85
1991-1995 adalah 26,0 , berbeda nyata jika dibandingkan dengan luas perkebunan periode 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010. Luas perkebunan pada periode
1996-2000 berbeda nyata dengan luas perkebunan periode 2001-2005 dan 2006- 2010. Sedangkan luas perkebunan pada periode 2001-2005 dan 2006-2010 tidak
berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 . Selanjutnya dijelaskan bahwa luas kebun campuran pada setiap periode menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf
kepercayaan 95 . Luas semak belukar rata-rata pada periode 1991-1995 yakni 1,7 berbeda nyata jika dibandingkan dengan luas semak belukar tiga periode
selanjutnya, demikian pula luas semak belukar periode 1996-2000 berbeda nyata jika dibandingkan dengan luas semak belukar periode 2001-2005 dan 2006-2010, namun
demikian antara periode 2001-2005 dengan periode 2006-2010 tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 .
Persamaan 39 y = 71.26 e
-0.02X
, Persamaan 40 y = 10.2 Ln x + 10.3, Persamaan 41 y = 1.67x
0.36
dan Persamaan 42 y = 0.88x
0.44
digunakan untuk proyeksi luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar periode 2011-
2050 dan hasilnya disajikan pada Lampiran 6 dan Gambar 15.
10 20
30 40
50 60
Periode 5 Tahunan 2011-2015 sampai 2046-2050 L
u a
s Tu tu
p a
n d
a ri
L u
a s DA
S K
o n
a weh
a Hu
lu
Hutan 43.2
39.1 35.4
32.0 29.0
26.2 23.7
21.5 Perkebunan
43.1 45.0
46.6 47.9
49.1 50.2
51.2 52.1
Kebun Campuran 5.3
5.7 6.0
6.3 6.6
6.8 7.1
7.3 Semak Belukar
3.6 3.9
4.2 4.5
4.7 4.9
5.1 5.3
2011-2015 2016-2020
2021-2025 2026-2030
2031-2035 2036-2040
2041-2045 2046-2050
Gambar 15. Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan 2011-2050
86
Lampiran 6 dan Gambar 15 merupakan proyeksi luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar di DAS Konaweha Hulu periode lima tahunan
2011-2015 sampai periode 2046-2050. Penurunan luas hutan periode 2011-2015 adalah 43,2 dan periode 2021-2025, 2031-2035, 2041-2045 dan periode 2046-
2050 luas hutan akan mengalami penurunan masing-masing menjadi 35,4 , 29,0 , 23,7 dan 21,5 . Penurunan luas hutan tersebut diikuti dengan peningkatan luas
perkebunan yakni 43,1 pada periode 2011-2015, akan meningkat menjadi 47,9 pada periode 2026-2030 dan 52,0 pada periode 2046-2050. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa luas kebun campuran dan semak belukar juga mengalami peningkatan sebagai konsekuensi penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu.
Pada periode 2011-2015 maka luas kebun campuran adalah 5,3 , meningkat menjadi 6,0 periode 2021-2025 dan 7,3 periode 2046-2050. Kecenderungan
peningkatan luas kebun campuran hampir sama dengan peningkatan luas semak belukar. Luas semak belukar periode 2011-2015 adalah 3,6 , akan meningkat
menjadi 4,4 pada periode 2021-2025 dan 5,3 pada periode 2046-2050. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas hutan dari
tahun ke tahun diikuti dengan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar. Hal ini erat kaitannya dengan pertambahan jumlah penduduk dari
tahun ke tahun. Pertambahan jumlah penduduk di DAS Konaweha Hulu berimplikasi
terhadap peningkatan eksploitasi sumberdaya alam termasuk juga hutan. Penduduk yang ada di wilayah tersebut akan mengeksploitasi kawasan hutan untuk dijadikan
lahan pertanian khususnya lahan perkebunan kakao, lahan tegalan dan eksploitasi hutan dalam bentuk pembalakan liar. Konversi hutan di wilayah tersebut lebih
banyak dilakukan oleh penduduk dalam bentuk pembukaan lahan pertanian khususnya perkebunan kakao. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai Produk
Domestik Regional Bruto PDRB sektor pertanian Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Konawe hingga tahun 2007 yakni lebih besar 50 . Kenyataan ini
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di wilayah ini masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian khususnya perkebunan kakao.
