Komoditas Padi di Provinsi Aceh
3.2. Komoditas Padi di Provinsi Aceh
Secara umum produksi padi sawah di Aceh pada tahun 2010 mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun 2009. Kenaikan ini terjadi pada produktivitas yaitu dari 4,373 tonhektar pada tahun 2009 naik menjadi 4,518 tonhektar tahun 2010 atau naik rata-rata sebesar 3,3 persen (0,145 tonhektar). Akibatnya total produksi naik juga sebesar 2,1 persen (31.591 ton GKG) dari 1.539.449 ton GKG tahun 2009 menjadi 1.571.040 ton GKG. Luas panen menurun 1,2 persen yaitu dari 352.006 hektar menjadi 347.727 hektar. Dari keempat kabupaten contoh, hanya kabupaten Pidie Jaya yang mengalami penurunan produksi sebesar 0,7 persen, sedangkan kabupaten Aceh Barat luas panen terjadi penurunan dari 11.302 hektar pada tahun 2009 turun menjadi 10.889 hektar pada tahun 2011 atau sebesar 3,6 persen. Sementara kabupaten Aceh Besar dan Pidie untuk ketiga variabel mengalami peningkatan baik pada luas panen, produksi maupun produktivitas (Tabel 4).
Peningkatan produksi padi sawah tahun 2010 disebabkan keberhasilan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT), Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), perbaikan saluran irigasi, tersedianya pupuk bersubsidi di tingkat petani. Hal lain juga meyebabkan terjadinya peningkatan produksi padi sawah adalah harga Gabah Kering Panen cukup baik sepanjang tahun 2010 berkisar antara Rp 3.800–4.200kg, sehingga petani lebih intensif mengusahakan tanaman padinya.
Secara umum dalam setahun ada tiga periode tanam padi atau disebut dengan Sub Round (SB) yaitu periode Januari April (Subround I), Mei–Agustus (Subround II) dan September–Desember (Subround III). Di Provinsi Aceh umumnya Januari-April merupakan periode produksi padi paling tinggi selama setahun, dibandingkan dengan periode lainnya produksi subround I mencapai 732.409 ton GKG atau sekitar 46,61 persen dari total produksi setahun, dilanjutkan dengan subround III sebesar 32,89 persen atau sekitar 516.870 ton GKG dan subround II sebesar 20,45 persen (321.761). Pada periode Januari-April produksi padi mengalami peningkatan sebesar 74.711 ton GKG dengan perbandingan produksi Januari–April tahun 2009 sebesar 660.179 ton GKG, sedangkan pada tahun 2010 sebesar 732.409 ton GKG. Dengan demikian ada kenaikan produksi sebanyak 1,61 persen.
Periode Mei–Agustus 2010 terjadi penurunan produksi sebesar 29,45 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2009 atau dari produksi yang hanya sebesar 404.395 ton GKG menjadi 323.644 tonGKG. Sedangkan pada periode September–Desember 2010 produksi padi kembali mengalami peningkatan yaitu dari 490.065 ton GKG menjadi 521.640 ton GKG atau mengalami peningkatan produksi sebesar 6,05 persen (Gambar 9).
Gambar 11. Perbandingan Produksi Padi Sawah Provinsi Aceh Tahun 2009 dan
Sumber : BPS Aceh 2011 (diolah)
Dengan melihat perilaku panen padi di atas, dimana panen raya terjadi pada bulan Januari–April, maka untuk mengamankan hasil padi petani agar harga gabah yang diterima petani tidak jatuh, minimal sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan pemerintah, seyogyanya operasi pasar oleh pihak Bulog dan instansi terkait dilakukan pada periode di atas. Dengan demikian perlu perencanaan yang matang, karena pada periode tersebut curah hujan dibeberapa daerah terutama di bagian Barat Selatan masih cukup tinggi. Kegagalan mengantisipasi hal ini akan mengakibatkan turunnya kualitas gabah sehingga harga gabah menjadi rendah.
Tabel 4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah pada Tahun 2009 dan 2010 di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya, serta Provinsi Aceh.
