98
penggunaan lahan kebun campuran dan semak belukar. Air yang tersimpan di dalam tanah tersebut akan menjadi aliran dasar base flow dan akan mengalir secara
perlahan-lahan ke sungai. Pengaruh penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar terhadap debit minimum Sungai
Konaweha disajikan pada Gambar 20.
Qmin m3detik = 13 + 0.7 H + 0.6 K - 3.4 Kc - 3.7 Sb R
2
= 0.9
10 20
30 40
50 60
Tahun dan Penggunaan Lahan Luas DAS Konaweha Hulu
Qm in
m 3
det ik
H; Hutan 55.3
51.3 50.1
49.2 48.8
47.0 K; Perkebunan
34.8 38.3
39.0 39.5
39.6 40.0
Kc; Kebun Campuran 3.8
4.0 4.5
4.7 4.8
5.5 Sb; Semak Belukar
2.6 2.9
3.0 3.0
3.1 3.3
Qmin m3detik 36
34 30
28 23
20 1999
2001 2004
2005 2006
2008
Gambar 20. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap Debit Minimum Q
min
Sungai Konaweha Gambar 20 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dan peningkatan luas
perkebunan, kebun campuran dan semak belukar tahun 1999-2008 menyebabkan terjadinya penurunan debit minimum dari 36 m
3
detik menjadi 20 m
3
detik. Angka penurunan debit minimum tersebut cukup besar yakni hampir dua kali lipat dari debit
minimum tahun 1999. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa penurunan debit minimum merupakan fungsi dari penurunan luas hutan dan
peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar menurut persamaan:
99
Q
min
m
3
detik = 13 + 0.7 H + 0.6 K - 3.4 Kc - 3.7 Sb 46
dimana Q
min
adalah debit minimum m
3
detik, H adalah luas hutan luas DAS Konaweha Hulu, K adalah luas perkebunan luas DAS Konaweha Hulu, Kc
adalah luas kebun campuran luas DAS Konaweha Hulu dan Sb adalah luas semak belukar luas DAS Konaweha Hulu.
Analisis perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi difokuskan pada pengaruh perubahan luas hutan terhadap koefisien aliran permukaan C dan
debit minimum Q
min
menggunakan data luas hutan periode 1991-2010 Lampiran 4 dan Lampiran 6, data koefisien aliran permukaan Lampiran 8, 9, 10 dan Lampiran
11 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan dan penurunan debit minimum secara eksponensial. Analisis
pengaruh penurunan luas hutan terhadap koefisien aliran permukaan C DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 21.
y = 158.8 e
-0.03X
R
2
= 0.98
10 20
30 40
50
45 50
55 60
65 70
Luas Hutan Luas DAS Konaweha Hulu K
o e
fisien A
liran P
e rm
u ka
a n
Gambar 21. Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Koefisien Aliran Permukaan DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010
Gambar 21 menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan meningkat secara eksponensial yang dipengaruhi oleh penurunan luas hutan. Peningkatan
100
koefisien aliran permukaan di DAS Konaweha Hulu mengikuti pola penurunan luas hutan menurut persamaan:
y = 158,8 e
-0,03X
47 dimana y adalah koefisien aliran permukaan , X adalah luas hutan dari luas
DAS Konaweha Hulu dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818.
Berdasarkan Persamaan 47 y = 158,8 e
-0,03X
tersebut maka disimpulkan bahwa semakin luas hutan maka semakin kecil nilai koefisien aliran permukaan.
Oleh karena itu upaya-upaya penurunan koefisien aliran permukaan dapat dilakukan melalui penambahan luas hutan.
Penurunan luas hutan akan menyebabkan terjadinya penurunan debit minimum Sungai Konaweha. Analisis pengaruh perubahan luas hutan dengan debit
minimum menunjukkan bahwa debit minimum menurun secara eksponensial mengikuti pola penurunan luas hutan. Analisis pengaruh penurunan luas hutan
terhadap debit minimum Sungai Konaweha disajikan pada Gambar 22.
y = 18.6 e
0.012x
R
2
= 0.97
10 20
30 40
50
45 50
55 60
65 70
Luas Hutan Luas DAS Konaweha Hulu Deb
it Mi n
im u
m m
3 d
e tik
Gambar 22. Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Debit Minimum Q
min
Sungai Konaweha Periode 1991-2010
101
Gambar 22 menunjukkan bahwa penurunan debit minimum dipengaruhi oleh penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu. Penurunan luas hutan selama periode
1991-2010 menyebabkan penurunan debit minimum secara eksponensial mengikuti persamaan:
y = 18,6 e
0,01X
48 dimana y adalah debit minimum m
3
detik, X adalah luas hutan dari luas DAS Konaweha Hulu dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818.
Berdasarkan Persamaan 48 y= 18,6 e
0,01X
maka disimpulkan bahwa semakin luas hutan maka semakin besar debit minimum dan sebaliknya. Oleh karena itu
maka upaya-upaya untuk meningkatkan debit minimum dapat dilakukan melalui peningkatan atau penambahan luas hutan.
Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa perubahan luas penggunaan lahan khususnya hutan di daerah-daerah tropis akan mempengaruhi siklus hidrologi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bonell and Bruijnzeel 2005; bahwa: 1 erosi meningkat dengan terganggunya hutan; 2 produksi air water yield dalam hal ini
ditribusi bulanan menurun seiring dengan penurunan evapotranspirasi vegetasi; 3 aliran air musiman khususnya aliran dasar baseflow akan menurun seiring dengan
penurunan kapasitas infiltrasi tanah dan peningkatan aliran permukaan Lerner and Harris, 2009; dan 4 aliran puncak peak flow akan meningkat seiring dengan
berkurangnya penutupan tanah. Selanjutnya Aylward 2005 dan Gregory 1972 mengemukakan bahwa dampak perubahan penggunaan lahan terhadap jumlah air
meliputi : 1 hasil air tahunan; 2 aliran air musiman; 3 aliran puncak; dan 4 level air tanah. Hutan merupakan penggunaan lahan paling baik dalam fungsinya
sebagai pengatur proses hidrologi dan melindungi tanah. Penggundulan hutan menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga terjadi peningkatan
aliran permukaan dan percepatan erosi tanah, bahkan dapat menyebabkan perubahan karakteristik pasokan air. Total hasil air water yield yang keluar dari suatu DAS
meningkat, begitu juga dengan perbedaan hasil air antara musim kemarau dan musim hujan Purwanto dan Ruijter, 2004; Chandler dan Suyanto, 2004.
102
Selain faktor perubahan penggunaan lahan, maka kemampuan tanah untuk memasukkan dan menyimpan air juga erat kaitannya dengan debit aliran sungai
akibat peningkatan aliran permukaan. Kemampuan tanah untuk menyimpan air sangat ditentukan oleh sifat tanah khususnya kandungan bahan organik yang
mencakup karbon organik dan total nitrogen tanah yang lebih tinggi pada tanah-tanah dengan penutupan vegetasi hutan dan akan menurun jika tanah dibuka Yusnaini, et
al ., 2008.
Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan memmpengaruhi keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha. Oleh karena itu
maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan.
Analisis Ketersediaan Air Analisis Curah Hujan
Curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha yang direpresentasi oleh data curah hujan rata-rata tahunan 18 stasiun pengamat adalah 1.269 mm per tahun.
Angka tersebut diperoleh dari data curah hujan harian 18 stasiun pengamatan selama 11 tahun yakni tahun 1999 sampai tahun 2009.
Curah hujan rata-rata bulanan 18 stasiun hujan di DAS Konaweha sangat fluktuatif berdasarkan ruang dan waktu. Hal ini disebabkan oleh letak geografis
masing-masing stasiun dimana daerah-daerah dataran rendah daerah hilir cenderung lebih kering dibandingkan dengan daerah dataran tinggi daerah hulu.
Variasi curah hujan masing-masing stasiun juga kemungkinan disebabkan oleh topografi wilayah yang cukup bervariasi. Gambaran curah hujan rata-rata bulanan
stasiun hujan di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 8 terdahulu. Hasil analisis curah hujan rata-rata menggunakan Persamaan 7 seperti terlihat
pada Lampiran 8 terdahulu menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata bulanan tertinggi di DAS Konaweha terjadi pada Bulan Mei dengan curah hujan 169 mm,
sedangkan curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada Bulan September
103
dengan curah hujan sebesar 37 mm. Dari data curah hujan bulanan rata-rata tersebut, maka curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha adalah 1.269 mm.
Berdasarkan data curah hujan rata-rata di DAS Konaweha baik bulanan maupun tahunan, maka potensi ketersediaan air di wilayah ini cukup besar. Perhitungan
ketersediaan air berdasarkan data curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha menunjukkan bahwa ketersediaan air tahunan adalah 8,86 x 10
9
m
3
per tahun. Nilai tersebut diperoleh dari konversi curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.269 mm per
tahun dengan luas DAS 697.841 hektar. Angka tersebut sebenarnya sangat besar jika dibandingkan dengan total kebutuhan air tahunan di wilayah ini yakni kurang dari
0,9 x 10
9
m
3
per tahun yang berarti bahwa total kebutuhan air tahunan hanya sekitar 10 dari total ketersediaan curah hujan di DAS Konaweha. Hal ini masih
memungkinkan untuk optimalisasi pemanfaatan air hujan guna memenuhi berbagai kebutuhan air di wilayah ini. Berdasarkan besarnya potensi curah hujan dan
perkiraan total kebutuhan air di DAS Konaweha maka masih sangat memungkinkan pengembangan energi berbasis sumberdaya air seperti pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Air PLTA. Berdasarkan hasil analisis hidrologi bahwa hampir 50 air hujan akan hilang menjadi aliran permukaan. Jumlah air yang hilang tersebut
akan semakin banyak jika diakumulasikan dengan debit sungai yang tidak termanfaatkan khususnya debit musim hujan.
Analisis Debit Sungai
Analisis debit Sungai Konaweha dengan pendekatan rata-rata aritmetik menggunakan Persamaan 8 dan pendekatan peluang kejadian menggunakan
Persamaan 9 menghasilkan hidrograf aliran bulanan rata-rata selama 12 bulan atau satu tahun. Analisis debit sungai dengan rata-rata aritmetik dan peluang kejadian
disajikan pada Lampiran 12 dan Lampiran 13. Lampiran 12 dan Lampiran 13 merupakan hidrograf aliran bulanan rata-rata
yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik dan peluang kejadian 80 . Debit rata-rata yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik lebih besar
peluang kejadian ± 50 jika dibandingkan dengan debit rata-rata peluang 80 .
104
Hasil analisis hidrograf aliran dengan pendekatan rata-rata aritmetik dan peluang 80 disajikan pada Gambar 23.
50 100
150 200
250 300
Jan Feb
Mar Apr
May Jun
Jul Aug
Sep Oct
Nov Dec
Bulan
Debi t
m3d eti
k
Rata-rata Aritmetik m3detik Peluang 80 m3detik
Gambar 23. Hidrograf Aliran Sungai Konaweha berdasarkan Rata-rata Aritmetik dan Peluang 80 Tahun 1993-2009
Gambar 23 menunjukkan bahwa hidrograf aliran Sungai Konaweha tertinggi terjadi pada Bulan Mei dan terendah terjadi pada Bulan September baik perhitungan
dengan rata-rata aritmetik maupun peluang kejadian 80 . Hidrograf aliran rata-rata pada Bulan September sampai Bulan Mei mengalami peningkatan cukup signifikan,
sementara itu hidrograf aliran dari Mei sampai September mengalami penurunan. Hasil perhitungan debit rata-rata dengan peluang 80 menunjukkan bahwa
debit rata-rata bulanan lebih rendah dibandingkan dengan debit rata-rata hasil perhitungan dengan metode rata-rata aritmetik. Jika menggunakan perhitungan
dengan peluang kejadian tertentu, maka debit bulanan dari hasil perhitungan rata-rata aritmetik mempunyai peluang kejadian sekitar 50 dengan periode ulang 4 tahun.
Hidrograf aliran rata-rata bulanan Sungai Konaweha yang merupakan cerminan ketersediaan air rata-rata di DAS Konaweha dipengaruhi oleh curah hujan
yang terjadi di wilayah tersebut. Analisis curah hujan rata-rata bulanan DAS Konaweha dan hidrograf aliran bulanan menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata
105
berkorelasi positif dengan debit aliran sungai. Distribusi bulanan ketersediaan air dan curah hujan bulanan di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 24.
50 100
150 200
250 300
350 400
450 500
Jan Feb
Mar Apr
May Jun
Jul Aug
Sep Oct
Nov Dec
Bulan Ke
tersediaan Air
m3 detik
50 100
150 200
250 300
350 400
450 500
Cu rah Huj
an m m
Debit m3detik Curah Hujan mm
Gambar 24. Distribusi Ketersediaan Air dan Curah Hujan Bulanan di DAS Konaweha Tahun 1993-2009
Gambar 24 memperlihatkan ketersediaan air yang dinyatakan dengan debit rata-rata. Ketersediaan air maksimum berdasarkan peluang kejadian 80 adalah
236 m
3
detik dan minimum sebesar 24 m
3
detik. Angka-angka tersebut merupakan gambaran ketersediaan air aktual di DAS Konaweha. Kecenderungan hidrograf
aliran sungai yang memperlihatkan penurunan debit aliran sungai khususnya dari Bulan Juli, Agustus, September sampai Oktober dijadikan acuan dalam perencanaan
alokasi sumberdaya air. Uraian-uraian terdahulu menunjukkan bahwa hidrograf aliran rata-rata
bulanan Sungai Konaweha dipengaruhi oleh curah hujan rata-rata bulanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Litte et al 2009 bahwa aliran sungai merupakan hasil
interaksi yang kompleks antara faktor terestrial yang meliputi geomorfologi DAS, tipe tanah, vegetasi dan penggunaan lahan dengan faktor-faktor atmosferik seperti
curah hujan, temperatur, kelembaban udara, angin dan lain-lain dimana curah hujan merupakan faktor dominan penyebab variasi ketersediaan air bulanan, musiman dan
tahunan.
106
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa ketersediaan air yang merupakan cerminan dari hidrograf aliran Sungai Konaweha
ditentukan juga oleh curah hujan rata-rata di wilayah tersebut. Dalam kaitannya dengan neraca ketersediaan dan kebutuhan air serta perencanaan alokasi sumberdaya
air, maka hidrograf aliran bulanan yang dihitung dengan peluang kejadian dijadiakan acuan karena mempunyai akurasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan
hidrograf aliran yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik. Berkaitan dengan fokus penelitian yakni hubungan antara perubahan
penggunaan lahan dengan ketersediaan air, maka pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu dititikberatkan pada
hubungan antara perubahan luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar dengan debit minimum. Hal ini disebabkan karena ketersediaan air di
wilayah ini ditentukan oleh debit minimum Sungai Konaweha. Proyeksi debit minimum Sungai Konaweha periode lima tahunan 2011-
2050 menggunakan Persamaan 46 Q
min
= 13 + 0.7 H +0.6 K -3.4 Kc -3.7 Sb
melibatkan variabel luas hutan Persamaan 39: y = 71.26 e
-0.02X
, perkebunan Persamaan 40; y = 10.2 Ln x + 10.3, kebun campuran Persamaan 41; y =
1.67x
0.36
dan semak belukar Persamaan 42; y = 0.88x
0.44
menunjukkan bahwa debit minimum Sungai Konaweha menurun seiring dengan berjalannya waktu.
Penurunan debit minimum Sungai Konaweha akan mempengaruhi ketersediaan air khususnya distribusi bulanan ketersediaan air yang tidak merata. Pada musim hujan
akan terjadi aliran sungai dengan debit yang berlebihan, sedangkan debit aliran sungai musim kemarau tidak mampu mencukupi kebutuhan air sehingga akan terjadi
defisit air. Proyeksi ketersediaan air debit minimum Sungai Konaweha periode 2011-2050 disajikan pada Lampiran 14 dan Gambar 25.
107
14.7 17.3
20.0 23.0
26.2 29.7
33.5 37.6
0.0 10.0
20.0 30.0
40.0
Periode 5 Tahunan dan Luas Hutan Luas DAS Konaweha Hulu
D ebit
M inim
um m
3 det
ik
Luas Hutan 43.2
39.1 35.4
32.0 29.0
26.2 23.7
21.5 Qmin m3detik
37.6 33.5
29.7 26.2
23.0 20.0
17.3 14.7
2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050
Gambar 25. Proyeksi Debit Minimum Q
min
Sungai Konaweha Periode Lima Tahunan 2011-2050
Lampiran 14 Gambar 25 merupakan hasil analisis ketersediaan air atau debit minimum Sungai Konaweha periode 2011-2015 sampai periode 2046-2050. Luas
hutan yang cenderung mengalami penurunan dan diikuti oleh peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar dari waktu ke waktu menyebabkan
penurunan debit minimum selama kurun waktu 2011-2015 hingga periode 2046- 2050. Penurunan luas hutan dari 43,2 pada periode 2011-2015 menjadi 35,4
pada periode 2021-2025 menyebabkan penurunan debit minimum dari 37,6 m
3
detik menjadi 29,7 m
3
detik. Pada kondisi ini maka luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar mengalami peningkatan masing-masing dari 47,9 , 6,0 dan 4,2 .
Penurunan luas hutan pada periode 2046-2050 akan menyebabkan terjadinya aliran sungai dengan debit minimum sebesar 14,7 m
3
detik. Pada kondisi ini maka luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing adalah 52,1 , 7,3
dan 5,3 . Angka-angka tersebut di atas merupakan gambaran ketersediaan air periode lima tahunan di DAS Konaweha.
108
Analisis Kebutuhan Air Kebutuhan Air Domestik
Kebutuhan air domestik ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi air pada suatu wilayah. Tingkat konsumsi air ditentukan oleh kelas sosial
masyarakat dimana semakin tinggi kelas sosial masyarakat semakin tinggi pula konsumsi airnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien kebutuhan air domestik rata- rata adalah 0,48 untuk responden dengan tingkat pendapatan kurang dari 1 juta
rupiah per bulan dan 0,64 untuk responden dengan tingkat pendapatan 1 – 3 juta
rupiah per bulan, sedangkan koefisien kebutuhan air bagi responden dengan tingkat pendapatan lebih dari 3 juta per bulan adalah 0,82. Perhitungan koefisien kebutuhan
air domestik ditentukan berdasarkan hasil survei kebutuhan air di wilayah studi. Hasil survei kebutuhan air wilayah studi dapat dilihat pada Lampiran 15a contoh
tabulasi penentuan koefisien kebutuhan air domestik penduduk kelas sosial tinggi Kota Kendari. Perhitungan koefisien kebutuhan air domestik di wilayah studi
menggunakan Persamaan 13 CP
i
= CAP
i
KAP
i
. Angka-angka koefisien kebutuhan air domestik tersebut merupakan perbandingan atau rasio antara penggunaan air rata-
rata penduduk per kapita per hari dengan kebutuhan air rata-rata per kapita per hari di wilayah penelitian.
Perbedaan nilai koefisien kebutuhan air masing-masing kelas sosial disebabkan oleh perbedaan konsumsi air rata-rata akibat perbedaan tingkat
pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan tingkat pendapatan kurang dari 1 juta rupiah per bulan cenderung menggunakan air air lebih
sedikit karena penggunaan air bagi mereka hanya untuk kebutuhan minum, memasak dan mencuci pakaian. Kebutuhan air untuk mencuci lantai, kendaraan dan menyiram
taman hampir tidak ada karena umumnya tidak memiliki kendaraan bermotor, lantai rumah dari tanah dan semen kasar.
109
Kebutuhan air domestik dipengaruhi oleh jumlah dan pertumbuhan penduduk pada setiap kelas sosial, kelas sosial tingkat pendapatan masyarakat, dan kebutuhan
air rata-rata penduduk. Proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha menggunakan data penduduk
menurut kelas sosial dari tahun 2000 sampai 2009. Data jumlah penduduk DAS Konaweha menurut kelas sosial tahun 2000-2009 disajikan pada Lampiran 15b.