87
Penambahan luas areal pertanian khususnya perkebunan dan pertanian tanaman pangan di DAS Konaweha Hulu dilakukan dengan jalan membuka hutan
melalui sistem tebas bakar slash and burn yang hingga saat ini masih dipraktekkan di wilayah tersebut. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa
sekitar 20 penyebab degradasi hutan di Kabupaten Kolaka disebabkan oleh sistem perladangan berpindah, khususnya dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan hutan Taufik, Nikoyan dan La Baco, 2001. Sebagaimana uraian-uraian sebelumnya bahwa perubahan penggunaan lahan
di DAS Konaweha Hulu diduga dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun. Analisis regresi pengaruh jumlah penduduk
terhadap penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu menggunakan data penggunaan lahan Lampiran 4 dan data jumlah penduduk DAS Konaweha Hulu
disajikan pada Gambar 16.
y = 196.2e
-0.01x
R
2
= 0.98
25 50
75 100
140 150
160 170
180 190
200 Populasi x 1000 jiwa
L u
a s Hu
ta n
d a
ri L
u a
s DA S
K o
n a
weh a
Hu lu
Gambar 16. Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan di DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010
Gambar 16 menunjukkan bahwa pertambahan jumlah penduduk berkorelasi negatif terhadap luas hutan yang berarti bahwa semakin banyak penduduk maka
semakin menurun luas hutan di DAS Konaweha Hulu. Kedua variabel tersebut
88
terdapat korelasi kuat dengan koefisien korelasi -0,98. Pola hubungan kedua variabel juga ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien determinasi R
2
yakni 98 . Pengaruh pertambahan jumlah penduduk terhadap penurunan luas hutan bersifat
eksponensial mengikuti persamaa:
y = 196.2e
0,01X
43 dimana y adalah luas hutan dari luas DAS Konaweha Hulu; x adalah jumlah
penduduk jiwa dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Analisis keragaman tentang pengaruh jumlah penduduk terhadap luas hutan
menunjukkan bahwa pertambahan jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu selama periode 1991-1995, 1996-
2000, 2001-2005 dan 2006-2010. Uji beda nyata terkecil BNT pengaruh jumlah penduduk terhadap penurunan luas hutan disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan Rata-rata di DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010
Jumlah Penduduk x 1000 jiwa
Luas Hutan dari Luas DAS Konaweha Hulu P1 147.5
66.6
d
P2 175.8 55.3
c
P3 185.1 50.7
b
P4 191.3 48.3
a
BNT
0,05
0,44
Keterangan: Nilai rata-rata diikuti huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 .
Tabel 16 menunjukkan bahwa pertambahan jumlah penduduk dari P1 147,5 ribu jiwa pada periode 1991-1995 menjadi P2 175,8 ribu jiwa pada periode 1996-
2000 menyebabkan terjadinya penurunan luas hutan dari 66,6 menjadi 55,3 dengan nilai penurunan sebesar 11,3 , nilai tersebut lebih besar dari BNT
0,05
yakni 0,44 sehingga dapat disimpulkan bahwa luas hutan kedua periode tersebut berbeda
nyata pada taraf kepercayaan 95 . Selanjutnya dijelaskan bahwa pertambahan jumlah penduduk dari P3 menjadi P4 akan menyebabkan terjadinya penurunan luas
hutan dari 50,7 menjadi 48,3 . Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa luas hutan yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk sebanyak P3 dan P4 berbeda
89
nyata pada taraf kepercayaan 95 . Hal ini ditunjukkan dengan nilai rentang rata- rata antara P3 dan P4 yakni 2,4 lebih besar jika dibandingkan dengan nilai
BNT
0,05
. Demikian juga halnya antara P2 dengan P3, P2 dengan P4, P1 dengan P3 dan P1 dengan P4 mempunyai nilai rentang rata-rata yang lebih besar dari nilai
BNT
0,05
, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua taraf jumlah penduduk pada masing-masing periode menyebabkan penurunan luas hutan yang berbeda nyata pada
taraf kepercayaan 95 . Penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu merupakan fenomena yang
terjadi di wilayah lain. Angka penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu maupun rata-rata Indonesia masih relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan
beberapa negara di Afrika seperti Haiti 5,7 per tahun, El Salvador 4,6 per tahun, Rwanda 3,9 per tahun, Togo 3,4 per tahun, dan Sierra Leone dengan
laju penurunan hutan rata-rata 2,9 per tahun. Namun demikian angka penurunan luas hutan di DAS Konaweha relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju
penurunan luas hutan di Brazil yakni 0,4 per tahun Rudel, et al, 2005. Apabila kondisi seperti tersebut di atas berlangsung terus tanpa ada kebijakan
