41
nelayan kecil dimanapun memiliki ide facto-property right termasuk exclusion right, sehingga kalau pun nelayan kecil dibebaskan melaut ke seluruh wilayah,
tetap perlu merujuk pada realitas tersebut. Seperti, nelayan Andon dari Pulau Rote biasanya diijinkan memiliki access right dan withdrawal right dengan berbagai
persyaratan baik tertulis maupun tak tertulis. Karena itu, perlindungan terhadap nelayan kecil tidaklah bersifat
independen, melainkan terkait dengan desain institusi pengelolaan sumberdaya secara komprehensif. Sehingga ada beberapa agenda penting. Pertama, dalam
Rancangan Peraturan Pemerintah RPP pemberdayaan nelayan nanti perlu ditegaskan kembali pengakuan terhadap Hak Penangkapan Ikan Tradisional
HPT dengan penjelasan beberapa indicator pokoknya sehingga memudahkan Pemda dalam menerjemahkannya ke dalam Perda. HPT ini dimaksudkan untuk
kelangsungan tradisi secara turun temurun dan dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi nelayan lokal.
D. Pelaksanaan Clear Water Operations
Pada tanggal 12-21 April 2005, dalam upaya memerangi maraknya praktek Illegal, Unreported, Unregulated IUU Fishing, Australia menggelar
Clear Water Operation, yang berujung pada penangkapan 240 nelayan Indonesia.
62
Berita penahanan 4 orang nelayan tradisional asal Papela, Pulau Rote, bagian Timur Nusa Tenggara Timur NTT, oleh petugas Australia dengan alasan
memasuki wilayah Australia secara ilegal baru-baru ini perlu dicermati serius. Penahanan tersebut merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan
62
“Illegal Fishing dan Tradisional Fishing Rights”, http:www.pksplipb.or.id, diakses pada tanggal 20 Juni 2014
42
dengan kasus-kasus sebelumnya. Malangnya, Kapten kapal KM Gunung Mas Baru, Muhammad Heri, diberitakan meninggal dalam masa penahanan di Darwin
tanggal 28 April 2005. Padahal Departemen Kelautan dan Perikanan DKP dan Bea Cukai diikutsertakan dalam operasi tersebut.
63
Demikian pula kasus kematian Mansyur La Ibu, nelayal asal Sikka, Flores yang disekap AL Australia tahun lalu,
dan isu pembakaran kapal nelayan atau penahanan lainnya, telah merisaukan berbagai pihak dan menimbulkan tanda Tanya besar tentang sikap resmi
pemerintah Indonesia. Masalah ini harus dicarikan solusinya secara arif tegas, tuntas, dan diprotes pada koridor hukum yang menghargai kedaulatan kedua
negara. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan untuk dapat
dikategorikan memiliki traditional fishing rights, diantaranya yaitu :
64
1 Nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan
di suatu perairan tertentu; 2
Nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan alat-alat tertentu secara tradisional;
3 Hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu;
4 Nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan
yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut. Berdasarkan kriteria itu, Australia mengakui nelayan tradisional Indonesia
untuk melakukan penangkapan ikan di beberapa wilayah perairannya, karena selama beberapa dekade, nelayan Indonesia telah melakukan penangkapan ikan di
63
Ibid.
64
“Treaty between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia establishing an Exclusive Economic Zone Boundary and Certain Seabed Boundaries,
http:www.geocites.com, diakses pada tanggal 4 Juli 2014
43
sekitar perairan Australia secara tradisi tanpa mendapatkan hambatan atau larangan dari Pemerintah Australia. Dengan demikian, hak perikanan tradisional
di zona perikanan Australia merupakan satu-satunya hak perikanan tradisional yang diakui secara resmi. Landasan hukum traditional fishing rights antara RI-
Australia dituangkan dalam Memorandum of Understanding MOU pada tanggal 7 November 1974, yang menetapkan lima daerah operasi perikanan tradisional,
meliputi Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet. Di wilayah ini, Pemerintah Australia tidak akan menerapkan peraturan
perikanannya kepada nelayan tradisional Indonesia. Meski diakuinya traditional fishing rights, namun nelayan-nelayan Indonesia masih saja melakukan
pelanggaran. Oleh karenanya, dikeluarkan MOU 1981 untuk membatasi kewenangan pengaturan perikanan antara Australia dan Indonesia di daerah
perbatasan yang saling tumpang tindih overlapping. Dengan dikeluarkannya MOU 1981 tersebut, maka telah disepakati penetapan garis sementara
pengawasan perikanan dan penegakkan hukum, sehingga nelayan Indonesia dilarang melakukan penangkapan ikan di zona perikanan Australia, demikian juga
sebaliknya, kecuali sebagaimana yang telah diatur dalam MOU 1974.