Analisis regresi jumlah penduduk dari tahun 2000-2009 di DAS Konaweha menunjukkan bahwa jumlah penduduk meningkat secara eksponensial dari waktu ke
waktu. Pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha dianalisis menggunakan Persamaan 11 P
t
= P
o
.e
r
. Hasil analisis pola pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha tahun 2000-2009 disajikan pada Gambar 26.
y = 419552
e
0.0156X
R
2
= 0.97
400000 420000
440000 460000
480000 500000
Ta hu
n 2 00
T ah
un 2
00 1
Ta hu
n 2 00
2 Ta
hu n 2
00 3
T ah
un 2
00 4
Ta hu
n 2 00
5 Ta
hu n 2
00 6
Ta hu
n 2 00
7 Ta
hu n 2
00 8
Ta hu
n 2 00
9
J u
m la
h P
e n
d u
d u
k ji
w a
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 26. Pola Pertumbuhan Penduduk di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Diolah dari Lampiran 15b
Gambar 26 merupakan pola pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha dari tahun 2000-2009. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di
DAS Konaweha bersifat eksponensial mengikuti persamaan:
y = 419552 e
0.0156X
49
110
dimana y adalah jumlah penduduk pada waktu t jiwa, x adalah tahun data dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan
logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Persamaan 49 digunakan untuk proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha
dari tahun 2010-2050. Proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha Konaweha tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 15c.
Lampiran 15c menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang memanfaatkan air di DAS Konaweha tahun 2010 adalah 495.760 jiwa. Dari jumlah tersebut maka
penduduk dengan tingkat pendapatan Rp. 1.000.000 per bulan adalah 192.355 jiwa atau 38,8 , sedangkan jumlah penduduk dengan tingkat pendapatan Rp. 1.000.000-
Rp. 3.000.000 per bulan adalah 187.893 jiwa atau 37,9 dan penduduk dengan tingkat pendapatan Rp. 3.000.000 per bulan adalah 115.512 jiwa atau 23,3 BPS
Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010. Proyeksi kebutuhan air domestik dengan Persamaan 12 Y
t
=∑PP
i
x P e
r
x KAP x CP
i
menggunakan data jumlah dan pertumbuhan penduduk di wilayah studi Persamaan 49; y = 419552 e
0.0156X
, nilai koefisien kebutuhan air domestik rata-rata contoh perhitungan Lampiran 15a, proporsi penduduk berdasarkan kelas sosial dan
standar kebutuhan air penduduk WHO, 2009 yakni 110 liter per kapita per hari. Proyeksi kebutuhan air domestik di DAS Konaweha menunjukkan bahwa
kebutuhan air domestik mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Proyeksi kebutuhan air domestik dari 2010-2050 disajikan pada Lampiran 15c, sedangkan
proyeksi kebutuhan air domestik periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Proyeksi Kebutuhan Air Domestik Periode 2011-2050 di DAS Konaweha
Periode Kebutuhan Air juta m
3
Peningkatan juta m
3
2011-2015 13,1
0.8 2016-2020
13,9 0,8
2021-2025 14,8
0,9 2026-2030
15,8 0,9
2031-2035 16,7
1,0 2036-2040
17,8 1,1
2041-2045 18,9
1,1 2046-2050
20,1 1,2
111
Tabel 19 menunjukkan bahwa kebutuhan air rata-rata sektor domestik di DAS Konaweha meningkat dari waktu ke waktu yakni 13,1 juta m
3
pada periode 2011-2015 menjadi 15,8 juta m
3
pada periode 2026-2030. Selanjutnya kebutuhan air domestik periode 2036-2040 adalah 17,8 juta m
3
, meningkat menjadi 20,1 juta m
3
pada periode 2046-2050. Kecenderungan peningkatan kebutuhan air domestik disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun dengan laju peningkatan rata-rata sekitar 1,22 per tahun. Selain itu peningkatan kebutuhan air ini juga dipengaruhi
oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat penduduk, dan kebutuhan air rata-rata per kapita penduduk. Tingkat sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat konsumsi
air bagi penduduk dimana semakin tinggi status sosial, maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi airnya. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa tingkat konsumsi air masyarakat kota yang cenderung lebih tinggi dari masyarakat perdesaan karena umumnya tingkat sosial masyarakat kota lebih tinggi
dari tingkat sosial masyarakat perdesaan. Selain itu jumlah anggota keluarga juga mempengaruhi tingkat konsumsi air masyarakat.
Analisis kebutuhan air domestik menunjukkan bahwa distribusi kebutuhan air domestik diasumsikan merata setiap bulan. Berdasarkan hal ini maka perhitungan
kebutuhan air bulanan menggunakan angka kebutuhan air tahunan dibagi dengan jumlah bulan dalam setahun. Distribusi kebutuhan air domestik bulanan dari tahun
2010 sampai 2050 disajikan pada Lampiran 15d.
Kebutuhan Air Industri
Klasifikasi jenis industri di Provinsi Sulawesi Tenggara dibedakan atas dua jenis industri yakni industri kecil dan industri sedang dan besar Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010. Jumlah industri kecil yang terdapat di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan,
dan Kabupaten Kolaka mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali Kota Kendari cenderung mengalami penurunan.
112
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah industri kecil dan industri sedangbesar di DAS Konaweha mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Jumlah industri kecil dan industri sedangbesar di DAS Konaweha dari tahun 2000- 2009 Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010
disajikan pada Lampiran 16a. Lampiran 16a menunjukkan bahwa jumlah industri kecil di DAS Konaweha
tahun 2000 adalah 2.955 unit, meningkat menjadi 3.096 unit pada tahun 2005 dan 3.167 unit pada tahun 2009. Pada tahun 2000 maka jumlah industri sedangbesar di
DAS Konaweha adalah 2 unit, sedangkan tahun 2005 dan 2009 meningkat menjadi 6 unit dan 8 unit.
Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan industri kecil di DAS Konaweha menunjukkan kecenderungan yang positif. Hal ini disebabkan
karena wilayah tersebut merupakan pusat pengembangan pertanian dan perikanan di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Analisis regresi jumlah industri kecil dan industri sedangbesar di DAS Konaweha menunjukkan bahwa pertumbuhan kedua jenis industri tersebut bersifat
eksponensial. Hasil analisis regresi pola pertumbuhan industri kecil di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 27.
y = 2944.1
e
0.0076X
R
2
= 0.98
2800 2900
3000 3100
3200
Ta hu
n 2 00
Ta hu
n 2 00
1 Ta
hu n 2
00 2
Ta hu
n 2 00
3 Ta
hu n 2
00 4
Ta hu
n 2 00
5 Ta
hu n 2
00 6
Ta hu
n 2 00
7 Ta
hu n 2
00 8
Ta hu
n 2 00
9
Ju m
la h
In du
st ri
Ke ci
l u ni
t
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 27. Pola Pertumbuhan Industri Kecil di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Diolah dari Lampiran 16a
113
Gambar 27 menunjukkan bahwa pertumbuhan industri kecil di DAS Konaweha dari tahun 2000 sampai 2009 bersifat eksponensial. Pola pertumbuhan
industri kecil mengikuti persamaan:
y = 2944.1
e
0.0076X
50 dimana y adalah jumlah industri kecil pada waktu t unit, x adalah tahun data
dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818.
Hasil analisis regresi pola pertumbuhan industri sedangbesar di DAS Konaweha menggunakan data Lampiran 16a menunjukkan kecenderungan yang
sama dengan pola pertumbuhan industri kecil. Pola pertumbuhan industri sedangbesar di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 28.
y = 1.9822
e
0.1542X
R
2
= 0.88
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Ta hu
n 2 00
Ta hu
n 2 00
1 Ta
hu n 2
00 2
Ta hu
n 2 00
3 Ta
hu n 2
00 4
Ta hu
n 2 00
5 Ta
hu n 2
00 6
Ta hu
n 2 00
7 Ta
hu n 2
00 8
Ta hu
n 2 00
9
Ju m
la h
I n
d u
st ri
Se d
a n
g Be
sa r
u n
it
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 28. Pola Pertumbuhan Industri SedangBesar di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Diolah dari Lampiran 16a
Gambar 28 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan industri sedangbesar di DAS Konaweha bersifat eksponensial. Hal ini sesuai dengan kecenderungan data
jumlah industri sedangbesar dari tahun 2000 sampai 2009 mengikuti persamaan:
y = 1.9822 e
0.1542X
51
114
dimana y adalah jumlah industri sedangbesar pada waktu t unit, x adalah tahun data dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e
adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Proyeksi kebutuhan air industri tahun 2010-2050 menggunakan hasil
proyeksi jumlah industri kecil Persamaan 50; y = 2944.1
e
0.0076X
dan, proyeksi
industri sedangbesar Persamaan 51; y = 1.9822 e
0.1542X
, koefisien kebutuhan air industri kecil rata-rata di DAS Konaweha yakni 0,41 dan industri sedangbesar
adalah 0,73 Lampiran 16b serta standar kebutuhan air industri kecil 30 m
3
per unit per hari dan industri sedangbesar yakni 200 m
3
per unit per hari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010.
Hasil proyeksi jumlah industri kecil dan industri sedangbesar digunakan untuk proyeksi kebutuhan air industri tahun 2010-2050 berdasarkan Persamaan 14
Y
industri
= ∑PI
j
x I x KAI x CI
j
menggunakan data proyeksi jumlah industri Lampiran 16c, koefisien kebutuhan air industri,Lampiran 16a dan standar
kebutuhan air industri. Berdasarkan hal ini maka proyeksi kebutuhan air industri dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 16c, sedangkan proyeksi kebutuhan air
industri periode lima tahunan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Proyeksi Kebutuhan Air Industri Periode 2011-2050 di DAS Konaweha
Periode Kebutuhan Air juta m
3
Peningkatan juta m
3
2011-2015 15,5
0,7 2016-2020
16,4 0,9
2021-2025 17,4
1,0 2026-2030
18,8 1.3
2031-2035 20,5
1.7 2036-2040
22,7 2.3
2041-2045 25,8
3,1 2046-2050
30,2 4,3
Tabel 20 menunjukkan bahwa kebutuhan air industri di DAS Konaweha cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Kebutuhan air industri periode 2011-
2015 adalah 15,5 juta m
3
dan periode 2021-2025 meningkat menjadi 17,4 juta m
3
.
115
Selanjutnya kebutuhan air industri periode 2026-2030 adalah 18,8 juta m
3
, meningkat menjadi 22,7 juta m
3
pada periode 2036-2040 dan 30,2 juta m
3
pada periode 2046-2050. Kebutuhan air industri periode 2036-2040 adalah 22,7 juta m
3
, meningkat menjadi 25,8 juta m
3
pada periode 2041-2045 dan dan 30,2 juta m
3
pada periode 2046-2050. Peningkatan kebutuhan air industri berkisar antara 0,7 juta m
3
pada periode 2011-2015 menjadi 4,3 juta m
3
pada periode 2046-2050. Sebagian besar kebutuhan air industri diperuntukan bagi pemenuhan
kebutuhan air bagi industri kecil. Sebagai gambaran maka total kebutuhan air industri periode 2016-2020 adalah 16,4 juta m
3
dimana dari angka tersebut, maka sebanyak 15,4 juta m
3
merupakan kebutuhan air industri kecil, sedangkan selebihnya yakni 1,0 juta m
3
untuk kebutuhan air industri sedangbesar.
Distribusi kebutuhan air industri bulanan setiap tahun juga dihitung berdasarkan asumsi yang sama dengan perhitungan distribusi kebutuhan air domestik
bulanan sehingga kebutuhan air industri setiap bulan pada tahun yang sama adalah sama. Hasil proyeksi kebutuhan air industri bulanan di DAS Konaweha dari tahun
2010 sampai 2050 disajikan pada Lampiran 16d.
Kebutuhan Air Irigasi
Hasil penelitian di tiga wilayah untuk menghitung koefisien kebutuhan air irigasi menunjukkan bahwa koefisien kebutuhan air irigasi untuk Kabupaten Konawe
adalah 0,62, Kabupaten Konawe Selatan adalah 0,63 dan Kabupaten Kolaka adalah 0,65. Jika koefisien kebutuhan air irigasi ketiga wilayah ini dirata-ratakan, maka
koefisien kebutuhan air irigasi rata-rata DAS Konaweha adalah 0.63 yang dihitung berdasarkan Persamaan 16 Y
konsumsi
= A x H x F
g
x F
t
, Persamaan 17 H = h
ot
+ h
b
+ h
v
+ h
g
4, persamaan 18 Y
irigasi
= Y
konsumsi
+ lY
konsumsi
dan Persamaan 19 C
irigasi
= Y
irigasi
Y
irigasi
Standar. Contoh penentuan koefisien kebutuhan air irigasi disajikan pada Lampiran 17a.
Luas sawah di DAS Konaweha mengalami peningkatan dari tahun ke tahun akibat pertambahan kebutuhan beras penduduk di Kabupaten Konawe, Konawe
116
Selatan dan Kolaka. Luas sawah di DAS Konaweha tahun 2000-2009 disajikan pada Lampiran 17b.
Lampiran 17b menunjukkan bahwa luas sawah di DAS Konaweha tahun 2000 adalah 21.750 hektar, meningkat menjadi 23.855 hektar pada tahun 2005,
sedangkan tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009 meningkat menjadi 23.980 hektar, 24.250 hektar, 24.330 hektar dan 24.850 hektar.
Analisis regresi pertumbuhan luas sawah di DAS Konaweha tahun 2000 sampai 2009 menggunakan data Lampiran 17b menunjukkan bahwa pola
pertumbuhan luas sawah bersifat eksponensial Gambar 29.
y = 21696e
0.0138X
R
2
= 0.96
20000 21000
22000 23000
24000 25000
Ta hu
n 2 00
Ta hu
n 2 00
1 Ta
hu n 2
00 2
Ta hu
n 2 00
3 Ta
hu n 2
00 4
Ta hu
n 2 00
5 Ta
hu n 2
00 6
Ta hu
n 2 00
7 Ta
hu n 2
00 8
Ta hu
n 2 00
9
Lu as
S aw
ah h
a
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 29. Pola Pertumbuhan Luas Sawah di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Diolah dari Lampiran 17b
Gambar 29 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan luas sawah di DAS Konaweha bersifat eksponensial dan meningkat dari waktu ke waktu mengikuti
persamaan:
y = 21696
e
0.0138X
52 dimana y adalah luas sawah pada waktu t hektar, x adalah tahun data dimana x=1
untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818.
117
Proyeksi luas sawah di DAS Konaweha tahun 2010-2050 menggunakan
Persamaan 52 y=21696
e
0.0138X
disajikan pada Lampiran 17c. Proyeksi kebutuhan air irigasi tahun 2010-2050 menggunakan hasil proyeksi luas sawah Lampiran 17c,
koefisien kebutuhan air irigasi rata-rata yakni 0,633 hasil survei 4 wilayah, Lampiran 17a untuk Kabupaten Kolaka dan standar kebutuhan air irigasi rata-rata
Puslitbang Pengairan, 1999 yakni 1,2 literdetikhektar. Proyeksi kebutuhan air irigasi tahun 2010-2050 di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 17c, sedangkan
proyeksi kebutuhan air irigasi periode lima tahunan disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi Periode 2011-2050 di DAS Konaweha
Periode Kebutuhan Air juta m
3
Peningkatan juta m
3
2011-2015 315,6
18,6 2016-2020
335,3 19,7
2021-2025 356,3
21,0 2026-2030
378,6 22,3
2031-2035 402,2
23,7 2036-2040
427,4 25,1
2041-2045 454,1
26,7 2046-2050
482,5 28,4
Tabel 21 menunjukkan bahwa kebutuhan air irigasi di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 315,6 juta m
3
, meningkat menjadi 335,3 juta m
3
pada periode 2016-2020. Selanjutnya kebutuhan air periode 2021-2025 meningkat
menjadi 356,3 juta m
3
yang mengalami peningkatan pada periode 2026-2030 yakni 378,6 juta m
3
. Selanjutnya kebutuhan air irigasi tahun 2031-2035 adalah 402,2 juta m
3
meningkat menjadi 482,5 juta m
3
pada periode 2046-2050. Berdasarkan hasil penelitian lapangan maka diketahui bahwa kebiasaan
tanam setiap tahun di DAS Konaweha dimulai pada bulan maret sampai juni, kemudian juli dan agustus lahan sawah diberokan, kemudian september sampai
desember merupakan musim penanaman kedua. Berdasarkan kebiasaan ini, maka distribusi kebutuhan air irigasi bulanan dapat dihitung dan hasilnya disajikan pada
Lampiran 17d.
118
Kebutuhan Air yang Menggelontor
Kebutuhan air yang menggelontor merupakan debit sungai yang harus tetap tersedia setiap saat adalah melalui tinggi muka air yang melewati penampang basah
bendungan. Tinggi muka air yang melewati penampang basah dipertahankan hingga batas minimal yakni 10 cm dengan jalan mengatur pintu air yang masuk ke saluran
irigasi. Jika tinggi muka air yang melewati penampang basah bendungan 10 cm maka
debit sungai adalah 7,9 m
3
detik. Jika dikonversi menjadi satuan volume, maka volume air yang harus tetap mengalir di sungai rata-rata adalah 20.5 juta m
3
. Volume air tersebut yang harus tetap menggelontor di sungai agar fungsi sungai
dapat terjaga. Jika dikonversi menjadi volume air selama satu tahun, maka total volume air yang harus tersedia adalah 246 juta m
3
per tahun. Jumlah air tersebut diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan air untuk menjaga fungsi ekonomi dan
ekologi Sungai Konaweha serta kebutuhan lainnya tahun 2009. Air yang menggelontor di Sungai Konaweha juga mensuplai selain kebutuhan
air untuk menjaga fungsi ekologi dan ekonomi transportasi sungai, juga digunakan untuk kebutuhan lain di Kota Kendari yakni kebutuhan air fasilitas umum seperti
rumah ibadah, perkantoran, pembersihan jalan, pasar, dan pemadam kebakaran. Oleh karena itu maka jumlah air yang menggelontor tersebut juga dipengaruhi oleh
dinamika peningkatan kebutuhan air akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi, sehingga kebutuhan air yang menggelontor bersifat dinamis dari
waktu ke waktu. Proporsi jumlah air yang dialokasikan untuk kebutuhan lain non domestik
dan non industri di Kota Kendari adalah sekitar 24 dari total alokasi air setiap tahun PDAM Kota Kendari, 2010. Peningkatan jumlah alokasi kebutuhan lain juga
mengikuti kecenderungan peningkatan kebutuhan air domestik dan industri di Kota Kendari. Perhitungan alokasi kebutuhan lain menggunakan Persamaan 20 DM
Ot
= 0,32D
d
+D
i t
, sedangkan perhitungan kebutuhan air menggelontor menggunakan Persamaan 21 DM
t
= 246 + DM
Ot
.
119
Kebutuhan air yang menggelontor merupakan jumlah dari kebutuhan aliran air untuk memelihara fungsi lingkungan dan fungsi ekonomi sungai yakni 246 juta
m
3
per tahun. Berdasarkan kedua persamaan tersebut maka proyeksi kebutuhan air yang menggelontor dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 18a. Sedangkan
proyeksi kebutuhan air menggelontor periode lima tahunan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22.
Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor Periode 2011-2050 di DAS Konaweha
Periode Kebutuhan Air juta m
3
Kebutuhan Lain juta m
3
2011-2015 255,2
9,2 2016-2020
255,7 9,7
2021-2025 256,3
10,3 2026-2030
257,0 11,0
2031-2035 257,9
11,9 2036-2040
259,0 13,0
2041-2045 260,3
14,3 2046-2050
262,1 16,1
Tabel 22 menunjukkan bahwa kebutuhan air yang harus tetap menggelontor di sungai periode 2011-2015 adalah 255,2 juta m
3
, meningkat menjadi 255,7 juta m
3
pada periode 2016-2020. Selanjutnya kebutuhan air periode 2021-2025 meningkat menjadi 256,3 juta m
3
yang mengalami peningkatan pada periode 2026-2030 yakni 257,0 juta m
3
. Selanjutnya kebutuhan air yang harus menggelontor periode 2031- 2035 adalah 257,9 juta m
3
meningkat menjadi 262,1 juta m
3
pada periode 2046-2050. Distribusi bulanan kebutuhan air yang harus tetap menggelontor setiap tahun
juga dihitung berdasarkan asumsi yang sama dengan perhitungan distribusi kebutuhan air domestik dan kebutuhan air industri bulanan sehingga setiap bulan
pada tahun yang sama maka kebutuhan air yang menggelontor sama besarnya. Distribusi kebutuhan air yang menggelontor di DAS Konaweha dari tahun 2010
sampai 2050 disajikan pada Lampiran 18b.
Kebutuhan Air Total
Total Kebutuhan air di DAS Konaweha diperoleh dari penjumlahan seluruh kebutuhan air yang meliputi kebutuhan air domestik, kebutuhan air industri dan
120
kebutuhan air irigasi yang dihitung dari hasil proyeksi kebutuhan air tahun 2010- 2050 untuk masing-masing sektor ditambah dengan volume air yang harus tetap
menggelontor agar fungsi ekologi dan fungsi ekonomi sungai dapat terjaga. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kebutuhan air total meningkat dari tahun ke tahun.
