Pemikiran Islam dan Trend Buku Keagamaan
Pemikiran Islam dan Trend Buku Keagamaan di Surabaya
Zaenal Abidin Eko Putro (Prodi Penerbitan (Jurnalistik), Politeknik Negeri Jakarta) Kasim Abdurrahman (Pusat Kelekturan dan Khazanah Keagamaan Balitbang Kemenag RI)
Pendahuluan
Buku sebagai bagian dari produk kelekturan telah banyak dimaklumi mempunyai energi kuat untuk mempengaruhi pembacanya. Banyak pihak meyakini bahwa buku memberi pengetahuan dan informasi yang bisa mempengaruhi perilaku pembacanya. Karena itulah, tidak heran jika banyak penulis kemudian dikecam karena menuliskan pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemikiran banyak orang.
Beberapa peristiwa yang memberitakan kecaman terhadap penulis buku memberi pemahaman, bahwa kekuatan buku, terutama buku-buku keagamaan, tidak dapat dipandang sebelah mata dalam mempengaruhi pembacanya. Seringkali terdengar bahwa adalah wajar buku-buku keagamaan melahirkan polemik, ataupun pro dan kontra karena buku adalah produk pemikiran. Pembaca boleh setuju atau menolak gagasan buku-buku tersebut. Namun di luar pehamanan yang sekilas bernafaskan akademik ini, dan di luar dugaan bahwa buku-buku keagamaan ternyata juga mampu menginspirasi pembacanya untuk meniru dan mengikuti pesan yang dibawa oleh buku tersebut.
Di luar pembicaraan pengaruh ide atau gagasan itu, selain memasarkan ideology dan pemikiran, ternyata buku juga bicara bagaimana memasarkan produk. Belakangan ini buku keagamaan juga sudah masuk ke ranah industry. Larisnya buku diukur dari seberapa kali naik cetak. Semakin produk dicetak ulang, maka semakin meningkatlah perolehan materi penulis dan penerbit. Maka, biasanya semakin kontroversi sebuah buku, semakin larislah buku itu. Semakin terjerat dalam logika pasar, maka semakin jauhlah jangkauan buku itu dari pengawasan. Posisi inilah yang antara lain akan diulas dalam paper singkat ini.
Paper yang masih sangat kasar dan singkat ini adalah hasil penelitian tentang buku-buku yang mengundang kontroversi dan bernuansa konflik yang dilakukan di Kota Surabaya di akhir September 2013. Data diperoleh dari hasil wawancara mendalam, observasi dan juga wawancara tertutup dengan kuesioner. Para informan dari wawancara mendalam meliputi penulis buku, penerbit buku, asosisasi perbukuan, toko buku, pengelola perpustakaan, media, dan tokoh agama.
A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A.1. Sejarah Kota
Istilah Surabaya terdiri dari kata sura (berani) dan baya (bahaya), yang kemudian secara harfiah diartikan sebagai berani menghadapi bahaya yang datang. Merujuk pada catatan lama, nilai heroic tersebut salah satunya mewujud dalam peristiwa pertempuran antara Raden Wijaya dan Pasukan Mongol pimpinan Kubilai Khan di tahun 1293. Begitu bersejarahnya pertempuran tersebut hingga tanggalnya diabadikan menjadi tanggal berdirinya Kota Surabaya hingga saat ini, yaitu tanggal 31 Mei. 1
Karena itu, kota ini telah memainkan peranan penting peradaban manusia yang menetap di pesisir timur Pulau Jawa sejak beberapa abad silam. Karena itulah tidak salah jika kota ini digolongkan kota yang sangat tua berdirinya di Pulau Jawa.
A.2. Peta Geografi dan Demografi Kota Surabaya
Kota Surabaya terletak di antara 07 derajat 9 menit - 07 derajat 21 menit LS (Lintang Selatan) dan 112 derajat 36 menit - 112 derajat 54 menit BT (Bujur Timur). Tinggi
3 - 6 meter di atas permukaan air laut (dataran rendah), kecuali di bagian selatan terdapat dua bukit landai di daerah Lidah dan Gayungan dengan ketinggian 25-50 meter di atas permukaan air laut. Perbatasan utara adalah Selat Madura, timur dengan Selat Madura, kemudian selatan Kabupaten Sidoarjo, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik. Luas Kota Surabaya adalah 33.306,30 Ha, yang terbagi dalam 31 kecamatan, dan 160 kelurahan. Struktur tanah terdiri atas tanah aluvial, hasil endapan sungai dan pantai, di bagian barat terdapat perbukitan yang mengandung kapur tinggi. 2
Penduduk Surabaya mencapai sekitar 3,110,187 Orang di Tahun 2012. 3 Beragam etnis berdiam di kota ini antara lain, Jawa, Madura, Sunda, Batak, Bali, suku-suku dari Kalimantan, suku-suku dari Sulawesi, Melayu, Cina, India, Arab, dan Eropa. Karakteristik masyarakat asli Surabaya adalah mudah bergaul, suka membanyol, gaya bicara sangat terbuka dan cenderung temperamental.
A.3. Kota Perdagangan, Industri dan Dampaknya
Posisinya di tikungan pantai utara Jawa membuatnya menjadi kota strategis sebagai jalur perdagagan. Dulu kala, Surabaya merupakan pelabuhan gerbang utama Kerajaan Majapahit di abad ke-14. Berlanjut pada masa kolonial, letak geografisnya yang
1 Ibid. 2 http://www.surabaya.go.id/profilkota/index.php?id=22, diakses tanggal 7 November 2013. 3 Ibid 1 Ibid. 2 http://www.surabaya.go.id/profilkota/index.php?id=22, diakses tanggal 7 November 2013. 3 Ibid
Di era sekarang, Tanjung Perak merupakan pelabuhan penting di wilayah Indonesia Timur. Pelabuhan ini terhubung dengan beberapa kawasan industri dan pergudangan seperti kawasan Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER), Berbek, maupun Margomulyo. Tidak kalah pentingnya adalah dukungan perkantoran untuk menunjang perdagangan dan industri. Di kota ini perkantoran pun tersebar baik di pusat maupun di kawasan pinggiran kota. Di pusat kota berdiri Wisma Intiland, BRI Tower, Bumi Mandiri, dan lainnya. Selain itu baru-baru ini pusat perkantoran berkembang pesat di kawasan Surabaya Barat seiring munculnya pusat bisnis baru di daerah HR Muhammad, kawasan perkantoran dan bisnis di Graha Family dan Pusat perbelanjaan Supermall Pakuwon.