ACEH BESAR
PIDIE JAYA
ACEH BARAT
Produkti Produksi
Luas
Produkti Produksi
Produkti Produksi
Sumber : BPS Aceh 2011 (diolah) Keterangan: nilai dalam kurung adalah minus (laju menurun)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nanggroe Aceh Darussalam Jl. P. Nyak Makam No. 27 Lampineueng, Banda Aceh – 23125. Telp (0651) 7551811 Fax. (0651) 7552077 Email : bptp_acehyahoo.co.id ; bptp-acehlitbang.deptan.go.id Website:http:nad.litbang.deptan.go.id
Tabel 5. Karakteristik petani produsen beras di kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya Provinsi Aceh 2010.
NO
URAIAN
ACEH BESAR
PIDIE JAYA
ACEH BARAT
PIDIE
I Karakteristik Petani
1. Rata-rata pemilikan lahan (Ha)
2. Rata-rata luas garapan (Ha)
3. Rata-rata jumlah tanggungan (jiwa)
4. stok gabah
0,4 – 1 tonmusim, cukup
0,75 – 1,8 tonmusim
1,75 – 1,5 tonmusim
II Teknologi Produksi
1. Varietas yang di tanam
VUB (Ciherang)
VUB (Ciherang, Cibogo)
VUB (Ciherang)
VUB (Ciherang, impari 13)
2. Klasifikasi benih
3. Penggunaan pupuk
Urea, TSP, KCl
TSP, Poska, Urea
Urea
Urea, NPK
4. Dosis pemupukan
Blm sesuai rekomendasi
Belum sesuai rekomendasi
Belum sesuai rekomendasi
Belum sesuai rekomendasi
5. Pengendalian OPT sasaran
Pestisida, belum PHT
Pestisida
Kimiawi
Pestisida, semi PHT
6. Sistem panen
7. Alat perontok
Power threser
Power threser
Power threser
Power threser
8. Produktivitas (tha)
Sistem Penjualan
1. Waktu penjualan
Setelah panen
Setelah panen
Setelah panen
Setelah panen
2. Alasan dijual
Kebutuhan keluarga, harga tinggi,
Kebutuhan hidup, sosial, Kebutuhan
non
pangan,
Biaya hidup, penidikan
bayar utang, gabah baru panen
social, bayar utang, harga
anak, harga tinggi,
harga tinggi,
harga tinggi, ada raskin
tinggi.
disimpan susut, raskin
3. Pembeli
Agen desa, jual sendiri ke P. Padi
Kilang padi, agen desa
Pedagang desa, kilang padi
Agen pengumpul
4. Sistem pembayaran
Cast tunai
5. Penentuan harga
Tawar menawar
Tawar menawar
Tawar menawar
Tawar menawar
IV Sumber modal
Sendiri, agen pengumpul, K Padi
Sendiri, Kilang Padi
Swadaya, pedagang
Sendiri, Kilang Padi
V Hambatan
Hama tikus, parairan
Tikus dan Air
Tikus, kepinding tanah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nanggroe Aceh Darussalam Jl. P. Nyak Makam No. 27 Lampineueng, Banda Aceh – 23125. Telp (0651) 7551811 Fax. (0651) 7552077 Email : bptp_acehyahoo.co.id ; bptp-acehlitbang.deptan.go.id Website:http:nad.litbang.deptan.go.id
3.2.1 Karakteristik Pelaku Perberasan di Provinsi Aceh 3.2.1.1Karakteristik Petani
Pelaku perberasan di Aceh dapat dibagi tiga bagian besar yaitu pihak produsen dalam hal ini adalah petani, pihak pengolah dan distributor adalah pedagang dan Bulog, serta pihak konsumen. Pihak produsen dalam hal ini petani adalah penghasil gabah, sedang pihak pengolah dan distributor adalah pihak mengolah gabah menjadi beras serta mendistribusikan beras tersebut sampai ke tingkat konsumen, pihak konsumen adalah yang memanfaatkan beras tersebut menjadi bahan makanan.
Rata-rata luas pemilikan lahan sawah di keempat desa contoh relatif kecil yaitu berkisar 0,25 ha–0,75 ha, dengan rata-rata luas garapan di atas luas pemilikan, penambahan luas garapan ini melalui sistem bagi hasil atau sewa. Berbeda dengan kasus di desa Lung Tanoh Tho Kecamatan Woyla Kabupaten Aceh Barat luas lahan milik sendiri sama dengan luas lahan garapan, karena lahan garapan merupakan tanah milik orang tuanya yang diwariskan kepada anak-anaknya.