Kebutuhan air total di DAS Konaweha dari tahun 2010-2050 merupakan penjumlahan dari kebutuhan air domestik Lampiran 15c, kebutuhan air industri
Lampiran 16c, kebutuhan air irigasi Lampiran 17c dan kebutuhan air yang menggelontor Lampiran 18a dan hasilnya disajikan pada Lampiran 19a, sedangkan
kebutuhan air total periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Proyeksi Kebutuhan Air Total Periode 2011-2050 di DAS Konaweha
Periode Kebutuhan Air Total juta m
3
Peningkatan juta m
3
2011-2015 599,4
20,6 2016-2020
621,4 22,0
2021-2025 644,9
23,5 2026-2030
670,1 25,2
2031-2035 697,4
27,2 2036-2040
726,9 29,5
2041-2045 759,2
32,3 2046-2050
794,8 35,7
Tabel 23 menunjukkan bahwa kebutuhan air total di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 599,4 juta m
3
yang bersumber dari kebutuhan air domestik sebesar 13,1 juta m
3
, industri sebesar 15,5 juta m
3
, irigasi sebesar 315,6 juta m
3
dan air yang harus menggelontor sebesar 255,2 juta m
3
. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan air total mengalami peningkatan sehingga pada periode 2046-2050
kebutuhan air total menjadi 794,8 juta m
3
yang merupakan kontribusi dari sektor domestik sebesar 20,1 juta m
3
, sektor industri sebesar 30,2 juta m
3
, dan irigasi sebesar 482,5 juta m
3
dan air yang menggelontor di sungai sebesar 262,1 juta m
3
. Peningkatan kebutuhan air total di DAS Konaweha disebabkan oleh
peningkatan kebutuhan air sektor domestik, industri dan irigasi. Kontribusi masing- masing sektor terhadap peningkatan kebutuhan air total dipengaruhi oleh
pertambahan jumlah penduduk, industri dan pertambahan luas sawah di DAS
121
Konaweha. Masing-masing sektor memberikan kontribusi berbeda terhadap pertambahan jumlah kebutuhan air total.
Distribusi bulanan kebutuhan air total di DAS Konaweha menunjukkan bahwa kebutuhan air selama 8 bulan mencapai angka tertinggi yakni maret-juni dan
september-desember. Distribusi bulanan kebutuhan air total di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 19b.
Lampiran 19b menunjukkan bahwa kebutuhan air total tertinggi dicapai pada periode Bulan Maret-Juni dan periode Bulan September-Desember karena pada
bulan-bulan tersebut merupakan waktu untuk alokasi kebutuhan air irigasi. Sebaliknya kebutuhan air total bulan Januari, Pebruari, Juli dan Agustus mencapai
angka terendah karena pada bulan-bulan tersebut alokasi air hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri.
Distribusi kebutuhan air total di DAS Konaweha dikonversi ke dalam debit dengan satuan m
3
detik untuk tujuan penyeragaman dengan satuan distribusi debit sungai atau ketersediaan air. Hasil konversi distribusi kebutuhan air total di DAS
Konaweha tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 19c. Lampiran 19c merupakan distribusi kebutuhan air total setiap bulan di DAS
Konaweha dari tahun 2010-2050. Sebagai contoh maka distribusi kebutuhan air total tahun 2025 adalah sebagai berikut: pada Bulan Januari, Pebruari, Juli dan Agustus
masing-masing 8,98 m
3
detik. Kebutuhan air untuk Bulan Maret, Mei, Oktober dan Desember adalah 25,61 m
3
detik. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan air di DAS Konaweha baik kebutuhan
air bulanan maupun tahunan untuk sektor domestik, industri dan irigasi, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan air di wilayah ini cukup besar sehingga suatu saat
suplai air tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan air ketiga sektor tersebut. Peningkatan kebutuhan air ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan
peningkatan taraf hidup masyarakat Abaje, Ati and Ishaya, 2009. Lebih lanjut Fares 2003 menjelaskan bahwa peningkatan populasi penduduk yang dibarengi
122
dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat akan menyebabkan kebutuhan air akan meningkat dengan cepat pula.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan air di DAS Konaweha dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk, industri dan
pertambahan luas sawah. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya kebutuhan air adalah faktor rendahnya efisiensi alokasi sumberdaya air. Kehilangan air yang
dialokasikan untuk kebutuhan domestik dan industri di DAS Konaweha berkisar antara 10-15 PDAM Kota Kendari, 2010, sedangkan kehilangan air irigasi
berkisar antara 10-20 Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010.
Peningkatan efisiensi alokasi sumberdaya air merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air sektor domestik, industri dan irigasi di
wilayah tersebut. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Dziegielewski 2003 bahwa pengelolaan kebutuhan air dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi penggunaan
air dan peningkatan efisiensi alokasi air melalui penyadaran konsumen akan pentingnya penghematan penggunaan air dan perbaikan fasilitas sumberdaya air oleh
pihak-pihak terkait. Selanjutnya Seckler et al 1998 mengemukakan bahwa sekitar 50 peningkatan kebutuhan air hingga tahun 2025 tercermin dari peningkatan
efektivitas irigasi. McWhinney 2005 mengembangkan model pengelolaan ketersediaan dan kebutuhan air water supply demand management yang dikenal
dengan WELS water efficiency labelling and standards dengan titik berat pada peningkatan efisiensi penggunaan dan alokasi air. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
strategi dan kebijakan pengelolaan ketersediaan dan kebutuhan air Manoli, et al., 2005; Biswas and Tortajada, 2010 adalah sebagai berikut : 1 meningkatkan suplai
air bersih melalui pemanfaatan secara optinal potensi sumberdaya air yang ada, 2 pengelolaan kebutuhan air melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan air, 3
pengembangan bidang sosial melalui perbaikan kebijakan pengelolaan air, dan 4 kebijakan institusi pengelolaan air melalui penetapan harga air, biaya pemeliharaan
dan sistem insentif.
123
Lebih lanjut dijelaskan bahwa analisis distribusi bulanan kebutuhan air total di DAS Konaweha Lampiran 19c difokuskan pada kebutuhan air musim kemarau.
Hal ini disebabkan titik kritis pemenuhan kebutuhan air adalah debit minimum yang terjadi pada musim kemarau. Kebutuhan air total musim kemarau di DAS
Konaweha disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Proyeksi Kebutuhan Air Total Musim Kemarau Periode 2011-2050 di
DAS Konaweha Periode
Kebutuhan Air Total Musim Kemarau m
3
detik 2011-2015
24,0 2016-2020
25,0 2021-2025
26,0 2026-2030
27,2 2031-2035
28,4 2036-2040
29,7 2041-2045
31,1 2046-2050
32,7 Tabel 24 menunjukkan bahwa kebutuhan air total musim kemarau periode
2011-2015 di DAS Konaweha adalah 24,0 m
3
detik, akan meningkat menjadi 27,2 m
3
detik pada periode 2026-2030. Kebutuhan air total musim kemarau periode 2036-2040 adalah 29,7 m
3
detik akan meningkat menjadi 32,7 m
3
detik pada periode 2046-2050.
Angka-angka tersebut di atas memberikan gambaran tentang jumlah air minimal yang harus terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan air tersebut bersumber dari
debit minimum yang merupakan gambaran ketersediaan air musim kemarau sebagaimana disajikan pada Gambar 25 terdahulu.
Proporsi Luas Hutan Minimal untuk Memenuhi Kebutuhan Air
Proporsi luas di dalam suatu DAS sangat tergantung dari jumlah air yang harus dipasok untuk memenuhi kebutuhan air di DAS tersebut khususnya kebutuhan
air pada musim kemarau. Jumlah kebutuhan air di dalam suatu DAS ditentukan oleh jenis dan jumlah sektor yang memanfaatkan air.
124
Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan adalah luas hutan yang dapat menghasilkan debit minimum lebih besar atau sama dengan kebutuhan air.
Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan merupakan nilai relatif yang tergantung dari berapa jumlah
kebutuhan air yang harus terpenuhi oleh debit minimum yang dihasilkan akibat mempertahankan luas hutan dengan luas tertentu.
Hasil analisis ketersediaan air musim kemarau menggunakan Persamaan 46 Q
min
= 13 + 0.7 H + 0.6 K - 3.4 Kc - 3.7 Sb dari periode 2011-2050 Lampiran 14 dan Gambar 25 menunjukkan bahwa ketersediaan air musim kemarau
periode 2011-2015 adalah 37,6 m
3
detik, akan menurun menjadi 26,2 m
3
detik pada periode 2026-2030. Nilai ketersediaan air tersebut akan menurun terus hingga
mencapai angka 20,0 m
3
detik pada periode 2036-2040 dan 14,7 m
3
detik pada periode 2046-2050.
Hasil analisis distribusi kebutuhan air musim kemarau menggunakan Persamaan 22 Yd
i
= Yd
tahunan
n, Persamaan 23 Yi
j
= Yi
tahunan
n, dan Persamaan 24 Ys
k
= Ys
tahunan
2m disajikan pada Lampiran 19a, Lampiran 19c dan Tabel 24 menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan air musim kemarau periode 2011-2015
adalah 24,0 m
3
detik, akan meningkat menjadi 27,2 m
3
detik pada periode 2026- 2030. Pada periode 2036-2040 maka kebutuhan air meningkat lagi menjadi 29,7
m
3
detik dan 32,7 m
3
detik pada periode 2046-2050. Analisis neraca ketersediaan dan kebutuhan air menggunakan data proyeksi
ketersediaan air debit minimum Gambar 25 dan data proyeksi kebutuhan air musim kemarau Tabel 24 menunjukkan bahwa pada periode 2026-2030 akan
terjadi defisit air di DAS Konaweha. Neraca ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Konaweha periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 25.
125
Tabel 25. Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Air di DAS Konaweha Periode 2011-2050
Periode Ketersediaan Air
S m
3
detik Kebutuhan Air
D m
3
detik S-D
m
3
detik Status
2011-2015 37,6
24,0 13,7
Surplus 2016-2020
33,5 25,0
8,6 Surplus
2021-2025 29,7
26,0 3,7
Surplus 2026-2030
26,2 27,2
-0,9 Defisit
2031-2035 23,0
28,4 -5,4
Defisit 2036-2040
20,0 29,7
-9,6 Defisit
2041-2045 17,3
31,1 -13,8
Defisit 2046-2050
14,7 32,7
-17,9 Defisit
Tabel 25 menunjukkan bahwa ketersediaan air S pada periode 2011-2025 lebih besar dari kebutuhan air D atau dengan kata lain status neraca air masih
surplus. Nilai surplus pada air pada periode tersebut masing-masing sebesar 13,7 m
3
detik periode 2011-2015, 8,6 m
3
detik periode 2016-2020 dan 3,7 m
3
detik periode 2021-2025. Pada periode 2026-2050 maka ketersediaan air tidak
mencukupi kebutuhan air atau dengan kata lain terjadi defisit air. Nilai defisit air pada periode tersebut adalah 0,9 m
3
detik periode 2026-2030, 5,4 m
3
detik periode 2031-2035, 9,6 m
3
detik periode 2036-2040, 13,8 m
3
detik periode 2041-2045 dan 17,9 m
3
detik periode 2046-2050. Tabel 25 memberikan gambaran bahwa neraca air di DAS Konaweha akan
terjadi defisit pada periode 2026-2030. Periode inilah yang menjadi titik kritis dalam menentukan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa kurva ketersediaan air atau debit minimum Gambar 25, kebutuhan air musim kemarau Tabel 24, neraca ketersediaan dan
kebutuhan air Tabel 25 dan proyeksi jumlah penduduk periode 2011-2050 digunakan untuk menentukan proporsi luas hutan minimal yang dapat menjamin
ketersediaan sumberdaya air di DAS KonawehaGambar 30.
126
10 20
30 40
50
Periode 5 Tahunan, Luas Hutan Luas DAS Konaweha Hulu dan Jumlah Penduduk x 100000 jiwa
K e
te rsed
iaa n
A ir
m 3
d e
tik
10 20
30 40
50
K e
b u
tu h
a n
A ir
M 3
d e
tik
Ketersediaan m3detik 37.6
33.5 29.7
26.2 23.0
20.0 17.3
14.7 Kebutuhan Air m3detik
24.0 25.0
26.0 27.2
28.4 29.7
31.1 32.7
Luas Hutan 43.2
39.1 35.4
32.0 29.0
26.2 23.7
21.5 Jumlah Penduduk x 100000 jiwa
5.1 5.5
5.8 6.2
6.7 7.0
7.4 7.9
2011-2015 2016-2020
2021-2025 2026-2030
2031-2035 2036-2040
2041-2045 2046-2050
A B
C D
E
F
Gambar 30. Kurva Ketersediaan dan Kebutuhan Air Periode 2011-2050 di DAS Konaweha
Gambar 30 menunjukkan bahwa titik perpotongan antara kurva ketersediaan dan kebutuhan air terjadi pada periode 2026-2030. Pada kondisi ini maka terjadi titik
keseimbangan antara ketersediaan air S dan kebutuhan air D atau ketersediaan air sama dengan kebutuhan air.
Apabila titik keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air titik B pada Gambar 30 ditarik garis tegak lurus dari sumbu kebutuhan air garis AB dan
dari titik B ditarik garis tegak lurus sumbu luas hutan dan jumlah penduduk garis BC, maka garis tersebut akan memotong sumbu luas hutan pada titik C dengan nilai
sekitar 32,5 interpolasi antara 32,0-35,4. Pada kondisi ini maka luas hutan 32,5 akan mampu menghasilkan air untuk memenuhi kebutuhan sektor domestik,
industri dan irigasi bagi penduduk sekitar 620.000 jiwa. Jika proporsi luas hutan yang dipertahankan minimal 35,0 dari luas DAS
Konaweha Hulu, maka diperkirakan debit minimum yang dihasilkan hanya akan mampu memenuhi kebutuhan air sekitar 700.000 jiwa penduduk pada periode 2036-
127
2040 sehingga untuk pemenuhan kebutuhan air periode 2041-2045 dan periode 2046-2050 masih perlu menambah proporsi luas hutan.
Jika ditarik garis tegak lurus dari sumbu kebutuhan air yang melalui titik kebutuhan air periode 2046-2050 dan memotong garis ketersediaan air di titik E
garis DE, kemudian dari titik E ditarik garis tegak lurus yang memotong sumbu luas hutan dan jumlah penduduk di titik F garis EF, maka garis tersebut akan
memotong sumbu luas hutan pada angka sekitar 37,5 interpolasi antara 35,4- 39,1. Ini berarti bahwa luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk
menghasilkan air yang dapat memenuhi kebutuhan air hingga periode 2046-2050 adalah 37,5 dari luas DAS Konaweha Hulu.
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka disimpulkan bahwa proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan guna memenuhi kebutuhan air di DAS
Konaweha adalah 32,5-37,5 dari luas DAS Konaweha Hulu. Proporsi luas hutan tersebut akan menghasilkan debit minimum yang mampu memenuhi kebutuhan air
periode 2026-2050. Nilai tersebut di atas cukup rasional untuk kondisi saat ini dimana kebutuhan
air semakin meningkat dari waktu ke waktu. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengharuskan untuk mempertahankan minimal 30 luas
DAS sebagai kawasan hutan juga dianggap relevan dengan proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan di DAS Konaweha. Namun demikian angka
32,5-37,5 tersebut bukan merupakan angka absolut melainkan angka relatif yang besarannya masih perlu dikaji lebih mendalam dari berbagai perspektif.
Valuasi Ekonomi Air dan Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS
Fakta yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa tidak ada alokasi pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS bagi kabupatenkota yang memperoleh manfaat ekonomi
dari DAS Konaweha. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya regulasi yang mengatur mekanisme dan tata cara alokasi pembiayaan pemeliharaan fungsi
DAS, disamping itu pemerintah daerah yang wilayahnya masuk ke dalam DAS
128
Konaweha belum mengetahui proporsi yang harus dibayarkan sehubungan dengan air yang digunakan.
Nilai ekonomi air yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan industri di DAS Konaweha mencapai angka yang tertinggi jika dibandingkan dengan nilai
ekonomi air yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan irigasi. Perhitungan nilai ekonomi air berdasarkan sektor menggunakan Persamaan 25 TEA
= TEA
d
+ TEA
i
+ TEA
s
dan Persamaan 26 TEA = D
d
P
d
+ D
i
P
i
+ D
s
P
s
. Data yang digunakan adalah data kebutuhan air domestik Lampiran 15c, kebutuhan air
industri Lampiran 16c, kebutuhan air irigasi Lampiran 17c, dan harga satuan air untuk kebutuhan domestik dan industri sesuai standar PDAM Rp. 3.755 per m
3
dan harga satuan air irigasi sesuai dengan nilai rata-rata kesediaan untuk membayar Rp.
15,32 per m
3
. Hasil perhitungan nilai ekonomi air berdasarkan sektor di DAS Konaweha dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 20. Proyeksi nilai
ekonomi air menurut sektor periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Nilai Ekonomi Air berdasarkan Sektor di DAS Konaweha Periode 2011-
2050 Periode
Domestik Milyar
Rupiah Industri
Milyar Rupiah
Irigasi Milyar
Rupiah Total Milyar
Rupiah 2011-2015
49,25 58,34
4,84 112,42
2016-2020 52,35
61,59 5,14
119,07 2021-2025
55,64 65,52
5,46 126,62
2026-2030 59,14
70,45 5,80
135,39 2031-2035
62,86 76,83
6,16 145,86
2036-2040 66,82
85,34 6,55
158,71 2041-2045
71,03 96,99
6,96 174,97
2046-2050 75,50
113,26 7,39
196,15 Tabel 26 menunjukkan bahwa total nilai ekonomi air di DAS Konaweha
periode 2011-2015 adalah 112,42 milyar rupiah yang merupakan jumlah dari nilai ekonomi air sektor domestik sebesar 49,25 milyar rupiah, industri sebesar 58,34
milyar rupiah dan irigasi sebesar 4,84 milyar rupiah. Selanjutnya periode 2021-2025 meningkat menjadi 126,62 milyar rupiah yang merupakan jumlah dari sektor
129
domestik sebesar 55,64 milyar rupiah, 65,52 milyar rupiah dari sektor industri dan irigasi sebesar 5,46 milyar rupiah. Nilai ekonomi air periode 2041-2045 adalah
174,97 milyar rupiah yang merupakan nilai kumulatif sektor domestik, industri dan irigasi dengan nilai masing-masing 71,03 milyar rupiah, 96,99 milyar rupiah dan
6,96 milyar rupiah. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa total nilai ekonomi air untuk kebutuhan industri mencapai proporsi tertinggi yakni 63,4 , sedangkan
kebutuhan air domestik dan irigasi masing-masing sebesar 32,5 dan 4,1 . Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai ekonomi air yang
dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan irigasi di DAS Konaweha periode 2011- 2015 adalah 4,84 milyar rupiah. Angka tersebut hampir sama dengan hasil
perhitungan nilai ekonomi air irigasi di DAS Way Betung tahun 2009 yakni 4,24 milyar rupiah. Sedangkan nilai ekonomi air untuk kebutuhan domestik di DAS
Konaweha adalah 49,25 milyar rupiah pada periode 2011-2015, sedangkan nilai ekonomi untuk kebutuhan domestik PDAM Kota Bandar Lampung yang bersumber
dari DAS Way Betung tahun 2009 adalah 38,06 milyar rupiah. Nilai ekonomi air untuk kebutuhan air industri di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 58,34
milyar rupiah. Nilai tersebut hampir sama dengan nilai ekonomi air minum dalam kemasan di DAS Way Betung tahun 2009 yakni 55,43 milyar rupiah Yuwono,
2011. Angka-angka tersebut masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penilaian manfaat hidrologis Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa
Barat untuk nilai ekonomi air rumah tangga menggunakan metode biaya perjalanan travel cost method yakni 4,34 milyar rupiah per tahun Darusman, 1993. Hasil
penilaian nilai manfaat hidrologis Gunung Ceremai untuk sektor rumah tangga menggunakan metode biaya pengadaan demand curve yakni 3,34 milyar rupiah per
tahun Ramdan, 2006. Perbedaan tersebut di atas diduga disebabkan oleh perbedaan metode penilaian dan cakupan wilayah penilaian.
