Penyerahan diri atau tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran Diponegoro, merupakan pukulan berat bagi perjuangan Pangeran
Diponegoro. Namun pasukan di bawah komando Diponegoro terus berjuang mempertahankan tanah tumpah darahnya. Pasukan ini bergerak dari pos
yang satu ke pos yang lain. Belum ada tanda-tanda perlawanan Diponegoro mau berakhir. Belanda kemudian mengumumkan kepada khalayak
pemberian hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Tetapi nampaknya tidak ada yang tertarik dengan pengumuman itu.
5. Perlawanan di Bali
Anda tentu sudah tahu tentang Bali. Sekalipun ada di antara kamu yang belum pernah ke Bali, tetapi tentu sudah begitu familier mendengar nama
Bali. Bahkan pada abad ke-20 pada saat Indonesia sudah merdeka ternyata masyarakat dunia lebih mengenal nama Bali dari pada nama Indonesia. Bali
adalah sebuah pulau kecil yang sangat terkenal di Indonesia. Bali dikenal sebagai Pulau Dewata dan menjadi tujuan wisata nomor satu di Indonesia.
Tetapi kalau kita lihat dalam perjalanan sejarah nasional Indonesia sampai abad ke-19 Bali belum banyak menarik perhatian orang-orang Barat untuk
menanamkan pengaruhnya. Kapal-kapal orang-orang Barat mungkin hanya singgah dan sekedar berdagang. Baru pada sekitar tahun 1830- an
pemerintahan Hindia Belanda aktif menanamkan pengaruhnya di Bali. Perkembangan dominasi Belanda inilah yang kemudian menyulut api
perlawanan rakyat Bali kepada Belanda yang terkenal dengan sebutan “Perang Puputan”
Mengapa terjadi Perang Puputan di Bali?
Pada abad ke-19 di Bali sudah berkembang kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Misalnya Kerajaan Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar,
Badung, Jembrana, Tabanan, Menguri dan Bangli. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels mulai terjadi kontak dengan kerajaan-kerajaan
di Bali, tidak sekedar urusan dagang tetapi menyangkut sewa menyewa orang-orang Bali untuk dijadikan tentara pemerintah Hindia BeIanda. Tetapi
dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda ingin menanamkan pengaruh dan berkuasa di Bali. Untuk itu, Belanda mengirim dua utusan
dengan misi masing-masing.
Pertama, G.A. Granpre Moliere untuk misi ekonomi,
kedua, Huskus Koopman mengemban misi politik. Misi ekonomi berjalan lancar. Tetapi misi politik menghadapi berbagai kendala. Huskus
Koopman terus berusaha mendekati raja-raja di Bali agar bersedia mengakui keberadaan dan kekuasaan Belanda. Akhirnya dicapai perjanjian atau
kontrak politik antara raja-raja di Bali dengan Belanda. Misalnya, dengan Raja Badung 28 November 1842, dengan Raja Karangasem 1 Mei 1843,
dengan Raja Buleleng 8 Mei 1843, dengan Raja Klungkung 24 Mei 1843 dan Tabanan 22 Juni 1843. Perjanjian kontrak antara raja-raja di Bali
dengan Belanda itu terutama seputar Hukum Tawan Karang agar dihapuskan.
Karena kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima perjanjian untuk meratifikasi penghapusan Hukum Tawan Karang. Tetapi
sampai tahun 1844 Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakan perjajian tersebut. Terbukti pada tahun 1844 itu penduduk melakukan
perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit Buleleng dan Jembrana waktu itu juga daerahnya Buleleng. Belanda
protes keras terhadap kejadian ini. Belanda memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem agar melaksanakan isi perjanjian yang telah
disepakati. Belanda juga menuntut agar Buleleng membayar ganti rugi atas kapal Belanda yang dirampas penduduk. Raja Gusti Ngurah Made
Karangasem yang mendapat dukungan patihnya, I Gusti Ktut Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan I Gusti Ktut
Jelantik sudah melakukan latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda. Dengan demikian perang tidak dapat
dihindarkan.
