KONSEP-KONSEP KOSMOLOGIS DALAM AL- QUR‟ÂN:
KONSEP-KONSEP KOSMOLOGIS DALAM AL- QUR‟ÂN:
Sebuah Interpretasi
Atas Beberapa Keterangan Kitab Suci
tentang Alam Semesta dan Implikasinya Bagi Manusia
S ALAH satu perkara penting yang banyak dibahas dalam Kitab Suci ialah alam semesta. Firman-firman yang gabungan keseluruhannya menghasilkan suatu sistem pandangan kosmologis Islam itu sedemikian rupa seringnya disebutkan dalam berbagai tempat dalam al- Qur‘ân, sehingga cukup menarik bahwa hal itu
tidak memperoleh perhatian orang-orang Muslim sebanyak, misalnya, masalah- masalah hukum. Meskipun banyak sebab yang masuk akal mengapa hal itu terjadi, namun karena pentingnya persoalan kosmologi itu maka pembahasan- nya pada saat ini dirasakan cukup mendesak. Sebab bukan saja dengan memahami konsep-konsep itu kita akan lebih mampu menangkap makna menyeluruh ajaran agama kita, tetapi juga akan memberi kejelasan lebih baik pada kita tentan g ―peta‖ semesta alam ini dan di mana letak kedudukan kita selaku manusia dalam peta itu.
Kemudian, pada urutannya sendiri, kejelasan tentang ―peta‖ itu tentu akan membantu kita memahami lebih baik situasi zaman kita sekarang, yaitu zaman modern, khususnya berkenaan dengan ilmu-pengetahuan dan teknologi serta dampak positif-negatifnya kepada kehidupan manusia. Misalnya, dengan memahami konsep-konsep kosmologis Islam itu kita berharap dapat melihat apa kemungkinan peranan kita selaku orang-orang Muslim dalam ikut mencari penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan dewasa ini yang sebagian besar adalah akibat adanya pola hidup modern yang bersumber pada ilmu- pengetahuan dan teknologi. Pandangan menyeluruh tentang alam raya itu juga diharapkan memberi kita kemampuan untuk melihat hubungan organik antara berbagai gejala dan kenyataan dalam lingkungan luas kita.
Alam adalah Wujud yang Benar dan Nyata
Yang pertama-tama harus dipahami dengan mantap tentang alam raya ini, sepanjang keterangan yang kita dapatkan dalam al- Qur‘ân, ialah eksistensinya
kkkkkkkkkkkkk kkkkkkkkkkkkk
secara ―main-main‖ ( la„b) 412 dan tidak pula secara ―palsu‖ (bâthil). 413 Sebagai wujud yang benar (haqq), alam raya juga mempunyai wujud yang nyata (hakikat, haqîqah). Oleh karena itu, alam raya bukanlah wujud yang semu maya dan palsu, seperti dalam ungkapan mayapada (dunia yang maya). Sebab pandangan bahwa alam raya adalah palsu atau berwujud semu belaka, tidak nyata, akan dengan sendirinya menghasilkan pandangan bahwa pengalaman hidup (oleh manusia) dalam alam itu adalah juga palsu, tidak nyata. Akibatnya, pengalaman hidup yang palsu (camcara) itu tidak mungkin memberi kebahagiaan hidup kepada manusia; kebahagiaan hidup itu diperoleh hanya dengan melepaskan diri dari dunia maya, yaitu menempuh hidup bertapa, sebagai bentuk hidup kesucian dan kebebasan murni.
