Bahan Humat Sebagai Amelioran

16 yang dapat tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali. Pada pasal 3 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3, dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan terlebih dahulu. Pada pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222 dan D223 dapat dinyatakan sebagai limbah B3 setelah dilakukan uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure TCLP dan atau uji karakteristik. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, penelitian toksisitas abu terbang perlu dilaksanakan secara menyeluruh dengan tujuan melihat lebih jauh pengaruh pemanfaatan abu batubara tersebut untuk kehidupan makhluk hidup dengan pendekatan secara biologi. Oleh karena itu, penelitian abu terbang untuk ameliorasi perlu dilakukan untuk melihat kondisi karakteristik dan toksisitas. Menurut Stuczynski 1998 dosis yang digunakan dalam penelitian ameliorasi tanah adalah 0; 20; 40 dan 80 gkg dan diinkubasi selama 10, 25 dan 60 hari. Menurut Iskandar 2003, dosis pemberian ameliorasi abu terbang di tanah gambut adalah sebesar 5 – 10 kgpohon pada kondisi lapang.

2.3. Bahan Humat Sebagai Amelioran

Menurut Aiken et al. 1985 secara kimia, bahan-bahan organik dalam tanah dapat diklasifikasikan menjadi 3 fraksi yaitu: 1. Humin; tidak larut dalam larutan asam maupun basa. 2. Asam humat; larut dalam larutan basa tetapi tidak larut dalam larutan asam pH 2, 3. Asam fulvat; larut dalam larutan asam maupun larutan basa. Bahan humat merupakan bahan makromolekul polielektrolit yang memiliki gugus fungsional seperti –COOH, -OH fenolat maupun –OH alkoholat sehingga bahan humat memiliki peluang untuk membentuk kompleks dengan ion logam karena gugus ini dapat mengalami deprotonasi pada pH yang relatif tinggi Alimin et al. 2005. Deprotonasi gugus-gugus fungsional bahan humat akan menurunkan kemampuan pembentukan ikatan hidrogen, baik antar molekul maupun sesama molekul dan meningkatkan jumlah muatan negatif gugus fungsional bahan humat, sehingga akan meningkatkan gaya tolak menolak antar gugus dalam molekul 17 bahan humat Swift 1989, diacu dalam Alimin et al. 2005. Kedua pengaruh tersebut akan menyebabkan permukaan partikel-partikel koloid bahan humat bermuatan negatif dan menjadi lebih terbuka serta berbentuk linear dengan meningkatnya pH. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan bahan humat adalah pH, yang lebih lanjut akan mempengaruhi disosiasi gugus yang bersifat asam pada bahan humat. Dalam larutan pH 3,5 - 9, bahan humat membentuk sistem koloid polielektrolit linear yang bersifat fleksibel; sedangkan pada pH rendah bahan humat berbentuk kaku rigid dan cenderung teragregasi membentuk suatu padatan makromolekul melalui ikatan hidrogen. Peningkatan pH akan menyebabkan ikatan hidrogen semakin lemah sehingga agregat akan terpisah satu sama lain. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh disosiasi gugus fungsional yang bersifat asam pada bahan humat seperti -COOH. Umumnya gugus -COOH terdisosiasi pada pH sekitar 4-5, sedangkan gugus -OH fenolat atau –OH alkoholat terdisosiasi pada pH sekitar 8-10 Alimin et al. 2005. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kondisi pH yang relatif tinggi konsentrasi H + rendah akan meningkatkan konsentrasi -COO- yang dapat berfungsi sebagai ligan pada bahan humat. Walaupun pada pH yang relatif rendah bahan humat cenderung tidak berinteraksi dengan ion logam, akan tetapi sebagai padatan polielektrolit, bahan humat memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi logam. Bahan humat dengan ion logam dapat mengalami presipitasi. Tingkat flokulasi yang terjadi bergantung pada pH, sifat-sifat gugus fungsional pada bahan humat yang dapat bertindak sebagai ligan dan sifat ion logam Alimin et al. 2005. Hasil dari spektroskopi infra merah membenarkan bahwa gugus COOH, atau yang lebih tepat karboksilat COO - memegang peranan penting dalam pengompleksan ion logam oleh bahan humat. Beberapa bukti menunjukkan bahwa gugus OH, C=O, dan NH juga terlibat Vinkler et al. 1976; Boyd et al. 1979; Piccolo dan Stevenson 1981, diacu dalam Huang, 1997. Gugus-gugus fungsional ini dapat memindahkan muatannya membentuk senyawa kompleks dengan logam- logam seperti Fe dan Al. Penelitian mengenai bahan humat yang dilakukan oleh Nurjaya et al. 2006 menunjukkan bahwa pemberian bahan organik dalam tanah mampu menurunkan 18 kandungan logam berat terutama Pb tersedia dalam tanah 1,91 ppm dari 10 ton bahan organik yang diberikan dalam 1 ha lahan. Menurut Alimin et al. 2005, pengaruh asam humat terhadap sifat kelarutan logam pada berbagai pH diharapkan mengikuti kecenderungan antara lain walaupun asam humat pada pH yang relatif rend ah 3 ≤ pH 4 cenderung tidak berinteraksi dengan logam melalui pembentukan kompleks, namun sebagai padatan polielektrolit, asam humat memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi logam. Pada pH yang relatif tinggi 7 pH 10, asam humat cenderung membentuk kompleks dengan logam yang larut dalam air, tingginya konsentrasi OH - dalam larutan memberi peluang untuk terbentuknya endapan hidroksida logam yang sukar larut dalam air. Dengan demikian, pada pH yang tidak terlalu tinggi tidak terlalu rendah yaitu 4 ≤ pH 7, diperkirakan terjadi kompetisi antara sifat asam humat sebagai ligan dengan sifat asam humat sebagai padatan polielektrolit dalam mengikat logam. Penelitian Rizqiani et al. 2007 menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair dapat meningkatkan jumlah daun, jumlah cabang, fruit set, luas daun umur, indeks luas daun umur, panjang akar, volume akar, jumlah polong, bobot segar polong per tanaman dan bobot segar polong per hektar untuk jenis tanaman Buncis. Penelitian Wachjar dan Kadarisman 2007 tentang penggunaan pupuk organik cair menunjukkan bahwa pupuk organik cair dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman Jambu Mete. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis pemberian pupuk organik cair sebesar 15 mlliter air memberikan pengaruh pertumbuhan tanaman yang paling baik dibanding dosis 5 ml; 10 ml; dan 20 ml. Penelitian Parman 2007 mengenai pemberian pupuk organik cair terhadap pertumbuhan tanaman kentang menunjukkan bahwa dosis 4 mgliter memberikan produksi kentang basah paling besar dibanding dosis lain yaitu 0; 1; 2 dan 3 mgliter. Penelitian Atekan dan Surahman 1997 menunjukkan bahwa pemberian bahan organik asal pangkasan daun gamal Gliricidia sepium ke dalam tanah mineral masam dapat memperbaiki sifat kimia tanah. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan total kation basa Ca, Mg, dan K, peningkatan pH tanah, dan turunnya konsentrasi Al-monomerik yang bersifat racun bagi tanaman.

III. METODE