50.1 4.8 Sb; Semak Belukar 2.9 5.3 30 2016-2020 45.0 3.9 6.0 4.5 6.6 50 2036-2040 50.2 4.9 7.1 60 2046-2050 52.1 5.3

98 penggunaan lahan kebun campuran dan semak belukar. Air yang tersimpan di dalam tanah tersebut akan menjadi aliran dasar base flow dan akan mengalir secara perlahan-lahan ke sungai. Pengaruh penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar terhadap debit minimum Sungai Konaweha disajikan pada Gambar 20. Qmin m3detik = 13 + 0.7 H + 0.6 K - 3.4 Kc - 3.7 Sb R 2 = 0.9 10 20 30 40 50 60 Tahun dan Penggunaan Lahan Luas DAS Konaweha Hulu Qm in m 3 det ik H; Hutan 55.3

51.3 50.1

49.2 48.8

47.0 K; Perkebunan

34.8 38.3

39.0 39.5

39.6 40.0

Kc; Kebun Campuran 3.8

4.0 4.5

4.7 4.8

5.5 Sb; Semak Belukar

2.6 2.9

3.0 3.0

3.1 3.3

Qmin m3detik 36 34 30 28 23 20 1999 2001 2004 2005 2006 2008 Gambar 20. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap Debit Minimum Q min Sungai Konaweha Gambar 20 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar tahun 1999-2008 menyebabkan terjadinya penurunan debit minimum dari 36 m 3 detik menjadi 20 m 3 detik. Angka penurunan debit minimum tersebut cukup besar yakni hampir dua kali lipat dari debit minimum tahun 1999. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa penurunan debit minimum merupakan fungsi dari penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar menurut persamaan: 99 Q min m 3 detik = 13 + 0.7 H + 0.6 K - 3.4 Kc - 3.7 Sb 46 dimana Q min adalah debit minimum m 3 detik, H adalah luas hutan luas DAS Konaweha Hulu, K adalah luas perkebunan luas DAS Konaweha Hulu, Kc adalah luas kebun campuran luas DAS Konaweha Hulu dan Sb adalah luas semak belukar luas DAS Konaweha Hulu. Analisis perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi difokuskan pada pengaruh perubahan luas hutan terhadap koefisien aliran permukaan C dan debit minimum Q min menggunakan data luas hutan periode 1991-2010 Lampiran 4 dan Lampiran 6, data koefisien aliran permukaan Lampiran 8, 9, 10 dan Lampiran 11 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan dan penurunan debit minimum secara eksponensial. Analisis pengaruh penurunan luas hutan terhadap koefisien aliran permukaan C DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 21. y = 158.8 e -0.03X R 2 = 0.98 10 20 30 40 50 45 50 55 60 65 70 Luas Hutan Luas DAS Konaweha Hulu K o e fisien A liran P e rm u ka a n Gambar 21. Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Koefisien Aliran Permukaan DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 Gambar 21 menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan meningkat secara eksponensial yang dipengaruhi oleh penurunan luas hutan. Peningkatan 100 koefisien aliran permukaan di DAS Konaweha Hulu mengikuti pola penurunan luas hutan menurut persamaan: y = 158,8 e -0,03X 47 dimana y adalah koefisien aliran permukaan , X adalah luas hutan dari luas DAS Konaweha Hulu dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Berdasarkan Persamaan 47 y = 158,8 e -0,03X tersebut maka disimpulkan bahwa semakin luas hutan maka semakin kecil nilai koefisien aliran permukaan. Oleh karena itu upaya-upaya penurunan koefisien aliran permukaan dapat dilakukan melalui penambahan luas hutan. Penurunan luas hutan akan menyebabkan terjadinya penurunan debit minimum Sungai Konaweha. Analisis pengaruh perubahan luas hutan dengan debit minimum menunjukkan bahwa debit minimum menurun secara eksponensial mengikuti pola penurunan luas hutan. Analisis pengaruh penurunan luas hutan terhadap debit minimum Sungai Konaweha disajikan pada Gambar 22. y = 18.6 e 0.012x R 2 = 0.97 10 20 30 40 50 45 50 55 60 65 70 Luas Hutan Luas DAS Konaweha Hulu Deb it Mi n im u m m 3 d e tik Gambar 22. Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Debit Minimum Q min Sungai Konaweha Periode 1991-2010 101 Gambar 22 menunjukkan bahwa penurunan debit minimum dipengaruhi oleh penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu. Penurunan luas hutan selama periode 1991-2010 menyebabkan penurunan debit minimum secara eksponensial mengikuti persamaan: y = 18,6 e 0,01X 48 dimana y adalah debit minimum m 3 detik, X adalah luas hutan dari luas DAS Konaweha Hulu dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Berdasarkan Persamaan 48 y= 18,6 e 0,01X maka disimpulkan bahwa semakin luas hutan maka semakin besar debit minimum dan sebaliknya. Oleh karena itu maka upaya-upaya untuk meningkatkan debit minimum dapat dilakukan melalui peningkatan atau penambahan luas hutan. Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa perubahan luas penggunaan lahan khususnya hutan di daerah-daerah tropis akan mempengaruhi siklus hidrologi. Hal ini sesuai dengan pendapat Bonell and Bruijnzeel 2005; bahwa: 1 erosi meningkat dengan terganggunya hutan; 2 produksi air water yield dalam hal ini ditribusi bulanan menurun seiring dengan penurunan evapotranspirasi vegetasi; 3 aliran air musiman khususnya aliran dasar baseflow akan menurun seiring dengan penurunan kapasitas infiltrasi tanah dan peningkatan aliran permukaan Lerner and Harris, 2009; dan 4 aliran puncak peak flow akan meningkat seiring dengan berkurangnya penutupan tanah. Selanjutnya Aylward 2005 dan Gregory 1972 mengemukakan bahwa dampak perubahan penggunaan lahan terhadap jumlah air meliputi : 1 hasil air tahunan; 2 aliran air musiman; 3 aliran puncak; dan 4 level air tanah. Hutan merupakan penggunaan lahan paling baik dalam fungsinya sebagai pengatur proses hidrologi dan melindungi tanah. Penggundulan hutan menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan dan percepatan erosi tanah, bahkan dapat menyebabkan perubahan karakteristik pasokan air. Total hasil air water yield yang keluar dari suatu DAS meningkat, begitu juga dengan perbedaan hasil air antara musim kemarau dan musim hujan Purwanto dan Ruijter, 2004; Chandler dan Suyanto, 2004. 102 Selain faktor perubahan penggunaan lahan, maka kemampuan tanah untuk memasukkan dan menyimpan air juga erat kaitannya dengan debit aliran sungai akibat peningkatan aliran permukaan. Kemampuan tanah untuk menyimpan air sangat ditentukan oleh sifat tanah khususnya kandungan bahan organik yang mencakup karbon organik dan total nitrogen tanah yang lebih tinggi pada tanah-tanah dengan penutupan vegetasi hutan dan akan menurun jika tanah dibuka Yusnaini, et al ., 2008. Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan memmpengaruhi keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha. Oleh karena itu maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan. Analisis Ketersediaan Air Analisis Curah Hujan Curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha yang direpresentasi oleh data curah hujan rata-rata tahunan 18 stasiun pengamat adalah 1.269 mm per tahun. Angka tersebut diperoleh dari data curah hujan harian 18 stasiun pengamatan selama 11 tahun yakni tahun 1999 sampai tahun 2009. Curah hujan rata-rata bulanan 18 stasiun hujan di DAS Konaweha sangat fluktuatif berdasarkan ruang dan waktu. Hal ini disebabkan oleh letak geografis masing-masing stasiun dimana daerah-daerah dataran rendah daerah hilir cenderung lebih kering dibandingkan dengan daerah dataran tinggi daerah hulu. Variasi curah hujan masing-masing stasiun juga kemungkinan disebabkan oleh topografi wilayah yang cukup bervariasi. Gambaran curah hujan rata-rata bulanan stasiun hujan di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 8 terdahulu. Hasil analisis curah hujan rata-rata menggunakan Persamaan 7 seperti terlihat pada Lampiran 8 terdahulu menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata bulanan tertinggi di DAS Konaweha terjadi pada Bulan Mei dengan curah hujan 169 mm, sedangkan curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada Bulan September 103 dengan curah hujan sebesar 37 mm. Dari data curah hujan bulanan rata-rata tersebut, maka curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha adalah 1.269 mm. Berdasarkan data curah hujan rata-rata di DAS Konaweha baik bulanan maupun tahunan, maka potensi ketersediaan air di wilayah ini cukup besar. Perhitungan ketersediaan air berdasarkan data curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha menunjukkan bahwa ketersediaan air tahunan adalah 8,86 x 10 9 m 3 per tahun. Nilai tersebut diperoleh dari konversi curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.269 mm per tahun dengan luas DAS 697.841 hektar. Angka tersebut sebenarnya sangat besar jika dibandingkan dengan total kebutuhan air tahunan di wilayah ini yakni kurang dari 0,9 x 10 9 m 3 per tahun yang berarti bahwa total kebutuhan air tahunan hanya sekitar 10 dari total ketersediaan curah hujan di DAS Konaweha. Hal ini masih memungkinkan untuk optimalisasi pemanfaatan air hujan guna memenuhi berbagai kebutuhan air di wilayah ini. Berdasarkan besarnya potensi curah hujan dan perkiraan total kebutuhan air di DAS Konaweha maka masih sangat memungkinkan pengembangan energi berbasis sumberdaya air seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air PLTA. Berdasarkan hasil analisis hidrologi bahwa hampir 50 air hujan akan hilang menjadi aliran permukaan. Jumlah air yang hilang tersebut akan semakin banyak jika diakumulasikan dengan debit sungai yang tidak termanfaatkan khususnya debit musim hujan. Analisis Debit Sungai Analisis debit Sungai Konaweha dengan pendekatan rata-rata aritmetik menggunakan Persamaan 8 dan pendekatan peluang kejadian menggunakan Persamaan 9 menghasilkan hidrograf aliran bulanan rata-rata selama 12 bulan atau satu tahun. Analisis debit sungai dengan rata-rata aritmetik dan peluang kejadian disajikan pada Lampiran 12 dan Lampiran 13. Lampiran 12 dan Lampiran 13 merupakan hidrograf aliran bulanan rata-rata yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik dan peluang kejadian 80 . Debit rata-rata yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik lebih besar peluang kejadian ± 50 jika dibandingkan dengan debit rata-rata peluang 80 . 104 Hasil analisis hidrograf aliran dengan pendekatan rata-rata aritmetik dan peluang 80 disajikan pada Gambar 23. 50 100 150 200 250 300 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan Debi t m3d eti k Rata-rata Aritmetik m3detik Peluang 80 m3detik Gambar 23. Hidrograf Aliran Sungai Konaweha berdasarkan Rata-rata Aritmetik dan Peluang 80 Tahun 1993-2009 Gambar 23 menunjukkan bahwa hidrograf aliran Sungai Konaweha tertinggi terjadi pada Bulan Mei dan terendah terjadi pada Bulan September baik perhitungan dengan rata-rata aritmetik maupun peluang kejadian 80 . Hidrograf aliran rata-rata pada Bulan September sampai Bulan Mei mengalami peningkatan cukup signifikan, sementara itu hidrograf aliran dari Mei sampai September mengalami penurunan. Hasil perhitungan debit rata-rata dengan peluang 80 menunjukkan bahwa debit rata-rata bulanan lebih rendah dibandingkan dengan debit rata-rata hasil perhitungan dengan metode rata-rata aritmetik. Jika menggunakan perhitungan dengan peluang kejadian tertentu, maka debit bulanan dari hasil perhitungan rata-rata aritmetik mempunyai peluang kejadian sekitar 50 dengan periode ulang 4 tahun. Hidrograf aliran rata-rata bulanan Sungai Konaweha yang merupakan cerminan ketersediaan air rata-rata di DAS Konaweha dipengaruhi oleh curah hujan yang terjadi di wilayah tersebut. Analisis curah hujan rata-rata bulanan DAS Konaweha dan hidrograf aliran bulanan menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata 105 berkorelasi positif dengan debit aliran sungai. Distribusi bulanan ketersediaan air dan curah hujan bulanan di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 24. 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan Ke tersediaan Air m3 detik 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Cu rah Huj an m m Debit m3detik Curah Hujan mm Gambar 24. Distribusi Ketersediaan Air dan Curah Hujan Bulanan di DAS Konaweha Tahun 1993-2009 Gambar 24 memperlihatkan ketersediaan air yang dinyatakan dengan debit rata-rata. Ketersediaan air maksimum berdasarkan peluang kejadian 80 adalah 236 m 3 detik dan minimum sebesar 24 m 3 detik. Angka-angka tersebut merupakan gambaran ketersediaan air aktual di DAS Konaweha. Kecenderungan hidrograf aliran sungai yang memperlihatkan penurunan debit aliran sungai khususnya dari Bulan Juli, Agustus, September sampai Oktober dijadikan acuan dalam perencanaan alokasi sumberdaya air. Uraian-uraian terdahulu menunjukkan bahwa hidrograf aliran rata-rata bulanan Sungai Konaweha dipengaruhi oleh curah hujan rata-rata bulanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Litte et al 2009 bahwa aliran sungai merupakan hasil interaksi yang kompleks antara faktor terestrial yang meliputi geomorfologi DAS, tipe tanah, vegetasi dan penggunaan lahan dengan faktor-faktor atmosferik seperti curah hujan, temperatur, kelembaban udara, angin dan lain-lain dimana curah hujan merupakan faktor dominan penyebab variasi ketersediaan air bulanan, musiman dan tahunan. 106 Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa ketersediaan air yang merupakan cerminan dari hidrograf aliran Sungai Konaweha ditentukan juga oleh curah hujan rata-rata di wilayah tersebut. Dalam kaitannya dengan neraca ketersediaan dan kebutuhan air serta perencanaan alokasi sumberdaya air, maka hidrograf aliran bulanan yang dihitung dengan peluang kejadian dijadiakan acuan karena mempunyai akurasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan hidrograf aliran yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik. Berkaitan dengan fokus penelitian yakni hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan ketersediaan air, maka pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu dititikberatkan pada hubungan antara perubahan luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar dengan debit minimum. Hal ini disebabkan karena ketersediaan air di wilayah ini ditentukan oleh debit minimum Sungai Konaweha. Proyeksi debit minimum Sungai Konaweha periode lima tahunan 2011- 2050 menggunakan Persamaan 46 Q min = 13 + 0.7 H +0.6 K -3.4 Kc -3.7 Sb melibatkan variabel luas hutan Persamaan 39: y = 71.26 e -0.02X , perkebunan Persamaan 40; y = 10.2 Ln x + 10.3, kebun campuran Persamaan 41; y = 1.67x 0.36 dan semak belukar Persamaan 42; y = 0.88x 0.44 menunjukkan bahwa debit minimum Sungai Konaweha menurun seiring dengan berjalannya waktu. Penurunan debit minimum Sungai Konaweha akan mempengaruhi ketersediaan air khususnya distribusi bulanan ketersediaan air yang tidak merata. Pada musim hujan akan terjadi aliran sungai dengan debit yang berlebihan, sedangkan debit aliran sungai musim kemarau tidak mampu mencukupi kebutuhan air sehingga akan terjadi defisit air. Proyeksi ketersediaan air debit minimum Sungai Konaweha periode 2011-2050 disajikan pada Lampiran 14 dan Gambar 25. 107 14.7 17.3 20.0 23.0 26.2 29.7 33.5 37.6 0.0 10.0