Untuk mendukung kelancaran bisnis, layanan perbankan juga tidak kalah penting. Untuk saat ini, di Surabaya berdiri 61 instansi perbankan yang terdiri atas 6 bank pemerintah, 2 bank pembangunan daerah, 42 Bank Swasta Nasional, serta 11 Bank
Internasional. 5 Sebagai dampak dari perdagangan dan industri, Kota Surabaya juga dikenal
dengan tempat “pelesiran”-nya. Meski sekarang sudah mulai memudar, dulu di Surabaya tumbuh subur bisnis pelacuran yang terkonsentrasi di kawasan Kremil yang sekarang menjadi kawasan pemukiman Tambaksari. Begitu pula daerah Bangunrejo, Bangunsari, dan Tambakrejo, kawasan pemakaman Jarak, Sidokumpul, Putat dan Gang Dolly. Tidak ketinggalan pula Kawasan Sememi (Agam 2013 h. 1-28).
Dalam hal menyinggung tempat wisata paling tua seiring peradaban manusia ini, banyak orang akan mafhum dengan keberadaannya. Sebenarnya, jika dirunut, seperti juga di kota lain, pertumbuhan kompleks pelacuran muncul seiring dengan kegiatan pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa, seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap dan Yogakarta, tepatnya sekitar tahun 1884.
Menurut pengetahuan banyak orang, kompleks Dolly yang seluas lebih kurang 25 hektar terletak di Kecamatan Sawahan dinamakan Dolly, hal yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Selain gang Dolly sendiri, masih ada Jarak dan lokalisasi Putat. Memang menjadi biasa, kalau orang misalnya pergi ke Jalan Jarak, mereka akan bilang “pergi ke Dolly”. Demikian pula kalau mau pergi ke Jalan Putat Jaya.
Penelitian Suyanto (2012: 74-76) menyebutkan di Gang Dolly pada tahun 2005 terdapat sekitar 36 wisma (rumah bordil) yang saling berhadapan. Di sebelah kiri terdapat
18 wisma, dan sebelah kanan berderet-deret terdapat 18 wisma. Malah sekarang ini jumlahnya mengalami kenaikan dan ditaksir mencapai 57 wisma, walaupun Pemerintah Kota Surabaya sebetulnya mulai bersikap agak ketat, dan media massa juga tidak sekali
4 Ibid. 5 Ibid.
dua kali memberitakan wacana penutupan Kawasan Dolly. Hal yang unik, di Kawasan Dolly adalah keberadaannya di tengah Kota Surabaya dan berbaur dengan perumahan, masjid, taman kanak-kanak dan lain-lain di Kawasan Putat, Surabaya.
Keberadaan komplek pelacuran ini seolah semakin melengkapi dinamika kota ini sebagai kota perdagangan dan industri. Dengan tidak bermaksud membandingkan struktur dan legalitasnya, sarang pelacuran di kota ini lebih bertahan lama untuk tidak secara ditutup dan dihancurkan yang lalu segera berganti menjadi tempat public yang baru. Di Yogyakarta misalnya, bekas lokalisasi di Giwangan sekarang dirubah menjadi Terminal Giwangan. Lokalisasi Kramat Tunggak di Jakarta Utara kini lenyap tak berbekas dan berganti berdiri megah Islamic Centre. Kota-kota lain juga tidak jauh berbeda.
A.4. Kota Kesenian Tradisional dan Modern
Dalam situs Pemkot Surabaya disebutkan, kehidupan berkesenian tradisioal dan modern tumbuh dengan baik dan saling melengkapi membentuk keragaman kesenian di Kota Surabaya. Kesenian panggung yang paling lama bernama Ludruk adalah kesenian rakyat asli Jawa Timur yang juga menjadi maskot Surabaya. Dalam pentas Ludruk, selalu disuguhkan Tari Ngremo yang khas sebagai pengantar adegan pembuka dalam kesenian Ludruk. Kesenian yang konon berasal dari Jombang ini, begitu populer sejak jaman penjajahan hingga saat ini, meski sekarang berangsur menurun terkena dampak perkembangan industri hiburan.
Penting juga untuk dicatat keberadaan Gending Jula-Juli Suroboyo, Kentrung, Okol, Seni Ujung, Besutan, upacara Loro Pangkon, Tari Lenggang Suroboyo dan Tari Hadrah Jidor. Kesenian-kesenian tradisional ini bersanding dengan kelompok kesenian
modern yang mengembangkan kreasi modern, misalnya Marlupi Dance dan Gito Maran. 6 Perlu ditambahkan pula para seniman modern yang bergerak di dunia tarik suara
juga tumbuh pesat di kota ini. Meski tidak semuanya lahir dan besar di Surabaya, namun para musisi ini memulai ketenarannya di kota ini. Sebut saja musisi pop era 1980-an Gombloh, lalu penyanyi dangdut dengan goyang ngebor-nya Inul Daratista, dan grup orkes dangdut Moneta yang mengiringi Evie Tamala. Dalam musik cadas juga tampil grup musik seperti Power Metal, Boomerang, Elpamas, Dewa, Padi dan lain-lain. Untuk seni panggung lawakan tidak boleh melupakan Tessy cs dan Srimulat-nya, begitu pula Cak Kartolo, Blonthang, dan kawan-kawannya.
Keberadaan para musisi tradisional maupun modern ini menunjukkan betapa dunia hiburan menjadi kebutuhan masyarakat Surabaya yang sehari-harinya disesaki dengan kepentingan bisnis dan industri. Menikmati kesenian merupakan sarana pelepasan diri dari kepenatan akibat menjalani roda bisnis yang begitu hidup di kota ini. Dengan begitu, para seniman pada masa itu juga dapat bertahan karena mendapat apresiasi dari penikmat seni, sesuatu yang drastik berkurang sekarang ini.
6 Ibid.
A.5. Bergolak Di Sekitar Perang Dunia II
Kota Pahlawan, adalah julukan utama bagi Kota Surabaya. Julukan ini disematkan langsung oleh Bung Karno pada tanggal 10 November 1950. Untuk pembangunan tugu pahlawan, peletakan batu pertama berdirinya tugu ini dilakukan tanggal 10 November 1951 yang didirikan di atas reruntuhan gedung yang hancur dalam perjuangan 10 November 1945. Setelah setahun berlalu, pada tanggal 10 November 1952 Presiden Soekarno kembali datang ke Surabaya dan meresmikan Tugu Pahlawan setinggi 45 yard
(41,13 meter) itu. 7 Peristiwa bersejarah itu tidak dapat dilepaskan dari dentuman pemikiran dan
gerakan tokoh-tokoh nasionalis antipenjajahan yang beraktivitas di Surabaya. Lewat persentuhannya dengan pendidikan Belanda, mereka dapat membaca situasi yang terjadi di kancah perpolitikan internasional yang semakin kencang berhembus untuk melenyapkan imperialisme dan kolonialisme. Posisi Belanda dan Sekutu yang mulai goyah di tengah Perang Dunia II dan juga kehadiran tentara Jepang yang hanya sekejap, merubah peta gerakan yang nantinya sangat menentukan bagi kemerdekaan bangsa ini. Para tokoh tersebut mulai tergerak untuk memikirkan nasib bangsa untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan.