Proporsi nilai ekonomi air masing-masing sektor menunjukkan perbedaan yang cukup besar dimana kebutuhan air industri mencapai angka tertinggi, kemudian
kebutuhan air domestik dan terendah adalah nilai ekonomi air irigasi. Fakta ini bertentangan dengan jumlah kebutuhan air dimana kebutuhan air irigasi mencapai
130
angka tertinggi. Hal ini disebabkan karena penilaian harga air menggunakan pendekatan dan satuan yang berbeda. Untuk kebutuhan air domestik dan industri
menggunakan pendekatan harga pasar standar PDAM dengan harga satuan Rp.3.755 per m
3
, sedangkan kebutuhan air irigasi menggunakan pendekatan kemauan untuk membayar WTP dengan harga satuan air Rp. 15,32 per m
3
. Nilai WTP bagi masyarakat yang memanfaatkan air dari DAS Konaweha sebagai sumber air irigasi
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Hal ini sejalan dengan Adenike dan Titus 2009 bahwa nilai WTP bagi masyarakat pengguna air berhubungan erat
dengan tingkat pendapatan masyarakat. Perhitungan nilai ekonomi air di DAS Konaweha menurut wilayah
kabupatenkota dilakukan menggunakan Persamaan 27 TEA
m
=D
dm
P
d
+D
im
P
i
+D
sm
P
s
. Data yang digunakan adalah proporsi penduduk masing-masing kabupatenkota,
proporsi industri kecil dan industri sedangbesar masing-masing kabupatenkota dan proporsi luas sawah masing-masing kabupatenkota PBS Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2010, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010 dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010.
Selain itu maka digunakan data kebutuhan air masing-masing sektor Lampiran 15c, Lampiran 16c dan Lampiran 17c. Proyeksi nilai ekonomi air menurut wilayah dari
tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 21, sedangkan nilai ekonomi air rata-rata periode 2011-2015 disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27. Proyeksi Nilai Ekonomi Air di DAS Konaweha Menurut Wilayah Periode 2011-2050
Periode Konawe
Milyar Rp Konsel
Milyar Rp Kolaka
Milyar Rp Kendari
Milyar Rp Total
Milyar Rp 2011-2015
32,05 15,38
23,65 41,34
112,42 2016-2020
33,96 16,26
25,02 43,83
119,07 2021-2025
36,11 17,30
26,61 46,60
126,62 2026-2030
38,58 18,54
28,52 49,75
135,39 2031-2035
41,50 20,09
30,88 53,39
145,86 2036-2040
45,03 22,06
33,90 57,73
158,71 2041-2045
49,44 24,66
37,86 63,02
174,97 2046-2050
55,10 28,17
43,22 69,67
196,15
131
Tabel 27 menunjukkan bahwa nilai ekonomi air periode 2011-2015 di DAS Konaweha adalah 112,42 milyar rupiah yang terdiri dari 41,34 milyar rupiah untuk
Kota Kendari, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka masing- masing sebesar 32,05 milyar rupiah, 15,38 milyar rupiah dan 23,65 milyar rupiah.
Pada periode 2021-2025 maka nilai ekonomi air di wilayah ini adalah 126,62 milyar rupiah dimana Kota Kendari memperoleh nilai 46,60 milyar rupiah, Kabupaten
Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka masing-masing sebesar 36,11 milyar rupiah, 17,30 milyar rupiah dan 26,61 milyar rupiah. Selanjutnya periode
2046-2050 adalah 196,15 milyar rupiah yang terdiri dari masing-masing 69,67 milyar rupiah Kota Kendari, 55,10 milyar rupiah Kabupaten Konawe, 28,17
milyar rupiah Konawe Selatan dan 43,22 milyar rupiah Kolaka. Nilai ekonomi air periode 2011-2015 adalah 112,42 milyar rupiah, sedangkan
periode 2016-2020 adalah 119,07 milyar rupiah. Nilai-nilai tersebut hampir sama dengan total nilai ekonomi air DAS Way Betung tahun 2009 yakni sebesar 101,04
milyar rupiah yang merupakan kontribusi dari PDAM sebesar 38,06 milyar rupiah, wisata sebesar 5,25 milyar rupiah, air minum dalam kemasan AMDK sebesar 55,43
milyar rupiah, rumah tangga hulu sebesar 2,89 milyar rupiah dan sektor irigasi sebesar 4,24 milyar rupiah Yuwono, 2011. Perbedaan nilai tersebut diduga karena
perbedaan komponen yang dinilai. Nilai ekonomi air di DAS Konaweha hanya menilai tiga komponen yakni domestik, industri dan irigasi, sedangkan nilai ekonomi
air di DAS Way Betung memperhitungkan nilai ekonomi air dari sektor wisata dan air minum dalam kemasan. Selain itu pemanfaatan air di DAS Konaweha sebagian
besar untuk memenuhi kebutuhan irigasi, sementara harga satuan air irigasi relatif rendah akibat rendahnya nilai kemauan untuk membayar air yang digunakan untuk
irigasi yakni hanya Rp. 15,32 per m
3
. Disamping itu perbedaan nilai ekonomi juga diduga akibat perbedaan metade penilaian dan cakupan wilayah yang dinilai.
Jika memperhatikan angka-angka tersebut di atas maka nilai manfaat ekonomi air untuk kebutuhan domestik, industri dan irigasi di DAS Konaweha
menurut kabupatenkota, maka Kota Kendari mencapai proporsi tertinggi, kemudian Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan.
132
Analisis proporsi nilai ekonomi air masing-masing kabupatenkota dihitung menggunakan Persamaan 28 PB
m
= TEA
m
TEA, data proyeksi nilai ekonomi air menurut sektor Lampiran 20 dan data proyeksi nilai ekonomi air menurut wilayah
Lampiran 21. Proyeksi proporsi nilai ekonomi air masing-masing kabupatenkota tahun 2010-2050 di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 22.
Berdasarkan Lampiran 22 maka diketahui bahwa sekitar 37 manfaat ekonomi air di DAS Konaweha diperoleh Kota Kendari, 28 Kabupaten Konawe,
21 Kabupaten Kolaka dan 14 Kabupaten Konawe Selatan. Tingginya proporsi manfaat ekonomi yang diterima Kota Kendari disebabkan karena tingginya proporsi
penduduk yang memanfaatkan air yakni sekitar 52,5 dari total penduduk yang memanfaatkan air di DAS Konaweha, sementara proporsi penduduk Kabupaten
Konawe hanya sekitar 28,7 , Kabupaten Kolaka 11,7 dan Kabupaten Konawe Selatan hanya sekitar 7,1 . Selain itu proporsi jumlah industri cukup tinggi yakni
72,7 untuk industri sedangbesar dan 19,1 untuk industri kecil, sementara itu proporsi luas sawah hanya sekitar 1,6 . Proporsi manfaat ekonomi air untuk
kebutuhan domestik, industri dan irigasi untuk Kabupaten Konawe juga cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena wilayah ini merupakan pusat pengembangan
tanaman padi sawah di Sulawesi Tenggara. Prinsip penentuan proporsi tanggung jawab pembiayaan pemeliharaan fungsi
DAS bagi kabupatenkota adalah PES payment of environmental services yakni siapa saja yang memanfaatkan jasa lingkungan diwajibkan membayar. Perhitungan
proporsi tanggung jawab tersebut menggunakan Persamaan 29 B
mt
= 0,1 TEAxPB
m
. Berdasarkan hal tersebut maka proporsi biaya yang menjadi tanggung jawab Kota
Kendari adalah 37 sebagaimana proporsi manfaat ekonomi yang diperoleh dari penggunaan air yang bersumber dari DAS Konaweha, sedangkan Kabupaten
Konawe sebesar 28 , sementara Kabupaten Kolaka dan Konawe Selatan masing- masing sebesar 21 dan 14 dari total biaya pemeliharaan fungsi DAS Konaweha
Lampiran 23 dan Gambar 31.
133
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
110 120
Konawe Konsel
Kolaka Kendari
Nilai E
kon o
mi Air d
an Biaya P
emelihar aa
n Fu
n g
si DAS
milyar Rp
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
P ro
p o
rsi Biay
a P emelihar
aa n
Fu n
g si
DAS
Nilai Ekonomi Air milyar Rp Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS
Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS milyar Rp
Gambar 31. Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS KabupatenKota di DAS Konaweha 10 Nilai Manfaat Ekonomi Air KabupatenKota Periode 2046-
2050
Lampiran 23 dan Gambar 31 menunjukkan bahwa nilai ekonomi air masing- masing kabupatenkota tahun 2050 di DAS Konaweha adalah 69,67 milyar rupiah
untuk Kota Kendari, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka masing-masing sebesar 55,10 milyar rupiah, 28,17 milyar rupiah dan 43,22 milyar
rupiah. Dari angka-angka tersebut maka biaya pemeliharaan fungsi DAS yang menjadi kewajiban masing-masing wilayah pada tahun 2050 dapat dihitung dengan
asumsi bahwa 10 nilai ekonomi air yang diterima harus dibayarkan untuk memelihara fungsi DAS. Berdasarkan hal ini maka Kota kendari harus membayar
sebesar 6,97 milyar rupiah, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka masing-masing sebesar 5,51 milyar rupiah, 2,82 milyar rupiah dan 4,32
milyar rupiah pada tahun 2050. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Kota Kendari harus membayar
lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka. Hal ini sangat rasional karena Kota Kendari memperoleh nilai
manfaat ekonomi air yang bersumber dari DAS Konaweha, lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Fakta ini sejalan dengan proporsi
manfaat ekonomi air yang diperoleh dimana Kota Kendari mencapai proporsi tertinggi yakni 37 , Konawe 28 , Kolaka 21 dan Konawe Selatan 14 .
134
Pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha yang menjadi tanggung jawab masing-masing kabupatenkota dan dapat direalisasikan melalui:
1. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD kabupatenkota melalui dana alokasi khusus DAK sektor kehutanan dan pertanian. Besarnya
DAK rata-rata kabupatenkota di wilayah DAS Konaweha berkisar antara Rp. 30 milyar sampai Rp. 50 milyar per tahun. Angka tersebut harus dialokasikan untuk
membiayai tidak kurang dari delapan sektor termasuk sektor kehutanan dan lingkungan hidup. Sekitar 40 dari DAK dialokasikan untuk pemeliharaan
infrastruktur pelayanan publik, sedangkan alokasi untuk sektor kehutanan dan lingkungan hidup hanya sekitar 8 BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha dari DAK tidak memungkinkan untuk diterapkan.
2. Penggalangan dana masyarakat melalui penarikan pajak air sebesar 10 dari nilai manfaat ekonomi air yang diterima oleh pemakai air. Cara ini kemungkinan
akan efektif jika regulasi yang diterapkan didukung dengan sosialisasi dan penyadaran kepada seluruh pemangku kepentingan di daerah.
3. Menerapkan sistem insentif hulu-hilir melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan payment of environmental services.
Ketiga cara tersebut memerlukan regulasi yang mengatur kesepakatan tentang mekanisme pembayaran dan besaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing
wilayah. Oleh karena itu maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dapat memfasilitasi penyusunan regulasi yang mengatur mekanisme tersebut di atas.
Alternatif Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Valuasi Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu
Manfaat ekonomi hutan yang dinilai di dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi hasil hutan non kayu, meliputi: flora rotan dan fauna madu, penyerapan
karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan. Manfaat ekonomi hutan yang dinilai seperti flora dan fauna, penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan
135
dan nilai keberadaan telah diteliti sebelumnya di tempat lain seperti di Kalimantan Barat Yunus, 2005, Jambi Rosalina, 2001, Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango Jawa Barat Darusman, 1993 dan Taman Nasional Gunung Ceremai Ramdan, 2006.
Analisis nilai ekonomi total hasil hutan non kayu di DAS Konaweha menggunakan Persamaan 37 NET = NTLF + NCS + NMPT + NMTW + NMTK.
Hasil analisis menunjukkan bahwa total nilai ekonomi hasil hutan non kayu di DAS Konaweha adalah Rp. 14.974.617 per hektar sebagaimana disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28. Total Nilai Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu di DAS Konaweha Tahun 2009
No. Komponen
Nilai Ekonomi RpHa 1. Rotan
672.000 2. Madu
220.950 3. Karbon
13.351.500 4. Nilai pilihan option value
198.000 5. Nilai warisan bequest value
248.417 6. Nilai keberadaan existence value
283.750
Total 14.974.617
Keterangan
:
1. Rotan dihitung pada kondisi basah dengan harga satuan per maret 2010 = Rp. 80.000 per 100 kg. 2. Madu dihitung menggunakan satuan kg dengan harga satuan per maret 2010 = Rp. 45.000 per kg.
Tabel 28 menunjukkan bahwa total nilai ekonomi hasil hutan non kayu di DAS Konaweha adalah Rp. 14.974.617 per hektar yang terdiri dari nilai ekonomi
rotan sebesar Rp.672.000 per hektar Lampiran 24a dan Lampiran 24b, nilai ekonomi madu sebesar Rp. 221.033 per hektar Lampiran 25a dan Lampiran 25b,
karbon sebesar Rp. 13.351.500 per hektar Lampiran 26a dan Lampiran 26b, nilai pilihan Lampiran 27, nilai warisan Lampiran 28 dan nilai keberadaan Lampiran
29 masing-masing sebesar Rp. 198.000 per hektar, Rp. 248.417 per hektar dan Rp. 283.750 per hektar. Nilai ekonomi rotan dengan pendekatan produktivitas
pengumpul disajikan pada Lampiran 35a dan Lampiran 35b.
Lampiran 24a dan Lampiran 24b menunjukkan bahwa nilai produktivitas pengumpul dan pemegang izin pengolahan rotan di DAS Konaweha adalah 0,84 ton
136
per hektar. Nilai ini diperoleh dari nilai produktivitas pengumpul dan pengolah rotan di Kecamatan Abuki sebesar 0,86 ton per hektar, Kecamatan Latoma sebesar 0,86
ton per hektar, Kecamatan Sampara dengan nilai produktivitas sebesar 0,74 ton per hektar, Kecamatan Lambuya sebesar 0,91 ton per hektar, Kecamatan Unaaha dan
Wawotobi masing-masing sebesar 0,84 ton per hektar dan 0,76 ton per hektar. Berdasarkan nilai produktivitas tersebut, maka nilai ekonomi rotan setiap satuan luas
adalah Rp. 672.000 per hektarharga satuan rotan basah adalah Rp. 800.000 per ton. Hasil penelusuran informasi dengan menggunakan metode bola salju snow
ball method dan wawancara mendalam baik dengan pengumpul maupun penampung
madu menunjukkan bahwa jumlah pengumpul madu terbanyak berasal dari Uluiwoi Kabupaten Kolaka yang merupakan hulu DAS Konaweha yakni sebanyak 147 orang,
sedangkan Latoma dan Abuki masing-masing 73 orang dan 72 orang. Informasi tentang jumlah penampung, pengolah, lokasi pengambilan madu, dan kapasitas atau
kemampuan mengolah, produktivitas dan penerimaan masyarakat disajikan pada Lampiran 25a dan Lampiran 25b.
Lampiran 25a dan Lampiran 25b terlihat bahwa jumlah total madu dari kawasan hutan Uluiwoi mencapai 8.820 kg lebih tinggi jika dibandingkan dengan
total madu yang berasal dari kawasan hutan Latoma yakni sebesar 3.650 kg dan Abuki sebesar 2.880 kg. Tingginya jumlah madu yang dihasilkan di kawasan hutan
Uluiwoi disebabkan karena mempunyai kawasan hutan yang lebih luas, jumlah pengumpul madu lebih banyak dan kapasitas atau kemampuan pengumpul
menghasilkan madu lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi lainnya. Tingginya kemampuan pengumpul menghasilkan madu disebabkan karena jarak permukiman
masyarakat lebih dekat dengan kawasan hutan tempat mencari madu dibandingkan dengan lokasi lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat MacKinnon et al 1993
bahwa ada ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Umumnya masyarakat yang tinggal sekitar hutan termasuk di kawasan konservasi memiliki
ketergantungan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
137
Selanjutnya produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan Uluiwoi juga mencapai angka tertinggi yakni 5,88 kg per hektar lebih tinggi jika dibandingkan
dengan produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan Latoma maupun Abuki dengan produktivitas masing-masing 4,06 kg per hektar dan 4,80 kg per hektar.
Angka-angka produktivitas tersebut diperoleh dari total produksi madu dibandingkan dengan luas kawasan hutan yang menjadi lokasi pengambilan madu. Dengan asumsi
bahwa harga satuan madu di tingkat pengumpul adalah Rp.45.000 per kg, maka total penerimaan pengolah madu dari kawasan hutan Uluiwoi adalah Rp. 396.900.000,
lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Penerimaan pengolah madu dari kawasan hutan Latoma adalah Rp. 162.250.000, sedangkan kawasan hutan
Abuki mencapai angka Rp. 129.600.000. Dari angka-angka tersebut maka diketahui bahwa total penerimaan pengolah madu di DAS Konaweha adalah Rp. 690.750.000.
Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, maka diketahui bahwa produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan di DAS Konaweha adalah 4,91 kg
per hektar. Apabila dikonversi menjadi satuan rupiah, maka nilai manfaat ekonomi dari hasil hutan madu per hektar adalah Rp. 220.950 per hektar. Nilai ekonomi
madu di DAS Konaweha diduga dipengaruhi oleh faktor jumlah pengolah dan kapasitas atau kemampuan pengolah untuk mengumpulkan madu dalam kurun waktu
tertentu serta harga madu di pasar lokal dan regional. Hasil pengamatan dan analisis vegetasi yang dilakukan pada 12 plot
pengamatan menunjukkan bahwa potensi karbon setiap plot cukup bervariasi. Perhitungan potensi karbon menggunakan Persamaan 32 CS=
½
0.118D
2,53
, Persamaan 33 JCS= CS x JPH xLAj dan Persamaan 34 NCS = JCS x HCS.
Contoh hasil analisis potensi karbon vegetasi tingkat semai disajikan pada Lampiran 26a.
Selanjutnya dari Lampiran 26a dilakukan analisis potensi karbon rata-rata
untuk setiap kategori yakni semai, pancang, tiang dan pohon. Dari hasil analisis vegetasi maka selanjutnya ditentukan potensi karbon rata-rata per hektar untuk setiap
kategori dan selanjutnya nilai karbon total yang merupakan jumlah dari total potensi karbon semua kategori dan hasilnya disajikan pada Lampiran 26b.
138
Lampiran 26b menunjukkan bahwa rata-rata potensi karbon vegetasi hutan di DAS Konaweha adalah 148,35 ton per hektar. Angka ini merupakan kumulatif nilai
karbon vegetasi semai sebanyak 0,23 ton per hektar 0,15 , pancang sebesar 9,83 ton per hektar 6,63 , tiang sebanyak 12,64 ton per hektar 8,52 dan pohon
sebanyak 125,65 ton per hektar 84,70 . Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa vegetasi pohon memberikan kontribusi terbesar dalam hal
penyerapan karbon. Hal ini disebabkan oleh kandungan biomas yang lebih tinggi dan diameter batang yang lebih panjang jika dibandingkan dengan vegetasi tiang,
pancang dan semai. Sebagaimana uraian-uraian sebelumnya bahwa potensi karbon berkorelasi positif dengan diameter batang dan kandungan biomas.
Berdasarkan hasil perhitungan terdahulu, maka potensi penyerapan karbon rata-rata per hektar di DAS Konaweha adalah 148,35 ton per hektar. Angka ini
cukup realistis untuk potensi karbon hutan alam di daerah tropis seperti juga hutan di kawasan DAS Konaweha. Kenyataan ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian
sebelumnya dimana potensi karbon untuk kawasan konservasi di Kalimantan adalah 184,73
– 344,20 ton per hektar Yunus, 2005. Sedangkan hasil penelitian Brown 1977 menemukan angka potensi karbon rata-rata hutan alam di Indonesia adalah
266,5 ton per hektar. Sementara itu hasil penelitian Rosalina 2001 pada kawasan formasi hutan pegunungan dataran rendah di Provinsi Jambi berada pada interval
kandungan karbon 259 ton per hektar - 464 ton per hektar. Perbedaan potensi karbon berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas mungkin karena perbedaan tipe hutan,
iklim, letak lintang, tingkat degradasi vegetasi hutan, dan tingkat akurasi metodologi yang digunakan untuk analisis vegetasi.
Untuk menentukan nilai manfaat ekonomi potensi karbon, maka digunakan harga standar karbon sebagaimana dikemukakan oleh Glover and Timothy 1999
adalah 10 USD per ton. Apabila dikonversi kedalam satuan rupiah, maka nilai tersebut mengikuti fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Dengan
asumsi bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika saat ini adalah Rp. 9.000 per dollar, maka harga satuan karbon adalah Rp. 90.000 per ton. Berdasarkan hal ini,
maka nilai ekonomi karbon di DAS Konaweha adalah Rp. 13.351.500 per hektar.