20.0 30.0

40.0 Periode 5 Tahunan dan Luas Hutan Luas DAS Konaweha Hulu D ebit M inim um m 3 det ik Luas Hutan 43.2

39.1 35.4

32.0 29.0

26.2 23.7

21.5 Qmin m3detik 37.6 33.5 29.7 26.2 23.0 20.0 17.3 14.7 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050 Gambar 25. Proyeksi Debit Minimum Q min Sungai Konaweha Periode Lima Tahunan 2011-2050 Lampiran 14 Gambar 25 merupakan hasil analisis ketersediaan air atau debit minimum Sungai Konaweha periode 2011-2015 sampai periode 2046-2050. Luas hutan yang cenderung mengalami penurunan dan diikuti oleh peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar dari waktu ke waktu menyebabkan penurunan debit minimum selama kurun waktu 2011-2015 hingga periode 2046- 2050. Penurunan luas hutan dari 43,2 pada periode 2011-2015 menjadi 35,4 pada periode 2021-2025 menyebabkan penurunan debit minimum dari 37,6 m 3 detik menjadi 29,7 m 3 detik. Pada kondisi ini maka luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar mengalami peningkatan masing-masing dari 47,9 , 6,0 dan 4,2 . Penurunan luas hutan pada periode 2046-2050 akan menyebabkan terjadinya aliran sungai dengan debit minimum sebesar 14,7 m 3 detik. Pada kondisi ini maka luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing adalah 52,1 , 7,3 dan 5,3 . Angka-angka tersebut di atas merupakan gambaran ketersediaan air periode lima tahunan di DAS Konaweha. 108 Analisis Kebutuhan Air Kebutuhan Air Domestik Kebutuhan air domestik ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi air pada suatu wilayah. Tingkat konsumsi air ditentukan oleh kelas sosial masyarakat dimana semakin tinggi kelas sosial masyarakat semakin tinggi pula konsumsi airnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien kebutuhan air domestik rata- rata adalah 0,48 untuk responden dengan tingkat pendapatan kurang dari 1 juta rupiah per bulan dan 0,64 untuk responden dengan tingkat pendapatan 1 – 3 juta rupiah per bulan, sedangkan koefisien kebutuhan air bagi responden dengan tingkat pendapatan lebih dari 3 juta per bulan adalah 0,82. Perhitungan koefisien kebutuhan air domestik ditentukan berdasarkan hasil survei kebutuhan air di wilayah studi. Hasil survei kebutuhan air wilayah studi dapat dilihat pada Lampiran 15a contoh tabulasi penentuan koefisien kebutuhan air domestik penduduk kelas sosial tinggi Kota Kendari. Perhitungan koefisien kebutuhan air domestik di wilayah studi menggunakan Persamaan 13 CP i = CAP i KAP i . Angka-angka koefisien kebutuhan air domestik tersebut merupakan perbandingan atau rasio antara penggunaan air rata- rata penduduk per kapita per hari dengan kebutuhan air rata-rata per kapita per hari di wilayah penelitian. Perbedaan nilai koefisien kebutuhan air masing-masing kelas sosial disebabkan oleh perbedaan konsumsi air rata-rata akibat perbedaan tingkat pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan tingkat pendapatan kurang dari 1 juta rupiah per bulan cenderung menggunakan air air lebih sedikit karena penggunaan air bagi mereka hanya untuk kebutuhan minum, memasak dan mencuci pakaian. Kebutuhan air untuk mencuci lantai, kendaraan dan menyiram taman hampir tidak ada karena umumnya tidak memiliki kendaraan bermotor, lantai rumah dari tanah dan semen kasar. 109 Kebutuhan air domestik dipengaruhi oleh jumlah dan pertumbuhan penduduk pada setiap kelas sosial, kelas sosial tingkat pendapatan masyarakat, dan kebutuhan air rata-rata penduduk. Proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha menggunakan data penduduk menurut kelas sosial dari tahun 2000 sampai 2009. Data jumlah penduduk DAS Konaweha menurut kelas sosial tahun 2000-2009 disajikan pada Lampiran 15b. Analisis regresi jumlah penduduk dari tahun 2000-2009 di DAS Konaweha menunjukkan bahwa jumlah penduduk meningkat secara eksponensial dari waktu ke waktu. Pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha dianalisis menggunakan Persamaan 11 P t = P o .e r . Hasil analisis pola pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha tahun 2000-2009 disajikan pada Gambar 26. y = 419552 e 0.0156X R 2 = 0.97 400000 420000 440000 460000 480000 500000 Ta hu n 2 00 T ah un 2 00 1 Ta hu n 2 00 2 Ta hu n 2 00 3 T ah un 2 00 4 Ta hu n 2 00 5 Ta hu n 2 00 6 Ta hu n 2 00 7 Ta hu n 2 00 8 Ta hu n 2 00 9 J u m la h P e n d u d u k ji w a 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Gambar 26. Pola Pertumbuhan Penduduk di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Diolah dari Lampiran 15b Gambar 26 merupakan pola pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha dari tahun 2000-2009. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha bersifat eksponensial mengikuti persamaan: y = 419552 e 0.0156X 49 110 dimana y adalah jumlah penduduk pada waktu t jiwa, x adalah tahun data dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Persamaan 49 digunakan untuk proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha dari tahun 2010-2050. Proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha Konaweha tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 15c. Lampiran 15c menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang memanfaatkan air di DAS Konaweha tahun 2010 adalah 495.760 jiwa. Dari jumlah tersebut maka penduduk dengan tingkat pendapatan Rp. 1.000.000 per bulan adalah 192.355 jiwa atau 38,8 , sedangkan jumlah penduduk dengan tingkat pendapatan Rp. 1.000.000- Rp. 3.000.000 per bulan adalah 187.893 jiwa atau 37,9 dan penduduk dengan tingkat pendapatan Rp. 3.000.000 per bulan adalah 115.512 jiwa atau 23,3 BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010. Proyeksi kebutuhan air domestik dengan Persamaan 12 Y t =∑PP i x P e r x KAP x CP i menggunakan data jumlah dan pertumbuhan penduduk di wilayah studi Persamaan 49; y = 419552 e 0.0156X , nilai koefisien kebutuhan air domestik rata-rata contoh perhitungan Lampiran 15a, proporsi penduduk berdasarkan kelas sosial dan standar kebutuhan air penduduk WHO, 2009 yakni 110 liter per kapita per hari. Proyeksi kebutuhan air domestik di DAS Konaweha menunjukkan bahwa kebutuhan air domestik mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Proyeksi kebutuhan air domestik dari 2010-2050 disajikan pada Lampiran 15c, sedangkan proyeksi kebutuhan air domestik periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Proyeksi Kebutuhan Air Domestik Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Periode Kebutuhan Air juta m 3 Peningkatan juta m 3 2011-2015 13,1 0.8 2016-2020 13,9 0,8 2021-2025 14,8 0,9 2026-2030 15,8 0,9 2031-2035 16,7 1,0 2036-2040 17,8 1,1 2041-2045 18,9 1,1 2046-2050 20,1 1,2 111 Tabel 19 menunjukkan bahwa kebutuhan air rata-rata sektor domestik di DAS Konaweha meningkat dari waktu ke waktu yakni 13,1 juta m 3 pada periode 2011-2015 menjadi 15,8 juta m 3 pada periode 2026-2030. Selanjutnya kebutuhan air domestik periode 2036-2040 adalah 17,8 juta m 3 , meningkat menjadi 20,1 juta m 3 pada periode 2046-2050. Kecenderungan peningkatan kebutuhan air domestik disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun dengan laju peningkatan rata-rata sekitar 1,22 per tahun. Selain itu peningkatan kebutuhan air ini juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat penduduk, dan kebutuhan air rata-rata per kapita penduduk. Tingkat sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat konsumsi air bagi penduduk dimana semakin tinggi status sosial, maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi airnya. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat konsumsi air masyarakat kota yang cenderung lebih tinggi dari masyarakat perdesaan karena umumnya tingkat sosial masyarakat kota lebih tinggi dari tingkat sosial masyarakat perdesaan. Selain itu jumlah anggota keluarga juga mempengaruhi tingkat konsumsi air masyarakat. Analisis kebutuhan air domestik menunjukkan bahwa distribusi kebutuhan air domestik diasumsikan merata setiap bulan. Berdasarkan hal ini maka perhitungan kebutuhan air bulanan menggunakan angka kebutuhan air tahunan dibagi dengan jumlah bulan dalam setahun. Distribusi kebutuhan air domestik bulanan dari tahun 2010 sampai 2050 disajikan pada Lampiran 15d. Kebutuhan Air Industri Klasifikasi jenis industri di Provinsi Sulawesi Tenggara dibedakan atas dua jenis industri yakni industri kecil dan industri sedang dan besar Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010. Jumlah industri kecil yang terdapat di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, dan Kabupaten Kolaka mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali Kota Kendari cenderung mengalami penurunan. 112 Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah industri kecil dan industri sedangbesar di DAS Konaweha mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah industri kecil dan industri sedangbesar di DAS Konaweha dari tahun 2000- 2009 Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010 disajikan pada Lampiran 16a. Lampiran 16a menunjukkan bahwa jumlah industri kecil di DAS Konaweha tahun 2000 adalah 2.955 unit, meningkat menjadi 3.096 unit pada tahun 2005 dan 3.167 unit pada tahun 2009. Pada tahun 2000 maka jumlah industri sedangbesar di DAS Konaweha adalah 2 unit, sedangkan tahun 2005 dan 2009 meningkat menjadi 6 unit dan 8 unit. Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan industri kecil di DAS Konaweha menunjukkan kecenderungan yang positif. Hal ini disebabkan karena wilayah tersebut merupakan pusat pengembangan pertanian dan perikanan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Analisis regresi jumlah industri kecil dan industri sedangbesar di DAS Konaweha menunjukkan bahwa pertumbuhan kedua jenis industri tersebut bersifat eksponensial. Hasil analisis regresi pola pertumbuhan industri kecil di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 27. y = 2944.1 e 0.0076X R 2 = 0.98 2800 2900 3000 3100 3200 Ta hu n 2 00 Ta hu n 2 00 1 Ta hu n 2 00 2 Ta hu n 2 00 3 Ta hu n 2 00 4 Ta hu n 2 00 5 Ta hu n 2 00 6 Ta hu n 2 00 7 Ta hu n 2 00 8 Ta hu n 2 00 9 Ju m la h In du st ri Ke ci l u ni t 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Gambar 27. Pola Pertumbuhan Industri Kecil di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Diolah dari Lampiran 16a 113 Gambar 27 menunjukkan bahwa pertumbuhan industri kecil di DAS Konaweha dari tahun 2000 sampai 2009 bersifat eksponensial. Pola pertumbuhan industri kecil mengikuti persamaan: y = 2944.1 e 0.0076X 50 dimana y adalah jumlah industri kecil pada waktu t unit, x adalah tahun data dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Hasil analisis regresi pola pertumbuhan industri sedangbesar di DAS Konaweha menggunakan data Lampiran 16a menunjukkan kecenderungan yang sama dengan pola pertumbuhan industri kecil. Pola pertumbuhan industri sedangbesar di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 28. y = 1.9822 e 0.1542X R 2 = 0.88 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Ta hu n 2 00 Ta hu n 2 00 1 Ta hu n 2 00 2 Ta hu n 2 00 3 Ta hu n 2 00 4 Ta hu n 2 00 5 Ta hu n 2 00 6 Ta hu n 2 00 7 Ta hu n 2 00 8 Ta hu n 2 00 9 Ju m la h I n d u st ri Se d a n g Be sa r u n it 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Gambar 28. Pola Pertumbuhan Industri SedangBesar di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Diolah dari Lampiran 16a Gambar 28 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan industri sedangbesar di DAS Konaweha bersifat eksponensial. Hal ini sesuai dengan kecenderungan data jumlah industri sedangbesar dari tahun 2000 sampai 2009 mengikuti persamaan: y = 1.9822 e 0.1542X 51 114 dimana y adalah jumlah industri sedangbesar pada waktu t unit, x adalah tahun data dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Proyeksi kebutuhan air industri tahun 2010-2050 menggunakan hasil proyeksi jumlah industri kecil Persamaan 50; y = 2944.1 e 0.0076X dan, proyeksi industri sedangbesar Persamaan 51; y = 1.9822 e 0.1542X , koefisien kebutuhan air industri kecil rata-rata di DAS Konaweha yakni 0,41 dan industri sedangbesar adalah 0,73 Lampiran 16b serta standar kebutuhan air industri kecil 30 m 3 per unit per hari dan industri sedangbesar yakni 200 m 3 per unit per hari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010. Hasil proyeksi jumlah industri kecil dan industri sedangbesar digunakan untuk proyeksi kebutuhan air industri tahun 2010-2050 berdasarkan Persamaan 14 Y industri = ∑PI j x I x KAI x CI j menggunakan data proyeksi jumlah industri Lampiran 16c, koefisien kebutuhan air industri,Lampiran 16a dan standar kebutuhan air industri. Berdasarkan hal ini maka proyeksi kebutuhan air industri dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 16c, sedangkan proyeksi kebutuhan air industri periode lima tahunan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Proyeksi Kebutuhan Air Industri Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Periode Kebutuhan Air juta m 3 Peningkatan juta m 3 2011-2015 15,5 0,7 2016-2020 16,4 0,9 2021-2025 17,4 1,0 2026-2030 18,8 1.3 2031-2035 20,5 1.7 2036-2040 22,7 2.3 2041-2045 25,8 3,1 2046-2050 30,2 4,3 Tabel 20 menunjukkan bahwa kebutuhan air industri di DAS Konaweha cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Kebutuhan air industri periode 2011- 2015 adalah 15,5 juta m 3 dan periode 2021-2025 meningkat menjadi 17,4 juta m 3 . 115 Selanjutnya kebutuhan air industri periode 2026-2030 adalah 18,8 juta m 3 , meningkat menjadi 22,7 juta m 3 pada periode 2036-2040 dan 30,2 juta m 3 pada periode 2046-2050. Kebutuhan air industri periode 2036-2040 adalah 22,7 juta m 3 , meningkat menjadi 25,8 juta m 3 pada periode 2041-2045 dan dan 30,2 juta m 3 pada periode 2046-2050. Peningkatan kebutuhan air industri berkisar antara 0,7 juta m 3 pada periode 2011-2015 menjadi 4,3 juta m 3 pada periode 2046-2050. Sebagian besar kebutuhan air industri diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan air bagi industri kecil. Sebagai gambaran maka total kebutuhan air industri periode 2016-2020 adalah 16,4 juta m 3 dimana dari angka tersebut, maka sebanyak 15,4 juta m 3 merupakan kebutuhan air industri kecil, sedangkan selebihnya yakni 1,0 juta m 3 untuk kebutuhan air industri sedangbesar. Distribusi kebutuhan air industri bulanan setiap tahun juga dihitung berdasarkan asumsi yang sama dengan perhitungan distribusi kebutuhan air domestik bulanan sehingga kebutuhan air industri setiap bulan pada tahun yang sama adalah sama. Hasil proyeksi kebutuhan air industri bulanan di DAS Konaweha dari tahun 2010 sampai 2050 disajikan pada Lampiran 16d. Kebutuhan Air Irigasi Hasil penelitian di tiga wilayah untuk menghitung koefisien kebutuhan air irigasi menunjukkan bahwa koefisien kebutuhan air irigasi untuk Kabupaten Konawe adalah 0,62, Kabupaten Konawe Selatan adalah 0,63 dan Kabupaten Kolaka adalah 0,65. Jika koefisien kebutuhan air irigasi ketiga wilayah ini dirata-ratakan, maka koefisien kebutuhan air irigasi rata-rata DAS Konaweha adalah 0.63 yang dihitung berdasarkan Persamaan 16 Y konsumsi = A x H x F g x F t , Persamaan 17 H = h ot + h b + h v + h g 4, persamaan 18 Y irigasi = Y konsumsi + lY konsumsi dan Persamaan 19 C irigasi = Y irigasi Y irigasi Standar. Contoh penentuan koefisien kebutuhan air irigasi disajikan pada Lampiran 17a. Luas sawah di DAS Konaweha mengalami peningkatan dari tahun ke tahun akibat pertambahan kebutuhan beras penduduk di Kabupaten Konawe, Konawe 116 Selatan dan Kolaka. Luas sawah di DAS Konaweha tahun 2000-2009 disajikan pada Lampiran 17b. Lampiran 17b menunjukkan bahwa luas sawah di DAS Konaweha tahun 2000 adalah 21.750 hektar, meningkat menjadi 23.855 hektar pada tahun 2005, sedangkan tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009 meningkat menjadi 23.980 hektar, 24.250 hektar, 24.330 hektar dan 24.850 hektar. Analisis regresi pertumbuhan luas sawah di DAS Konaweha tahun 2000 sampai 2009 menggunakan data Lampiran 17b menunjukkan bahwa pola pertumbuhan luas sawah bersifat eksponensial Gambar 29. y = 21696e 0.0138X R 2 = 0.96 20000 21000 22000 23000 24000 25000 Ta hu n 2 00 Ta hu n 2 00 1 Ta hu n 2 00 2 Ta hu n 2 00 3 Ta hu n 2 00 4 Ta hu n 2 00 5 Ta hu n 2 00 6 Ta hu n 2 00 7 Ta hu n 2 00 8 Ta hu n 2 00 9 Lu as S aw ah h a 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Gambar 29. Pola Pertumbuhan Luas Sawah di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Diolah dari Lampiran 17b Gambar 29 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan luas sawah di DAS Konaweha bersifat eksponensial dan meningkat dari waktu ke waktu mengikuti persamaan: y = 21696 e 0.0138X 52 dimana y adalah luas sawah pada waktu t hektar, x adalah tahun data dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. 