
Cryptosporidium sp. pada ternak.
Sumber air minum sapi juga merupakan faktor penyebab infeksi
Kriptosporidiosis. Hal ini disebabkan rute penularan Kriptosporidiosis melalui
fekal-oral, biasanya penularan melalui pakan atau minum yang tercemar (OIE
2008). Infeksi dapat menyebar dari hewan ke hewan melalui fekal-oral, biasanya
dapat terjadi pada kandang yang penuh. Akan tetapi, kontaminasi pada ambing

10
dan air minum oleh feses juga merupakan salah satu sumber transmisi infeksi
yang terjadi pada peternakan (Ramirez et al. 2004). Heitman et al. (2002)
mengatakan bahwa peternakan yang airnya bersumber dari sumur memiliki
konsentrasi parasit yang lebih rendah dibandingkan dengan peternakan yang
airnya bersumber dari air permukaan (danau, sungai). Kontaminasi dapat terjadi
karena hewan yang terinfeksi Kriptosporidiosis melakukan defekasi dan menjadi
sumber kontaminasi di air permukaan (danau, sungai).
Tabel 4Sistem manajemen ternak berdasarkan sumber air yang digunakan
Sumber air

Kecamatan

Air sumur gali
Air sumur pantek
Air sungai/telaga/danau

Ujung Jaya
Ujung Jaya
Ujung Jaya

n
60
60
60

Jumlah pengguna
Jumlah
Positif
pengguna
27
3
0
0
33
4

n: jumlah ternak

Sumber air yang digunakan pada peternakan di Kecamatan Ujung Jaya
adalah air sumur gali dan air sungai/telaga/danau (Tabel 4). Seperti yang
disampaikan oleh Heitman et al.(2002) jika penggunaan air permukaan (air
sungai/telaga/danau) lebih memungkinkan terjadinya infeksi Cryptosporidium
sp.pada ternak. Selain itu, air sungai/telaga/danau sering digunakan sebagai
tempat untuk membersihkan ternak sehingga resiko terinfeksi ookista
Cryptosporidium sp. lebih tinggi. Ookista Cryptosporidium sp.dapat bersporulasi
pada air tanpa memerlukan perlakuan khusus, seperti kebanyakan jenis coccidia
lainnya yang membutuhkan enzim dari pankreas dan garam empedu untuk
bersporulasi (Fayer dan Ungar 1986).

Prevalensi Infeksi Cryptosporidium sp. berdasarkan Jenis Kelamin dan
Umur Ternak
Pada peternakan di Kecamatan Ujung Jaya, didapatkan prevalensi infeksi
Cryptosporidium sp. pada sapi jantan lebih tinggi dibandingkan pada sapi betina.
Berdasarkan Tabel 5, hasil yang didapatkan antara sapi jantan dan sapi betina
tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini tidak sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Ayinmode dan Fagbemi (2010) pada studinyadisebutkan bahwa sapi betina lebih
mudah terinfeksi dibanding dengan sapi jantan. Penyebab hal ini masih belum
diketahui. Pam et al. (2013) dalam studinyajuga menampilkan hasil yang sama
yaitu prevalensi infeksi Cryptosporidium sp.pada sapi betina lebih tinggi
dibandingkan sapi jantan. Tingginya prevalensi tersebut mungkin dapat dijelaskan
oleh hubungan stress dan ketidakseimbangan hormonal pada masa kebuntingan
dan menyusui (Pam et al. 2013).

11
Tabel 5 Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp. berdasarkan jenis kelamin dan
umur ternak
Peubah
Jenis kelamin
- Betina
- Jantan
Umur
- Pedet
- Anak
- Dewasa

N

Ujung Jaya
Positif

Persentase (%)