65
Ada dua fenomena penting yang menarik mengenai penyelesaian persoalan nelayan Indonesia di perairan Australia, yaitu: Pertama, bahwa putusan
hakim Australia kurang efektif karena para nelayan Indonesia tidak jera untuk menghentikan kegiatannya dalam jurisdiksi territorial Australia, dan kedua,
Pemerintah Australia mengklaim bahwa kedatangan nelayan-nelayan Indonesia telah merugikan Pemerintah Australia dan orang asli aborigin. Oleh karena itu,
65
Ibid.
44
untuk menuntaskan sengketa ini perlu mengedepankan penyelesaian secara damai guna menciptakan perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan yang
diamanatkan Pasal 33 ayat 1 Piagam PBB, yaitu negosiasi, penyelidikan, dengan peraturan, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum, melalui badan-
badan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang dipilihnya sendiri. Untuk kasus pelanggaran perikanan nelayan Indonesia, alternatif
penyelesaiannya melalui non-peradilan yang dalam hal ini adalah komisi arbitrase yang diharapkan mampu mengambil tanggung jawab bersama, sehingga baik
secara moral maupun secara hukum internasional, kedua negara harus berusaha untuk menegakkan ketertiban dunia. Meskipun bukan satu-satunya solusi
alternatif, namun penyelesaian non peradilan melalui komisi arbitrase RI- Australia akan lebih akomodatif dan relevan serta mencerminkan kepentingan dua
negara. Hal ini dikarenakan, komisi arbitrase dapat berperan dalam mengeliminir tumpang tindih ketentuan hukum laut yang selama ini belum dapat dirumuskan.
Selain itu, dipilihnya komisi arbitrase dalam penyelesaian pelanggaran diyakini dapat menciptakan rasa keadilan dan menjauhkan ketersinggungan.
45
BAB III PERUNDINGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA
Pada Bab III ini akan dibahas mengenai Penyelesaian sengketa Pulau Pasir melalui jalur satu atau jalur resmi dengan melakukan perundingan bilateral antara
kedua belah pihak melalui diplomasi negosisasi sampai kepada kesepakatan terbaru.
A. Sejarah Perundingan Bilateral Indonesia dan Australia
1.
MOU Memorandum of Understanding BOX 1974.
Memorandum of Understanding MOU biasanya dipakai dalam perjanjian internasional untuk memberi nama kepada catatan mengenai pengertian yang
telah disepakati para pihak, yang kemudian digunakan sebagai dasar persetujuan yang akan dibuat atau sebagai dasar persetujuan yang mengatur pelaksanaan atau
implementasi dari perjanjian induk. Pada tanggal 7 November 1974 telah dilaksanakan Nota Kesepahaman MOU, lebih dikenal dengan
“Memorandum of Understanding Between the Government of Australia and the Government of the
Republic of Indonesia Regarding the Operation of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental
Shelf” atau yang dikenal dengan istilah MOU BOX 1974, yang mengatur tentang hak dan kewajiban nelayan tradisional, ketentuan penangkapan ikan, dan
ketentuan lainnya di gugusan Pulau Pasir.
66
66
“
Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia”, http:akhmad_solihin.staff.ipb.ac.id20110216penyelesaian-sengketa-nelayan-pelintas-batas-di-
wilayah-perikanan-australia
diakses pada tanggal 12 juni 2014
.