Patih Ktut Jelantik terus mempersiapkan prajurit Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan. Dalam pertempuran ini Raja Buleleng juga mendapat
dukungan dari Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Sementara, pada tanggal 27 Juni 1846 telah datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang
pasukan darat yang langsung menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. Di samping itu, masih ada pasukan laut yang datang dengan kapal-kapal
sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari Buleleng, dibantu oleh para pejuang Karangasem, dan Klungkung melawan Belanda.
Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng bertempur mati-matian. Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap dan modern,
maka para pejuang Buleleng semakin terdesak. Benteng pertahanan Buleleng jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih Ktut
Jelantik beserta pasukannya, terpaksa mundur sampai ke Desa Jagaraga sekitar 7 km sebelah timur Singaraja. Pasukan Belanda terus mendesak
para pejuang dan memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian. Perjanjian ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara lain:
1 Dalam waktu tiga bulan, Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng Buleleng yang pernah digunakan dan tidak boleh membangun
benteng baru, 2 Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah dikeluarkan Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan raja
harus menyerahkan I Gusti Ktut Jelantik kepada pemerintah Belanda, 3 Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng.
Tekanan dan paksaan Belanda itu mencoba ditandingi dengan tipu daya. Raja dan para pejuang pura-pura menerima isi perjanjian itu. Tetapi di balik
itu Raja dan Patih Ktut Jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng pertahanan yang kuat bagaikan
gelar-supit urang. Rakyat
juga sengaja tetap mempertahankan Hukum Tawan Karang. Pada tahun 1847 saat ada kapal-kapal asing terdampar di Pantai Kusumba Klungkung, tetap
dirampas oleh kerajaan. Sudah tentu hal ini menimbulkan amarah dari Belanda. Belanda kemudian mengeluarkan ultimatum agar raja-raja di
Buleleng, Klungkung dan Karangasem mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian yang telah ditandatangani.
Raja-raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda itu. Rakyat justru dipersiapkan untuk melawan kekejaman Belanda. Raja Buleleng kemudian
mengirim kurir untuk meminta bantuan pasukan dari kerajaan-kerajaan lain di Bali, sehingga datang pasukan tambahan dari Klungkung, Karangasem,
Mengwi. Belanda mengetahui bahwa Raja Buleleng membangkang dan Patih Ktut Jelantik terus memperkuat pasukannya.
Menghadapi hal tersebut Belanda terus meningkatkan kekuatannya. Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848, telah mendarat bala bantuan Belanda di Pantai
Sangsit. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap benteng Jagaraga dimulai. Sebagai pemimpin tentara Belanda antara lain: J. van Swieten,
Letkol Sutherland Benteng Jagaraga terus dihujani meriam. Namun pasukan Buleleng di bawah pimpinan Ktut Jelantik yang dibantu isterinya, Jero
Jempiring mampu mengembangkan pertahanan dengan
gelar-supit urang sehingga dapat menjebak pasukan Belanda. Lima orang opsir dan 74 orang
serdadu dapat ditewaskan ditambah lagi tujuh opsir dan 98 serdadu Belanda luka-luka. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.
Kekalahan Belanda itu cukup menyakitkan perasaan pimpinan Belanda di Batavia. Oleh karena itu, dipersiapkan pasukan yang lebih kuat untuk
melakukan pembalasan. Awal April 1849 telah datang kesatuan serdadu Belanda dalam jumlah besar menuju ke Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849
semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga. Dalam tempo dua hari, yakni tanggal 16 April sore hari semua kekuatan di Jagaraga
dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Runtuhlah Benteng Jagaraga sebagai pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja Buleleng diikuti I Gusti
Ktut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem. Tetapi mereka tertangkap dan terbunuh dalam upaya untuk mempertahankan diri.
Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ktut Jelantik maka jatuhlah Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda. Menyusul kemudian bulan Mei 1849
Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba Klungkung jatuh pula ke tangan Belanda. Tetapi nampaknya tidak mudah Belanda untuk
menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung, pada tahun 1908 terjadi
Perang Puputan di Klungkung.
6. Perang Banjar