Strategi Perang Melawan Terorisme Detase
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Strategi Perang Melawan Terorisme: Detasemen 88 Anti Teror Polri
dan Tumpang Tindihnya Kebijakan Keamanan di Indonesia
I. Latar Belakang
Perang melawan terorisme menjadi salah satu agenda keamanan global terpenting
pasca serangan teror 9/11 di Amerika Serikat. Agenda ini bahkan selalu mendapatkan
justifikasi dari negara-negara yang kerap dijadikan target sasaran teror, untuk
memperkuat sektor keamanannya dalam menghadapi situasi terburuk atas ancaman
teror. Bahkan, kecenderungan keamanan kerap dijadikan faktor penentu dalam
mendorong model pembangunan perdamaian di wilayah-wilayah khusus dan
diidentifikasi sebagai basis negara pencetak kelompok-kelompok radikal, seperti
Afganistan dan Irak.1
Konteks keamanan global kemudian hadir dan digunakan untuk melumpuhkan
kelompok-kelompok fundamentalis yang memiliki kekuatan teror secara global,
namun konteks ini juga memiliki beberapa implikasi serius yang bisa dirasakan secara
meluas, khususnya pada isu pembangunan perdamaian dan hak asasi manusia.
Untuk isu hak asasi manusia, kita bisa langsung merujuk pada sejumlah temuan yang
dikeluarkan oleh Open Society Foundation berjudul Globalizing Torture: CIA Secret
Detention and Extraordinary Rendition. Laporan itu menerangkan secara gamblang
tentang bagaimana Central Intelligence Agency (CIA) sebagai badan intelijen
nasional Amerika Serikat berkolaborasi dengan 54 pemerintahan lainnya untuk
‘menyukseskan’ agenda perang melawan terorisme, melalui strategi dan cara perang
yang mendehumanisasikan manusia. Menariknya, dalam laporan tersebut, diterangkan
pula keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) –lembaga negara sektor keamanan di
Indonesia- sebagai salah satu kolaborator utama pada agenda ini.2
Di sini, hak asasi manusia tidak bisa dipisahkan dari konteks keamanan global.
Mengingat subyek dari agenda ini adalah individu-individu yang juga memiliki hakhak asasi setara dengan individu lainnya. Keamanan dan hak asasi manusia kemudian
menjadi amat signifikan untuk dikelola bersama, mengingat hingga kini belum ada
satu definisi baku yang bisa memberikan pengertian komprehensif tentang apa itu
terorisme. Bahkan ketika Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan
untuk memasukkan isu terorisme sebagai salah satu isu HAM pokok -dengan
memasukkan elemen hak asasi manusia- untuk memantau agenda keamanan global
pada medio tahun 2005, PBB juga tidak memberikan definisi baku atas terminologi
tersebut.
1 Lihat: Perbandingan konteks pembangunan dan keamanan antara Afganistan dan Irak kemudian
dapat dilihat dari analisa yang ditulis dengan judul Security Force Development in Afghanistan :
Learning from Iraq (Olga Oliker). Materi dapat diakses di:
http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/testimonies/2012/RAND_CT378.pdf diakses pada tanggal
3 Januari 2013.
2 Lihat: Laporan Open Society Foundations untuk judul yang sama dapat diakses di:
http://www.opensocietyfoundations.org/reports/globalizing-torture-cia-secret-detention-andextraordinary-rendition diakses pada tanggal 22 Februari 2013.
1
2
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
Meskipun demikian, dalam laporan Dewan HAM PBB yang ditulis oleh Pelapor
Khusus untuk urusan Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan
Fundamental Ketika Memerangi Terorisme berjudul “Promotion and Protection of
Human Rights: Report of the Special Rapporteur on the Promotion and Protection of
Human Rights and Fundamental Freedoms while Countering Terrorism, Martin
Scheinin”,3 ada ukuran yang bisa digunakan untuk melihat intensi teror dan terorisme:
Pertama, tindakan tersebut memiliki intensi yang mematikan atau mampu melukai
tubuh, atau para pelaku melakukan penyanderaan. Kedua, tindakan tersebut memiliki
tujuan untuk memprovokasi teror, memperluas intimidasi, atau menarik perhatian
negara/organisasi internasional lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan
respons atas tindakan tersebut. Ketiga, tindakan-tindakan tersebut bisa dikategorikan
terorisme apabila masuk dalam kategori pelanggaran konvensi dan protokol
internasional yang berkaitan dengan terorisme.4
Lebih lanjut, dimensi hak asasi manusia dalam isu terorisme ini juga harus
mengakomodir konsep hak-hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non
derogable rights) sebagaimana yang juga diterangkan dalam Konvensi Internasional
Hak-Hak Sipil dan Politik, khususnya pada hak atas hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut, hak beragama, dan hak untuk tidak diperbudak.
Dalam konteks ini, PBB ingin menempatkan agenda memerangi terorisme sebagai
peluang untuk memperluas pemahaman keadilan sosial, kesetaraan dan dialog global.
Namun demikian, agenda memerangi terorisme juga memiliki polemiknya tersendiri
mana kala isu keamanan kemudian dijadikan daya tawar untuk memberikan bantuan
kerja sama ekonomi. Mengingat stabilitas keamanan dan politik kerap dijadikan
rujukan utama untuk membangun keberlanjutan investasi, khususnya di negara-negara
berkembang. Konteks ini akan menjadi ilustrasi menarik ketika kita melihat seberapa
banyak dukungan perbantuan proyek anti-terorisme di dapat oleh Indonesia, akan
tetapi minim ruang akuntabilitas dan pembuktian profesionalismenya.
Di sini, pengalaman-pengalaman kita membuktikan bahwa mengelola demokrasi
transisional tidaklah semudah yang kita prediksikan. Pengelolaan ini tidak sematamata membutuhkan instrumen-instrumen politik yang memenuhi prasyarat
akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme segenap aparatusnya, namun juga
dibutuhkan kemauan politik dari para pemimpin negara untuk bisa menjawab problem
ketidakadilan sosial yang sejak dulu hingga kini masih menjadi persoalan besar.
Salah satu problem ketidakadilan sosial di Indonesia banyak terkait dengan isu
pengelolaan keamanan. Isu ini kemudian menjadi kecenderungan yang kerap muncul
pasca 1998 di sejumlah wilayah khusus dan memiliki kekhasan tersendiri. Sebut saja
beberapa wilayah di Indonesia bagian timur, termasuk juga Aceh dan Timor Timur
sebelum jajak pendapat 1999.
3 Lihat: http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/168/84/PDF/G0516884.pdf?
OpenElement diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
4 Ibid.
2
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Konflik komunal dan kekerasan yang memiliki corak pelanggaran HAM serius
muncul di sejumlah wilayah seperti di Ambon, Poso, Papua, Kalimantan, Timor
Timur hingga Aceh.5 Wilayah-wilayah ini menjadi sangat sensitif dan mendapat
penanganan khusus dari Jakarta.6 Kekhususannya kemudian terletak pada seberapa
jauh mobilisasi aktor-aktor keamanan dan sumber daya yang menyertainya
dikerahkan untuk meredam ketegangan sosial tersebut.7
Tidak hanya itu, KontraS juga memandang adanya korelasi yang cukup kuat untuk
melihat praktik ketidakadilan sosial dengan serangkaian aksi teror di Indonesia yang
sudah terjadi lebih dari satu dekade. Dalam beberapa laporan HAM yang pernah
dikeluarkan KontraS berdasarkan hasil pemantauan lapangan, isu ketidakadilan sosial
muncul sebagai konsekuensi terkuat dari salah pengelolaan proyek pasca konflik yang
memicu merebaknya korupsi di wilayah-wilayah pasca konflik, pembangunan yang
tidak berperspektif korban, ketidakjelasan program pemulihan hak-hak korban,
mandeknya program deradikalisasi, hingga brutalitas aparat keamanan dalam
merespons kebijakan anti-teror di wilayah-wilayah khusus seperti Poso dan Aceh.8
Bahkan dalam laporan penelitian yang dikeluarkan oleh Setara Institute berjudul dari
Radikalisme menuju Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam
Radikal di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, juga diterangkan hilangnya nilai toleransi
justrumampu memicu aksi teror, dengan menguatnya organisasi-organisasi radikal dan
adanya kedekatan relasi antara kelompok-kelompok tersebut dengan teroris.9 Indikasi
transformasi kelompok-kelompok radikal menjadi teroris juga disebutkan dalam
beberapa laporan kajian keamanan yang dikeluarkan oleh International Crisis Group
(ICG).10
Jika dilihat dari kecenderungan pola penanganan yang ada, Pemerintah Indonesia
kerap melakukan modifikasi pendekatan penyelesaian masalah. Namun demikian, dari
modifikasi penyelesaian masalah yang ada, pemerintah Indonesia kerap menggunakan
pendekatan keamanan untuk menjawab persoalan yang ada.11
Dalam konteks penanganan konflik sosial, Jakarta sempat menggunakan beberapa
langkah positif dengan membuka beberapa meja perundingan dan mendorong
beberapa inisiatif lokal, sebagaimana yang terjadi di Aceh dan beberapa wilayah
konflik lainnya. Akan tetapi sinyalemen ini juga tidak menurunkan intensitas
keamanan sebagai jawaban dari persoalan-persoalan yang ada. Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) Helsinki 2005 sempat didahului dengan penerapan
5 Lihat: Derailed: Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto:
http://kontras.org/buku/Indonesia%20report-derailed-Eng.pdf diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
6 Lihat:Ibid
7 Lihat: Ibid.
8 Lihat: Laporan Pemantauan KontraS: Temuan Lapangan dari Poso Sulawesi Tengah
http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1614 diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
9 Lihat: http://www.setara-institute.org/id/content/dari-radikalisme-menuju-terorisme diakses pada
tanggal 3 Januari 2013.
10 Lihat: http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/228-how-indonesianextremists-regroup.pdf diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
11 Lihat: Indonesia: Rethinking Internal Security Strategy, International Crisis Group:
http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-eastasia/indonesia/090_indonesia_rethinking_internal_security_strategy.pdf diakses pada tanggal 3 Januari
2013
3
4
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
status darurat militer di tahun 2003 dan menurunkannya menjadi status darurat sipil di
tahun 2004.
Keputusan-keputusan politik keamanan ini memang dilandasi oleh kegagalan
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam menemukan titik kesepahaman
melalui meja perundingan. Namun, model keputusan semacam ini juga tidak luput
dari dinamika politik keamanan global pasca serangan bom dan teror di World Trade
Center (WTC) New York 9 September 2001 dan keputusan sepihak Amerika Serikat
untuk mengokupasi Irak di tahun 2003 sebagai preseden penting perang melawan
terorisme.12 Pengalaman Aceh sedikit banyak telah membuktikan adanya modifikasi
pola penanganan urusan keamanan yang sudah memasukkan perspektif anti-teror di
dalamnya.13
Tidak hanya Aceh, persoalan keamanan di Poso tahun 2003 juga sedikit banyak
menggunakan perspektif anti-terorisme. Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh
Kepala Badan Intelijen Negara (Ka.BIN) Hendropriyono yang menegaskan adanya
keterlibatan kelompok teroris Internasional (Al-Qaeda) dan kelompok radikal dalam
konflik Poso.14 Penegakan operasi hukum dan keamanan untuk memburu kelompok
teror di Poso juga dilakukan dalam konteks penanganan Bom II/II Bali, JW Marriott
dan Ritz Carlton hingga medio 2007 dan 2010.15
Berangkat dari pengalaman-pengalaman penanganan urusan keamanan di wilayah
konflik, nampaknya ada kebutuhan untuk memperkuat perspektif anti-teror,
sebagaimana langkah global yang telah diambil banyak negara pasca serangan 9/11 di
Amerika Serikat. Keputusan-keputusan politik lokal di sektor keamanan juga makin
menguat pasca lawatan kenegaraan Presiden Megawati Sukarnoputri ke Amerika
Serikat beberapa hari setelah 9/11 terjadi. Uniknya, kunjungan kenegaraan Indonesia
ini dipandang oleh banyak pakar politik sebagai komitmen Indonesia –negara
demokrasi dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia- untuk terlibat dalam
agenda besar memerangi terorisme bersama dengan Amerika Serikat.
Hal yang dapat diduga kemudian adalah komitmen Bush dalam mendorong agenda
reformasi militer Indonesia dalam konteks demokrasi transisional. Pertemuan ini juga
menyepakati beberapa hal, khususnya pada bagaimana agenda reformasi militer
Indonesia dapat bersinergi dengan agenda utama Amerika Serikat untuk memerangi
radikalisme dan teror yang menyertainya.16
12 Lihat: Reformasi and Resistence – Human Rights Defenders and Counter-Terrorism in Indonesia,
Human Rights First (Series of Human Rights Defenders and Counter-Terrorism No. 2), New York
2005: http://www.humanrightsfirst.org/wp-content/uploads/pdf/reformasi-resist-052505.pdf diakses
pada tanggal 3 Januari 2013.
13 Ibid
14 Lihat: Hendropriyono – Konflik Poso Melibatkan Teroris Internasional dalam
http://news.liputan6.com/read/25320/hendropriyono-konflik-poso-melibatkan-teroris-internasional
diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
15 Lihat: Catatan Ringkas KontraS tentang Densus 88 Periode Tahun 2000 – 2010. Tidak
dipublikasikan.
