2. TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Oksigen dan Metabolisme Energi Selama Berolahraga
Konsumsi oksigen yang normal untuk seorang pemuda saat istirahat sekitar 250 mLmenit. Pada kondisi tertentu seperti olahraga, konsumsi oksigen dapat
meningkat hingga 4000 mLmenit Tabel 1, melebihi kemampuan paru-paru dalam menampung oksigen yang dibutuhkan. Kapasitas paru-paru manusia memiliki
keterbatasan dalam menampung oksigen Guyton dan Hall 2011, Ward et al 2007.
Tabel 1 Rata-rata konsumsi oksigen pada saat berolahraga
Olahragawan mL O
2
menit
laki-laki tidak terlatih 3600
laki-laki atletik terlatih 4000
pelari maraton 5100
Sumber: Guyton dan Hall 2011 ATP sebagai energi penggerak otot, di dalam tubuh diproduksi melalui dua
proses metabolisme yaitu: 1 metabolisme yang melibatkan oksigen aerob dan 2 metabolisme energi tanpa kehadiran oksigen anaerob, berupa sistem ATP-
Fosfokreatin PCr dan sistem asam laktat. Metabolisme energi secara aerob merupakan proses yang tidak menghasilkan produk samping. Hal ini berbeda dengan
sistem anaerob yang dapat menghasilkan produk samping berupa asam laktat yang akumulasinya akan membatasi efektivitas kontraksi otot yang juga dapat
menimbulkan rasa nyeri. Otot rangka dalam menggunakan glukosa, asam lemak ataupun keton sebagai sumber energi Gambar 1 bergantung oleh derajat
keaktifannya Lehninger1994, sebagai berikut:
- Pada otot yang sedang beristirahat, sumber energi utama adalah asam lemak dan
keton yang dibawa hati melalui darah. Asam lemak dan keton tersebut diuraikan menghasilkan asetil KoA, selanjutnya memasuki siklus asam sitrat untuk
dioksidasi menjadi CO
2
. Tahap selanjutnya adalah transfer elektron untuk terjadinya fosforilasi dari ADP menjadi ATP.
- Pada otot yang agak aktif, sumber energi utama adalah glukosa, disamping asam
lemak dan keton. Glukosa mengalami glikolisis dan diuraikan menjadi piruvat yang kemudian diuraikan lebih lanjut menjadi asetil KoA sebelum memasuki
siklus asam sitrat, transfer elektron dan fosforilasi untuk membentuk energi berupa ATP yang membutuhkan oksigen.
- Pada otot yang aktif secara maksimum seperti pada saat berolahraga, kebutuhan
ATP sedemikian besar sehingga aliran darah tidak dapat menyediakan oksigen dalam waktu cepat. Dalam kondisi demikian, glikogen yang tersimpan di otot
digunakan. Glikogen tersebut dipecah menjadi glukosa melalui glikolisis secara anaerob menghasilkan 2 ATP per unit glukosa yang diuraikan.
Otot rangka tidak memiliki cadangan glikogen cukup banyak, sehingga ada batas maksimum energi yang dapat dihasilkan. Selain itu, akumulasi asam laktat,
menurunnya pH, dan meningkatnya suhu otot yang meningkat secara maksimum menimbulkan rasa lelah. Pada saat pemulihan setelah berolahraga, seseorang akan
bernafas dengan terengah-engah untuk mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen tersebut digunakan untuk mengoksidasi piruvat, laktat dan sumber energi lain untuk
membentuk kembali ATP. Selama masa pemulihan, sebagaian laktat yang dibentuk di dalam otot tersebut diangkut ke hati dan mengalami reaksi glukoneogenesis untuk
membentuk glukosa darah. Glukosa tersebut selanjutnya kembali ke otot dan disimpan sebagai glikogen Lehninger,1994.