117 Proyeksi luas sawah di DAS Konaweha tahun 2010-2050 menggunakan Persamaan 52 y=21696 e 0.0138X disajikan pada Lampiran 17c. Proyeksi kebutuhan air irigasi tahun 2010-2050 menggunakan hasil proyeksi luas sawah Lampiran 17c, koefisien kebutuhan air irigasi rata-rata yakni 0,633 hasil survei 4 wilayah, Lampiran 17a untuk Kabupaten Kolaka dan standar kebutuhan air irigasi rata-rata Puslitbang Pengairan, 1999 yakni 1,2 literdetikhektar. Proyeksi kebutuhan air irigasi tahun 2010-2050 di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 17c, sedangkan proyeksi kebutuhan air irigasi periode lima tahunan disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Periode Kebutuhan Air juta m 3 Peningkatan juta m 3 2011-2015 315,6 18,6 2016-2020 335,3 19,7 2021-2025 356,3 21,0 2026-2030 378,6 22,3 2031-2035 402,2 23,7 2036-2040 427,4 25,1 2041-2045 454,1 26,7 2046-2050 482,5 28,4 Tabel 21 menunjukkan bahwa kebutuhan air irigasi di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 315,6 juta m 3 , meningkat menjadi 335,3 juta m 3 pada periode 2016-2020. Selanjutnya kebutuhan air periode 2021-2025 meningkat menjadi 356,3 juta m 3 yang mengalami peningkatan pada periode 2026-2030 yakni 378,6 juta m 3 . Selanjutnya kebutuhan air irigasi tahun 2031-2035 adalah 402,2 juta m 3 meningkat menjadi 482,5 juta m 3 pada periode 2046-2050. Berdasarkan hasil penelitian lapangan maka diketahui bahwa kebiasaan tanam setiap tahun di DAS Konaweha dimulai pada bulan maret sampai juni, kemudian juli dan agustus lahan sawah diberokan, kemudian september sampai desember merupakan musim penanaman kedua. Berdasarkan kebiasaan ini, maka distribusi kebutuhan air irigasi bulanan dapat dihitung dan hasilnya disajikan pada Lampiran 17d. 118 Kebutuhan Air yang Menggelontor Kebutuhan air yang menggelontor merupakan debit sungai yang harus tetap tersedia setiap saat adalah melalui tinggi muka air yang melewati penampang basah bendungan. Tinggi muka air yang melewati penampang basah dipertahankan hingga batas minimal yakni 10 cm dengan jalan mengatur pintu air yang masuk ke saluran irigasi. Jika tinggi muka air yang melewati penampang basah bendungan 10 cm maka debit sungai adalah 7,9 m 3 detik. Jika dikonversi menjadi satuan volume, maka volume air yang harus tetap mengalir di sungai rata-rata adalah 20.5 juta m 3 . Volume air tersebut yang harus tetap menggelontor di sungai agar fungsi sungai dapat terjaga. Jika dikonversi menjadi volume air selama satu tahun, maka total volume air yang harus tersedia adalah 246 juta m 3 per tahun. Jumlah air tersebut diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan air untuk menjaga fungsi ekonomi dan ekologi Sungai Konaweha serta kebutuhan lainnya tahun 2009. Air yang menggelontor di Sungai Konaweha juga mensuplai selain kebutuhan air untuk menjaga fungsi ekologi dan ekonomi transportasi sungai, juga digunakan untuk kebutuhan lain di Kota Kendari yakni kebutuhan air fasilitas umum seperti rumah ibadah, perkantoran, pembersihan jalan, pasar, dan pemadam kebakaran. Oleh karena itu maka jumlah air yang menggelontor tersebut juga dipengaruhi oleh dinamika peningkatan kebutuhan air akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi, sehingga kebutuhan air yang menggelontor bersifat dinamis dari waktu ke waktu. Proporsi jumlah air yang dialokasikan untuk kebutuhan lain non domestik dan non industri di Kota Kendari adalah sekitar 24 dari total alokasi air setiap tahun PDAM Kota Kendari, 2010. Peningkatan jumlah alokasi kebutuhan lain juga mengikuti kecenderungan peningkatan kebutuhan air domestik dan industri di Kota Kendari. Perhitungan alokasi kebutuhan lain menggunakan Persamaan 20 DM Ot = 0,32D d +D i t , sedangkan perhitungan kebutuhan air menggelontor menggunakan Persamaan 21 DM t = 246 + DM Ot . 119 Kebutuhan air yang menggelontor merupakan jumlah dari kebutuhan aliran air untuk memelihara fungsi lingkungan dan fungsi ekonomi sungai yakni 246 juta m 3 per tahun. Berdasarkan kedua persamaan tersebut maka proyeksi kebutuhan air yang menggelontor dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 18a. Sedangkan proyeksi kebutuhan air menggelontor periode lima tahunan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Periode Kebutuhan Air juta m 3 Kebutuhan Lain juta m 3 2011-2015 255,2 9,2 2016-2020 255,7 9,7 2021-2025 256,3 10,3 2026-2030 257,0 11,0 2031-2035 257,9 11,9 2036-2040 259,0 13,0 2041-2045 260,3 14,3 2046-2050 262,1 16,1 Tabel 22 menunjukkan bahwa kebutuhan air yang harus tetap menggelontor di sungai periode 2011-2015 adalah 255,2 juta m 3 , meningkat menjadi 255,7 juta m 3 pada periode 2016-2020. Selanjutnya kebutuhan air periode 2021-2025 meningkat menjadi 256,3 juta m 3 yang mengalami peningkatan pada periode 2026-2030 yakni 257,0 juta m 3 . Selanjutnya kebutuhan air yang harus menggelontor periode 2031- 2035 adalah 257,9 juta m 3 meningkat menjadi 262,1 juta m 3 pada periode 2046-2050. Distribusi bulanan kebutuhan air yang harus tetap menggelontor setiap tahun juga dihitung berdasarkan asumsi yang sama dengan perhitungan distribusi kebutuhan air domestik dan kebutuhan air industri bulanan sehingga setiap bulan pada tahun yang sama maka kebutuhan air yang menggelontor sama besarnya. Distribusi kebutuhan air yang menggelontor di DAS Konaweha dari tahun 2010 sampai 2050 disajikan pada Lampiran 18b. Kebutuhan Air Total Total Kebutuhan air di DAS Konaweha diperoleh dari penjumlahan seluruh kebutuhan air yang meliputi kebutuhan air domestik, kebutuhan air industri dan 120 kebutuhan air irigasi yang dihitung dari hasil proyeksi kebutuhan air tahun 2010- 2050 untuk masing-masing sektor ditambah dengan volume air yang harus tetap menggelontor agar fungsi ekologi dan fungsi ekonomi sungai dapat terjaga. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kebutuhan air total meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan air total di DAS Konaweha dari tahun 2010-2050 merupakan penjumlahan dari kebutuhan air domestik Lampiran 15c, kebutuhan air industri Lampiran 16c, kebutuhan air irigasi Lampiran 17c dan kebutuhan air yang menggelontor Lampiran 18a dan hasilnya disajikan pada Lampiran 19a, sedangkan kebutuhan air total periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Proyeksi Kebutuhan Air Total Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Periode Kebutuhan Air Total juta m 3 Peningkatan juta m 3 2011-2015 599,4 20,6 2016-2020 621,4 22,0 2021-2025 644,9 23,5 2026-2030 670,1 25,2 2031-2035 697,4 27,2 2036-2040 726,9 29,5 2041-2045 759,2 32,3 2046-2050 794,8 35,7 Tabel 23 menunjukkan bahwa kebutuhan air total di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 599,4 juta m 3 yang bersumber dari kebutuhan air domestik sebesar 13,1 juta m 3 , industri sebesar 15,5 juta m 3 , irigasi sebesar 315,6 juta m 3 dan air yang harus menggelontor sebesar 255,2 juta m 3 . Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan air total mengalami peningkatan sehingga pada periode 2046-2050 kebutuhan air total menjadi 794,8 juta m 3 yang merupakan kontribusi dari sektor domestik sebesar 20,1 juta m 3 , sektor industri sebesar 30,2 juta m 3 , dan irigasi sebesar 482,5 juta m 3 dan air yang menggelontor di sungai sebesar 262,1 juta m 3 . Peningkatan kebutuhan air total di DAS Konaweha disebabkan oleh peningkatan kebutuhan air sektor domestik, industri dan irigasi. Kontribusi masing- masing sektor terhadap peningkatan kebutuhan air total dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk, industri dan pertambahan luas sawah di DAS 121 Konaweha. Masing-masing sektor memberikan kontribusi berbeda terhadap pertambahan jumlah kebutuhan air total. Distribusi bulanan kebutuhan air total di DAS Konaweha menunjukkan bahwa kebutuhan air selama 8 bulan mencapai angka tertinggi yakni maret-juni dan september-desember. Distribusi bulanan kebutuhan air total di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 19b. Lampiran 19b menunjukkan bahwa kebutuhan air total tertinggi dicapai pada periode Bulan Maret-Juni dan periode Bulan September-Desember karena pada bulan-bulan tersebut merupakan waktu untuk alokasi kebutuhan air irigasi. Sebaliknya kebutuhan air total bulan Januari, Pebruari, Juli dan Agustus mencapai angka terendah karena pada bulan-bulan tersebut alokasi air hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Distribusi kebutuhan air total di DAS Konaweha dikonversi ke dalam debit dengan satuan m 3 detik untuk tujuan penyeragaman dengan satuan distribusi debit sungai atau ketersediaan air. Hasil konversi distribusi kebutuhan air total di DAS Konaweha tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 19c. Lampiran 19c merupakan distribusi kebutuhan air total setiap bulan di DAS Konaweha dari tahun 2010-2050. Sebagai contoh maka distribusi kebutuhan air total tahun 2025 adalah sebagai berikut: pada Bulan Januari, Pebruari, Juli dan Agustus masing-masing 8,98 m 3 detik. Kebutuhan air untuk Bulan Maret, Mei, Oktober dan Desember adalah 25,61 m 3 detik. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan air di DAS Konaweha baik kebutuhan air bulanan maupun tahunan untuk sektor domestik, industri dan irigasi, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan air di wilayah ini cukup besar sehingga suatu saat suplai air tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan air ketiga sektor tersebut. Peningkatan kebutuhan air ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan taraf hidup masyarakat Abaje, Ati and Ishaya, 2009. Lebih lanjut Fares 2003 menjelaskan bahwa peningkatan populasi penduduk yang dibarengi 122 dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat akan menyebabkan kebutuhan air akan meningkat dengan cepat pula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan air di DAS Konaweha dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk, industri dan pertambahan luas sawah. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya kebutuhan air adalah faktor rendahnya efisiensi alokasi sumberdaya air. Kehilangan air yang dialokasikan untuk kebutuhan domestik dan industri di DAS Konaweha berkisar antara 10-15 PDAM Kota Kendari, 2010, sedangkan kehilangan air irigasi berkisar antara 10-20 Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010. Peningkatan efisiensi alokasi sumberdaya air merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air sektor domestik, industri dan irigasi di wilayah tersebut. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Dziegielewski 2003 bahwa pengelolaan kebutuhan air dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi penggunaan air dan peningkatan efisiensi alokasi air melalui penyadaran konsumen akan pentingnya penghematan penggunaan air dan perbaikan fasilitas sumberdaya air oleh pihak-pihak terkait. Selanjutnya Seckler et al 1998 mengemukakan bahwa sekitar 50 peningkatan kebutuhan air hingga tahun 2025 tercermin dari peningkatan efektivitas irigasi. McWhinney 2005 mengembangkan model pengelolaan ketersediaan dan kebutuhan air water supply demand management yang dikenal dengan WELS water efficiency labelling and standards dengan titik berat pada peningkatan efisiensi penggunaan dan alokasi air. Lebih lanjut dijelaskan bahwa strategi dan kebijakan pengelolaan ketersediaan dan kebutuhan air Manoli, et al., 2005; Biswas and Tortajada, 2010 adalah sebagai berikut : 1 meningkatkan suplai air bersih melalui pemanfaatan secara optinal potensi sumberdaya air yang ada, 2 pengelolaan kebutuhan air melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan air, 3 pengembangan bidang sosial melalui perbaikan kebijakan pengelolaan air, dan 4 kebijakan institusi pengelolaan air melalui penetapan harga air, biaya pemeliharaan dan sistem insentif. 123 Lebih lanjut dijelaskan bahwa analisis distribusi bulanan kebutuhan air total di DAS Konaweha Lampiran 19c difokuskan pada kebutuhan air musim kemarau. Hal ini disebabkan titik kritis pemenuhan kebutuhan air adalah debit minimum yang terjadi pada musim kemarau. Kebutuhan air total musim kemarau di DAS Konaweha disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Proyeksi Kebutuhan Air Total Musim Kemarau Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Periode Kebutuhan Air Total Musim Kemarau m 3 detik 2011-2015 24,0 2016-2020 25,0 2021-2025 26,0 2026-2030 27,2 2031-2035 28,4 2036-2040 29,7 2041-2045 31,1 2046-2050 32,7 Tabel 24 menunjukkan bahwa kebutuhan air total musim kemarau periode 2011-2015 di DAS Konaweha adalah 24,0 m 3 detik, akan meningkat menjadi 27,2 m 3 detik pada periode 2026-2030. Kebutuhan air total musim kemarau periode 2036-2040 adalah 29,7 m 3 detik akan meningkat menjadi 32,7 m 3 detik pada periode 2046-2050. Angka-angka tersebut di atas memberikan gambaran tentang jumlah air minimal yang harus terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan air tersebut bersumber dari debit minimum yang merupakan gambaran ketersediaan air musim kemarau sebagaimana disajikan pada Gambar 25 terdahulu. Proporsi Luas Hutan Minimal untuk Memenuhi Kebutuhan Air Proporsi luas di dalam suatu DAS sangat tergantung dari jumlah air yang harus dipasok untuk memenuhi kebutuhan air di DAS tersebut khususnya kebutuhan air pada musim kemarau. Jumlah kebutuhan air di dalam suatu DAS ditentukan oleh jenis dan jumlah sektor yang memanfaatkan air. 124 Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan adalah luas hutan yang dapat menghasilkan debit minimum lebih besar atau sama dengan kebutuhan air. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan merupakan nilai relatif yang tergantung dari berapa jumlah kebutuhan air yang harus terpenuhi oleh debit minimum yang dihasilkan akibat mempertahankan luas hutan dengan luas tertentu. Hasil analisis ketersediaan air musim kemarau menggunakan Persamaan 46 Q min = 13 + 0.7 H + 0.6 K - 3.4 Kc - 3.7 Sb dari periode 2011-2050 Lampiran 14 dan Gambar 25 menunjukkan bahwa ketersediaan air musim kemarau periode 2011-2015 adalah 37,6 m 3 detik, akan menurun menjadi 26,2 m 3 detik pada periode 2026-2030. Nilai ketersediaan air tersebut akan menurun terus hingga mencapai angka 20,0 m 3 detik pada periode 2036-2040 dan 14,7 m 3 detik pada periode 2046-2050. Hasil analisis distribusi kebutuhan air musim kemarau menggunakan Persamaan 22 Yd i = Yd tahunan n, Persamaan 23 Yi j = Yi tahunan n, dan Persamaan 24 Ys k = Ys tahunan 2m disajikan pada Lampiran 19a, Lampiran 19c dan Tabel 24 menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan air musim kemarau periode 2011-2015 adalah 24,0 m 3 detik, akan meningkat menjadi 27,2 m 3 detik pada periode 2026- 2030. Pada periode 2036-2040 maka kebutuhan air meningkat lagi menjadi 29,7 m 3 detik dan 32,7 m 3 detik pada periode 2046-2050. Analisis neraca ketersediaan dan kebutuhan air menggunakan data proyeksi ketersediaan air debit minimum Gambar 25 dan data proyeksi kebutuhan air musim kemarau Tabel 24 menunjukkan bahwa pada periode 2026-2030 akan terjadi defisit air di DAS Konaweha. Neraca ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Konaweha periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 25. 125 Tabel 25. Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Air di DAS Konaweha Periode 2011-2050 Periode Ketersediaan Air S m 3 detik Kebutuhan Air D m 3 detik S-D m 3 detik Status 2011-2015 37,6 24,0 13,7 Surplus 2016-2020 33,5 25,0 8,6 Surplus 2021-2025 29,7 26,0 3,7 Surplus 2026-2030 26,2 27,2 -0,9 Defisit 2031-2035 23,0 28,4 -5,4 Defisit 2036-2040 20,0 29,7 -9,6 Defisit 2041-2045 17,3 31,1 -13,8 Defisit 2046-2050 14,7 32,7 -17,9 Defisit Tabel 25 menunjukkan bahwa ketersediaan air S pada periode 2011-2025 lebih besar dari kebutuhan air D atau dengan kata lain status neraca air masih surplus. Nilai surplus pada air pada periode tersebut masing-masing sebesar 13,7 m 3 detik periode 2011-2015, 8,6 m 3 detik periode 2016-2020 dan 3,7 m 3 detik periode 2021-2025. Pada periode 2026-2050 maka ketersediaan air tidak mencukupi kebutuhan air atau dengan kata lain terjadi defisit air. Nilai defisit air pada periode tersebut adalah 0,9 m 3 detik periode 2026-2030, 5,4 m 3 detik periode 2031-2035, 9,6 m 3 detik periode 2036-2040, 13,8 m 3 detik periode 2041-2045 dan 17,9 m 3 detik periode 2046-2050. Tabel 25 memberikan gambaran bahwa neraca air di DAS Konaweha akan terjadi defisit pada periode 2026-2030. Periode inilah yang menjadi titik kritis dalam menentukan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kurva ketersediaan air atau debit minimum Gambar 25, kebutuhan air musim kemarau Tabel 24, neraca ketersediaan dan kebutuhan air Tabel 25 dan proyeksi jumlah penduduk periode 2011-2050 digunakan untuk menentukan proporsi luas hutan minimal yang dapat menjamin ketersediaan sumberdaya air di DAS KonawehaGambar 30. 126 10 20 30 40 50 Periode 5 Tahunan, Luas Hutan Luas DAS Konaweha Hulu dan Jumlah Penduduk x 100000 jiwa K e te rsed iaa n A ir m 3 d e tik 10 20 30 40 50 K e b u tu h a n A ir M 3 d e tik Ketersediaan m3detik 37.6 33.5 29.7 26.2 23.0 20.0 17.3 14.7 Kebutuhan Air m3detik 24.0 25.0 26.0 27.2 28.4 29.7 31.1 32.7 Luas Hutan 43.2