Secara umum jumlah tanggungan keluarga hampir sama untuk semua kabupaten sampel yaitu rata-rata 5 jiwa (Tabel 5). Hal ini menunjukkan keluarga petani merupakan keluarga kecil yang mempunyai tiga orang anak. Berbicara petani sebagai produsen, hal ini tidak selalu benar, kenyataan di lapang, seperti contoh kasus di daerah Aceh Barat, ada petani yang melakukan penyimpanan gabah untuk konsumsi rumah tangga. Hasil produksinya dijual saat setelah panen, untuk keperluan konsumsi sehari-hari mereka membeli di warung terdekat. Dengan demikian dalam kasus ini petani dapat dikatakan sebagai konsumen beras.
Berbeda dengan petani di tiga Kabupaten lainnya Aceh Besar, Pidie, dan Pidie Jaya yang menyimpan gabah untuk keperluan konsumsi rata-rata 0,5 sampai 1,5 ton GKG (Tabel 5). Termotivasinya petani tersebut menyimpan gabah untuk keperluan konsumsi disebabkan oleh berfluktuasi harga beras saat ini, kegagalan panen serta antisipasi kebutuhan dana mendadak. Menurut salah seorang petani, Tgk Azhari mengatakan “Saya menyimpan padi untuk persediaan selama musim turun ke sawah, sisanya kami jual untuk kebutuhan sehari-hari, karena kami tidak ada pendapatan lain”. Secara umum menyimpan gabah cukup untuk kebutuhan hidup sampai pada musim panen berikutnya.
Gambar 12. Tgk Azhari salah seorang petani di Kabupaten Pidie sedang
memberikan data distribusi gabah pada tim BPTP Aceh.
3.2.1.2 Teknologi Produksi
Tingkat teknologi yang diterapkan oleh petani di desa contoh Aceh Besar, Pidie Jaya dan Pidie relatif maju baik dilihat dalam hal penggunaan benih, pemakaian pupuk dan alat perontok. Hampir semua kabupaten contoh telah mengadopsi teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu padi sawah. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata produktivitas ketiga desa contoh yang relatif tinggi yaitu di atas produktivitas rata-rata nasional. Namun tidak demikian dengan daerah di Aceh Barat produktivitas masih rata-rata 4,5 tonhektar. Hal ini disebabkan lahan sawah di desa contoh adalah tadah hujan. Perairan untuk lahan sawah di Aceh Barat merupakan kendala utama dalam peningkatan produktivitas padi sawah.
Dalam penggunaan pupuk hampir semua desa contoh belum melakukan uji tanah sebelum melakukan pemupukan. Menurut Syamsumar salah seorang petani di desa Lung Tanoh Tho Kabupaten Aceh Barat menyatakan dalam hal pemupukan padi sawah kami hanya memupuk jika ada bantuan dari pemerintah, apalagi memberikan pupuk sesuai dengan rekomendasi. Salah satu kelemahan teknologi di tingkat petani contoh adalah belum ada tersedia alat uji tanah yang mampu petani sendiri melakukan pengujian di lahan sawah sendiri, sehingga mareka melakukan pemupukan berdasarkan hasil rekomendasi PUTS dan BWD, bukan berdasarkan pengalaman pada tahun sebelumnya.
Masalah dosis pemupukan secara umum untuk setiap kabupaten contoh belum ada rekomendasi. Petani hanya mengandalkan penampilan morfologi dari tanaman padi untuk menentukan kekurangan zat hara tertentu seperti Nitrogen.
Kebiasaan ini sering dilakukan oleh Muhammad (43 tahun) salah seorang petani padi sawah di Desa Dayah Baroh Kecamatan Ulim Kabupaten Pidie Jaya, dia hanya memupuk padi sawah dengan Urea 100 kgha, sementara pupuk lain tidak ada.