46
14

5
2

10.87
14.29

10
9
41

2
2
3

20
22.22
7.32

n: jumlah ternak

Tabel 6 Nilai odds ratio infeksi Cryptosporidium sp. berdasarkan jenis kelamin
dan umur ternak
Ujung Jaya
Peubah
P
OR
SK 95%
Jenis kelamin
- Jantan vs Betina
0.728
0.732
0.126-4.259
Umur
- Pedet vs Anak
0.331
0.000
0.000
- Pedet vs Dewasa
0.245
3.167
0.453-22.143
- Anak vs Dewasa
0.199
3.619
0.509-25.755
Keterangan: uji Regresi logistik: uji Regresi logistik: * signifikan (P0.05). Dengan demikian, umur
hewan tidak berpengaruh terhadap prevalensi infeksi Cryptosporidium sp. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Ayinmode dan Fagbemi (2010) juga menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) antara pedet, anak, dan sapi
dewasa. Akan tetapi, Ayinmode dan Fagbemi (2010) menyimpulkan bahwa pedet
lebih mudah terinfeksi dibandingkan dengan sapi dewasa (OR: 1.512; SK 95%).
Menurut Al-Zubaidi (2012), terdapat dua alasan yang menyebabkan hal tersebut:
yang pertama adalah karena kurangnya sistem imun pada pedet yang baru lahir
dan yang kedua adalah karena terkena paparan oosit yang disebarkan pada masa
penyapihan sebelumnya. Pemeliharaan pedet yang dibesarkan ditempat yang sama
dengan sapi dewasa juga dapat meningkatkan resiko infeksi Cryptosporidium
parvum melalui konsumsi pakan dan minum yang sama dengan sapi dewasa
(Ayinmode dan Fagbemi 2010).

12

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp. pada sapi potong di Kecamatan
Ujung Jaya masih dalam kategori rendah. Tidak ada pengaruh umur dan jenis
kelamin terhadap infeksi Cryptosporidium sp. pada sapi potong. Sistem
manajemen peternakan sudah baik karena sebagian besar peternak menggunakan
alas kandang semen; melepas ternak pada siang hari dan mengandangkannya pada
malam hari; serta membersihkan kandang setiap hari. Namun, sumber air yang
digunakan tidak baik, yaitu air sungai/telaga/danau yang dapat tercemar feses dan
dapat menyebabkan Kriptosporidiosis pada ternak sapi.

Saran
Peternak sapi potong di Kecamatan Ujung Jaya, Kabupaten Sumedang,
Jawa Barat disarankan untuk lebih memerhatikan sumber air yang digunakan
dalam beternak. Sebaiknya air yang digunakan adalah air dalam seperti air sumur
gali. Untuk melakukan penelitian lebih lanjut disarankan meneliti mengenai jenisjenis Cryptosporidium yang berada di dalam sumber air yang digunakan dalam
kegiatan peternakan dan manusia dan yang berada di dalam sungai di sekitar
peternakan.

