Pemanfaatan Pulau Pasir Oleh Nelayan Indonesia Berdasarkan

34

C. Pemanfaatan Pulau Pasir Oleh Nelayan Indonesia Berdasarkan

UNCLOS 1982 Sejarah mencatat antara tahun 1650 – 1750 nelayan Makasar masuk ke Australia Utara untuk mengambil teripang yang kemudian dijual ke daratan China. Sementara penduduk di Pulau Rote jauh sebelumnya sudah berada di pulau itu untuk menangkap ikan dan mencari siput serta teripang. Kapten Phillip Cook, nakhoda sebuah kapal yang memuat para tahanan dari Inggris tiba di benua Australia dan menyatakan bahwa seluruh bumi Australia adalah milik kerajaan Inggris. Sesuai dengan Proklamasi Kapten Phillip Cook tahun 1770 bahwa seluruh daratan Australia adalah milik Kerajaan Inggris. 49 Bintang tiga rao adalah bintang pedoman nelayan Pulau Rote berlayar dari pelabuhan Papela menuju gugusan Pulau-pulau Pasir. Pulau Pasir juga digunakan sebagai tempat peristirahatan sejumlah nelayan setelah mencari ikan. Selain itu sampai saat ini, di Pulau Pasir terdapat sejumlah 161 buah kuburan kuno orang Rote. 50 Ashmore Reef diproklamirkan pemerintah Australia sebagai National Nature Reserve pada 28 Juli 1983. Pulau Cartier dijadikan Marine Reserve pada 7 Juni 2000.Menurut National Park and Wildlife Conservation Act 1975, ekosistem perairan ini dilindungi pemerintah Australia. Di tangkap internasional, karena kekayaan hayatinya, kawasan ini dinilai oleh World Conservation Union IUCN sebagai bank genetika dan sebab itu dilindungi. Di kawasan ini terdapat 40.000 ekor ulat laut dari 13 spesies, merupakan loka yang terbanyak ular laut di dunia. 51 49 “Batas laut RI-AUSTRALIA membingungkan para nelayan tradisional”,http:www.wilayahperbatasan.combatas-laut-ri-australia-membingungkan-nelayan- tradisional diakses pada tanggal 5 Juli 2014 50 Ibid. 51 “Ashmore Australia Menggoda Nelayan Indonesia”, http:www.suarapembaharuan.co.id, diakses pada tanggal 30 Juni 2014 35 Ashmore juga merupakan tempat mencari makan dan kawin bagi 11.000 penyu laut. Juga terdapat populasi Dugong duyung yang berdasarkan analisis DNA terbukti berbeda dari duyung yang hidup di Australia. Habitat Padang Lamun seagrass yang ada di sana menjadi andalan kehidupan duyung serta tempat ikan bertelur dan berkembang biak. Survei tahun 1997 mengungkapkan bahwa Ashmore memiliki 709 jenis ikan, 225 jenis terumbu karang, dan 136 jenis Sponge. Berbagai jenis cucut, yang diburu nelayan Indonesia untuk diambil siripnya, merupakan bagian dari populasi ikan kawasan Ashmore. Lebih dari 433 jenis moluska seperti sotong, gurita, cumi, bahkan kerang raksasa giant clam juga hidup di sini. Salah satu jenis moluska yang dominan dan menjadi daya pikat bagi nelayan Indonesia yaitu kerang lolathrocus. Sayangnya populasi kerang lola sudah jauh berkurang karena pengambilan secara berlebihan terus menerus selama 20 tahun terakhir. 52 Selain itu, Ashmore juga memiliki 286 jenis krustasea meliputi udang, lobster, dan kepiting. Juga ditemukan 27 jenis bintang laut starfish, 25 jenis bulu babi sea urchin, dan 45 jenis teripang sea cucumber. Teripang ini pula yang menggoda nelayan Indonesia untuk datang ke kawasan ini. 53 Selain di laut, Ashmore juga kaya dengan fauna dan flora darat. Sudah terbukti bahwa pulau-pulau pasir ini adalah persinggahan atau tujuan migrasi burung dari belahan bumi utara selama bulan Oktober-November dan Maret- April. Australia, China dan Jepang memiliki kesepakatan kerjasama untuk melinduni burung-burung yang bermigrasi ini. Kekayaan Ashmore lainnya yaitu tembikar dan keramik tua serta peralatan memasak yang dibawa nenek moyang 52 Ibid. 53 “Rebuilding Bridges Between Australia and Indonesia”, http:www.cultureministry.co.id, diakses pada tanggal 19 Juni 2014 36 Indonesia ke sana. Sayangnya barang-barang ini makin rusak karena proses alamiah. Di ujung selatan Pulau Cartier, terdapat bangkai kapal Ann Millicent yang karam pada 5 Januari 1888 ketika berlayar dari Teluk Carpentaria ke Adelaide. Sewaktu air surut, bangkai kapal ini terlihat dengan jelas. Kekayaan lain yang cukup penting yaitu, adanya kuburan tua yang diduga adalah makam orang Indonesia. Sulit dibuktikan kuburan itu milik siapa. Pada tahun 2000, sedikitnya ada seorang nelayan Indonesia yang dimakamkan di tempat ini. Beberapa nelayan Indonesia yang ditangkap patroli Australia beralasan bahwa mereka masuk Ashmore di antaranya untuk ziarah ke kuburan ini. 54 Sebagai pengakuan akan hak tradisional nelayan Nusa Tenggara Timur, Australia dan RI pada 