16 Lihat: Megawati Flies to Meet Bush (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/1550015.stm) dan
Transkrip Percakapan George W. Bush dengan Megawati Soekarno Putri
(http://www.washingtonpost.com/wp-srv/nation/specials/attacked/transcripts/bushtext1_091901.html)
diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
4
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Kertas posisi ini kemudian juga ingin membuktikan beberapa hal: (1) Membuktikan
adanya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri, (2)
Membuktikan minimnya ruang pertanggungjawaban atas dugaan pelanggaran HAM
yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri.
Dalam temuan KontraS, melalui riset ini juga didapati bahwa kebijakan-kebijakan
anti-terorisme di Indonesia tidak dilengkapi dengan perangkat pelindung dan
profesionalitas hak asasi manusia. Terutama mereka yang dijadikan tersangka teroris.
Hingga kini tidak ada upaya koreksi yang signifikan terhadap ekses yang timbul dari
operasi-operasi anti-teror Densus 88 AT Polri.
II. Proyek Kontra Terorisme di Indonesia
Khusus di Indonesia, kristalisasi kelompok-kelompok radikal berbasis fundamentalis
keagamaan menguat pasca jatuhnya Orde Baru 1998. Jamaah Islamiyah (JI) sebuah
kelompok fundamentalis regional dan memiliki basis massa yang cukup besar di
Indonesia diduga kuat bertanggung jawab dalam serangkaian serangan bom di Bali
pada tahun 2002 dan 2005.17 Peristiwa itu setidaknya memakan korban jiwa lebih dari
200 orang dan ratusan lainnya luka-luka.
Meski sulit untuk menunjukkan keterkaitan antara Al-Qaeda dengan Jamaah
Islamiyah dalam serangkaian aksi teror di kawasan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, namun sebaran organisasi ini memiliki simpul yang cukup luas baik di
Indonesia, Malaysia, maupun sebagian wilayah di Thailand dan Filipina.18 Organ
paramiliter lainnya seperti Laskar Jihad yang kini telah bertransformasi menjadi Front
Pembela Islam (FPI) juga dapat diidentifikasi sebagai bagian dari persebaran
kelompok-kelompok fundamentalis tersebut. Laskar Jihad bahkan terlibat aktif dalam
konflik Ambon dan Poso, di mana perekrutan kelompok muda untuk diasah
militansinya dengan sentimen anti Kristen sempat dilakukan.19 Uniknya, organisasi ini
hidup dan dibesarkan dari aliran pendanaan beberapa elite militer Indonesia, dengan
motif untuk melindungi kepentingan ekonomi, melakukan penekanan kepada
kelompok-kelompok pro-demokrasi, dan bahkan terlibat dalam beberapa operasi
keamanan di wilayah-wilayah konflik di Indonesia.20
Dalam kondisi ini, negara mengambil respons politik dengan menerbitkan Instruksi
Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana terorisme
Termasuk pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 200221 yang
kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pengganti Undang-Undang
17 Lihat: Indonesia Backgrounders: How the Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates:
http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/043%20-%20Indonesia
%20Backgrounder%20-%20How%20The%20Jemaah%20Islamiyah%20Terrorist%20Network
%20Operates.pdf diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
18 Ibid.
19 Kirsten E. Schultze, “Laskar Jihad and the Conflict in Ambon” dapat dilihat di:
http://www.watsoninstitute.org/bjwa/archive/9.1/Indonesia/Schulze.pdf halaman 58. Diakses pada
tanggal 3 Januari 2013.
20 Lihat: Robert W. Hefner, “Islam and Asian Security,” Strategic Asia 2002-03, hal 378
21 Lihat: Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Termasuk pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 4 Januari 2013.
http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/inpres4_2002.pdf diakses pada tanggal
4 Januari 2013.
5
6
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.22 Tidak hanya
itu, pemerintah melalui Kementerian Koordinator bidang Politik dan Keamanan
segera membentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme yang langsung berada
di bawah koordinasi Menkopolkam yang saat itu dijabat oleh Susilo Bambang
Yudhoyono.
Dalam Surat Keputusan Nomor 26/Menko/Polkam/11/2002 dijabarkan bahwa Desk
Koordinasi Pemberantasan Terorisme adalah terdiri dari kesatuan Anti Teror Polri
(Detasemen C Resimen IV Gegana), Brimob Polri dan 3 organisasi anti teror di tubuh
TNI, termasuk juga Badan Intelijen Negara (BIN).23 Dalam perkembangannya desk
ini kemudian dileburkan menjadi Satuan Tugas Antiteror yang bernaung di bawah
Departemen Pertahanan, yang saat itu dipimpin oleh Matori Abdul Djalil.24
Namun satuan ini tidak berhasil membangun dinamika yang kokoh sebagai kesatuan.
Ketidakkokohan dalam membangun ruang koordinasi juga berpotensi menghambat
kinerja satuan elite tersebut dalam mencegah dan memberantas terorisme. Di lain
pihak, inisiatif Mabes Polri untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Bom Polri dalam
mengusut kasus Bom Natal tahun 2001 menjadi fenomenal. Satgas ini kemudian
menangani banyak kasus pengeboman yang terkait dengan kepemilikan aset
internasional, sebut saja kasus Bom Bali I, Bali II, Marriott, dan bom di Kedutaan
Besar Australia.
Secara struktur Satgas Bom Polri berada di bawah kendali Badan Reserse dan
Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri pimpinan Brigadir Jenderal Polisi Gories Mere,
yang kemudian digantikan oleh Brigadir Jenderal Polisi Bekto Suprapto, hingga
terakhir dipimpin oleh Brigadir Jenderal Polisi Surya Dharma Salim Nasution. Kelak
Bekto Suprapto dan Surya Dharma memimpin kendali Densus 88 Anti Teror Mabes
Polri sebagai komandan pertama dan kedua.
Sebagai informasi dalam tubuh Polri terdapat beberapa kesatuan anti teror yang
memiliki kemiripan fungsi dan tanggung jawab, seperti Satuan Anti Teror Gegana
Brimob Polri dan Direktorat VI Anti Teror. Uniknya, Direktorat VI Anti Teror juga
berada di bawah naungan Bareskrim Mabes Polri dengan fungsi dan tanggung jawab
yang sejenis dengan Satgas Bom Polri. Lahirnya Skep Kapolri Nomor 31/VI/2003
juga merupakan langkah internal Polri dalam merampingkan kesatuan-kesatuan yang
serupa.
22 Lihat: Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/perpu1_2002.pdf diakses pada tanggal 4
Januari 2013.
23 Lihat:Kep-26/Menko?Polkam/II/2002 tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan
Terorisme Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia
http://www.polkam.go.id/LinkClick.aspx?fileticket=4dtvP7C824s%3D&tabid=60&mid=405 diakses
pada tanggal 4 Januari 2013.
24 Sebuah artikel yang ditulis Majalah Tempo edisi Desember 2003 berjudul Kesatuan Elite yang
Terlupakan, memaparkan bahwa Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sempat menginstruksikan
untuk mengaktifkan Satuan Tugas Khusus Pasukan Anti Teror di bawah 3 matra TNI. Matori Abdul
Djalil yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan bahkan sempat melakukan penaksiran
(assessment) terhadap satuan-satuan elite berikut ini: Grup 5/Penanggulangan Teror-Kopassus (TNI
AD), Unit Khusus Sandi Jejak Kopassus (TNI AD), Detasemen Bravo 90 Paskhas (TNI AU),
Detasemen Jala Mangkara Marinir (TNI AL).
6
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Selanjutnya Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun
2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UndangUndang.25 Undang-Undang ini kemudian menjadi landasan hukum dalam memberikan
kewenangan tata kelola kebijakan penanganan anti-terorisme yang dilakukan Polri
khususnya Densus 88. Sedangkan unsur Intelijen dan TNI menjadi badan pendukung
pemberantasan tindak pidana terorisme yang akan diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
III. Performa Densus 88
Dalam Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, di Pasal 23 diterangkan tentang
definisi, tugas dan struktur utama Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri.
Sebagai sebuah unit anti teror yang khusus dibentuk di bawah Kepolisian Negara
Republik Indonesia; terpisah dari unit anti teror lainnya yang melekat pada kesatuan
ataupun matra Angkatan Darat, Laut, dan Udara.
Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri, atau yang lebih dikenal sebagai
Densus 88 dibentuk pada tahun 2003 dengan modal 16 juta US Dollar, mendapat
pelatihan khusus dari unit anti teror Amerika Serikat dan badan intelijen Amerika
Serikat –termasuk Central Intelligence Agency (CIA)-.26 Sebagai unit khusus, Densus
88 hanya memiliki 400 personel yang dibekali dengan kemampuan teknik intelijen,
investigasi dan teknik melumpuhkan lawan secara efektif. Unit ini juga dibekali
dengan peralatan-peralatan anti-teror yang mumpuni.
Dalam artikel ringkas yang dikeluarkan oleh Human Rights First (HRF) diterangkan
pula mengenal dukungan Amerika Serikat perihal agenda anti-teror ini. Mathey P.
Daley, Asisten Wakil Sekretaris Negara Amerika Serikat menerangkan bahwa
keberadaan Densus 88 merupakan, “substantially enhance the Indonesian
Government’s Capability to neutralize terrorist cells and conduct terrorism-related
criminal investigations”.27
Densus 88 adalah unit yang berbeda dengan unit tempur lainnya yang sudah terlebih
dahulu dimiliki oleh Polri, seperti Brigade Mobil (Brimob) yang juga kerap
diturunkan untuk menghadapi situasi keamanan yang khusus maupun kedaruratan.
Secara struktur koordinasi, unit ini mendapatkan pengarahan langsung dari Markas
Besar (Mabes) Polri. Meskipun demikian, Densus 88 tetap memiliki Kepala Densus
88 yang bertanggung jawab untuk menjalankan operasi dan ruang koordinasi lainnya.
Tahun 2004 menjadi debut pertama dari operasi anti-teror Densus 88.
25 Lihat: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003: http://www.kontras.org/uu_ri_ham/UU%20Nomor
%2015%20Tahun%202003%20tentang%20Anti%20Terorisme.pdf diakses pada tanggal 4 januari
2013.
26 Elaborasi sejarah Densus 88 disarikan dari tulisan Indonesia: Retthinking Internal Security Strategy
(ICG): http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-eastasia/indonesia/090_indonesia_rethinking_internal_security_strategy.pdf diakses pada tanggal 10
Januari 2013
27 Lihat: Densus 88 and the Asia Pivot, Diana Sayeed, Human Rights First, 2012:
http://www.humanrightsfirst.org/2013/01/31/densus-88-and-the-asia-pivot/ diakses pada tanggal 31
Januari 2013.
7
8
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
Selanjutnya, berikut ini adalah elaborasi ringkas tentang mandat, kewenangan dan
tanggung jawab Densus 88 yang disarikan dari Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun
2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme, di mana
peraturan internal ini bersifat mengikat dan memiliki segala ketentuan kewajiban yang
harus dijalankan oleh unit Densus 88.
Pasal 23:
(1) Detasemen Khusus 88 Anti Teror disingkat Densus 88 AT adalah unsur pelaksana tugas
pokok di bidang penanggulangan kejahatan terorisme yang berada di bawah Kapolri
(2) Densus 88 AT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertugas menyelenggarakan fungsi
intelijen, pencegahan, investigasi, penindakan, dan bantuan operasional dalam rangka
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme
(3) Densus 88 AT dipimpin oleh Kepala Densus 88 AT disingkat Kadensus 88 AT, yang
bertanggung jawab kepada Kapolri
(4) Kadensus 88 AT dibantu oleh Wakil Kadensus 88 AT disingkat Wakadensus 88 AT.
Dalam Perkap tersebut juga dijelaskan tentang tujuan dari perencanaan standar
pedoman dalam melakukan penindakan tersangka tindak pidana terorisme secara
profesional dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (Pasal 2).