Sebaliknya dari yang terakhir itu, al- Qur‘ân mengajarkan pandang-an yang positif-optimis tentang alam. Karena bereksistensi benar dan nyata, semua bentuk pengalaman di dalamnya, termasuk pengalaman hidup manusia, adalah benar dan nyata: ia bisa memberi kebahagiaan atau kesengsaraan dalam kemungkinan yang sama, tergantung kepada si empunya pengalaman hidup sendiri, dalam hal ini manusia, bagaimana menangani pengalaman itu. Karena itu manusia dibenarkan untuk berharap memperoleh kebahagiaan dalam hidup sementara di dunia ini, selain kebahagiaan di akhirat kelak yang lebih besar, kekal dan abadi. 414
411 Q., s. al- Zumar/39:5, ―Khalaqa al-samâwât wa al-ardl bi al-haqq‖ (Dia [Allah] menciptakan langit dan bumi dengan benar). 412
Q., s. al- Anbiyâ‘/21:16, dan s. al-Dukhân/44:38: wa mâ khalaqnâ al-samâwât wa al-ardl wa mâ baynahumâ lâ„ibîn (Dan Kami tidaklah menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya itu secara main-main). 413
Q., s. Shâd/38:27: ―Dan Kami tidaklah menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya itu secara bâthil. Itu adalah persangkaan mereka yang kafir (menolak Kebenaran al-Haqq) saja. Maka celakalah mereka yang kafir itu karena adanya Neraka (bagi mereka). Sebagai lawan haqq, pengertian bâthil adalah terutama palsu, namun juga meliputi kesemuan, kemuspraan dan ketidakindahan. Dan amat menarik untuk diperhatikan betapa dalam firman itu pandangan alam sebagai bâthil adalah pandangan kekafiran. Maka terhadap firman di atas, Yusuf Ali, misalnya, memberi komentar: ―Unbelief is the subjective negation of a belief in Order, Beauty, Purpose and Eternal Life. Unbelief is to Faith as Chaos to Cosmos, as the Fire of Misery is to the Garden of Bliss. ‖ (Kekafiran adalah penolakan subyektif atas keimanan kepada Ketertiban, Keindahan, Makna dan Kehidupan Abadi. Kekafiran dalam hubungannya dengan Iman adalah laksana Kekacauan dalam hubungannya dengan Kosmos [yang harmonis], sama halnya dengan Neraka Kesengsaraan dalam hubungannya dengan Surga Kebahagiaan). 414
Atas dasar pandangan tentang wujud alam yang haqq sebagai wadah dan ling-kungan hidup manusia itu maka kita diajari untuk memohon kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus, dalam do‗a yang amat terkenal, ―Rabbanâ âtinâ fî al-dunyâ hasanah wa fî al-âkhirah hasanah, wa qi-nâ „adzâb al-nâr‖ (baca: Rabbanâ âtinâ fiddunya hasanah, wa fil-âkhirati hasanah, wa qi-nâ adzâban-
lllllllllllll
Karena pandangan kosmologis yang positif-optimis itu maka agama Islam cenderung anti rahbânîyah, yaitu sikap hidup bergaya rahib, sistem kependetaan, monotisisme, dengan gejala sikap hidup menghindar dari dunia atau mengingkari pemenuhan kebutuhan alami dan biologis manusia. 415 Sebaliknya, Islam mengajarkan agar manusia melibatkan diri secara aktif dan positif dalam hidup ini, yaitu sebagai Khalîfah Allah yang bertugas antara lain membuat bumi ini kertaraharja ( ma„mûr, ―makmur‖). Justru nilai seorang ma-nusia diukur dari bagaimana dan seberapa jauh ia melibatkan diri secara aktif dan konstruktif dalam hidup nyata ini, yang salah satu tujuannya ialah memelihara dan meningkatkan mutu hidup bersama. 416
Meskipun demikian, tidaklah berarti dalam Islam tidak ada tempat untuk asketisme (zuhd , ―zuhud‖). Namun hal itu dibenarkan sepanjang ia tidak mengingkari kewajaran alamiah hidup manusia, yang dalam agama Islam kewajaran itu selalu diletakkan dalam lingkup makna ―fithrah‖. 417 Maka pengasingan diri atau „uzlah seperti yang diajarkan oleh al-Ghazâlî dan para pemikir kesufian lain, misalnya, barangkali masih dibenarkan, tetapi sebatas pengasingan diri itu digunakan untuk merenung (tadabbur), berpikir (tafakkur) dan mawas diri (ihtisâb). Yaitu sebagai sua tu ―exercise‖ untuk memahami lebih baik keadaan sekitar, melalui ―disengagement‖ sementara (untuk memperoleh penilaian yang obyektif dan jujur). Semuanya itu harus menuju kepada penemuan jawaban yang sebaik-baiknya atas persoalan bagaimana melibatkan diri secara positif dalam hidup ini, sejalan dengan tujuan hidup itu sendiri.