39.1 35.4

32.0 29.0

26.2 23.7

21.5 Jumlah Penduduk x 100000 jiwa 5.1 5.5 5.8 6.2 6.7 7.0 7.4 7.9 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050 A B C D E F Gambar 30. Kurva Ketersediaan dan Kebutuhan Air Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Gambar 30 menunjukkan bahwa titik perpotongan antara kurva ketersediaan dan kebutuhan air terjadi pada periode 2026-2030. Pada kondisi ini maka terjadi titik keseimbangan antara ketersediaan air S dan kebutuhan air D atau ketersediaan air sama dengan kebutuhan air. Apabila titik keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air titik B pada Gambar 30 ditarik garis tegak lurus dari sumbu kebutuhan air garis AB dan dari titik B ditarik garis tegak lurus sumbu luas hutan dan jumlah penduduk garis BC, maka garis tersebut akan memotong sumbu luas hutan pada titik C dengan nilai sekitar 32,5 interpolasi antara 32,0-35,4. Pada kondisi ini maka luas hutan 32,5 akan mampu menghasilkan air untuk memenuhi kebutuhan sektor domestik, industri dan irigasi bagi penduduk sekitar 620.000 jiwa. Jika proporsi luas hutan yang dipertahankan minimal 35,0 dari luas DAS Konaweha Hulu, maka diperkirakan debit minimum yang dihasilkan hanya akan mampu memenuhi kebutuhan air sekitar 700.000 jiwa penduduk pada periode 2036- 127 2040 sehingga untuk pemenuhan kebutuhan air periode 2041-2045 dan periode 2046-2050 masih perlu menambah proporsi luas hutan. Jika ditarik garis tegak lurus dari sumbu kebutuhan air yang melalui titik kebutuhan air periode 2046-2050 dan memotong garis ketersediaan air di titik E garis DE, kemudian dari titik E ditarik garis tegak lurus yang memotong sumbu luas hutan dan jumlah penduduk di titik F garis EF, maka garis tersebut akan memotong sumbu luas hutan pada angka sekitar 37,5 interpolasi antara 35,4- 39,1. Ini berarti bahwa luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk menghasilkan air yang dapat memenuhi kebutuhan air hingga periode 2046-2050 adalah 37,5 dari luas DAS Konaweha Hulu. Dari uraian-uraian tersebut di atas maka disimpulkan bahwa proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan guna memenuhi kebutuhan air di DAS Konaweha adalah 32,5-37,5 dari luas DAS Konaweha Hulu. Proporsi luas hutan tersebut akan menghasilkan debit minimum yang mampu memenuhi kebutuhan air periode 2026-2050. Nilai tersebut di atas cukup rasional untuk kondisi saat ini dimana kebutuhan air semakin meningkat dari waktu ke waktu. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengharuskan untuk mempertahankan minimal 30 luas DAS sebagai kawasan hutan juga dianggap relevan dengan proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan di DAS Konaweha. Namun demikian angka 32,5-37,5 tersebut bukan merupakan angka absolut melainkan angka relatif yang besarannya masih perlu dikaji lebih mendalam dari berbagai perspektif. Valuasi Ekonomi Air dan Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Fakta yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa tidak ada alokasi pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS bagi kabupatenkota yang memperoleh manfaat ekonomi dari DAS Konaweha. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya regulasi yang mengatur mekanisme dan tata cara alokasi pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS, disamping itu pemerintah daerah yang wilayahnya masuk ke dalam DAS 128 Konaweha belum mengetahui proporsi yang harus dibayarkan sehubungan dengan air yang digunakan. Nilai ekonomi air yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan industri di DAS Konaweha mencapai angka yang tertinggi jika dibandingkan dengan nilai ekonomi air yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan irigasi. Perhitungan nilai ekonomi air berdasarkan sektor menggunakan Persamaan 25 TEA = TEA d + TEA i + TEA s dan Persamaan 26 TEA = D d P d + D i P i + D s P s . Data yang digunakan adalah data kebutuhan air domestik Lampiran 15c, kebutuhan air industri Lampiran 16c, kebutuhan air irigasi Lampiran 17c, dan harga satuan air untuk kebutuhan domestik dan industri sesuai standar PDAM Rp. 3.755 per m 3 dan harga satuan air irigasi sesuai dengan nilai rata-rata kesediaan untuk membayar Rp. 15,32 per m 3 . Hasil perhitungan nilai ekonomi air berdasarkan sektor di DAS Konaweha dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 20. Proyeksi nilai ekonomi air menurut sektor periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Nilai Ekonomi Air berdasarkan Sektor di DAS Konaweha Periode 2011- 2050 Periode Domestik Milyar Rupiah Industri Milyar Rupiah Irigasi Milyar Rupiah Total Milyar Rupiah 2011-2015 49,25 58,34 4,84 112,42 2016-2020 52,35 61,59 5,14 119,07 2021-2025 55,64 65,52 5,46 126,62 2026-2030 59,14 70,45 5,80 135,39 2031-2035 62,86 76,83 6,16 145,86 2036-2040 66,82 85,34 6,55 158,71 2041-2045 71,03 96,99 6,96 174,97 2046-2050 75,50 113,26 7,39 196,15 Tabel 26 menunjukkan bahwa total nilai ekonomi air di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 112,42 milyar rupiah yang merupakan jumlah dari nilai ekonomi air sektor domestik sebesar 49,25 milyar rupiah, industri sebesar 58,34 milyar rupiah dan irigasi sebesar 4,84 milyar rupiah. Selanjutnya periode 2021-2025 meningkat menjadi 126,62 milyar rupiah yang merupakan jumlah dari sektor 129 domestik sebesar 55,64 milyar rupiah, 65,52 milyar rupiah dari sektor industri dan irigasi sebesar 5,46 milyar rupiah. Nilai ekonomi air periode 2041-2045 adalah 174,97 milyar rupiah yang merupakan nilai kumulatif sektor domestik, industri dan irigasi dengan nilai masing-masing 71,03 milyar rupiah, 96,99 milyar rupiah dan 6,96 milyar rupiah. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa total nilai ekonomi air untuk kebutuhan industri mencapai proporsi tertinggi yakni 63,4 , sedangkan kebutuhan air domestik dan irigasi masing-masing sebesar 32,5 dan 4,1 . Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai ekonomi air yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan irigasi di DAS Konaweha periode 2011- 2015 adalah 4,84 milyar rupiah. Angka tersebut hampir sama dengan hasil perhitungan nilai ekonomi air irigasi di DAS Way Betung tahun 2009 yakni 4,24 milyar rupiah. Sedangkan nilai ekonomi air untuk kebutuhan domestik di DAS Konaweha adalah 49,25 milyar rupiah pada periode 2011-2015, sedangkan nilai ekonomi untuk kebutuhan domestik PDAM Kota Bandar Lampung yang bersumber dari DAS Way Betung tahun 2009 adalah 38,06 milyar rupiah. Nilai ekonomi air untuk kebutuhan air industri di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 58,34 milyar rupiah. Nilai tersebut hampir sama dengan nilai ekonomi air minum dalam kemasan di DAS Way Betung tahun 2009 yakni 55,43 milyar rupiah Yuwono, 2011. Angka-angka tersebut masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penilaian manfaat hidrologis Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat untuk nilai ekonomi air rumah tangga menggunakan metode biaya perjalanan travel cost method yakni 4,34 milyar rupiah per tahun Darusman, 1993. Hasil penilaian nilai manfaat hidrologis Gunung Ceremai untuk sektor rumah tangga menggunakan metode biaya pengadaan demand curve yakni 3,34 milyar rupiah per tahun Ramdan, 2006. Perbedaan tersebut di atas diduga disebabkan oleh perbedaan metode penilaian dan cakupan wilayah penilaian. Proporsi nilai ekonomi air masing-masing sektor menunjukkan perbedaan yang cukup besar dimana kebutuhan air industri mencapai angka tertinggi, kemudian kebutuhan air domestik dan terendah adalah nilai ekonomi air irigasi. Fakta ini bertentangan dengan jumlah kebutuhan air dimana kebutuhan air irigasi mencapai 130 angka tertinggi. Hal ini disebabkan karena penilaian harga air menggunakan pendekatan dan satuan yang berbeda. Untuk kebutuhan air domestik dan industri menggunakan pendekatan harga pasar standar PDAM dengan harga satuan Rp.3.755 per m 3 , sedangkan kebutuhan air irigasi menggunakan pendekatan kemauan untuk membayar WTP dengan harga satuan air Rp. 15,32 per m 3 . Nilai WTP bagi masyarakat yang memanfaatkan air dari DAS Konaweha sebagai sumber air irigasi dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Hal ini sejalan dengan Adenike dan Titus 2009 bahwa nilai WTP bagi masyarakat pengguna air berhubungan erat dengan tingkat pendapatan masyarakat. Perhitungan nilai ekonomi air di DAS Konaweha menurut wilayah kabupatenkota dilakukan menggunakan Persamaan 27 TEA m =D dm P d +D im P i +D sm P s . Data yang digunakan adalah proporsi penduduk masing-masing kabupatenkota, proporsi industri kecil dan industri sedangbesar masing-masing kabupatenkota dan proporsi luas sawah masing-masing kabupatenkota PBS Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010 dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010. Selain itu maka digunakan data kebutuhan air masing-masing sektor Lampiran 15c, Lampiran 16c dan Lampiran 17c. Proyeksi nilai ekonomi air menurut wilayah dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 21, sedangkan nilai ekonomi air rata-rata periode 2011-2015 disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Proyeksi Nilai Ekonomi Air di DAS Konaweha Menurut Wilayah Periode 2011-2050 Periode Konawe Milyar Rp Konsel Milyar Rp Kolaka Milyar Rp Kendari Milyar Rp Total Milyar Rp 2011-2015 32,05 15,38 23,65 41,34 112,42 2016-2020 33,96 16,26 25,02 43,83 119,07 2021-2025 36,11 17,30 26,61 46,60 126,62 2026-2030 38,58 18,54 28,52 49,75 135,39 2031-2035 41,50 20,09 30,88 53,39 145,86 2036-2040 45,03 22,06 33,90 57,73 158,71 2041-2045 49,44 24,66 37,86 63,02 174,97 2046-2050 55,10 28,17 43,22 69,67 196,15 131 Tabel 27 menunjukkan bahwa nilai ekonomi air periode 2011-2015 di DAS Konaweha adalah 112,42 milyar rupiah yang terdiri dari 41,34 milyar rupiah untuk Kota Kendari, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka masing- masing sebesar 32,05 milyar rupiah, 15,38 milyar rupiah dan 23,65 milyar rupiah. Pada periode 2021-2025 maka nilai ekonomi air di wilayah ini adalah 126,62 milyar rupiah dimana Kota Kendari memperoleh nilai 46,60 milyar rupiah, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka masing-masing sebesar 36,11 milyar rupiah, 17,30 milyar rupiah dan 26,61 milyar rupiah. Selanjutnya periode 2046-2050 adalah 196,15 milyar rupiah yang terdiri dari masing-masing 69,67 milyar rupiah Kota Kendari, 55,10 milyar rupiah Kabupaten Konawe, 28,17 milyar rupiah Konawe Selatan dan 43,22 milyar rupiah Kolaka. Nilai ekonomi air periode 2011-2015 adalah 112,42 milyar rupiah, sedangkan periode 2016-2020 adalah 119,07 milyar rupiah. Nilai-nilai tersebut hampir sama dengan total nilai ekonomi air DAS Way Betung tahun 2009 yakni sebesar 101,04 milyar rupiah yang merupakan kontribusi dari PDAM sebesar 38,06 milyar rupiah, wisata sebesar 5,25 milyar rupiah, air minum dalam kemasan AMDK sebesar 55,43 milyar rupiah, rumah tangga hulu sebesar 2,89 milyar rupiah dan sektor irigasi sebesar 4,24 milyar rupiah Yuwono, 2011. Perbedaan nilai tersebut diduga karena perbedaan komponen yang dinilai. Nilai ekonomi air di DAS Konaweha hanya menilai tiga komponen yakni domestik, industri dan irigasi, sedangkan nilai ekonomi air di DAS Way Betung memperhitungkan nilai ekonomi air dari sektor wisata dan air minum dalam kemasan. Selain itu pemanfaatan air di DAS Konaweha sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan irigasi, sementara harga satuan air irigasi relatif rendah akibat rendahnya nilai kemauan untuk membayar air yang digunakan untuk irigasi yakni hanya Rp. 15,32 per m 3 . Disamping itu perbedaan nilai ekonomi juga diduga akibat perbedaan metade penilaian dan cakupan wilayah yang dinilai. Jika memperhatikan angka-angka tersebut di atas maka nilai manfaat ekonomi air untuk kebutuhan domestik, industri dan irigasi di DAS Konaweha menurut kabupatenkota, maka Kota Kendari mencapai proporsi tertinggi, kemudian Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan. 132 Analisis proporsi nilai ekonomi air masing-masing kabupatenkota dihitung menggunakan Persamaan 28 PB m = TEA m TEA, data proyeksi nilai ekonomi air menurut sektor Lampiran 20 dan data proyeksi nilai ekonomi air menurut wilayah Lampiran 21. Proyeksi proporsi nilai ekonomi air masing-masing kabupatenkota tahun 2010-2050 di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 22. Berdasarkan Lampiran 22 maka diketahui bahwa sekitar 37 manfaat ekonomi air di DAS Konaweha diperoleh Kota Kendari, 28 Kabupaten Konawe, 21 Kabupaten Kolaka dan 14 Kabupaten Konawe Selatan. Tingginya proporsi manfaat ekonomi yang diterima Kota Kendari disebabkan karena tingginya proporsi penduduk yang memanfaatkan air yakni sekitar 52,5 dari total penduduk yang memanfaatkan air di DAS Konaweha, sementara proporsi penduduk Kabupaten Konawe hanya sekitar 28,7 , Kabupaten Kolaka 11,7 dan Kabupaten Konawe Selatan hanya sekitar 7,1 . Selain itu proporsi jumlah industri cukup tinggi yakni 72,7 untuk industri sedangbesar dan 19,1 untuk industri kecil, sementara itu proporsi luas sawah hanya sekitar 1,6 . Proporsi manfaat ekonomi air untuk kebutuhan domestik, industri dan irigasi untuk Kabupaten Konawe juga cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena wilayah ini merupakan pusat pengembangan tanaman padi sawah di Sulawesi Tenggara. Prinsip penentuan proporsi tanggung jawab pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS bagi kabupatenkota adalah PES payment of environmental services yakni siapa saja yang memanfaatkan jasa lingkungan diwajibkan membayar. Perhitungan proporsi tanggung jawab tersebut menggunakan Persamaan 29 B mt = 0,1 TEAxPB m . Berdasarkan hal tersebut maka proporsi biaya yang menjadi tanggung jawab Kota Kendari adalah 37 sebagaimana proporsi manfaat ekonomi yang diperoleh dari penggunaan air yang bersumber dari DAS Konaweha, sedangkan Kabupaten Konawe sebesar 28 , sementara Kabupaten Kolaka dan Konawe Selatan masing- masing sebesar 21 dan 14 dari total biaya pemeliharaan fungsi DAS Konaweha Lampiran 23 dan Gambar 31. 133 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 Konawe Konsel Kolaka Kendari Nilai E kon o mi Air d an Biaya P emelihar aa n Fu n g si DAS milyar Rp 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P ro p o rsi Biay a P emelihar aa n Fu n g si DAS Nilai Ekonomi Air milyar Rp Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS milyar Rp Gambar 31. Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS KabupatenKota di DAS Konaweha 10 Nilai Manfaat Ekonomi Air KabupatenKota Periode 2046- 2050 Lampiran 23 dan Gambar 31 menunjukkan bahwa nilai ekonomi air masing- masing kabupatenkota tahun 2050 di DAS Konaweha adalah 69,67 milyar rupiah untuk Kota Kendari, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka masing-masing sebesar 55,10 milyar rupiah, 28,17 milyar rupiah dan 43,22 milyar rupiah. Dari angka-angka tersebut maka biaya pemeliharaan fungsi DAS yang menjadi kewajiban masing-masing wilayah pada tahun 2050 dapat dihitung dengan asumsi bahwa 10 nilai ekonomi air yang diterima harus dibayarkan untuk memelihara fungsi DAS. Berdasarkan hal ini maka Kota kendari harus membayar sebesar 6,97 milyar rupiah, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka masing-masing sebesar 5,51 milyar rupiah, 2,82 milyar rupiah dan 4,32 milyar rupiah pada tahun 2050. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Kota Kendari harus membayar lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka. Hal ini sangat rasional karena Kota Kendari memperoleh nilai manfaat ekonomi air yang bersumber dari DAS Konaweha, lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Fakta ini sejalan dengan proporsi manfaat ekonomi air yang diperoleh dimana Kota Kendari mencapai proporsi tertinggi yakni 37 , Konawe 28 , Kolaka 21 dan Konawe Selatan 14 . 134 Pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha yang menjadi tanggung jawab masing-masing kabupatenkota dan dapat direalisasikan melalui: 1. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD kabupatenkota melalui dana alokasi khusus DAK sektor kehutanan dan pertanian. Besarnya DAK rata-rata kabupatenkota di wilayah DAS Konaweha berkisar antara Rp. 30 milyar sampai Rp. 50 milyar per tahun. Angka tersebut harus dialokasikan untuk membiayai tidak kurang dari delapan sektor termasuk sektor kehutanan dan lingkungan hidup. Sekitar 40 dari DAK dialokasikan untuk pemeliharaan infrastruktur pelayanan publik, sedangkan alokasi untuk sektor kehutanan dan lingkungan hidup hanya sekitar 8 BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha dari DAK tidak memungkinkan untuk diterapkan. 2. Penggalangan dana masyarakat melalui penarikan pajak air sebesar 10 dari nilai manfaat ekonomi air yang diterima oleh pemakai air. Cara ini kemungkinan akan efektif jika regulasi yang diterapkan didukung dengan sosialisasi dan penyadaran kepada seluruh pemangku kepentingan di daerah. 