Gambar 1. Metabolisme energi saat berolahraga
http:mcb.berkeley.educoursesmcb136topicsMuscle_CardiovascularSlideSet1muscle1.ppt
Metabolisme energi secara aerob dapat menyediakan energi bagi tubuh untuk jangka waktu yang panjang sedangkan metabolisme energi anaerob mampu untuk
menyediakan energi secara cepat di dalam tubuh namun hanya untuk jangka waktu yang terbatas Gambar 2. Pada olahraga dengan intensitas rendah seperti jalan kaki
atau lari-lari kecil, tubuh secara dominan akan menggunakan metabolisme aerob untuk menghasilkan energi. Apabila terjadi peningkatan intensitas olahraga
hingga mencapai titik saat metabolisme energi aerob tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan energi sesuai dengan laju yang dibutuhkan, maka energi secara anaerob
akan diperoleh dari simpanan fosfokreatin PCr dan juga karbohidrat yang tersimpan sebagai glikogen di dalam otot. Menurut Lehninger 1994, otot rangka
mengandung fosfokreatin yang dapat secara cepat mengisi gugus fosfat pada ATP, namun hanya mampu menyediakan energi selama 10 detik pada olahraga maksimal
Gambar 2. PCr dipecah menjadi fosfat dan kreatin oleh enzim kreatin kinase,
selanjutnya fosfat diikat dengan ADP menjadi ATP. Pada saat kontraksi ATP dipecah menjadi ADP dan fosfat diikat kembali oleh kreatin menjadi fosfokreatin pada saat
pemulihan, dengan reaksi sebagai berikut:
PCr + ADP kreatin + ATP
Gambar 2. ATP dibandingkan dengan ketahanan maksimal otot saat berolahraga
http:mcb.berkeley.educoursesmcb136topicsMuscle_CardiovascularSlideSet1muscle1.ppt
Pembentukan energi merupakan metabolisme yang kompleks. Glukosa mengalami tahap glikolisis menjadi asam piruvat akan masuk menuju siklus Krebs.
Namun sebelum itu, asam piruvat perlu dioksidasi terlebih dahulu menjadi asetil KoA. Proses ini disebut juga dekarboksilasi oksidatif karena menggunakan oksigen
sebagai oksidatornya aerob dan berlangsung di dalam matriks mitokondria. Tahapan ini merupakan tahap penggabungan asam piruvat 3C yang terbentuk dari proses
glikolisis dengan koenzim A sehingga terbentuk asetil KoA 2C. Hasil akhir dekarboksilasi oksidatif berupa 2 molekul asetil KoA dan 2 molekul NADH, serta
hasil sampingan 2 molekul CO
2
. Asetil KoA kemudian masuk ke dalam rangkaian siklus Krebs atau siklus asam trikarboksilat TCA cycle. Siklus ini dilalui sebanyak
dua kali karena terdapat 2 molekul asetil KoA yang masuk melaluinya. Hasil akhir siklus ini berupa 6 molekul NADH, 2 molekul FADH
2
, 2 molekul ATP, dan 4 molekul CO
2
. Sebagian besar tahap glikolisis dan siklus Krebs merupakan reaksi redoks, yang terdapat enzim dehidrogenase untuk mentransfer elektron dari substrat
ke NAD
+
menjadi NADH Toha 2005, Lehninger 1990. Rantai transpor elektron adalah tahapan terakhir dari reaksi respirasi sel aerob
yang meliputi proses perpindahan elektron dari molekul donor seperti NADH menuju penerima elektron terakhir, yaitu oksigen. Proses ini berlangsung pada
membran bagian dalam mitokondria. Molekul yang berperan penting dalam reaksi ini adalah NADH dan FADH
2
, yang telah dihasilkan pada reaksi glikolisis, dekarboksilasi oksidatif, dan siklus Krebs. Di samping itu terdapat molekul lain yang