Faktor industrialisasi di kota Surabaya waktu itu juga tidak dapat dikecilkan artinya. Dalam catatan Howard Dick yang dikutip Formichi (2012: 16) tentang situasi Surabaya di awal abad 20, digambarkan bahwa Surabaya merupakan salah satu kota utama di Jawa. Para kurun 1900-1914, pertumbuhan industry begitu pesat. Mengacu pada statistik colonial tahun 1915 terdapat sekurangnya sepuluh ribu pekerja yang bekerja di sector industri yang tersebar di seluruh kota. Perang Dunia I memaksa Belanda untuk merubah pola produksi. Material-material manufaktur yang semula gencar diekspor ke Eropa seperti gula, tembakau dan tekstil kemudian diganti dengan barang-barang metal, permesinan dan sector bangunan. Disebutkan bahwa perubahan dan perkembangan industry ini mempekerjakan sekitar dua puluh hingga dua puluh lima ribu pekerja di tahun
1920. 8 Dalam situasi kota seperti itulah, tidak mengherankan jika dinamika dan
perkembangan pemikiran pun juga turut bersemi. Situasi demikian ini menjadi ajang bagi tumbuhnya individu-individu dengan pemikiran brilian, bahkan hingga menyentuh aspek ideology dan paham keagamaan. Di samping itu, situasi kota demikian ini juga mengundang datangnya perpindahan orang seiring dengan tuntutan dunia industri dan perdagangan.
7 Agam Yousri Nur Raja. Riwayat Surabaya Rek. Dulu, Kini, dan Esok. Surabaya: Cahaya Aura Kasih. 2013 h. 1-28 8 Formichi, Chiara. Islam And The Making Of The Nation Kartosuwiryo and Political Islam in Twentieth- Century Indonesia. Leiden: KITLV Press. 2012. Hal 19
Jejak Surabaya saat itu membuat setidaknya ada lima tokoh penting yang sangat berpengaruh terhadap pergolakan antiimperialisme dan kolonialisme yang berbasis di kota ini. Dalam Majalah Majalah Surabaya Cityguide Agustus 2013 halaman 16-24 menyebut kelima tokoh itu antara lain Dr. Soetomo, WR. Supratman, Soekarno, HOS. Tjokroaminoto dan KH. Mas Mansur. Tiga nama yang disebut belakangan ini menjadi penting dalam pergerakan kemerdekaan dan juga dalam gerakan keIslaman yang memiliki jejak kuat di kota Surabaya. Mereka bertiga bertemu dengan tokoh sentralnya HOS. Tjokroaminoto.
Sebenarnya masih ada tokoh penting lain yakni Sekarmaji Maridjan Kartosuwiryo yang juga “murid” Tjokroaminoto di Surabaya. Setelah meninggalkan kampung halamannya di Cepu, Kartosuwiryo belajar di Sekolah Dokter Djawa di Surabaya tahun 1923. Kartosuwiryo mulai belajar Islam dan politik dari Tjokroaminoto, lantas aktif di Jong Islamiten Bond dan bahkan juga besar bersama Partai Sarekat Islam (PSI) yang didirikan Tjokroaminoto. 9 Tidak tampilnya nama Kartosuwiryo dalam majalah yang dipimpin oleh
Walikota Tri Rismaharini ini tidaklah mengherankan. Sekalipun Kartosuwiryo dianggap salah satu orang dekat Tjokroaminoto, namun garis hidupnya yang berlawanan dengan tokoh-tokoh utama seperti Soekarno menjadikan figure ini seolah kurang dikehendaki.
Adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminoto intelektual Islam dan juga guru para aktivis pergerakan kemerdekaan kala itu seperti Soekarno, Kartosuwirjo, Semaoen, Muso, Alimin, dan masih banyak lagi. Ia dikenal pemimpin Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi politik pertama yang pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang batik Muslim. Jejak peninggalannya di Surabaya kini dapat ditemukan, tepatnya di Jalan Peneleh VII/29-31. Rumah kuno itu
diyakini sebagai rumah pahlawan nasional ini. 10 Menurut situs Merdeka.com tertanggal 6 September 2012, di rumah itu juga, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH Ahmad
Dahlan dan KH Mas Mansyur sering bertukar pikiran. 11 Catatan menarik dari rumah ini adalah rumah ini pernah berfungsi sebagai rumah
tinggal keluarga Tjokroaminoto dan juga dijadikan rumah indekos bagi para pelajar Hogere Burgerlijks School (HBS) yang penghuinya antara lain Soekarno, dan kawan- kawannya itu. Rumah ini pun pada perkembangannya juga berfungsi menjadi pondok pesantren kecil yang selain mengajarkan agama juga mengembangkan kemampuan berpolitik agar dapat terlepas dari cengkeraman penjajah kolonial. Di rumah ini pula didirikan Sarekat Islam (SI) yang akhirnya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia pada tahun 1912. Setelah hampir satu abad kemudian, tepatnya pada tahun 2009, rumah ini resmi dijadikan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya sesuai SK Walikota Surabaya no. 88.45/251/402.1.04/1996 No. urut 55. Dinyatakan bahwa rumah tersebut pertama kali
9 van Dijk, Cornelis. Rebellion Under The Banner Of Islam: The Darul Islam In Indonesia, KITLV Verhandelingen no. 94.The Hague: Nijhoff, 1981. Lih. juga S. Soebardi. Kartosuwiryo and the Darul Islam
Rebellion in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies Vol. 14, No. 1 (Mar., 1983), p. 109 10 Majalah Surabaya Cityguide Agustus 2013 halaman 16-24.
11 Kisah 3 murid Tjokroaminoto: Soekarno, Semaoen, Kartosoewirjo, www.merdeka.com , Kamis, 6 September 2012 12:39 11 Kisah 3 murid Tjokroaminoto: Soekarno, Semaoen, Kartosoewirjo, www.merdeka.com , Kamis, 6 September 2012 12:39
bahwa rumah tersebut merupakan bekas indekos ayahnya. 12
Soekarno alias Bung Karno, yang yang kemudian menjadi proklamator dan presiden RI pertama, sempat menetap di Surabaya untuk indekos atau mondok di rumah milik H.O.S Cokroaminoto. Saat itu, Soekarno berusia 15 tahun. Ayah Soekarno, Soekemi Sosrodihardjo, menitipkan Soekarno yang melanjutkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS). Saat itu, tahun 1916, Tjokroaminoto sudah menjadi Ketua Sarekat Islam, organisasi politik terbesar dan yang pertama menggagas nasionalisme.