PRINSIP-PRINSIP PENINDAKAN TERORISME (Pasal 3):
(a) Legalitas, yaitu penindakan terhadap pelaku tindak pidana terorisme berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan
(b) Proporsional, yaitu tindakan yang dilakukan sesuai dengan eskalasi ancaman yang
dihadapi
(c) Keterpaduan, yaitu memelihara koordinasi, kebersamaan, dan sinergitas segenap
unsur/komponen bangsa yang dilibatkan dalam penanganan
(d) Nesesitas, yaitu bahwa teknis pelaksanaan penindakan terhadap tersangka tindak
pidana terorisme dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi lapangan
(e) Akuntabilitas, yaitu penindakan terhadap terasngka tindak pidana terorisme
dilaksanakan sesuai prosedur dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perkap juga mengatur mengenai perangkat struktur penindakan terorisme di bawah
Densus 88. Terdiri dari:
Korbrimob Polri: Unsur pelaksana tugas pokok di bidang birgade mobil yang
berada di bawah Kapolri yang bertugas menyelenggarakan pembinaan
keamanan khususnya yang berkenan dengan penanganan gangguan keamanan
yang berintensitas tinggi dalam rangka penegakan keamanan dalam negeri
Wanteror Gegana Korbrimob Polri: Satuan perlawanan/penindakan pelaku
kejahatan terorisme yang menggunakan senjata api dan bom atau yang
berintensitas tinggi dengan menggunakan teknik dan taktik serta peralatan
khusus
8
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Manajer Penindakan: Perwira pengendali lapangan yang ditunjuk Kadensus
88 Anti Teror (AT) Polri yang bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan
pada tahap pra penindakan dan aksi penindakan
Ketua Tim Penindak (Katim Penindak): Perwira pengendali taktis dan
teknis Tim Penindakan yang bertanggung jawab kepada Manajer Penindakan,
yang dalam pelaksanaannya Katim Penindak dapat berasal dari Subbid SF
Densus 88 AT Polri atau Katim Wanteror Gegana Korbrimob Polri
Tim Penindak: Personel Polri yang melaksanakan penindakan, meliputi
Subbid Stricking Force (SF) Densus 88 AT Polri da/atau Wanteror Gegana
Korbrimob Polri
Subbid SF: Satuan penindakan dari Bidang Tindak Densus 88 AT Polri yang
bertugas melakukan tindakan melumpuhkan, penetrasi, penggeledahan dan
penyitaan barang bukti terhadap tersangka tindak pidana terorisme
Manajer Tempat Kejadian Perkara: Perwira pengendali lapangan yang
ditunjuk Kadensus 88 AT Polri yang bertanggung jawab terhadap kegiatan
pasca penindakan dalam penanganan TKP
BidTindak Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana utama di bawah Kadensus
88 AT Polri yang bertugas melakukan penindakan terhadap pelaku tindak
pidana terorisme melalui kegiatan negosiasi dan pendahulu, serta melakukan
penindakan terhadap pelaku tindak pidana terorisme sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan
Bidintelijen Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana utama Densus 88 AT Polri
di bawah Kadensus 88 AT Polri yang bertugas menyelenggarakan dan
membina fungsi intelijen yang berhubungan dengan hakekat ancaman
terorisme, dengan melaksanakan kegiatan pengamatan, mencari pelaku teror
melalui kegiatan pembuntutan (survailance), deteksi, analisis lapangan dan
penilaian (assessment) informasi secara fisik terhadap perkembangan
lingkungan serta menganalisis aktivitas dan pergerakan pelaku tindak pidana
terorisme
Bidinvestigasi Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana di bawah Kadensus 88
AT Polri yang bertugas melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana
terorisme sesuai peraturan perundang-undangan
Bidbanops Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana utama di bawah Kadensus
88 AT Polri yang bertugas memberikan dukungan teknis, mendata kasus bom
(database bom) serta melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan
lembaga atau instansi terkait di dalam dan di luar negeri
Bidcegah Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana di bawah Kadensus 88 AT
Polri yang bertugas menyelenggarakan kegiatan pencegahan dalam rangka
penanggulangan tindak pidana terorisme
9
1
0
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
Satgaswil Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana tingkat wilayah di bawah
Densus 88 AT yang bertugas menyelenggarakan dan membina fungsi intelijen
yang berhubungan dengan hakekat ancaman terorisme, untuk mengetahui
aktivitas dan pergerakan, mencari pelaku teror, analisis lapangan dan
assesment/penilaian informasi secara fisik terhadap perkembangan
lingkungan, serta menganalisis aktivitas dan pergerakan pelaku tindak pidana
terorisme melalui jaringan intelijen dan teknologi informasi.
Adapun struktur kerja organisasi Densus 88 di tingkat Markas Besar dapat dilihat
sebagai berikut:
STRUKTUR ORGANISASI DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR (TINGKAT
MABES )
penindakan tersangka tindak pidana terorisme juga diklasifikasikan ke dalam 2
kegiatan. Di mana kegiatan-kegiatan tersebut juga diikuti dengan tahapan-tahapan
kegiatan lainnya yang bersifat mendukung kelancaran penindakan. Secara garis besar,
kategori penindakan dalam operasi Densus 88 terbagi menjadi 2 wilayah. Pertama
Kegiatan terencana yang diikuti serangkaian kegiatan mulai dari pra penindakan, aksi
penindakan, dan pasca penindakan. Kedua, penindakan segera dilakukan dengan
beberapa ukuran seperti waktu persiapan yang lebih singkat, situasi kedaruratan dan
kontijensi. Di mana Kepala Densus 88 dan Manajer Penindakan yang didukung tim
khusus, di antaranya Bidang Investigasi Densus 88 AT Polri/Satwil, Tim Status Quo
TKP, Puslabfor Bareskrim Polri, Pusinfsis Bareskrim Polri, Div Pusdokes Polri, Tim
Medis, Cyber Forensic Bareskerim Polri, dan Bidang Cegah Densus 88 AT Polri.
10
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Dua kegiatan di atas seharusnya diiikuti dengan beberapa tahapan lainnya seperti,
tahap peringatan, penetrasi, melumpuhkan tersangka, penangkapan, penggeledahan,
dan penyitaan barang bukti.28
Sebagai catatan, dalam situasi tertentu kegiatan penindakan dapat dilakukan tanpa
didahului dengan kegiatan negosiasi dan peringatan atas pertimbangan situasi darurat,
berdasarkan tingkat ancaman maupun pertimbangan lainnya. Perkap ini juga
mengatur klausul tentang pertanggungjawaban hukum apabila operasi penindakan
tersebutkan menyebabkan matinya seseorang/tersangka (Pasal 19 ayat 3).
Selain itu, untuk menunjang operasi Densus 88 juga dapat meminta dukungan dari
pihak internal dan eksternal Polri. Dukungan internal Polri meliputi unit Baintelkam,
Bareskrim, Baharkam, Korbrimob, Divhubintern, dan Satwil –yang disesuaikan
dengan tugas dan fungsinya masing-masing (Pasal 44 ayat 2).
Sedangkan dukungan dari pihak eksternal Polri bisa didapat dari institusi-institusi
seperti TNI, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Badan Tenaga Atom Nasional
(BATAN), Badan SAR Nasional, pemerintah daerah, dinas kesehatan, Perusahaan
Listrik Negara (PLN), penyelenggara jasa telekomunikasi, media, tenaga ahli dan
masyarakat (Pasal 45 ayat 3).
Khusus untuk elemen-elemen pendukung eksternal yang berada di bawah payung
pemerintah daerah, seperti dinas pemadam kebakaran, dinas pekerjaan umum, dan
perusahaan daerah air minum. Dukungan tenaga ahli seperti tenaga di sektor teknologi
informasi, akademisi, psikologi, medis dan konstruksi bangunan juga menjadi tenaga
sektor ahli yang diterangkan dalam Perkap (Pasal 45 ayat 4).
Dukungan masyarakat seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, RT/RW
dan Pam Swakarsa juga kemungkinan besar akan dilibatkan dalam proses penindakan
(Pasal 45 ayat 5). Terakhir Perkap ini juga menerangkan bahwa seluruh permintaan
dukungan eksternal yang dilakukan oleh Manajer Penindakan harus dilaporkan
kepada Kadensus 88 AT Polri (Pasal 45 ayat 6).
IV. Operasi Anti Terorisme dan Dugaan Praktik Pelanggaran HAM
Belum ada satu mekanisme internal maupun eksternal yang bisa digunakan sebagai
fungsi kontrol akuntabilitas dan profesionalisme dari Densus 88 dan para personelnya.
Sebagai unit khusus di bawah ketentuan internal Mabes Polri, Densus 88 seharusnya
tunduk pada sejumlah aturan internal, baik Peraturan Kapolri maupun aturan internal
lainnya. Maupun fungsi-fungsi pengawasan eksternal yang melekat pada sejumlah
komisi-komisi negara independen, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan,
Komisi Penanggulangan Korupsi, PPATK dan lain sebagainya.
Sepanjang satu dekade terakhir, Densus 88 memang berhasil melumpuhkan jaringan
teror di beberapa daerah. Publik bahkan memberikan apresiasi tinggi terhadap
performa Densus 88 tersebut. Adapun beberapa operasi yang bisa diruntut di sini
adalah sebagai berikut:
28 Lihat Pasal 19 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan
Tersangka Tindak Pidana Terorisme.
11
1
2
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
1. Operasi penangkapan Amrozi, Imam Samudera, Ali Imron untuk kasus Bom
Bali I (2002)
2. Penangkapan Rois dan Sogir –tersangka kasus peledakan Kedubes Australia(2004)
3. Penyerbuan dan pelumpuhan Dr. Azahari di Kota Batu, Malang (2005)
4. Operasi penangkapan dan penyergapan pelaku Bom Bali II dan Bom JW.
Marriott – Ritz Charlton dilakukan antara tahun 2006-2009
5. Penyergapan dan pelumpuhan Noordin M. Top di Kota Temanggung, Jawa
Tengah (2009)
6. Penyergapan dan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir (2010)
“Musuh yang dihadapi polisi adalah kelompok yang pernah berlatih militer di Afganistan, Pakistan,
Mindanao, Poso, Maluku, Aceh, hingga Sumatera Utara. Dalam pelatihan, mereka diajarkan
pengenalan dan penggunaan berbagai jenis senjata api, membuat bom, hingga taktik penyerangan
di berbagai medan. Para teroris memiliki senpi berbagai jenis, amunisi, hingga alat peledak.
Mereka memiliki ideologi untuk mati syahid dalam jihad, menganggap polisi sebagai kafir
sehingga melakukan perlawanan jika ditangkap. Menganggap dapat pahala jika dapat membunuh
polisi. Mereka diindoktrinasi bahwa polisi itu kafir yang darahnya hala.
Dengan ada pernyataan-pernyataan miring bahwa seolah-olah Densus 88 melanggar HAM,
sedangkan yang kita hadapi seperti ini. Apakah tepat kita dituduh seperti itu? Apakah kita biarkan
anggota saya saat menangkap dengan SOP seperti tangani pidana biasa, lapor RT/RW, kasih lihat
surat perintah penangkapan. Yah selesai, belum masuk sudah dibabat mereka. SOP-nya berbeda,"
Jenderal Polisi (Purn) Bambang Hendarso Danuri (Pernyataan dukungan kepada Densus 88 untuk
operasi anti-terorisme di Medan 2010, Kompas 24 September 2010: Kapolri Bantah densus 88
Langgar HAM).
Namun,
tidak
sedikit
dari
operasioperasi
anti-
terorisme Densus 88 yang menuai kritik akibat tidak diterapkannya prinsip
akuntabilitas dan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, diketahui juga
beberapa dari operasi ini tidak menggunakan ukuran penindakan tersangka tindak
pidana terorisme yang jelas. Beberapa contoh kasus yang bisa diangkat di sini adalah
sebagai berikut:
Operasi penegakan hukum di Poso (2006-2007)
Densus 88 AT diturunkan dalam meredam aksi kekerasan fundamentalis
berbasis agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teror di Poso.
Namun demikian operasi ini tidak menggunakan prosedur tetap.
Penggerebekan kelompok teroris di Pegunungan Jalin, Jantho Provinsi
Aceh (2010)
Di awal tahun 2010, terjadi penyergapan di Pegunungan Jalin Janto, Aceh
Besar. Polisi menduga tempat itu merupakan lokasi latihan militer teroris
kelompok Jamaah Islamiyah. Dalam penggerebekan yang dilakukan tiba-tiba
di malam hari, berhasil menangkap 3 orang tersangka dan beberapa barang
bukti. Tidak terdapat tindakan perlawanan dari para tersangka, namun seorang
warga sipil bernama Kamaruddin (37 tahun) tewas tertembak dan 2 warga
lainnya juga mengalami luka akibat tembakan dari pihak Densus 88. Salah
seorang dari tersangka yang ditangkap, didakwa Pasal 14 jo pasal 7, Pasal 15
jo Pasal 9 dan Pasal 13 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Terorisme serta Pasa1 1 UU Darurat.
12
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Maret 2010, penyergapan teroris Aceh terus dilakukan di beberapa tempat
seperti Lamkabeau, Pidie, Lhokseumawe, Leupang, Banda Aceh, Seulawah,
dan Meulaboh. Dari penyergapan-penyergapan tersebut, 5 orang tewas
tertembak (1 orang di Pidie, 1 orang tersangka dan 1 orang warga sipil
bernama Nuhbari di Lamkabeau, dan 2 orang di Leupang). Satu orang luka
tembak (penyergapan di Pidie), 28 orang ditahan (13 orang ditangkap di Aceh
Besar dengan dugaan melakukan latihan militer, 14 orang dan 1 orang salah
tangkap di Meulaboh.
Penggerebekan kelompok teroris di Cawang, DKI Jakarta dan
Cikampek, Provinsi Jawa Barat (2010)
Operasi Densus 88 pada tanggal 12 Mei 2010 ini di awali dari penggerebekan
tiba-tiba di Cawang (Jakarta Timur). Sempat terjadi penembakan dan
menewaskan 3 orang yang diduga polisi sebagai pelaku kejahatan terorisme.
Operasi penggerebekan kemudian berlanjut ke Cikampek, di mana baku
tembak juga terjadi dan menewaskan 2 orang yang diduga polisi terlibat aksi
terorisme. Satu orang ditahan. Identitas keenam orang terduga teroris tersebut
sebelum dan pada saat penggerebekan tidak diketahui (Mr. X). Pasca
penangkapan barulah pihak kepolisian mengeluarkan beberapa nama. Pada
kasus Cawang akhirnya, 2 jenazah tak dikenal yang ditembak Densus 88 di
Cawang, dimakamkan pada Selasa (8/5/2010). Tidak ada pihak yang tahu
siapa keluarga kedua jenazah tersebut. Termasuk polisi yang menembak mati
keduanya dengan tuduhan teroris.
Operasi penangkapan kelompok perampokan Bank CIMB Medan dan
penyerangan Mapolsek Hamparan Perak, Provinsi Sumatera Utara
(2010)
Pasca perampokan Bank CIMB Niaga Medan, pihak kepolisian, terutama
Densus 88 Anti Teror Polri melakukan operasi penyergapan sejumlah orang
yang diduga terlibat dalam perampokan Bank CIMB Niaga Medan. Selama
operasi tersebut, sekitar 18 orang ditahan, 6 orang mengalami luka tembak,
seorang diintimidasi, dan 10 orang tewas ditembak.