3. Menerapkan sistem insentif hulu-hilir melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan payment of environmental services. Ketiga cara tersebut memerlukan regulasi yang mengatur kesepakatan tentang mekanisme pembayaran dan besaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing wilayah. Oleh karena itu maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dapat memfasilitasi penyusunan regulasi yang mengatur mekanisme tersebut di atas. Alternatif Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Valuasi Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu Manfaat ekonomi hutan yang dinilai di dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi hasil hutan non kayu, meliputi: flora rotan dan fauna madu, penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan. Manfaat ekonomi hutan yang dinilai seperti flora dan fauna, penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan 135 dan nilai keberadaan telah diteliti sebelumnya di tempat lain seperti di Kalimantan Barat Yunus, 2005, Jambi Rosalina, 2001, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat Darusman, 1993 dan Taman Nasional Gunung Ceremai Ramdan, 2006. Analisis nilai ekonomi total hasil hutan non kayu di DAS Konaweha menggunakan Persamaan 37 NET = NTLF + NCS + NMPT + NMTW + NMTK. Hasil analisis menunjukkan bahwa total nilai ekonomi hasil hutan non kayu di DAS Konaweha adalah Rp. 14.974.617 per hektar sebagaimana disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Total Nilai Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu di DAS Konaweha Tahun 2009 No. Komponen Nilai Ekonomi RpHa 1. Rotan 672.000 2. Madu 220.950 3. Karbon 13.351.500 4. Nilai pilihan option value 198.000 5. Nilai warisan bequest value 248.417 6. Nilai keberadaan existence value 283.750 Total 14.974.617 Keterangan : 1. Rotan dihitung pada kondisi basah dengan harga satuan per maret 2010 = Rp. 80.000 per 100 kg. 2. Madu dihitung menggunakan satuan kg dengan harga satuan per maret 2010 = Rp. 45.000 per kg. Tabel 28 menunjukkan bahwa total nilai ekonomi hasil hutan non kayu di DAS Konaweha adalah Rp. 14.974.617 per hektar yang terdiri dari nilai ekonomi rotan sebesar Rp.672.000 per hektar Lampiran 24a dan Lampiran 24b, nilai ekonomi madu sebesar Rp. 221.033 per hektar Lampiran 25a dan Lampiran 25b, karbon sebesar Rp. 13.351.500 per hektar Lampiran 26a dan Lampiran 26b, nilai pilihan Lampiran 27, nilai warisan Lampiran 28 dan nilai keberadaan Lampiran 29 masing-masing sebesar Rp. 198.000 per hektar, Rp. 248.417 per hektar dan Rp. 283.750 per hektar. Nilai ekonomi rotan dengan pendekatan produktivitas pengumpul disajikan pada Lampiran 35a dan Lampiran 35b. Lampiran 24a dan Lampiran 24b menunjukkan bahwa nilai produktivitas pengumpul dan pemegang izin pengolahan rotan di DAS Konaweha adalah 0,84 ton 136 per hektar. Nilai ini diperoleh dari nilai produktivitas pengumpul dan pengolah rotan di Kecamatan Abuki sebesar 0,86 ton per hektar, Kecamatan Latoma sebesar 0,86 ton per hektar, Kecamatan Sampara dengan nilai produktivitas sebesar 0,74 ton per hektar, Kecamatan Lambuya sebesar 0,91 ton per hektar, Kecamatan Unaaha dan Wawotobi masing-masing sebesar 0,84 ton per hektar dan 0,76 ton per hektar. Berdasarkan nilai produktivitas tersebut, maka nilai ekonomi rotan setiap satuan luas adalah Rp. 672.000 per hektarharga satuan rotan basah adalah Rp. 800.000 per ton. Hasil penelusuran informasi dengan menggunakan metode bola salju snow ball method dan wawancara mendalam baik dengan pengumpul maupun penampung madu menunjukkan bahwa jumlah pengumpul madu terbanyak berasal dari Uluiwoi Kabupaten Kolaka yang merupakan hulu DAS Konaweha yakni sebanyak 147 orang, sedangkan Latoma dan Abuki masing-masing 73 orang dan 72 orang. Informasi tentang jumlah penampung, pengolah, lokasi pengambilan madu, dan kapasitas atau kemampuan mengolah, produktivitas dan penerimaan masyarakat disajikan pada Lampiran 25a dan Lampiran 25b. Lampiran 25a dan Lampiran 25b terlihat bahwa jumlah total madu dari kawasan hutan Uluiwoi mencapai 8.820 kg lebih tinggi jika dibandingkan dengan total madu yang berasal dari kawasan hutan Latoma yakni sebesar 3.650 kg dan Abuki sebesar 2.880 kg. Tingginya jumlah madu yang dihasilkan di kawasan hutan Uluiwoi disebabkan karena mempunyai kawasan hutan yang lebih luas, jumlah pengumpul madu lebih banyak dan kapasitas atau kemampuan pengumpul menghasilkan madu lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi lainnya. Tingginya kemampuan pengumpul menghasilkan madu disebabkan karena jarak permukiman masyarakat lebih dekat dengan kawasan hutan tempat mencari madu dibandingkan dengan lokasi lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat MacKinnon et al 1993 bahwa ada ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Umumnya masyarakat yang tinggal sekitar hutan termasuk di kawasan konservasi memiliki ketergantungan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka. 137 Selanjutnya produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan Uluiwoi juga mencapai angka tertinggi yakni 5,88 kg per hektar lebih tinggi jika dibandingkan dengan produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan Latoma maupun Abuki dengan produktivitas masing-masing 4,06 kg per hektar dan 4,80 kg per hektar. Angka-angka produktivitas tersebut diperoleh dari total produksi madu dibandingkan dengan luas kawasan hutan yang menjadi lokasi pengambilan madu. Dengan asumsi bahwa harga satuan madu di tingkat pengumpul adalah Rp.45.000 per kg, maka total penerimaan pengolah madu dari kawasan hutan Uluiwoi adalah Rp. 396.900.000, lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Penerimaan pengolah madu dari kawasan hutan Latoma adalah Rp. 162.250.000, sedangkan kawasan hutan Abuki mencapai angka Rp. 129.600.000. Dari angka-angka tersebut maka diketahui bahwa total penerimaan pengolah madu di DAS Konaweha adalah Rp. 690.750.000. Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, maka diketahui bahwa produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan di DAS Konaweha adalah 4,91 kg per hektar. Apabila dikonversi menjadi satuan rupiah, maka nilai manfaat ekonomi dari hasil hutan madu per hektar adalah Rp. 220.950 per hektar. Nilai ekonomi madu di DAS Konaweha diduga dipengaruhi oleh faktor jumlah pengolah dan kapasitas atau kemampuan pengolah untuk mengumpulkan madu dalam kurun waktu tertentu serta harga madu di pasar lokal dan regional. Hasil pengamatan dan analisis vegetasi yang dilakukan pada 12 plot pengamatan menunjukkan bahwa potensi karbon setiap plot cukup bervariasi. Perhitungan potensi karbon menggunakan Persamaan 32 CS= ½ 0.118D 2,53 , Persamaan 33 JCS= CS x JPH xLAj dan Persamaan 34 NCS = JCS x HCS. Contoh hasil analisis potensi karbon vegetasi tingkat semai disajikan pada Lampiran 26a. Selanjutnya dari Lampiran 26a dilakukan analisis potensi karbon rata-rata untuk setiap kategori yakni semai, pancang, tiang dan pohon. Dari hasil analisis vegetasi maka selanjutnya ditentukan potensi karbon rata-rata per hektar untuk setiap kategori dan selanjutnya nilai karbon total yang merupakan jumlah dari total potensi karbon semua kategori dan hasilnya disajikan pada Lampiran 26b. 138 Lampiran 26b menunjukkan bahwa rata-rata potensi karbon vegetasi hutan di DAS Konaweha adalah 148,35 ton per hektar. Angka ini merupakan kumulatif nilai karbon vegetasi semai sebanyak 0,23 ton per hektar 0,15 , pancang sebesar 9,83 ton per hektar 6,63 , tiang sebanyak 12,64 ton per hektar 8,52 dan pohon sebanyak 125,65 ton per hektar 84,70 . Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa vegetasi pohon memberikan kontribusi terbesar dalam hal penyerapan karbon. Hal ini disebabkan oleh kandungan biomas yang lebih tinggi dan diameter batang yang lebih panjang jika dibandingkan dengan vegetasi tiang, pancang dan semai. Sebagaimana uraian-uraian sebelumnya bahwa potensi karbon berkorelasi positif dengan diameter batang dan kandungan biomas. Berdasarkan hasil perhitungan terdahulu, maka potensi penyerapan karbon rata-rata per hektar di DAS Konaweha adalah 148,35 ton per hektar. Angka ini cukup realistis untuk potensi karbon hutan alam di daerah tropis seperti juga hutan di kawasan DAS Konaweha. Kenyataan ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya dimana potensi karbon untuk kawasan konservasi di Kalimantan adalah 184,73 – 344,20 ton per hektar Yunus, 2005. Sedangkan hasil penelitian Brown 1977 menemukan angka potensi karbon rata-rata hutan alam di Indonesia adalah 266,5 ton per hektar. Sementara itu hasil penelitian Rosalina 2001 pada kawasan formasi hutan pegunungan dataran rendah di Provinsi Jambi berada pada interval kandungan karbon 259 ton per hektar - 464 ton per hektar. Perbedaan potensi karbon berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas mungkin karena perbedaan tipe hutan, iklim, letak lintang, tingkat degradasi vegetasi hutan, dan tingkat akurasi metodologi yang digunakan untuk analisis vegetasi. Untuk menentukan nilai manfaat ekonomi potensi karbon, maka digunakan harga standar karbon sebagaimana dikemukakan oleh Glover and Timothy 1999 adalah 10 USD per ton. Apabila dikonversi kedalam satuan rupiah, maka nilai tersebut mengikuti fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Dengan asumsi bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika saat ini adalah Rp. 9.000 per dollar, maka harga satuan karbon adalah Rp. 90.000 per ton. Berdasarkan hal ini, maka nilai ekonomi karbon di DAS Konaweha adalah Rp. 13.351.500 per hektar. 139 Angka tersebut merupakan nilai kumulatif dari manfaat ekonomi karbon semua kategori vegetasi hutan. Sebagian besar nilai manfaat ekonomi diperoleh dari vegetasi pohon dengan nilai Rp.11.308.500 per hektar. Rata-rata WTP nilai pilihan sangat bervariasi tergantung tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, kepentingan dan status sosial. Sebagai pembanding maka digunakan pendekatan transfer benefit didasarkan biaya konservasi biodiversitas hutan di Indonesia sebesar US 300km 2 tahun menurut EEPSEA dan WWF 1998. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemauan membayar WTP responden terhadap fungsi hutan sebagai sumber keankaragaman hayati dan habitat bervariasi, tergantung dari tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan responden sebagaimana disajikan pada Lampiran 27 dan Tabel 29. Tabel 29. Manfaat Ekonomi Nilai Pilihan Keanekaragaman Hayati dan Habitat di DAS Konaweha Tahun 2009 Manfaat Ekonomi Jumlah Responden orang WTP Total Rp WTP Rata-rata Rpha Jumlah WTP Rpha Nilai Pilihan 198.000 Habitat 60 5.090.000 84.833 Flora dan Fauna 60 6.790.000 113.167 Tabel 29 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi nilai pilihan keanekaragaman hayati dan habitat adalah Rp. 198.000 per hektar. Nilai tersebut merupakan jumlah dari manfaat ekonomi nilai pilihan hutan yang berfungsi sebagai habitat yakni sebesar Rp. 84.833 per hektar dan fungsi hutan sebagai sumber keanekaragaman flora dan fauna dengan nilai Rp. 113.167 rupiah per hektar. Nilai manfaat pilihan masyarakat persatuan luas yakni Rp.198.000 per hektar hampir sama dengan metode transfer benefit konservasi habitat US 300km 2 tahun oleh Ruitenbeek 1998 dalam Glover dan Timothy 1999 atau Rp. 171.000 per hektar 1US = Rp. 8.500 dan Rp. 181.059 per hektar 1US = Rp. 9.000. Sementara itu jika dibandingkan dengan nilai keanekaragaman hayati hasil perhitungan UNDP dan KLH 1998 lebih rendah yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per 140 hektar transfer benefit. Perbedaan ini disebabkan oleh metode penilaian dan asumsi yang digunakan penilaian manfaat pilihan dari potensi flora fauna, serta adanya preferensi masyarakat yang berbeda yang dipengaruhi oleh kondisi sosisal ekonomi mayarakat dan pengetahuan terhadap manfaat dan fungsi sumberdaya hutan yang dinilai. Manfaat ekonomi berdasarkan nilai pilihan keanekaragaman hayati dan habitat kawasan hutan DAS Konaweha berhubungan erat dengan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan responden. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya keterkaitan langsung antara jenis pekerjaan dengan keberadaan hutan seperti pencari rotan, pencari madu dan kayu bakar sehingga mereka mempunyai kemauan untuk membayar jasa lingkungan yang berkaitan dengan mata pencaharian mereka. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan, maka akan semakin tinggi pula nilai kemauan untuk membayar jasa lingkungan sebagai nilai pilihan. Kecenderungan ini kemungkinan disebabkan oleh pemahaman masyarakat tentang fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan seperti sumber keanekaragaman hayati dan habitat flora dan fauna yang meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat. Selain itu tingkat pendidikan masyarakat juga berhubungan erat dengan tingkat pendapatan dan jenis mata pencahariannya sehingga secara tidak langsung tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk membayar jasa lingkungan yang diterimanya. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Yunus 2005 bahwa WTP rata-rata nilai pilihan keanekaragaman hayati dan habitat sangat tergantung dari tingkat pendidikan masyarakat. Penilaian manfaat warisan bequest value kawasan hutan di DAS Konaweha mencakup manfaat flora fauna dan habitat satwa. Hasil penelitian manfaat warisan persatuan luas terhadap flora fauna dan habitat satwa atas dasar kesediaan membayar masyarakat sekitar hutan yaitu sebesar Rp. 248.417 per hektar Lampiran 28 dan Tabel 30. 141 Tabel 30. Manfaat Ekonomi Nilai Warisan Flora Fauna dan Habitat Satwa di DAS Konaweha Tahun 2009 Manfaat Ekonomi Jumlah Responden orang WTP Total Rp WTP Rata- rata Rpha Jumlah WTP Rpha Nilai Warisan 248.417 Habitat 60 7.685.000 128.083 Flora dan Fauna 60 7.220.000 120.333 Tabel 30 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi berdasarkan nilai warisan flora fauna dan habitat satwa di DAS Konaweha rata-rata adalah Rp. 248.417 per hektar yang merupakan jumlah dari manfaat hutan sebagai habitat sebesar Rp. 128.083 per hektar dan manfaat ekonomi nilai warisan flora dan fauna sebesar Rp. 120.333 per hektar. Manfaat ekonomi nilai warisan masyarakat persatuan luas yakni Rp.248.417 per hektar lebih tinggi dari nilai manfaat yang dihitung dengan metode transfer benefit konservasi habitat US 300km 2 tahun oleh Ruitenbeek 1998 dalam Glover dan Timothy 1999 atau Rp. 171.000 per hektar 1US = Rp. 8500 dan Rp. 181.059 per hektar 1US = Rp. 9.000. Namun demikian jika nilai warisan tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil perhitungan UNDP dan KLH 1999 yang menggunakan pendekatan transfer benefit yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per hektar terhadap nilai manfaat keanekaragaman hayati flora dan fauna. Kisaran nilai kesediaan membayar manfaat warisan per orang per hektar sangat dipengaruhi oleh persepsi untuk diwariskan agar dapat dimanfaatkan oleh anak cucu mereka, yang terutama dipengaruhi oleh sejauhmana ketergantungan secara sosial ekonomi terhadap keberadaan hutan di DAS Konaweha. Penilaian manfaat keberadaan kawasan hutan di DAS Konaweha mencakup habitat dan flora fauna dilindungi. Hasil penelitian manfaat keberadaan persatuan luas terhadap habitat dan flora fauna dilindungi atas dasar kesediaan membayar masyarakat sekitar hutan yaitu Rp. 283.750 per hektar sebagaimana disajikan pada Lampiran 29 dan Tabel 31. 142 Tabel 31. Manfaat Ekonomi Nilai Keberadaan Habitat dan Flora Fauna Dilindungi di DAS Konaweha Tahun 2009 Manfaat Ekonomi Jumlah Responden orang WTP Total Rp WTP Rata- rata Rpha Jumlah WTP Rpha Nilai Keberadaan 283.750 Habitat 60 8.800.000 146.667 Flora dan Fauna 60 8.225.000 137.083 Tabel 31 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi berdasarkan nilai keberadaan habitat dan flora fauna dilindungi di DAS Konaweha rata-rata adalah Rp. 283.750 per hektar yang merupakan jumlah dari manfaat keberadaan hutan sebagai habitat sebesar Rp. 146.667 per hektar dan manfaat keberadaan hutan sebagai sumber flora dan fauna dilindungi dengan nilai rata-rata sebesar Rp. 137.083 per hektar. Manfaat ekonomi nilai keberadaan hutan sebagai habitat dan sumber flora fauna dilindungi persatuan luas yakni Rp.283.750 per hektar lebih tinggi dari nilai manfaat yang dihitung dengan metode transfer benefit konservasi habitat US 300km 2 tahun oleh Ruitenbeek 1998 dalam Glover dan Timothy 1999 atau Rp. 171.000 per hektar 1US = Rp. 8500 dan Rp. 181.059 per hektar 1US = Rp. 9.000. Namun nilai tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil perhitungan UNDP dan KLH 1999 yang menggunakan pendekatan transfer benefit yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per hektar terhadap nilai manfaat keanekaragaman hayati flora dan fauna. Kisaran nilai kesediaan membayar manfaat keberadaan perorang per hektar sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap pentingnya keberadaan habitat dan flora fauna dilindungi terhadap kelangsungan hidup dimasa datang atau sejauhmana ketergantungan secara sosial ekonomi terhadap keberadaan hutan di DAS Konaweha. Kecenderungan nilai WTP rata-rata baik WTP nilai warisan maupun WTP nilai keberadaan yang meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan responden kemungkinan disebabkan oleh pemahaman masyarakat tentang fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan seperti sumber keanekaragaman hayati dan habitat flora dan fauna yang meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat. Selain itu tingkat pendidikan masyarakat juga berhubungan erat dengan 143 tingkat pendapatan dan jenis mata pencahariannya sehingga secara tidak langsung tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk membayar jasa lingkungan yang diterimanya. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Yunus 2005 bahwa WTP rata-rata nilai keberadaan flora fauna dilindungi dan habitat sangat tergantung dari tingkat pendidikan masyarakat, tingkat pendapatan dan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Selanjutnya Yunus 2005 mengemukakan bahwa pengaruh variabel pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan terhadap WTP nilai keberadaan erat kaitannya dengan persepsi masyarakat akan manfaat yang terkandung di dalam sumberdaya hutan. Analisis Penggunaan Lahan Alternatif Hasil simulasi lima skenario penggunaan lahan alternatif di Sub DAS Konaweha Hulu menghasilkan komposisi luas tutupan masing-masing jenis penggunaan lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar adalah sebagai berikut:

