Buku-Buku Kontroversial di Surabaya

B.2.2. Buku-Buku Radikal ( Tuduhan Bid’ah dan Syirik)

Salah satu penulis lain yang buku-bukunya sempat menimbulkan keresahan warga masyarakat adalah Mahrus Ali. Penulis ini berdomisili di Sidoarjo. Selama ini, buku- bukunya banyak menyinggung kelompok tertentu terkait dengan amalan ibadah yang dipraktikkan oleh kelompok tersebut. Lebih menghebohkan lagi karena ia membuat predikat dirinya dalam cover bukunya selalu dengan sebutan “Mantan Kyai NU”. Buku- bukunya dengan judul yang menghebohkan antara lain, “Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik”, “Mantan Kyai NU Membongkar Praktik Syirik Kiai, Habib dan Gus Ahli Bid’ah”, “Amaliyah Sesat di Bulan Ramadhan (Kesyirikan Ngalap Berkah Kubur, Ruwahan, Megengan, dan Kesesatan Dzikir Berjamaah di Sela- Sela Shalat Tarawih)”, dan lain-lain. Buku-bukunya diterbitkan oleh Penerbit Laa Tasyuk! Press, Surabaya.

Penulis ini sebenarnya telah menawarkan ke sebuah penerbit besar di Surabaya, penerbit Bina Ilmu, namun penerbit tersebut menolak begitu mengetahui isi dari buku tersebut. Pertimbangannya karena menghindari dampak di masyarakat. Akhirnya diterbitkan oleh penerbit La Tasyuk Press yang dianggap memiliki kesamaan pemahaman

dengan Mahrus Ali. 38 Mahrus Ali diketahui pernah belajar di Pesantren Langitan Tuban, di bawah

pengasuhan alm. KH. Abdullah Fakih. Setelah itu, ia melanjutkan studi di Mekah selama beberapa tahun. Perubahan sikapnya itu ia tunjukkan sekembalinya dari belajar di Mekah

37 Wawancara dengan Sirojul Arifin (Kepala Perpustakaa IAIN Sunan Ampel Surabaya), tanggal 27 Oktober 2013.

38 Wawancara Abdul Muiz Nahari. Ibid.

ini. Ia termasuk penulis yang produktif. Sebelum bukunya diterbitkan ia telah menyiapkan

70 naskah buku. Buku-buku Mahrus Ali menjadi masalah karena ia menggunakan sebutan “Mantan

Kyai NU ”. Kontan istilah ini menimbulkan gejolak karena menyinggung kelompok nahdliyyin. Setelah didesak, ia mengaku ternyata sebutan itu datang dari pihak penerbit,

dan bukan dirinya. 39 Penulis ini juga mempunyai jamaah yang disebutnya Daarul Quran. Berbeda

dengan kebanyakan kaum Muslim, sholat berjamaah di jamaah ini berlantaikan tanah. Musholla yang dulunya diberi ubin, ubinnya pun dikelupas. Sholat pun memakai sandal. Alasannya, praktik ini mengikuti Rasulullah.

Pada awal kemunculan buku itu, sekitar tahun 2008 ia pernah dipanggil ke almamaternya, yaitu Pesantren Langitan, Tuban, untuk mempertanggung jawabkan keyakinannya yang telah berubah. Begitu pula, forum diskusi bedah bukunya disiapkan oleh IAIN Sunan Ampel Surabaya. Namun, pada hari yang ditentukan, Mahrus Ali tidak datang ke acara bedah buku tersebut. Kepada panitia, ia minta jaminan uang 3 miliar dan juga pengawalan satu kompi CPM dan satu truk polisi. Permintaan ini dianggap mengada-

ada oleh pihak panitia bedah buku tersebut. 40 Selain di IAIN Sunan Kalijaga, Universitas Brawijaya juga mengundangnya untuk bedah buku, namun lagi-lagi ia tidak bersedia

datang. Waktu acara bedah bukunya di IAIN Sunan Ampel, penyelenggaranya adalah Pusat

Pengembangan Intelektual (P2I) Pascasarjana IAIN Sunan Ampel. Ahmad Zahro, pimpinan pascasarjana saat itu sangat mendukung diadakannya bedah buku tersebut. Alasan paling kuat karena buku itu sudah meresahkan masyarakat dan layak diangkat dalam forum akademik. Saat itu juga, anak-anak muda Anshor sudah siap mengambil aksi dengan menggrebek rumah Mahrus Ali. Namun banyak kyai moderat yang melarang. Kyai-yyai itu mengatakan, bahwa buku harus dibalas dengan buku.