Pada 19 September 2010, Densus 88 melakukan penangkapan di Belawan,
Tanjung Balai, Percut Sei Tuan, dan Hamparan Perak Medan. Empat orang
mengalami luka tembak dan dirawat di RS Deli Medan. Seorang diantaranya
bernama Khairul Ghazali ditangkap pada saat sholat. Tiga orang tewas
tertembak, serta 3 orang telah dibebaskan karena tidak terdapat bukti yang
kuat.
Sebelumnya, pada 27 Agustus 2010 pukul 04.00 WIB, Densus 88 juga
melakukan penggeledahan kerumah salah seorang ibu bernama Tiorina Br
Siregar (66 Tahun), beralamat di Kampong Bahalat II Nagori Mekar Bahalat
Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi Kabupaten Simalungun. Pada kasus ini,
Densus 88 salah sasaran dan menyebabkan kerugian harta dan tekanan psikis
kepada warga.
Pada tanggal yang sama, 4 orang yang masing-masing adalah 2 pasang kakak
beradik ditangkap di Lampung. Dua orang di antara mereka ditangkap di
rumahnya, di mana salah satu ditangkap dalam keadaan sakit. Pada September
13
1
4
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
2010, 2 orang di antara mereka akhirnya dibebaskan karena tidak adanya
bukti. Seorang ayah dari 2 kakak beradik mengalami intimidasi oleh Densus
88 dengan menodongkan senjata ke arahnya.
Tanggal 19 September 2010, di Kota Rantang Kecamatan Hamparan Perak
Kabupaten Deli Serdang, Densus 88 menembak dan penangkap Marwan, yang
diduga kuat sebagai otak perampokan Bank CIMB Bank Niaga. Setelah
penangkapan Marwanm Densus 88 melanjutkan operasi ke rumah istri
Marwan di Gang Bilal, Hamparan Perak, Deli Serdang.
Di rumah Marwan, Densus 88 menembak di bagian kaki 2 orang bernama
Anton Sujarwo dan Eben alias Abah. Selain itu Densus 88 juga menangkap
Kasman Hadiyono (kakak ipar Marwan). Setelah mennjalani interogasi di
Markas Brimob Kelapa Dua Jakarta, Kasman Hadiyono akhinya dibebaskan
karena tidak terbukti terlibat kasus terorisme.
Operasi Kontijensi Sumatera Utara (2010)
Pada 20 September 2010, penggerebekan terjadi di Medan dan Lampung. 7
orang warga yang berasal dari luar Medan ditangkap oleh Densus 88 di tiga
lokasi warnet di Medan, yakni 2 orang ditangkap di warnet Artanet, 2 orang
ditangkap di warnet Serasi dan 3 orang ditangkap di warnet Kendari. Ketujuh
orang tersebut masih menjalani pemeriksaan. Pada bulan Oktober 2010, terjadi
baku tembak di Desa Martebing Dolok Masihol yang mengakibatkan
tewasnya 2 orang terduga teroris. Disamping itu 3 orang ditahan pada
penyergapan di sebuah rumah kontrakan di Deli Serdang.
(Keterangan: Salahsatu tersangka perampokan Bank CIMB Niaga yang dilumpuhkan dalam
Operasi Kontijensi Polda Sumatera Utara di Dolok Masihol, © KontraS)
Operasi penangkapan bom bunuh diri Mapolsek Cirebon (2011)
Diidentifikasi 1 orang meninggal akibat bom bunuh diri (pelaku bom bunuh
diri), 2 terduga jaringan bom bunuh diri di Cirebon, ditembak ditempat pada
saat penggerebekan di Cemani, Sukoharjo Jawa Tengah, Sabtu dini hari, 14
Mei 2011. Satu warga sipil (pedagang angkringan) tewas akibat
penggerebakan di Cemani, Sukoharjo Jawa Tengah di hari yang sama. Pihak
kepolisian mengklaim bahwa warga tersebut tewas akibat tembakan dari
senjata api milik pelaku terduga jaringan bom bunuh diri di Cirebon tersebut.
14
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
(keterangan: Foto Nur Iman (pedagang angkringan) yang tewas ditembak aparat Densus 88
di TKP © KontraS).
Operasi penangkapan penembakan Bank BCA Palu (2011)
Dari operasi yang digelar, 2 terduga pelaku, tewas tertembak saat penyisiran di
Desa Tambaro, Poso Sulawesi Tengah, yakni Fauzan alias Ujang alias Carles
dan Dayat alias Faruk.
Bom Cirebon
Operasi Solo (2012)
Operasi Densus 88 di Papua
Beberapa bentuk tindakan yang muncul dalam Operasi Anti-Terorisme dan
mendominasi sepanjang tahun 2006-2012 adalah: Penahanan sewenang-wenang, luka
yang menyebabkan kematian (tewas di TKP), dan penyiksaan.
Adapun jenis-jenis pelanggaran HAM yang kerap muncul adalah pelanggaran atas
kategori: Hak untuk hidup, hak atas rasa aman dan bebas, dan hak atas peradilan yang
adil dan manusiawi.
80
74
69
70
60
Meninggal
50
luka tembak
40
ditahan
dis iks a
36
diintimidas i
30
28
24
s alah tangkap
25
23
19
20
14
9
10
0
00
00
2006
2
00
8
6
5
00
2007
00
00
2008
2
3
0
1
00
2009
2010
6
1
00
2011
8
1
3
12
2012
(Dokumentasi KontraS 2012)
15
1
6
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
Investigasi Khusus KontraS
1. Poso
Dalam kasus konflik Poso, upaya-upaya kontra-terorisme masih sewenang-wenang
dilakukan, dengan adanya penangkapan/penahanan yang tidak sesuai prosedur dan
terjadinya kekerasan serta penembakan warga selain pelaku terorisme. Insiden
beruntun yang terjadi di Tanah Runtuh pada 22 Oktober 2006, 11 Januari 2007, dan
22 Januari 2007 terjadi secara sistematis dan tertutup. Pelaku teror memiliki keahlian
khusus yang membuat sosoknya sulit diidentifikasi. Sepanjang tahun 2003-2007,
setidaknya 51 orang mengalami praktik penyiksaan. Sepuluh orang mengalami luka
tembak melalui proses penangkapan sewenang-wenang. Enam belas orang ditembak
mati di TKP.
Operasi penegakan hukum juga kembali dilakukan di tahun 2012. Secara khusus
KontraS juga melakukan pemantauan lapangan pada pertengahan September 2012 di
3 desa di Poso, yaitu Dusun Tamanjeka, Poso Pesisir dan Desa Kalora, Poso Pesisir
Utara. Pemilihan 3 desa ini amat terkait dengan masifnya implikasi situasi keamanan
di Poso.29 Temuan menarik dari lapangan menunjukkan beberapa hal seperti:
Pertama, kondisi salah kelola proyek pasca deklarasi perdamaian Poso (Deklarasi
Malino I) pada 20 Desember 2001, bahkan tidak ada tindak lanjut atas kebijakan
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2005 tentang Langkah-Langkah Komprehensif
Penanganan Masalah Poso. Inpres tersebut ditujukan kepada jajaran menteri
koordinator, pejabat negara setingkat menteri seperti Jaksa Agung, Kapolri, Panglima
TNI, Kepala Badan Intelijen Negara, termasuk hingga pemerintah daerah setingkat
provinsi dan kabupaten.
Kedua, terkait dengan proses hukum dan kasus korupsi yang belum tuntas. Adanya
dugaan kasus korupsi atas proyek dana kemanusiaan di Poso, sehingga menimbulkan
situasi ketidakadilan sosial yang berkepanjangan juga menjadi salahsatu faktor
pemicu menguatnya radikalisasi di sana. Ketiga, menguatnya radikalisasi sebagai
respons atas gagalnya kemampuan negara untuk menciptakan keadilan di Poso. Hal
ini terkait dengan urusan pengembalian hak-hak keperdataan milik korban dan warga
Poso yang hingga kini tidak jelas arahnya.
Dari hasil pemantauan lapangan KontraS diketahui bahwa kebijakan penanganan
terorisme di Poso masih amat mengedepankan cara-cara vulgar dan mengeksploitasi
instrumen kekerasan, baik yang dimiliki oleh Densus 88 maupun unsur aparat
keamanan terkait
[Elaborasi data kekerasan Densus 88 di Poso, Nusa Tenggara, dll)
Beberapa catatan KontraS dalam operasi anti-terorisme yang digelar di Poso,
meliputi hal-hal berikut ini: prosedur operasi yang tidak jelas, Penembakan secara
acak, Penembakan pada bagian yang mematikan, penggunaan senjata dan amunisi
29 Bagian ini disarikan khusus dari Laporan Pemantauan KontraS: Temuan Lapangan dari PosoSulawesi Tengah http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1614 diakses pada tanggal 31
Januari 2013.
16
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
baru, penggunaan senjata militer yang mematikan, cara bertindak aparat yang memicu
kemarahan warga, lemahnya pengendalian operasi
(Dokumentasi KontraS 2012)
Data Kasus Penangkapan Sewenang-Wenang,
Penyiksaan, Tembak Mati/Luka di Poso
(Dokumentasi KontraS 2012)
2. RMS, Maluku
Dalam kasus penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap 23 aktivis
Republik Maluku Selatan (RMS) yang berdekatan dengan kunjungan Presiden SBY
pada acara Sail Banda 3 Agustus 2010, setidaknya tuduhan yang dilayangkan adalah
melakukan tindak pidana kejahatan keamanan negara/pemufakatan jahat/melakukan
perbuatan sesuatu yang melawan hukum (Pasal 106 KUHP/Pasal 110 KUHP/Pasal 55
dan 56 KUHP)
Dua puluh satu orang ditahan, 2 orang lainnya dibebaskan setelah 2 hari menjalani
hukuman kurungan. Pembebasan dilakukan akibat kurang bukti. Sebanyak 2 orang
ditahan di Rutan Markas Densus 88 Anti Teror di Tantui, Kota Ambon, 10 orang
17
1
8
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
ditahan di Rutan Samapta Polda Maluku di Tantui Kota Ambon, 3 orang ditahan di
Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease dan 6 orang ditahan di Rutan Polsek
Saparua Kabupaten Maluku Tengah.
Meski operasi ini tidak termasuk dalam kategori operasi anti-terorisme, namun Polri
tetap menggelar di bawah nama operasi Mutiara Banda Siwalima 2010 (5-20 Agustus
2010), di mana 20 personel Densus 88 AT terlibat di dalamnya.
Dugaan kuat terjadinya tindak pelanggaran HAM: Penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang, penyiksaan dan perlakuan lain yang merendahkan martabat
manusia, kekerasan fisik saat penangkapan dan proses investigasi yang dilakukan
personel Densus 88 Anti Teror di Markas Densus 88 AT Tantui dan Mapolsek Saparua
nyaris dialami oleh semua korban. Layanan kesehatan yang tidak memadai,
pembatasan bantuan hukum, pembatasan akses keluarga juga menjadi hambatan yang
dirasakan langsung oleh korban.
Diduga kuat terlibat sejumlah aktor negara dan keamanan: 7 orang aparat Polda
Maluku, yang terdiri dari PLH Kadensus 88 Anti Teror dan 4 orang penyidik
pembantu di Densus 88 AT; Kepala Pengawas Rutan Samapta Polda Maluku, Kepala
Detasemen Markas Polda Maluku; 1 orang anggota Polres Pulau Ambon dan Pulau
Lease, 1 orang anggota Polsek Saparua; 1 orang anggota TNI Distrik Saparua dan
Camat Saparua.
Isu kekerasan dan potensi adanya pembiaran tindak kekerasan yang dilakukan oleh
personel Densus 88 sedikit banyak menimbulkan keresahan publik dan resistensi dari
kalangan pegiat hak asasi manusia. Tingginya angka pembunuhan kilat dan strategi
anti-teror yang justru mempertinggi angka dehumanisasi berpotensi untuk memicu
radikalisasi yang luas di kalangan kelompok-kelompok fundamentalis religius dan
individu-individu radikal, khususnya dalam mengkristalisasikan gagasan tentang jihad
yang dikombinasikan dengan isu teror tersebut.30
Bahkan dalam laporan yang baru-baru saja dikeluarkan oleh Open Society Foundation
berjudul Globalizing Torture: CIA Secret Detention and Extraordinary Rendition31
juga diterangkan beberapa informasi menarik seputar kolaborasi antara Central
Intelligence Agency (CIA) dengan Badan Intelijen Negara (BIN) terkait upaya untuk
menggulung jejaring teroris pasca 9/11. Dalam laporan tersebut, Indonesia merupakan
satu dari 54 pemerintahan yang berkolaborasi dengan CIA.
Dalam laporan setebal 120 halaman diketahui bahwa keterlibatan Indonesia,
khususnya BIN melalui Letnan Jenderal TNI (Purn) AM. Hendropriyono yang telah
membangun kerja sama dengan CIA untuk melakukan sejumlah penangkapan
sewenang-wenang. Diketahui bahwa operasi ini dilakukan sejak awal tahun 2002.