Sementara itu organisme pengganggu tanaman padi di empat kabupaten contoh adalah tikus, kepinding tanah, walang sangit, dan keong mas. Kerusakan tanaman akibat serangan OPT tersebut sangat bervariasi antara 0–10. Selama ini hama yang pernah menyerang tanaman padi kami adalah tikus kata Nurhayati (53 tahun) petani di Desa Dham Cekok Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Beliau menambahkan pengendalian yang pernah dilakukan adalah pemberian umpan racun kimia. Memang dalam hal ini pengendalian yang dilakukan di desa sampel belum memenuhi kaedah-kaedah Pengendalian Hama Terpadu, seperti penggunaan musuh alami, varietas resisten, dan penggunaan perangkap.
3.2.1.3 Sistem Penjualan
Perilaku petani dalam menjual hasil padinya juga sangat tergantung kepada kondisi daerah. Keempat kabupaten yang dilakukan survey, waktu penjualan gabah sangat di pengaruhi oleh kebutuhan petani dan harga pada saat panen. Jika harga gabah tinggi pada saat panen, maka hasil panennya akan dijual sebagian dan sisanya dibawa pulang untuk persediaan selama musim tanam. Survei yang dilakukan selama ini tidak dijumpai di kabupaten sampel waktu penjualan disaat panen dengan sistem tebasan. Sistem ini banyak terjadi di daerah Malang Jawa Timur dimana tenaga kerja relatif mahal petani lebih banyak menjual padinya dengan sistem tebasan.
Gambar 13. Kepala BKPP Kabupaten Pidie Jaya Ir. H. Sayed Hamid (kanan)
saat memberikan penjelasan tentang distribusi gabahberas di Kabupaten Pidie
Umumnya petani di Aceh Besar, Pidie dan Pidie Jaya alasan menjual padi setelah panen, antara lain untuk kebutuhan keluarga, bayar utang, gabah yang baru panen harga lebih tinggi. Sementara di Kabupaten Pidie Jaya RASKIN sangat berpengaruh terhadap penjualan gabah petani. Raimah (45) petani Pidie menyatakan “ Panen tahun ini saya jual semua, karena untuk makan sudah ada jatah Raskin dan cukup untuk tiga bulan kedepan”. Kepala BKPP Kabupaten Pidie Jaya Ir. H. Sayed Hamid, (Gambar 13) menambahkan di samping pengaruh RASKIN, tidak ada tempat penyimpanan gabah di rumah yang aman dari serangan tikus, membayar ongkos produksi yang segera di bayar setelah panen, harga masih tinggi, keperluan uang kontan untuk kebutuhan lain, sehingga petani menjual hasil padinya begitu setelah panen. Pembeli gabah umumnya pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang ini merupakan mitra Kilang Padi (RMU) setempat, cara pembayarannya secara tunai, harga ditentukan melalui kesepakatan tawar menawar.
Pasar gabah di tingkat petani cukup kompetitif, hal ini ditandai oleh banyaknya pedagang pembeli gabah, baik yang berasal dari desa setempat maupun yang berasal dari daerah lain. Pembeli gabah langsung mendatangi daerah persawahan yang sedang panen lengkap dengan peralatan pendukung
(timbangan, karung, mesin perontok, buruh dan sarana transportasi). Umumnya pedagang gabah atau agen tingkat desa merupakan mitra dari unit penggilingan padi. Setiap desa sentra produksi padi paling sedikit terdapat satu unit RMU stationer. Untuk mendapatkan kelangsungan bahan baku gabah tiap unit RMU mempunyai 10-15 pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul ini mendapat modal kerja dari pihak penggilingan padi, dengan kewajiban gabah hasil pembeliannya harus digiling di penggilingan padi miliknya, seperti yang dilakukan oleh salah seorang agen tingkat desa Dayah Baroh kecamatan Ulim Kabupaten Pidie Jaya (Gambar 14). Persaingan antar RMU juga sangat ketat dalam mendapatkan kontinuitas bahan baku gabah guna memperbesar kapasitas dan volume usaha. Kadangkala pada saat terjadi kelangkaan gabah di wilayah operasinya, pihak RMU membeli gabah dari luar wilayahnya bahkan sampai dari luar kabupaten.
