Perjanjian tentang Petunjuk Teknis bagi Implementasi MOU 1974

50 Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf” atau yang dikenal dengan istilah MOU BOX 1974, yang mengatur tentang hak dan kewajiban nelayan tradisional, ketentuan penangkapan ikan, dan ketentuan lainnya di gugusan Pulau Pasir. Nota kesepahaman ini juga dibuat karena pentingnya penuntasan masalah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia ini mendorong pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia untuk duduk bersama dalam mengatur kegiatan nelayan tradisional Indonesia yang beroperasi di wilayah perairan Australia. Kemudian ditinjau kembali pengaturan tersebut bertujuan agar dapat menjamin kelangsungan hak-hak perikanan tradisional traditional fishing right di satu sisi dan dapat melindungi kepentingan-kepentingan Australia di sisi lain.

2. Perjanjian tentang Petunjuk Teknis bagi Implementasi MOU 1974

Pada tahun 1981 Australia dan Indonesia menghasilkan “Memorandum of Understanding between the Republic of Indonesia and the Government of Australia Concerning the Implementation of Provisional Fisheries Surveillance and Enforcement Arrangement”, yaitu kesepahaman sementara antara kedua negara dalam implementasi pengawasan perikanan dan tindak lanjut dari perjanjian 1974. Pada 1989 Pemenrintah Indonesia dan Australia menghasilkan kesepakatan “Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Indonesian and Australia on Fisheries” atau yang disebut kesepakatan pertemuan yang disetujui antar pejabat Australia dan Indonesia pada Perikanan pada tanggal 29 April 1989. Kesepakatan ini merupakan lanjutan kesepakatan MOU 1974. Persetujuan ini menjelaskan tentang Petunjuk Teknis bagi Implementasi MOU 1974 di atas, yaitu pada bulan Mei 1989. 51 Sebelumnya pada tanggal 2 Maret 1989 para pejabat yaitu Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas dan Senator Laut Negeri Australia Gareth Evans mendiskusikan dan membahas tentang aktivitas kapal dan nelayan Indonesia di daerah perikanan Australia Australian Fishing Zone mulai dari pantai barat Australia sampai pada Laut Arafura serta daerah perairan antara Pulau Jawa dan Pulau Christmas. Kedua perwakilan meninjau kerjasama lebih lanjut dari MOU 1974 mengingat Indonesia dan Australia adalah termasuk dalam neighbor lines, atau termasuk dalam wilayah yang saling tumpang tindih. Pada MOU 1974 disepakati bahwa yuridiksi masing-masing negara berada pada 12 nautika miles dari territorial baselines masing-masing negara. Sebelumnya pada tahun 1979 dan 1980 baik Indonesia dan Australia memperluas yuridiksi perairan dan perikanan mereka menjadi 200 nautika miles dari laut teritorialnya masing-masing, berikutnya pada tahun 1981 diakuinya garis perikanan sementara antara Indonesia dan Australia yang berada di sebelah selatan Pulau Pasir. Garis perairan dan pemancingan sementara ini penting bagi akses oleh nelayan tradisional Indonesia ke area ini di bawah MOU BOX 1974. Australia memberitahu Indonesia bahwa baik Pulau AshmorePulau Pasir dan Pulau Cartier merupakan bagian dari wilayah Persemakmuran Commonwealth Australia. Pulau Pasir menjadi Cagar alam nasional Australia, karenanya pantas untuk dipertimbangkan lebih lanjut karena banyaknya nelayan Indonesia yang singgah disana dan mencemari air bersih. Australia dan Indonesia telah menjadi anggota konvensi perdagangan internasional perlindungan flora dan fauna atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora CITES, karena itu baik Australia dan Indonesia bertanggung 52 jawab terhadap hilangnya Fauna dan tumbuh-tumbuhan liar yang dilindunggi negara. Nelayan tradisional Indonesia tidak hanya melakukan pemancingan di Pulau Pasir tetapi juga area yang bersebelahan dengan Pulau Cartier, Batu Karang Scott, Batu Karang Seringapatam dan Pulau Merumput. Untuk mencegak terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan, Indonesia memberikan kesediaannya untuk mengambil langkah-langkah perlu untuk menginformasikan nelayan Indonesia mengenai perjanjian ini. Pemerintah Australia dan Indonesia merencanakan agar nelayan tradisional Indonesia dapat melakukan aktivitasnya yaitu dengan kerjasama pembiayaan Perikanan Inti Rakyat PIR.Jika terjadi penangkapan ikan di daerah perikanan Australia Australian Fishing Zone di Pantai Barat Utara maka Australia berhak untuk mengambil tindakan penangkapan karena di luar kesepakatan antara kedua negara. 