BIN turut menangkap Muhammed Saad Iqbal Madni (warga negara Mesir) atas
30 Lihat: Detachment 88 Encouraging Terrorist Revenge Attacks http://www.abc.net.au/news/2013-0208/detachment-88-encouraging-terrorist-revenge-attacks/4508010 diakses pada tanggal 19 Februari
2013
31 Lihat: http://www.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Strategi Perang Melawan Terorisme: Detasemen 88 Anti Teror Polri
dan Tumpang Tindihnya Kebijakan Keamanan di Indonesia
I. Latar Belakang
Perang melawan terorisme menjadi salah satu agenda keamanan global terpenting
pasca serangan teror 9/11 di Amerika Serikat. Agenda ini bahkan selalu mendapatkan
justifikasi dari negara-negara yang kerap dijadikan target sasaran teror, untuk
memperkuat sektor keamanannya dalam menghadapi situasi terburuk atas ancaman
teror. Bahkan, kecenderungan keamanan kerap dijadikan faktor penentu dalam
mendorong model pembangunan perdamaian di wilayah-wilayah khusus dan
diidentifikasi sebagai basis negara pencetak kelompok-kelompok radikal, seperti
Afganistan dan Irak.1
Konteks keamanan global kemudian hadir dan digunakan untuk melumpuhkan
kelompok-kelompok fundamentalis yang memiliki kekuatan teror secara global,
namun konteks ini juga memiliki beberapa implikasi serius yang bisa dirasakan secara
meluas, khususnya pada isu pembangunan perdamaian dan hak asasi manusia.
Untuk isu hak asasi manusia, kita bisa langsung merujuk pada sejumlah temuan yang
dikeluarkan oleh Open Society Foundation berjudul Globalizing Torture: CIA Secret
Detention and Extraordinary Rendition. Laporan itu menerangkan secara gamblang
tentang bagaimana Central Intelligence Agency (CIA) sebagai badan intelijen
nasional Amerika Serikat berkolaborasi dengan 54 pemerintahan lainnya untuk
‘menyukseskan’ agenda perang melawan terorisme, melalui strategi dan cara perang
yang mendehumanisasikan manusia. Menariknya, dalam laporan tersebut, diterangkan
pula keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) –lembaga negara sektor keamanan di
Indonesia- sebagai salah satu kolaborator utama pada agenda ini.2
Di sini, hak asasi manusia tidak bisa dipisahkan dari konteks keamanan global.
Mengingat subyek dari agenda ini adalah individu-individu yang juga memiliki hakhak asasi setara dengan individu lainnya. Keamanan dan hak asasi manusia kemudian
menjadi amat signifikan untuk dikelola bersama, mengingat hingga kini belum ada
satu definisi baku yang bisa memberikan pengertian komprehensif tentang apa itu
terorisme. Bahkan ketika Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan
untuk memasukkan isu terorisme sebagai salah satu isu HAM pokok -dengan
memasukkan elemen hak asasi manusia- untuk memantau agenda keamanan global
pada medio tahun 2005, PBB juga tidak memberikan definisi baku atas terminologi
tersebut.
1 Lihat: Perbandingan konteks pembangunan dan keamanan antara Afganistan dan Irak kemudian
dapat dilihat dari analisa yang ditulis dengan judul Security Force Development in Afghanistan :
Learning from Iraq (Olga Oliker). Materi dapat diakses di:
http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/testimonies/2012/RAND_CT378.pdf diakses pada tanggal
3 Januari 2013.
2 Lihat: Laporan Open Society Foundations untuk judul yang sama dapat diakses di:
http://www.opensocietyfoundations.org/reports/globalizing-torture-cia-secret-detention-andextraordinary-rendition diakses pada tanggal 22 Februari 2013.
1
2
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
Meskipun demikian, dalam laporan Dewan HAM PBB yang ditulis oleh Pelapor
Khusus untuk urusan Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan
Fundamental Ketika Memerangi Terorisme berjudul “Promotion and Protection of
Human Rights: Report of the Special Rapporteur on the Promotion and Protection of
Human Rights and Fundamental Freedoms while Countering Terrorism, Martin
Scheinin”,3 ada ukuran yang bisa digunakan untuk melihat intensi teror dan terorisme:
Pertama, tindakan tersebut memiliki intensi yang mematikan atau mampu melukai
tubuh, atau para pelaku melakukan penyanderaan. Kedua, tindakan tersebut memiliki
tujuan untuk memprovokasi teror, memperluas intimidasi, atau menarik perhatian
negara/organisasi internasional lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan
respons atas tindakan tersebut. Ketiga, tindakan-tindakan tersebut bisa dikategorikan
terorisme apabila masuk dalam kategori pelanggaran konvensi dan protokol
internasional yang berkaitan dengan terorisme.4
Lebih lanjut, dimensi hak asasi manusia dalam isu terorisme ini juga harus
mengakomodir konsep hak-hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non
derogable rights) sebagaimana yang juga diterangkan dalam Konvensi Internasional
Hak-Hak Sipil dan Politik, khususnya pada hak atas hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut, hak beragama, dan hak untuk tidak diperbudak.
Dalam konteks ini, PBB ingin menempatkan agenda memerangi terorisme sebagai
peluang untuk memperluas pemahaman keadilan sosial, kesetaraan dan dialog global.
Namun demikian, agenda memerangi terorisme juga memiliki polemiknya tersendiri
mana kala isu keamanan kemudian dijadikan daya tawar untuk memberikan bantuan
kerja sama ekonomi. Mengingat stabilitas keamanan dan politik kerap dijadikan
rujukan utama untuk membangun keberlanjutan investasi, khususnya di negara-negara
berkembang. Konteks ini akan menjadi ilustrasi menarik ketika kita melihat seberapa
banyak dukungan perbantuan proyek anti-terorisme di dapat oleh Indonesia, akan
tetapi minim ruang akuntabilitas dan pembuktian profesionalismenya.
Di sini, pengalaman-pengalaman kita membuktikan bahwa mengelola demokrasi
transisional tidaklah semudah yang kita prediksikan. Pengelolaan ini tidak sematamata membutuhkan instrumen-instrumen politik yang memenuhi prasyarat
akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme segenap aparatusnya, namun juga
dibutuhkan kemauan politik dari para pemimpin negara untuk bisa menjawab problem
ketidakadilan sosial yang sejak dulu hingga kini masih menjadi persoalan besar.
Salah satu problem ketidakadilan sosial di Indonesia banyak terkait dengan isu
pengelolaan keamanan. Isu ini kemudian menjadi kecenderungan yang kerap muncul
pasca 1998 di sejumlah wilayah khusus dan memiliki kekhasan tersendiri. Sebut saja
beberapa wilayah di Indonesia bagian timur, termasuk juga Aceh dan Timor Timur
sebelum jajak pendapat 1999.
3 Lihat: http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/168/84/PDF/G0516884.pdf?
OpenElement diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
4 Ibid.
2
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Konflik komunal dan kekerasan yang memiliki corak pelanggaran HAM serius
muncul di sejumlah wilayah seperti di Ambon, Poso, Papua, Kalimantan, Timor
Timur hingga Aceh.5 Wilayah-wilayah ini menjadi sangat sensitif dan mendapat
penanganan khusus dari Jakarta.6 Kekhususannya kemudian terletak pada seberapa
jauh mobilisasi aktor-aktor keamanan dan sumber daya yang menyertainya
dikerahkan untuk meredam ketegangan sosial tersebut.7
Tidak hanya itu, KontraS juga memandang adanya korelasi yang cukup kuat untuk
melihat praktik ketidakadilan sosial dengan serangkaian aksi teror di Indonesia yang
sudah terjadi lebih dari satu dekade. Dalam beberapa laporan HAM yang pernah
dikeluarkan KontraS berdasarkan hasil pemantauan lapangan, isu ketidakadilan sosial
muncul sebagai konsekuensi terkuat dari salah pengelolaan proyek pasca konflik yang
memicu merebaknya korupsi di wilayah-wilayah pasca konflik, pembangunan yang
tidak berperspektif korban, ketidakjelasan program pemulihan hak-hak korban,
mandeknya program deradikalisasi, hingga brutalitas aparat keamanan dalam
merespons kebijakan anti-teror di wilayah-wilayah khusus seperti Poso dan Aceh.8
Bahkan dalam laporan penelitian yang dikeluarkan oleh Setara Institute berjudul dari
Radikalisme menuju Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam
Radikal di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, juga diterangkan hilangnya nilai toleransi
justrumampu memicu aksi teror, dengan menguatnya organisasi-organisasi radikal dan
adanya kedekatan relasi antara kelompok-kelompok tersebut dengan teroris.9 Indikasi
transformasi kelompok-kelompok radikal menjadi teroris juga disebutkan dalam
beberapa laporan kajian keamanan yang dikeluarkan oleh International Crisis Group
(ICG).10
Jika dilihat dari kecenderungan pola penanganan yang ada, Pemerintah Indonesia
kerap melakukan modifikasi pendekatan penyelesaian masalah. Namun demikian, dari
modifikasi penyelesaian masalah yang ada, pemerintah Indonesia kerap menggunakan
pendekatan keamanan untuk menjawab persoalan yang ada.11
Dalam konteks penanganan konflik sosial, Jakarta sempat menggunakan beberapa
langkah positif dengan membuka beberapa meja perundingan dan mendorong
beberapa inisiatif lokal, sebagaimana yang terjadi di Aceh dan beberapa wilayah
konflik lainnya. Akan tetapi sinyalemen ini juga tidak menurunkan intensitas
keamanan sebagai jawaban dari persoalan-persoalan yang ada. Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) Helsinki 2005 sempat didahului dengan penerapan
5 Lihat: Derailed: Transitional Justice in Indonesia Since the Fall of Soeharto:
http://kontras.org/buku/Indonesia%20report-derailed-Eng.pdf diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
6 Lihat:Ibid
7 Lihat: Ibid.
8 Lihat: Laporan Pemantauan KontraS: Temuan Lapangan dari Poso Sulawesi Tengah
http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1614 diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
9 Lihat: http://www.setara-institute.org/id/content/dari-radikalisme-menuju-terorisme diakses pada
tanggal 3 Januari 2013.
10 Lihat: http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/228-how-indonesianextremists-regroup.pdf diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
11 Lihat: Indonesia: Rethinking Internal Security Strategy, International Crisis Group:
http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-eastasia/indonesia/090_indonesia_rethinking_internal_security_strategy.pdf diakses pada tanggal 3 Januari
2013
3
4
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
status darurat militer di tahun 2003 dan menurunkannya menjadi status darurat sipil di
tahun 2004.
Keputusan-keputusan politik keamanan ini memang dilandasi oleh kegagalan
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam menemukan titik kesepahaman
melalui meja perundingan. Namun, model keputusan semacam ini juga tidak luput
dari dinamika politik keamanan global pasca serangan bom dan teror di World Trade
Center (WTC) New York 9 September 2001 dan keputusan sepihak Amerika Serikat
untuk mengokupasi Irak di tahun 2003 sebagai preseden penting perang melawan
terorisme.12 Pengalaman Aceh sedikit banyak telah membuktikan adanya modifikasi
pola penanganan urusan keamanan yang sudah memasukkan perspektif anti-teror di
dalamnya.13
Tidak hanya Aceh, persoalan keamanan di Poso tahun 2003 juga sedikit banyak
menggunakan perspektif anti-terorisme. Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh
Kepala Badan Intelijen Negara (Ka.BIN) Hendropriyono yang menegaskan adanya
keterlibatan kelompok teroris Internasional (Al-Qaeda) dan kelompok radikal dalam
konflik Poso.14 Penegakan operasi hukum dan keamanan untuk memburu kelompok
teror di Poso juga dilakukan dalam konteks penanganan Bom II/II Bali, JW Marriott
dan Ritz Carlton hingga medio 2007 dan 2010.15
Berangkat dari pengalaman-pengalaman penanganan urusan keamanan di wilayah
konflik, nampaknya ada kebutuhan untuk memperkuat perspektif anti-teror,
sebagaimana langkah global yang telah diambil banyak negara pasca serangan 9/11 di
Amerika Serikat. Keputusan-keputusan politik lokal di sektor keamanan juga makin
menguat pasca lawatan kenegaraan Presiden Megawati Sukarnoputri ke Amerika
Serikat beberapa hari setelah 9/11 terjadi. Uniknya, kunjungan kenegaraan Indonesia
ini dipandang oleh banyak pakar politik sebagai komitmen Indonesia –negara
demokrasi dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia- untuk terlibat dalam
agenda besar memerangi terorisme bersama dengan Amerika Serikat.
Hal yang dapat diduga kemudian adalah komitmen Bush dalam mendorong agenda
reformasi militer Indonesia dalam konteks demokrasi transisional. Pertemuan ini juga
menyepakati beberapa hal, khususnya pada bagaimana agenda reformasi militer
Indonesia dapat bersinergi dengan agenda utama Amerika Serikat untuk memerangi
radikalisme dan teror yang menyertainya.16
12 Lihat: Reformasi and Resistence – Human Rights Defenders and Counter-Terrorism in Indonesia,
Human Rights First (Series of Human Rights Defenders and Counter-Terrorism No. 2), New York
2005: http://www.humanrightsfirst.org/wp-content/uploads/pdf/reformasi-resist-052505.pdf diakses
pada tanggal 3 Januari 2013.
13 Ibid
14 Lihat: Hendropriyono – Konflik Poso Melibatkan Teroris Internasional dalam
http://news.liputan6.com/read/25320/hendropriyono-konflik-poso-melibatkan-teroris-internasional
diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
15 Lihat: Catatan Ringkas KontraS tentang Densus 88 Periode Tahun 2000 – 2010. Tidak
dipublikasikan.