Gambar 14. Salah seorang pedagang pengumpul tingkat desa (inzet) sedang
mengontrol proses muat gabah yang akan dikirim ke penggilingan padi
Untuk kasus Aceh dengan struktur pasar gabah di tingkat petani cukup kompetitif, mengakibatkan posisi tawar petani menjadi meningkat. Hasil penelitian ditingkat petani (kelompok tani) di empat kabupaten contoh menunjukkan bahwa harga gabah yang diterima petani pada panen MH 20102011 bulan November 2011 cukup stabil berkisar antara Rp 3.500–Rp 4.200 per kg GKP, yaitu di atas harga dasar yang ditetapkan pemerintah Rp 3.300kg, dengan kadar air 25 persen dan hampa kotoran 10 persen.
3.2.1.4 Pola Distribusi GabahBeras
Pola distribusi gabahberas di Aceh terdiri dari empat kelompok pelaku utama, yaitu: (1) Pedagang pengumpul tingkat desa (pedagang lokal), (2) Pengusaha penggilingan padi kecil tingkat kecamatan, (3) Pedagang Besar (kontraktor) punya RMU besar, dan (4) Pedagang antar provinsi.
Pedagang pengumpul tingkat desa (pedagang lokal) berperan membeli gabah petani berupa GKP kemudian hasil pembeliannya disetordijual ke unit penggilingan padi (RMU). (2) Pengusaha penggilingan (RMU) menampung hasil pedagang lokal, gabah yang ditampung tersebut kemudian dikeringkan menjadi gabah kering giling (GKG), atau pihak Penggilingan padi dapat langsung juga membeli gabah dari petani. Gabah ini dapat digiling menjadi beras atau dijual kembali ke sub BULOG atau ke pihak kontraktor (pedagang besar), (3) Pedagang besar menampung gabah dari RMU atau pedagang lokal kemudian dipasok ke sub BULOG setempat berupa GKG atau dapat juga menjual beras ke pedagang perantara antar kota atau antar provinsi atau langsung menjual beras ke pasar induk tingkat kabupaten atau provinsi (grosir), (4) Pedagang antar provinsi umumnya yang diperdagangkan adalah beras, ke pasar bebas, pengecer atau ke grosir antar provinsi. Secara rinci struktur aliran distribusi gabahberas dapat dilihat pada Gambar 15.
PETANI (PRODUSEN)
GABAH
GABAH
AGEN DESA
PENGGILINGAN
PDG,
TOKE
PADI KECIL
PENGUMPUL, AGEN KEC. RMU
GABAHBERAS
PDG BESAR (KONTRAKTOR)
GABAH
GABAHBERAS
SUB BULOG BERAS GROSIR
TOKE LUAR PROV (MEDAN) RMU BSR PDG, PENGECER, DALAM PROV GROSIR LUAR PROV
PDG, PENGUMPUL,
AGEN
KONSUMEN
Gambar 15. Struktur Aliran Distribusi GabahBeras di Wilayah Provinsi Aceh 2011
Hasil wawancara dengan Usman (38 tahun) salah seorang pemilik kilang padi di daerah contoh Kabupaten Pidie, mengatakan bahwa hampir tiap hari disaat panen raya toke-toke medan datang kesini membeli gabah dan beras dari agen lokal. Harga gabah dan beras dibeli dengan harga rata-rata di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pedagang beras di sini lebih senang menjual ke toke Medan, disamping harga tinggi dan cara pembayarannya kontan. Jika dijual ke pengecer di kabupaten sistem pelunasannya dengan cara utang.
Gambar 16. Usman (38 tahun) pemilik penggilingan padi di Kabupaten Pidie
Hal senada juga diungkapkan oleh Hasanuddin (45 tahun) “Seandainya gabah dan beras tidak dijual ke Medan, Perum Bulog Provinsi Aceh tidak sanggup menampung gabah petani, pada akhirnya harga gabah akan turun”. Realisasi pengadaan beras Perum BULOG Provinsi Aceh hingga Juni mencapai sekitar 24 persen atau 16.678 ribu tondari target 65 ribu tonpada 2011. "Minimnya realisasi pengadaan beras dalam negeri itu akibat tingginya harga beli beras di pasaran sedangkan Bulog menampung sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP)", kata Kepala Bidang Pelayanan Publik, Bulog Divisi regional (Divre) Aceh, Sufridawati di Banda Aceh. “Ia pesimistis target realisasi tersebut akan tercapai, jika harga komoditas tersebut terus mengalami lonjakan, sementara BULOG tetap menampung dengan harga HPP”, ujarnya.