139
Angka tersebut merupakan nilai kumulatif dari manfaat ekonomi karbon semua kategori vegetasi hutan. Sebagian besar nilai manfaat ekonomi diperoleh dari
vegetasi pohon dengan nilai Rp.11.308.500 per hektar. Rata-rata WTP nilai pilihan sangat bervariasi tergantung tingkat pendidikan,
jenis pekerjaan, pendapatan, kepentingan dan status sosial. Sebagai pembanding maka digunakan pendekatan transfer benefit didasarkan biaya konservasi
biodiversitas hutan di Indonesia sebesar US 300km
2
tahun menurut EEPSEA dan WWF 1998.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemauan membayar WTP responden terhadap fungsi hutan sebagai sumber keankaragaman hayati dan habitat
bervariasi, tergantung dari tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan responden sebagaimana disajikan pada Lampiran 27 dan Tabel 29.
Tabel 29. Manfaat Ekonomi Nilai Pilihan Keanekaragaman Hayati dan Habitat di DAS Konaweha Tahun 2009
Manfaat Ekonomi
Jumlah Responden
orang WTP Total
Rp WTP Rata-rata
Rpha Jumlah WTP
Rpha Nilai Pilihan
198.000 Habitat
60 5.090.000
84.833 Flora dan Fauna
60 6.790.000
113.167 Tabel 29 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi nilai pilihan keanekaragaman
hayati dan habitat adalah Rp. 198.000 per hektar. Nilai tersebut merupakan jumlah dari manfaat ekonomi nilai pilihan hutan yang berfungsi sebagai habitat yakni
sebesar Rp. 84.833 per hektar dan fungsi hutan sebagai sumber keanekaragaman flora dan fauna dengan nilai Rp. 113.167 rupiah per hektar.
Nilai manfaat pilihan masyarakat persatuan luas yakni Rp.198.000 per hektar hampir sama dengan metode transfer benefit konservasi habitat US 300km
2
tahun oleh Ruitenbeek 1998 dalam Glover dan Timothy 1999 atau Rp. 171.000 per
hektar 1US = Rp. 8.500 dan Rp. 181.059 per hektar 1US = Rp. 9.000. Sementara itu jika dibandingkan dengan nilai keanekaragaman hayati hasil
perhitungan UNDP dan KLH 1998 lebih rendah yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per
140
hektar transfer benefit. Perbedaan ini disebabkan oleh metode penilaian dan asumsi yang digunakan penilaian manfaat pilihan dari potensi flora fauna, serta
adanya preferensi masyarakat yang berbeda yang dipengaruhi oleh kondisi sosisal ekonomi mayarakat dan pengetahuan terhadap manfaat dan fungsi sumberdaya hutan
yang dinilai. Manfaat ekonomi berdasarkan nilai pilihan keanekaragaman hayati dan
habitat kawasan hutan DAS Konaweha berhubungan erat dengan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan responden. Hal ini diduga disebabkan oleh
adanya keterkaitan langsung antara jenis pekerjaan dengan keberadaan hutan seperti pencari rotan, pencari madu dan kayu bakar sehingga mereka mempunyai kemauan
untuk membayar jasa lingkungan yang berkaitan dengan mata pencaharian mereka. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan,
jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan, maka akan semakin tinggi pula nilai kemauan untuk membayar jasa lingkungan sebagai nilai pilihan. Kecenderungan ini
kemungkinan disebabkan oleh pemahaman masyarakat tentang fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan seperti sumber keanekaragaman hayati dan habitat flora
dan fauna yang meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat. Selain itu tingkat pendidikan masyarakat juga berhubungan erat dengan tingkat
pendapatan dan jenis mata pencahariannya sehingga secara tidak langsung tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk membayar jasa
lingkungan yang diterimanya. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Yunus 2005 bahwa WTP rata-rata nilai pilihan keanekaragaman hayati dan habitat sangat
tergantung dari tingkat pendidikan masyarakat. Penilaian manfaat warisan bequest value kawasan hutan di DAS Konaweha
mencakup manfaat flora fauna dan habitat satwa. Hasil penelitian manfaat warisan persatuan luas terhadap flora fauna dan habitat satwa atas dasar kesediaan membayar
masyarakat sekitar hutan yaitu sebesar Rp. 248.417 per hektar Lampiran 28 dan Tabel 30.
141
Tabel 30. Manfaat Ekonomi Nilai Warisan Flora Fauna dan Habitat Satwa di DAS Konaweha Tahun 2009
Manfaat Ekonomi
Jumlah Responden
orang WTP Total
Rp WTP Rata-
rata Rpha
Jumlah WTP Rpha
Nilai Warisan 248.417
Habitat 60
7.685.000 128.083
Flora dan Fauna 60
7.220.000 120.333
Tabel 30 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi berdasarkan nilai warisan flora fauna dan habitat satwa di DAS Konaweha rata-rata adalah Rp. 248.417 per
hektar yang merupakan jumlah dari manfaat hutan sebagai habitat sebesar Rp. 128.083 per hektar dan manfaat ekonomi nilai warisan flora dan fauna sebesar Rp.
120.333 per hektar. Manfaat ekonomi nilai warisan masyarakat persatuan luas yakni Rp.248.417
per hektar lebih tinggi dari nilai manfaat yang dihitung dengan metode transfer benefit
konservasi habitat US 300km
2
tahun oleh Ruitenbeek 1998 dalam Glover dan Timothy 1999 atau Rp. 171.000 per hektar 1US = Rp. 8500 dan Rp.
181.059 per hektar 1US = Rp. 9.000. Namun demikian jika nilai warisan tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil perhitungan UNDP dan KLH
1999 yang menggunakan pendekatan transfer benefit yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per hektar terhadap nilai manfaat keanekaragaman hayati flora dan fauna. Kisaran nilai
kesediaan membayar manfaat warisan per orang per hektar sangat dipengaruhi oleh persepsi untuk diwariskan agar dapat dimanfaatkan oleh anak cucu mereka, yang
terutama dipengaruhi oleh sejauhmana ketergantungan secara sosial ekonomi terhadap keberadaan hutan di DAS Konaweha.
Penilaian manfaat keberadaan kawasan hutan di DAS Konaweha mencakup habitat dan flora fauna dilindungi. Hasil penelitian manfaat keberadaan persatuan
luas terhadap habitat dan flora fauna dilindungi atas dasar kesediaan membayar masyarakat sekitar hutan yaitu Rp. 283.750 per hektar sebagaimana disajikan pada
Lampiran 29 dan Tabel 31.
142
Tabel 31. Manfaat Ekonomi Nilai Keberadaan Habitat dan Flora Fauna Dilindungi di DAS Konaweha Tahun 2009
Manfaat Ekonomi Jumlah
Responden orang
WTP Total Rp
WTP Rata- rata
Rpha Jumlah WTP
Rpha Nilai Keberadaan
283.750 Habitat
60 8.800.000
146.667 Flora dan Fauna
60 8.225.000
137.083 Tabel 31 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi berdasarkan nilai keberadaan
habitat dan flora fauna dilindungi di DAS Konaweha rata-rata adalah Rp. 283.750 per hektar yang merupakan jumlah dari manfaat keberadaan hutan sebagai habitat
sebesar Rp. 146.667 per hektar dan manfaat keberadaan hutan sebagai sumber flora dan fauna dilindungi dengan nilai rata-rata sebesar Rp. 137.083 per hektar.
Manfaat ekonomi nilai keberadaan hutan sebagai habitat dan sumber flora fauna dilindungi persatuan luas yakni Rp.283.750 per hektar lebih tinggi dari nilai
manfaat yang dihitung dengan metode transfer benefit konservasi habitat US 300km
2
tahun oleh Ruitenbeek 1998 dalam Glover dan Timothy 1999 atau Rp. 171.000 per hektar 1US = Rp. 8500 dan Rp. 181.059 per hektar 1US = Rp.
9.000. Namun nilai tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil perhitungan UNDP dan KLH 1999 yang menggunakan pendekatan transfer benefit
yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per hektar terhadap nilai manfaat keanekaragaman hayati flora dan fauna. Kisaran nilai kesediaan membayar manfaat keberadaan perorang per
hektar sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap pentingnya keberadaan habitat dan flora fauna dilindungi terhadap kelangsungan hidup dimasa datang atau
sejauhmana ketergantungan secara sosial ekonomi terhadap keberadaan hutan di DAS Konaweha.
Kecenderungan nilai WTP rata-rata baik WTP nilai warisan maupun WTP nilai keberadaan yang meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan
responden kemungkinan disebabkan oleh pemahaman masyarakat tentang fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan seperti sumber keanekaragaman hayati dan
habitat flora dan fauna yang meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat. Selain itu tingkat pendidikan masyarakat juga berhubungan erat dengan
143
tingkat pendapatan dan jenis mata pencahariannya sehingga secara tidak langsung tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk
membayar jasa lingkungan yang diterimanya. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Yunus 2005 bahwa WTP rata-rata nilai keberadaan flora fauna
dilindungi dan habitat sangat tergantung dari tingkat pendidikan masyarakat, tingkat pendapatan dan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Selanjutnya Yunus
2005 mengemukakan bahwa pengaruh variabel pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan terhadap WTP nilai keberadaan erat kaitannya dengan persepsi
masyarakat akan manfaat yang terkandung di dalam sumberdaya hutan.
Analisis Penggunaan Lahan Alternatif
Hasil simulasi lima skenario penggunaan lahan alternatif di Sub DAS Konaweha Hulu menghasilkan komposisi luas tutupan masing-masing jenis
penggunaan lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar adalah sebagai berikut:
1. Skenario 1: 30 hutan, 55 perkebunan, 6 kebun campuran dan 4 semak
belukar.
2. Skenario 2: 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak
belukar.
3. Skenario 3: 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak
belukar.
4. Skenario 4: 33 hutan, 52 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak
belukar.
5. Skenario 5: 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak
belukar. Peta skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan
pada Gambar 32, Gambar 33, Gambar 34, Gambar 35 dan Gambar 36.
144
Gambar 32. Peta Skenario 1 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Gambar 33. Peta Skenario 2 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
145
Gambar 34. Peta Skenario 3 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Gambar 35. Peta Skenario 4 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
146
Gambar 36. Peta Skenario 5 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Analisis Aspek Lingkungan
Analisis kelayakan lingkungan skenario penggunaan lahan alternatif didasarkan pada kriteria keputusan decison criteria yakni yakni ketersediaan air
supply atau debit minimum Q
min
dan dan rasio antara ketersediaan supply, S dengan kebutuhan air demand, D.
Hubungan antara proporsi luas masing-masing jenis penggunaan lahan terhadap kriteria tersebut dianalisis dengan simulasi menggunakan persamaan regresi
linier berganda. Hubungan antara proporsi luas tutupan masing-masing jenis penggunaan lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar
ketersediaan air atau debit minimum dijelaskan melalui Persamaan 46 terdahulu. Hasil simulasi hubungan antara proporsi masing-masing jenis penggunaan lahan
terhadap ketersediaan air atau debit minimum dalam satuan m
3
detik dan m
3
disajikan pada Lampiran 30 dan Tabel 32.
147
Tabel 32. Rasio Ketersediaan dan Kebutuhan Air berbagai Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050
Alternatif Ketersediaan Air
Kebutuhan Air Rasio SD
m3detik juta m3
m3detik juta m3
Skenario 1 31.8
82.4 33.3
86.3 0.95
Skenario 2 36.6
94.9 33.3
86.3
1.10
Skenario 3 37.4
96.9 33.3
86.3 1.12
Skenario 4 35.5
92.0 33.3
86.3
1.07
Skenario 5 36.8
95.4 33.3
86.3 1.11
Skenario 1 = 30 hutan, 55 perkebunan, 6 kebun campuran dan 4 semak belukar Skenario 2 = 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar
Skenario 3 = 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 4 = 33 hutan, 52 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar
Skenario 5 = 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier
Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 , perkebunan=43 , kebun campuran=6 dan semak belukar=3 Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar
Tabel 32 menunjukkan bahwa jika skenario 1 penggunaan lahan alternatif dengan proporsi luas hutan minimal 30 akan menghasilkan air tersedia atau debit
minimum Q
min
sebesar 31,8 m
3
detik atau setara dengan 82,4 juta m
3
. Jika skenario 1 diterapkan maka rasio antara ketersediaan S dengan kebutuhan air D adalah
0,95. Angka tersebut berarti bahwa skenario 1 penggunaan lahan alternatif tidak layak diterapkan karena debit minimum yang dihasilkan tidak dapat memenuhi
kebutuhan air tahun 2050. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif dengan proporsi luas hutan 35 akan menghasilkan debit minimum sebesar 36,6 m
3
detik atau 94,9 juta m
3
, sehingga rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,10. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan skenario 1. Selanjutnya skenario 3
penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan luas tutupan hutan 43 dan penggunaan lahan lainnya sesuai dengan kondisi eksisting, maka ketersediaan air
atau debit minimum yang dihasilkan adalah 37,4 m
3
detik atau 96,9 juta m
3
sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,12. Angka tersebut juga lebih baik jika
dibandingkan dengan rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 1 dan skenario 2. Skenario 4 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu yang merupakan
modifikasi skenario 3 pencadangan 10 hutan untuk areal penggunaan lain akan menghasilkan debit minimum sebesar 35,5 m
3
detik atau 92,0 juta m
3
, sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,07. Angka tersebut lebih rendah jika
148
dibandingkan dengan rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 2 dan skenario 3. Skenario 5 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan proporsi
luas tutupan hutan adalah 40 akan menghasilkan debit minimum sebesar 36,9 m
3
detik atau 95,4 juta m
3
sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,11. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan skenario 1, skenario 2 dan
skenario 4. Angka-angka yang diperlihatkan pada Tabel 32 di atas menunjukkan bahwa
seluruh skenario penggunaan lahan alternatif DAS Konaweha Hulu mempunyai kecenderungan yang sama terhadap debit minimum. Nilai rasio ketersediaan dan
kebutuhan air skenario 2, skenario 3, skenario 4 dan skenario 5 lebih dari 1 yang berarti bahwa keempat skenario tersebut mampu mengatasi defisit air ketersediaan
air lebih besar dari kebutuhan air hingga tahun 2050. Namun demikian rasio ketersediaan dan kebutuhan air untuk skenario 1 kurang dari 1 yang berarti bahwa
skenario tersebut tidak dapat mengatasi defisit air hingga tahun 2050.
Analisis Aspek Ekonomi
Analisis biaya didasarkan pada luas hutan yang harus dipelihara agar fungsinya menjaga tata air tetap terjaga. Hasil analisis biaya pemeliharaan fungsi
hutan skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Lampiran 31 dan Tabel 33.
Tabel 33. Biaya Pemeliharaan Fungsi Hutan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Alternatif Luas Hutan ha
Biaya Milyar Rupiah Skenario 1
101398 152
Skenario 2 118297
177 Skenario 3
145337 218
Skenario 4 111537
167 Skenario 5
135197 203
Catatan : 1. Standar pemeliharaan fungsi hutan = Rp. 1500000 per hektar UNDP dan KLH, 1999
2. Luas hutan masing-masing sesuai Lampiran 30 dan Lampiran 31
Tabel 33 menunjukkan bahwa biaya yang diperlukan untuk memelihara fungsi hutan pada skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu
149
berkisar antara 152 milyar rupiah sampai dengan 218 milyar rupiah. Jika luas hutan kondisi eksisting 2011 dipertahankan, maka diperlukan biaya 218 milyar rupiah.
Jika 10 dari hutan kondisi eksisting dialokasikan untuk areal penggunaan lain APL pertambangan, maka diperlukan biaya sebesar 167 milyar rupiah. Sedangkan
biaya yang harus dialokasikan untuk implementasi RTRW dengan luas hutan 35 adalah 177 milyar rupiah dan implementasi arahan fungsi kawasan lindung
sebagaimana skenario 5 dibutuhkan biaya sebesar 203 milyar rupiah. Selanjutnya yang dimaksud dengan penerimaan return adalah nilai ekonomi
air water yield dan nilai ekonomi hasil hutan non kayu masing-masing skenario penggunaan lahan alternatif. Hasil air merupakan debit minimum yang merupakan
ketersediaan air dan dihasilkan akibat pemeliharaan satu satuan luas hutan di DAS Konaweha Hulu. Sedangkan hutan merupakan kawasan hutan yang harus
dipertahankan agar debit aliran minimum dapat menjamin kebutuhan air hingga tahun 2050.
Nilai ekonomi air untuk kebutuhan domestik dan industri menggunakan pendekatan harga pasar standar PDAM yakni Rp. 3.755 per m
3
, sedangkan nilai ekonomi air untuk kebutuhan irigasi menggunakan pendekatan kemauan untuk
membayar WTP air irigasi dengan harga satuan Rp. 15,32 per m
3
. Nilai ekonomi hutan yang dihitung adalah nilai ekonomi hasil hutan non
kayu, mencakup nilai ekonomi flora dan fauna, karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan. Berdasarkan hal ini maka nilai ekonomi hutan per satuan luas
adalah Rp. 14.974.617,- per hektar yang merupakan nilai kumulatif dari nilai ekonomi rotan Rp. 672.236, madu Rp. 221.033, karbon Rp. 13.351.500, nilai
pilihan Rp. 198.000, nilai warisan Rp. 248.417 dan nilai keberadaan Rp. 283.750.
Dari nilai penerimaan return dan biaya cost yang harus dikeluarkan pada masing-masing skenario penggunaan lahan alternatif, maka dilakukan analisis rasio
penerimaan R dengan biaya C. Perhitungan nilai RC menggunakan Persamaan 38 RC = Nilai Ekonomi Air dan Hasil Hutan non KayuBiaya Pemeliharaan
Fungsi Hutan, data nilai ekonomi hasil hutan non kayu Persamaan 37 dan Tabel
150
28, data nilai ekonomi air masing-masing skenario, dan hasil perhitungan biaya pemeliharaan fungsi lindung kawasan hutan setiap skenario Lampiran 31 UNDP
dan KLH, 1999. Hasil analisis RC skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34. Nilai RC Skenario Penggunaan Lahan Alternatif DAS Konaweha Hulu
Penggunaan Lahan Luas Hutan ha
Hasil Air Juta m3 Biaya
Penerimaan RC
Alternatif milyar Rupiah milyar Rupiah
Skenario 1 101398
82.4 152
1546 10.16
Skenario 2 118297
94.9 177
1803 10.16
Skenario 3 148716
96.9 218
2209 10.13
Skenario 4 114917
92.0 167
1701
10.17
Skenario 5 135197
95.4 203
2056
10.14
Catatan: 1. Proporsi kebutuhan air domestik = 3,8 , industri = 4,7 , irigasi = 91.5
2. Harga satuan air domestik dan industri = Rp. 3.755 per m3, irigasi = Rp. 15,32 per m3 3. Nilai ekonomi hutan = Rp 14.974.617 per hektar
4. Standar pemeliharaan fungsi hutan = Rp. 1500000 per hektar KLH dan UNDP, 1999
Tabel 34 merupakan hasil analisis RC penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai RC semua skenario cukup
besar dengan nilai lebih dari 10. Nilai RC tertinggi dicapai skenario 3 dengan nilai RC adalah 10,17. Besarnya nilai RC untuk semua skenario disebabkan karena
besarnya nilai penerimaan dari hasil hutan non kayu dengan memperhitungkan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh jasa lingkungan keberadaan hutan seperti flora dan
fauna, nilai penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan hutan. Selain itu analisis RC juga memperhitungkan nilai ekonomi hasil air. Fakta
yang kontradiktif dengan nilai penerimaan yang besar, maka nilai biaya yang diperlukan masing-masing skenario relatif rendah. Hal ini disebabkan karena hutan
yang dipertahankan merupakan hutan yang sudah eksis sehingga tidak dilakukan penambahan luas hutan, akibatnya biaya yang diperlukan hanya bersifat biaya
pemeliharaan fungsi kawasan hutan.
Analisis Aspek Sosial
Analisis sosial dilakukan untuk mengetahui kelayakan sosial berbagai penggunaan lahan alternatif yang terlebih dahulu memenuhi persyaratan kelayakan
lingkungan dan kelayakan ekonomi. Hasil analisis aspek tingkat penerimaan para
151
pihak terhadap lima skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 35.