Cindy Adams, salah seorang penulis biografi Soekarno, menyebutkan bahwa Soekarno mengenang Tjokroaminoto sebagai idolanya. Dia belajar tentang menggunakan politik sebagai alat mencapai kesejahteraan rakyat. Dia belajar tentang bentuk-bentuk modern pergerakan seperti pengorganisasian massa dan perlunya menulis di media. Sesekali Soekarno menulis menggantikan Tjokro di Oetoesan Hindia dengan nama
samaran Bima. Soekarno juga kerap menirukan gaya Tjokroaminoto berpidato. 13 Satu lagi tokoh pergerakan Islam yang perlu disebutkan di sini yang meninggalkan
jejaknya di Surabaya. Dia adalah K.H. Mas Mansur. Jejaknya kini dapat ditelusuri di area gang kecil Kalimas Udik I C. di situ terdapat peninggalan tersisa seperti masjid, yayasan sekolah dan bekas tempat tinggal K.H. Mas Mansur mantan Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Yayasan itu awalnya merupakan pondok pesantren peninggalan ayah Mas Mansur, yaitu K.H. Mas Achmad Marzoeqi. Pondok tersebut berdiri sejak jaman Belanda. Setelah Kyai Achmad meninggal, Mas Mansur lah yang melanjutkan mengurus dan mengajar di pondok. Sekarang telah berubah menjadi sekolah TK- SD Islam Al- Muidah.
Menurut Abdullah Munif (77), salah satu sanak saudara yang pernah menjadi murid K.H. Mas Mansur, Soekarno sering mendatanginya untuk kemudian berziarah bersama ke makam Sunan Ampel. Mas Mansur juga mengenal Bung Karno muda saat bersama-sama mengikuti tabligh ajaran Islam di daerah Peneleh oleh K.H. Ahmad
Dahlan. 14 K.H. Mas Mansur tergolong keturunan Arab dan sempat belajar di Pesantren
Sidoresmo Wonokromo dan Pondok Pesantren Demangan Madura sebelum kemudian meneruskan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sepulang belajar dari Mesir, dirinya bergabung dalam Syarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto. Di dalamnya, ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.
Sebelum menjadi Ketua PB Muhammadiyah, tokoh ini banyak terlibat dalam berbagai aktivitas politik umat Islam. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk salah seorang dari empat orang tokoh nasional yang diperhitungkan, yang
12 Majalah Surabaya Cityguide. Ibid. 13 Kisah 3 murid Tjokroaminoto: Soekarno, Semaoen, Kartosoewirjo, www.merdeka.com , Kamis, 6
September 2012 12:39 14 Majalah Suara Surabaya Cityguide. Ibid.
terkenal dengan sebutan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur. Ketika perang kemerdekaan terjadi, Mas Mansur belum sembuh dari sakit. Namun, ia tetap ikut berjuang memberikan semangat pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya, Ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Bui Kali Sosok Surabaya. KH. Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di kawasan makam Ampel, Surabaya. 15
Versi lain menyebutkan Mas Mansur meninggal di rumah setelah dirawat di rumah sakit
dan dalam kondisi serba kekurangan. 16
A.6. Tonggak Gerakan Paham Nasionalis Religius
Seiring dengan perkembangan perdangan dan industri di kota ini, sebenarnya juga kondisi tersebut berpengaruh pada bidang pemahaman dan pendidikan agama, termasuk agama Islam. Gelombang industri yang diiringi dengan masuknya informasi tentang modernism Islam cukup kuat memberi warna dalam gerakan Islam. Saat itu sering terjadi perdebatan yang mempertemukan antara kelompok modernism Islam dan tradisionalisme Islam.
Apa yang dilakukan oleh HOS. Tjokroaminoto dan kawan-kawannya itu ternyata tidak berjalan beriringan dengan gelombang kelompok tradisionalis Islam saat itu yang dimotori oleh Wahab Hasbullah, Hasyim Asyari dan ulama tradisionalis lain yang nantinya mendirikan Nahdlatul Ulama. Perdebatan meng enai ijtihad, taklid, bid’ah dan kafir ini telah meruncing pada saat itu, sebagaimana dikutip Greg Fealy dalam disertasinya yang diterjemahkan Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar berjudul “Ijtihad Politik Ulama. Sejarah NU 1952- 1697”.
Pada tahun 1916 sebuah madrasah atau sekolah dasar modern tetapi digagas oleh pembela tradisi bernama Nahdlatul Wathan didirikan di Surabaya oleh Wahab Chasbullah dan Mas Mansur, yang kemudian bergabung dengan Muhammadiyah. Staf pengajar Nahdlatul Wathon terdiri dari banyak ulama tradisionalis muda seperti Bisri Syansuri (1886-1980), Abdul Hakim Leimunding dan Abdullah Ubaid (1899-1938), yang kesemuanya di kemudian hari turut mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) di tahun 1926. Cabang-cabang Nahdlatul Wathan segera dibuka di kota-kota lain di Jawa.
Pada tahun 1918, Wahab Hasbullah dan ulama senior Surabaya KH. Ahmad Dahlan dari Kebondalem membentuk kelompok diskusi yang dinamakan Tasywirul Afkar. Kelompok itu menyelenggarakan forum debat antara kaum modernis dan kaum tradisionalis mengenai isu keagamaan, seperti ijtihad dan taklid. Wahab Hasbullah dikenal
15 Majalah Surabaya Cityguide. Ibid. 16 Darul Aqsha, Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: perjuangan dan pemikiran. Jakarta: Erlangga. 2005. Hal
pembela ahlussunnah wal jamaah dan mengikuti ajaran para wali hingga Pangeran Diponegoro. Karena itulah ia tidak pernah melepaskan surban dan sarungnya. 17
Semangat untuk melakukan perubahan versi kelompok tradisionalis terus menyala. Pada tahun yang sama, Wahab bersama Hasyim Asyari (1871-1947), mendirikan sebuah koperasi dagang yang berusia pendek, Nahdlatul Tujjar untuk kalangan tradisionalis di wilayah Surabaya-Jombang, Jawa Timur. 18
Jaringan antartokoh penjaga Islam tradisi terus berlanjut dan pada 31 Januari 1926, sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka berkumpul dan kembali bertempat di rumah Wahab Chasbullah (1888-1971) di Kertopaten, Surabaya. Dalam kesempatan itu mereka memikirkan langkah bersama untuk mempertahankan kepentingan mereka dan bentuk Islam tradisional yang mereka praktikkan. Setelah melalui diskusi, mereka memutuskan mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) untuk mewakili dan
memperkokoh Islam tradisional di Hindia Belanda. 19 Dalam pertemuan itu juga dibahas delegasi Komite Hijaz isinya di antaranya adalah, tuntutan makam Nabi Muhammad dan situs-itus sejarah Islam tidak dibongkar serta dibolehkannya praktik madzhab yang
beragam selain Wahabi. 20
Gerakan NU di Jawa Timur selanjutnya lebih banyak bergerak di bidang pendidikan dan politik yang bercorak nasionalis religius. Ketika revolusi fisik meletus, tokoh-tokoh NU tidak tinggal diam. Mereka mengadakan rapat di Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945 yang menghasilkan “Resolusi Jihad” yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah perang suci (jihad). Berjuang menentang kembalinya tentara Sekutu (termasuk Belanda) dinyatakan sebagai kewajian setiap muslim (fardlu ain). Berita tentang resolusi itu menyebar cepat dan menjadi kekuatan bagi perlawanan umat Islam. 21 Kaitan antara
resolusi jihad dan peristiwa 10 Nopember 1945 pada saatnya pernah dikaburkan, namun belakangan mulai terkuak kaitan antara semangat perlawanan untuk mengusir penjajahan ini dengan resolusi jihad ini.