68 Pada pertemuan 1989 ini Indonesia dan Australia membahas tentang aktivitas kapal nelayan non-tradisional pada Laut Arafura pada garis pemancingan sementara tahun 1981. Karena itu kedua negara perlu untuk mengambil tindakan yang efektif untuk mencegah pelanggaran dengan kapal motor yang dilakukan nelayan non-tradisional Indonesia, tanpa otoritas dari Australia sebelumnya. Baik Indonesia maupun Australia menyusun kerjasama dalam hal pertukaran informasi pada persediaan di Laut Arafuru untuk kepentingan konservasi dan manajemen perikanan. Pada perairan Pulau Christmas dan periaran Pulau Jawa di barat garis pemancingan sementara perlu untuk dirundingkan kembali untuk menghindari overlap klaim berhubungan dengan hukum masing-masing Negara. 68 “Pengakuan Kepemilikan Aussie Atas Pulau Pasir Masih Lemah,” http:www.tni.mil.idview- 3818- html. diakses pada tanggal 11 juni 2014. 53 Nelayan tradisional Indonesia boleh melakukan aktivitas tradisional pada MOU BOX di area daerah penangkapan ikan Australia Australian Fishing Zone dan landas kontinen yang bersebelahan ke Batu Karang Ashmore, Pulau Cartier yang sangat kecil, Batu Karang Scott, Batu Karang Seringapatam dan Pulau Tapis yang sangat kecil. Untuk mengatasi habisnya persediaan tertentu ikan dan kekayaan alam seperti Trochus nilotocus, pengapitkepiting dan kura-kura secara terus-menerus di area Batu Karang yg merupakan lanjutan kesepakatan MOU Box 1974, telah menyepakati hal-hal berikut, yaitu : 69 1. ARTIKEL 1 : Indonesia dan Australia akan mengembangkan kerjasama riset perikanan dan konservasi utilisasi perikanan laut dalam memanfaatkan sumber daya. 2. ARTIKEL 2 : Indonesia dan Australia akan saling menukar informasi berhubungan dengan perikanan termasuk : 1. Pemancingan liar dan data dari kapal asing dan kapal domestik; 2. Saling memberikan hasil tentang riset ilmiah ke dalam studi ekologis dan dinamika populasi; 3. Pengembangan program manajemen perikanan nasional; dan 4. Monitoring perikanan, teknologi serta sistem pengawasan dan kendali. 5. Indonesia dan Australia akan menetapkan saluran komunikasi untuk memudahkan pertukaran Informasi dan meliputi pengumpulan tentang teknis pertemuan-pertemuan pada area perairan dan perikanan atau minat khusus kedua belah pihak, termasuk tidak membatasi pada pengambilan : Ikan Hiu Pelagic, Ikan Tuna, Demersal Finfish; dan Trochus. 69 “Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Internasional UNCLOS 1982 di Indonesia”, http:www.launclospdf.htm, diakses tanggal 30 Juni 2014. 54 3. ARTIKEL 3 : Australia dan Indonesia akan metode untuk mengembangkan konservasi dan manajemen utilitas persediaan perikanan. Kedua negara akan bekerja sama secara langsung melalui Organisasi internasional untuk meyakinkan konservasi dan manajemen laut yang berada pada sumber daya laut bebas. 4. ARTIKEL 4 : Indonesia dan Australia akan memudahkan kerjasama melalui pelatihan dan pertukaran informasi personil unutk konservasi perikanan, mencakup para ilmuwan dan para siswa. 5. ARTIKEL 5 : Indonesia dan Australia akan saling tukar-menukar Informasi pada teknologi pengembangan berubungan dengan perikanan, termasuk teknik pemancingan, teknik monitoring, dan mengurangi efek pemancingan pada binatang laut menyusui, biota laut, pengelolahan produk ikan dan aspek post- harvest teknologi yang baik mengenai pengambilan dan panen ikan dengan baik dan benar. Pelanggaran terhadap wilayah operasi yang telah ditetapkan dalam MOU BOX 1974 dan Agreed Minutes 1989 membuat kerjasama Indonesia dan Australia semakin memburuk. Pelanggaran ini merupakan pelanggaran terbanyak yang dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia. Hal ini dikarenakan, sebagai akibat dari berubahnya peta wilayah kegiatan para nelayan tradisional Indonesia yang semula tunduk pada MOU BOX 1974 Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet berubah dengan Agreed Minutes 1989 Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet. Dengan kata lain, 55 Ashmore Reef dan Cartier Islet dilarang untuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam hayati. 