13

DAFTAR PUSTAKA
Al-Zubaidi, M.TH. S. 2012. Prevalence of some Cryptosporidium species in cattle
in Baghdad, Iraq. AL-Qadisiya J of Vet Med Sci. 11(2):177–182.
Artama K, Cahyaningsih U, Sudarnika E. 2005. Prevalensi infeksi
Cryptosporidium parvum pada sapi bali di dataran rendah dan dataran tinggi
di Kabupaten Karangasem Bali . Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ayinmode AB, Fagbemi BO. 2010. Prevelance of Cryptosporidium infection in
cattle from south western Nigeria.Veterinarski Arhiv. 80(6):723–731.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971,
1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010 [Internet]. [diunduh 2014Jan 15]. Tersedia
pada:
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=&
daftar=1&id_subyek=12¬ab=1.
Castro-HermidaJA, Gonzalez-Losada A, Ares-MazasE. 2002. Prevalence and risk
factors involved in the spread neonatal bovine Cryptosporidiosis in Galicia
(NW Spain). VetParasitol. 106:1–10.
Causapé AC, Quilez J, Sanchez-Acedo C, del Cacho E, Lopez-Bernad F. 2002.
Prevalence and analysis of potential risk factors in lambs in Zaragoza
(northeastern Spain). Vet Parasitol. 104:287–298.
Current WL, Garcia LS. Cryptosporidiosis. Clin Microbiol Rev. 4(1991):325–358.
DubeyJP, SpeerCA, FayerR. 1978. Cryptosporidiosis of Man and Animals.
Boston (US): CRC.
Fayer R, Ungar LP. 1986. Cryptosporidium spp. and Cryptosporidiosis. Microbiol
Rev. 50(4):458–483.
Heitman TL, Frederick LM, Viste JR, Guselle NJ, Morgan UM, Thompson RC,
Olson ME. 2002. Prevalence of Giardia and Cryptosporidium
andcharacterization of Cryptosporidium spp. isolated from wildlife, human,
andagricultural sources in the North Saskatchewan River Basin in Alberta,
Canada.Can JMicrobiol. 48:530–541.
Hijjawi NS,Meloni BP, Ng’anzo M, Ryan UM, Olson ME, Cox PT,Monis PT,
Thompson RCA.2004. Complete development of Cryptosporidium parvum
in host cell-free culture.Inter J for Parasitol. 34:769–777.
Hooda PS, Edwards AC, Anderson HA, Miller A. 2000. A review of water
qualityconcerns in livestock farming areas.Sci Total Environ. 25:143–167.
Laurent F, McCole D, Eckmann L, KagnoffMF. 1999. Pathogenesis of
Cryptosporidium parvum infection. Microbes and Infection. 2:141−148.
Masood S,Maqbool A, Anjum AA, Rashid MI, Choudhary ZI.2013.
PrevalenceofCryptosporidiumoocysts inbovineat different livestockfarms
byconventionalmicroscopicandmolecular techniques.J of Anim & Plant Sci.
23(6):1588–1594.
Mohammed HO, Wade SE, Schaaf S. 1999. Risk factors associated with
Cryptosporidium parvum infection in dairy cattle in southeastern New York
State. Vet Parasitol. 83:1–13.
[OIE] Office International des Epizooties. 2008. Cryptosporidiosis. OIE
Terrestrial Manual.1192–1215.
Pam VA, Dakul DA, Karshima NS, Bata SI, Ogbu KI, Daniel LN, Udokaninyene
AD, Kemza SY, Igeh CP, Hassan AA. 2013. Survey of Cryptosporidium

14
species among ruminants in Jos, Plateau State, North-Central Nigeria.J
VetAdv. 3(2):49–54.
Ramirez NE, Ward LA, Sreevatsan S.2004. A review of the biology and
epidemiology of Cryptosporidiosis in humans and animals.Microbes and
Infection. 6:773–785.
Silverlas C. 2010. Cryptosporidium infection in dairy cattle [tesis]. Uppsala (SW):
Swedish University of Agricultural Sciences.
Singh BB, Sharma R, Kumar H, Banga HS, Aulakh RS, Gill JP, Sharma JK. 2006.
Prevalence of Cryptosporidium parvum infection in Punjab (India) and its
association with diarrhea in neonatal dairy calves. VetParasitol. 140(1–
2):162–165.
Trotz-Williams LA, Martin SW, Leslie KE, Duffield T, Nydam DV, Peregrine AS.
2008. Association between management practices and within-herd of
Cryptosporidium parvum shedding on dairy farms in southern Ontario.
Preventive Vet Med. 83(2008):11–23.
Tzipori S. 1983. Cryptosporidiosis in animals and humans. Microbiol. Rev 47:84–
96.

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Nathasia Larizky Ronauli Siagian dilahirkan di
Yogyakarta pada tanggal 9 Juni 1991 dari pasangan Ronald Budiman Siagian dan
Martha Dame Simanjuntak. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Pangudi Luhur II
Bekasi dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam ekstrakurikuler basket,
Persekutuan Mahasiswa FKH (PF FKH), serta Himpunan Minat dan Profesi
Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HIMPRO HKSA). Penulis mendalami
fotografi (terutama portrait)danfashion design. Selain itu, penulis juga aktif
menebarkan gerakan “sayangi hewan di sekitarmu” dan “cintai Indonesia” melalui
berbagai media sosial. Penulis juga menggemari kebudayaan asing, terutama
budaya Asia Timur. Dalam menggali kebudayaan asing, tak lupa penulis juga
berbagi informasi mengenai kebudayaan dalam negeri (kebudayaan Indonesia)
kepada masyarakat luar negeri.