BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Warga negara atau rakyat adalah syarat berdirinya negara. Baik penduduk asli maupun orang asing yang telah diterima menjadi rakyat di suatu negara harus
tunduk dan patuh pada undang-undang yang berlaku. Arti yang lebih tepat dari warga negara ialah penduduk negara.
1
Konsep kewarganegaraan merupakan konsep baru yang timbul pada saat pemberontakan Perancis dan Amerika pada
abad ke-18.
2
Konsep ini merupakan syarat untuk membentuk sebuah negara kebangsaan yang berasaskan kedaulatan raja maupun republik.
Di Malaya sebelum tahun 1948, Negara Malaysia tidak mempunyai undang-undang kewarganegaraan yang baku, yang ada hanyalah undang-undang
yang mengawasi orang-orang asing keluar masuk dalam negara ini saja. Keadaan ini terjadi karena dasar pemerintahan Inggris yang membuka pintu negara ini
seluas-luasnya supaya orang asing dapat masuk ke negara ini beramai-ramai dan dengan mudahnya mereka dapat masuk.
3
Dasar seperti ini dinamakan “dasar
Hajah Noresah Binti Baharom, dkk. Kamus Dewan Bahasa, Edisi Ketiga, cet. VII, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 2002, h. 1546
2
Hasnah Hussin dan Mardiana Nordin, Pengajian Malaysia, Selangor Shah Alam: Oxford Fajar Sdn Bhd, 2007, h. 180
pintu terbuka”. Pemerintahan Inggris membeda-bedakan warga negara Inggris dari rakyat asing hanya sekedar untuk menutup pintu masuk ke negara ini karena
dipikirkan bahwa orang-orang asing akan membawa kerusakan terhadap pemerintahan mereka dan juga akan menganggu hak-hak orang Inggris.
Undang-undang kewarganegaraan untuk pertama kali dibuat di Malaysia yaitu pada tahun 1948. Undang-undang ini terkandung dalam Perjanjian
Persekutuan Tanah Melayu tahun itu. Pasal 125 sampai Pasal 133 telah menetapkan siapa yang dikatakan sebagai warga negara Persekutuan. Pasal-pasal
ini juga telah menentukan jalan dan cara untuk mendapatkan kewarganegaraan Persekutuan, yaitu dengan jalan pendaftaran dan naturalisasi. Undang-undang ini
dilakukan perbaikan sedikit pada tahun 1952 karena ingin menyesuaikan dengan undang-undang warga negara Inggris yang diubah pada tahun 1949.
Pada 1952 semua negeri Melayu mengesahkan undang-undang yang menentukan siapa yang menjadi raja-raja rakyat Melayu di setiap masing-masing
negara bagian. Barang siapa yang menjadi rakyat keturunan raja-raja Melayu, maka orang itu berhak menjadi warga negara Persekutuan Tanah Melayu. Seperti
inilah keadaan undang-undang kewarganegaraan di Malaya sebelum merdeka. Setelah merdeka, Perlembagaan Persekutuan Undang-undang Dasar Malaysia
2
K. Ramanathan, Konsep Asas Politik, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1988, h. 358
dari Pasal 14 sampai Pasal 31 Perlembagaan Malaysia berisi butir-butir dan peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan.
4
Dalam Perlembagaan Malaysia, ada empat cara untuk mendapatkan status kewarganegaraan, yaitu dengan cara jus soli, jus sanguinis, perkawinan dan
naturalisasi.
5
Berdasarkan asas jus soli Undang-Undang Tempat Lahir bahwa seseorang yang dilahirkan antara hari merdeka 31 Agustus 1957 dan bulan
Oktober tahun 1962 secara langsung menjadi warga negara tanpa memperhatikan kewarganegaraan orang tuanya. Tetapi jika seseorang itu dilahirkan setelah bulan
September 1962, maka orang itu dapat menjadi warga negara apabila salah seorang dari ibu bapanya ialah warga negara; salah seorang dari ibu bapanya ialah
orang yang tinggal menetap di Malaysia, atau dia tidak mempunyai kewarga- negaraan negara manapun.