Harga beras yang lebih tinggi dari HPP menunjukkan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi mencerminkan keberhasilan kebijakan perberasan dalam Harga beras yang lebih tinggi dari HPP menunjukkan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi mencerminkan keberhasilan kebijakan perberasan dalam
Selanjutnya Fakhrurrazi (50 tahun) salah seorang pelaku distribusi beras di Kabupaten Pidie menyebutkan toke-toke medan membeli beras kita dengan harga beras biasa, dengan menggunakan teknologi penggilingan padi yang modern kemudian mareka menjual kembali ke Aceh dalam kualitas yang berbeda super, medium dan premium.
Setiap kabupaten contoh (Aceh Besar, Pidie, dan Pidie Jaya) terdapat dua sampai tiga pedagang beras skala besar aktif melakukan kegiatan pemasaran beras. Pedagang beras tersebut umumnya memiliki RMU dan lantai jemur. Pedagang besar ini disamping mensuplai beras ke tingkat grosir di kabupaten atau antar kabupaten juga kadangkala sampai tingkat provinsi di Medan. Tingkat harga gabah yang diterima petani berkisar dari Rp 3.800−Rp4.200kg GKP.
3.2.2 Peta Perberasan di Provinsi Aceh
Pola panen padi musim hujan dimulai dari wilayah Timur yaitu kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Biruen, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang kemudian berlanjut ke bagian Barat yaitu Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Masa panen dengan areal yang cukup luas terjadi pada periode Januari-April, dengan masa puncak panen terjadi pada bulan Pebruari-Maret. Lima kabupaten yang memiliki areal panen diatas puluhan ribu hektar adalah kabupaten Aceh Utara, Bireun, Aceh Tamiang, Aceh Timur (BPS, 2011).
Dari sisi pertumbuhan produksi yaitu peningkatan produktivitas per satuan luas masih memungkinkan untuk dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibeberapa daerah masih terdapat senjang hasil yang cukup lebar antara hasil riil yang dapat dicapai petani saat ini dengan potensi hasil dari lahan sawahnya. Sebagai contoh hasil wawancara dengan petani kabupaten Aceh Barat (kecamatan Woyla) dengan penerapan teknologi varietas unggul baru, dan pemupukan berimbang, hasil riil yang dapat dicapai pernah sampai 7 ton GKPha, Dari sisi pertumbuhan produksi yaitu peningkatan produktivitas per satuan luas masih memungkinkan untuk dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibeberapa daerah masih terdapat senjang hasil yang cukup lebar antara hasil riil yang dapat dicapai petani saat ini dengan potensi hasil dari lahan sawahnya. Sebagai contoh hasil wawancara dengan petani kabupaten Aceh Barat (kecamatan Woyla) dengan penerapan teknologi varietas unggul baru, dan pemupukan berimbang, hasil riil yang dapat dicapai pernah sampai 7 ton GKPha,
3.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Turunnya Harga Gabah
Walaupun pada musim panen ini (Januari − Maret) tidak dijumpai turunnya harga gabah di tiga kabupaten contoh, dimana harga gabah yang terjadi masih berkisar pada harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Namun menurut pengalaman petani pergerakan turunnya harga gabah kadang-kadang terjadi tiba-tiba. Pergerakan turunnya harga gabah umumnya lebih cepat dibandingkan dengan turunnya harga beras, menurut pengalaman petani harga beras relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga gabah.