Mahrus Ali adalah pribadi yang temperamental sekaligus konsisten dalam keyakinannya. Ia juga terkenal loman, suka memberi sesuatu kepada orang lain, terutama pengikutnya. Meski ia mengikuti istrinya di wilayah itu, namun keluarga istrinya adalah keluarga terpandang. Ayah mertuanya adalah murid Hadratussyaikh Hasyim Asyari. Kakak

iparnya, Kyai Hasyim juga tokoh NU di daerah Sidoarjo. 41 Menurut penurutan salah seorang informan yang mengenalnya secara dekat, penulis ini mempunyai 16 anak dari perkawinan dengan istrinya selama 18 tahun. 42

39 Wawancara dengan Abdurrahman Nafis, Pengurus PWNU Jawa Timur, 8 Oktober 2013. 40 Wawancara dengan Aldo Usman Maulana (Ketua panitia bedah buku), tanggal 8 Oktober 2013. Lih.

“Me geruk U tu g Di Balik Retak ya U at, Majalah AULA, Ju i 2008. 41 Aula, Ibid.

42 Wawancara dengan salah satu informan, tanggal 7 Oktober 2013. Nama ada pada penulis.

Menyikapi tindakan Mahrus Ali seperti itu, pengurus PWNU Jawa Timur, pihak yang sepantasnya terusik dengan sebutan Mantan Kyai NU yang melekat pada Mahrus Ali tidak pernah mempersoalkan.

“Bukunya sudah dijawab dengan buku oleh LBM Bahsul Masail PCNU Jember. Dia diajak debat juga tidak mau datang. Bahkan untuk supaya hadir, pura- pura diundang musholla di dekat rumahnya di Tambak Sumur (Waru, Sidoarjo) juga tidak hadir. Padahal teman-teman sudah siap berdebat. Kalau membaca buku Mahrus Ali harus diimbangi dengan buku dari LBM itu. Jadi supaya berimbang.

Baca Mahrus Ali bisa terpengaruh kalau penge 43 tahuan agamanya tidak cukup”.

Lagi pula, buku-buku Mahrus Ali hanyalah jiplakan dari buku-buku yang banyak beredar di Arab Saudi. Informan ini malah mencurigai ada dana besar dari asing di balik keberanian Mahrus Ali dan penerbitnya menerbitkan buku seperti itu. Ketika diminta keterangan lebih lanjut mengenai kemungkinan dana asing ini, informan yang juga alumni Mekkah ini mengelak.

Reaksi PWNU Jawa Timur sendiri tidak terlalu risau dengan tulisan seperti seperti yang disusun Mahrus Ali. PWNU Jawa Timur berpandangan tidak perlu ada sikap resmi karena penulis juga tidak resmi membawa lembaga. Apa yang ditulis oleh Mahrus Ali, mantan Kyai NU, itu juga dianggap hanya mengulang perdebatan lama. Selain itu, juga sudah dijawab oleh Lembaga Bahsul Masail Jember yang menulis sanggahan terhadap serangan Mahrus Ali. Adapun buku Agus Mustofa juga sudah dijawab oleh penulis dari

Pesantren Sidogiri. 44

Pihak PWNU sendiri selain mendirikan TV9 juga mendirikan Aswaja NU centre. Lembaga ini untuk membentengi paham aswaja versi NU yang belakangan banyak dijadikan sasaran penyesatan dari beberapa kelompok. Program riil dari lembaga ini adalah melakukan training dai-dai tentang aswaja dan sudah melakukan kegiatan itu di kota-kota di Jawa Timur.

Ditambahkan bahwa ajaran Mahrus Ali itu tidak akan berkembang. Alasannya karena pertama, Mahrus Ali bukanlah asli orang situ. Jamaahnya juga kebanyakan pendatang, buruh pabrik di sekitar tempat tinggalnya. Hanya 3 atau empat orang asli situ. Kedua, ajarannya terlalu berat untuk diamalkan. Misalnya sholat berjamaah di tanah, di mushollanya yang bekas dicabuti keramiknya, berlangsung lama. Adalah sungguh menyiksa dengan melakukan amalan semacam itu. Ketiga, juga larangan dia memakan telur dan ayam. Alasannya memutus mata rantai kehidupan. Ada yang menyebut karena

tidak ada di jaman Rasulullah. 45

43 Wawancara dengan Abdurrahman Navis (pengurus PWNU Jawa Timur), tanggal 8 Oktober 2013 44 Wawancara dengan Abdurrahman Navis, Ibid.

45 Wawancara dengan Subhan, Pimred Majalah Aula, 8 Oktober 2013.

Buku-buku lain yang mengandung pemahaman radikal juga berbedar di toko-toko buku di Surabaya. Di toko buku Toga Mas misalya, ditemukan buku-buku yang tergolong radikal dari segi judul, seperti terjemahan al Warra wal Barra ’ yang cukup tebal 447 halaman ini, Buku terbitan Penerbit Ummul Quro Jakarta (Juli 2013) ini tergolong “radikal/Islamis” karena mengkritik toleransi antaragama yang kebablasan dan mengajak untuk membenci keyakinan orang lain, seiring dengan arti doktrinnya, al warra wal barra yang berarti loyalitas dan permusuhan. Buku senada dengan buku ini cukup tersedia di toko buku ini, namun disampaikan kurang laris di pasar.