ikut berperan, yaitu molekul oksigen, koenzim Q ubiquinone, sitokrom b, sitokrom
ATP molmin
c, dan sitokrom a. Pertama-tama NADH dan FADH
2
mengalami oksidasi, dan elektron berenergi tinggi yang berasal dari reaksi oksidasi ini ditransfer ke koenzim
Q. Energi yang dihasilkan ketika NADH dan FADH
2
melepaskan elektronnya cukup besar untuk menyatukan ADP dan fosfat anorganik menjadi ATP. Kemudian
koenzim Q dioksidasi oleh sitokrom b. Selain melepaskan elektron, koenzim Q juga melepaskan 2 ion H
+
. Setelah itu sitokrom b dioksidasi oleh sitokrom c. Energi yang dihasilkan dari proses oksidasi sitokrom b oleh sitokrom c juga menghasilkan cukup
energi untuk menyatukan ADP dan fosfat anorganik menjadi ATP. Kemudian sitokrom c mereduksi sitokrom a, dan ini merupakan akhir dari rantai transpor
elektron. Sitokrom a ini kemudian akan dioksidasi oleh sebuah atom oksigen, yang merupakan zat yang paling elektronegatif dalam rantai tersebut, dan merupakan
akseptor terakhir elektron. Setelah menerima elektron dari sitokrom a, oksigen ini kemudian bergabung dengan ion H
+
yang dihasilkan dari oksidasi koenzim Q oleh sitokrom b membentuk air H
2
O. Oksidasi yang terakhir ini akan menghasilkan energi yang cukup besar untuk dapat menyatukan ADP dan gugus fosfat organik
menjadi ATP. Jadi, secara keseluruhan ada tiga tempat pada transpor elektron yang menghasilkan ATP Lehninger 1990.
Pada reaksi glikolisis sampai siklus Krebs, dihasilkan NADH dan FADH
2
masing-masing sebanyak 10 dan 2 molekul. Pada transpor elektron, ke-10 molekul NADH dan ke-2 molekul FADH
2
tersebut mengalami oksidasi sesuai reaksi berikut. 10 NADH + 5 O
2
10 NAD
+
+ 10 H
2
O 2 FADH
2
+ O
2
2 FAD + 2 H
2
O Setiap oksidasi NADH menghasilkan kira-kira 3 ATP, sedangkan oksidasi
FADH
2
menghasilkan 2 ATP, sehingga transpor elektron menghasilkan 34 ATP dan H
2
O. Selain itu, ditambah dengan 4 molekul ATP hasil glikolisis dan siklus Krebs, maka secara keseluruhan reaksi respirasi seluler menghasilkan total 38 ATP dari satu
molekul glukosa. Ada 2 ATP yang dibutuhkan untuk melakukan transpor aktif, maka hasil bersih dari setiap respirasi seluler adalah 36 ATP Lehninger 1990.
Oksigen yang dibawa ke dalam sel melalui sistem peredaran darah berperan penting agar proses respirasi selular secara aerob dapat berjalan secara normal.
Molekul ini memegang peranan penting sebagai penerima elektron terakhir pada tahap transpor elektron. Oksigen akan bereaksi dengan 4 H
+
dan menghasilkan dua molekul H
2
O. Apabila tidak terdapat molekul oksigen yang menangkap elektron dari protein kompleks yang terakhir sitokrom a, elektron akan tetap berikatan pada
protein tersebut. Hal tersebut menyebabkan molekul NADH tidak dapat mentransfer elektronnya dan tetap dalam bentuk tereduksi sehingga tidak dapat melepas energinya
dan tidak dapat kembali ke siklus Krebs. Oleh karena itu, siklus Krebs akan terhenti dan ATP tidak akan diproduksi lagi pada mitokondria.
Akibat ketidaktersediaan oksigen, setelah proses glikolisis yang berlangsung secara anaerob tanpa oksigen, asam piruvat sebagai hasil akhir glikolisis akan
melalui tahap fermentasi laktat. Berikut merupakan skema singkat fermentasi asam laktat.