Tabel 35. Analisis Penerimaan Para Pihak terhadap Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Penggunaan Lahan Alternatif
Penerimaan Para Pihak
Keterangan Skenario 1
Diterima Sudah tersosialisasi, implementasi UU No. 41
1999 Skenario 2
Diterima Sudah tersosialisasi, implementasi RTRW
Skenario 3 Diterima
Sudah tersosialisasi, kondisi eksisting Skenario 4
Ada penolakan Penolakan DPR, DPRD, Perguruan Tinggi,
LSM Skenario 5
Diterima Sudah tersosialisasi sejak 2008
Tabel 35 menunjukkan bahwa skenario 4 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu masih potensial mengalami penolakan dari para pihak antara lain
DPR pusat, DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Perguruan Tinggi dan LSM lokal. Hal ini terbukti dengan banyaknya penolakan dari pihak-pihak tersebut di atas
tentang rencana pemerintah untuk menjadikan Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai Kawasan Ekonomi Khusus KEK pertambangan dengan konsekuensi pemerintah
provinsi meminta penurunan status hutan menjadi areal penggunaan lain APL seluas 300.000 hektar dimana sekitar 5.000 hektar merupakan hutan lindung.
Selanjutnya skenario 1 dan skenario 2 penggunaan lahan alternatif dapat diterima oleh para pihak karena kedua skenario tersebut sudah menjadi kebijakan
sejak tahun 1999 yang lalu sehingga para pihak yang berkepentingan tidak menolak kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan karena skenario 1 merupakan implementasi
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang hingga saat masih berlaku, sedangkan skenario 2 merupakan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka
Provinsi Sulawesi Tenggara yang mulai berlaku sejak tahun 2005. Skenario 5 penggunaan lahan alternatif merupakan implementasi arahan fungsi kawasan lindung
yang ditetapkan oleh BPDAS Sampara dimana luas hutan lindung di DAS Konaweha adalah 40 dari luas DAS Konaweha yang mulai ditetapkan tahun 2008. Walaupun
152
skenario 5 belum tersosialisasi dengan baik karena baru ditetapkan tahun 2008, namun diduga tidak akan mengalami penolakan dari pihak-pihak berkepentingan.
Fakta tersebut di atas juga diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemeliharaan kawasan hutan di DAS Konaweha pernah
dilakukan di era tahun 1970an melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan. Kegiatan tersebut dilakukan di beberapa wilayah di DAS Konaweha seperti Unaaha,
Wawotobi, Pondidaha, Abuki, Sampara, Tirawuta, Tinondo dan Mowewe. Pada era tahun 1990an juga dilakukan kegiatan serupa yang disebut dengan hutan
kemasyarakatan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Beberapa wilayah yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan
Kabupaten Kolaka. Kegiatan tersebut cukup berhasil ditinjau dari aspek sosial karena hingga saat ini tidak ada penolakan dari para pihak.
Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif DAS Konaweha
Kelayakan skenario penggunaan lahan alternatif menggunakan kriteria decision tool sebagai berikut: rasio ketersediaan dan kebutuhan air SD, rasio
RC, dan penerimaan para pihak aspek sosial. Hasil analisis kelayakan penggunaan lahan alternatif disajikan pada Tabel 36.
Tabel 36. Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050
Alternatif Aspek Lingkungan Aspek Ekonomi
Aspek Sosial SD
RC Penerimaan Para Pihak
Skenario 1 0.95
10.16 dapat diterima, implementasi UU No. 41, 1999
Skenario 2 1.10
10.16 dapat diterima, RTRW Konawe dan Kolaka
Skenario 3 1.12
10.13 dapat diterima, kondisi eksisting
Skenario 4 1.07
10.17 ada penolakan, belum disetujui, APL pertambangan
Skenario 5 1.11
10.14 dapat diterima, arahan fungsi kawasan BPDAS Sampara
Keterangan: Skenario 1 = 30 hutan, 55 perkebunan, 6 kebun campuran dan 4 semak belukar
Skenario 2 = 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 3 = 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar
Skenario 4 = 33 hutan, 52 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar Skenario 5 = 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar
H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 , perkebunan=43 , kebun campuran=6 dan semak belukar=3
Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar
153
Tabel 36 menunjukkan bahwa skenario 1 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan luas hutan 30 , perkebunan 55 , kebun campuran 6
dan semak belukar 4 akan menghasilkan debit minimum yang lebih kecil dari kebutuhan air sehingga nilai rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 0,95 dengan
nilai RC sebesar 10,16 dan secara sosial diterima para pihak karena merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kelayakan
berdasarkan tiga komponen yang dinilai yakni aspek lingkungan, ekonomi dan sosial, maka skenario 1 tidak layak diterapkan karena nilai SD 1, RC 1 dan
secara sosial diterima oleh para pihak. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif yang merupakan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka dengan luas hutan 35
dikombinasikan dengan 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar akan mampu menghasilkan debit minimum yang lebih besar dari kebutuhan
air, sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,10 dan nilai RC sebesar 10,16 dan secara sosial dapat diterima karena sesuai dengan RTRW Kabupaten
Konawe dan Kolaka. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif layak diterapkan karena semua komponen yang dinilai memenuhi sarat yakni nilai SD 1, RC 1
dan secara sosial tidak menimbulkan masalah karena sesuai dengan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka yang sebelumnya ditetapkan melalui proses
sosialisasi yang cukup lama. Skenario 3 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu yang merupakan kondisi penggunaan lahan eksisting dengan luas
tutupan hutan 43 , 43 perkebunan dan 6 kebun campuran serta 3 semak belukar layak diterapkan karena menghasilkan debit minimum yang melebihi
kebutuhan air dengan nilai SD 1, nilai RC 1 dan secara sosial diterima oleh para pihak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa skenario 4 yang merupakan modifikasi
skenario 3 dengan alokasi 10 hutan untuk areal penggunaan lain APL pertambangan belum bisa diterapkan walaupun nilai SD 1 dan RC 1 karena
hingga saat ini belum mendapat persetujuan pihak-pihak terkait sehingga masih ada penolakan. Sedangkan skenario 5 yang merupakan rencana implementasi arahan
fungsi kawasan lindung DAS Konaweha dengan proporsi luas hutan yang harus dipertahankan minimal 40 dikombinasikan dengan 46 perkebunan, 5 kebun
154
campuran dan 4 semak belukar layak diterapkan baik ditinjau dari aspek lingkungan, ekonomi maupun faktor sosial.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka disimpulkan bahwa skenario 2, skenario 3, dan skenario 5 penggunaan lahan alternatif layak diterapkan sesuai
indikator SD ≥ 1, sedangkan skenario 1 dan skenario 4 tidak layak diterapkan. Hasil analisis menggunakan indikator lingkungan, ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa
komposisi 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar merupakan alternatif penggunaan lahan terbaik untuk menjamin
keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha.
Analisis Kebijakan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha
Produk kebijakan pada tingkat nasional yang berkaitan dengan penatagunaan lahan antara lain adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
yang mengatur tentang luas kawasan hutan yang harus di pertahankan yakni 30 dari luas DAS dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
yang mengatur penataan ruang berdasarkan fungsi lindung utama kawasan yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
menggunakan unit DAS, sedangkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 menggunakan unit administrasi.
Berkaitan dengan kedua produk kebijakan tersebut, maka pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diduga memberikan kontribusi terhadap kebijakan penatagunaan lahan di tingkat daerah kabupatenkota melalui
pemberian berbagai kewenangan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah seperti pengelolaan sumberdaya alam skala kecil pertambangan, kehutanan, lingkungan
hidup. Kebijakan yang terkait dengan penatagunaan lahan di tingkat daerah provinsi
dan kabupatenkota juga merujuk pada ketiga kebijakan tersebut di atas. Beberapa produk kebijakan yang terkait dengan ini antara lain: Peraturan Daerah Perda
provinsi dan kabupatenkota tentang Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW, Perda
155
tentang pengelolaan tambang skala kecil, Perda tentang Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik, Perda tentang Pemanfaatn Hasil Hutan non Kayu dan lain-lain.
Kebijakan yang terkait dengan penatagunaan lahan di tingkat daerah kabupatenkota dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW
kabupatenkota mengacu pada batas yuridiksi formal batas administrasi sehingga sulit diterapkan untuk mengatur penatagunaan lahan yang menggunakan batas alam
ekologi seperti DAS Konaweha. Hal inilah yang dirasakan sulit untuk menerapkan konsep pengelolaan DAS secara terpadu untuk
mencapai “satu DAS satu rencana dan satu pengelolaan” atau “one watershed one plan and one management”.
Kebijakan pada tingkat daerah provinsi dan kabupatenkota yang mengatur penatagunaan lahan, alokasi sumberdaya alam, dan tanggung jawab pembiayaan
masing-masing kabupatenkota hingga saat belum ada. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang diharapkan dapat memfasilitasi pengembangan kebijakan
terkait dengan hal-hal tersebut di atas hingga saat ini juga belum maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya Peraturan Daerah Perda dan Peraturan Gubernur
yang mengatur tata guna lahan, sistem alokasi sumberdaya dan tanggung jawab pembiayaan bagi masing-masing wilayah otonom di DAS Konaweha. Satu-satunya
produk kebijakan tingkat kabupatenkota yang berhubungan dengan tata guna lahan adalah RTRW yang menggunakan batas yuridiksi formal. Penetapan fungsi kawasan
pada masing-masing RTRW kabupatenkota hanya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tanpa
memperhitungkan dampak hidrologi khususnya pada aspek ketersediaan air jangka panjang.
Akumulasi implementasi kebijakan penatagunaan lahan melalui RTRW bagi kabupatenkota di DAS Konaweha terlihat dari pola perubahan penggunaan lahan di
DAS Konaweha. Akumulasi kebijakan tersebut menyebabkan perubahan luas hutan dari 55 pada tahun 1999 menjadi 47 pada tahun 2008. Perubahan tersebut
diikuti dengan peningkatan luas perkebunan dari 35 pada tahun 1999 menjadi 40 pada tahun 2008, sedangkan kebun campuran dan semak belukar meningkat dari
3,8 dan 2,6 pada tahun 1999 menjadi 5,5 dan 3,3 pada tahun 2008.
156
Implementasi kebijakan selama kurang lebih 10 tahun telah memberikan dampak hidrologi yang cukup besar. Koefisien aliran permukaan meningkat dari 36,3
pada tahun 1999 menjadi 47,1 pada tahun 2008, pada kurun waktu tersebut maka koefisien regim sungai meningkat dari 5,7 menjadi 13,8 pada tahun 2008. Kebijakan
tersebut juga memberikan dampak cukup serius terhadap penurunan ketersediaan air. Selama 10 tahun terakhir ini telah terjadi penurunan ketersediaan air dari 36 m
3
detik menjadi 20 m
3
detik. Berdasarkan hal ini maka implementasi kebijakan penatagunaan lahan melalui RTRW masing-masing kabupatenkota semakin
memperburuk kondisi hidrologi DAS Konaweha, oleh karena itu maka perlu ada langkah-langkah konkrit yang ditujukan untuk mengatur tata guna lahan agar kondisi
hidrologi DAS Konaweha tetap baik khususnya ketersediaan air jangka panjang tetap terjamin.
Jika implementasi kebijakan penatagunaan lahan di DAS Konaweha melalui penerapan RTRW kabupatenkota akan memberikan dampak terhadap perubahan
penggunaan lahan yang tidak terkendali. Jika kebijakan implementasi RTRW berjalan terus tanpa dilakukan perubahan, maka pada periode 2011-2015 luas hutan
diperkirakan menjadi 43,2 , sedangkan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing 43,1 , 5,3 dan 3,6 . Pada periode 2036-2040
maka akan terjadi penurunan luas hutan rata-rata menjadi 26,2 , sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar akan meningkat menjadi 50,2 ,
6,8 dan 4,9 . Jika perubahan penggunaan lahan tersebut mengikuti kecenderungan sebelumnya, maka pada tahun 2050 luas hutan diperkirakan menjadi
21,5 , sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar akan meningkat menjadi 52,1 , 7,3 dan 5,3 . Perubahan penggunaan lahan yang merupakan
akibat implementasi kebijakan RTRW bagi kabupatenkota dipastikan akan mempengaruhi kondisi hidrologi khususnya ketersediaan air di DAS Konaweha.
Analisis kebijakan penggunaan lahan di DAS Konaweha dilakukan dengan membandingkan kebijakan implementasi RTRW kabupatenkota yang sedang
berjalan dengan skenario penggunaan lahan alternatif ditinjau dari perspektif lingkungan, ekonomi dan sosial. Analisis yang didasarkan pada perspektif
157
lingkungan menggunakan alat keputusan berupa ketersediaan air dan rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air SD. Analisis yang didasarkan pada perspektif
ekonomi menggunakan alat keputusan berupa rasio penerimaan dengan biaya RC, sedangkan analisis berdasarkan perspektif sosial menggunakan alat keputusan berupa
penerimaan para pihak stakeholders acceptable. Analisis perbandingan antara kebijakan tata guna lahan yang sedang berjalan
dengan penggunaan lahan alternatif tidak mengikutsertakan skenario 1 dan skenario 4 karena hasil analisis kelayakan dinyatakan tidak layak Tabel 37.
Tabel 37. Analisis Perbandingan antara Kebijakan Tata Guna Lahan Eksisting dengan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Tahun 2050
Alternatif Aspek Lingkungan Aspek Ekonomi
Aspek Sosial SD
RC Penerimaan Para Pihak
Skenario 2 1.10
10.16 dapat diterima, RTRW Konawe dan Kolaka
Skenario 3 1.12
10.13 dapat diterima, kondisi eksisting
Skenario 5 1.11
10.14 dapat diterima, arahan fungsi kawasan BPDAS Sampara
Kebijakan Eksisting 0.44
10.05 akan terjadi konflik kepentingan terkait dengan sumberdaya air
Keterangan: Skenario 2 = 35 hutan, 51 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar
Skenario 3 = 43 hutan, 43 perkebunan, 6 kebun campuran dan 3 semak belukar Skenario 5 = 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran dan 4 semak belukar
Kebijakan Eksisting = 22 hutan, 53 perkebunan, 8 kebun campuran, 5 semak belukar Skenario 1 dan skenario 4 penggunaan lahan alternatif tidak disertakan karena analisis sebelumnya tidak layak
R=penerimaan mencakup nilai ekonomi hasil hutan non kayu dan air, APL = areal penggunaan lain Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar; S: supply, D: demand; R: return; C: cost
Tabel 37 menunjukkan kebijakan tata guna lahan melalui implementasi RTRW kabupatenkota di DAS Konaweha akan berimplikasi terhadap penurunan
ketersediaan sumberdaya air sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air menjadi 0,44. Nilai tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai SD skenario 2,
skenario 3, dan skenario 5. Oleh karena itu ditinjau dari perspektif lingkungan maka kebijakan tersebut tidak layak untuk dipertahankan. Berdasarkan perspektif
ekonomi, maka kebijakan eksisting masih layak untuk dipertahankan karena nilai RC 1, walaupun nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai RC
skenario 2 dan skenario 5. Berdasarkan perspektif sosial, maka kebijakan eksisting tidak dapat dipertahankan karena kemungkinan besar akan menimbulkan konflik
kepentingan antar daerah berkaitan dengan alokasi sumberdaya air mengingat kebijakan tersebut tidak mampu mengatasi defisit air hingga tahun 2050.
158
Uraian-uraian tersebut di atas mengindikasikan bahwa kebijakan tata guna lahan yang selama ini diimplementasikan melalui RTRW kabupatenkota
seyogyanya ditinjau kembali dan dianjurkan untuk tidak dilanjutkan. Kebijakan tersebut hanya dapat dipertahankan hingga tahun 2030 yakni ketika ketersediaan air
lebih dari atau sama dengan kebutuhan air. Oleh karena itu maka skenario penggunaan lahan alternatif yang ditawarkan layak untuk dipertimbangkan oleh
pengambil keputusan di tingkat provinsi dan kabupatenkota. Tiga skenario penggunaan lahan alternatif yang ditawarkan harus didukung dengan regulasi agar
dapat menjadi kebijakan yang nantinya dapat diterapkan di DAS Konaweha.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi
Sulawesi Tenggara, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha yang terjadi adalah penurunan
luas hutan diikuti pertambahan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar. Jumlah penduduk mempengaruhi penurunan luas hutan mengikuti
persamaan: y = 196 e
-0,01X
, dimana y adalah luas hutan dari luas DAS Konaweha Hulu, e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818
dan X adalah jumlah penduduk ribuan jiwa. 2. Penurunan luas hutan menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan
mengikuti persamaan: y = 158,8 e
-0,03X
dan penurunan debit minimum mengikuti
persamaan: y = 18,6 e
0,01X
, dimana y adalah koefisien aliran permukaan dan debit minimum m
3
detik, e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818 dan X adalah luas hutan luas DAS Konaweha Hulu.
3. Ketersediaan sumberdaya air menurun sementara kebutuhan air meningkat dari tahun ke tahun. Defisit air di DAS Konaweha akan terjadi pada periode 2026-
2030 dengan nilai defisit sekitar 0,9 m
3
detik, sedangkan defisit air periode 2046- 2050 adalah 17,9 m
3
detik. 4. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk menjamin
keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha adalah 32,5-37,5 dari luas DAS Konaweha Hulu.
5. Pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya air didasarkan pada proporsi nilai manfaat ekonomi air masing-
masing kabupatenkota, sehingga tanggung jawab pembiayaan bagi Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan masing-masing
sebesar 37 , 28 , 21 dan 14 dari total biaya yang diperlukan.
160
6. Kebijakan penggunaan lahan eksisting di DAS Konaweha hanya bisa menjamin keberlanjutan sumberdaya air hingga periode 2026-2030. Komposisi
penggunaan lahan utama yang terdiri dari 40 hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran, 4 semak belukar dan 5 penggunaan lahan lainnya
merupakan penggunaan lahan terbaik untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diuraikan terdahulu, maka dirumuskan beberapa saran:
1. Penurunan fungsi hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan DAS Konaweha akan mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya air sehingga diperlukan upaya
yang ditujukan untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan khususnya penurunan luas hutan. Upaya-upaya tersebut antara lain koordinasi dan
pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi hutan, standar ketat konversi hutan, dan reorientasi prioritas pembangunan daerah.
2. Pada kondisi surplus air maka alokasi air untuk kebutuhan sektor domestik, industri dan irigasi mempunyai prioritas yang sama. Pada kondisi defisit, maka
prioritas utama pemenuhan kebutuhan air berturut-turut adalah sektor domestik, irigasi dan industri.
3. Mengingat terbatasnya anggaran pembangunan daerah yang bersumber dari dana alokasi khusus DAK, maka sebaiknya biaya pemeliharaan fungsi DAS
Konaweha dibebankan kepada pemakai air melalui penarikan pajak air 10 dari biaya pemakaian air. Berdasarkan hal ini maka diperlukan regulasi seperti
Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur. 4. Mengingat kebijakan penggunaan lahan eksisting DAS Konaweha hanya dapat
menjamin keberlanjutan sumberdaya air hingga periode 2026-2030, maka seyogyanya diterapkan kebijakan penggunaan lahan dengan komposisi 40
hutan, 46 perkebunan, 5 kebun campuran, 4 semak belukar.
DAFTAR PUSTAKA
Abaje, I.B., O.F. Ati, and S. Ishaya. 2009. Nature of Potable Water Supply and Demand in Jema’a Local Government Area of Kaduna State, Nigeria.
Research Journal of Environmental and Earth Sciences 11: 16-21, 2009. ISSN: 2041-0492 Maxwell Scientific Organization, 2009.
Adenike, A.A., and O.B. Titus. 2009. Determinants of Willingness to Pay for Improved Water Supply in Osogbo Metropolis; Osun State, Nigeria.
Research Journal of Social Sciences, 4:1-6, 2009. Department of Agricultural Economics, Ladoke Akintola. University of Technology,
Ogbomoso.
Agus, F., M. Van Noordwijk, dan S. Rahayu. 2004. Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestri, dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian
Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry
Centre.
Arif, S.S. 2003. Menuju Pengelolaan Sumberdaya Air Yang Berkelanjutan. National Project Coordinator on Water Resources Management.
Prosiding Seminar FAO-Bappenas, Jakarta. Atmanto, S.D. 1998. Air untuk Kesejahteraan Rakyat : Reformasi Kebijakan
Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan dan Berdimensi Kerakyatan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Reformasi Hukum dan
Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta.
Aylward, D. 2005. Land Use, Hydrological Function and Economic Valuation. In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and
L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005.
Program Pembangunan Daerah Propeda dan Program Pembangunan Tahunan Daerah Propetada Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2006.
Kendari, Sulawesi Tenggara.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka. 2000-2008. Kabupaten Kolaka Dalam
Angka Tahun 2000-2008. Kolaka, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe. 2000-2008. Kabupaten Konawe
Dalam Angka Tahun 2000-2008. Unaaha, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005. Sulawesi Tenggara
Dalam Angka Tahun 2004. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2008a. Sulawesi Tenggara
Dalam Angka Tahun 2008. Kendari, Sulawesi Tenggara.