B.2.3. Buku-Buku Moderat (Bantahan dari Liberal dan Radikal)

Untuk membantah buku-buku dengan kecenderungan di atas, maka dimunculkanlah buku balasan dari serangan tersebut. Misalnya buku berjudul Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat & Dzikir” H. Mahrus Ali yang ditulis oleh Abdullah Syamsul Arifin et all dari LBM PCNU Jember dan Khalista Surabaya. Buku ini terbit pertama pada bulan Januari 2008. Abdullah Syamsul Arifin juga kebetulan menjabat Wakil Katib Syuriah PWNU Jatim.

Dalam resensinya di Majalah Aula yang ditulis Imo Sulaiman yang terbit pada Februari 2008, buku tersebut digolongkan mengganggu kehidupan kaum muslimin. Buku ini mengulas tentang risalah perjalanan dan perilaku Mahrus Ali yang menyerang amaliah NU dan memojokkan NU. Buku ini juga menyanggah pandangan Mahrus Ali dan menyatakan bahwa ubudiyah warga Nahdliyyin, kelompok tradisi Islam ini bersumber dari dalil aqly dan dalil naqly yang sesuai dengan syariat Islam.

Dalam menangkis buku Mahrus Ali yang menyatakan bahwa semua bid’ah itu pasti sesat dan perbuatan sesat pasti masuk nera ka. Semua perbuatan bid’ah yang baik harus ditolak, sebab bid’ah akan membawa kejelekan, kerusakan dan merubah ajaran. Segala ajaran yang tidak dianjurkan Nabi dan sahabatnya tidak boleh dianjurkan setelahnya. Bila masalah ini dibuka, maka urusan agama akan rusak, lalu banyak masalah yang akan dimasukkan ke dalam agama. Akhirnya kaum Muslimin akan mirip dengan kaum Yahudi dan Nashrani yang mempermainkan agama, mengubah sesuai dengan hawa nafsunya.

Menanggapi pernyataan Mahrus Ali tersebut, buku ini melihat pendapat itu mengandung faham wahabi, seperti Ibn Bin Baz, al Utsaimin dan al- Albani. Bid’ah menurut ulama terkemuka dibagi menjadi dua ; pertama bid’ah mahmudah (terpuji) dan bidah madzmumah (tercela). Bid’ah yang sesuai ajaran Rasul dihukumi terpuji dan bid’ah yang menyalahi sunnah dianggap tercela. Perbuatan bid’ah yang berada di garis ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya seperti kedermawanan dan perbuatan kebajikan tentu tergolong

perbuatan terpuji dan mustahil menyimpang dari ajaran syara’ (73). 46 Pemikiran Agus Mustofa juga menemui tentangan yang muncul dalam bentuk

buku. Adalah buku berjudul, “Menelaah Pemikiran Agus Mustofa. Koreksi terhadap Serial

46 Majalah Aula, Februari 2008. Hal 53-54.

Buku Diskusi Tasawwuf Modern” yang disusun oleh A. Qusyairi Ismail dan Moh. Achyat Ahmad, terbitan Pustaka Sidogiri Pasuruan. Buku ini terbit pertama Bulan Desember 2009.

Dalam Aula Edisi Januari 2010, muncul resensi buku tersebut yang ditulis oleh Fathul Qodir. Buku tersebut menyanggah pemikiran Agus Mustofa. Satu hal yang paling mencolok adalah sinyalemen Agus Mustofa bahwa akhirat tidak kekal ditentang dengan tuduhan Agus Mustofa hanya mengeksplorasi ayat-ayat al Quran, dan penafsirannya disesuaikan dengan persepsinya sendiri. Bahkan, Agus Mustofa dianggap menghindari hadits yang menjadi sumber hokum Islam kedua, yang kedudukannya diakui oleh Nabi sendiri maupun para ulama lintas zaman. 47