1. Skenario 1: 30 hutan, 55 perkebunan, 6 kebun campuran dan 4 semak

belukar.

2. Skenario 2: 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak

belukar.

3. Skenario 3: 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak

belukar.

4. Skenario 4: 33 hutan, 52 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak

belukar.

5. Skenario 5: 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak

belukar. Peta skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 32, Gambar 33, Gambar 34, Gambar 35 dan Gambar 36. 144 Gambar 32. Peta Skenario 1 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Gambar 33. Peta Skenario 2 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 145 Gambar 34. Peta Skenario 3 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Gambar 35. Peta Skenario 4 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 146 Gambar 36. Peta Skenario 5 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Analisis Aspek Lingkungan Analisis kelayakan lingkungan skenario penggunaan lahan alternatif didasarkan pada kriteria keputusan decison criteria yakni yakni ketersediaan air supply atau debit minimum Q min dan dan rasio antara ketersediaan supply, S dengan kebutuhan air demand, D. Hubungan antara proporsi luas masing-masing jenis penggunaan lahan terhadap kriteria tersebut dianalisis dengan simulasi menggunakan persamaan regresi linier berganda. Hubungan antara proporsi luas tutupan masing-masing jenis penggunaan lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar ketersediaan air atau debit minimum dijelaskan melalui Persamaan 46 terdahulu. Hasil simulasi hubungan antara proporsi masing-masing jenis penggunaan lahan terhadap ketersediaan air atau debit minimum dalam satuan m 3 detik dan m 3 disajikan pada Lampiran 30 dan Tabel 32. 147 Tabel 32. Rasio Ketersediaan dan Kebutuhan Air berbagai Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 Alternatif Ketersediaan Air Kebutuhan Air Rasio SD m3detik juta m3 m3detik juta m3 Skenario 1 31.8 82.4 33.3 86.3 0.95 Skenario 2 36.6 94.9 33.3 86.3 1.10 Skenario 3 37.4 96.9 33.3 86.3 1.12 Skenario 4 35.5 92.0 33.3 86.3 1.07 Skenario 5 36.8 95.4 33.3 86.3 1.11 Skenario 1 = 30 hutan, 55 perkebunan, 6 kebun campuran dan 4 semak belukar Skenario 2 = 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 3 = 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 4 = 33 hutan, 52 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar Skenario 5 = 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 , perkebunan=43 , kebun campuran=6 dan semak belukar=3 Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar Tabel 32 menunjukkan bahwa jika skenario 1 penggunaan lahan alternatif dengan proporsi luas hutan minimal 30 akan menghasilkan air tersedia atau debit minimum Q min sebesar 31,8 m 3 detik atau setara dengan 82,4 juta m 3 . Jika skenario 1 diterapkan maka rasio antara ketersediaan S dengan kebutuhan air D adalah 0,95. Angka tersebut berarti bahwa skenario 1 penggunaan lahan alternatif tidak layak diterapkan karena debit minimum yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhan air tahun 2050. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif dengan proporsi luas hutan 35 akan menghasilkan debit minimum sebesar 36,6 m 3 detik atau 94,9 juta m 3 , sehingga rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,10. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan skenario 1. Selanjutnya skenario 3 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan luas tutupan hutan 43 dan penggunaan lahan lainnya sesuai dengan kondisi eksisting, maka ketersediaan air atau debit minimum yang dihasilkan adalah 37,4 m 3 detik atau 96,9 juta m 3 sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,12. Angka tersebut juga lebih baik jika dibandingkan dengan rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 1 dan skenario 2. Skenario 4 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu yang merupakan modifikasi skenario 3 pencadangan 10 hutan untuk areal penggunaan lain akan menghasilkan debit minimum sebesar 35,5 m 3 detik atau 92,0 juta m 3 , sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,07. Angka tersebut lebih rendah jika 148 dibandingkan dengan rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 2 dan skenario 3. Skenario 5 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan proporsi luas tutupan hutan adalah 40 akan menghasilkan debit minimum sebesar 36,9 m 3 detik atau 95,4 juta m 3 sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,11. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan skenario 1, skenario 2 dan skenario 4. Angka-angka yang diperlihatkan pada Tabel 32 di atas menunjukkan bahwa seluruh skenario penggunaan lahan alternatif DAS Konaweha Hulu mempunyai kecenderungan yang sama terhadap debit minimum. Nilai rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 2, skenario 3, skenario 4 dan skenario 5 lebih dari 1 yang berarti bahwa keempat skenario tersebut mampu mengatasi defisit air ketersediaan air lebih besar dari kebutuhan air hingga tahun 2050. Namun demikian rasio ketersediaan dan kebutuhan air untuk skenario 1 kurang dari 1 yang berarti bahwa skenario tersebut tidak dapat mengatasi defisit air hingga tahun 2050. Analisis Aspek Ekonomi Analisis biaya didasarkan pada luas hutan yang harus dipelihara agar fungsinya menjaga tata air tetap terjaga. Hasil analisis biaya pemeliharaan fungsi hutan skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Lampiran 31 dan Tabel 33. Tabel 33. Biaya Pemeliharaan Fungsi Hutan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Alternatif Luas Hutan ha Biaya Milyar Rupiah Skenario 1 101398 152 Skenario 2 118297 177 Skenario 3 145337 218 Skenario 4 111537 167 Skenario 5 135197 203 Catatan : 1. Standar pemeliharaan fungsi hutan = Rp. 1500000 per hektar UNDP dan KLH, 1999 2. Luas hutan masing-masing sesuai Lampiran 30 dan Lampiran 31 Tabel 33 menunjukkan bahwa biaya yang diperlukan untuk memelihara fungsi hutan pada skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu 149 berkisar antara 152 milyar rupiah sampai dengan 218 milyar rupiah. Jika luas hutan kondisi eksisting 2011 dipertahankan, maka diperlukan biaya 218 milyar rupiah. Jika 10 dari hutan kondisi eksisting dialokasikan untuk areal penggunaan lain APL pertambangan, maka diperlukan biaya sebesar 167 milyar rupiah. Sedangkan biaya yang harus dialokasikan untuk implementasi RTRW dengan luas hutan 35 adalah 177 milyar rupiah dan implementasi arahan fungsi kawasan lindung sebagaimana skenario 5 dibutuhkan biaya sebesar 203 milyar rupiah. Selanjutnya yang dimaksud dengan penerimaan return adalah nilai ekonomi air water yield dan nilai ekonomi hasil hutan non kayu masing-masing skenario penggunaan lahan alternatif. Hasil air merupakan debit minimum yang merupakan ketersediaan air dan dihasilkan akibat pemeliharaan satu satuan luas hutan di DAS Konaweha Hulu. Sedangkan hutan merupakan kawasan hutan yang harus dipertahankan agar debit aliran minimum dapat menjamin kebutuhan air hingga tahun 2050. Nilai ekonomi air untuk kebutuhan domestik dan industri menggunakan pendekatan harga pasar standar PDAM yakni Rp. 3.755 per m 3 , sedangkan nilai ekonomi air untuk kebutuhan irigasi menggunakan pendekatan kemauan untuk membayar WTP air irigasi dengan harga satuan Rp. 15,32 per m 3 . Nilai ekonomi hutan yang dihitung adalah nilai ekonomi hasil hutan non kayu, mencakup nilai ekonomi flora dan fauna, karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan. Berdasarkan hal ini maka nilai ekonomi hutan per satuan luas adalah Rp. 14.974.617,- per hektar yang merupakan nilai kumulatif dari nilai ekonomi rotan Rp. 672.236, madu Rp. 221.033, karbon Rp. 13.351.500, nilai pilihan Rp. 198.000, nilai warisan Rp. 248.417 dan nilai keberadaan Rp. 283.750. Dari nilai penerimaan return dan biaya cost yang harus dikeluarkan pada masing-masing skenario penggunaan lahan alternatif, maka dilakukan analisis rasio penerimaan R dengan biaya C. Perhitungan nilai RC menggunakan Persamaan 38 RC = Nilai Ekonomi Air dan Hasil Hutan non KayuBiaya Pemeliharaan Fungsi Hutan, data nilai ekonomi hasil hutan non kayu Persamaan 37 dan Tabel 150 28, data nilai ekonomi air masing-masing skenario, dan hasil perhitungan biaya pemeliharaan fungsi lindung kawasan hutan setiap skenario Lampiran 31 UNDP dan KLH, 1999. Hasil analisis RC skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Nilai RC Skenario Penggunaan Lahan Alternatif DAS Konaweha Hulu Penggunaan Lahan Luas Hutan ha Hasil Air Juta m3 Biaya Penerimaan RC Alternatif milyar Rupiah milyar Rupiah Skenario 1 101398 82.4 152 1546 10.16 Skenario 2 118297 94.9 177 1803 10.16 Skenario 3 148716 96.9 218 2209 10.13 Skenario 4 114917 92.0 167 1701 10.17 Skenario 5 135197 95.4 203 2056 10.14 Catatan: 1. Proporsi kebutuhan air domestik = 3,8 , industri = 4,7 , irigasi = 91.5 2. Harga satuan air domestik dan industri = Rp. 3.755 per m3, irigasi = Rp. 15,32 per m3 3. Nilai ekonomi hutan = Rp 14.974.617 per hektar 4. Standar pemeliharaan fungsi hutan = Rp. 1500000 per hektar KLH dan UNDP, 1999 Tabel 34 merupakan hasil analisis RC penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai RC semua skenario cukup besar dengan nilai lebih dari 10. Nilai RC tertinggi dicapai skenario 3 dengan nilai RC adalah 10,17. Besarnya nilai RC untuk semua skenario disebabkan karena besarnya nilai penerimaan dari hasil hutan non kayu dengan memperhitungkan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh jasa lingkungan keberadaan hutan seperti flora dan fauna, nilai penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan hutan. Selain itu analisis RC juga memperhitungkan nilai ekonomi hasil air. Fakta yang kontradiktif dengan nilai penerimaan yang besar, maka nilai biaya yang diperlukan masing-masing skenario relatif rendah. Hal ini disebabkan karena hutan yang dipertahankan merupakan hutan yang sudah eksis sehingga tidak dilakukan penambahan luas hutan, akibatnya biaya yang diperlukan hanya bersifat biaya pemeliharaan fungsi kawasan hutan. Analisis Aspek Sosial Analisis sosial dilakukan untuk mengetahui kelayakan sosial berbagai penggunaan lahan alternatif yang terlebih dahulu memenuhi persyaratan kelayakan lingkungan dan kelayakan ekonomi. Hasil analisis aspek tingkat penerimaan para 151 pihak terhadap lima skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Analisis Penerimaan Para Pihak terhadap Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Penggunaan Lahan Alternatif Penerimaan Para Pihak Keterangan Skenario 1 Diterima Sudah tersosialisasi, implementasi UU No. 41 1999 Skenario 2 Diterima Sudah tersosialisasi, implementasi RTRW Skenario 3 Diterima Sudah tersosialisasi, kondisi eksisting Skenario 4 Ada penolakan Penolakan DPR, DPRD, Perguruan Tinggi, LSM Skenario 5 Diterima Sudah tersosialisasi sejak 2008 Tabel 35 menunjukkan bahwa skenario 4 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu masih potensial mengalami penolakan dari para pihak antara lain DPR pusat, DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Perguruan Tinggi dan LSM lokal. Hal ini terbukti dengan banyaknya penolakan dari pihak-pihak tersebut di atas tentang rencana pemerintah untuk menjadikan Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai Kawasan Ekonomi Khusus KEK pertambangan dengan konsekuensi pemerintah provinsi meminta penurunan status hutan menjadi areal penggunaan lain APL seluas 300.000 hektar dimana sekitar 5.000 hektar merupakan hutan lindung. Selanjutnya skenario 1 dan skenario 2 penggunaan lahan alternatif dapat diterima oleh para pihak karena kedua skenario tersebut sudah menjadi kebijakan sejak tahun 1999 yang lalu sehingga para pihak yang berkepentingan tidak menolak kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan karena skenario 1 merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang hingga saat masih berlaku, sedangkan skenario 2 merupakan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara yang mulai berlaku sejak tahun 2005. Skenario 5 penggunaan lahan alternatif merupakan implementasi arahan fungsi kawasan lindung yang ditetapkan oleh BPDAS Sampara dimana luas hutan lindung di DAS Konaweha adalah 40 dari luas DAS Konaweha yang mulai ditetapkan tahun 2008. Walaupun 152 skenario 5 belum tersosialisasi dengan baik karena baru ditetapkan tahun 2008, namun diduga tidak akan mengalami penolakan dari pihak-pihak berkepentingan. Fakta tersebut di atas juga diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemeliharaan kawasan hutan di DAS Konaweha pernah dilakukan di era tahun 1970an melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan. Kegiatan tersebut dilakukan di beberapa wilayah di DAS Konaweha seperti Unaaha, Wawotobi, Pondidaha, Abuki, Sampara, Tirawuta, Tinondo dan Mowewe. Pada era tahun 1990an juga dilakukan kegiatan serupa yang disebut dengan hutan kemasyarakatan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Beberapa wilayah yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka. Kegiatan tersebut cukup berhasil ditinjau dari aspek sosial karena hingga saat ini tidak ada penolakan dari para pihak. Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif DAS Konaweha Kelayakan skenario penggunaan lahan alternatif menggunakan kriteria decision tool sebagai berikut: rasio ketersediaan dan kebutuhan air SD, rasio RC, dan penerimaan para pihak aspek sosial. Hasil analisis kelayakan penggunaan lahan alternatif disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 Alternatif Aspek Lingkungan Aspek Ekonomi Aspek Sosial SD RC Penerimaan Para Pihak Skenario 1 0.95 10.16 dapat diterima, implementasi UU No. 41, 1999 Skenario 2 1.10 10.16 dapat diterima, RTRW Konawe dan Kolaka Skenario 3 1.12 10.13 dapat diterima, kondisi eksisting Skenario 4 1.07 10.17 ada penolakan, belum disetujui, APL pertambangan Skenario 5 1.11 10.14 dapat diterima, arahan fungsi kawasan BPDAS Sampara Keterangan: Skenario 1 = 30 hutan, 55 perkebunan, 6 kebun campuran dan 4 semak belukar Skenario 2 = 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 3 = 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 4 = 33 hutan, 52 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar Skenario 5 = 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 , perkebunan=43 , kebun campuran=6 dan semak belukar=3 Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar 153 Tabel 36 menunjukkan bahwa skenario 1 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan luas hutan 30 , perkebunan 55 , kebun campuran 6 dan semak belukar 4 akan menghasilkan debit minimum yang lebih kecil dari kebutuhan air sehingga nilai rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 0,95 dengan nilai RC sebesar 10,16 dan secara sosial diterima para pihak karena merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kelayakan berdasarkan tiga komponen yang dinilai yakni aspek lingkungan, ekonomi dan sosial, maka skenario 1 tidak layak diterapkan karena nilai SD 1, RC 1 dan secara sosial diterima oleh para pihak. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif yang merupakan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka dengan luas hutan 35 dikombinasikan dengan 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar akan mampu menghasilkan debit minimum yang lebih besar dari kebutuhan air, sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,10 dan nilai RC sebesar 10,16 dan secara sosial dapat diterima karena sesuai dengan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif layak diterapkan karena semua komponen yang dinilai memenuhi sarat yakni nilai SD 1, RC 1 dan secara sosial tidak menimbulkan masalah karena sesuai dengan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka yang sebelumnya ditetapkan melalui proses sosialisasi yang cukup lama. Skenario 3 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu yang merupakan kondisi penggunaan lahan eksisting dengan luas tutupan hutan 43 , 43 perkebunan dan 6 kebun campuran serta 3 semak belukar layak diterapkan karena menghasilkan debit minimum yang melebihi kebutuhan air dengan nilai SD 1, nilai RC 1 dan secara sosial diterima oleh para pihak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa skenario 4 yang merupakan modifikasi skenario 3 dengan alokasi 10 hutan untuk areal penggunaan lain APL pertambangan belum bisa diterapkan walaupun nilai SD 1 dan RC 1 karena hingga saat ini belum mendapat persetujuan pihak-pihak terkait sehingga masih ada penolakan. Sedangkan skenario 5 yang merupakan rencana implementasi arahan fungsi kawasan lindung DAS Konaweha dengan proporsi luas hutan yang harus dipertahankan minimal 40 dikombinasikan dengan 46 perkebunan, 5 kebun 154 campuran dan 4 semak belukar layak diterapkan baik ditinjau dari aspek lingkungan, ekonomi maupun faktor sosial. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka disimpulkan bahwa skenario 2, skenario 3, dan skenario 5 penggunaan lahan alternatif layak diterapkan sesuai indikator SD ≥ 1, sedangkan skenario 1 dan skenario 4 tidak layak diterapkan. Hasil analisis menggunakan indikator lingkungan, ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa komposisi 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar merupakan alternatif penggunaan lahan terbaik untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha. Analisis Kebijakan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Produk kebijakan pada tingkat nasional yang berkaitan dengan penatagunaan lahan antara lain adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur tentang luas kawasan hutan yang harus di pertahankan yakni 30 dari luas DAS dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur penataan ruang berdasarkan fungsi lindung utama kawasan yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 menggunakan unit DAS, sedangkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 menggunakan unit administrasi. Berkaitan dengan kedua produk kebijakan tersebut, maka pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diduga memberikan kontribusi terhadap kebijakan penatagunaan lahan di tingkat daerah kabupatenkota melalui pemberian berbagai kewenangan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah seperti pengelolaan sumberdaya alam skala kecil pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup. Kebijakan yang terkait dengan penatagunaan lahan di tingkat daerah provinsi dan kabupatenkota juga merujuk pada ketiga kebijakan tersebut di atas. Beberapa produk kebijakan yang terkait dengan ini antara lain: Peraturan Daerah Perda provinsi dan kabupatenkota tentang Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW, Perda 155 tentang pengelolaan tambang skala kecil, Perda tentang Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik, Perda tentang Pemanfaatn Hasil Hutan non Kayu dan lain-lain. Kebijakan yang terkait dengan penatagunaan lahan di tingkat daerah kabupatenkota dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW kabupatenkota mengacu pada batas yuridiksi formal batas administrasi sehingga sulit diterapkan untuk mengatur penatagunaan lahan yang menggunakan batas alam ekologi seperti DAS Konaweha. Hal inilah yang dirasakan sulit untuk menerapkan konsep pengelolaan DAS secara terpadu untuk mencapai “satu DAS satu rencana dan satu pengelolaan” atau “one watershed one plan and one management”. Kebijakan pada tingkat daerah provinsi dan kabupatenkota yang mengatur penatagunaan lahan, alokasi sumberdaya alam, dan tanggung jawab pembiayaan masing-masing kabupatenkota hingga saat belum ada. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang diharapkan dapat memfasilitasi pengembangan kebijakan terkait dengan hal-hal tersebut di atas hingga saat ini juga belum maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya Peraturan Daerah Perda dan Peraturan Gubernur yang mengatur tata guna lahan, sistem alokasi sumberdaya dan tanggung jawab pembiayaan bagi masing-masing wilayah otonom di DAS Konaweha. Satu-satunya produk kebijakan tingkat kabupatenkota yang berhubungan dengan tata guna lahan adalah RTRW yang menggunakan batas yuridiksi formal. Penetapan fungsi kawasan pada masing-masing RTRW kabupatenkota hanya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tanpa memperhitungkan dampak hidrologi khususnya pada aspek ketersediaan air jangka panjang. Akumulasi implementasi kebijakan penatagunaan lahan melalui RTRW bagi kabupatenkota di DAS Konaweha terlihat dari pola perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha. Akumulasi kebijakan tersebut menyebabkan perubahan luas hutan dari 55 pada tahun 1999 menjadi 47 pada tahun 2008. Perubahan tersebut diikuti dengan peningkatan luas perkebunan dari 35 pada tahun 1999 menjadi 40 pada tahun 2008, sedangkan kebun campuran dan semak belukar meningkat dari 3,8 dan 2,6 pada tahun 1999 menjadi 5,5 dan 3,3 pada tahun 2008. 156 Implementasi kebijakan selama kurang lebih 10 tahun telah memberikan dampak hidrologi yang cukup besar. Koefisien aliran permukaan meningkat dari 36,3 pada tahun 1999 menjadi 47,1 pada tahun 2008, pada kurun waktu tersebut maka koefisien regim sungai meningkat dari 5,7 menjadi 13,8 pada tahun 2008. Kebijakan tersebut juga memberikan dampak cukup serius terhadap penurunan ketersediaan air. Selama 10 tahun terakhir ini telah terjadi penurunan ketersediaan air dari 36 m 3 detik menjadi 20 m 3 detik. Berdasarkan hal ini maka implementasi kebijakan penatagunaan lahan melalui RTRW masing-masing kabupatenkota semakin memperburuk kondisi hidrologi DAS Konaweha, oleh karena itu maka perlu ada langkah-langkah konkrit yang ditujukan untuk mengatur tata guna lahan agar kondisi hidrologi DAS Konaweha tetap baik khususnya ketersediaan air jangka panjang tetap terjamin. Jika implementasi kebijakan penatagunaan lahan di DAS Konaweha melalui penerapan RTRW kabupatenkota akan memberikan dampak terhadap perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali. Jika kebijakan implementasi RTRW berjalan terus tanpa dilakukan perubahan, maka pada periode 2011-2015 luas hutan diperkirakan menjadi 43,2 , sedangkan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing 43,1 , 5,3 dan 3,6 . Pada periode 2036-2040 maka akan terjadi penurunan luas hutan rata-rata menjadi 26,2 , sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar akan meningkat menjadi 50,2 , 6,8 dan 4,9 . Jika perubahan penggunaan lahan tersebut mengikuti kecenderungan sebelumnya, maka pada tahun 2050 luas hutan diperkirakan menjadi 21,5 , sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar akan meningkat menjadi 52,1 , 7,3 dan 5,3 . Perubahan penggunaan lahan yang merupakan akibat implementasi kebijakan RTRW bagi kabupatenkota dipastikan akan mempengaruhi kondisi hidrologi khususnya ketersediaan air di DAS Konaweha. Analisis kebijakan penggunaan lahan di DAS Konaweha dilakukan dengan membandingkan kebijakan implementasi RTRW kabupatenkota yang sedang berjalan dengan skenario penggunaan lahan alternatif ditinjau dari perspektif lingkungan, ekonomi dan sosial. Analisis yang didasarkan pada perspektif 157 lingkungan menggunakan alat keputusan berupa ketersediaan air dan rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air SD. Analisis yang didasarkan pada perspektif ekonomi menggunakan alat keputusan berupa rasio penerimaan dengan biaya RC, sedangkan analisis berdasarkan perspektif sosial menggunakan alat keputusan berupa penerimaan para pihak stakeholders acceptable. Analisis perbandingan antara kebijakan tata guna lahan yang sedang berjalan dengan penggunaan lahan alternatif tidak mengikutsertakan skenario 1 dan skenario 4 karena hasil analisis kelayakan dinyatakan tidak layak Tabel 37. Tabel 37. Analisis Perbandingan antara Kebijakan Tata Guna Lahan Eksisting dengan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 Alternatif Aspek Lingkungan Aspek Ekonomi Aspek Sosial SD RC Penerimaan Para Pihak Skenario 2 1.10 10.16 dapat diterima, RTRW Konawe dan Kolaka Skenario 3 1.12 10.13 dapat diterima, kondisi eksisting Skenario 5 1.11 10.14 dapat diterima, arahan fungsi kawasan BPDAS Sampara Kebijakan Eksisting 0.44 10.05 akan terjadi konflik kepentingan terkait dengan sumberdaya air Keterangan: Skenario 2 = 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 3 = 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 5 = 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar Kebijakan Eksisting = 22 hutan, 53 perkebunan, 8 kebun campuran, 5 semak belukar Skenario 1 dan skenario 4 penggunaan lahan alternatif tidak disertakan karena analisis sebelumnya tidak layak R=penerimaan mencakup nilai ekonomi hasil hutan non kayu dan air, APL = areal penggunaan lain Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar; S: supply, D: demand; R: return; C: cost Tabel 37 menunjukkan kebijakan tata guna lahan melalui implementasi RTRW kabupatenkota di DAS Konaweha akan berimplikasi terhadap penurunan ketersediaan sumberdaya air sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air menjadi 0,44. Nilai tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai SD skenario 2, skenario 3, dan skenario 5. Oleh karena itu ditinjau dari perspektif lingkungan maka kebijakan tersebut tidak layak untuk dipertahankan. Berdasarkan perspektif ekonomi, maka kebijakan eksisting masih layak untuk dipertahankan karena nilai RC 1, walaupun nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai RC skenario 2 dan skenario 5. Berdasarkan perspektif sosial, maka kebijakan eksisting tidak dapat dipertahankan karena kemungkinan besar akan menimbulkan konflik kepentingan antar daerah berkaitan dengan alokasi sumberdaya air mengingat kebijakan tersebut tidak mampu mengatasi defisit air hingga tahun 2050. 158 Uraian-uraian tersebut di atas mengindikasikan bahwa kebijakan tata guna lahan yang selama ini diimplementasikan melalui RTRW kabupatenkota seyogyanya ditinjau kembali dan dianjurkan untuk tidak dilanjutkan. Kebijakan tersebut hanya dapat dipertahankan hingga tahun 2030 yakni ketika ketersediaan air lebih dari atau sama dengan kebutuhan air. Oleh karena itu maka skenario penggunaan lahan alternatif yang ditawarkan layak untuk dipertimbangkan oleh pengambil keputusan di tingkat provinsi dan kabupatenkota. Tiga skenario penggunaan lahan alternatif yang ditawarkan harus didukung dengan regulasi agar dapat menjadi kebijakan yang nantinya dapat diterapkan di DAS Konaweha. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha yang terjadi adalah penurunan luas hutan diikuti pertambahan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar. Jumlah penduduk mempengaruhi penurunan luas hutan mengikuti persamaan: y = 196 e -0,01X , dimana y adalah luas hutan dari luas DAS Konaweha Hulu, e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818 dan X adalah jumlah penduduk ribuan jiwa. 2. Penurunan luas hutan menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan mengikuti persamaan: y = 158,8 e -0,03X dan penurunan debit minimum mengikuti persamaan: y = 18,6 e 0,01X , dimana y adalah koefisien aliran permukaan dan debit minimum m 3 detik, e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818 dan X adalah luas hutan luas DAS Konaweha Hulu. 3. Ketersediaan sumberdaya air menurun sementara kebutuhan air meningkat dari tahun ke tahun. Defisit air di DAS Konaweha akan terjadi pada periode 2026- 2030 dengan nilai defisit sekitar 0,9 m 3 detik, sedangkan defisit air periode 2046- 2050 adalah 17,9 m 3 detik. 4. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha adalah 32,5-37,5 dari luas DAS Konaweha Hulu. 5. Pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya air didasarkan pada proporsi nilai manfaat ekonomi air masing- masing kabupatenkota, sehingga tanggung jawab pembiayaan bagi Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan masing-masing sebesar 37 , 28 , 21 dan 14 dari total biaya yang diperlukan. 160 6. Kebijakan penggunaan lahan eksisting di DAS Konaweha hanya bisa menjamin keberlanjutan sumberdaya air hingga periode 2026-2030. Komposisi penggunaan lahan utama yang terdiri dari 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran, 4 semak belukar dan 5 penggunaan lahan lainnya merupakan penggunaan lahan terbaik untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diuraikan terdahulu, maka dirumuskan beberapa saran: 1. Penurunan fungsi hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan DAS Konaweha akan mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya air sehingga diperlukan upaya yang ditujukan untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan khususnya penurunan luas hutan. Upaya-upaya tersebut antara lain koordinasi dan pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi hutan, standar ketat konversi hutan, dan reorientasi prioritas pembangunan daerah. 2. Pada kondisi surplus air maka alokasi air untuk kebutuhan sektor domestik, industri dan irigasi mempunyai prioritas yang sama. Pada kondisi defisit, maka prioritas utama pemenuhan kebutuhan air berturut-turut adalah sektor domestik, irigasi dan industri. 3. Mengingat terbatasnya anggaran pembangunan daerah yang bersumber dari dana alokasi khusus DAK, maka sebaiknya biaya pemeliharaan fungsi DAS Konaweha dibebankan kepada pemakai air melalui penarikan pajak air 10 dari biaya pemakaian air. Berdasarkan hal ini maka diperlukan regulasi seperti Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur. 4. Mengingat kebijakan penggunaan lahan eksisting DAS Konaweha hanya dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya air hingga periode 2026-2030, maka seyogyanya diterapkan kebijakan penggunaan lahan dengan komposisi 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran, 4 semak belukar. DAFTAR PUSTAKA Abaje, I.B., O.F. Ati, and S. Ishaya. 2009. Nature of Potable Water Supply and Demand in Jema’a Local Government Area of Kaduna State, Nigeria. Research Journal of Environmental and Earth Sciences 11: 16-21, 2009. ISSN: 2041-0492 Maxwell Scientific Organization, 2009. Adenike, A.A., and O.B. Titus. 2009. Determinants of Willingness to Pay for Improved Water Supply in Osogbo Metropolis; Osun State, Nigeria. Research Journal of Social Sciences, 4:1-6, 2009. Department of Agricultural Economics, Ladoke Akintola. University of Technology, Ogbomoso. Agus, F., M. Van Noordwijk, dan S. Rahayu. 2004. Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestri, dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Arif, S.S. 2003. Menuju Pengelolaan Sumberdaya Air Yang Berkelanjutan. National Project Coordinator on Water Resources Management. Prosiding Seminar FAO-Bappenas, Jakarta. Atmanto, S.D. 1998. Air untuk Kesejahteraan Rakyat : Reformasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan dan Berdimensi Kerakyatan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Reformasi Hukum dan Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta. Aylward, D. 2005. Land Use, Hydrological Function and Economic Valuation. In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005. Program Pembangunan Daerah Propeda dan Program Pembangunan Tahunan Daerah Propetada Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2006. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka. 2000-2008. Kabupaten Kolaka Dalam Angka Tahun 2000-2008. Kolaka, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe. 2000-2008. Kabupaten Konawe Dalam Angka Tahun 2000-2008. Unaaha, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2004. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2008a. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2008. Kendari, Sulawesi Tenggara. 162 Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2008b. Statistik Air Minum Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2009. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2008. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara. Barbier, E.B. 1995. The economics of forestry and conservation: Economic values and policies. Commonwealth Forestry Review 741:128-140. Barbieri, A.F. 2006. Household life cycles, population mobility and land use in the Amazon: Some comments and research directions. Universidade Federal de Minas Gerais, Brazil. Begum, N., J. Narayana, and A. Kumar. 2010. Land UseLand Cover Changes in the Catchment of Water Bodies in and Around Davangere City, Katnataka. International Journal of Ecology and Environmental Sciences 36 4:277-280, 2010. National Institute of Ecology, New Delhi, India. Biswas, A.K. 1997. Water Resources. Environmental Planning, Management, and Development. McGraw-Hill, New York, USA. Biswas, A.K., and C.Tortajadab. 2010. Water Supply of Phnom Penh: An Example of Good Governance. International Journal of Water Resources Development Publication details, including instructions for authors and subscription information: Third World Centre for Water Management, Mexico . Bonell, M, and L.A. Bruijnzeel. 2005. Forest, Water and people in the Humid Tropics. Published by Cambridge University Press. Bosscher, A. 1984. Basic Hydrology and Water Resource Development. Lecture Note. International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences. BPDAS Sampara. 2008. Rencana Pengelolaan Terpadu DAS Konaweha. Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampara Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest a Primer. FAO Forestry 134:1-37. Bruijnzeel, L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion : A State of Knowledge Review. Humid Tropics Programme of the International Hydrological Programme of UNESCO, Paris, and Vrije Universiteit, Amsterdam. Bruijnzeel, L.A. 2004. Hydrological Functions of Tropical Forest: Not Seeing the Soil for the Trees. Agriculture, Ecology and Environment. Doi: 10.1006jagee.2009.01.015. 163 Champ, P.A. 1997. Using Donation Mechanisms to Value Nonuse Benefit from Public Goods. Journal of Environmental Economics and Management 33: 155-162. Chandler, F.J.C., and Suyanto. 2004. Pengakuan dan Pemberian Imbalan bagi Penyediaan Jasa Daerah Aliran Sungai DAS. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Darusman, D. 1993. Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian dan Rumah Tangga: Studi Kasus di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Makalah Disampaikan pada Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia. Bandung, 29 Juli 1993. Darusman, D., dan Bahruni. 2005. Aspek Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Sumberdaya Air serta Kontribusinya terhadap Pemerintah Daerah dan Masyarakat. Prosiding Seminar Pemanfaatan Air di Kawasan Konservasi. Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Departemen Kehutanan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Statistik Industri Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara. Direktorat Jenderal Pengairan. 1986. Buku Petunjuk Perencanaan Irigasi. Bagian Penunjang untuk Standar Perencanaan Irigasi. CV. Galang Persada, Bandung. Direktur Jenderal Sumberdaya Air. 2002. Juni-September 2002 Persediaan Air Irigasi Tidak Mencukupi. Departemen Kimpraswil Republik Indonesia. Jakarta. Internet : Www.Google.Com Djajadiningrat, S.T. 1997. Pengantar Ekonomi Lingkungan. Penerbit: LP3ES, Jakarta. Drigo, R. 2005. Trends and Patterns of Tropical Land Use Change. In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press. Duerr, A.W. 1960. Fundamental of Forestry Economics. McGraw-Hill, Book Company. New York, Toronto, London. Dumairy. 1992. Ekonomi Sumberdaya Air, Pengantar ke Hidronomika. BPFE, Yogyakarta. Dyah, R.P. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sungai Menyongsong Abad-21. Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Sungai, Universitas Diponegoro, Semarang. 164 Dziegielewski, B. 2003. Strategy fo managing water demand. Journal on Water Resources Update. Universities Council on Water Resources. University of Illinois, USA. Eagle, J.G., and D.R. Betters. 1998. Analysis, the Endangered Species Act and Economic values: A comparison of Fines and Contingent Valuation Studies. Journal of Ecological Economics 26:165-171. Economic and Environment Program for Southeast Asia EEPSEA and World Wild Fund for Nature WWF. 1998. The Indonesian fires and haze of 1997: The economic toll. 1-8. Unpublished Report. Enters, T. 1998. A Framework for the Economic Assessment of Soil Erosion and Soil Conservation. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. Cabi Publishing. Environmental Protection Agency EPA. 2000. Projecting Land-Use Change A Summary of Models for Assessing the Effects of Community Growth and Change on Land-Use Patterns. United State Environmental Protection Agency, Washington DC, USA. Fakultas Kehutanan IPB. 1999. Laporan Akhir Kajian Sistem Nilai Hutan Produksi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Fares, Y.R. 2003. Water resouces management in tropical river catchments. Journal of Environmental Hydrology, Volume 11 Paper 14 November 2003. Fluid Research Centre, School of Engineering, University of Surtey, Guildford, England. Fauzi, A. 2004. Mencermati Implementasi Undang-Undang Sumberdaya Air. Web Site: www.unisosdem.org.id Field, B.C. 1994. Environmental Economics, An Introductions. The McGraw- Hill, Book Company Inc. New York, Tokyo, Toronto, Singapore. Fox, J. J.B. Vogler, O.L. Sen, A.L. Ziegler, and T.W. Giambelluca. 2011. Simulating land-cover change in Montane Mainland Southeast Asia. Geography, University of Hawaii, Manoa, USA. Freeman, A.M. 1993. The Measurement of Environmental and Resource Value, Theory and Methods. Washington, D.C. Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan : Sutomo, S dan K. Mangiri. Edisi Kedua. Penerbit UI-Press, Jakarta. Glover, D., and J. Timothy. 1999. Indonesia’s Fires and Haze, The Cost of Catastrophe. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore and International Development Research Center, Canada. Gregory, G.R. 1972. Forest Resource Economics. John Wiley and Sons. New York, USA. 165 Hairiah K., SM Sitompul, Meine van Noordwijk, and Cheryl Palm. 2001. Method for Sampling Carbon Stocks Above and Below Ground. ASB Lecture Note 4B:1-22. Huang, H.Q, Y.L. Cai, and J. Peng. 2007. Modeling the spatial pattern of farmland using GIS and multiple logistic regression: a case study of Maotiao River Basin, Guizhou Province, China. Environ Model Assess 2007 , China. Husnan, S., dan S. Muhammad. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Penerbit : UPP AMP YKPN, Yogyakarta. International Water Management Institute. 2006. Gobal Water Outlok to 2025. Averting an Impending Crisis. International Food Policy Research Institute. Washington, D.C, USA. Iriawan, N., dan S.P. Astuti. 2008. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Penerbit: Andi, Yogyakarta. Isnugroho, 2002. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia, Jakarta. Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan U. Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kiersch, B., and S. Tognetti. 2002. Land-Water Linkages in Rural Watershed : Results from the FAO Electronic Workshop. Land Use and Water Resources research, FAO, Rome, Italy. Kodoatie, R.J., Suharyanto, S. Sangkawati, dan S. Edhisono. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Otonomi Daerah. Penerbit : Andi Yogyakarta. Kramer, R.A., and D.E. Mercer. 1997. Valuing a Global Environmental Good: U.S. Resident Willingness to Pay to Protect Tropical Rain Rorest. Journal of Land Economics 732:196-210. Lerner, D.N., and B. Harris. 2009. The relationship between land use and groundwater resources and quality. Journal of Land Use Policy 265 2009 S265-S273.. Published by Elsevier Ltd, All rights reserved. Little, C., A. Lara, J. McPhee, and R. Urrutia. 2009. Revealing the impact of forest exotic plantations on water yield in large scale watershed in South- Central Chile. Journal of Hydrology 374 2009 162-170. Published by Elsevier Ltd, All rights reserved. Loomis, J., T. Brown, B. Lucero, and G. Peterson. 1996. Improving Validity Experiments of Contingent Valuation Methods: Results of Efforts to Reduce the Disparity of Hypothetical and Actual Willingness to Pay. Journal of Land Economics 724:450-461. 166 Mahbub, B. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Air Berwawasan Lingkungan pada Pengembangan Wilayah. Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Sungai, Universitas Diponegoro, Semarang. Maltima, J.M., S.M. Mugatha, R.S. Reid, L.N. Gachimbi, A. Majule, H. Lyaruu, D. Pomey, S. Mathai, and S. Mungisha. 2009. The linkages between land use change, land degradation and biodiversity across East Africa. African Journal of Environmental Science and Technology. Vol 3 10 pp. 310- 325, october 2009. Maltima, J.M., J.M. Olson, S.M. Mugatha, S. Magisha, and T. Mutie. 2010. Land use changes, impacts and option for sustaining productivity and livelihood in the basin of Lake Victoria. Journal of Sustainable Development in Africa. Volume 12, No. 3, 2010. Clarion University of Pennsylvania, USA. Manoli, E., P. Katsiardi, G. Arampatzis, and D. Assimacopoulos. 2005. Comprehensive Water Management Scenarios for Strategic Planning. Global NEST Journal, Vol 7, No 3, pp 369-378, 2005. Copyright© 2005 Global NEST. Printed in Greece. All rights reserved. Rhodes Island, Greece. Marshall, E., M. Caswell, S. Malcolm, M. Motamed, J. Hrubovcak, C. Jones, and C. Nickerson. 2011. Measuring the Indirect Land-Use Change Associated With Increased Biofuel Feedstock Production. A Review of Modeling Efforts. United States Department of Agriculture. Economic Research Service, USA. Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab, Jilid 1. Edisi Kedua. Diterbitkan oleh IPB PRESS, P.O. Box 199, Bogor. Mays, L.W., and Y.K. Tung. 1992. Hydrosystems Engineering and Management. McGraw-Hill, New York, USA. McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati : Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Kusdyantinah Penerjemah. Terjemahan dari: Economics and Biological Diversity: Developing and Using Economics Incentives to Conserve Biological Resources. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. McWhinney, S. 2005. Introducing the New Water Efficiency Labelling and Standards WELS Scheme. Water Services Assosiation of Australia Journal. Issue No. 3, May, 2005. Departement of the Envoronment and Heritage, Australia. Mena, C.F., S.J. Walsh, and R.E. Bilsborrow. 2010. Demographic, Socieconomic, and Biophysical Factors Affecting Land Use and Land Cover Change in The Northern Ecuadorian Amazon: Factors, Statistical Models, and Spatial Explicit Simulations. Carolina Population Center and Geography Department, University of North Carolina, USA. 167 Murdiyarso, D. 2005. Water Resources Management Policy Responses to Land Cover Change in South East Asian River Basins. In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press. Pawitan, H., R. Boer, Y. Kusmaryono, dan J.S. Baharsyah. 2003. Perubahan Iklim Global dan Dampaknya terhadap Masa Depan Sumberdaya Air dan Ketersediaan Air di Indonesia. Prosiding: Seminar Hari Air Sedunia, Jakarta. Pearce, D., and D. Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUCN Earthscan Publications Ltd. London. Perusahaan Daerah Air Minum PDAM Kota Kendari. 2010. Rencana Pengembangan Peningkatan Pelayanan Konsumen Kota Kendari. Kendari, Sulawesi Tenggara. Purwanto, E., dan J. Ruijter. 2004. Hubungan antara Hutan dan Fungsi Daerah Aliran Sungai. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Purwanto, M.Y.J. 1995. Water Demand for Industry, Village and City. Seminar on Water Demand in Developing Country, Tokyo, Japan. Purwanto, M.Y.J, and Sutoyo. 2010. Water Resources Assessment for City Area. Proceedings of The International Conference. The Quality Information for Competitive Agricutural Based Production System and Commerce. IPB International Convention Center, Bogor, 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan. 1999. Inventarisasi Hidrologi di 15 Daerah Aliran Sungai DAS. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat. Disertasi Doktor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ramdan, H., Yusran, dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah : Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Cetakan Pertama. Penerbit Alqaprint Jatinangor, Bandung. Randal, A. 1987. Resource Economic. John Wiley Sons, Inc. New York, Chichester, Brisbane, Singapore, Toronto. Richard, M. 1997. The Potential for Economic Valuation of Watershed Protection in Mountainous Areas : A Case Study from Bolivia. Mountain Research and Development. Of land use change. Journal of Global Environmental Change. 15 2005 23 – 31. 168 Rudel, T.K., O.T. Coomes, E. Moran, F. Achard, A. Angelsen, J. Xu, and E. Lambin. 2005. Forest transitions: towards a global understanding. Journal of Global Environmental Change 15 2005 23 – 31. Published by: Elsevier, Ltd. All rights reserved. Sanim, B. 2003. Ekonomi Sumberdaya Air dan Manajemen Pengembangan Sektor Air Bersih Bagi Kesejahteraan Publik. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sanim, B. 2005. Handout Mata Kuliah : Ekonomi Lingkungan dan Analisis Kebijakan. Fakultas Ekonomi Manajemen FEM, Institut Pertanian Bogor. Schaldach, R., and J.A. Priess. 2008. Integrated Models of the Land System: A Review of Modelling Approaches on the Regional to Global Scale. Center for Environmental Systems Research University of Kassel, Kurt- Wolters-Str. 3, Germany. Seckler, D., U. Amarasinghe, D. Molden, R. de Silva, and R. Barker. 1998. World Water Demand and Supply, 1990 to 2025: Scenarios and Issues. Research Report 19. International Water Management Institute, P O Box 2075, Colombo, Sri Lanka. Setiawan, A. 2000. Nilai Ekonomi Hutan Raya Wan Abdul Rachman Provinsi Lampung. Thesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sihite, J.H.S. 2004. Valuasi Ekonomi dari Perubahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Besai-DAS Tulang Bawang Lampung. Disertasi Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Singh, V.P. 1992. Elementary Hydrology. Departement of Civil Engineering Louisiana State University. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, USA. Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Industri Lestari dengan Pertanian Konservasi. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Konservasi Tanah dan Air. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sinukaban, N. 2005. Implication of Regional Autonomy on Watershed Management. Paper Presented on Seminar for Contennial Commemoration of the Indonesian Soil Research Institute, Bogor. Sinukaban, N. 2008. Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam Mitigasi Banjir. Prosiding Seminar Konservasi Tanah dan Air. Forum DAS Provinsi Lampung. Bandar Lampung, Indonesia. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Penerbit: Universitas Indonesia. Jakarta, Indonesia. Soeparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Suatu Pendekatan Teoritis. Edisi Ketiga. Penerbit: BPFE Yogyakarta. Anggota IKAPI No. 008. 169 Soeparmoko, M. 2006. Panduan dan Analisis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Konsep, Metode Penghitungan dan Aplikasi. Edisi Pertama. Penerbit: BPFE Yogyakarta. Anggota IKAPI No. 008. Spash, C.L. 1997. Ethics and Environment Attitudes with Implication for Economic Valuation. Journal of Environmental Management 50:403-416. Suara Merdeka. 2004. Tahun 2020 Indonesia Kekurangan Air Bersih. Senin, 13 Desember 2004. Internet : www.google.com Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara.2010. Debit Rata-Rata Sungai Konaweha Tahun 1993 – 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara. Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara.2009. Rekapitulasi Data Curah Hujan Bulanan Stasiun Hujan Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Sulistiyono, N. 2006. Penilaian Ekonomi pada Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 Studi Kasus di DAS Ciliwung Hulu, DAS Ciesek, Kabupaten Bogor. Thesis Magister Sains Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Suratiah, K. 2006. Ilmu Usahatani. Penerbit: Penebar Swadaya Jakarta. Jakarta, Indonesia. Swanson, T.M. 1996. The Economic of Environment Degradation, The Tragedy for the Commons. UNEP. Edward Elgar Publishing. Cheltenham - UK, Brookfield - USA. Tang, Z., B.A. Engel, B.C. Pijanowski, and K.J. Lim. 2005. Forecasting land use change and its environmental impact at a watershed scale. Journal of Envoronmental Management, 76 2005 35 – 45. Published by: Elsevier, Ltd. All rights reserved. Doc:10.1016j.jenvman. 2005.01.006. Taufik, Y., A. Nikoyan, dan La Baco, 2001. Studi Pengembangan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Kolaka. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kolaka dengan Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Tietenberg, T. 1992. Environmental Economics and Policy. Harpers Collins College Publisher Inc. New York. UNEP and FAO. 1999. The Future of Our Land. Facing the Challenge. United Nation Environment Programme. Food And Agriculture Organization, Rome, Italy. United Nation Development Programme UNDP dan Kementerian Lingkungan Hidup KLH, 1998. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Dampak, Faktor dan Evaluasi. Jilid I. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Jakarta. 170 Van Noordwijk, M., F. Agus, D. Suprayogo, K. Hairiah, G. Pasha, B. Verbist, dan Farida. 2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai DAS. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Verburg, P, G.H.J. de Koning, K. Kok, A. Veldkamp, and J. Bouma. 1999. A spatial explicit allocation procedure for modelling the pattern of land use change based upon actual land use. Ecological Modelling 116 1999 45 – 61. Elsevier, Wageningen, Netherlands. Verburg, P.H, T. Veldkamp, and J.P. Lesschen. 2011. Exercises for the CLUE-S model. The CLUE Modelling Framework. Ecological Modelling. Elsevier, Wageningen, Netherlands. Wainger, L.A., J. Rayburn, and E. W. Price. 2007. Review of Land Use Change Models Applicability to Projections of Future Energy Demand in the Southeast United States. University of Maryland, Center for Environmental Science Chesapeake Biological Laboratory, USA. Ward, A.D., W.J. Elliot. 1992. Environmental Hydrology. Lewis Publisher, Boca Raton, New York, London, Tokyo. World Health Organization WHO. 2009. Jumlah Air Minimal Kebutuhan Rumah Tangga. Technical Notes for Emergencies, Technical Note No. 9. WHO Regional Office for South-East Asia. Wood, E.C., G.G. Tappan, and A. Hadj. 2004. Undertanding the drivers of Agricultural land use change in South-Central Senegal. Journal of Arid Environments. Published by Elsevier, Ltd. All right reserved. Doc: 10.106. Yunus, L. 2005. Metode Penilaian Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan Studi Kasus di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Disertasi Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yusnaini, S., A. Niswati, M.A.S. Arif, and M. Nonaka. 2008. The Changes of Earthworm Population and Chemical Properties of Tropical Soil Under Different Land Use System. Journal of Tropical Soils, Vol. 13, No. 2, 2008. Yuwono, S.B. 2011. Alternatif Pengembangan Sumberdaya Air Berkelanjutan DAS Way Betung Kota Bandar Lampung. Disertasi Doktor pada Program Studi Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 171 Lampiran 1. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1991 Lampiran 2. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1999 172 Lampiran 3. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 2011 Lampiran 4. Proporsi Luas Masing-masing Jenis Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu Tahun 1991-2011 Penggunaan Lahan Luas 1991 1999 2001 2004 2005 2006 2008 2011 Hutan 66,6 55,3 51,3 50,1 49,2 48,8 47,0 43,6 Perkebunan 26,0 34,8 38,3 39,0 39,5 39,6 40,0 42,0 Kebun Campuran 3,0 3,8 4,0 4,5 4,7 4,8 5,5 6,5 Semak Belukar 1,7 2,6 2,9 3,0 3,0 3,1 3,3 3,5 Tegalan 0,7 1,2 1,3 1,5 1,7 1,8 2,1 2,5 Lahan Terbuka 0,6 1,1 0,7 0,4 0,3 0,2 0,5 0,6 Permukiman 0,6 0,9 0,9 1,0 1,0 1,0 1,1 1,3 Sawah 0,2 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,8 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Keterangan: Luas DAS Konaweha Hulu adalah 337.992 hektar. 173 Lampiran 5. Analisis Keragaman Anova Pengaruh Waktu terhadap Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu Analysis of Variance x, y1 Source DF SS MS F P Regression 1 177.012 177.012 17.01 0.054 Error 2 20.815 10.408 Total 3 197.827 Analysis of Variance x, y2 Source DF SS MS F P Regression 1 100.801 100.801 13.36 0.067 Error 2 15.087 7.544 Total 3 115.888 Analysis of Variance x, y3 Source DF SS MS F P Regression 1 2.1125 2.1125 281.67 0.004 Error 2 0.0150 0.0075 Total 3 2.1275 Analysis of Variance x, y4 Source DF SS MS F P Regression 1 1.0125 1.0125 15.00 0.061 Error 2 0.1350 0.0675 Total 3 1.1475 Lampiran 6. Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Tahun 2011-2050 Periode Hutan Perkebunan Kebun Campuran Semak Belukar 5 1991-1995 66.6 26.0 3.0 1.7 10 1996-2000 55.3 34.8 3.8 2.6 15 2001-2005 50.7 38.6 4.3 2.9 20 2006-2010 48.3 39.7 5.0 3.1 25 2011-2015 43.2