Dari hasil wawancara dengan kelompok tani di empat kabupaten dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi turun naiknya harga gabah ditingkat petani yaitu: (1) Kualitas gabah. Kualitas gabah yang dihasilkan petani sangat mempengaruhi tingkat harga yang diterima. Kualitas gabah dapat disebabkan oleh faktor biofisik tanah, sebagai contoh kualitas gabah di kabupaten Aceh Utara lebih baik dibandingkan produksi gabah di kabupaten Aceh Barat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah butir hampa, dan rendemen. Di samping itu curah hujan waktu panen sangat mempengaruhi kualitas gabah, curah hujan yang cukup tinggi pada saat panen mengakibatkan kadar air gabah menjadi tinggi, proses pengeringan menjadi masalah sehingga akan menurunkan harga gabah. Kualitas gabah juga dipengaruhi oleh cara dan alat panen yang digunakan, perontokan tanpa power-thresher mengakibatkan kadar kotoran dan kehilangan gabah menjadi tinggi, lebih-lebih pada saat panen terjadi hujan; (2) Pola tanam. Pola tanam yang tidak serempak antar lokasi atau kabupaten mengakibatkan masa panen juga tidak serempak, hal ini akan menghindari terjadinya over supply, dengan demikian tingkat harga gabah dapat Dari hasil wawancara dengan kelompok tani di empat kabupaten dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi turun naiknya harga gabah ditingkat petani yaitu: (1) Kualitas gabah. Kualitas gabah yang dihasilkan petani sangat mempengaruhi tingkat harga yang diterima. Kualitas gabah dapat disebabkan oleh faktor biofisik tanah, sebagai contoh kualitas gabah di kabupaten Aceh Utara lebih baik dibandingkan produksi gabah di kabupaten Aceh Barat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah butir hampa, dan rendemen. Di samping itu curah hujan waktu panen sangat mempengaruhi kualitas gabah, curah hujan yang cukup tinggi pada saat panen mengakibatkan kadar air gabah menjadi tinggi, proses pengeringan menjadi masalah sehingga akan menurunkan harga gabah. Kualitas gabah juga dipengaruhi oleh cara dan alat panen yang digunakan, perontokan tanpa power-thresher mengakibatkan kadar kotoran dan kehilangan gabah menjadi tinggi, lebih-lebih pada saat panen terjadi hujan; (2) Pola tanam. Pola tanam yang tidak serempak antar lokasi atau kabupaten mengakibatkan masa panen juga tidak serempak, hal ini akan menghindari terjadinya over supply, dengan demikian tingkat harga gabah dapat
3.2.3 Rekomendasi Distribusi GabahBeras:
1. Penyediaan stok pupuk dan obat anti seranggahama yang mencukupi bagi kebutuhan petani di provinsi Aceh, tentunya akan meminimalisir peran spekulan yang dapat menyebabkan biaya produksi beras menjadi tinggi dan imbanya pada kenaikan harga jual beras.
2. Penyediaan bibit unggul akan membantu petani dalam menghasilkan kualitas padi yang baik dan jumlah panen yang meningkat, sehingga mampu mendongkrak margin keuntungan petani. Sedangkan bantuan sarana pertanian kepada petani dapat dijadikan insentif yang diharapkan mampu meminimalisir keinginan petani padi dalam mengalihfungsikan lahannya.
3. Perlunya pembangunan jalur irigasi yang mendukung peningkatan produksi padi terutama di daerah-daerah yang belum memiliki saluran irigasi yang memadai sekaligus pemeliharaan jalur irigasi yang telah ada di sentra-sentra produksi padi. Hal ini diperlukan dalam rangka menjaga ketersediaan air yang mendukung peningkatan produksi padi terutama di saat musim kemarau.
4. Alih Fungsi lahan pertanian (khususnya sawah) menjadi lahan perkebunan serta ancaman menyusutnya lahan pertanian akibat komersialisasi lahan sawah misalnya pendirian ruko-ruko, perumahanreal estate, dan sebagainya perlu dibatasi dan diatur dengan baik sehingga pemenuhan kebutuhan stok pangan yang berasal dari dalam Provinsi Aceh minimal dapat dipertahankanditingkatkan. Pengaturan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan perlu diatur dan disusun dalam suatu tata ruang kotaprovinsi yang komprehensif dalam Peraturan Daerah.
5. Perbaikan infrastruktur jalan dan jembatan diperlukan dalam rangka memperlancar kegiatan arus barang keluar masuk Provinsi Aceh, sehingga biaya produksi dan distribusi berada dalam tingkat yang wajar dalam 5. Perbaikan infrastruktur jalan dan jembatan diperlukan dalam rangka memperlancar kegiatan arus barang keluar masuk Provinsi Aceh, sehingga biaya produksi dan distribusi berada dalam tingkat yang wajar dalam