Keterbukaan, Saling Menghargai, dan Toleransi

Keterbukaan, Saling Menghargai, dan Toleransi

Seperti telah diuraikan di atas, dikemukakan suatu kenyataan bahwa seluruh Dunia Islam, kecuali kompleks Tanah Suci Makkah-Madînah, mengenal kelompok-kelompok minoritas bukan-Muslim yang penting. Kaum minoritas itu merupakan bukti hidup tentang adanya keterbukaan, sikap saling menghargai, dan toleransi orang-orang Muslim sejak zaman klasik sampai sekarang. Orang-orang Muslim, sebagaimana nampak jelas dari ajaran agamanya (yang murni), adalah pengemban tugas sebagai ―mediator‖ atau penengah (Arab: طيسو ; Indonesia: wasit) antara berbagai kelompok umat manusia, dan diharapkan untuk menjadi saksi yang adil dan fair dalam hubungan antarkelompok itu. Inilah yang mendorong kaum Muslim klasik bersikap demikian terbuka dan inklusif, se-hingga dalam bertindak selaku pemegang kekuasaan mereka selalu bersikap ―ngemong‖ terhadap golongan-golongan lain. Berkenaan dengan keterbukaan kaum Muslim ini, menarik untuk menilik kutipan panjang berikut, yang merupakan pengamatan Max I Di-mont, seorang ahli sejarah Yahudi dalam masyarakat Islam klasik:

Tatkala kaum Yahudi menghadapi masyarakat terbuka dunia Islam, mereka adalah kelompok manusia yang telah berumur 2,500 tahun... Bagi kaum Yahudi tidak ada yang lebih terasa asing daripada peradaban Islam yang fantastis, yang muncul dari debu padang pasir pada abad ketujuh. Tapi juga tidak ada sesuatu yang lebih mirip. Meskipun Islam mewakili suatu peradaban baru, suatu agama baru, dan suatu lingkungan

303 Lihat Q., s. al- Anbiyâ‘/21:25: ―Dan Kami tidak pernah mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tiada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku saja.‖

304 Abd Hamid Hakim, h. 48.

nnnnnnnnnn nnnnnnnnnn

Kita kemukakan kutipan panjang itu untuk memberi gambaran tentang betapa terbukanya masyarakat Islam klasik, sehingga kaum Yahudi, suatu kelompok Ahli Kitab yang sering dibacakan dalam al- Qur‘ân dengan nada sumbang, ikut menikmati peradaban Islam itu. Selain Dimont, ahli-ahli

305 When the Jews confront the open society of the Islamic world, they are 2,500 years old as people...

Nothing could civilization that rose out of the desert dust in the seventh century. Yet nothing could have been more the same. Though it represented a new civilization, a new religion, and a new social milieu built on new economic foundations, it resembled the packaged ―intellectual pleasure principle‖ presented to the doors of Hellenistic society to them. Now Islamic society opened the doors of its mosques, its schools, and its bedrooms for conversion, education, and assimilation. The challenge for the Jews was how to swim in this scented civilization without drowning, or in the language of modern sociology, how to enjoy the somatic, intellectual, and spiritual conforts offered by the dominant majority without disappearing as a marginal minority.

The Jews did what came naturally. They fired the old scriptwriters and hired a new set of specialists. Instead of rejecting the Muslim civilization, they accepted it. Instead of keeping themselves apart, they integrated. Instead of becoming parochialized fossils, they joined the new swinging society as sustaining members. Arabic became their mother tongue; wine, women, and secular songs their partime avocations; philosophy, mathematics, astronomy, diplomacy, medicine, and literature, their full-time avocations. The Jews never had it so good. (Max I Dimont, The Indestructible Jews, New York: New American Library, 1973, hh. 189-190).

oooooooooo oooooooooo

Bagi mereka yang benar- benar paham ―Api‖ Islam, apa yang dilukiskan oleh Dimont itu tidaklah terdengar aneh. Pasalnya, sebagai misi Nabi Muhammad, Islam merupakan rahmat untuk sekalian alam. Maka dalam pergaulan dengan kaum agama lain, kaum Muslim diberi petunjuk Allah untuk bertindak penuh kebaikan dan keadilan, asalkan mereka tidak zalim:

م وّلوت نأ مكجارخإ ىلع اور اظو مكرايد نم مكوجرخأو نيدلا مكولتاقي ) 9 - 8 : 60 / ة حتم ا ( نو اظلا م كئلوأف مّوتي نمو

