Menurut Hukum Adat Pertimbangan Hakim

yang telah dilakukan oleh pemberi hibah. Dalam kasus ini penarikan dan pembatalan hibah boleh dilakukan dikarenakan ada beberapa persyaratan yang tidak dapat dipenuhi dalam pemberian hibah.

c. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat bahwa hibah tanah bukan merupakan perjanjian yang pelaksanaanya harus dipenuhi dengan penyerahan haknya secara yuridis kepada pihak yang menerima hibah, melainkan merupakan perbuatan hukum yang menyebabkan beralihnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada yang diberi hibah. Dalam kasus ini beralihnya hak milik atas tanah tanpa menggunakan bukti otentik dan hanya perjanjian dibawah tangan sehingga hibah tersebut dapat saja dilaksanakan menurut hukum adat. Menurut hukum adat bahwa tanah yang harus dihibahkan seharusnya mendapat persetujuan dari masyarakat hukum adat yaitu desa ataupun kelurahan seperti kepala Desa atau orang yang dituakan di daerah yang bersangkutan. Walaupun di dalam Undang-undang Agraria, hukum adat tidak terlihat secara jelas khusunya peraturan tentang hibah tanah. Pada kasus ini pernyataan hibah yang diberikan Penggugat kepada orang tua Para Tergugat tidak disaksikan oleh orang yang dituakan seperti Kepala Desa ataupun Kepala Kelurahan, sehingga tidak terdapatnya saksi yang dapat mempertanggungjawabkan penghibahan tersebut. Hukum adat tidak menentukan bahwa hibah itu bersifat rahasia, terbuka atau tertulis sendiri sebagaimana Pasal 931 KUHPerdata, tetapi jika mungkin hal itu dapat saja dilakukan, namun yang biasa berlaku adalah menurut hukum adat setempat yang mana diucapkan di hadapan isteri, anak-anak atau anggota keluarga dekat lainnya. Hal ini berbeda dengan penghibahan yang dilakukan pada kasus penelitian ini, penghibahan yang diberikan kepada orang tua Para Tergugat tidak disampaikan di depan orang tua, anak-anaknya dan keluarga dekat. Penghibahan ini dilakukan langsung dengan surat pernyataan yang dilakukan oleh pemberi hibah Tergugat dan diberikan kepada penerima hibah, sehingga menurut hukum adat ini penghibahan yang telah dilakukan belum syah dikarenakan anggota keluarga tidak mengetahui adanya penghibahan dan penghibahan diketahui setelah penerima hibah tidak mengembalikan akta hibah tersebut. Menurut Mahkamah Agung tanggal 23 Agustus 1990 Reg No. 225 KSip 1960 tentang hibah ini ditetapkan bahwa hibah tidak memerlukan persetujuan ahli waris dan tidak mengakibatkan ahli waris dari penerima hibah serta tidak berhak lagi terhadap peninggalan dari penerima hibah. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa hibah boleh dilaksanakan tanpa sepengetahuan ahli waris dan ahli waris tidak berhak terhadap harta yang telah dihibahkan. Dalam kasus ini pemberi hibah masih dalam keadaan sehat walafiat sehingga hibah yang telah diberikan itu dapat ditarik kembali karena menurut hukum adat setempat bahwa penghibahan juga harus dilakukan dengan pengawasan dan saksi orang yang dipercayakan, sehingga dalam kata lain bahwa penghibahan ini dapat dibatalkan dan masih merupakan hak milik pemberi hibah atau Penggugat. Menurut hukum adat bahwa harta yang akan dihibahkan apabila merupakan harta bersama atau gono gini maka pemberian hibah dengan persetujuan berasal dari pihak suami dan isteri dengan dinyatakan di depan saksi. Dalam kasus Perdata ini tanah atau obyek sengketa yang telah dihibahkan merupakan harta bersama antara sumai isteri tetapi penghibahannya hanya dilakukan dalam satu pihak saja sehingga dalam hukum adat ini tidak terjadin penghibahan. Di dalam hukum adat terdapat beberapa penyelewengan yaitu hukum penyelewengan tentra adat, hukum penyelewengan perdata adat, dan hukum penyelewengan oleh karena melakukan sikap tindak yang dipandang sebagai kejahatan. Hukum penyelewengan tantra adat berkaitan erat dengan ruang lingkup peranan dari masing-masing subyek hukum tantra adat. Di dalam tantra adat bahwa salah satu tugas dan kewajiban dari penguasa masyarakat hukum adat adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat. Dalam hal ini mengatur hukum yang berlaku di daerah setempat. Dalam kasus ini penyelewengan tantra adat tidak terjadi. Hukum penyelewengan perdata adat dimana hukum perdata mencakup bidang–bidang hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum keluarga dan hukum waris. Dengan demikian yang merupakan lingkup dari hukum penyelewengan perdata adat adalah sikap-sikap tindak atau perilaku yang bertentangan dengan aturan-aturan atau memenuhi apa yang diatur dalam hukum perdata. Berdasarkan penjelasan di atas bahwa kasus Perdata dalam penelitian ini merupakan perbuatan hukum yang bertentangan dengan Hukum Perdata, dapat disimpulkan bahwa kasus penghibahan ini merupakan salah satu penyelewengan perdata adat. Di dalam hukum adat, dikenal pula istilah perikatan penyelewengan sehingga pihak yang dirugikan harus mendapatkan ganti rugi. Penyelesaian dari perikatan selewengan ini adalah musyawarah, akan tetapi apabila dengan jalan musyarah itu gagal, terutama kalau menyangkut obyek yang mempunyai nilai yang tinggi seperti tanah, maka persoalannya dapat diajukan ke Pengadilan. Pada kasus penghibahan ini sudah dilakukan musyawarah dan meminta akta hibah yang telah diganti akan tetapi tidak diberikan sehingga penyelesaian dilakukan melalui Pengadilan Negeri Semarang, sehingga putusan perkara ini diputuskan oleh Pengadilan Negeri Semarang.

d. Menurut Hukum Agraria