Wahab Hasbullah yang meski kelahiran Tambakberas, Jombang, namun juga beraktivitas dalam memainkan politik dan gerakannya di Surabaya. Ia dikenal pribadi yang anti Belanda. Antipatinya terhadap pemerintahan Belanda itu paling tidak dapat disimak dari joke-nya yang dituliskan Munim Dz. Bahwa pernah suatu pidato, Wahab Hasbullah meminta para ulama dan generasi muda santri untuk jangan sekali-sekali terbersit, apalagi
17 Munim, DZ. Kiai Wahab Hasbullah, Pahlawan Tanpa Gelar. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic- s,detail-ids,13-id,39322-lang,id-c,tokoh-t,Kiai+Wahab +Hasbullah++Pahlawan+Tanpa+Gelar-.phpx
18 Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulaa. Sejarah NU 1952-1697. Yogyakarta: LKIS. 2003. hal .29-30. 19 Fealy, Greg. Ibid. hal. 21. 20 Munim, DZ. Ibid.
21 Fealy, Greg. Ibid. hal. 51-52.
bercita-cita sebagai Ambtenaar (pegawai Belanda). Mereka celingukan. Lalu diteruskanlah, Ambtenaar itu singkatan dari Antum fin Nar. Kontan hadirin pun tertawa. 22
Jejak peninggalan NU masih kuat mengakar di Surabaya hari ini. Gedung PWNU berdiri megah dengan dua lantai di Kawasan Menanggal yang berseberangan dengan Masjid al Akbar Surabaya. Pemikiran-pemikiran Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) yang sekarang ditambahkan NU menjadi AswajaNU masih terpelihara ditengah berulangnya perdebatan klasik tentang bid’ah, syirik dan seterusnya.
Belakangan, PWNU Jawa Timur pun berinisiatif mendirikan stasiun TV yang dinamaan TV9. Stasiun tv ini dimiliki oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur dan dikelola oleh PT. Dakwah Inti Media. TV9 telah memperoleh izin Tetap Penyelenggaraan Penyiaran dari Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia tertanggal 23 Juli 2012 untuk melakukan siaran di kanal 42 sebagai lembaga penyiaran swasta di Surabaya/Jawa Timur. Program andalan untuk menyebarkan paham AswajaNU dinamakan Kiswah dengan jam siar pagi dan malam. Dalam program siaran ini, kyai-kyai dan dai berwawasan AswajaNU tampil yang biasanya rekaman dari pengajian umum yang berlangsung sebelumnya di suatu tempat di sekitar Jawa Timur. Kantor pengelolaan tv ini terletak di kawasan elite Jalan Dharmo, Surabaya.
Budaya material di Surabaya juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Makam dan Masjid Sunan Ampel yang terletak di kawasan Surabaya utara. Di Surabaya-lah tempat hijrahnya Sunan Ampel disertai langkahnya dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah wali yang dituakan di antara Sembilan wali. Makam ini hingga kini masih ramai dikunjungi oleh ribuan peziarah. Saat ini, kegiatan ziarah Wali Sanga selalu diawali dari Surabaya sebelum menuju ke Gresik, Lamongan, Tuban, Gunung Muria, Kudus,
Demak serta berakhir di Cirebon, Jawa Barat. 23 Belakangan juga ramai kunjungan orang- orang ke Makam Sunan Bungkul yang terletak di pinggir Jalan Raya Darmo, Surabaya. Letak makam ini persis di Taman Bungkul yang ramai dengan kios makanan dan rindangnya tanaman. Di sebelah makam juga terdapat ruang terbuka yang sering digunakan untuk senam pagi pada hari-hari libur.
B. PETA PERBUKUAN DI SURABAYA
B.1. Buku Arus Utama
Sebagai kantong masyarakat Islam tradisional, maka buku-buku yang paling dominan beredar adalah buku-buku tuntutan amaliyah sehari-hari yang lekat dengan tradisi dan sering dikatakan dengan istilah buku tuntunan yasin dan tahlil. Termasuk di dalamnya juga buku tuntunan Shalat praktis. Buku-buku seperti ini menurut penuturan pihak IKAPI Jawa Timur masih paling dominan diminati masyarakat. Minat baca untuk buku-buku sejenis ini masih paling tinggi. Segmen pasar untuk buku-buku seperti itu
22 Munim, DZ. Ibid. 23 Agam. Ibid.
cukup luas yaitu kalangan pesantren dan juga masyarakat umum yang dapat menemukannya dengan mudah di kios-kios PKL, angkutan umum, pengajian umum dan
seterusnya. 24 “Ciri-ciri buku buku keagamaan seperti ini tampilannya tipis dan harganya
relatif murah. Isinya juga sederhana tidak membahas hal-hal yang dianggap kontroversi. Beda dengan buku-buku yang dianggap controversial. Judulnya biasanya dibuat sekontroversi mungkin. Penerbit bukan sekadar sebar ilmu, tetapi juga mempunyai tujuan komersil. Judulnya dibuat sedemikian rupa, jadinya laku
keras. Kalau misalnya menulis tentang puasa, itu biasa- 25 biasa saja”
Dilihat dari sisi penerbit yang menerbitkan buku-buku tersebut di atas juga tidak terhitung jumlahnya. Tidak semua penerbit buku-buku seperti itu terdaftar dalam IKAPI Jawa Timur. Mengacu data Ikapi Jawa Timur, di Jawa Timur terdapat lebih kurang 100 penerbit yang menjadi anggota Ikapi Jawa Timur. Untuk di Surabaya sendiri terdapat 47 penerbit yang terdaftar sebagai anggota Ikapi.
Karena di Surabaya dan Jawa Timur, sekolah-sekolah yang dikelola NU di bawah lembaga Maarif-nya, maka buku-buku ke-NU-an juga tidak kalah besar jumahnya. Buku- buku itu merupakan buku pelajaran yang dijadikan acuan oleh guru-guru di bawah lembaga tersebut. Salah satu penerbit yang memproduksi buku-buku ke-NU-an seperti ini adalah Penerbit Misykat Indonesia yang berbasis di Malang. Bahkan, buku-buku penerbit
ini juga telah menjangkau wilayah Sulawesi Selatan. 26
Selain itu buku-buku tahlil dan yasin, di Surabaya juga terdapat beberapa penerbit buku yang menerbitkan buku-buku keagamaan bernuansa pemikiran. Di antara buku- buku pemikiran tersebut terdapat juga buku hasil terjemahan yang kebanyakan berasal dari Bahasa Arab. Buku-buku ini juga beredar luas di masyarakat terpelajar yang ingin mendapatkan informasi dari buku secara lebih cepat dan mudah. Beberapa buku itu sebenarnya buku wajib dipelajari di pesantren-pesantren dan tergolong ke dalam kitab kuning.