nâr- ―Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, serta lindungilah kami dari siksa neraka‖ (Q., s. al-Baqarah/2:201). 415
Sebuah sabda Nabi menegaskan bahwa tidak ada sistem kerahiban (rahbânîyah) dalam Islam. Bandingkan ini dengan firman Allah, Q., s. al-H adîd/57:27, ―... dan sistem kerahiban yang mereka ada- 416 adakan….‖
Q., s. Yûnus/10: 14, ―Kemudian Kami (Allah) jadikan kamu sekalian khalifah-khalifah (di) bumi agar Kami perhatikan (nilai) bagaimana kamu bekerja.‖ Juga Q., s. Hûd/11:61, ―... Dia (Tuha n) menumbuhkan kamu dari bumi dan membuat kamu berkembang di dalamnya….‖ Firman-firman ini turun karena sebab-sebab tertentu serta dalam konteks yang khusus. Tetapi, sebagaimana telah menjadi bagian dari metodologi pemahaman Kitab Suci, sebab-sebab tertentu dan konteks khusus itu tidak meng-hilangkan maknanya yang universal, yang berlaku untuk setiap orang dalam setiap zaman dan tempat. Kutipan firman yang pertama menegaskan tanggungjawab manusia dan tuntutan daripadanya untuk terlibat dalam hidup nyata, dan kutipan firman kedua memberi gambaran yang mengarah kepada penegasan bahwa bumi adalah asal kita dan di situlah kita berkembang, karena itu tidak perlu dan tidak dibenarkan ―lari‖ dari bumi yang menjadi lingkungan hidup nyata kita ini. 417
Suatu contoh ten tang hal ini ialah disebutnya ‗berbuka (puasa)‘ sebagai ―ifthâr‖, yang kurang lebih secara etimologis berarti memenuhi fitrah.‖ Maka makan, seperti ber-buka puasa, adalah suatu bagian dari fitrah, jadi bernilai baik dan positif. Ini jelas cermin pandangan Islam yang positif-optimis tentang hidup dengan berbagai kewajaran alami tuntutannya.
mmmmmmmmmmmmm
„Uzlah dalam pengertian itu juga bisa dipandang sebagai suatu bentuk ijtihâd atau, lebih tepat lagi, mujâhadah (usaha sungguh-sungguh, strenuous effort) untuk memahami kebenaran. Dengan memenuhi keharusan akan kejujuran dan ketulusan, tidak mustahil orang yang melakukan mujâhadah itu akan sampai kepada suatu atau beberapa bentuk jalan Tuhan, yakni kebenaran. 418 (Karena itu di kalangan pengamal tarekat kesufian, usaha menggapai suatu bentuk kebenaran itu disebut mujâhadah).
Alam Semesta Sebagai Wujud Berhikmah (Teleologis)
Berasal dari bahasa Yunani, disebutlah segala kejadian atau jagad raya ini sebagai ―kosmos‖, yang berarti ―serasi, harmonis‖. Dan berasal dari bahasa Arab, disebutl
ah sebagai ―alam‖ (âlam) yang satu akar kata dengan ―ilmu‖ ( „ilm, pengetahuan) dan ―alamat‖ ( „alâmah, pertanda). Disebut demikian karena jagad raya ini adalah pertanda adanya Sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. 419
Maka sebagai pertanda adanya Tuhan itu, jagad raya juga disebut sebagai ayat-ayat yang menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia. Salah satu pelajaran dan ajaran yang dapat diambil dari pengamatan terhadap alam semesta ialah keserasian, keharmonisan dan ketertiban. Termasuk makna bahwa alam raya ini diciptakan sebagai haqq, tidak bâthil dan tidak dengan main-main yang mengisyaratkan kemuspraan ( la„b) ialah bahwa alam raya ini tidak dalam keadaan kacau, melainkan tertib dan indah, tanpa cacat. Sebagai sesuatu yang serba baik dan serasi, alam raya adalah juga berhikmah, penuh maksud dan tujuan, tidak sia-sia. Alam raya adalah eksistensi teleologis. Hakikat alam yang penuh hikmah, harmonis dan baik itu mencerminkan hakikat Tuhan, Maha Pencipta, Yang Maha Kasih dan Sayang. 420 Dijelaskan ole h Ismâ‗îl al-Fârûqî,
The nature of the cosmos is teleological, that is, purposive, serving a purpose of its Creator, and doing so out of design. The world has not been created in vain, or in sport. It is not the work of a change, a happenstance. It was created in perfect condition. Everything that
418 Q., s. al- ‗Ankabût/29:69, ―Dan mereka yang ber-mujâhadah (berusaha sungguh-sungguh) menuju Kami maka pastilah akan Kami tunjukkan jalan- 419 jalan Kami….‖
Salah satu keterangan demikian diberikan oleh Maulana Muhammad Ali dalam tafsir- Qur‘ânnya. (Lihat, Qur‟ân Sutji Djarwadalah Tafsiripun [terjemah bahasa Jawa oleh R. Ng.