pengendalian perubahan penggunaan lahan, maka diduga akan mempengaruhi kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu dan pada akhirnya akan mempengaruhi
keberlanjutan ketersediaan air di DAS Konaweha. Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Tang, et al 2005 bahwa salah satu dampak lingkungan langsung dari
perubahan penggunaan lahan termasuk hutan adalah terjadinya degradasi sumberdaya air baik kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu maka perlu adanya
kebijakan yang mengatur pola penggunaan lahan di wilayah tersebut dengan pertimbangan kecukupan kebutuhan lahan dan ketersediaan air bagi penduduk di
wilayah tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perubahan penggunaan atau tutupan lahan akibat faktor alam dan aktivitas manusia akan berdampak bukan saja terjadi di
dalam DAS tetapi juga di luar batas DAS tersebut Begum, Narayana, and Kumar, 2010 berupa penurunan fungsi ekologi akibat degradasi lahan dan penurunan indeks
keanekaragaman hayati. Akibat lebih lanjut adalah penurunan produktivitas akibat
90
penurunan kesuburan tanah yang pada akhirnya mempengaruhi mata pencaharian petani Maltima, et al, 2009; Maltima, et al., 2010.
Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kondisi Hidrologi
Analisis kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu selama tiga tahun terakhir 2007, 2008 dan 2009 menunjukkan bahwa distribusi debit harian rata-rata, debit
harian maksimum dan debit harian minimum cukup bervariasi. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut diduga adalah variasi curah hujan di wilayah
tersebut. Selain itu kemungkinan lainnya adalah adanya perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya perubahan respon hidrologi DAS Konaweha
terhadap input curah hujan sehingga memberikan pengaruh terhadap kondisi hidrologi.
Hasil analisis debit harian rata-rata, debit harian maksimum dan debit harian minimum dengan pendekatan rata-rata aritmetik selama tiga tahun terakhir
menggunakan data debit harian Lampiran 7a, 7b, 7c dan 7d dan Persamaan 8 menunjukkan bahwa distribusi bulanan debit harian rata-rata, debit harian maksimum
dan debit harian minimum mempunyai kecenderungan yang sama Gambar 17.
50 100
150 200
250 300
350
Jan Feb
Mar Apr
May Jun
Jul Aug
Sep Oct
Nov Dec
Bulan
Debi t
m3d eti
k
Debit Harian Maksimum m3det Debit Harian Minimum m3det
Debit Harian Rata-rata m3det
Gambar 17. Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit Harian Minimum Sungai Konaweha Tahun 2007-2009
91
Gambar 17 merupakan distribusi bulanan debit harian rata-rata, debit harian maksium dan debit harian minimum dari tahun 2007-2009. Pola distribusi bulanan
debit harian rata-rata, debit harian maksimum dan debit harian minimum cenderung sama dengan nilai tertinggi terjadi pada Bulan Mei dan nilai terendah terjadi pada
Bulan September. Gambar tersebut di atas memperlihatkan bahwa koefisien regim sungai KRS yang merupakan perbandingan antara debit maksimum dengan debit
minimum relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi harian debit sungai relatif merata, kecuali koefisien regim sungai musim hujan dengan musim kemarau
yang relatif besar. Berdasarkan distribusi debit harian maka diketahui bahwa debit harian rata-rata tertinggi terjadi pada Bulan Mei yakni 242 m
3
detik, debit harian minimum sebesar 109 m
3
detik dan debit harian maksimum sebesar 313 m
3
detik. Pada saat yang sama maka debit harian rata-rata terendah terjadi pada Bulan
September yakni 32 m
3
detik, debit harian minimum dan debit harian maksimum pada bulan tersebut masing-masing 16 m
3
detik dan 84 m
3
detik. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS
Konaweha Hulu difokuskan pada koefisien aliran permukaan C, debit maksimum Q
max
dan debit minimum Q
min
. Perhitungan koefisien aliran permukaan C dengan Persamaan 3 C=QR menggunakan data curah hujan rata-rata Lampiran
8 dan data debit Sungai Konaweha Lampiran 9. Hasil perhitungan koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan debit minimum Sub DAS Konaweha Hulu
disajikan pada Lampiran 10. Lampiran 10 menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan dan koefisien
regim sungai KRS akan meningkat seiring dengan penurunan proporsi luas hutan dan peningkatan proporsi penggunaan lahan lainnya. Koefisien aliran permukaan
meningkat dari 28,4 pada periode 1991-1995 menjadi 36,3 pada periode 1996- 2000, 43,1 pada periode 2001-2005 dan 45,6 pada periode 2006-2010.