Terdapat beberapa penerbit di Kota Surabaya juga menekuni di bidang kajian keislaman. Untuk menyebut di antaranya, di sini disinggung salah satu penerbi besar yang belakangan dibilang cukup merajai buku-buku keagamaan, yaitu Penerbit Pustaka Elba. Informasi ini diperkuat oleh beberapa pengurus Ikapi Jawa Timur. Sebenarnya masih ada beberapa penerbit lain seperti Penerbit Bina llmu, Ahmad Nabhan dan seterusnya. Namun, kedua penerbit yang cukup lama itu belakangan tidak cukup aktif di Ikapi Jawa Timur. Berbeda dengan Penerbit eLba yang lebih aktif di asosiasi perbukuan ini.
24 Wawancara dengan Abdul Muiz Nahari, Ketua Ikapi Jawa Timur, wawancara, tanggal 7 Oktober 2013. 25 Abdul Muiz Nahari, Ibid. 26 Wawancara dengan Dadang (Pengurus IKAPI Jawa Timur), tangga 26 September 2013.
Seperti disampaikan dalam company profile-ya, Pustaka Elba berada dalam naungan PT. Elba Fitrah Mandiri Sejahtera (PT. eFMS) yang beralamat di Ruko Galaxi Bumi Permai Blok G6 No. 16 Jl. A.R Hakim 20-36 Surabaya. Perusahaan ini bermula dari distributor CV. Fitrah Mandiri Sejahtera (FMS) yang didirikan pada tanggal 6 Agustus 2002.
CV. FMS dirintis dan didirikan oleh Ainul Haris, seorang alumni Timur Tengah, bersama Ansharul Adhim dan Deddy Ardiansyah Suis. Awalnya perusahaan ini hanya berstatus sebagai distributor umum. Enam tahun kemudian tepatnya tanggal 23 Juni 2008, dalam upaya pengembangan distribusi dan produknya didirikanlah unit penerbitan yang diberi nama Pustaka eLBA dan sekaligus mendirikan pecetakan sehingga memantapkan keberadannya dalam usaha distributor, penerbitan dan percetakan dengan nama PT. eLBA Fitrah Mandiri Sejahtera.
Direktur Utama saat itu adalah Ainul Haris, sementara Direktur dijabat Deddy Ardiansyah Suis dan Komisaris dijabat Ansharul Adhim. Pada tanggal 11 Januari 2011 telah terjadi perubahan susunan anggota pengurus yaitu Komisaris Ainul Haris, Direktur Utama Deddy Ardiansyah Suis dan Direktur Ansharul Adhim.
Pustaka eLBA sebagai sebuah nama penerbitan dirintis pada tahun 2002. Dalam proses perjalanannya, Pustaka eLBA baru bisa berjalan dengan normal sejak pertengahan tahun 2004. Sejak itulah kemudian buku-buku terbitan Pustaka eLBA terus terbit. Kini, Pustaka eLBA berkembang cukup menggembirakan, dan telah menjadi salah satu penerbit Islam yang diperhitungkan dari Indonesia Timur, khususnya dari kota Surabaya. Penerbit ini ingin mendobrak pemahaman umum bahwa Surabaya diidentikkan sebagai kota yang sepi dari penerbit Islam. Selama ini, kalau pun disebut memiliki sejumlah penerbit Islam, tetapi penerbit yang identik dengan kertas buram dengan kualitas cetak yang buruk, dan dipasarkan di bis-bis umum atau di kereta api. Kota Surabaya, bahkan kalah jauh dibanding dengan kota kecil, seperti Solo dan Jogyakarta yang memiliki sejumlah penerbitan berskala nasional. eLBA berusaha menjadi wakil terbaik kota Surabaya dalam hal penerbitan buku-buku Islam, insya Allah.
Buku-buku yang diterbitkan oleh Pustaka eLBA adalah buku-buku yang dipilih secara ketat yang mencakup antara lain 1. Aqidah dan Tauhid. 2. Tazkiyatun Nufus (Penyucian Jiwa). 3. Motivasi dan Pengembangan Diri. 4. Motivasi Akhirat. 5. Fiqih (Hukum-hukum dan Ibadah Sehari-hari). 6. Wanita Shalihah. 7. Akhlak dan Etika. 8. Remaja Islam. 9. Dakwah dan Materinya. 10. Sejarah dan Kisah. 11. Pendidikan Islam. 12. Keluarga Sakinah. 13. Masyarakat Islam. 27
Buku-buku yang diterbitkan penerbit ini antara lain berjudul “Tarjamah Tafsir Jalalain 1 ”, “Tarjamah Tafsir Jalalain 2” dan “Tarjamah Tafsir Jalalain 3”, kemudian “Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah ”, “Hadis-Hadis Populer” dan sebagainya. Tidak ketinggalan juga penerbit ini juga menerbitkan buku-buku tuntunan praktis seperti “102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara ”, “30 Wasiat Takwa di Bulan Puasa”, “108 Obat Mengusir Gelisah, Panduan Etika Muslimah 28 ” dan sebagainya.
27 Company Profile Pt. Elba Fitrah Mandiri Sejahtera Surabaya – Indonesia, per Oktober 2013. 28 Katalog Pustaka eLba 2013.
Buku-buku tuntunan praktis seperti terbitan Penerbit eLba ini ternyata masih menduduki rangking pertama dari segi penjualan di Kota Surabaya. Hal ini terafirmasi ketika mengunjungi salah satu toko buku besar, Toga Mas di Kawasan Margorejo. Mengunjungi toko buku ini tanggal 25 September 2013, di toko buku ini, tepatnya di tikungan tangga, pengunjung disuguhi rak-rak kecil yang bertuliskan, best seller 1 sampai best seller 5. Best seller 1 ditempati oleh buku berjudul “Yuk, Berhijab!” Karangan Felix Y. Siauw. Beda lagi di Best Seller 2 dan seterusnya sampai Best Seller 5. Naik lagi ke lantai 2, buku-buku keagamaan Islam yang cukup banyak tersedia di lantai 2 toko buku ini, siap menyambut kedatangan pengunjung.
Petugas marketing toko buku ini menimpali pertanyaan sembari menata buku- buku dagangan di rak. Petugas marketing toko buku yang menyasar segmen pada pembeli remaja ini menyebutkan, buku keagamaan Islam yang paling laris dua-tiga bulan terakhir ini adalah buku- buku karangan Felix Y. Siauw, antara lain yang berjudul “Yuk, Berhijab!” dan “Udah, Putusin Aja!” Buku-buku penulis ini diterbitkan oleh Penerbit Mizania, grup Mizan, Bandung. Menurutnya, di toko buku ini saja sudah tercatat 300-an eksemplar buku yang terjual sejak terbit pertama kali Juli 2013 yang baru lalu. Belum lagi
di toko buku Toga Mas lain di Surabaya. 29 Buku ini sebenarnya sejenis buku tuntunan praktis keIslaman, lebih tepatnya ajakan untuk be rjilab pada buku “Yuk, Berhijab!”, namun
disajikan dalam bentuk komik. Dengan komik, pembaca muda dianggap akan lebih tertarik dengan tuntunan yang tidak melelahkan membacanya. Kemasan dan bentuk komik yang menarik membuat buku ini menjadi best seller.
