1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbatasan laut Indonesia serta pulau-pulaunya yang berbatasan langsung dengan Negara lain sering kali mengalami kondisi yang tidak aman terhadap
berbagai ancaman keamanan dan tindak kriminal, perbatasan laut khususnya pulau terluar Indonesia memiliki arti yang strategis dalam konteks integrasi
nasional, yaitu sebagian dari wilayah kedaulatan NKRI yang letaknya berada disisi paling luar dan memiiki titik dasar base point didalamnya. titik dasar
tersebut merupakan referensi bagi penarikan garis kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah perairan nasional sebagai bagian dari wilayah kedaulatan.
1
Pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, Australia dilaksanakan perjanjian antara kedua negara tentang penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif ZEE dan
batas-batas laut, perjanjian ini jauh lebih adil karena mengikuti kaidah Konvensi Hukum Laut PBB 1982 UNCLOS III sehingga berada di garis tengah antara
Indonesia dan Australia perjanjian ini dilaksanakan karena pihak Australia melakukan pelanggaran pada MOU 1974, namun Indonesia sendiri belum
meratifikasi perjanjian ini dalam hukum internalnya.
2
Pada awal tahun 2003, Australia mengeluarkan kebijakan, baik persetujuan bagi hasil di Celah Timor dengan negara Timor-Timur maupun
kebijakan menutup kawasan Pulau Pasir Ashmore Reef dari semua kegiatan
1
Widodo AS, Pembangunan Wilayah PerbatasanPulauTerdepan Berkaitan dengan Integritas Nasional, Dalam Rapat Kerja DPR-RI Jakarta, Senin 26 Februari 2007, hal 7
2
Ibid.
2
penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia mulai 3 Juli 2003.
3
Australia tidak bisa secara sepihak menerapkan kebijakan di kawasan gugusan Pulau Pasir, melainkan
seluruh kebijaksanaannya harus melalui pembicaraan dua negara Australia- Indonesia, karena wilayah itu masih dikelola secara bersama.
4
Masih terjadinya kasus nelayan Indonesia yang tertangkap di Pulau Pasir menunjukkan hal yang
menarik dalam kajian ini. Dalam dunia internasional, dasar hukum yang digunakan suatu negara
untuk mengklaim suatu wilayah sebagai bagian dari kedaulatannya ialah harus menggunakan sumber hukum internasional. Dasar hukum tersebut diatur dalam
Artikel 38 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum ini mencakup perjanjian atau konvensi internasional, baik yang bersifat umum atau khusus yang
secara tegas menyebut ketentuan yang diakui negara yang berselisih. Di Australia dasar hukum internasional yang digunakan untuk menempatkan Pulau Pasir
sebagai bagian dari kedaulatannya adalah dengan dilakukannya perjanjian penyerahan cession dari Inggris kepada Australia pada tanggal 23 Juli tahun
1931.
5
Masalah pemanfaatan sumber daya laut di Pulau Pasir masih menjadi isu yang menarik untuk dikaji karena sampai sekarang masih banyak yang
mempertanyakan isi dari perjanjian antara Australia dan Indonesia yang menyangkut tentang keabsahan dan dasar yang melandasi suatu perjanjian itu
dibuat dan disetujui oleh kedua belah pihak. Pada Hukum Internasional, klaim
3
“Sengketa Soal Celah Timor dan Pulau Pasir, Australia Jangan Kekanak-kanakan” httpwww.republika.co.id, diakses tanggal 8 Juni 2014
4
Ibid.
5
” Bedah Buku “Pulau Pasir: Nusa Impian Orang Rote”, httpwww.timorexpress.co.id, diakses
tanggal 11 juni 2014.
3
kepemilikan suatu wilayah yang didasarkan pada argumen kesejarahan, kedekatan tradisional, maupun kedekatan geografis tidak dapat diterima karena semua itu
bisa bersifat “subyektif”. Dari sejarahnya Pulau Pasir terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan sekitar 140 km di sebelah selatan Pulau
Rote.
6
Pulau seluas 583 km
2
itu menjadi milik Australia, yang diwariskan oleh Inggris atas “klaim sepihak yang dilakukan oleh Kapten Samuel Ashmore pada
tahun 1978” dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya. Pada awal tahun 1800-an, Inggris telah membuat koloni di Pulau Pasir. Pulau paling selatan di
Indonesia itu merupakan tempat hunian dari nenek moyang asal Pulau Rote sebagai buktinya, adalah adanya kuburan-kuburan nenek moyang orang Rote di
sana, tempat melepas lelah setelah menempuh perjalanan semalam suntuk untuk menangkap ikan, tripang dan lola sebagai mata pencaharian ataupun untuk
menafkahi hidup mereka. Berikut adalah gambar peta kawasan Pulau Pasir di perbatasan Indonesia dan Australia.