Selanjutnya pada periode yang sama maka fluktuasi debit sungai atau koefisien regim sungai dari 6,2 pada periode 1991-1995, menjadi 11,8 pada periode 2006-
2010.
92
Karakteristik hidrologi DAS Konaweha Hulu dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut khususnya penggunaan lahan dominan yakni
hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar. Analisis keragaman melibatkan empat jenis penggunaan lahan utama di DAS Konaweha Hulu
menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap koefisien aliran permukaan, debit maksimum Q
max
dan debit minimum Q
min
sebagaimana disajikan pada Lampiran 11. Komposisi luas hutan, perkebunan, kebun campuran, dan semak belukar
pada setiap periode berbeda-beda. Pada periode 1991-1995 maka komposisi penggunaan lahan dominan adalah 66,6 hutan, 26,0 perkebunan, 3,0 kebun
campuran dan 1,7 semak belukar, sedangkan periode 2006-2010 adalah 48,3 hutan, 39,7 perkebunan, 5,0 kebun campuran dan 3,1 semak belukar.
Penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar mempengaruhi koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan
debit minimum. Uji beda nyata terkecil BNT pada taraf kepercayaan 95 Lampiran 8 dan Lampiran 10 pengaruh penurunan luas hutan dan peningkatan luas
lahan perkebunan terhadap koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan debit minimum DAS Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan terhadap Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit
Minimum DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 Periode
Luas dari Luas DAS Konaweha Hulu
C Q
max
m
3
detik Q
min
m
3
detik Hutan
Perkebunan 1991-1995
66,6 26.0
31,4
a
246
a
40
c
1996-2000 55,3
34,8 36.3
b
252
b
36
b
2001-2005 50,7
38,6 43,1
c
272
c
33
b
2006-2010 48,3
39,7 45,6
d
284
d
24
a
BNT
0,05
0,25 0,84
3,98
Keterangan: Nilai rata-rata diikuti huruf yang sama pada kolom sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 .
93
Tabel 17 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dari 66,6 pada periode 1991-1995 menjadi 55,5 pada periode 1996-2000 dan peningkatan luas
perkebunan dari 26,0 pada periode 1991-1995 menjadi 34,8 pada periode 1996- 2000 menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan dari 31,4 pada
periode 1991-1995 menjadi 36,3 pada periode 1996-2000. Pada kondisi ini maka terjadi peningkatan debit maksimum dari 246 m
3
detik menjadi 252 m
3
detik, sedangkan debit minimum menurun dari 40 m
3
detik menjadi 36 m
3
detik. Penurunan luas hutan dari 50,7 pada periode 2001-2005 menjadi 48,3 pada
periode 2006-2010 dan peningkatan luas perkebunan dari 38,6 pada periode 2001- 2005 menjadi 39,7 pada periode 2006-2010 menyebabkan peningkatan koefisien
aliran permukaan dari 43,1 pada periode 1991-1995 menjadi 45,6 pada periode 1996-2000. Pada kondisi ini maka terjadi peningkatan debit maksimum dari 272
m
3
detik menjadi 284 m
3
detik, sedangkan debit minimum menurun dari 33 m
3
detik menjadi 24 m
3
detik. Tabel 17 memperlihatkan bahwa komposisi luas hutan dan perkebunan
periode 1991-1995 menghasilkan nilai koefisien aliran permukaan sebesar 31,4 berbeda nyata jika dibandingkan dengan koefisien aliran permukaan yang dihasilkan
oleh komposisi kedua jenis penggunaan lahan tersebut periode 1996-2000, periode 2001-2005 dan periode 2006-2010. Koefisien aliran permukaan pada periode 1996-
2000 juga berbeda nyata jika dibandingkan dengan koefisien aliran permukaan periode 2001-2005 dan periode 2006-2010, demikian juga koefisien aliran
permukaan periode 2001-2005 dan 2006-2010 juga berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 . Komposisi luas hutan dan perkebunan periode 1991-1995
menghasilkan debit maksimum yang berbeda nyata jika dibandingkan dengan debit maksimum yang dihasilkan oleh komposisi luas penggunaan lahan periode lainnya.