B.2. Buku-Buku Kontroversial di Surabaya
Secara umum, buku-buku controversial yang pernah menimbulkan kegelisahan masyarakat di kawasan Surabaya dan sekitarnya, tidak begitu jauh berbeda dengan fenomena pertarungan antara kelompok tradisional dan modernis dalam memahami Islam yang pernah terjadi di kota ini. Perdebatan yang menguat di awal abad kedua puluh lalu itu, sekarang ini masih tetap relevan untuk mendalami sejauh mana tingkat kontroversi buku-buku yang beredar di masyarakat Surabaya. Kesimpulan awal ini terkonfirmasi dari penelusuran lapangan, baik melalui wawancara mendalam maupun observasi. Dengan demikian, maka artinya pola pemikiran kontroversi belum banyak beranjak dari perdebatan lama seabad lampau yang masih saja direproduksi belakangan ini.
Harus diakui, untuk membatu mengetahui peta buku-buku kontroversial lebih dalam, informasi dari pihak IKAPI Jawa Timur yang disambangi pada saat preliminary research sangatlah membantu. Menurut wakil Ketua IKAPI Jawa Timur, Dadang yang didatangi di kantornya di kawasan Kutisari Surabaya, baru-baru ini orang di Surabaya dan sekitarnya ramai membicarakan buku yang menyerang ritual sehari-hari warga nahdliyyin yang ditulis oleh Mahrus Ali, yang mengaku dalam bukunya sebagai “Mantan Kyai NU”. Bukunya antara lain berj udul, “Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik (Nariyah, al Fatih, Munjiyat, Thibul Qulub)” terbitan Laa Tasyuk! Press, Surabaya. Buku ini
29 Wawancara dengan Dewo, staf Toga Mas Margorejo, 25 September 2013.
cukup ramai dicari oleh para pembeli buku, karena isinya menyerang praktik-praktik keagamaan orang-orang NU.
Kontroversi penulis ini tidak berhenti di sini. Mahrus Ali juga menulis buku lain berjudul “Amaliah Sesat di Bulan Ramadhan (Kesyirikan Ngalap Berkah Kubur, Ruwahan, Megengan, dan Kesesatan Dzikir Berjamaah di Sela- sela Shalat Tarawih)”. Tentulah masih sebuah kritik terhadap amaliah warga nahdliyin yang dianggap tradisionalis.
Di Toko Buku Toga Mas terbesar di Surabaya yang terletak di Jalan Diponegoro, buku-buku Mahrus Ali dapat ditemukan dengan mudah. Informasi yang berbeda ditemukan di Toko Buku Gramedia terbesar di Surabaya yang berlokasi di Dyandra Convention Center, Jalan Basuki Rahmat. Di toko buku ini, buku-buku Mahrus Ali tidak tersedia. Judul bukunya masih dapat dilacak di computer, namun wujud fisiknya sudah tidak tersedia. Pihak customer service menyampaikan, bahwa buku-buku Mahrus Ali terakhir tersedia awal tahun 2011. Buku itu dipajang selama beberapa waktu saja, lalu tidak diperpanjang lagi (discontinued). Ketika dilacak di Gramedia di Surabaya yang lain dan juga Gramedia di Malang, buku tersebut juga sudah tidak tersedia lagi. Alasan mengapa discontinued, diperoleh informasi bahwa yang menentukan Kantor pusat
Gramedia Jakarta. 30 Selain penulis seperti Mahrus Ali, di Surabaya juga terdapat penulis lain yang
mengundang kontroversi. Ia adalah Agus Mustofa yang berdomisili di wilayah Menanggal Surabaya. Ia menulis buku berkisar tentang al Quran dan dikaitkan dengan logika sains. Terkadang, ia menafsirkan ayat al Quran dengan pendekatan logika sains atau ilmu alam.
Bahwa buku-buku seperti itu mempengaruhi pembaca diakui juga oleh pengurus IKAPI yang lain bernama Sofie yang juga pengusaha penerbitan buku ini. Paling tidak, buku-buku tersebut banyak diperbincangkan di masyarakat. Seringkali yang dijumpai, kalangan tokohlah yang membeli dan mengonsumsi buku tersebut. Lantas, hasil bacaan itu direproduksi kepada para jamaah dalam forum-forum pengajian serta forum diskusi. Buku itu sebagai bahan bacaan untuk disampaikan kepada jamaah. Jadi dapat dikatakan, buku-buku itu berdampak kepada masyarakat.
Begitu pula, buku-buku radikal pun, menurtnya, sekalipun tampak kurang laku di toko buku, namun sebenarnya juga jelas segmentasinya. Hal ini terlihat misalnya dalam pameran buku yang di Surabaya, biasanya diadakan pada bulan Januari. Buku-buku radikal Islamis laku dibeli oleh pembeli-pembeli khusus dan sekali beli, biasanya langsung ratusan
ribu. 31 Membandingkan tingkat kontroversi buku-buku Mahrus Ali dengan Agus
Musthofa, menurut pengurus IKAPI Jawa Timur ini, buku Agus Mustofa memang mengundang kontroversi, terutama jika memperhatikan judulnya. Namun, setelah dibaca, banyak orang mengatakan tidaklah sekontroversi judulnya. Hal menarik di sini adalah, terdapat gejala umum bagaimana buku supaya laris di pasar.
30 Wawancara dengan petugas costumer service Gramedia Dyandra Surabaya, tanggal 4 Oktober 2013. 31 Wawancara dengan Sofie, pengurus Ikapi Jawa Timur, tanggal 26 September 2013.
Dapat dikatakan bahwa temuan di lapangan menunjukkan buku-buku kontroversial yang tersedia di rak-rak toko buku masih sekitar masalah penolakan taklid, tuduhan bid’ah dan syirik. Meskipun barangkali larisnya buku-buku seperti ini belum bisa menyamai larisnya buku-buku tuntunan praktis seperti buku tulisan Felix Y. Siauw di atas, buku-buku dengan ciri tersebut tetap menghentak di pasaran.
Untuk kategori buku yang bernuansa liberal, dengan kuatnya penolakan pada taklid, belakangan ini diwakili oleh tulisan-tulisan seperti tulisan Agus Mustofa. Adapun buku- buku yang cenderung radikal dengan mengulang kembali tuduhan bid’ah dan syirik direpresentasikan oleh buku-buku tulisan Mahrus Ali. Untuk buku bercorak moderat, lebih banyak diterbitkan untuk meng-caunter buku-buku liberal dan radikal tersebut. Ketiga model ini dapat tergambar dari hasil penelitian di Surabaya baru-baru ini.
