Iman, Ilmu dan Amal
Iman, Ilmu dan Amal
Suatu sistem ajaran, termasuk agama, tidak akan berfaedah dan tidak akan membawa perbaikan hidup yang dijanjikannya jika tidak dilaksa- nakan. Dari sudut pengertian inilah antara lain kita harus memahami peringatan dalam Kitab Suci bahwa sungguh besar dosanya di sisi Allah jika kita mengatakan sesuatu (termasuk mengatakan menganut sistem ajaran tertentu) namun tidak melaksanakannya (Q., s. al-Shaff/61:3). Maka Islam yang menjanjikan kebahagiaan dunia dan akhirat akan sepenuhnya mewujudkan janji itu hanya jika sepenuhnya dilaksanakan. Tentu saja kemampuan manusia melaksanakan suatu ajaran tergantung kepada keadaan masing-masing. Sejarah menunjuk-kan tidak adanya suatu masa atau periode pelaksanaan Islam dalam masyarakat yang bebas samasekali dari kekurangan, termasuk dalam masalah yang disebut ―Zaman Keemasan‖. Penglihatan ini mendapatkan landasannya dalam Kitab Suci, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah yang memerintahkan kita untuk bertaqwa kepada- Nya ―sedapat mungkin‖ (Q., s. al-Taghâbun/64:16), dan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesu-ai dengan kemampuannya (Q., s. al-Baqarah/2:286). Oleh karena itu yang menjadi perhitungan tentang amal perbuatan manusia ialah timbangan mana yang lebih berat, kebaikannya ataukah kejahatannya (Q., s. al- Qâri‗ah/101:6-9).
Tetapi justru dalam pengertian ―sedapat mungkin‖ dan ―sesuai dengan kemampuan‖ tersebut terdapat pesan agar manusia, dalam
rr rr
Suatu ijtihâd untuk melaksanakan suatu ajaran, bagaimana pun akan melibatkan kemestian mengetahui secara tepat lingkungan sosial untuk melaksanakan suatu ajaran, bagaimana pun akan melibatkan kemestian mengetahui secara tepat lingkungan sosial budaya tempat ajaran itu hendak dilaksanakan. Sudah tentu pertama-tama diperlukan adanya pengetahuan yang tepat tentang ajaran itu sendiri. Sebab pengetahuan yang tidak tepat tentang ajaran akan dengan sendirinya mengakibatkan pelaksanaannya yang tidak tepat pula, sehingga akan menjadi sumber kesalahan dan kekeliruan prinsipil. Namun pengetahuan yang tepat tentang ajaran tidak menjamin pelaksanaan yang tepat. Pada tingkat pelaksanaan itu diperlukan pengetahuan yang tepat tentang lingkungan sosial budaya yang bersangkutan, dengan memahami pula tuntutan- tuntutan spesifiknya dan restriksi-restriksi yang diakibatkannya. Tanpa pengetahuan dan pemahaman serupa itu, setiap usaha pelaksanaan ajaran akan terjerembab ke dalam normatifisme, yaitu sikap berpikir menurut apa yang seharusnya, kurang menurut apa yang mungkin. Paling untung, normatifisme serupa itu akan mengakibatkan sikap-sikap dan tuntutan tidak realistis. Tetapi normatifisme dapat berakibat jauh lebih buruk daripada itu. Dalam gabungannya dengan kekecewaan demi kekecewaan dan kejengkelan demi kejengkelan akibat rentetan kegagalan mencoba melaksana-kan ajaran-ajaran yang diyakininya yang kegagalan itu justru disebabkan oleh sikap-sikap dan tuntutan-tuntutan yang tidak realistis itu sendiri maka normatifisme akan dengan mudah mendorong orang ke arah sikap mental perasaan kalah dan putus asa (yang sering mengendap ke bawah sadar), nor-matifisme akan menjerumuskan orang ke arah tindakan-tindakan destruktif.
ss
Karena itu, sepanjang ajaran al- Qur‘ân, jaminan keunggulan dan superioritas, termasuk kemenangan dan kesuksesan, akan dikaruniakan Allah kepada mereka yang beriman dan berilmu (Q., s. al-Mujâdalah/ 58:11). Beriman, dalam arti mempunyai orientasi Ketuhanan dalam hidupnya, dengan menjadikan perkenan Tuhan sebagai tujuan segala kegiatannya. Dan berilmu, berarti mengerti ajaran secara benar, dan memahami lingkungan hidup di mana dia akan berkiprah, sosial-budaya dan fisik, seperti ilmu yang dikaruniakan Tuhan kepada Âdam sebagai bekal mengemban tugal mengem-ban tugas kekhalifahan di bumi, dan yang menjadi faktor keunggulannya atas para Malaikat (Q., s. al- Baqarah/2:31). Iman saja memang cukup untuk membuat orang berkiblat kepada kebaikan, dan mempunyai ―itikad baik‖. Tapi iman tidak melengkapinya dengan kecakapan dalam bagaimana melaksanakan semuanya itu, jadi tidak menjamin kesuksesan, ilmu saja, mungkin membuat orang cakap berbuat nyata. Namun tanpa bimbingan iman, justru ilmunya itu akan membuatnya celaka, lebih celaka dari pada orang lain yang tidak berilmu. Maka Nabi bersabda: ―Barangsiapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia tidak bertambah apa- apa kecuali semakin jauh saja dari Allah‖