16 Lihat: Megawati Flies to Meet Bush (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/1550015.stm) dan
Transkrip Percakapan George W. Bush dengan Megawati Soekarno Putri
(http://www.washingtonpost.com/wp-srv/nation/specials/attacked/transcripts/bushtext1_091901.html)
diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
4
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Kertas posisi ini kemudian juga ingin membuktikan beberapa hal: (1) Membuktikan
adanya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri, (2)
Membuktikan minimnya ruang pertanggungjawaban atas dugaan pelanggaran HAM
yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri.
Dalam temuan KontraS, melalui riset ini juga didapati bahwa kebijakan-kebijakan
anti-terorisme di Indonesia tidak dilengkapi dengan perangkat pelindung dan
profesionalitas hak asasi manusia. Terutama mereka yang dijadikan tersangka teroris.
Hingga kini tidak ada upaya koreksi yang signifikan terhadap ekses yang timbul dari
operasi-operasi anti-teror Densus 88 AT Polri.
II. Proyek Kontra Terorisme di Indonesia
Khusus di Indonesia, kristalisasi kelompok-kelompok radikal berbasis fundamentalis
keagamaan menguat pasca jatuhnya Orde Baru 1998. Jamaah Islamiyah (JI) sebuah
kelompok fundamentalis regional dan memiliki basis massa yang cukup besar di
Indonesia diduga kuat bertanggung jawab dalam serangkaian serangan bom di Bali
pada tahun 2002 dan 2005.17 Peristiwa itu setidaknya memakan korban jiwa lebih dari
200 orang dan ratusan lainnya luka-luka.
Meski sulit untuk menunjukkan keterkaitan antara Al-Qaeda dengan Jamaah
Islamiyah dalam serangkaian aksi teror di kawasan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, namun sebaran organisasi ini memiliki simpul yang cukup luas baik di
Indonesia, Malaysia, maupun sebagian wilayah di Thailand dan Filipina.18 Organ
paramiliter lainnya seperti Laskar Jihad yang kini telah bertransformasi menjadi Front
Pembela Islam (FPI) juga dapat diidentifikasi sebagai bagian dari persebaran
kelompok-kelompok fundamentalis tersebut. Laskar Jihad bahkan terlibat aktif dalam
konflik Ambon dan Poso, di mana perekrutan kelompok muda untuk diasah
militansinya dengan sentimen anti Kristen sempat dilakukan.19 Uniknya, organisasi ini
hidup dan dibesarkan dari aliran pendanaan beberapa elite militer Indonesia, dengan
motif untuk melindungi kepentingan ekonomi, melakukan penekanan kepada
kelompok-kelompok pro-demokrasi, dan bahkan terlibat dalam beberapa operasi
keamanan di wilayah-wilayah konflik di Indonesia.20
Dalam kondisi ini, negara mengambil respons politik dengan menerbitkan Instruksi
Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana terorisme
Termasuk pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 200221 yang
kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pengganti Undang-Undang
17 Lihat: Indonesia Backgrounders: How the Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates:
http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/043%20-%20Indonesia
%20Backgrounder%20-%20How%20The%20Jemaah%20Islamiyah%20Terrorist%20Network
%20Operates.pdf diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
18 Ibid.
19 Kirsten E. Schultze, “Laskar Jihad and the Conflict in Ambon” dapat dilihat di:
http://www.watsoninstitute.org/bjwa/archive/9.1/Indonesia/Schulze.pdf halaman 58. Diakses pada
tanggal 3 Januari 2013.
20 Lihat: Robert W. Hefner, “Islam and Asian Security,” Strategic Asia 2002-03, hal 378
21 Lihat: Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Termasuk pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 4 Januari 2013.
http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/inpres4_2002.pdf diakses pada tanggal
4 Januari 2013.
5
6
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.22 Tidak hanya
itu, pemerintah melalui Kementerian Koordinator bidang Politik dan Keamanan
segera membentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme yang langsung berada
di bawah koordinasi Menkopolkam yang saat itu dijabat oleh Susilo Bambang
Yudhoyono.
Dalam Surat Keputusan Nomor 26/Menko/Polkam/11/2002 dijabarkan bahwa Desk
Koordinasi Pemberantasan Terorisme adalah terdiri dari kesatuan Anti Teror Polri
(Detasemen C Resimen IV Gegana), Brimob Polri dan 3 organisasi anti teror di tubuh
TNI, termasuk juga Badan Intelijen Negara (BIN).23 Dalam perkembangannya desk
ini kemudian dileburkan menjadi Satuan Tugas Antiteror yang bernaung di bawah
Departemen Pertahanan, yang saat itu dipimpin oleh Matori Abdul Djalil.24
Namun satuan ini tidak berhasil membangun dinamika yang kokoh sebagai kesatuan.
Ketidakkokohan dalam membangun ruang koordinasi juga berpotensi menghambat
kinerja satuan elite tersebut dalam mencegah dan memberantas terorisme. Di lain
pihak, inisiatif Mabes Polri untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Bom Polri dalam
mengusut kasus Bom Natal tahun 2001 menjadi fenomenal. Satgas ini kemudian
menangani banyak kasus pengeboman yang terkait dengan kepemilikan aset
internasional, sebut saja kasus Bom Bali I, Bali II, Marriott, dan bom di Kedutaan
Besar Australia.
Secara struktur Satgas Bom Polri berada di bawah kendali Badan Reserse dan
Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri pimpinan Brigadir Jenderal Polisi Gories Mere,
yang kemudian digantikan oleh Brigadir Jenderal Polisi Bekto Suprapto, hingga
terakhir dipimpin oleh Brigadir Jenderal Polisi Surya Dharma Salim Nasution. Kelak
Bekto Suprapto dan Surya Dharma memimpin kendali Densus 88 Anti Teror Mabes
Polri sebagai komandan pertama dan kedua.
Sebagai informasi dalam tubuh Polri terdapat beberapa kesatuan anti teror yang
memiliki kemiripan fungsi dan tanggung jawab, seperti Satuan Anti Teror Gegana
Brimob Polri dan Direktorat VI Anti Teror. Uniknya, Direktorat VI Anti Teror juga
berada di bawah naungan Bareskrim Mabes Polri dengan fungsi dan tanggung jawab
yang sejenis dengan Satgas Bom Polri. Lahirnya Skep Kapolri Nomor 31/VI/2003
juga merupakan langkah internal Polri dalam merampingkan kesatuan-kesatuan yang
serupa.
22 Lihat: Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/perpu1_2002.pdf diakses pada tanggal 4
Januari 2013.
23 Lihat:Kep-26/Menko?Polkam/II/2002 tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan
Terorisme Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia
http://www.polkam.go.id/LinkClick.aspx?fileticket=4dtvP7C824s%3D&tabid=60&mid=405 diakses
pada tanggal 4 Januari 2013.
24 Sebuah artikel yang ditulis Majalah Tempo edisi Desember 2003 berjudul Kesatuan Elite yang
Terlupakan, memaparkan bahwa Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sempat menginstruksikan
untuk mengaktifkan Satuan Tugas Khusus Pasukan Anti Teror di bawah 3 matra TNI. Matori Abdul
Djalil yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan bahkan sempat melakukan penaksiran
(assessment) terhadap satuan-satuan elite berikut ini: Grup 5/Penanggulangan Teror-Kopassus (TNI
AD), Unit Khusus Sandi Jejak Kopassus (TNI AD), Detasemen Bravo 90 Paskhas (TNI AU),
Detasemen Jala Mangkara Marinir (TNI AL).
6
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Selanjutnya Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun
2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UndangUndang.25 Undang-Undang ini kemudian menjadi landasan hukum dalam memberikan
kewenangan tata kelola kebijakan penanganan anti-terorisme yang dilakukan Polri
khususnya Densus 88. Sedangkan unsur Intelijen dan TNI menjadi badan pendukung
pemberantasan tindak pidana terorisme yang akan diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
III. Performa Densus 88
Dalam Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, di Pasal 23 diterangkan tentang
definisi, tugas dan struktur utama Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri.
Sebagai sebuah unit anti teror yang khusus dibentuk di bawah Kepolisian Negara
Republik Indonesia; terpisah dari unit anti teror lainnya yang melekat pada kesatuan
ataupun matra Angkatan Darat, Laut, dan Udara.
Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri, atau yang lebih dikenal sebagai
Densus 88 dibentuk pada tahun 2003 dengan modal 16 juta US Dollar, mendapat
pelatihan khusus dari unit anti teror Amerika Serikat dan badan intelijen Amerika
Serikat –termasuk Central Intelligence Agency (CIA)-.26 Sebagai unit khusus, Densus
88 hanya memiliki 400 personel yang dibekali dengan kemampuan teknik intelijen,
investigasi dan teknik melumpuhkan lawan secara efektif. Unit ini juga dibekali
dengan peralatan-peralatan anti-teror yang mumpuni.
Dalam artikel ringkas yang dikeluarkan oleh Human Rights First (HRF) diterangkan
pula mengenal dukungan Amerika Serikat perihal agenda anti-teror ini. Mathey P.
Daley, Asisten Wakil Sekretaris Negara Amerika Serikat menerangkan bahwa
keberadaan Densus 88 merupakan, “substantially enhance the Indonesian
Government’s Capability to neutralize terrorist cells and conduct terrorism-related
criminal investigations”.27
Densus 88 adalah unit yang berbeda dengan unit tempur lainnya yang sudah terlebih
dahulu dimiliki oleh Polri, seperti Brigade Mobil (Brimob) yang juga kerap
diturunkan untuk menghadapi situasi keamanan yang khusus maupun kedaruratan.
Secara struktur koordinasi, unit ini mendapatkan pengarahan langsung dari Markas
Besar (Mabes) Polri. Meskipun demikian, Densus 88 tetap memiliki Kepala Densus
88 yang bertanggung jawab untuk menjalankan operasi dan ruang koordinasi lainnya.
Tahun 2004 menjadi debut pertama dari operasi anti-teror Densus 88.
25 Lihat: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003: http://www.kontras.org/uu_ri_ham/UU%20Nomor
%2015%20Tahun%202003%20tentang%20Anti%20Terorisme.pdf diakses pada tanggal 4 januari
2013.
26 Elaborasi sejarah Densus 88 disarikan dari tulisan Indonesia: Retthinking Internal Security Strategy
(ICG): http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-eastasia/indonesia/090_indonesia_rethinking_internal_security_strategy.pdf diakses pada tanggal 10
Januari 2013
27 Lihat: Densus 88 and the Asia Pivot, Diana Sayeed, Human Rights First, 2012:
http://www.humanrightsfirst.org/2013/01/31/densus-88-and-the-asia-pivot/ diakses pada tanggal 31
Januari 2013.
7
8
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
Selanjutnya, berikut ini adalah elaborasi ringkas tentang mandat, kewenangan dan
tanggung jawab Densus 88 yang disarikan dari Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun
2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme, di mana
peraturan internal ini bersifat mengikat dan memiliki segala ketentuan kewajiban yang
harus dijalankan oleh unit Densus 88.
Pasal 23:
(1) Detasemen Khusus 88 Anti Teror disingkat Densus 88 AT adalah unsur pelaksana tugas
pokok di bidang penanggulangan kejahatan terorisme yang berada di bawah Kapolri
(2) Densus 88 AT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertugas menyelenggarakan fungsi
intelijen, pencegahan, investigasi, penindakan, dan bantuan operasional dalam rangka
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme
(3) Densus 88 AT dipimpin oleh Kepala Densus 88 AT disingkat Kadensus 88 AT, yang
bertanggung jawab kepada Kapolri
(4) Kadensus 88 AT dibantu oleh Wakil Kadensus 88 AT disingkat Wakadensus 88 AT.
Dalam Perkap tersebut juga dijelaskan tentang tujuan dari perencanaan standar
pedoman dalam melakukan penindakan tersangka tindak pidana terorisme secara
profesional dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (Pasal 2).