7
Gambar 1.1 Peta Pulau Pasir di perbatasan Indonesia dan Australia
Sumber: “Pengakuan Kepemilikan Aussie Atas Pulau Pasir Masih Lemah,” http:www.tni.mil.idview-3818-html
diakses pada tanggal 11 juni 2014
6
“Pengakuan Kepemilikan Aussie Atas Pulau Pasir Masih Lemah,” http:www.tni.mil.idview-
3818-html
diakses pada tanggal 11 juni 2014
7
Ibid
4
Pada saat itu Indonesia sudah berada di bawah administrasi colonial Belanda, namun Belanda tidak pernah mengatur pulau itu dan tidak pernah
mempersoalkan pulau itu tahun 1878. Pulau Pasir dikuasai oleh Inggris pada tahun 1978. Bersama dengan Pulau Cartier, Pulau Pasir diberikan kepada
Australia pada tanggal 23 Juli 1931 yang akhirnya menjadi bagian wilayah utara Australia pada tahun 1938-1978 dimana di sekitar Pulau Pasir. Setelah mengalami
perkembangan, sejak 1978 Pulau Pasir dan Pulau Cartier menjadi wiayah tersendiri dan Pulau Pasir dijadikan cagar alam nasional oleh pemerintah Australia
pada tanggal 16 Agustus 1983.
8
Fakta sejarah yang tercatat dalam register Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1751 menunjukkan bahwa gugusan kepulauan itu sudah 400
tahun lampau dikelola oleh orang Rote, Nusa Tenggara Timur NTT. Tentu saja Indonesia tidak bisa mengklaim suatu wilayah hanya karena nenek moyang
Indonesia sering berkunjung, melakukan tindakan ekonomi dan meninggal di wilayah tersebut. Di lain pihak bila mengacu pada ketentuan internasional
penentuan Zona Ekonomi Eksklusif ZEE 200 mil laut sebenarnya Gugusan Pulau Pasir terletak di Samudera Hindia hanya berjarak 60 mil laut dari Pulau
Rote, Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur. Sedangkan jarak terdekat dengan Australia yakni Darwin mencapai 500 mil laut namun diklaim oleh
Australia sebagai miliknya yang dijadikan cagar alam. Sejak ratusan tahun lampau, para nelayan dari Rote, Sabu, Alor, Flores, Bugis, Buton dan Madura
mencari nafkah hidupnya di sana.
9
8
Ibid
9
Ibid
5
Penetapan batas wilayah dan yurisdiksi negara merupakan hal yang sangat penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan pengaturan
permasalahan kedaulatan sovereignity, hak-hak berdaulat sovereign rights dan yurisdiksi jurisdiction suatu negara terhadap zona-zona maritime sebagaimana
diatur dalam UNCLOS 1982 United Nation Convention on the Law of the Sea atau yang lebih dikenal dengan “Hukum Laut Internasional”. Pada dasarnya
perjanjian perbatasan antara Indonesia – Australia harus dikaji kembali dengan
menggunakan ketentuan yang tertuang dalam UNCLOS United Nation Convention on the Law of the Sea 1982, terutama pasal 51 United Nations
Convention on the Law of the Sea UNCLOS 1982, bahwa sebagai negara kepulauan yang berbatasan dengan negara lain, setiap negara harus mengakui hak-
hak perikanan tradisional suatu negara yang telah berlangsung lama.
10
Namun, syarat untuk melaksanakan hak-hak perikanan tradisional tersebut adalah
perundingan dengan negara-negara tetangga yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan karena terdapat beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan
Australia terhadap nelayan tradisional Indoneisa contohnya penahanan dan penangkapan dua perahu layar tak bermesin, yaitu Perahu Cari Damai dan Usaha
Selamat, di sebelah utara dari Pulau Melville, Australia dimana pada perjanjian 1974 Indonesia dan Australia sudah sepakat akan adanya pengakuan terhadap
nelayan tradisional Indonesia.
11
Adapun bunyi Pasal 51 secara lengkapnya adalah tanpa mengurangi arti pasal 49, bahwa negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan
10
“
Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia”, http:akhmad_solihin.staff.ipb.ac.id20110216penyelesaian-sengketa-nelayan-pelintas-batas-di-
wilayah,
diakses pada tanggal 12 juni 2014
11
Ibid.
6
negara lain dan harus mengakui hal perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang
berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan
kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. UNCLOS merupakan
perubahan dan kodifikasi dari ketentuan yang telah ada. Kerangka pengaturannya sangan komprehensif dan meliputi hampir semua kegiatan di laut sehingga
dianggap sebagai a constitution for the ocean.
12
Dengan demikian, adanya kejelasan batas wilayah dapat dijadikan alat legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan bernegara. Selain itu,
kejelasan batas wilayah tersebut juga dapat menciptakan potensi sumber daya seperti kegiatan perikanan, eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai off-shiore,
wisata bahari, transportasi laut dan berbagai kegiatan kelautan lainnya. Secara umum dalam penetapan garis batas yang diatur UNCLOS III tahun 1982, suatu
negara harus terlebih dahulu menentukan daftar titik-titik koordinat geografis yang menjelaskan datum geodetik. Datum geodetic adalah parameter yang
digunakan untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran ellipsoid referensi. Parameter ini selanjutnya digunakan untuk pendefinisian koordinat, serta kedudukan dan
orientasinya dalam ruang di muka bumi. Setiap negara menggunakan suatu sistem datum geodetiknya masing-masing yang ditetapkan menjadi dasar acuan
pemetaan nasionalnya.
13
12
Ibid.
13
“Datum Geodetik dan Proyeksi Nasional”, http:www.geografionline.com
, diakses pada tanggal 13 juni 2014
7
B. Rumusan Masalah