B.2.4. Faktor-faktor Kemunculan Buku-Buku Kontroversial

Beredarnya buku-buku kontroversial di Surabaya tidak dapat dilepaskan dari beberapa factor berikut. Pertama, terbitnya buku-buku yang kontroversial ini didorong karena kemajuan teknologi. Proses penerbitan buku sekarang menjadi lebih sederhana. Era sekarang memasuki era digital printing, yang mana setiap orang dapat mencetak buku sendiri, bahkan tanpa harus diperiksa atau dibaca ulang oleh ahli atau reviewer. Dampaknya, banyak kelompok masyarakat termasuk komunitas pengajian menerbitkan buku-buku sendiri sebagai ganti dari buletin yang biasanya disebar secara sederhana dan hanya beberapa lembar saja. Sekarang buletin kajian itu diganti buku dengan jilid dan cetakan yang menarik, juga disertai sampul yang tidak kalah menarik. Lalu, para peserta pengajian membeli buku tersebut. Kelompok pengajian yang dicurigai agak radikal sering menjalankan penerbitan dan penjualan buku secara internal ini. Di Surabaya sendiri, ada salah satu penerbit yang khusus menerbitkan buku-buku yang berpaham agak radikal

ini. 48 Kedua, lemahnya pengawasan baik dari asosiasi dalam hal ini Ikatan Penerbit

Indonesia (IKAPI) maupun dari pemerintah. Di Jawa Timur terdapat 100 penerbit buku yang terdaftar sebagai anggota. Namun, asosiasi seperti IKAPI sendiri tidak mampu untuk melakukan pengawasan terhadap isi buku, karena merupakan kumpulan para penerbit. Karenanya, sesama penerbit tidaklah pada posisi untuk mengawasi satu sama lain. Keanggotaan Ikapi juga sangat longgar. Usulannya, peran pengawasan ini dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama bisa menyontoh seperti apa yang dilakukan di Brunei. Di Negara itu, buku-buku yang beredar di pasaran diberi label khusus dari pemerintah yang menandakan bahwa buku tersebut aman dibaca khalayak. Bahkan, proses pengajuan untuk mendapat pengesahan dari pemerintah itu sampai menunggu 1 tahun lamanya. Barulah buku boleh diterbitkan. Usulan berikutnya adalah pemerintah menyediakan website pengaduan yang membuka diri terhadap laporan mengenai buku- buku yang dianggap controversial dari masyarakat.

47 Majalah Aula, Januari 2010. Hal 87-88. 48 Wawancara dengan Dadang. Ibid.

Ketiga, adanya peluang bisnis bagi penerbit dan penulis. Judul semakin sensasional dan bombastis, akan semakin laris. Begitu pula, buku semakin ditentang akan semakin dicari orang. Sekelumit kisah dari Mahrus Ali yang dituturkan pimpinan redaksi Majalah Aula menyebut bahwa sebelum bukunya terbit Mahrus Ali memiliki 70 naskah dan menawarkannya kepada berbagai penerbit. Hal ini seperti disebutkan pada bagian sebelumnya di laporan ini, penerbit keIsalaman sekelas PT Bina Ilmu tidak mau menerima tulisannya karena sangat tendensius. Akibatnya naskahnya tidak laku-laku. Kemudian ada penerbit La Tasyuk! Press yang juga dari keluarga NU sebenarnya, membeli putus terhadap naskah tersebut. Setelah dibeli putus, maka penulisnya tidak ikut campur, termasuk judulnya seperti apa. Bagi penulis, yang penting adalah naskahnya laku dibeli oleh perbit. Karena itu yang memainkan sebu tan “Mantan Kyai NU” itu adalah pihak penerbit. Setelah meledak di pasaran, penerbit untung besar, sementara yang terkena imbas adalah penulisnya. Majalah Aula pun belakangan tidak bersedia lagi memberitakan kiprah Mahrus Ali karena justru akan menguntungkan penulis dan penerbitnya. 49

Keempat, terfragmentasinya dan tersegmentasinya pembaca buku keIslaman ke dalam komunitas-komunitas yang mendukung wacana keislaman yang diyakininya. Komunitas penyuka buku gerakan, maka akan memilih membeli buku-buku bernafaskan gerakan Islam yang cenderung Islamis dan radikal. Sebaliknya, pembaca yang menyukai buku-buku ketenangan, sufistik, ia akan menyerbu buku-buku yang menyajikan tema- tema seperti itu. Karena itu sekarang ini sulit untuk menentukan keakuratan buku yang disebut best seller. Ini disebabkan tergantung pada pembaca dari komunitas mana terkait dengan paham keagamaan Islamnya. Dicontohkan pada saat Islamic Book Fair di Surabaya lalu, buku-buku terbitan HTI malah paling laris di sini. Ternyata di Surabaya, HTI punya massa. Waktu pameran di-drop dari Bogor beberapa kali. Selesai pameran malah perebit

kebanjiran order. 50 Keempat factor inilah yang setidak-tidaknya mempengaruhi maraknya buku-buku

controversial di Surabaya. Meski tidak saling berurutan dan terkesan tumpang tindah, namun beberapa sebab tersebut dapat dirasakan ketika mendalami maraknya buku-buku controversial di kota ini. Karena itu, hingga saat ini menurut penuturan pihak Ikapi Jawa Timur, belum pernah ada demo yang terjadi untuk menyampaikan keberatan atas sebuah buku di kota pahlawan ini.