162
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2008b. Statistik Air Minum Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2009. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2008. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Barbier, E.B. 1995. The economics of forestry and conservation: Economic values and policies. Commonwealth Forestry Review 741:128-140.
Barbieri, A.F. 2006. Household life cycles, population mobility and land use in the Amazon: Some comments and research directions. Universidade
Federal de Minas Gerais, Brazil. Begum, N., J. Narayana, and A. Kumar. 2010. Land UseLand Cover Changes in
the Catchment of Water Bodies in and Around Davangere City, Katnataka. International Journal of Ecology and Environmental Sciences
36 4:277-280, 2010. National Institute of Ecology, New Delhi, India.
Biswas, A.K. 1997. Water Resources. Environmental Planning, Management, and Development. McGraw-Hill, New York, USA.
Biswas, A.K., and C.Tortajadab. 2010. Water Supply of Phnom Penh: An Example of Good Governance. International Journal of Water Resources
Development Publication details, including instructions for authors and subscription information: Third World Centre for Water Management,
Mexico .
Bonell, M, and L.A. Bruijnzeel. 2005. Forest, Water and people in the Humid Tropics. Published by Cambridge University Press.
Bosscher, A. 1984. Basic Hydrology and Water Resource Development. Lecture Note. International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences.
BPDAS Sampara. 2008. Rencana Pengelolaan Terpadu DAS Konaweha. Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampara Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kendari, Sulawesi Tenggara. Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest a
Primer. FAO Forestry 134:1-37. Bruijnzeel, L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of
Conversion : A State of Knowledge Review. Humid Tropics Programme of the International Hydrological Programme of UNESCO, Paris, and
Vrije Universiteit, Amsterdam.
Bruijnzeel, L.A. 2004. Hydrological Functions of Tropical Forest: Not Seeing the Soil for the Trees. Agriculture, Ecology and Environment. Doi:
10.1006jagee.2009.01.015.
163
Champ, P.A. 1997. Using Donation Mechanisms to Value Nonuse Benefit from Public Goods. Journal of Environmental Economics and Management 33:
155-162. Chandler, F.J.C., and Suyanto. 2004. Pengakuan dan Pemberian Imbalan bagi
Penyediaan Jasa Daerah Aliran Sungai DAS. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre.
Darusman, D. 1993. Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian dan Rumah Tangga: Studi Kasus di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Makalah Disampaikan pada Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia. Bandung, 29 Juli 1993.
Darusman, D., dan Bahruni. 2005. Aspek Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Sumberdaya Air serta Kontribusinya terhadap Pemerintah Daerah dan
Masyarakat. Prosiding Seminar Pemanfaatan Air di Kawasan Konservasi. Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Departemen
Kehutanan.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Statistik Industri Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi
Tenggara. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Laporan
Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Direktorat Jenderal Pengairan. 1986. Buku Petunjuk Perencanaan Irigasi. Bagian Penunjang untuk Standar Perencanaan Irigasi. CV. Galang Persada,
Bandung. Direktur Jenderal Sumberdaya Air. 2002. Juni-September 2002 Persediaan
Air Irigasi Tidak Mencukupi. Departemen Kimpraswil Republik Indonesia. Jakarta. Internet : Www.Google.Com
Djajadiningrat, S.T. 1997. Pengantar Ekonomi Lingkungan. Penerbit: LP3ES, Jakarta.
Drigo, R. 2005. Trends and Patterns of Tropical Land Use Change. In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A.
Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press. Duerr, A.W. 1960. Fundamental of Forestry Economics. McGraw-Hill, Book
Company. New York, Toronto, London. Dumairy. 1992. Ekonomi Sumberdaya Air, Pengantar ke Hidronomika. BPFE,
Yogyakarta. Dyah, R.P. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sungai Menyongsong Abad-21.
Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Sungai, Universitas Diponegoro, Semarang.
164
Dziegielewski, B. 2003. Strategy fo managing water demand. Journal on Water Resources Update. Universities Council on Water Resources. University
of Illinois, USA. Eagle, J.G., and D.R. Betters. 1998. Analysis, the Endangered Species Act and
Economic values: A comparison of Fines and Contingent Valuation Studies. Journal of Ecological Economics 26:165-171.
Economic and Environment Program for Southeast Asia EEPSEA and World Wild Fund for Nature WWF. 1998. The Indonesian fires and haze of
1997: The economic toll. 1-8. Unpublished Report. Enters, T. 1998. A Framework for the Economic Assessment of Soil Erosion and
Soil Conservation. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. Cabi Publishing.
Environmental Protection Agency EPA. 2000. Projecting Land-Use Change A Summary of Models for Assessing the Effects of Community Growth and
Change on Land-Use Patterns. United State Environmental Protection Agency, Washington DC, USA.
Fakultas Kehutanan IPB. 1999. Laporan Akhir Kajian Sistem Nilai Hutan Produksi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Fares, Y.R. 2003. Water resouces management in tropical river catchments. Journal of Environmental Hydrology, Volume 11 Paper 14 November
2003. Fluid Research Centre, School of Engineering, University of Surtey, Guildford, England.
Fauzi, A. 2004. Mencermati Implementasi Undang-Undang Sumberdaya Air. Web Site: www.unisosdem.org.id
Field, B.C. 1994. Environmental Economics, An Introductions. The McGraw- Hill, Book Company Inc. New York, Tokyo, Toronto, Singapore.
Fox, J. J.B. Vogler, O.L. Sen, A.L. Ziegler, and T.W. Giambelluca. 2011. Simulating land-cover change in Montane Mainland Southeast Asia.
Geography, University of Hawaii, Manoa, USA. Freeman, A.M. 1993. The Measurement of Environmental and Resource Value,
Theory and Methods. Washington, D.C. Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan :
Sutomo, S dan K. Mangiri. Edisi Kedua. Penerbit UI-Press, Jakarta. Glover, D., and J. Timothy. 1999. Indonesia’s Fires and Haze, The Cost of
Catastrophe. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore and International Development Research Center, Canada.
Gregory, G.R. 1972. Forest Resource Economics. John Wiley and Sons. New York, USA.
165
Hairiah K., SM Sitompul, Meine van Noordwijk, and Cheryl Palm. 2001. Method for Sampling Carbon Stocks Above and Below Ground. ASB
Lecture Note 4B:1-22. Huang, H.Q, Y.L. Cai, and J. Peng. 2007. Modeling the spatial pattern of
farmland using GIS and multiple logistic regression: a case study of Maotiao River Basin, Guizhou Province, China. Environ Model Assess
2007 , China.
Husnan, S., dan S. Muhammad. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Penerbit : UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
International Water Management Institute. 2006. Gobal Water Outlok to 2025. Averting an Impending Crisis. International Food Policy Research
Institute. Washington, D.C, USA. Iriawan, N., dan S.P. Astuti. 2008. Mengolah Data Statistik dengan Mudah
Menggunakan Minitab 14. Penerbit: Andi, Yogyakarta. Isnugroho, 2002. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air. Departemen Permukiman
dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia, Jakarta. Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan U. Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai. Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Kiersch, B., and S. Tognetti. 2002. Land-Water Linkages in Rural Watershed : Results from the FAO Electronic Workshop. Land Use and Water
Resources research, FAO, Rome, Italy. Kodoatie, R.J., Suharyanto, S. Sangkawati, dan S. Edhisono. 2002. Pengelolaan
Sumberdaya Air dalam Otonomi Daerah. Penerbit : Andi Yogyakarta. Kramer, R.A., and D.E. Mercer. 1997. Valuing a Global Environmental Good:
U.S. Resident Willingness to Pay to Protect Tropical Rain Rorest. Journal of Land Economics 732:196-210.
Lerner, D.N., and B. Harris. 2009. The relationship between land use and groundwater resources and quality. Journal of Land Use Policy 265
2009 S265-S273.. Published by Elsevier Ltd, All rights reserved. Little, C., A. Lara, J. McPhee, and R. Urrutia. 2009. Revealing the impact of
forest exotic plantations on water yield in large scale watershed in South- Central Chile. Journal of Hydrology 374 2009 162-170. Published by
Elsevier Ltd, All rights reserved.
Loomis, J., T. Brown, B. Lucero, and G. Peterson. 1996. Improving Validity Experiments of Contingent Valuation Methods: Results of Efforts to
Reduce the Disparity of Hypothetical and Actual Willingness to Pay. Journal of Land Economics 724:450-461.
166
Mahbub, B. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Air Berwawasan Lingkungan pada Pengembangan Wilayah. Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama
Bidang Sungai, Universitas Diponegoro, Semarang. Maltima, J.M., S.M. Mugatha, R.S. Reid, L.N. Gachimbi, A. Majule, H. Lyaruu,
D. Pomey, S. Mathai, and S. Mungisha. 2009. The linkages between land use change, land degradation and biodiversity across East Africa. African
Journal of Environmental Science and Technology. Vol 3 10 pp. 310- 325, october 2009.
Maltima, J.M., J.M. Olson, S.M. Mugatha, S. Magisha, and T. Mutie. 2010. Land use changes, impacts and option for sustaining productivity and livelihood
in the basin of Lake Victoria. Journal of Sustainable Development in Africa. Volume 12, No. 3, 2010. Clarion University of Pennsylvania,
USA.
Manoli, E., P. Katsiardi, G. Arampatzis, and D. Assimacopoulos. 2005. Comprehensive Water Management Scenarios for Strategic Planning.
Global NEST Journal, Vol 7, No 3, pp 369-378, 2005. Copyright© 2005 Global NEST. Printed in Greece. All rights reserved. Rhodes Island,
Greece.
Marshall, E., M. Caswell, S. Malcolm, M. Motamed, J. Hrubovcak, C. Jones, and C. Nickerson. 2011. Measuring the Indirect Land-Use Change Associated
With Increased Biofuel Feedstock Production. A Review of Modeling Efforts. United States Department of Agriculture. Economic Research
Service, USA.
Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab, Jilid 1. Edisi Kedua. Diterbitkan oleh IPB
PRESS, P.O. Box 199, Bogor. Mays, L.W., and Y.K. Tung. 1992. Hydrosystems Engineering and Management.
McGraw-Hill, New York, USA. McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati : Mengembangkan
dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Kusdyantinah Penerjemah. Terjemahan dari: Economics and
Biological Diversity: Developing and Using Economics Incentives to Conserve Biological Resources. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
McWhinney, S. 2005. Introducing the New Water Efficiency Labelling and Standards WELS Scheme. Water Services Assosiation of Australia
Journal. Issue No. 3, May, 2005. Departement of the Envoronment and Heritage, Australia.
Mena, C.F., S.J. Walsh, and R.E. Bilsborrow. 2010. Demographic, Socieconomic, and Biophysical Factors Affecting Land Use and Land
Cover Change in The Northern Ecuadorian Amazon: Factors, Statistical Models, and Spatial Explicit Simulations. Carolina Population Center and
Geography Department, University of North Carolina, USA.
167
Murdiyarso, D. 2005. Water Resources Management Policy Responses to Land Cover Change in South East Asian River Basins. In: Forest, Water and
people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press.
Pawitan, H., R. Boer, Y. Kusmaryono, dan J.S. Baharsyah. 2003. Perubahan Iklim Global dan Dampaknya terhadap Masa Depan Sumberdaya Air dan
Ketersediaan Air di Indonesia. Prosiding: Seminar Hari Air Sedunia, Jakarta.
Pearce, D., and D. Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUCN Earthscan Publications Ltd. London.
Perusahaan Daerah Air Minum PDAM Kota Kendari. 2010. Rencana Pengembangan Peningkatan Pelayanan Konsumen Kota Kendari.
Kendari, Sulawesi Tenggara. Purwanto, E., dan J. Ruijter. 2004. Hubungan antara Hutan dan Fungsi Daerah
Aliran Sungai. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre.
Purwanto, M.Y.J. 1995. Water Demand for Industry, Village and City. Seminar on Water Demand in Developing Country, Tokyo, Japan.
Purwanto, M.Y.J, and Sutoyo. 2010. Water Resources Assessment for City Area. Proceedings of The International Conference. The Quality Information
for Competitive Agricutural Based Production System and Commerce. IPB International Convention Center, Bogor, 2010.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan. 1999. Inventarisasi Hidrologi di 15 Daerah Aliran Sungai DAS. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pengairan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.
Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat. Disertasi Doktor Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ramdan, H., Yusran, dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah : Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi.
Cetakan Pertama. Penerbit Alqaprint Jatinangor, Bandung. Randal, A. 1987. Resource Economic. John Wiley Sons, Inc. New York,
Chichester, Brisbane, Singapore, Toronto. Richard, M. 1997. The Potential for Economic Valuation of Watershed
Protection in Mountainous Areas : A Case Study from Bolivia. Mountain Research and Development. Of land use change. Journal of Global
Environmental Change. 15 2005 23 – 31.
168
Rudel, T.K., O.T. Coomes, E. Moran, F. Achard, A. Angelsen, J. Xu, and E. Lambin. 2005. Forest transitions: towards a global understanding.
Journal of Global Environmental Change 15 2005 23 – 31. Published by:
Elsevier, Ltd. All rights reserved. Sanim, B. 2003. Ekonomi Sumberdaya Air dan Manajemen Pengembangan
Sektor Air Bersih Bagi Kesejahteraan Publik. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sanim, B. 2005. Handout Mata Kuliah : Ekonomi Lingkungan dan Analisis Kebijakan. Fakultas Ekonomi Manajemen FEM, Institut Pertanian
Bogor. Schaldach, R., and J.A. Priess. 2008. Integrated Models of the Land System: A
Review of Modelling Approaches on the Regional to Global Scale. Center for Environmental Systems Research University of Kassel, Kurt-
Wolters-Str. 3, Germany.
Seckler, D., U. Amarasinghe, D. Molden, R. de Silva, and R. Barker. 1998. World Water Demand and Supply, 1990 to 2025: Scenarios and Issues.
Research Report 19. International Water Management Institute, P O Box 2075, Colombo, Sri Lanka.
Setiawan, A. 2000. Nilai Ekonomi Hutan Raya Wan Abdul Rachman Provinsi Lampung. Thesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sihite, J.H.S. 2004. Valuasi Ekonomi dari Perubahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Besai-DAS Tulang Bawang Lampung. Disertasi Doktor, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Singh, V.P. 1992. Elementary Hydrology. Departement of Civil Engineering
Louisiana State University. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, USA.
Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Industri Lestari dengan Pertanian Konservasi. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Konservasi Tanah
dan Air. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sinukaban, N. 2005. Implication of Regional Autonomy on Watershed
Management. Paper
Presented on
Seminar for
Contennial Commemoration of the Indonesian Soil Research Institute, Bogor.
Sinukaban, N. 2008. Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam Mitigasi Banjir. Prosiding Seminar Konservasi Tanah dan Air. Forum DAS Provinsi
Lampung. Bandar Lampung, Indonesia. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Penerbit: Universitas Indonesia. Jakarta,
Indonesia. Soeparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Suatu
Pendekatan Teoritis. Edisi Ketiga. Penerbit: BPFE Yogyakarta. Anggota IKAPI No. 008.
169
Soeparmoko, M. 2006. Panduan dan Analisis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Konsep, Metode Penghitungan dan Aplikasi.
Edisi Pertama. Penerbit: BPFE Yogyakarta. Anggota IKAPI No. 008. Spash, C.L. 1997. Ethics and Environment Attitudes with Implication for
Economic Valuation. Journal of Environmental Management 50:403-416. Suara Merdeka. 2004. Tahun 2020 Indonesia Kekurangan Air Bersih. Senin, 13
Desember 2004. Internet : www.google.com
Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara.2010. Debit Rata-Rata Sungai Konaweha Tahun 1993
– 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara. Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara.2009. Rekapitulasi Data
Curah Hujan Bulanan Stasiun Hujan Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Sulistiyono, N. 2006. Penilaian Ekonomi pada Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 Studi Kasus di DAS
Ciliwung Hulu, DAS Ciesek, Kabupaten Bogor. Thesis Magister Sains Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Suratiah, K. 2006. Ilmu Usahatani. Penerbit: Penebar Swadaya Jakarta. Jakarta, Indonesia.
Swanson, T.M. 1996. The Economic of Environment Degradation, The Tragedy for the Commons. UNEP. Edward Elgar Publishing. Cheltenham
- UK, Brookfield - USA. Tang, Z., B.A. Engel, B.C. Pijanowski, and K.J. Lim. 2005. Forecasting land use
change and its environmental impact at a watershed scale. Journal of Envoronmental Management, 76 2005 35
– 45. Published by: Elsevier, Ltd. All rights reserved. Doc:10.1016j.jenvman. 2005.01.006.
Taufik, Y., A. Nikoyan, dan La Baco, 2001. Studi Pengembangan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Kolaka. Kerjasama Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kolaka dengan Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Tietenberg, T. 1992. Environmental Economics and Policy. Harpers Collins College Publisher Inc. New York.
UNEP and FAO. 1999. The Future of Our Land. Facing the Challenge. United Nation Environment Programme. Food And Agriculture Organization,
Rome, Italy. United Nation Development Programme UNDP dan Kementerian Lingkungan
Hidup KLH, 1998. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Dampak, Faktor dan Evaluasi. Jilid I. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
Republik Indonesia. Jakarta.
170
Van Noordwijk, M., F. Agus, D. Suprayogo, K. Hairiah, G. Pasha, B. Verbist, dan Farida. 2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi
Hidrologi Daerah Aliran Sungai DAS. Prosiding Lokakarya di PadangSingkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre.
Verburg, P, G.H.J. de Koning, K. Kok, A. Veldkamp, and J. Bouma. 1999. A spatial explicit allocation procedure for modelling the pattern of land use
change based upon actual land use. Ecological Modelling 116 1999 45 –
61. Elsevier, Wageningen, Netherlands. Verburg, P.H, T. Veldkamp, and J.P. Lesschen. 2011. Exercises for the CLUE-S
model. The CLUE Modelling Framework. Ecological Modelling. Elsevier, Wageningen, Netherlands.
Wainger, L.A., J. Rayburn, and E. W. Price. 2007. Review of Land Use Change Models Applicability to Projections of Future Energy Demand in the
Southeast United States. University of Maryland, Center for Environmental Science Chesapeake Biological Laboratory, USA.
Ward, A.D., W.J. Elliot. 1992. Environmental Hydrology. Lewis Publisher, Boca Raton, New York, London, Tokyo.
World Health Organization WHO. 2009. Jumlah Air Minimal Kebutuhan Rumah Tangga. Technical Notes for Emergencies, Technical Note No. 9.
WHO Regional Office for South-East Asia. Wood, E.C., G.G. Tappan, and A. Hadj. 2004. Undertanding the drivers of
Agricultural land use change in South-Central Senegal. Journal of Arid Environments. Published by Elsevier, Ltd. All right reserved. Doc:
10.106.
Yunus, L. 2005. Metode Penilaian Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan Studi Kasus di Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat. Disertasi Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Yusnaini, S., A. Niswati, M.A.S. Arif, and M. Nonaka. 2008. The Changes of Earthworm Population and Chemical Properties of Tropical Soil Under
Different Land Use System. Journal of Tropical Soils, Vol. 13, No. 2, 2008.
Yuwono, S.B. 2011. Alternatif Pengembangan Sumberdaya Air Berkelanjutan DAS Way Betung Kota Bandar Lampung. Disertasi Doktor pada Program
Studi Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
171
Lampiran 1. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1991
Lampiran 2. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1999
172
Lampiran 3. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 2011
Lampiran 4. Proporsi Luas Masing-masing Jenis Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu Tahun 1991-2011
Penggunaan Lahan Luas
1991 1999
2001 2004
2005 2006
2008 2011
Hutan 66,6
55,3 51,3
50,1 49,2
48,8 47,0
43,6 Perkebunan
26,0 34,8
38,3 39,0
39,5 39,6
40,0 42,0
Kebun Campuran 3,0
3,8 4,0
4,5 4,7
4,8 5,5
6,5 Semak Belukar
1,7 2,6
2,9 3,0
3,0 3,1
3,3 3,5
Tegalan 0,7
1,2 1,3
1,5 1,7
1,8 2,1
2,5 Lahan Terbuka
0,6 1,1
0,7 0,4
0,3 0,2
0,5 0,6
Permukiman 0,6
0,9 0,9
1,0 1,0
1,0 1,1
1,3 Sawah
0,2 0,4
0,5 0,5
0,6 0,6
0,6 0,8
Total 100,0
100,0 100,0
100,0 100,0
100,0 100,0
100,0
Keterangan: Luas DAS Konaweha Hulu adalah 337.992 hektar.