B.2.1 Buku-Buku Liberal (Penolakan Taklid)
Di Surabaya, buku-buku terkategori liberal dengan pengertian bebas dari ikut- ikutan semata (taklid) dewasa ini dapat dilihat pada bebeapa judul buku yang ditulis mantan jurnalis Jawa Pos, Agus Mustofa. Belakangan ini ia juga mengelola jejaring sosial, Ngaji Online yang diubah menjadi Diskusi Tasawuf Modern (DTM) yang cukup menghebohkan di dunia maya dan juga komunitas pengajian di Surabaya khususnya.
Di toko buku besar seperti Gramedia dan Toga Mas di Surabaya, buku-buku Agus Mustofa dalam berbagai judul ditempatkan dalam satu susunan rak tersendiri yang memberi sinyal bahwa buku- buku penulis yang terdiri dari berbagai judul yang “agak” kontroversial itu, cukup laris terjual. Judul-judulnya dapat disebutkan di sini antara lain, “Sang Atheis pun Menerima Konsep Takdir”, “Ibrahim Pun Pernah Atheis”, Ternyata Akhirat (Masih) Tidak Kekal” dan sebagainya. Beberapa buku dari penulis ini sebenarnya salinan dari interaksi penulis dengan pembacanya di akun fesbuk-nya. Ada juga memang buku yang disunting sendiri, tanpa melibatkan respon dari kalangan pembaca fesbuk-nya.
Agus Mustofa memang dikenal dengan buku-bukunya dengan judul berbau kontrversial selain di atas , misalnya saja berjudul “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”, “Tahajud Siang Hari Dhuhur Malam Hari”, “Ternyata Adam Dilahirkan”, “Adam Tak Diusir dari Surga”, “Memahami Al Quran Denga Metode Puzzle”, “Jangan Asal Ikut-Ikutan Hisab & Rukyat”, dan lain-lain. 32 Sejauh ini, menurut pengakuannya, telah terbit 47 judul buku selama lebih kurang sepuluh tahun ini, sejak ia meninggalkan tempat kerjanya di Jawa Pos Group tahun
2003. 33 Menurut pengakuannya, ia sebenarnya mengisi ruang kosong bidang penulisan
agama dan sains yang tidak banyak orang berkutat di dalamnya. Menurutnya, tidak banyak penulis di bidang ini yang bertahan lama. Karena itu ia memutuskan untuk menulis di bidang ini. Ia menyadari bakat menulisnya lambat ia temukan. Bakat menulisnya sebenarnya belum ia rasakan sebagai sesuatu yang nantinya membesarkan namanya di
32 Katalog Padma Press. 33 Wawancara dengan Agus Mustofa, 7 Oktober 2013.
dunia perbukuan hingga ia menjelang lulus kuliah. Ia baru menulis agak panjang sampai 300 halaman ketika menyelesaikan Tugas Akhir kuliahnya di Jurusan Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan nilai A. Dosen pembimbingnya salut dengan gaya tulisannya.
Lantas ia bekerja di Surabaya setamat dari UGM, dan mencoba menulis artikel opini di Jawa Pos yang isinya membantah tulisan seorang penulis lain yang membahas bumi akan mati. Saling membalas tulisan pun berlanjut dengan lawan tandingnya itu yang kebetulan seorang wartawan Jawa Pos. Sampailah datang tawaran dari Dahlan Iskan dalam suatu pertemuan, pemimpin redaksi Jawa Pos saat itu kepadanya untuk menjadi wartawan Jawa Pos. Akhirnya ia putuskan untuk bergabung ke Jawa Pos.
Setelah sekitar tiga belas tahun berkarir di Jawa Pos, hingga mengepalai JTV ia akhirnya berpikir ulang untuk meneruskan karirnya di dunia jurnalistik yang telah membesarkan namanya. Keinginannya untuk menjadi penulis buku dan menerbitkannya sendiri semakin besar, setelah buku pertamanya berjudul “Pusaran Energi Ka’bah” laku keras. Saat itu ia sudah mempunyai daftar judul-judul buku yang ia asumsikan pasti meledak di pasaran, di samping daftar judul buku yang mungkin akan direaksi biasa saja. Maka setelah buku “Pusaran Energi Ka’bah” tidak lagi diterbitkan Jaw Pos Book, maka ia berani menerbitkannya sendiri dengan bendera Padma Press. Sejak tahun 2003 itulah, ia memutuskan untuk total di dunia perbukuan dengan menjadi penulis, menerbitkan bukunya sendiri dan memasarkannya.
Ketrampilannya menulis terasah berkat dunia kewartawanan yang digelutinya.
“Selama masih di Jawa Pos, saya dituntut untuk mendapatkan sampai lima berita sehari dan dituntut juga angel-nya harus berbeda dengan media lain. Jika diketahui angle-nya sama, kontan kena semprot redaktur. Apalagi setiap hari masalahnya berbeda. Itu yang menuntut supaya jeli mengambil angel dan, cepat
menulis dan juga cepat melakukan analisis. ” 34
Oleh sebab itu, ia mengakui tulisan-tulisannya tidaklah bersifat scientific murni dengan aroma daftar pustaka yang ketat. Di dalam buku-bukunya, ia tidak mencantumkan daftar pustaka. Hanya ia menyebut referensi langsung di tengah-tengah tulisan buku. Ia sengaja mendesain bukunya seperti ini untuk memberi kenyamanan pembaca. Tidaklah mengherankan jika ada yang mengatakan bukunya itu, buku sekali duduk. Artinya sekali duduk membaca, selesai dan paham.
Undangan seminar dan diskusi yang datang bertubi-tubi setelah bukunya yang berjudul , “Ternyata Akhirat Tidak Kekal” terbit. Sebelum terbit, ia datang ke kediaman KH Mustofa Bisri (Gus Mus) di Rembang untuk berdiskusi mengenai pemahamannya tentang ketidakkekalan akhirat dan memintanya untuk menuliskan kata pengantar terhadap bukunya yang bakal terbit itu. Gus Mus juga hadir dan memberi sambutan dalam peluncuran buku tersebut di Surabaya. Sejak saat itu, ia diundang kalangan kampus di
34 Agus Mustofa, Ibid.
berbagai kota dan juga masjid-masjid untuk mempertahankan pendiriannya. Pesantren pun ia datangi, termasuk di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo dan juga Pesantren Termas, Pacitan.
Ia menyadari kritikan datang kepada buku-bukunya. Sejumlah kritikan itu antara lain menilai buku-bukunya terlalu memanjakan akal dalam memahami agama, menggunakan ayat-ayat mutasyabihat dan juga jarang menggunakan hadis. Di awal-awal ia menulis, kritikan begitu datang secara sporadic. Namun belakangan mulai mereda dan menurutnya jauh lebih banyak menerima.
Selama ini, ia tidak mengalami keberatan atau menerima protes secara kelembagaan. Lembaga-lembaga otoritatif seperti NU, Muhammadiyah, MUI dan sebagainya tidak bersuara mengenai buku-bukunya. Hanya saja, para individu pengurus dari lembaga-lembaga keagamaan itu satu dua ada yang bersuara. Kebanyakan mereka terbelah menyikapi buku-bukunya.