Djajasugito dan M. Mufti Sharif atas Tafsir al- Qur‘ân Mawlânâ Muham-mad ‗Alî], [Yogyakarta: Gerakan Ahmadiyah Indonesia Aliran Lahore, 19581, h. 9). 420
Q., s. al-Mulk/67:3- 4, ―…engkau tidak menemukan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih itu kekacauan; maka lihatlah kembali, apakah engkau dapatkan suatu cacat apa pun? Kemudian
ulangilah melihatnya dua kali, maka penglihatanmu akan kembali kepadamu dalam keadaan letih serta putus asa.‖
nnnnnnnnnnnnn nnnnnnnnnnnnn
e world indeed is indeed a ―cosmos‖, an orderly creation, not a ―chaos‖. 421
Hakikat kosmos adalah teleologis, yakni penuh maksud, memenuhi maksud Penciptanya, dan kosmos bersifat demikian adalah karena adanya rancangan. Alam tidaklah diciptakan secara sia-sia, atau secara main-main. Alam bukanlah hasil suatu kebetulan, suatu ketidak- sengajaan. Alam diciptakan dalam kondisi sempurna. Semua yang ada ini begitu keadaannya dalam yang sesuai baginya dan memenuhi suatu tujuan universal. Alam ini adalah benar- benar suatu ―kosmos‖, kreasi yang tertib, bukan suatu ―chaos‖ (kekacauan).
Disebabkan sifatnya yang penuh maksud, maka studi tentang alam dan penelitiannya akan membimbing seseorang kepada kesimpulan positif dan sikap penuh apresiasi kepadanya. Ini dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai ciri utama orang-orang berakal budi, yang menyadari akan makna alam raya sebagai ayat- ayat Tuhan, dalam firman,
وأ تايآ راه لاو ليللا فاتخاو ضرأا و تاوامسلا قلخ نإ نورّكفتيو مهو ج ىلعو ادوعقو امايق ها نوركذي نيذلا بابلأا ا قف كناحبس اطاب اذ تقلخ ام اّبر ضرأاو تاوامسلا قلخ ) 192 - 190 : 3 / نارمع لآ ( را لا باذع
Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi (jagad raya) pastilah terdapat ayat-ayat bagi mereka yang berakal budi. Yaitu mereka yang selalu ingat kepada Allah, baik pada saat berdiri, saat duduk, maupun saat berada pada lambung-lambung mereka (berbaring), lagi pula memikirkan kejadian seluruh langit dan bumi ini, (seraya berkata), ―Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini semua secara batil. Maha Suci Engkau. Maka lindungilah kami dari azab neraka‖. 422
Patut diperhatikan betapa seruan kepada Allah sebagai Pencipta yang serba bertujuan itu diakhiri dengan do‗a semoga terhindar dari azab neraka. Dari konteks itu, dapatlah disimpulkan bahwa pandangan yang tidak melihat hikmah alam raya ini, yang merupakan akibat pandangan bahwa Tuhan menciptakannya secara bâthil, adalah salah satu sebab kesulitan hidup manusia dan kesengsaraannya di akhirat. Sebab dengan sendirinya pandangan seperti itu adalah suatu pesimisme terhadap alam raya.
Ismâ‗îl dan Lois Lamya‘ al-Fârûqî, The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan Pub. Co., 1986), h. 74. 422 Q., s. Â lu ‗Imrân/3:190-191.
ooooooooooooo