2 C
2
H
3
OCOOH + 2 NADH
2
2 C
2
H
5
OCOOH + 2 NAD Asam Piruvat
Asam Laktat Hasil akhir fermentasi ini hanya menghasilkan 2 molekul ATP dari satu
molekul glukosa yang diuraikan. Jumlah ini kecil jika dibandingkan dengan respirasi aerob yang menghasilkan 38 ATP. Fermentasi asam laktat ini mempengaruhi jaringan
otot yang tiba-tiba harus berkontraksi kuat untuk mengeluarkan gas karbondioksida CO
2
dari otot. Persediaan oksigen yang terbatas ditambah dengan pengeluaran CO
2
yang terbatas pula akan mengakibatkan asam laktat yang terbentuk semakin menumpuk. Timbunan ini akan berpengaruh terhadap penurunan pH otot sehingga
kapasitas serat otot menurun dan akan membuat tubuh semakin lama menjadi pegal, terasa lelah, dan sakit, serta napas pun akan terengah-engah untuk mengatasi oksigen
yang defisit selama proses anaerob berlangsung.
Minuman Beroksigen dan Performa saat Berolahraga
Minuman beroksigen umumnya mengandung oksigen minimal 80 ppm. Air segar dari mata air pegunungan hanya mengandung 10-12 ppm oksigen dan semakin
menurun menjadi 5-7 ppm pada air yang telah diolah untuk diminum Speit et al 2002. Prinsip proses produksi air minum beroksigen serupa dengan pembuatan air
minum dalam kemasan AMDK secara umum. Pada air minum beroksigen, terdapat penambahan O
2
terlarut yang diinjeksi ke dalam botol. Pada tahap awal pembuatan dilakukan proses pemurnian air terlebih dahulu. Proses ini menggunakan sistem UFO
Ultraviolet, Filterisasi dan Ozonisasi yang dikombinasikan dengan sistem RO Reverse Osmosis atau lebih sering disebut sebagai sistem UFO-RO bertujuan untuk
menghilangkan kontaminan berupa partikel kecil, seperti bakteri, lemak, protein. Selanjutnya dilakukan tahap pemurnian dan injeksi O
2.
Proses injeksi tersebut dilakukan pada kondisi kedap udara, suhu rendah dan menggunakan tekanan tinggi.
Ketahanan endurance yang mempengaruhi performa sangat penting dikelola untuk melawan kelelahan ketika berolahraga. Ketahanan berolahraga dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti VO
2
max, waktu mencapai ambang anaerobik dan waktu mencapai lelah.VO
2
max yang menggambarkan ketahanan kardiorespiratori adalah kemampuan maksimal seseorang untuk mengkonsumsi oksigen, biasanya dicapai
ketika seseorang melakukan aktivitas sampai lelah. Adapun ambang anaerobik adalah titik permulaan dari akumulasi asam laktat Mc Ardle et al2006.
Penelitian keamanan dan manfaat minuman beroksigen terhadap performa saat berolahraga maupun pengaruhnya terhadap kadar saturasi oksigen SpO
2
telah dilakukan Tabel 2. SpO
2
adalah ukuran relatif dari jumlah oksigen, merupakan persentase hemoglobin yang mengikat oksigen dalam darah. Kadar SpO
2
normal adalah 96-98 sesuai dengan tekanan parsial oksigen PaO
2
yaitu sekitar 80–100 mmHg Price dan Wilson 2006.