Allah tidak melarang kamu berkenaan dengan mereka (golongan lain) yang tidak memerangi kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu dari negeri-negerimu – untuk berbuat baik kepada mereka itu dan berlaku adil terhadap mereka. Sungguh Allah cinta kepada mereka yang berlaku adil. Allah hanyalah melarang – berkenaan dengan mereka yang memerangi kamu dalam agama dan mengeluarkan kamu dari negeri-negeri kamu serta yang bekerja sama untuk mengusir kamu –untuk bersahabat dengan mereka. Karena itu barangsiapa bersahabat dengan mereka, maka orang-orang itulah para pelaku kezaliman. 306

Yusuf Ali menjelaskan semangat firman itu sebagai berikut:

Bahkan dengan kaum kafir pun, kecuali jika mereka congkak dan berusaha menghancurkan kita dan iman kita, kita harus bertindak secara baik dan adil, sebagaimana ditunjukkan oleh teladan Nabi besar kita sendiri. 307

Sejalan dengan itu, Allah berpesan kepada kaum beriman untuk tidak melibatkan diri dalam perbantahan tidak sehat dengan kaum Ahli Kitab kecuali, dengan sendirinya, jika mereka bertindak agresif:

306 Q., s. al-Mumtahanah/60:8-9. 307 Even with unbelievers, unless they are rampant and out to destroy us and our Faith, we

should deal kindly and equitably, as is shown by our holy Prophet‘s own example. (A. Yusuf Ali, h. 1534, cat. 5421).

pppppppppp

Dan janganlah berbantah dengan para Ahl al-Kitâb melainkan dengan cara yang sebaik-baiknya, kecuali terhadap yang zalim dari mereka; dan nyatakanlah, ―Kami beriman kepada yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu, dan Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu (sama), dan kita semua berserah diri (muslimûn) kepada-Nya .‖ 308

Prinsip-prinsip di atas itulah yang dalu mendasari berbagai kebijakan politik kebebasan beragama dalam Dunia Islam. Prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam Islam klasik itu memiliki kesamaan, pada tingkat tertentu, dengan prinsip-prinsip yang ada di zaman modern ini. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan kebebasan beragama di zaman modern adalah pengembangan lebih lanjut yang konsisten dengan yang ada dalam Islam klasik. Contoh kebebasan agama dalam masyarakat Islam klasik itu dicerminkan dalam sebuah perjanjian yang dibuat oleh ‗Umar Ibn al-Khaththâb dengan penduduk Yerusalem atau Bayt Maqdis, al-Quds (juga disebut Aelia), setelah kota suci itu dibebaskan oleh tentara Muslim. Terjemahan lengkap perjanjian itu sebagai berikut:

Dengan nama Allah Yang Maha Esa Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah jaminan keamanan yang diberikan ‗Abdullâh, ‗Umar, Amîr al- Mu‘minîn kepada penduduk Aelia: Ia menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya; serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu. Dan di Aelia tidak seorang Yahudi pun boleh tinggal bersama mereka. Atas penduduk Aelia diwajibkan membayar jizyah sebagai jizyah itu dibayar oleh penduduk kota-kota yang lain (di Syria). Mereka berke- wajiban mengeluarkan orang-orang Romawi dan kaum al-Lashût dari Aelia. Tetapi jika dari mereka (orang-orang Romawi) ada keluar (meninggalkan Aelia) maka ia (dijamin) aman dalam jiwa dan hartanya sampai tiba di daerah keamanan mereka (Romawi). Dan jika ada yang mau tinggal, maka ia pun dijamin aman. Dia berkewajiban membayar jizyah seperti kewajiban penduduk Aelia. Dan jika ada dari kalangan penduduk Aelia yang lebih senang untuk menggabungkan diri dan hartanya dengan Romawi, serta meninggalkan gereja-gereja dan salib- salib mereka, maka keamanan mereka dijamin berkenaan dengan jiwa mereka, gereja mereka dan salib-salib mereka, sampai mereka tiba di daerah keamanan mereka sendiri (Romawi). Dan siapa saja yang telah