PRINSIP-PRINSIP PENINDAKAN TERORISME (Pasal 3):
(a) Legalitas, yaitu penindakan terhadap pelaku tindak pidana terorisme berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan
(b) Proporsional, yaitu tindakan yang dilakukan sesuai dengan eskalasi ancaman yang
dihadapi
(c) Keterpaduan, yaitu memelihara koordinasi, kebersamaan, dan sinergitas segenap
unsur/komponen bangsa yang dilibatkan dalam penanganan
(d) Nesesitas, yaitu bahwa teknis pelaksanaan penindakan terhadap tersangka tindak
pidana terorisme dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi lapangan
(e) Akuntabilitas, yaitu penindakan terhadap terasngka tindak pidana terorisme
dilaksanakan sesuai prosedur dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perkap juga mengatur mengenai perangkat struktur penindakan terorisme di bawah
Densus 88. Terdiri dari:
Korbrimob Polri: Unsur pelaksana tugas pokok di bidang birgade mobil yang
berada di bawah Kapolri yang bertugas menyelenggarakan pembinaan
keamanan khususnya yang berkenan dengan penanganan gangguan keamanan
yang berintensitas tinggi dalam rangka penegakan keamanan dalam negeri
Wanteror Gegana Korbrimob Polri: Satuan perlawanan/penindakan pelaku
kejahatan terorisme yang menggunakan senjata api dan bom atau yang
berintensitas tinggi dengan menggunakan teknik dan taktik serta peralatan
khusus
8
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Manajer Penindakan: Perwira pengendali lapangan yang ditunjuk Kadensus
88 Anti Teror (AT) Polri yang bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan
pada tahap pra penindakan dan aksi penindakan
Ketua Tim Penindak (Katim Penindak): Perwira pengendali taktis dan
teknis Tim Penindakan yang bertanggung jawab kepada Manajer Penindakan,
yang dalam pelaksanaannya Katim Penindak dapat berasal dari Subbid SF
Densus 88 AT Polri atau Katim Wanteror Gegana Korbrimob Polri
Tim Penindak: Personel Polri yang melaksanakan penindakan, meliputi
Subbid Stricking Force (SF) Densus 88 AT Polri da/atau Wanteror Gegana
Korbrimob Polri
Subbid SF: Satuan penindakan dari Bidang Tindak Densus 88 AT Polri yang
bertugas melakukan tindakan melumpuhkan, penetrasi, penggeledahan dan
penyitaan barang bukti terhadap tersangka tindak pidana terorisme
Manajer Tempat Kejadian Perkara: Perwira pengendali lapangan yang
ditunjuk Kadensus 88 AT Polri yang bertanggung jawab terhadap kegiatan
pasca penindakan dalam penanganan TKP
BidTindak Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana utama di bawah Kadensus
88 AT Polri yang bertugas melakukan penindakan terhadap pelaku tindak
pidana terorisme melalui kegiatan negosiasi dan pendahulu, serta melakukan
penindakan terhadap pelaku tindak pidana terorisme sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan
Bidintelijen Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana utama Densus 88 AT Polri
di bawah Kadensus 88 AT Polri yang bertugas menyelenggarakan dan
membina fungsi intelijen yang berhubungan dengan hakekat ancaman
terorisme, dengan melaksanakan kegiatan pengamatan, mencari pelaku teror
melalui kegiatan pembuntutan (survailance), deteksi, analisis lapangan dan
penilaian (assessment) informasi secara fisik terhadap perkembangan
lingkungan serta menganalisis aktivitas dan pergerakan pelaku tindak pidana
terorisme
Bidinvestigasi Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana di bawah Kadensus 88
AT Polri yang bertugas melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana
terorisme sesuai peraturan perundang-undangan
Bidbanops Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana utama di bawah Kadensus
88 AT Polri yang bertugas memberikan dukungan teknis, mendata kasus bom
(database bom) serta melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan
lembaga atau instansi terkait di dalam dan di luar negeri
Bidcegah Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana di bawah Kadensus 88 AT
Polri yang bertugas menyelenggarakan kegiatan pencegahan dalam rangka
penanggulangan tindak pidana terorisme
9
1
0
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
Satgaswil Densus 88 AT Polri: Unsur pelaksana tingkat wilayah di bawah
Densus 88 AT yang bertugas menyelenggarakan dan membina fungsi intelijen
yang berhubungan dengan hakekat ancaman terorisme, untuk mengetahui
aktivitas dan pergerakan, mencari pelaku teror, analisis lapangan dan
assesment/penilaian informasi secara fisik terhadap perkembangan
lingkungan, serta menganalisis aktivitas dan pergerakan pelaku tindak pidana
terorisme melalui jaringan intelijen dan teknologi informasi.
Adapun struktur kerja organisasi Densus 88 di tingkat Markas Besar dapat dilihat
sebagai berikut:
STRUKTUR ORGANISASI DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR (TINGKAT
MABES )
penindakan tersangka tindak pidana terorisme juga diklasifikasikan ke dalam 2
kegiatan. Di mana kegiatan-kegiatan tersebut juga diikuti dengan tahapan-tahapan
kegiatan lainnya yang bersifat mendukung kelancaran penindakan. Secara garis besar,
kategori penindakan dalam operasi Densus 88 terbagi menjadi 2 wilayah. Pertama
Kegiatan terencana yang diikuti serangkaian kegiatan mulai dari pra penindakan, aksi
penindakan, dan pasca penindakan. Kedua, penindakan segera dilakukan dengan
beberapa ukuran seperti waktu persiapan yang lebih singkat, situasi kedaruratan dan
kontijensi. Di mana Kepala Densus 88 dan Manajer Penindakan yang didukung tim
khusus, di antaranya Bidang Investigasi Densus 88 AT Polri/Satwil, Tim Status Quo
TKP, Puslabfor Bareskrim Polri, Pusinfsis Bareskrim Polri, Div Pusdokes Polri, Tim
Medis, Cyber Forensic Bareskerim Polri, dan Bidang Cegah Densus 88 AT Polri.
10
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Dua kegiatan di atas seharusnya diiikuti dengan beberapa tahapan lainnya seperti,
tahap peringatan, penetrasi, melumpuhkan tersangka, penangkapan, penggeledahan,
dan penyitaan barang bukti.28
Sebagai catatan, dalam situasi tertentu kegiatan penindakan dapat dilakukan tanpa
didahului dengan kegiatan negosiasi dan peringatan atas pertimbangan situasi darurat,
berdasarkan tingkat ancaman maupun pertimbangan lainnya. Perkap ini juga
mengatur klausul tentang pertanggungjawaban hukum apabila operasi penindakan
tersebutkan menyebabkan matinya seseorang/tersangka (Pasal 19 ayat 3).
Selain itu, untuk menunjang operasi Densus 88 juga dapat meminta dukungan dari
pihak internal dan eksternal Polri. Dukungan internal Polri meliputi unit Baintelkam,
Bareskrim, Baharkam, Korbrimob, Divhubintern, dan Satwil –yang disesuaikan
dengan tugas dan fungsinya masing-masing (Pasal 44 ayat 2).
Sedangkan dukungan dari pihak eksternal Polri bisa didapat dari institusi-institusi
seperti TNI, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Badan Tenaga Atom Nasional
(BATAN), Badan SAR Nasional, pemerintah daerah, dinas kesehatan, Perusahaan
Listrik Negara (PLN), penyelenggara jasa telekomunikasi, media, tenaga ahli dan
masyarakat (Pasal 45 ayat 3).
Khusus untuk elemen-elemen pendukung eksternal yang berada di bawah payung
pemerintah daerah, seperti dinas pemadam kebakaran, dinas pekerjaan umum, dan
perusahaan daerah air minum. Dukungan tenaga ahli seperti tenaga di sektor teknologi
informasi, akademisi, psikologi, medis dan konstruksi bangunan juga menjadi tenaga
sektor ahli yang diterangkan dalam Perkap (Pasal 45 ayat 4).
Dukungan masyarakat seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, RT/RW
dan Pam Swakarsa juga kemungkinan besar akan dilibatkan dalam proses penindakan
(Pasal 45 ayat 5). Terakhir Perkap ini juga menerangkan bahwa seluruh permintaan
dukungan eksternal yang dilakukan oleh Manajer Penindakan harus dilaporkan
kepada Kadensus 88 AT Polri (Pasal 45 ayat 6).
IV. Operasi Anti Terorisme dan Dugaan Praktik Pelanggaran HAM
Belum ada satu mekanisme internal maupun eksternal yang bisa digunakan sebagai
fungsi kontrol akuntabilitas dan profesionalisme dari Densus 88 dan para personelnya.
Sebagai unit khusus di bawah ketentuan internal Mabes Polri, Densus 88 seharusnya
tunduk pada sejumlah aturan internal, baik Peraturan Kapolri maupun aturan internal
lainnya. Maupun fungsi-fungsi pengawasan eksternal yang melekat pada sejumlah
komisi-komisi negara independen, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan,
Komisi Penanggulangan Korupsi, PPATK dan lain sebagainya.
Sepanjang satu dekade terakhir, Densus 88 memang berhasil melumpuhkan jaringan
teror di beberapa daerah. Publik bahkan memberikan apresiasi tinggi terhadap
performa Densus 88 tersebut. Adapun beberapa operasi yang bisa diruntut di sini
adalah sebagai berikut:
28 Lihat Pasal 19 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan
Tersangka Tindak Pidana Terorisme.
11
1
2
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
1. Operasi penangkapan Amrozi, Imam Samudera, Ali Imron untuk kasus Bom
Bali I (2002)
2. Penangkapan Rois dan Sogir –tersangka kasus peledakan Kedubes Australia(2004)
3. Penyerbuan dan pelumpuhan Dr. Azahari di Kota Batu, Malang (2005)
4. Operasi penangkapan dan penyergapan pelaku Bom Bali II dan Bom JW.
Marriott – Ritz Charlton dilakukan antara tahun 2006-2009
5. Penyergapan dan pelumpuhan Noordin M. Top di Kota Temanggung, Jawa
Tengah (2009)
6. Penyergapan dan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir (2010)
“Musuh yang dihadapi polisi adalah kelompok yang pernah berlatih militer di Afganistan, Pakistan,
Mindanao, Poso, Maluku, Aceh, hingga Sumatera Utara. Dalam pelatihan, mereka diajarkan
pengenalan dan penggunaan berbagai jenis senjata api, membuat bom, hingga taktik penyerangan
di berbagai medan. Para teroris memiliki senpi berbagai jenis, amunisi, hingga alat peledak.
Mereka memiliki ideologi untuk mati syahid dalam jihad, menganggap polisi sebagai kafir
sehingga melakukan perlawanan jika ditangkap. Menganggap dapat pahala jika dapat membunuh
polisi. Mereka diindoktrinasi bahwa polisi itu kafir yang darahnya hala.
Dengan ada pernyataan-pernyataan miring bahwa seolah-olah Densus 88 melanggar HAM,
sedangkan yang kita hadapi seperti ini. Apakah tepat kita dituduh seperti itu? Apakah kita biarkan
anggota saya saat menangkap dengan SOP seperti tangani pidana biasa, lapor RT/RW, kasih lihat
surat perintah penangkapan. Yah selesai, belum masuk sudah dibabat mereka. SOP-nya berbeda,"
Jenderal Polisi (Purn) Bambang Hendarso Danuri (Pernyataan dukungan kepada Densus 88 untuk
operasi anti-terorisme di Medan 2010, Kompas 24 September 2010: Kapolri Bantah densus 88
Langgar HAM).
Namun,
tidak
sedikit
dari
operasioperasi
anti-
terorisme Densus 88 yang menuai kritik akibat tidak diterapkannya prinsip
akuntabilitas dan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, diketahui juga
beberapa dari operasi ini tidak menggunakan ukuran penindakan tersangka tindak
pidana terorisme yang jelas. Beberapa contoh kasus yang bisa diangkat di sini adalah
sebagai berikut:
Operasi penegakan hukum di Poso (2006-2007)
Densus 88 AT diturunkan dalam meredam aksi kekerasan fundamentalis
berbasis agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teror di Poso.
Namun demikian operasi ini tidak menggunakan prosedur tetap.
Penggerebekan kelompok teroris di Pegunungan Jalin, Jantho Provinsi
Aceh (2010)
Di awal tahun 2010, terjadi penyergapan di Pegunungan Jalin Janto, Aceh
Besar. Polisi menduga tempat itu merupakan lokasi latihan militer teroris
kelompok Jamaah Islamiyah. Dalam penggerebekan yang dilakukan tiba-tiba
di malam hari, berhasil menangkap 3 orang tersangka dan beberapa barang
bukti. Tidak terdapat tindakan perlawanan dari para tersangka, namun seorang
warga sipil bernama Kamaruddin (37 tahun) tewas tertembak dan 2 warga
lainnya juga mengalami luka akibat tembakan dari pihak Densus 88. Salah
seorang dari tersangka yang ditangkap, didakwa Pasal 14 jo pasal 7, Pasal 15
jo Pasal 9 dan Pasal 13 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Terorisme serta Pasa1 1 UU Darurat.
12
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
Maret 2010, penyergapan teroris Aceh terus dilakukan di beberapa tempat
seperti Lamkabeau, Pidie, Lhokseumawe, Leupang, Banda Aceh, Seulawah,
dan Meulaboh. Dari penyergapan-penyergapan tersebut, 5 orang tewas
tertembak (1 orang di Pidie, 1 orang tersangka dan 1 orang warga sipil
bernama Nuhbari di Lamkabeau, dan 2 orang di Leupang). Satu orang luka
tembak (penyergapan di Pidie), 28 orang ditahan (13 orang ditangkap di Aceh
Besar dengan dugaan melakukan latihan militer, 14 orang dan 1 orang salah
tangkap di Meulaboh.
Penggerebekan kelompok teroris di Cawang, DKI Jakarta dan
Cikampek, Provinsi Jawa Barat (2010)
Operasi Densus 88 pada tanggal 12 Mei 2010 ini di awali dari penggerebekan
tiba-tiba di Cawang (Jakarta Timur). Sempat terjadi penembakan dan
menewaskan 3 orang yang diduga polisi sebagai pelaku kejahatan terorisme.
Operasi penggerebekan kemudian berlanjut ke Cikampek, di mana baku
tembak juga terjadi dan menewaskan 2 orang yang diduga polisi terlibat aksi
terorisme. Satu orang ditahan. Identitas keenam orang terduga teroris tersebut
sebelum dan pada saat penggerebekan tidak diketahui (Mr. X). Pasca
penangkapan barulah pihak kepolisian mengeluarkan beberapa nama. Pada
kasus Cawang akhirnya, 2 jenazah tak dikenal yang ditembak Densus 88 di
Cawang, dimakamkan pada Selasa (8/5/2010). Tidak ada pihak yang tahu
siapa keluarga kedua jenazah tersebut. Termasuk polisi yang menembak mati
keduanya dengan tuduhan teroris.
Operasi penangkapan kelompok perampokan Bank CIMB Medan dan
penyerangan Mapolsek Hamparan Perak, Provinsi Sumatera Utara
(2010)
Pasca perampokan Bank CIMB Niaga Medan, pihak kepolisian, terutama
Densus 88 Anti Teror Polri melakukan operasi penyergapan sejumlah orang
yang diduga terlibat dalam perampokan Bank CIMB Niaga Medan. Selama
operasi tersebut, sekitar 18 orang ditahan, 6 orang mengalami luka tembak,
seorang diintimidasi, dan 10 orang tewas ditembak.