Penyerapan Oksigen PadaSaluranPencernaan
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa asupan oksigen melalui saluran pencernaan dapat diserap oleh usus. Penyerapan oksigen pada saluran pencernaan
diawali oleh penelitian Gurskaya dan Ivanov 1961 yang menunjukkan bahwa oksigen dapat diserap oleh usus secara difusi pasif. Forth dan Adam 2001,
mengamati adanya peningkatan tekanan parsial oksigen dalam vena porta hepatica kelinci setelah diberi minum air berkadar oksigen 80 ppm, yaitu terjadi peningkatan
tekanan parsial oksigen di pembuluh darah vena porta hepatica sebesar 10 mmHg dari 58 mmHg menjadi 68 mmHg. Hal ini juga membuktikan bahwa oksigen dari air
minum beroksigen dapat masuk ke dalam sistem peredaran darah melalui saluran pencernaan. Kadar oksigen 80 ppm selanjutnya menjadi acuan minimal bagi industri
minuman beroksigen. Adanya kekuatiran hilangnya oksigen dalam air sebelum sampai ke usus dijawab oleh Nestle et al 2004. Penelitiannya dengan teknik
Magnetic Resonance Imaging
MRI membuktikan bahwa pelepasan oksigen outgasing dari dalam mulut sampai ke lambung terjadi sangat lambat. Penelitian
tersebut juga membuktikan bahwa meminum air beroksigen yang kandungan CO
2
yang rendah, dapat meningkatkan jumlah oksigen pada lumen oral cavity dan usus. Oksigen dari air minum beroksigen masuk melalui mulut, kerongkongan,
lambung dan kemudian mengalami penyerapan di usus sebagaimana penelitian Forth dan Adam 2001. Menurut Pakdaman 1985, oksigen yang telah diserap oleh usus
tersebut akan menuju vena porta lalu ke hati, kemudian diteruskan ke jantung. Oksigen dalam darah dari jantung akan disirkulasikan ke sel-sel tubuh yang
selanjutnya digunakan untuk pembentukan energi berupa ATP Gambar 3.
Gambar 3 Penyerapan oksigen di dalam saluran pencernaan Pakdaman 1985
No PengarangJudul
Subyek Pengukuran
Tes Intervensi
Desain Hasil
A. Penelitian Minuman Beroksigen terhadap Performa Saat Berolahraga 1.
Duncan 1997 Fluid replacement
during exercise: Physiologic and
biochemical benefits of oxygenated
enhanced water Atlet lari maraton
20 laki-laki, 5 perempuan
Usia rata-rata: 39 tahun 21-54 tahun
VO
2
max rata-rata: 56,7 mLkgmenit
Waktu mencapai kelelahan
5K time 400 mL
3xhari selama 6 hari uji lab
200 mL setiap 15 menit selama
90 menit tes Submax
400 mL, 15 menit sebelum
tes 5K time Randomized,
double blind, crossover
design Diet, minum,
dan olahraga tidak dikontrol
Diet, olahraga dan waktu tidur
dikontrol saat melakukan tes
Puasa 12 jam sebelum tes
Waktu mencapai kelelahan meningkat 15 detik pada
pada tes lari 5K
2. Willmert 2001
Comparing the effects on physical
performance when superoxygenated
water is consumed vs. regular bottled water.
8 laki-laki, 4 perempuan
Usia rata-rata laki- laki: 20 tahun
Usia rata-rata laki- laki: 21 tahun
VO
2
max rata-rata: 47 mLkgmenit
VO
2
max Treadmill
Maximal Test
Modifikasi Protokol
Bruce 500 mL
diminum 15 menit sebelum
tes Randomized,
double blind, crossover
design Tidak memberikan pengaruh
yang signifikan pada peningkatan VO
2
max Sampel yang digunakan
hanya mengandung 19,2 mmolL oksigen tidak
sesuai dengan yang diklaim.