1974 mengeluarkan Memorandum of Understanding yang isinya tetap membolehkan mereka mencari nafkah sampai batas Bonaparte Islan, di mana mereka boleh menangkap ikan kecuali penyu. Pasar Internasional Sumberdaya Laut tidak dapat dipungkiri menjadi faktor keberadaan pasar internasional ikut andil dalam mendorong aktivitas nelayan-nelayan tradisional Indonesia di wilayah perairan Australia. Mengingat, sumberdaya yang ditangkap seperti teripang, trochus, dan sirip hiu bukanlah komoditas yang dikonsumsi secara langsung oleh mereka, melainkan untuk dijual ke luar negeri, yaitu pasar China. Hal ini sudah mulai dilakukan sejak 1751 dimana kulit penyu dari gugusan Pulau Pasir yang ada di selatan Pulau Timor merupakan barang yang dicari oleh para saudagar Tionghoa untuk dibawa ke China. 55 54 Ibid. 55 “Penyelesaian Masalah Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia”, https:lib.atmajaya.ac.iddefault.aspx?tabID=61src=kid=190426 diakses pada tanggal 19 juni 2014 37 Wilayah perairan di sekitar Pulau Pasir dikenal kaya dengan berbagai macam jenis ikan, teripang dan lola. Sudah ratusan tahun, nelayan-nelayan tradisional Indonesia mencari ikan di sana. Pulau Pasir terbagi atas tiga gugusan pulau. Di bagian barat, terdapat pulau Cartier, Pulau Dato I, Dato II dan Dato III, Pulau Borselan, Pulau Scott dan beberapa pulau kecil. Pulau Pasir juga menjadi tempat ditemukannya objek-objek budaya Rote yakni artefak Indonesia, seperti sisa-sisa bahan-bahan tembikat, batu-batu balas, rak penjemuran ikan, kuburan dan terdapat artefak Eropa seperti bangkai kapal dan sebuah pesawat udara yang jatuh di Perang Dunia II di Cartier Island Pulau Baru. 56 Ancaman terhadap cagar alam tersebut adalah pengambilan teripang dan lolatrochus, penangkapan ikan hiu secara berlebihan dan kunjungan kapal-kapal illegal bermotor yang memungkinkan memasukan hama dan bahan pengotor udara hydrocarbon dan plastic serta panen spesies secara gelap, gangguan terhadap burung-butung, habitar dan obyek budaya. Pada MOU Boc 1974 sudah ada kesepatan antara Australia dan Indonesia berkaitan dengan hak penangkapan ikan secara tradisional, bahwa nelayan tradisional masih diperbolehkan menangkap berbagai jenis moluska di lima pulau wilayah Australia, yaitu Pulau Ashmore, Pulau Cartier, Pulau Scott, Pulau Seringapatam, dan Pulau Browse yang jarak terdekatnya dengan NUSA TENGGARA TIMUR sekitar 12 km. hak penangkapan ikan tradisional di wilayah negara lain dan internasional dimungkinkan mengingat dalam UNCLOS 1982 pada pasal 51 yang isinya tentang penghormatan terhadap eksistensi HPT Hak Penangkapan ikan Tradisional. Pasal ini memberikan kekuatan hukum terhadap 56 Ibid. 38 perlindungan hak penangkapan ikan tradisional tersebut. Namun demikian, mekanisme perlindungan terhadap nelayan yang memiliki hak penangkapan ikan secara tradisional tetap saja harus benar-benar diatur secara bilateral dengan negara lain dalam hal ini antara Indonesia dan Australia. Begitu pula Agenda 21 pasal 17 tentang perlindungan global terhadap laut juga merujuk pada perlunya berkonsultasi dengan nelayan local indigenous people dan melindungi akses mereka terhadap sumbeerdaya. Sementara itu Convention on Biological Diversity meminta pemerintah agar melindungi dan meningkatkan praktek-praktek budaya tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya biologi. Juga, Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals mengijinkan nelayan loka menangkap spesies-spesies yang bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya. Seperti dirinci Tsamenyi setidaknya ada 17 peraturan internasional yang mendukung pangakuan HPT Hak Penangkapan ikan Tradisional tersebut. 57 Pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan bahwa laut lepas adalah terbuka bagi semua negara baik negara pantai costal States maupun negara tidak berpantai land-locked States. Semua negara mempunyai kebebasan di laut lepas freedom of the high seas, yaitu sebagai berikut : 58 a Kebebasan pelayaran freedom of navigation; b Kebebasan penerbangan freedom of overflight; c Kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut freedom to lay submarine cables and pipelines; 57 Ibid. 58 “Hukum Laut, Zona-zona Maritim sesuai Unclos 1982,” dalam http:bakorkamla.go.idhukum-laut-zona-maritim-sesuai-unclos1982.html, diakses pada tanggal 15 Juni 2014 39 d Kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lainnya sesuai dengan hukum internasional freedom to construct artificial island and other installations permitted under international law; e Kebebasan penangkapan ikan freedom of fishing; f Kebebasan riset ilmiah kelautan freedom of scientific research. Kebebesan di laut lepas tersebut harus memperhatikan kepentingan negara lain dalam melaksanakan kebebasan yang sama karena pelaksanaan kebebasan tersebut harus dilaksanakan untuk tujuan damai peaceful purposes dan tidak boleh negara melaksanakan kedaulatannya di laut lepas sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 88-89 Konvensi Hukum Laut 1982. Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus ada kebangsaannya karena ada ikatan antara kapal dengan negara genuine link dan apabila kapal menggunakan dua negara atau lebih bendera negara karena ingin mendapat kemudahan flag of convenience dianggap sebagai kapal tanpa kebangsaan. 59 Pendaftaran kapal kepada negaranya menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini tidak berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk melaksanakan tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan dan lembaga khususnya atau bagi Badan Energi Atom Dunia the International Atomic Energy Agency sebagaimana diatur oleh Pasal 93 Konvensi Hukum Laut 1982. Di Indonesia sebenarnya pada zaman Belanda, HPT Hak Penangkapan ikan Tradisional diakui. Misalnya, di Staatbald 1916 No 157 tentang siput mutiara, tripang, dan terumbu karang. Pada Pasal 2 diakui eksistensi HPT nelayan lokal. Begitu pula pada Staatbald 1927 No 145 yang di dalamnya dimulai larangan menangkap ikan paus dalam perairan 3 mil dari garis pantai, kecuali bagi 59 Ibid. 40 nelayan yang telah melakukannya secara turun temurun. Pasca Kemerdekaan, juga ada UU Pokok Agraria 1960 Pasal 16 Ayat 2 yang menyebutkan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan. Namun, pasal ini kurang dielaborasi dan diimplementasikan secara memadai, meski pada pasal sebelumnya ditegaskan adanya pengakuan terhadap hak ulayat termasuk di laut. Memasuki Orde Baru, persoalan menjadi lain karena sentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan benar-benar terjadi. Praktis hak ulayat melemah seiring dengan lahirnya UU Pemerintahan Desa 1979 yang menyeragamkan struktur desa. Padahal sebelum itu desa-desa di Indonesia sangatlah beragam strukturnya dan mengakomodasi kepentingan adat. Juga UU Perikanan 1985 tidak menyebutkan soal eksistensi HPT. Tapi, pada era ini ada Kepmentan No 6071976 tentang jalur-jalur penangkapan ikan dimana ada perlindungan terhadap nelayan dengan kapal di bawah 5 GT dan 10 PK. Tujuan mulia ini kurang berhasil karena memang berada dalam desain pengelolaann yang sentralistik. 60 Pada era reformasi, muncul UU 221999 yang lalu disempurnakan menjadi UU 322004 serta UU Perikanan No 322004. 61 Di dalamnya tidak disebutkan adanya perlindungan terhadap HPT, namun hanya dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah. Namun nelayan kecil seperti apa yang dimaksud, memang masih butuh penjelasan. Meski secara tersirat nelayan kecil itu adalah mereka yang tidak terkena kewajiban memiliki izin usaha perikanan dan pungutan. Yakni, yang armadanya kurang dari 5 gross ton atau di bawah 15 PK. Karena itu, pasal ini punya niat yang mulia untuk melindungi nelayan kecil, namun pasal ini belum memperhatikan fakta sosiologis bahwa 60 “Analisis Peta Teritorial Laut Indonesia”, http:www.bppsdmk.or.iddatapasar, diakses pada tanggal 10 Juni 2014. 61 Ibid. 41 nelayan kecil dimanapun memiliki ide facto-property right termasuk exclusion right, sehingga kalau pun nelayan kecil dibebaskan melaut ke seluruh wilayah, tetap perlu merujuk pada realitas tersebut. Seperti, nelayan Andon dari Pulau Rote biasanya diijinkan memiliki access right dan withdrawal right dengan berbagai persyaratan baik tertulis maupun tak tertulis. Karena itu, perlindungan terhadap nelayan kecil tidaklah bersifat independen, melainkan terkait dengan desain institusi pengelolaan sumberdaya secara komprehensif. Sehingga ada beberapa agenda penting. Pertama, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah RPP pemberdayaan nelayan nanti perlu ditegaskan kembali pengakuan terhadap Hak Penangkapan Ikan Tradisional HPT dengan penjelasan beberapa indicator pokoknya sehingga memudahkan Pemda dalam menerjemahkannya ke dalam Perda. HPT ini dimaksudkan untuk kelangsungan tradisi secara turun temurun dan dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi nelayan lokal.

D. Pelaksanaan Clear Water Operations