Analisis; Surabaya Sebagai Kota Toleran

D. Analisis; Surabaya Sebagai Kota Toleran

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dikatakan masyarakat kota ini sebenarnya sangat terbuka terhadap perbedaan pemikiran kegamaan. Sekalipun mereka berdekatan tempat tinggal dengan lawan pemikirannya, namun tidak lantas menghalalkan segala cara untuk meredam pemikiran keagamaan dari orang yang berbeda paham

49 Wawancara dengan Subhan. Ibid. 50 Wawancara dengan Deddy Suis (Penerbit Elba), tanggal 7 Oktober 2013.

keagamaannya. Setidaknya pernyataan ini dapat merujuk pada sikap warga Surabaya yang sekalipun tidak sependapat dengan pemikiran Agus Mustofa maupun Mahrus Ali di atas, namun tetap memberikan ruang kepada individu dan kelompok yang berbeda pemikirannya untuk tetap hidup bersama dan berdampingan di kota ini.

Oleh sebab itu, jika pernah mendengar salah satu kampanye Kota Yogyakarta yang menyebut dirinya sebagai the city of tolerance di tahun 2006, maka sebenarnya gelar ini juga layak disematkan kepada Kota Surabaya. Apalagi, warga Surabaya juga sangat plural baik dari segi agama, ras, dan etnis. gelar seperti itu perlu untuk mencerminkan bahwa warga kota Surabaya ini siap hidup berdampingan dengan warga yang berbeda pemikiran dan paham keagamaannya.

Untuk paham keagamaan Islam, di kota ini dan juga di Jawa Timur umumnya, sebenarnya telah lama mengenal perbedaan, khususnya dalam khazanah pemikiran dan aliran. Selama beberapa decade hingga saat ini, warga Jawa Timur telah mengenal keberadaan Pesantren Yapi di Bangil, Pasuruan, yang banyak dikaitkan sebagai pesantren Syiah. Pesantren ini tetap eksis hingga kemudian akhirnya mendapat gangguan pada Bulan Februari 2011, beberapa hari setelah pembunuhan warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Agak mengherankan mengapa lantas pesantren ini diganggu, padahal sebelumnya suasana kondusif telah terpelihara sejak lama.

Belum lagi aliran dan paham keIslaman yang berkembang misalnya yang berpusat di Kediri. Setidaknya terdapat dua kelompok aliran atau paham keIslaman yang dapat disampaikan di sini yang berkembang dari kota kecil ini, yaitu kelompok Sholawat Wahidiyah dan Lemkari atau LDII. Warga Jawa Timur mengenal keberadaan dua kelompok keIslaan ini dan juga pusat kegiatannya yang terletak di Kota Tahu, Kediri. Namun, sejauh ini pusat kegiatan ini tidak mendapat gangguan. Bahkan hingga kini, pengikutnya telah menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan hingga ke luar negeri.

Dalam kasus keragaman yang lain, yaitu keragaman agama misalnya, di Surabaya juga tumbuh kelompok litas iman yang rutin mengadakan kegiatan. Beberapa tahun yang lalu, di kota ini tumbuh kelompok seperti Forum Lintas Agama (FLA) yang cukup aktif mengadakan dialog antarumat beragama. Begitu pula keragaman berdasarkan orientasi seksual misalnya, di Surabaya terdapat figure seperti Dede Oetomo yang dikenal sebagai dosen Universitas Airlangga, namun sekaligus sebagai tokoh gay yang aktif mengampanyekan hak-hak kaum gay di Indonesia.

Melihat kondisi demikian ini, maka tidak mengherankan jika munculnya perbedaan paham keagamaan Islam belakangan ini, yang terekspresikan lewat buku-buku controversial yang ditulis oleh orang Surabaya sendiri tidak menjadi persoalan besar warga warga kota ini. Masyarakat melalui tokoh-tokohnya telah siap untuk menerima perbedaan. Sebaliknya, para pemikir dan penulis yang “menghebohkan” itu juga tetap merasa nyaman untuk hidup di kota ini, sekalipun ia tahu gagasan dan pemikirannya banyak menimbulkan kontroversi dan penentangan dari warga yang lain.

Berkaca dari paparan di atas, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Kota Surabaya juga perlu mendapatkan gelar the city of tolerance, seperti yang diklaim oleh kota Yogyakarta.