3. Willmert et al 2002
The effects of oxygenated water on
exercise physiology during incremental
exercise and recovery 6 laki-laki, 6
perempuan Usia rata-rata laki-
laki: 20 tahun Usia rata-rata laki-
laki: 21 tahun VO
2
max Treadmill
Maximal Test
Protokol Bruce
500 mL diminum 15
menit sebelum tes
Randomized, double blind,
crossover design
Tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada
peningkatan VO
2
max Sampel yang digunakan
hanya mengandung 19,2 mmolL oksigen tidak
sesuai dengan yang diklaim
Tabel 2 Penelitian-penelitian minuman beroksigen terhadap performa saat berolahraga dan kesehatan
No PengarangJudul
Subyek Pengukuran
Tes Intervensi
Desain Hasil
4. Mielke 2004
Oxygenated water and exercise
performance. 8 laki-laki, 7
perempuan VO
2
max rata-rata: 55 mLkgmenit
VO
2
max Treadmill
Sub Maximal
Test 600 mL
diminum 15 menit sebelum
tes 1200 mLhari
selama 3 hari sebelum tes
Randomized, double blind,
crossover design
Subyek berpuasa 3 jam
sebelum tes Tidak memberikan pengaruh
yang signifikan pada peningkatan VO
2
max Sampel yang digunakan
hanya mengandung 46 oksigen lebih tinggi dari air
biasa tidak sesuai dengan yang diklaim, yaitu
mengandung oksigen 10x dari air biasa.
5. Fuller 2010
The Effects of Activated Stabilized
Oxygen on Aerobic Endurance Division
II Collegiate Male Soccer Players
20 laki-laki atlet sepak bola
VO
2
max SpO
2
Treadmill Maximal
Test Protokol
Astrand and Rodahl
500 mL diminum 15
menit sebelum tes
Randomized, double blind,
crossover design
Tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada
peningkatan VO
2
max dan SpO
2
, namun dapat meningkatkan waktu
mempertahankan kelelahan selama 23.34 detik p
=0.072.
6. Jenkins et al 2001.
Effect of Oxygenited Water on Percent
Oxygen Saturation and Performance
During Exercise 20 orang 10 laki-
laki dan 10 perempuan
VO
2
max SpO
2
Sepeda ergometer
500 mL, diminum 15
menit sebelum tes
Double- blindcross-over
design Subyek yang meminum air
beroksigen memiliki 4 SpO
2
lebih tinggi dibandingkan plasebo.
Waktu kelelahan maksimal meningkat, ketika subyek
yang lebih terlatih dipisahkan
V0
2
max47mLkgmenit
No PengarangJudul
Subyek Pengukuran
Tes Intervensi
Desain Hasil
7. Ellyana et al 2011
Perbedaan Pengaruh Air Beroksigen
Tinggi dengan Air Mineral terhadap
Saturasi Oksigen dan pH Urin Studi
Eksperimental terhadap
Sukarelawan Setelah Berolahraga.
46 laki-laki 23 orang per
kelompok SpO
2
diukur sebelum dan 20 menit
sesudah perlakuan sampel
Lari cepat 100 m
600 mL air minum
beroksigen Crossover
design , dengan
plasebo. Crossover
dilakukan pada kedua
kelompok setelah 24 jam.
Terdapat perbedaan SpO
2
yang bermakna p=0,002 antara sebelum dan setelah
pemberian air beroksigen tinggi, tetapi pada pemberian
air mineral tidak terdapat perbedaan bermakna
p=0,059.
8. Pitoyo 2005
10 perempuan, 14 laki-laki, 21-23
tahun 3 kelompok:
- 80 ppm : 7 - 130 ppm : 12
- 10 ppm : 5 VO
2
max, time to fatigue waktu mencapai
kelelahan, denyut nadi max dan tekanan darah
max Treadmill
80 130 ppm, selama 12 hari
Plasebo 10 ppm, 7 hari
Randomized, double blinded
design Tidak ada peningkatan
signifikan baik pada parameter VO
2
max, time to fatigue
waktu mencapai kelelahan, denyut nadi max
maupun tekanan darah max .
8. Cyntia 2005
10 perempuan, 14 laki-laki, 21-23
tahun 3 kelompok:
- 80 ppm : 7 - 130 ppm : 12
- 10 ppm : 5 NADP
Deproteinasi dan
pengukuran dengan
spektro fotometer
80 130 ppm, selama 12 hari
Plasebo 10 ppm, 7 hari
Randomized, double blinded
NADP darah manusia menurun dibandingkan
perlakuan plasebo. Penurunan NADP tersebut
adanya kemungkinan peningkatan sintesis
NADPH.