Pada 19 September 2010, Densus 88 melakukan penangkapan di Belawan,
Tanjung Balai, Percut Sei Tuan, dan Hamparan Perak Medan. Empat orang
mengalami luka tembak dan dirawat di RS Deli Medan. Seorang diantaranya
bernama Khairul Ghazali ditangkap pada saat sholat. Tiga orang tewas
tertembak, serta 3 orang telah dibebaskan karena tidak terdapat bukti yang
kuat.
Sebelumnya, pada 27 Agustus 2010 pukul 04.00 WIB, Densus 88 juga
melakukan penggeledahan kerumah salah seorang ibu bernama Tiorina Br
Siregar (66 Tahun), beralamat di Kampong Bahalat II Nagori Mekar Bahalat
Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi Kabupaten Simalungun. Pada kasus ini,
Densus 88 salah sasaran dan menyebabkan kerugian harta dan tekanan psikis
kepada warga.
Pada tanggal yang sama, 4 orang yang masing-masing adalah 2 pasang kakak
beradik ditangkap di Lampung. Dua orang di antara mereka ditangkap di
rumahnya, di mana salah satu ditangkap dalam keadaan sakit. Pada September
13
1
4
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
2010, 2 orang di antara mereka akhirnya dibebaskan karena tidak adanya
bukti. Seorang ayah dari 2 kakak beradik mengalami intimidasi oleh Densus
88 dengan menodongkan senjata ke arahnya.
Tanggal 19 September 2010, di Kota Rantang Kecamatan Hamparan Perak
Kabupaten Deli Serdang, Densus 88 menembak dan penangkap Marwan, yang
diduga kuat sebagai otak perampokan Bank CIMB Bank Niaga. Setelah
penangkapan Marwanm Densus 88 melanjutkan operasi ke rumah istri
Marwan di Gang Bilal, Hamparan Perak, Deli Serdang.
Di rumah Marwan, Densus 88 menembak di bagian kaki 2 orang bernama
Anton Sujarwo dan Eben alias Abah. Selain itu Densus 88 juga menangkap
Kasman Hadiyono (kakak ipar Marwan). Setelah mennjalani interogasi di
Markas Brimob Kelapa Dua Jakarta, Kasman Hadiyono akhinya dibebaskan
karena tidak terbukti terlibat kasus terorisme.
Operasi Kontijensi Sumatera Utara (2010)
Pada 20 September 2010, penggerebekan terjadi di Medan dan Lampung. 7
orang warga yang berasal dari luar Medan ditangkap oleh Densus 88 di tiga
lokasi warnet di Medan, yakni 2 orang ditangkap di warnet Artanet, 2 orang
ditangkap di warnet Serasi dan 3 orang ditangkap di warnet Kendari. Ketujuh
orang tersebut masih menjalani pemeriksaan. Pada bulan Oktober 2010, terjadi
baku tembak di Desa Martebing Dolok Masihol yang mengakibatkan
tewasnya 2 orang terduga teroris. Disamping itu 3 orang ditahan pada
penyergapan di sebuah rumah kontrakan di Deli Serdang.
(Keterangan: Salahsatu tersangka perampokan Bank CIMB Niaga yang dilumpuhkan dalam
Operasi Kontijensi Polda Sumatera Utara di Dolok Masihol, © KontraS)
Operasi penangkapan bom bunuh diri Mapolsek Cirebon (2011)
Diidentifikasi 1 orang meninggal akibat bom bunuh diri (pelaku bom bunuh
diri), 2 terduga jaringan bom bunuh diri di Cirebon, ditembak ditempat pada
saat penggerebekan di Cemani, Sukoharjo Jawa Tengah, Sabtu dini hari, 14
Mei 2011. Satu warga sipil (pedagang angkringan) tewas akibat
penggerebakan di Cemani, Sukoharjo Jawa Tengah di hari yang sama. Pihak
kepolisian mengklaim bahwa warga tersebut tewas akibat tembakan dari
senjata api milik pelaku terduga jaringan bom bunuh diri di Cirebon tersebut.
14
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
(keterangan: Foto Nur Iman (pedagang angkringan) yang tewas ditembak aparat Densus 88
di TKP © KontraS).
Operasi penangkapan penembakan Bank BCA Palu (2011)
Dari operasi yang digelar, 2 terduga pelaku, tewas tertembak saat penyisiran di
Desa Tambaro, Poso Sulawesi Tengah, yakni Fauzan alias Ujang alias Carles
dan Dayat alias Faruk.
Bom Cirebon
Operasi Solo (2012)
Operasi Densus 88 di Papua
Beberapa bentuk tindakan yang muncul dalam Operasi Anti-Terorisme dan
mendominasi sepanjang tahun 2006-2012 adalah: Penahanan sewenang-wenang, luka
yang menyebabkan kematian (tewas di TKP), dan penyiksaan.
Adapun jenis-jenis pelanggaran HAM yang kerap muncul adalah pelanggaran atas
kategori: Hak untuk hidup, hak atas rasa aman dan bebas, dan hak atas peradilan yang
adil dan manusiawi.
80
74
69
70
60
Meninggal
50
luka tembak
40
ditahan
dis iks a
36
diintimidas i
30
28
24
s alah tangkap
25
23
19
20
14
9
10
0
00
00
2006
2
00
8
6
5
00
2007
00
00
2008
2
3
0
1
00
2009
2010
6
1
00
2011
8
1
3
12
2012
(Dokumentasi KontraS 2012)
15
1
6
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
Investigasi Khusus KontraS
1. Poso
Dalam kasus konflik Poso, upaya-upaya kontra-terorisme masih sewenang-wenang
dilakukan, dengan adanya penangkapan/penahanan yang tidak sesuai prosedur dan
terjadinya kekerasan serta penembakan warga selain pelaku terorisme. Insiden
beruntun yang terjadi di Tanah Runtuh pada 22 Oktober 2006, 11 Januari 2007, dan
22 Januari 2007 terjadi secara sistematis dan tertutup. Pelaku teror memiliki keahlian
khusus yang membuat sosoknya sulit diidentifikasi. Sepanjang tahun 2003-2007,
setidaknya 51 orang mengalami praktik penyiksaan. Sepuluh orang mengalami luka
tembak melalui proses penangkapan sewenang-wenang. Enam belas orang ditembak
mati di TKP.
Operasi penegakan hukum juga kembali dilakukan di tahun 2012. Secara khusus
KontraS juga melakukan pemantauan lapangan pada pertengahan September 2012 di
3 desa di Poso, yaitu Dusun Tamanjeka, Poso Pesisir dan Desa Kalora, Poso Pesisir
Utara. Pemilihan 3 desa ini amat terkait dengan masifnya implikasi situasi keamanan
di Poso.29 Temuan menarik dari lapangan menunjukkan beberapa hal seperti:
Pertama, kondisi salah kelola proyek pasca deklarasi perdamaian Poso (Deklarasi
Malino I) pada 20 Desember 2001, bahkan tidak ada tindak lanjut atas kebijakan
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2005 tentang Langkah-Langkah Komprehensif
Penanganan Masalah Poso. Inpres tersebut ditujukan kepada jajaran menteri
koordinator, pejabat negara setingkat menteri seperti Jaksa Agung, Kapolri, Panglima
TNI, Kepala Badan Intelijen Negara, termasuk hingga pemerintah daerah setingkat
provinsi dan kabupaten.
Kedua, terkait dengan proses hukum dan kasus korupsi yang belum tuntas. Adanya
dugaan kasus korupsi atas proyek dana kemanusiaan di Poso, sehingga menimbulkan
situasi ketidakadilan sosial yang berkepanjangan juga menjadi salahsatu faktor
pemicu menguatnya radikalisasi di sana. Ketiga, menguatnya radikalisasi sebagai
respons atas gagalnya kemampuan negara untuk menciptakan keadilan di Poso. Hal
ini terkait dengan urusan pengembalian hak-hak keperdataan milik korban dan warga
Poso yang hingga kini tidak jelas arahnya.
Dari hasil pemantauan lapangan KontraS diketahui bahwa kebijakan penanganan
terorisme di Poso masih amat mengedepankan cara-cara vulgar dan mengeksploitasi
instrumen kekerasan, baik yang dimiliki oleh Densus 88 maupun unsur aparat
keamanan terkait
[Elaborasi data kekerasan Densus 88 di Poso, Nusa Tenggara, dll)
Beberapa catatan KontraS dalam operasi anti-terorisme yang digelar di Poso,
meliputi hal-hal berikut ini: prosedur operasi yang tidak jelas, Penembakan secara
acak, Penembakan pada bagian yang mematikan, penggunaan senjata dan amunisi
29 Bagian ini disarikan khusus dari Laporan Pemantauan KontraS: Temuan Lapangan dari PosoSulawesi Tengah http://kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1614 diakses pada tanggal 31
Januari 2013.
16
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 2013
baru, penggunaan senjata militer yang mematikan, cara bertindak aparat yang memicu
kemarahan warga, lemahnya pengendalian operasi
(Dokumentasi KontraS 2012)
Data Kasus Penangkapan Sewenang-Wenang,
Penyiksaan, Tembak Mati/Luka di Poso
(Dokumentasi KontraS 2012)
2. RMS, Maluku
Dalam kasus penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap 23 aktivis
Republik Maluku Selatan (RMS) yang berdekatan dengan kunjungan Presiden SBY
pada acara Sail Banda 3 Agustus 2010, setidaknya tuduhan yang dilayangkan adalah
melakukan tindak pidana kejahatan keamanan negara/pemufakatan jahat/melakukan
perbuatan sesuatu yang melawan hukum (Pasal 106 KUHP/Pasal 110 KUHP/Pasal 55
dan 56 KUHP)
Dua puluh satu orang ditahan, 2 orang lainnya dibebaskan setelah 2 hari menjalani
hukuman kurungan. Pembebasan dilakukan akibat kurang bukti. Sebanyak 2 orang
ditahan di Rutan Markas Densus 88 Anti Teror di Tantui, Kota Ambon, 10 orang
17
1
8
Kertas Posisi Kajian Keamanan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2013
ditahan di Rutan Samapta Polda Maluku di Tantui Kota Ambon, 3 orang ditahan di
Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease dan 6 orang ditahan di Rutan Polsek
Saparua Kabupaten Maluku Tengah.
Meski operasi ini tidak termasuk dalam kategori operasi anti-terorisme, namun Polri
tetap menggelar di bawah nama operasi Mutiara Banda Siwalima 2010 (5-20 Agustus
2010), di mana 20 personel Densus 88 AT terlibat di dalamnya.
Dugaan kuat terjadinya tindak pelanggaran HAM: Penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang, penyiksaan dan perlakuan lain yang merendahkan martabat
manusia, kekerasan fisik saat penangkapan dan proses investigasi yang dilakukan
personel Densus 88 Anti Teror di Markas Densus 88 AT Tantui dan Mapolsek Saparua
nyaris dialami oleh semua korban. Layanan kesehatan yang tidak memadai,
pembatasan bantuan hukum, pembatasan akses keluarga juga menjadi hambatan yang
dirasakan langsung oleh korban.
Diduga kuat terlibat sejumlah aktor negara dan keamanan: 7 orang aparat Polda
Maluku, yang terdiri dari PLH Kadensus 88 Anti Teror dan 4 orang penyidik
pembantu di Densus 88 AT; Kepala Pengawas Rutan Samapta Polda Maluku, Kepala
Detasemen Markas Polda Maluku; 1 orang anggota Polres Pulau Ambon dan Pulau
Lease, 1 orang anggota Polsek Saparua; 1 orang anggota TNI Distrik Saparua dan
Camat Saparua.
Isu kekerasan dan potensi adanya pembiaran tindak kekerasan yang dilakukan oleh
personel Densus 88 sedikit banyak menimbulkan keresahan publik dan resistensi dari
kalangan pegiat hak asasi manusia. Tingginya angka pembunuhan kilat dan strategi
anti-teror yang justru mempertinggi angka dehumanisasi berpotensi untuk memicu
radikalisasi yang luas di kalangan kelompok-kelompok fundamentalis religius dan
individu-individu radikal, khususnya dalam mengkristalisasikan gagasan tentang jihad
yang dikombinasikan dengan isu teror tersebut.30
Bahkan dalam laporan yang baru-baru saja dikeluarkan oleh Open Society Foundation
berjudul Globalizing Torture: CIA Secret Detention and Extraordinary Rendition31
juga diterangkan beberapa informasi menarik seputar kolaborasi antara Central
Intelligence Agency (CIA) dengan Badan Intelijen Negara (BIN) terkait upaya untuk
menggulung jejaring teroris pasca 9/11. Dalam laporan tersebut, Indonesia merupakan
satu dari 54 pemerintahan yang berkolaborasi dengan CIA.
Dalam laporan setebal 120 halaman diketahui bahwa keterlibatan Indonesia,
khususnya BIN melalui Letnan Jenderal TNI (Purn) AM. Hendropriyono yang telah
membangun kerja sama dengan CIA untuk melakukan sejumlah penangkapan
sewenang-wenang. Diketahui bahwa operasi ini dilakukan sejak awal tahun 2002.
BIN turut menangkap Muhammed Saad Iqbal Madni (warga negara Mesir) atas
30 Lihat: Detachment 88 Encouraging Terrorist Revenge Attacks http://www.abc.net.au/news/2013-0208/detachment-88-encouraging-terrorist-revenge-attacks/4508010 diakses pada tanggal 19 Februari
2013
31 Lihat: http://www.