70 Pelanggaran terhadap ketentuan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam hayati sesuai dengan kesepakatan, baik sesuai MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989, dimana salah satu jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia adalah pengambilan jenis-jenis biota laut tertentu sebagai bagian dari sumberdaya alam hayati yang dilarang, seperti pengambilan penyu dan burung beserta telurnya. Pelanggaran terhadap penggunaan fasilitas yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan, dimana fasilitas tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan melalui MOU BOX 1974 dan Agreed Minutes 1989. Dalam kenyataan pelanggaran seperti ini terlihat dalam bentuk melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan perahu yang digerakkan oleh mesin motor, menggunakan alat-alat penangkapan yang tegolong modern, bahkan menangkap ikan hiu dengan menggunakan gillnetjarang besar yang diletakkan di dasar kapal yang mampu mengangkut berton-ton ikan. Pelanggaran yang dilakukan juga ada yang berhubugan dengan masalah lingkungan hidup. Hal ini dapat terlihat antara lain dari tindakan para nelayan yang dapat menimbulkan kebakaran karena lalai memadamkan api setelah memasak atau membuah punting rokok tanpa dimatikan terlebih dahulu apinya, ataupun kegiatan lain yang menyebabkan terkontaminasinya sumber- sumber air minum pada tempat-tempat dimana para nelayan diperbolehkan untuk mengambil air minum. 71 70 “Mengakui Hak Penangkapan Ikan Tradisional”, http:kompas.comkompas- cetak050528Fokus1769074.htm, diakses pada tanggal 29 Juni 2014. 71 Ibid. 56 Adapun faktor-faktor terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan- nelayan tradisional Indonesia, yaitu : 1. Pengertian nelayan terhadap MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989 masih kurang. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan mereka yang masih relatif rendah, sehingga sangat besar kemungkinan mereka tidak dapat membaca peta dan karenanya tidak dapat mengenali dengan tepat wilayah operasinya. 2. Nama pulau dan daerah yang disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989, mungkin saja berbeda dengan nama yang dikenal sehari-hari oleh nelayan tradisional Indonesia. Seperti Pulau Pasir yang dinamakan Australia sebagai Ashmore Reef, Pulau Baru dinamakan Cartier Islet, dan Pulau Datu yang dinamakan Seringapatam Reef. 3. Para nelayan tradisional Indonesia kurang mengetahui batas wilayah yang disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989 secara pasti. Hal ini terjadi karena, selain para nelayan tradisional tidak dapat mengertimembaca peta tetapi juga karena tidak terdapat tanda-tanda yang jelas menunjukan batas-batas sebagaimana yang dimaksudkan oleh MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989. Sementara para nelayan tradisional pada umumnya tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi yang memadai. 4. Hasil yang diperoleh dari usaha penangkapan cukup banyak atau cukup memuaskan sehingga para nelayan tidak ingin untuk melakukan kegiatan di bidang usaha lain. 5. Pengaruh faktor sosial dan budaya, dimana keluarga-keluarga tertentu dari masyarakat nelayan tradisional Indonesia asal Papela – Rote, setiap tahunnya 57 mengadakan kunjungan ke makam leluhurnya yang meninggal dan dikuburkan di Pulau Pasir Ashmore Reef. Saat mengunjungi makam ini biasanya dilakukan bersama-sama dengan mencari hasil-hasil laut sebagaimana dilakukan oleh nenek moyangnya sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Konsekuensinya dari kegiatan ini adalah bahwa mereka para nelayan tradisional Indonesia pasti memasuki wilayah konservasi alam Ashmore Reef, yang pastinya dilarang. Hingga saat ini, paling tidak ada dua cara yang dilakukan untuk mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia, yaitu penanganan secara hukum dan pendekatan persuasif. Penanganan secara hukum yang dilakukan berdasarkan hukum Australia kurang efektif, karena masih banyak nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang melalukan pelanggaran. Sedangkan cara yang kedua adalah alternative livelihood atau pengalihan mata pencaharian yang dilakukan melalui gerakan dari Australian National University dengan disponsori beberapa lembaga negara maupun LSM dari Australia. Beberapa usaha alternatif yang dikembangkan adalah budidaya rumput laut, usaha pembesaran ikan kerapu, dan budidaya Sponges. Tujuan dari program ini adalah menurunnya aktivitas pelanggaran kedaulatan nelayan-nelayan tradisional Indonesia di wilayah perairan Australia.

3. Perjanjin Perth 14 Maret 1997.