6
Sedangkan berdasarkan asas jus sanguinis Undang-Undang Keturunan Darah seseorang yang berketurunan warga negara Malaysia akan tetap menjadi
warga negara, walaupun dia dilahirkan di luar negara, karena kewarganegaraan bapaknya diwarisi olehnya. Kemudian Faktor perkawinan juga dapat menjadi
salah satu cara untuk mendapatkan status kewarga-negaraan Malaysia yaitu bagi seorang wanita asing yang menikah dengan seorang warga negara Malaysia untuk
memohon menjadi warga negara. Selain itu bagi orang yang tidak dilahirkan di
4
Tun Mohammad Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III, AmpangHulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd, 2006, h. 267
5
Nazaruddin Hj. Muhammad, Pengajian Malaysia: Kenegaraan dan Kewarga- negaraan, cet. V, Selangor: Prentice Hall, 2004, h. 173, dapat dilihat juga pada Tun Mohd
Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 268
6
Pasal 14 ayat 1 poin a dan b Perlembagaan Persekutuan
Malaysia, jika ia menetap atau berniat menetap di Malaysia, ia bisa mendapatkan status kewarganegaraan Persekutuan dengan jalan masukan naturalisasi.
Kewarganegaraan merupakan status istimewa yang dipegang oleh rakyat yang berhak dalam sebuah negara. Dengan status ini setiap warga negara
memiliki hak yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara, baik itu hak sipil, sosial, ekonomi dan budaya bahkan termasuk hak-hak politik. Sebagai timbal
balik atas hak-hak yang didapatkan dari negara, setiap warga negara mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada negara, misalnya kewajiban untuk
mematuhi semua perarturan atau undang-undang yang berlaku, kewajiban mengabdi kepada negara termasuk kewajiban untuk membela negara apabila
diserang oleh negara lain. Hak dan kewajiban warga negara biasanya diatur dan dilindungi oleh
undang-undang. Hak dan kewajiban ini diberikan kepada semua warga negara tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, ras atau pun golongan. Semua
sama di hadapan hukum, tidak ada hak istimewa bagi penduduk mayoritas dan tidak dibenarkan mendiskriminasikan minoritas. Karena semuanya adalah warga
negara yang sah yang diakui oleh undang-undang. Malaysia adalah negara yang mayoritas penduduknya Melayu, karena
mereka adalah penduduk asli atau pribumi. Selain itu banyak juga penduduk bukan Melayu yang telah menjadi warga negara Malaysia. Misalnya orang-orang
Cina, India dan golongan yang lainnya. Jumlah penduduk Malaysia perkiraan tahun 2007 mencapai 26.04 juta, yang terdiri dari kaum Melayu 61, kaum Cina
30, kaum India 8 dan yang lain-lain 1.
7
Meskipun penduduk Melayu merupakan mayoritas, akan tetapi dalam Perlembagaan Malaysia semua warga negara dianggap sama hal ini seperti di
sebutkan dalam Pasal 8 Perlembagaan Persekutuan: “semua orang adalah sama rata di sisi undang-undang dan berhak mendapat perlindungan yang sama rata di
sisi undang-undang.” Akan tetapi dalam praktek kenegaraan yang berkaitan dengan hak-hak politik terutama yang diberlakukan di negara-negara bagian yang
bersultan terdapat aturan yang tegas bahwa jabatan-jabatan politik tertentu tidak diperbolehkan dipegang oleh kaum non Melayu. Jabatan Sultan atau Raja,
Menteri Besar, Hakim di Mahkamah Syari’ah dan lainnya yang berhubungan dengan urusan agama Islam tidak diperbolehkan dipegang oleh non Melayu.
Selain itu di Malaysia jabatan kepala angkatan bersenjata dipegang oleh Yang di- Pertuan Agong yang notabene seorang raja negara bagian yang dipilih oleh
Majelis Raja-raja sebagai kepala negara.
8
Ini menunjukkan bahwa jabatan kepala angkatan bersenjata hanya dapat dipegang oleh orang Melayu.