308 Q., s. al- ‗Ankabût/29:46.

qqqqqqqqqq qqqqqqqqqq

Sesungguhnya perjanjian ‗Umar dengan penduduk Yerusalem itu konsisten dengan semangat perjanjian serupa yang dibuat Rasulullah s.a.w. untuk penduduk Madînah, termasuk kaum Yahudi, segera setelah beliau tiba dari Makkah dalam Hijrah. Perjanjian yang kemudian terkenal dengan Piagam Madînah itu sangat dikagumi para sarjana modern, karena merupa-kan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan ber-agama dan berusaha (ekonomi). 310 Lebih jauh, Nabi juga membuat perjanjian tersendiri yang menjamin kebebasan dan keamanan kaum Kristen di mana saja, sepanjang masa. Untuk memperoleh sekedar gambaran, di bawah ini dikemukakan terjemahan bagian pertama perjanjian jaminan Nabi itu:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dan dengan Dialah segala pertolongan. Naskah catatan perjanjian, ditulis oleh Muh ammad Ibn ‗Abdullâh, Utusan Allah, s.a.w. Untuk seluruh kaum Nasrani, Inilah dokumen yang dibuat oleh Muh ammad Ibn ‗Abdullâh untuk seluruh umat manusia, sebagai pembawa kabar gembira dan peringat-an, dan sebagai pemegang titipan Allah untuk makhluk-Nya agar tidak lagi pada manusia ada alasan terhadap Allah setelah (kedatangan) para rasul, dan Allah adalah Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Ditulis untuk para pemeluk agamanya (Islam) dan sekalian orang yang menganut agama Nasrani dari belahan timur maupun barat dunia, yang

309 Lihat, Muhammad Hamîdullâh, Majmû„at al-Watsâ‟iq al-Siyâsîyah li al-„Ahd al-Nabawî wa al- Khilâfat al-Râsyidah (Kumpulan Dokumen-dokumen politik pada masa Nabi dan al- Khulafâ‟ al- Râsyidûn) Beirut: Dâr al-Irsyâd, 1969), hh. 379-380 (dokumen 357).

310 Banyak kitab yang memuat Piagam Madînah itu selengkapnya. Terjemah-an Inggrisnya dapat dibaca dalam W. Montgomery Watt, Muhammad at Madina (Oxford, England: The

Clarendon Press, 1977), hh. 221-225.

rrrrrrrrrr

dekat maupun yang jauh, yang fashîh (berbahasa Arab) maupun yang „ajm (berbahasa bukan Arab), yang dikenal maupun yang tidak dikenal, suatu dokumen yang dibuat olehnya (Nabi) bagi mereka (kaum Nasrani) sebagai perjanjian. Maka barangsiapa melanggar perjanjian yang ada di dalam-nya dan menyelewengkannya ke arah yang lain serta mengabaikan apa yang diperintahkannya, maka ia telah melang-gar perjanjian Allah, melawan piagam-Nya, menghina agama-Nya, dan mengakibatkan laknat bagi-nya, baik ia itu seorang penguasa atau bukan dari kalangan kaum Muslim dan Mukmin. Jika seorang pendeta atau pejalan berlindung di gunung atau lembah atau gua atau bangunan atau dataran raml atau radnah (?) atau gereja, maka aku (Nabi) adalah pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka demi jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nasrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku. Aku melindungi mereka dari perlakuan yang menyakiti menurut kewajiban yang dibebankan kepada pendukung perjanjian ini, yaitu membayar pajak (kharâj), kecuali mereka yang tenang jiwanya (karena alasan yang benar untuk tidak membayar pajak). Pada mereka (kaum Nasrani) itu tidak dibenarkan adanya dorongan atau pemaksaan atas sesuatu apa pun dari itu semua. Atap (bangunan) mereka juga tidak boleh diubah, begitu pula sistem kerahibannya, juga ruang semedi dari biara-biaranya, ataupun halaman-halamannya. Dan tidak satu pun bangunan dalam lingkungan kanîsah dan gereja mereka yang boleh dirusak, begitu pula tidak dibenarkan harta gereja itu yang masuk untuk membangun masjid atau rumah orang-orang Muslim. Barangsiapa melakukan hal itu maka ia sungguh telah melanggar perjanjian Allah dan melawan Rasul- Nya .… 311

Begitulah Rasulullah s.a.w. —seperti dikatakan Yusuf Ali—memberi contoh tentang bagaimana mewujudkan dalam kehidupan nyata salah satu cita- cita Islam, yaitu persaudaraan umat manusia dalam iman kepada Allah, Tuhan Maha Pencipta. Kaum Muslim, seperti sudah diutarakan di atas, berkewajiban membawa sebanyak mungkin manusia ke jalan Allah, demi lebih terjaminnya cita-cita tersebut. Namun justru karena segala tindakan harus sejalan dengan jiwa dan semangat cita-cita persaudaraan itu sendiri, maka Allah sendiri memperingatkan kepada Nabi dan semua kaum beriman bahwa memaksa orang lain untuk menerima kebenaran adalah hal yang salah. 312 Kaum beriman

311 Muhammad Hamîdullâh, hh. 414-415. 312 Lihat, Q., s. al-Baqarah/2:256 dan Q., s. Yûnus/10:99.

ssssssssss ssssssssss

313 Lihat Q., s. al- Mâ‘idah/5:48. Tantangan karena pluralitas ialah berlomba menuju kepada

berbagai kebaikan ( تار ا اوقبتساف ).

tttttttttt

uuuuuuuuuu