173
Lampiran 5. Analisis Keragaman Anova Pengaruh Waktu terhadap Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu
Analysis of Variance x, y1 Source DF SS MS F P
Regression 1 177.012 177.012 17.01 0.054 Error 2 20.815 10.408
Total 3 197.827 Analysis of Variance x, y2
Source DF SS MS F P Regression 1 100.801 100.801 13.36 0.067
Error 2 15.087 7.544 Total 3 115.888
Analysis of Variance x, y3 Source DF SS MS F P
Regression 1 2.1125 2.1125 281.67 0.004 Error 2 0.0150 0.0075
Total 3 2.1275 Analysis of Variance x, y4
Source DF SS MS F P Regression 1 1.0125 1.0125 15.00 0.061
Error 2 0.1350 0.0675 Total 3 1.1475
Lampiran 6. Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Tahun 2011-2050
Periode Hutan
Perkebunan Kebun Campuran
Semak Belukar 5 1991-1995
66.6 26.0
3.0 1.7
10 1996-2000 55.3
34.8 3.8
2.6 15 2001-2005
50.7 38.6
4.3 2.9
20 2006-2010 48.3
39.7 5.0
3.1
25 2011-2015 43.2
43.1 5.3
3.6 30 2016-2020
39.1 45.0
5.7 3.9
35 2021-2025 35.4
46.6 6.0
4.2 40 2026-2030
32.0 47.9
6.3 4.5
45 2031-2035 29.0
49.1 6.6
4.7 50 2036-2040
26.2 50.2
6.8 4.9
55 2041-2045 23.7
51.2 7.1
5.1 60 2046-2050
21.5 52.1
7.3 5.3
Keterangan: Kolom 2:
y = 71.26e-0.02x
Kolom 3:
y = 10.2Lnx + 10.3
Kolom 4:
y = 1.67x0.36
Kolom 5:
y = 0.88x0.44
Angka-angka yang dicetak tebal merupakan hasil proyeksi dari tahun 2011-2050
174
Lampiran 7a. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2007
Jan Feb
Mar Apr
May Jun
Jul Aug
Sep Oct
Nov Dec
Tanggal Curah Hujan mm dan Debit m3detik
CH Debit
CH Debit
CH Debit
CH Debit
CH Debit
CH Debit
CH Debit
CH Debit
CH Debit
CH Debit
CH Debit
CH Debit
1 50
60 38
210 20
188 88
35 224
97 89
1 67
3 44
2 33
3 47
2 47
54 20
245 176
38 205
24 211
85 88
1 67
39 29
39 3
45 32
165 224
175 265
202 15
114 7
119 17
119 32
13 88
11 79
4 4
77 7
161 213
18 230
22 300
187 12
119 35
188 94
25 31
159 68
5 75
158 199
4 222
285 165
87 176
75 21
144 57
6 70
147 166
175 275
133 74
17 177
58 19
133 52
7 65
139 42
256 154
255 115
63 165
47 18
126 49
8 57
133 220
43 287
245 10
147 55
122 39
17 121
40 9
53 113
210 7
256 20
271 124
47 114
28 16
95 35
171 10
15 138
104 177
3 228
260 118
44 87
27 6
59 82
2 155
11 135
97 164
197 260
20 175
43 64
22 55
71 1
149 12
122 86
144 177
8 255
15 188
41 51
20 45
60 133
13 110
64 125
10 220
247 177
41 44
17 40
51 116
14 31
160 51
110 14
210 245
146 18
121 37
15 35
41 105
15 19
165 6
124 11
165 185
240 16
178 6
102 33
6 45
35 33
96 16
18 160
118 142
167 235
144 78
3 41
26 35
11 125
89 17
145 13
141 133
154 227
122 66
37 22
5 57
100 79
18 133
137 129
10 178
175 97
59 3
55 19
55 78
74 19
124 130
125 18
194 135
76 4
64 2
42 16
49 65
69 20
117 122
118 175
115 75
37 233
23 155
15 23
144 55
64 21
97 119
103 146
44 318
71 187
14 153
15 125
41 10
99 22
88 109
100 131
13 310
71 169
133 14
112 32
93 23
77 87
85 126
10 307
15 137
13 206
127 14
96 8
65 14
119 24
64 15
101 20
122 97
287 122
10 222
116 13
78 55
94 25
57 35
225 8
124 85
5 280
106 11
210 110
13 66
44 85
26 15
122 25
220 1
122 81
275 41
274 4
197 11
132 7
34 49
36 72
27 13
125 185
85 72
260 222
144 5
127 22
37 31
8 88
28 2
118 155
77 65
244 178
9 157
1 122
20 29
29 5
79 29
109 62
64 215
155 132
1 122
19 22
26 60
30 99
14 112
14 124
197 143
113 97
17 20
22 60
31 95
97 20
225 97
75 19
55 117
100 133
125 154
147 161
165 180
242 176
149 139
112 122
103 32
34 37
48 65
69 89
85 Total CH
117 133
154 162
180 176
139 122
32 37
65 89
Debit Rata-rata 100
125 147
165 242
149 112
103 34
48 69
85
Qmax 160
225 256
287 318
274 233
188 119
144 159
171 Qmin
45 51
62 64
88 71
41 33
13 16
22 39
175
Lampiran 7b. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2008
Jan Feb
Mar Apr
May Jun
Jul Aug
Sep Oct
Nov Dec
Tanggal Curah Hujan mm dan Debit m3detik
CH Debit CH
Debit CH Debit CH
Debit CH Debit CH
Debit CH Debit CH
Debit CH Debit CH
Debit CH Debit CH
Debit 1
94 10
123 45
255 5
140 13
256 3
175 88
5 77
25 30
19 127
70 2
93 6
144 5
230 133
15 259
168 77
58 25
30 5
122 70
3 7
106 10
155 4
200 133
255 159
75 51
25 30
102 65
4 8
127 15
171 215
23 260
250 142
10 125
39 21
20 77
87 60
5 2
138 169
165 2
255 245
140 119
35 21
63 82
25 135
6 122
165 14
200 245
25 275
133 116
4 55
21 55
72 20
145 7
120 155
189 17
254 12
271 9
224 11
130 10
74 20
55 69
135 8
80 149
161 245
13 269
203 126
7 70
19 55
57 135
9 70
7 160
7 206
224 260
4 207
5 124
61 5
55 52
43 28
184 10
77 8
190 10
230 221
255 10
238 5
121 50
2 40
48 15
100 8
175 11
70 162
190 20
259 15
260 14
241 7
126 2
59 2
35 45
5 95
146 12
4 120
156 8
199 250
253 16
245 6
125 56
30 15
61 88
5 145
13 112
145 150
240 242
9 230
3 120
55 30
56 85
131 14
108 128
6 155
6 237
240 12
244 90
7 81
25 50
71 128
15 108
110 145
8 251
220 233
80 8
88 20
50 64
127 16
6 110
100 10
195 200
170 215
80 12
122 20
45 52
112 17
122 98
200 30
250 14
256 188
70 82
3 35
40 47
104 18
122 96
145 4
240 244
171 14
135 70
25 40
45 92
19 7
125 85
140 9
245 231
162 122
62 20
35 44
77 20
120 12
160 3
167 9
249 224
137 7
112 4
65 20
35 42
66 21
114 159
163 1
233 220
121 5
98 8
85 20
27 39
65 22
25 147
155 123
1 232
220 117
4 97
67 20
27 4
43 60
23 175
155 4
127 190
215 105
6 104
59 20
17 67
42 55
24 165
146 6
149 160
200 100
8 122
55 3
25 59
40 47
25 10
160 135
130 125
16 257
5 155
117 50
25 47
40 4
83 26
10 150
120 120
110 250
137 114
2 55
8 63
41 25
165 81
27 3
140 3
129 105
105 238
124 85
1 37
6 52
2 37
17 147
76 28
11 132
16 220
90 7
120 8
247 121
72 37
2 45
37 122
76 29
1 120
40 235
12 108
17 180
223 120
70 35
37 37
114 5
65 30
18 100
10 155
170 180
6 100
66 35
32 35
93 65
31 2
102 140
145 65
35 30
60 114
118 127
147 144
166 159
205 131
236 88
169 91
102 70
60 31
29 54
45 90
78 95 97.9
Total CH
114 127
144 159
131 88
91 70
31 54
90 95
Debit Rata-rata 118
147 166
205 236
169 102
60 29
46 78
98 Qmax
175 235
255 260
275 245
135 122
63 77
165 184
Qmin 70
85 90
110 145
100 65
35 19
27 39
47
176
Lampiran 7c. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2009
Jan Feb
Mar Apr
May Jun
Jul Aug
Sep Oct
Nov Dec
Tanggal Curah Hujan mm dan Debit m3detik
CH Debit CH
Debit CH Debit CH
Debit CH Debit CH
Debit CH Debit CH
Debit CH Debit CH
Debit CH Debit CH
Debit 1
82 20
157 88
183 178
15 246
63 42
22 4
33 30
35 2
15 143
148 22
192 179
177 239
63 41
15 55
27 10
95 35
3 133
145 185
169 17
270 220
59 7
66 33
25 80
5 55
4 10
147 145
165 25
266 270
40 293
35 217
2 62
28 25
77 38
128 5
145 130
121 261
10 265
277 185
43 30
125 22
69 15
177 6
3 145
115 116
241 265
267 164
41 8
104 20
65 169
7 139
10 161
92 11
247 17
270 239
151 40
87 20
35 157
153 8
133 7
144 84
242 265
216 139
38 65
6 43
146 139
9 130
120 77
226 220
145 122
7 55
54 40
142 131
10 120
85 73
7 239
210 122
95 10
73 41
39 122
114 11
90 71
21 242
227 165
17 233
81 61
38 35
90 87
12 85
64 222
225 144
20 251
66 55
36 33
7 99
71 13
70 12
144 197
209 102
224 57
49 33
32 89
66 14
65 7
156 18
245 12
237 93
187 23
155 43
28 30
79 47
15 55
31 253
235 229
10 266
20 260
141 42
27 25
75 45
16 10
127 10
237 224
207 254
12 245
128 32
174 24
22 67
32 17
118 225
182 175
233 16
230 24
155 17
155 22
21 55
10 88
18 8
135 202
7 225
165 54
347 225
133 128
20 14
77 35
5 84
19 129
198 195
133 342
188 122
93 18
75 28
4 83
20 122
17 203
156 104
321 174
25 161
75 17
33 144
9 71
77 21
117 18
217 143
97 304
10 187
127 63
15 121
56 69
22 106
195 37
266 86
277 153
115 15
102 14
117 47
59 23
30 166
3 195
10 247
83 264
137 25
159 7
84 13
104 39
48 24
45 188
150 211
81 10
279 115
140 71
12 85
13 88
41 25
175 135
190 48
279 16
288 102
124 61
11 77
77 18
133 26
173 120
175 25
272 270
95 112
57 11
65 62
125 27
168 83
15 200
21 247
10 265
88 92
45 10
8 55
60 124
28 165
66 152
19 227
8 265
74 83
18 110
10 41
59 114
29 135
133 216
247 66
69 93
9 39
49 112
30 133
21 198
202 20
275 63
57 85
9 32
42 91
31 122
195 265
55 55
27 88
121 128
135 152
151 175
168 198
172 247
150 185
132 116
115 71
53 33
65 50
74 75
95 91
Total CH
121 135
151 168
172 150
132 115
53 65
74 95
Debit Rata-rata 128
152 175
198 247
185 116
71 33
50 75
91 Qmax
188 253
266 279
347 293
217 174
125 144
157 177
Qmin 55
64 73
83 93
63 55
38 9
20 28
32
177
Lampiran 7d. Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit Harian Minimum Sungai Konaweha 2007-2009
Tahun 2007 Jan
Feb Mar
Apr May
Jun Jul
Aug Sep
Oct Nov
Dec Qmax m3det
160 225
256 287
318 274
233 188
119 144
159 171
Qmin m3det 45
51 62
64 88
71 41
33 13
16 22
39 Qrata-rata m3det
100 125
147 165
242 149
112 103
34 48
69 85
Tahun 2008 Jan
Feb Mar
Apr May
Jun Jul
Aug Sep
Oct Nov
Dec Qmax m3det
175 235
255 260
275 245
135 122
63 77
165 184
Qmin m3det 70
85 90
110 145
100 65
35 19
27 39
47 Qrata-rata m3det
118 147
166 205
236 169
102 60
29 46
78 98
Tahun 2009 Jan
Feb Mar
Apr May
Jun Jul
Aug Sep
Oct Nov
Dec Qmax m3det
188 253
266 279
347 293
217 174
70 144
157 177
Qmin m3det 55
64 73
83 93
63 55
38 15
20 28
32 Qrata-rata m3det
128 152
175 198
247 185
116 71
33 50
75 91
Rata-Rata Jan
Feb Mar
Apr May
Jun Jul
Aug Sep
Oct Nov
Dec Qmax m3det
174 238
259 275
313 271
195 161
84 122
160 177
Qmin m3det 57
67 75
86 109
78 54
35 16
21 30
39 Qrata-rata m3det
115 141
163 189
242 168
110 78
32 48
74 91
Lampiran 8. Curah Hujan Rata-rata Bulanan DAS Konaweha Tahun 1999-2009
Curah Hujan mm Bulan
1999 2000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 Rata-rata
Jan 100
144 115
112 105
99 122
101 117
114 121
114 Feb
118 136
132 120
141 124
124 104
133 127
135 127
Mar 135
67 135
171 185
144 158
142 154
144 151
144 Apr
147 125
140 160
166 160
149 140
162 155
168 152
May 155
278 155
170 163
150 101
165 180
168 172
169 Jun
130 107
139 170
102 134
82 150
176 109
150 132
Jul 114
93 128
41 167
99 72
95 139
77 132
105 Aug
88 60
90 10
58 58
66 85
122 64
115 74
Sep 47
18 46
11 45
40 44
44 32
31 53
37 Oct
65 106
92 12
16 75
98 18
37 54
65 58
Nov 90
28 123.2
28 34
80 102
88 66
72 74
71 Dec
97 22
102 144
154 94.8
118 94
89 95
95 100
Total 1286
1184 1397
1149 1336
1258 1236
1226 1407
1210 1431
1269
Lampiran 9. Debit Bulanan Rata-rata, Maksimum dan Minimum Sungai Konaweha Tahun 1993-2009
Debit m3detik Bulan 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jan 100
135 79
59 55
53 90
114 121
98 94
90 132
142 100
135 128
Feb 129
149 127
174 151
185 106
110 114
81 113
145 164
174 125
177 152
Mar 182
231 151
181 152
200 125
71 133
127 134
175 196
175 147
192 175
Apr 234
251 291
182 240
242 162
176 165
122 125
202 258
199 165
244 198
May 254
246 238
232 255
271 195
381 237
243 247
254 203
266 242
275 247
Jun 290
180 295
234 185
225 205
276 220
127 225
182 74
168 149
166 185
Jul 189
126 185
175 172
181 108
143 165
52 126
99 60
95 112
87 116
Aug 78
99 94
98 89
147 56
66 81
44 65
58 59
55 103
49 71
Sep 37
38 41
40 37
35 36
11 34
31 25
30 28
23 34
20 33
Oct 70
49 76
77 66
55 41
23 55
23 28
49 59
31 48
39 50
Nov 191
89 118
162 114
88 58
29 110
40 46
85 118
47 69
48 75
Dec 135
125 136
119 78
74 75
35 118
120 99
92 122
95 85
85 91
Max 290
251 295
234 255
271 205
381 237
243 247
254 258
266 242
275 247
Min 37
38 41
40 37
35 36
11 34
31 25
30 28
23 34
20 33
178
Lampiran 10. Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit Minimum DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010
Qmax m3detik
Qmin m3detik
H K
Kc Sb
1991-1995 66,6
26,0 3,0
1,7 28,4
246 40
6,2 1996-2000
55,3 34,8
3,8 2,6
36,3 252
36 7,0
2001-2005 50,7
38,6 4,3
2,9 43,1
272 33
8,2 2006-2010
48,3 39,7
5,0 3,1
45,6 284
24 11,8
Periode Luas Tutupan Luas DAS Konaweha
Hulu Koefisien C
KRS
Keterangan: H : hutan; K: perkebunan, Kc: kebun campuran; Sb: semak belukar; C: koefisien aliran
permukaan; KRS: koefisien regim sungai Q
max
Q
min
; Q
max
: debit maksimum; Q
min
: debit minimum.
Lampiran 11. Analisis Regresi dan Keragaman Pengaruh Perubahan Penggunaan
Lahan terhadap Kondisi Hidrologi DAS Konaweha Hulu
Regression Analysis: C Tahunan versus H , K , Kc , Sb The regression equation is
C = 64.0 - 0.905 H + 0.544 K - 0.76 Kc + 2.43 Sb Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 4 69.854 17.464 390.47 0.038
Residual Error 1 0.045 0.045 Total 5 69.899
Regression Analysis: Qmax m3detik versus H , K , Kc , Sb The regression equation is
Qmax m3detik = 1713 - 20.1 H - 10.1 K - 45.4 Kc + 47.5 Sb Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 4 2982.33 745.58 1474.72 0.020
Residual Error 1 0.51 0.51 Total 5 2982.83
Regression Analysis: Qmin m3detik versus H , K , Kc , Sb The regression equation is
Qmin m3detik = 13 + 0.7 H + 0.6 K - 3.4 Kc - 3.7 Sb Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 4 180.00 45.00 33.91 0.360
Residual Error 1 11.50 11.50 Total 5 191.50
179
Lampiran 12. Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Pendekatan Rata-rata Aritmetik m
3
detik
Debit m3detik Bulan 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
Jan 100
135 79
59 55
53 90
114 121
98 94
90 132
142 100
135 128
101 Feb
129 149
127 174
151 185
106 110
114 81
113 145
164 174
125 177
152 140
Mar 182
231 151
181 152
200 125
71 133
127 134
175 196
175 147
192 175
162 Apr
234 251
291 182
240 242
162 176
165 122
125 202
258 199
165 244
198 203
May 254
246 238
232 255
271 195
381 237
243 247
254 203
266 242
275 247
252 Jun
290 180
295 234
185 225
205 276
220 127
225 182
74 168
149 166
185 199
Jul 189
126 185
175 172
181 108
143 165
52 126
99 60
95 112
87 116
129 Aug
78 99
94 98
89 147
56 66
81 44
65 58
59 55
103 49
71 77
Sep 37
38 41
40 37
35 36
11 34
31 25
30 28
23 34
20 33
31 Oct
70 49
76 77
66 55
41 23
55 23
28 49
59 31
48 39
50 49
Nov 191
89 118
162 114
88 58
29 110
40 46
85 118
47 69
48 75
87 Dec
135 125
136 119
78 74
75 35
118 120
99 92
122 95
85 85
91 99
Lampiran 13. Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Peluang 80 m
3
detik
Ranking Jan
Feb Mar
Apr May Jun
Jul Aug
Sep Oct
Nov Dec
Periode Tahun Peluang
1 142
185 231
291 381
295 189
147 41
77 191
136 18.00
6 2
135 177
200 258
271 290
185 103
40 76
162 135
9.00 11
3 135
174 196
251 257
276 181
99 38
70 118
125 6.00
17 4
132 174
192 244
266 234
175 98
37 66
118 122
4.50 22
5 128
164 182
242 255
225 172
94 37
59 114
120 3.60
28 6
121 152
181 240
255 225
165 89
36 55
110 119
3.00 33
7 114
151 175
234 254
220 143
81 35
55 89
118 2.57
39 8
100 149
175 202
254 205
126 78
34 50
88 99
2.25 44
9 100
145 175
199 247
185 126
71 34
49 85
95 2.00
50 10
98 129
152 198
247 185
116 66
34 49
75 92
1.80 56
11 94
127 151
182 246
182 112
65 33
48 69
91 1.64
61 12
90 125
147 176
242 180
108 59
30 41
58 85
1.50 67
13 90
114 134
165 240
168 99
58 28
39 48
85 1.38
72 14
79 113
133 165
238 166
95 56
25 31
47 78
1.29 78
15 59
110 127
162 232
149 87
55 23
28 46
75 1.20
83 16
55 106
125 125
203 127
65 49
20 23
40 74
1.13 89
17 53
81 71
122 180
74 52
44 11
23 29
35 1.06
94 Rata-rata
71 112
131 164
236 140
92 56
24 30
47 77
Peluang 80
Lampiran 14. Debit Minimum Q
min
Sungai Konaweha Periode 2011-2015 sampai 2046-2050
Periode Hutan
Perkebunan Kebun Campuran
Semak Belukar Qmin m3detik
1 2
3 4
5 6
2011-2015 43.2
43.1 5.3