Ilmu Pengetahuan dan Mitologi

Ilmu Pengetahuan dan Mitologi

Kembali sejenak ke soal mitologi, Campbell mengutip para ahli psiko- logi bahwa kepercayaan, mitologi, bahkan ilusi, diperlukan manusia untuk sandaran hidupnya. Tetapi Campbell juga mengingatkan de-ngan tegas bahwa karena mitologi itu pada dasarnya palsu maka ia tidak akan bertahan terhadap gempuran ilmu pengetahuan. Dan nilai yang dito- pangnya pun runtuh, dengan akibat kerusakan luar biasa gawatnya pada peradaban masyarakat bersangkutan. Dan dampak ilmu pengetahuan modern dalam menghancurkan mitos-mitos dan tabu-tabu sungguh tak mungkin dibendung, dengan akibat krisis nilai yang hebat, yang kini menggejala di dunia. Kata Campbell, melukiskan situasi yang gawat ini dan tanda tanya besar baginya tentang bagaimana mengatasinya.

Kita telah menyaksikan apa yang telah terjadi, misalnya, pada masya-rakat- masyarakat primitif yang tergoyahkan oleh peradaban kulit putih. Dengan tabu- tabu mereka yang kehilangan makna, mereka segera berantakan berkeping- keping, mengalami disintegrasi, dan menjadi tempat berkecamuknya kejahatan dan penyakit. Hari ini hal serupa sedang terjadi pada diri kita sendiri. Dengan berbagai tabu yang berdasarkan mitologi tergoyahkan oleh ilmu pengetahuan

oo oo

Di negara- negara maju (―dunia beradab‖, kata Campbell), agama yang dominan adalah agama Kristen, kecuali Jepang yang didominasi oleh Shintoisme-Taoisme-Budhisme. Sepanjang ajaran Islam, agama Kristen adalah pendahulu agama Islam, dan kedatangan agama Islam adalah untuk meneguhkan kebenaran agama yang mendahuluinya itu. Karena itu pandangan Islam terhadap agama Kristen, dalam al- Qur‘ân, adalah sangat simpatik dan positif. Ini sudah menjadi pengetahuan luas kalangan mereka yang memperhatikan kedua agama itu. Tetapi juga tidak dapat diingkari, Kitab Suci Islam sangat kritis kepada konsep keilahian ‗Îsâ al-Masîh oleh kaum Kristen. Dari sudut ajaran Islam, di sinilah letak persoalan agama Kristen, sehingga di zaman modern ini dikhawatirkan akan tidak dapat bertahan terhadap gempuran ilmu pe-ngetahuan. Sudah sejak Nietzsche mengumumkan bahwa Tuhan sudah mati, tanda-tanda terjadinya hal yang dikuatirkan itu sudah muncul. Seperti dikutip oleh Martin Heidegger, Nietzsche mengatakan dalam sebuah tulisannya demikian: ―The greatest recent event that „God is dead‟, that the belief in the Christian god has become unbilievable is already beginning to cast its shadows over Europe ‖. (Kejadian paling akhir bahwa ‗Tuhan telah mati‘, bahwa kepercayaan kepada Tuhannya Kristen menjadi tidak bisa dipertahankan lagi sudah mulai mem-bayangi seluruh Eropa). (Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, New York, 1977, h. 60).

Oleh karena itu, dalam peralihan zaman yang serba kritis ini, sangat relevan mengingat kembali pujangga Islam modern terkenal, Dr. Muhammad Iqbâl, berkenaan dengan seruannya agar orang-orang Muslim, khususnya kaum muda, menerima kemodernan sebagai milik sendiri yang pernah hilang. Tidak perlu lagi dikatakan bahwa umat Islam

pp pp

Lebih dari itu, jika benar penilaian yang sangat memberi harapan dari Dermenghem bahwa Islam adalah agama kemanusiaan terbuka (open humanism) dan agama terbuka (open religion) dan dapat menjadi agama masa depan manusia modern (Lihat Emile Dermenghem, Muhammad and the Islamic Tradition, New York, 1981, h. 87), maka umat Islam juga harus menyiapkan diri untuk hal tersebut, karena dapat berarti peranan besar dan langsung dalam usaha bersama menyelamatkan umat manusia dan kemanusiaan. Maka umat Islam harus kembali percaya sepenuhnya kepada kemanusiaan. Dan sebelum itu, sebagai landasannya, umat Islam harus kembali menangkap semangat (atau ―api‖ kata Bung Karno) dari ajaran Islam, yang dipadatkan dalam makna syahadat: Tidak ada tuhan selain Tuhan itu sendiri, yaitu (dalam bahasa Arab al-ilâh, yang menurut banyak ahli kemudian menjadi al-Lâh, yaitu Allâh, menurut konvensi penulisannya dalam huruf Latin). Dan Dia, Tuhan yang sebenarnya (The God) itu adalah Maha Esa, tempat bersandar semua yang ada, dan tidak bersifat seperti manusia, yang tak terjangkau dan tak sebanding dengan apa pun jua (tidak mitologis) (Q., s. al-Ikhlâsh/112:1-4). Tuhan yang sebenarnya, yang harus dihayati sebagai Yang Maha Hadir dalam hidup ini, dan yang senantiasa mengawasi gerak langkah kita (Q., s. al- Hadîd/57:4, dan Q., s. al-Mujâdalah/58:7). Tuhan yang sebenarnya, yang perkenan atau ridlâ-Nya harus dijadikan orientasi hidup dalam bimbingan hati nurani yang sesuci-sucinya mengikuti jalan yang lurus (Q., s. al- Ra‗d/13:17 dan Q., s. al-Layl/92:20). Tuhan yang sebenarnya, yang merupakan asal dan tujuan (sangkan paran) hidup manusia dan seluruh yang ada, yaitu makna ayat dari Kitab Suci: ―Sesungguhnya kita dari Allah, dan sesungguhnya kita bakal kembali kepada-Nya ‖ (Q., s. al-Baqarah/2:156).

Kalimat syahadat atau persaksian yang pertama itu mengandung apa yang secara termasyhur dikenal sebagai rumusan al-nafy wa al-itsbât (peniadaan dan peneguhan, negasi dan konfirmasi). Dengan negasi itu kita membebas-kan diri dari setiap keyakinan mitologis yang palsu dan membelenggu serta merenggut martabat kemanusiaan kita sebagai makhluk Allah yang paling tinggi. Dan dengan konfirmasi itu kita tetap menyatakan percaya kepada wujud Maha Tinggi yang sebenarnya. Islam tidak mengharap seluruh umat manusia tanpa kecuali akan mene-rima

qq qq