43.1 5.3

3.6 30 2016-2020

39.1 45.0

5.7 3.9

35 2021-2025 35.4

46.6 6.0

4.2 40 2026-2030

32.0 47.9

6.3 4.5

45 2031-2035 29.0

49.1 6.6

4.7 50 2036-2040

26.2 50.2

6.8 4.9

55 2041-2045 23.7

51.2 7.1

5.1 60 2046-2050

21.5 52.1

7.3 5.3

Keterangan: Kolom 2: y = 71.26e-0.02x Kolom 3: y = 10.2Lnx + 10.3 Kolom 4: y = 1.67x0.36 Kolom 5: y = 0.88x0.44 Angka-angka yang dicetak tebal merupakan hasil proyeksi dari tahun 2011-2050 174 Lampiran 7a. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2007 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Tanggal Curah Hujan mm dan Debit m3detik CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit 1 50 60 38 210 20 188 88 35 224 97 89 1 67 3 44 2 33 3 47 2 47 54 20 245 176 38 205 24 211 85 88 1 67 39 29 39 3 45 32 165 224 175 265 202 15 114 7 119 17 119 32 13 88 11 79 4 4 77 7 161 213 18 230 22 300 187 12 119 35 188 94 25 31 159 68 5 75 158 199 4 222 285 165 87 176 75 21 144 57 6 70 147 166 175 275 133 74 17 177 58 19 133 52 7 65 139 42 256 154 255 115 63 165 47 18 126 49 8 57 133 220 43 287 245 10 147 55 122 39 17 121 40 9 53 113 210 7 256 20 271 124 47 114 28 16 95 35 171 10 15 138 104 177 3 228 260 118 44 87 27 6 59 82 2 155 11 135 97 164 197 260 20 175 43 64 22 55 71 1 149 12 122 86 144 177 8 255 15 188 41 51 20 45 60 133 13 110 64 125 10 220 247 177 41 44 17 40 51 116 14 31 160 51 110 14 210 245 146 18 121 37 15 35 41 105 15 19 165 6 124 11 165 185 240 16 178 6 102 33 6 45 35 33 96 16 18 160 118 142 167 235 144 78 3 41 26 35 11 125 89 17 145 13 141 133 154 227 122 66 37 22 5 57 100 79 18 133 137 129 10 178 175 97 59 3 55 19 55 78 74 19 124 130 125 18 194 135 76 4 64 2 42 16 49 65 69 20 117 122 118 175 115 75 37 233 23 155 15 23 144 55 64 21 97 119 103 146 44 318 71 187 14 153 15 125 41 10 99 22 88 109 100 131 13 310 71 169 133 14 112 32 93 23 77 87 85 126 10 307 15 137 13 206 127 14 96 8 65 14 119 24 64 15 101 20 122 97 287 122 10 222 116 13 78 55 94 25 57 35 225 8 124 85 5 280 106 11 210 110 13 66 44 85 26 15 122 25 220 1 122 81 275 41 274 4 197 11 132 7 34 49 36 72 27 13 125 185 85 72 260 222 144 5 127 22 37 31 8 88 28 2 118 155 77 65 244 178 9 157 1 122 20 29 29 5 79 29 109 62 64 215 155 132 1 122 19 22 26 60 30 99 14 112 14 124 197 143 113 97 17 20 22 60 31 95 97 20 225 97 75 19 55 117 100 133 125 154 147 161 165 180 242 176 149 139 112 122 103 32 34 37 48 65 69 89 85 Total CH 117 133 154 162 180 176 139 122 32 37 65 89 Debit Rata-rata 100 125 147 165 242 149 112 103 34 48 69 85 Qmax 160 225 256 287 318 274 233 188 119 144 159 171 Qmin 45 51 62 64 88 71 41 33 13 16 22 39 175 Lampiran 7b. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2008 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Tanggal Curah Hujan mm dan Debit m3detik CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit 1 94 10 123 45 255 5 140 13 256 3 175 88 5 77 25 30 19 127 70 2 93 6 144 5 230 133 15 259 168 77 58 25 30 5 122 70 3 7 106 10 155 4 200 133 255 159 75 51 25 30 102 65 4 8 127 15 171 215 23 260 250 142 10 125 39 21 20 77 87 60 5 2 138 169 165 2 255 245 140 119 35 21 63 82 25 135 6 122 165 14 200 245 25 275 133 116 4 55 21 55 72 20 145 7 120 155 189 17 254 12 271 9 224 11 130 10 74 20 55 69 135 8 80 149 161 245 13 269 203 126 7 70 19 55 57 135 9 70 7 160 7 206 224 260 4 207 5 124 61 5 55 52 43 28 184 10 77 8 190 10 230 221 255 10 238 5 121 50 2 40 48 15 100 8 175 11 70 162 190 20 259 15 260 14 241 7 126 2 59 2 35 45 5 95 146 12 4 120 156 8 199 250 253 16 245 6 125 56 30 15 61 88 5 145 13 112 145 150 240 242 9 230 3 120 55 30 56 85 131 14 108 128 6 155 6 237 240 12 244 90 7 81 25 50 71 128 15 108 110 145 8 251 220 233 80 8 88 20 50 64 127 16 6 110 100 10 195 200 170 215 80 12 122 20 45 52 112 17 122 98 200 30 250 14 256 188 70 82 3 35 40 47 104 18 122 96 145 4 240 244 171 14 135 70 25 40 45 92 19 7 125 85 140 9 245 231 162 122 62 20 35 44 77 20 120 12 160 3 167 9 249 224 137 7 112 4 65 20 35 42 66 21 114 159 163 1 233 220 121 5 98 8 85 20 27 39 65 22 25 147 155 123 1 232 220 117 4 97 67 20 27 4 43 60 23 175 155 4 127 190 215 105 6 104 59 20 17 67 42 55 24 165 146 6 149 160 200 100 8 122 55 3 25 59 40 47 25 10 160 135 130 125 16 257 5 155 117 50 25 47 40 4 83 26 10 150 120 120 110 250 137 114 2 55 8 63 41 25 165 81 27 3 140 3 129 105 105 238 124 85 1 37 6 52 2 37 17 147 76 28 11 132 16 220 90 7 120 8 247 121 72 37 2 45 37 122 76 29 1 120 40 235 12 108 17 180 223 120 70 35 37 37 114 5 65 30 18 100 10 155 170 180 6 100 66 35 32 35 93 65 31 2 102 140 145 65 35 30 60 114 118 127 147 144 166 159 205 131 236 88 169 91 102 70 60 31 29 54 45 90 78 95 97.9 Total CH 114 127 144 159 131 88 91 70 31 54 90 95 Debit Rata-rata 118 147 166 205 236 169 102 60 29 46 78 98 Qmax 175 235 255 260 275 245 135 122 63 77 165 184 Qmin 70 85 90 110 145 100 65 35 19 27 39 47 176 Lampiran 7c. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2009 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Tanggal Curah Hujan mm dan Debit m3detik CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit 1 82 20 157 88 183 178 15 246 63 42 22 4 33 30 35 2 15 143 148 22 192 179 177 239 63 41 15 55 27 10 95 35 3 133 145 185 169 17 270 220 59 7 66 33 25 80 5 55 4 10 147 145 165 25 266 270 40 293 35 217 2 62 28 25 77 38 128 5 145 130 121 261 10 265 277 185 43 30 125 22 69 15 177 6 3 145 115 116 241 265 267 164 41 8 104 20 65 169 7 139 10 161 92 11 247 17 270 239 151 40 87 20 35 157 153 8 133 7 144 84 242 265 216 139 38 65 6 43 146 139 9 130 120 77 226 220 145 122 7 55 54 40 142 131 10 120 85 73 7 239 210 122 95 10 73 41 39 122 114 11 90 71 21 242 227 165 17 233 81 61 38 35 90 87 12 85 64 222 225 144 20 251 66 55 36 33 7 99 71 13 70 12 144 197 209 102 224 57 49 33 32 89 66 14 65 7 156 18 245 12 237 93 187 23 155 43 28 30 79 47 15 55 31 253 235 229 10 266 20 260 141 42 27 25 75 45 16 10 127 10 237 224 207 254 12 245 128 32 174 24 22 67 32 17 118 225 182 175 233 16 230 24 155 17 155 22 21 55 10 88 18 8 135 202 7 225 165 54 347 225 133 128 20 14 77 35 5 84 19 129 198 195 133 342 188 122 93 18 75 28 4 83 20 122 17 203 156 104 321 174 25 161 75 17 33 144 9 71 77 21 117 18 217 143 97 304 10 187 127 63 15 121 56 69 22 106 195 37 266 86 277 153 115 15 102 14 117 47 59 23 30 166 3 195 10 247 83 264 137 25 159 7 84 13 104 39 48 24 45 188 150 211 81 10 279 115 140 71 12 85 13 88 41 25 175 135 190 48 279 16 288 102 124 61 11 77 77 18 133 26 173 120 175 25 272 270 95 112 57 11 65 62 125 27 168 83 15 200 21 247 10 265 88 92 45 10 8 55 60 124 28 165 66 152 19 227 8 265 74 83 18 110 10 41 59 114 29 135 133 216 247 66 69 93 9 39 49 112 30 133 21 198 202 20 275 63 57 85 9 32 42 91 31 122 195 265 55 55 27 88 121 128 135 152 151 175 168 198 172 247 150 185 132 116 115 71 53 33 65 50 74 75 95 91 Total CH 121 135 151 168 172 150 132 115 53 65 74 95 Debit Rata-rata 128 152 175 198 247 185 116 71 33 50 75 91 Qmax 188 253

266 279

347 293 217 174 125 144 157 177 Qmin 55 64 73 83 93 63 55 38 9 20 28 32 177 Lampiran 7d. Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit Harian Minimum Sungai Konaweha 2007-2009 Tahun 2007 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Qmax m3det 160 225 256 287 318 274 233 188 119 144 159 171 Qmin m3det 45 51 62 64 88 71 41 33 13 16 22 39 Qrata-rata m3det 100 125 147 165 242 149 112 103 34 48 69 85 Tahun 2008 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Qmax m3det 175 235 255 260 275 245 135 122 63 77 165 184 Qmin m3det 70 85 90 110 145 100 65 35 19 27 39 47 Qrata-rata m3det 118 147 166 205 236 169 102 60 29 46 78 98 Tahun 2009 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Qmax m3det 188 253

266 279

347 293 217 174 70 144 157 177 Qmin m3det 55 64 73 83 93 63 55 38 15 20 28 32 Qrata-rata m3det 128 152 175 198 247 185 116 71 33 50 75 91 Rata-Rata Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Qmax m3det 174 238 259 275 313 271 195 161 84 122 160 177 Qmin m3det 57 67 75 86 109 78 54 35 16 21 30 39 Qrata-rata m3det 115 141 163 189 242 168 110 78 32 48 74 91 Lampiran 8. Curah Hujan Rata-rata Bulanan DAS Konaweha Tahun 1999-2009 Curah Hujan mm Bulan 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata Jan 100 144 115 112 105 99 122 101 117 114 121 114 Feb 118 136 132 120 141 124 124 104 133 127 135 127 Mar 135 67 135 171 185 144 158 142 154 144 151 144 Apr 147 125 140 160 166 160 149 140 162 155 168 152 May 155 278 155 170 163 150 101 165 180 168 172 169 Jun 130 107 139 170 102 134 82 150 176 109 150 132 Jul 114 93 128 41 167 99 72 95 139 77 132 105 Aug 88 60 90 10 58 58 66 85 122 64 115 74 Sep 47 18 46 11 45 40 44 44 32 31 53 37 Oct 65 106 92 12 16 75 98 18 37 54 65 58 Nov 90 28 123.2 28 34 80 102 88 66 72 74 71 Dec 97 22 102 144 154 94.8 118 94 89 95 95 100 Total 1286 1184 1397 1149 1336 1258 1236 1226 1407 1210 1431 1269 Lampiran 9. Debit Bulanan Rata-rata, Maksimum dan Minimum Sungai Konaweha Tahun 1993-2009 Debit m3detik Bulan 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jan 100 135 79 59 55 53 90 114 121 98 94 90 132 142 100 135 128 Feb 129 149 127 174 151 185 106 110 114 81 113 145 164 174 125 177 152 Mar 182 231 151 181 152 200 125 71 133 127 134 175 196 175 147 192 175 Apr 234 251 291 182 240 242 162 176 165 122 125 202 258 199 165 244 198 May 254 246 238 232 255 271 195 381 237 243 247 254 203 266 242 275 247 Jun 290 180 295 234 185 225 205 276 220 127 225 182 74 168 149 166 185 Jul 189 126 185 175 172 181 108 143 165 52 126 99 60 95 112 87 116 Aug 78 99 94 98 89 147 56 66 81 44 65 58 59 55 103 49 71 Sep 37 38 41 40 37 35 36 11 34 31 25 30 28 23 34 20 33 Oct 70 49 76 77 66 55 41 23 55 23 28 49 59 31 48 39 50 Nov 191 89 118 162 114 88 58 29 110 40 46 85 118 47 69 48 75 Dec 135 125 136 119 78 74 75 35 118 120 99 92 122 95 85 85 91 Max 290 251 295 234 255 271 205 381 237 243 247 254 258 266 242 275 247 Min 37 38 41 40 37 35 36 11 34 31 25 30 28 23 34 20 33 178 Lampiran 10. Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit Minimum DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 Qmax m3detik Qmin m3detik H K Kc Sb 1991-1995 66,6 26,0 3,0 1,7 28,4 246 40 6,2 1996-2000 55,3 34,8 3,8 2,6 36,3 252 36 7,0 2001-2005 50,7 38,6 4,3 2,9 43,1 272 33 8,2 2006-2010 48,3 39,7 5,0 3,1 45,6 284 24 11,8 Periode Luas Tutupan Luas DAS Konaweha Hulu Koefisien C KRS Keterangan: H : hutan; K: perkebunan, Kc: kebun campuran; Sb: semak belukar; C: koefisien aliran permukaan; KRS: koefisien regim sungai Q max Q min ; Q max : debit maksimum; Q min : debit minimum. Lampiran 11. Analisis Regresi dan Keragaman Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kondisi Hidrologi DAS Konaweha Hulu Regression Analysis: C Tahunan versus H , K , Kc , Sb The regression equation is C = 64.0 - 0.905 H + 0.544 K - 0.76 Kc + 2.43 Sb Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 4 69.854 17.464 390.47 0.038 Residual Error 1 0.045 0.045 Total 5 69.899 Regression Analysis: Qmax m3detik versus H , K , Kc , Sb The regression equation is Qmax m3detik = 1713 - 20.1 H - 10.1 K - 45.4 Kc + 47.5 Sb Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 4 2982.33 745.58 1474.72 0.020 Residual Error 1 0.51 0.51 Total 5 2982.83 Regression Analysis: Qmin m3detik versus H , K , Kc , Sb The regression equation is Qmin m3detik = 13 + 0.7 H + 0.6 K - 3.4 Kc - 3.7 Sb Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 4 180.00 45.00 33.91 0.360 Residual Error 1 11.50 11.50 Total 5 191.50 179 Lampiran 12. Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Pendekatan Rata-rata Aritmetik m 3 detik Debit m3detik Bulan 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata Jan 100 135 79 59 55 53 90 114 121 98 94 90 132 142 100 135 128 101 Feb 129 149 127 174 151 185 106 110 114 81 113 145 164 174 125 177 152 140 Mar 182 231 151 181 152 200 125 71 133 127 134 175 196 175 147 192 175 162 Apr 234 251 291 182 240 242 162 176 165 122 125 202 258 199 165 244 198 203 May 254 246 238 232 255 271 195 381 237 243 247 254 203 266 242 275 247 252 Jun 290 180 295 234 185 225 205 276 220 127 225 182 74 168 149 166 185 199 Jul 189 126 185 175 172 181 108 143 165 52 126 99 60 95 112 87 116 129 Aug 78 99 94 98 89 147 56 66 81 44 65 58 59 55 103 49 71 77 Sep 37 38 41 40 37 35 36 11 34 31 25 30 28 23 34 20 33 31 Oct 70 49 76 77 66 55 41 23 55 23 28 49 59 31 48 39 50 49 Nov 191 89 118 162 114 88 58 29 110 40 46 85 118 47 69 48 75 87 Dec 135 125 136 119 78 74 75 35 118 120 99 92 122 95 85 85 91 99 Lampiran 13. Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Peluang 80 m 3 detik Ranking Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Periode Tahun Peluang 1 142 185 231 291 381 295 189 147 41 77 191 136 18.00 6 2 135 177 200 258 271 290 185 103 40 76 162 135 9.00 11 3 135 174 196 251 257 276 181 99 38 70 118 125 6.00 17 4 132 174 192 244 266 234 175 98 37 66 118 122 4.50 22 5 128 164 182 242 255 225 172 94 37 59 114 120 3.60 28 6 121 152 181 240 255 225 165 89 36 55 110 119 3.00 33 7 114 151 175 234 254 220 143 81 35 55 89 118 2.57 39 8 100 149 175 202 254 205 126 78 34 50 88 99 2.25 44 9 100 145 175 199 247 185 126 71 34 49 85 95 2.00 50 10 98 129 152 198 247 185 116 66 34 49 75 92 1.80 56 11 94 127 151 182 246 182 112 65 33 48 69 91 1.64 61 12 90 125 147 176 242 180 108 59 30 41 58 85 1.50 67 13 90 114 134 165 240 168 99 58 28 39 48 85 1.38 72 14 79 113 133 165 238 166 95 56 25 31 47 78 1.29 78 15 59 110 127 162 232 149 87 55 23 28 46 75 1.20 83 16 55 106 125 125 203 127 65 49 20 23 40 74 1.13 89 17 53 81 71 122 180 74 52 44 11 23 29 35 1.06 94 Rata-rata 71 112 131 164 236 140 92 56 24 30 47 77 Peluang 80 Lampiran 14. Debit Minimum Q min Sungai Konaweha Periode 2011-2015 sampai 2046-2050 Periode Hutan Perkebunan Kebun Campuran Semak Belukar Qmin m3detik 1 2 3 4 5 6 2011-2015 43.2

43.1 5.3