Komposisi luas hutan dan perkebunan periode 1996-2000 mempengaruhi debit maksimum, berbeda nyata jika dibandingkan dengan debit maksimum periode 2001-
2005 dan periode 2006-2010. Lebih lanjut dijelaskan bahwa debit minimum yang dihasilkan oleh komposisi luas hutan dan perkebunan periode 2006-2010 berbeda
nyata jika dibandingkan dengan debit minimum yang dihasilkan komposisi luas penggunaan lahan semua periode. Debit minimum yang dihasilkan komposisi luas
94
hutan dan perkebunan periode 2001-2005 tidak berbeda nyata dengan debit minimum yang dihasilkan periode 1996-2000, namun berbeda nyata dengan debit
minimum yang dihasilkan komposisi luas hutan dan perkebunan periode 1991-1995 dan 2006-2010.
Komposisi luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar juga meningkatkan koefisien aliran permukaan musim hujan di DAS Konaweha Hulu
selama periode 1991-2010. Analisis rata-rata koefisien aliran permukaan musim hujan dengan menggunakan Persamaan 3, data curah hujan Lampiran 8 dan data
debit sungai Lampiran 9 serta analisis beda nyata terkecil BNT selama periode 1991-2010 menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan musim hujan periode
1991-1995 adalah 43,2 meningkat menjadi 55,9 pada periode 2006-2010. Hasil analisis rata-rata beda nyata terkecil disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan terhadap Koefisien Aliran Permukaan Musim Hujan DAS Konaweha
Hulu Periode 1991-2010. Periode
Luas dari Luas DAS Konaweha Hulu C Musim Hujan
Hutan Perkebunan
1991-1995 66,6
26.0 43,2
a
1996-2000 55,3
34,8 45,1
a
2001-2005 50,7
38,6 53,5
b
2006-2010 48,3
39,7 55,9
c
BNT
0,05
2,3
Keterangan: Nilai rata-rata diikuti huruf yang sama pada kolom sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 .
Tabel 18 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dari 66,6 periode 1991-1995 menjadi 55,3 periode 1996-2000 dan peningkatan luas perkebunan dari
26,0 periode 1991-1995 menjadi 34,8 periode 1996-2000 menghasilkan koefisien aliran permukaan musim hujan sebesar 43,2 . Nilai tersebut berbeda
nyata pada taraf kepercayaan 95 jika dibandingkan dengan koefisien aliran permukaan musim hujan pada periode 2001-2005 dan 2006-2010 dengan komposisi
luas hutan 50,7 dan 48,3 sedangkan luas perkebunan adalah 38,6 dan 39,7 . Namun demikian koefisien aliran permukaan musim hujan yang dipengaruhi luas
95
hutan dan perkebunan periode 1991-1995 dan 1996-2000 tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 .
Pengaruh perubahan penggunaan lahan dominan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar terhadap koefisien aliran permukaan, debit maksimum
dan debit minimum dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda dan analisis keragaman anova sesuai dengan Persamaan 4 Q
max
= β
o
+β
1
x
1
+β
2
x
2
+β
3
x
3
+ β
4
x
4
+β
5
x
5
+β
n
x
n
+έ, Persamaan 5 Q
min
= β
o
+β
1
x
1
+β
2
x
2
+β
3
x
3
+β
4
x
4
+β
5
x
5
+β
n
x
n
+έ dan Persamaan 6
C = β
o
+β
1
x
1
+β
2
x
2
+β
3
x
3
+β
4
x
4
+β
5
x
5
+β
n
x
n
+έ menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap kondisi hidrologi DAS
Konaweha Hulu. Hasil analisis regresi pengaruh perubahan penggunaan lahan dominan terhadap koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan debit minimum
disajikan pada Lampiran 11. Pengaruh penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar terhadap koefisien aliran
permukaan C di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 18.
Koefisien C = 64.0 - 0.9 H + 0.5 K - 0.8 Kc + 2.4 Sb R
2
= 0.8
10 20
30 40
50 60
Tahun dan Penggunaan Lahan Luas DAS Konaweha Hulu
Koefi sien
Aliran Perm
uk aan
H; Hutan 55.3
51.3 50.1