No PengarangJudul
Subyek Pengukuran
Tes Intervensi
Desain Hasil
B. Penelitian Keamanan Minuman Beroksigen 1.
Schoenberg et
al 2002
The Generation of Oxygen Radicals
after Drinking of Oxygenated Water.
66 orang dalam 2 konsentrasi sampel
sekitar 15 orang per kelompok
Radikal bebas Ascorbyl radicals
Darah hemoglobin, hematokrit,
eritrosit, leukosit, trombosit, asam
urat Vitamins A,C,E
Metode standar
300 mL air beroksigen 3
kali per hari selama 21 hari
15 dan 30 mg O
2
L Randomized,
blinded design Sampai H-21 tidak
meningkatkan radikal bebas.
2. Gruber et al 2004
The Influence of Oxygenated Water on
The Immune Status, Liver Enzymes, and
The Generation of Oxygen Radicals: A
Prospective, Randomised, Blinded
Clinical Study. 24 orang 18-63
tahun, dibagi 2 kelompok 12
orang Darah hemoglobin,
hematokrit, eritrosit,
leukosit, trombosit, asam urat
Hati ALT, AST, Gamma-GT
Bilirubin, Alkaline phosphatas
e Radikal bebas Ascorbyl
radicals Sel
ImunCD3,4,8,1656,19, 45RARO
Metode standar
500 mL air beroksigen 3
kali per hari selama 28 hari
190 mg O
2
L Randomized,
double blinded design
Tidak memberikan efek yang membahayakan bagi
kesehatan hati, darah dan sistem imun. Tidak berbeda
signifikan antara H0 dan setelah perlakuan H28
terhadap parameter- parameter yang diteliti.
3. Speit et al 2002
Oxygenated Water Does Not Induce
Genotoxic Effects in the Comet Assay.
8 orang 23-42 tahun
Sel Tikus V79 Chinese hamster
cells Kerusakan DNA sel
limfosit Alkaline
comet assay sel
elektroforesis gel tunggal.
Manusia : 500 mL 70 mg
O
2
L sampel diminum
30 dan 60 menit sebelum
pengambilan darah
Manusia:Rando mized, double
blinded design Secara in vivo dan in vitro
tidak memberikan bukti adanya efek genotoksik dari
air beroksigen.
Keterangan : - 5K : tes lari menempuh jarak 5000 m
- VO
2
max : kemampuan maksimal seseorang untuk memasukkan oksigen, yang biasanya dicapai ketika seseorang melakukan aktivitas sampai lelah. - SpO
2
: saturasi oksigen, prameter tersebut mengukur persentase hemoglobin mengikat oksigen dalam aliran darah.
No PengarangJudul
Subyek Pengukuran
Tes Intervensi
Desain Hasil
4. Fitriany 2005
Konsumsi Air Minum Penambah
Oksigen Tidak Menyebabkan
Kerusakan DNA pada Sel Limfosit Tikus
dan Manusia 10 perempuan, 14
laki-lak, 21-23 tahun
3 kelompok, sbb : - 80 ppm : 7
- 130 ppm : 12 - 10 ppm : 5
Tikus Sprague- Dowley 20ekor
Kerusakan DNA sel limfosit
Alkaline comet assay
sel elektroforesis
geltunggal. Manusia: 385
mL, 2 kali sehari selama 12
hari
Tikus : 33-37 mLhari, O
2
sekitar 15-27. Randomized,
double blinded Tanpa plasebo,
dilakukan pengukuran
parameter sebelum dan
setelah intervensi
Tidak berpengaruh nyata pada migrasi DNA p=0.05,
yang berarti tidak menginduksi timbulnya
kerusakan DNA.
3. METODE