Akan tetapi, secara konstitusional negara Malaysia tidak ditemukan satu aturan yang mengharuskan atau mensyaratkan bahwa orang Melayu yang harus
menjadi Perdana Menteri. Sungguhpun demikian, non Melayu diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan seperti anggota Parlemen, anggota Dewan Undangan
Negeri Dewan Perwakilan Rakyar Daerah atau negara bagian, jabatan menteri
7
http:www.tourism.gov.mymyaboutculture.asp diakses pada tanggal 20 Oktober
2008 Abdul Aziz Bari, Majelis Raja-raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan
Malaysia, cet. II, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006, h. 50
tertentu dan jabatan-jabatan lainnya yang tidak berkaitan langsung dengan urusan agama Islam.
Adanya ketentuan atau aturan bahwa non Melayu tidak boleh menduduki jabatan-jabatan politik tertentu di negara-negara bagian yang bersultan tersebut,
kemudian jabatan kepala angkatan bersenjata hanya dipegang oleh Yang di- Pertuan Agong, ini dapat dipahami bahwa mayoritas penduduk Muslim merasa
bahwa jabatan-jabatan tersebut memang tidak pantas dipegang oleh bukan Melayu karena berkaitan dengan urusan agama Islam. Dari sini sebenarnya dapat
kita lihat bahwa ada hak-hak istimewa dalam bidang politik bagi kaum Melayu. Di Malaysia, Melayu identik dengan Islam. Dalam Pasal 160 2
Perlembagaan Persekutuan dikatakan bahwa: “Melayu berarti seseorang yang menganut agama Islam, boleh bertutur bahasa Melayu dan mengamalkan adat
resam Melayu”. Kemudian walaupun Malaysia bukan negara Islam, akan tetapi agama Islam diakui sebagai agama Persekutuan hal ini sebagai mana disebutkan
dalam Pasal 3 Perlembagaan bahwa: “Agama Islam adalah agama Persekutuan; akan tetapi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di
mana-mana bagian Persekutuan.” Menurut Pasal 3 tersebut bahwa agama Islam adalah agama resmi Persekutuan, Islam dijadikan agama resmi terutamanya
dalam acara-acara resmi kenegaraan. Akan tetapi Malaysia tetap bukan negara yang berasaskan Islam, melainkan negara sekuler yang menganut sistem
demokrasi.
9
Dari pemaparan di atas, dengan melihat bahwa mayoritas penduduk Malaysia adalah Malayu Muslim, yang menjadikan agama Islam sebagai agama
resmi, kemudian terdapat hak-hak istimewa dalam bidang politik bagi orang Melayu adalah sangat menarik untuk diteliti apakah Malaysia terutama negara-
negara bagian yang bersultan telah mempraktekkan konsep ketatanegaraan dalam Islam. Karena dalam ketatanegaraan Islam non Muslim atau ahl al-Dzimmah
tidak diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan tertentu seperi kepala negara, ketua Majlis Syura Parlemen, kepala angkatan bersenjata dan jabatan-jabatan
lainnya yang berhubungan dengan urusan agama Islam.
10
Walaupun secara umum dalam ketatanegaraan Islam pun hak semua warga adalah sama dan dijamin oleh
syari’ah. Kemudian seperti apakah pengaturan kewarganegaraan yang telah di atur
di dalam ketatanegaraan Islam dan apakah telah dipraktekkan atau diaktualisasikan oleh negara Malaysia, seperti yang kita ketahui bahwa negara
Malaysia adalah negara yang menadikan agama Islam sebagai agama resmi. Untuk itu penulis mengambil judul berkaitan dengan masalah hak politik warga
negara Malaysia yang terdapat di dalam Perlembagaannya secara umum dan undang-undang negara-negara bagian. Penelitian skripsi oleh penulis di beri judul
9
Muhammad Kamil Awang, Sultan dan Perlembagaan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001, cet. I, h. 178-179
Yusuf al-Qardawi, Ghairu Muslim fi Mujtama al-Islâm, edisi Indonesia diterjemahkan oleh Muhammad Baqir, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam, cet. II, Bandung:
Mizan, 1991, h. 35
“Hak-hak Politik Warga Negara dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia Analisis Ketatanegaraan Islam”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah