Angkatan 30/Pujangga Baru
2 Angkatan 30/Pujangga Baru
a. Latar Belakang Lahirnya Pujangga Baru Lahirnya Angkatan Pujangga Baru didasari oleh hal-hal sebagai berikut: (1)
adanya tendesi karya sastra yang sebelumnya lebih bersifat politik. Hal ini dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat dan mengarah kepada nasionalisme; (2) menggeloranya semangat persatuan yang hidup di kalangan bangsa Indonesia termasuk golongan sastrawan. Golongan sastrawan tidak mau ketinggalan berjuang untuk membentuk persatuan bangsa dengan mengadakan pembaharuan dalam bidang kesusastraan.
b. Karakteristik Sastra Pujangga Baru Karakteristik sastra Pujangga Baru, di antaranya ialah: (1) tema pokok cerita
sudah tidak terfokus masalah adat/kawin paksa, melainkan sudah berorientasi ke masyarakat modern. Misalnya, kebutuhan hidup (Manusia Baru oleh Sanusi Pane), kedudukan wanita (Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisyahbana); (2) bersifat nasionalisme, misalnya romannya Sutan Takdir Alisyahbana; (3) bentuk atau cara pengucapannya bebas sesuai dengan kepribadiannya, misalnya roman, esai, kritik dan sebagainya; (4) prosa dan puisinya bersifat romantis, seperti nama buku Puspa Mega, Madah Kelana, Buah Rindu dan sebagainya, bahan sejarah misalnya Ken Arok, Ken Dedes, dan sebagainya.
c. Konsepsi Pujangga Baru sebagai Aliran Kebudayaan Para pengarang Pujangga Baru merupakan suatu angkatan yang diikat oleh
kesamaan konsepsi, yaitu cita-cita hendak mewujudkan kebudayaan baru yang dinamis dan kebudayaan persatuan Indonesia. Dengan kesamaan konsepsi ini, memungkinkan mereka bekerja sama dalam mewujudkan cita-cita, tetapi antara para pengarang Pujangga Baru mempunyai perbedaan dalam hal menentukan wujud dan cara mewujudkannya kebudayaan baru itu.
Mengenai konsepsi pembaharuannya dapat dibagi menjadi dua aliran, yakni aliran yang berhaluan ke Barat dengan tokohnya Sutan Takdir Alisyahbana dan aliran yang berorientasi ke Timur dengan tokohnya Sanusi Pane.
1) Sutan Takdir Alisyahbana Menurut Sutan Takdir Alisyahbana, bahwa kebudayaan Indonesia bukanlah kelanjutan dari kebudayaan Jawa, kebudayaan Sunda, dan ke- budayaan daerah yang lain. Kebudayaan pra-Indonesia bersifat statis, karena itu tidak boleh berperan dalam pembangunan kebudayaan baru. Sebaliknya kebudayaan Indonesia baru harus dinamis, karena hanya masyarakat yang dinamis itulah yang dapat diajak maju.
Sebagai ilustrasi, Sutan Takkdisr Alisyahbana mengemukakan contoh bangsa Barat yang telah berhasil meraih kemajuan di segala bidang, karena memiliki sifat yang dinamis, dengan unsur-unsur kebudayaan yang terdiri atas individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
Perkembangan Kebudayaan Masyarakat Nusantara di Bawah Penjajahan Asing
Menurut Sutan Takdir Alisyahbana untuk membentuk kebudayan baru, bangsa Indonesia harus berani mengambil unsur-unsur kebudayaan Barat. Sebab, unsur-unsur itulah yang membuat suatu bangsa menjadi maju dan dinamis. Kebudayaan kita masih dikuasai oleh nilai-nilai seni dan agama, maka kebudayaan kita disebut kebudayaan ekspresif.
Kebudayaan modern yang berkembang pesat dewasa ini lebih banyak dikuasai oleh ilmu dan ekonomi, lebih banyak berdasarkan akal dan perhitungan, sehingga disebut kebudayaan progresif. Kebudayaan progresif membawa masyarakat bangsa menjadi kaya akan nilai-nilai materi, tetapi terbelakang di bidang nilai rohani. Sebaliknya kebudayaan ekspresif mem- bawa masyarakat suatu bangsa menjadi kaya akan nilai-nilai rohani, tetapi terbelakang di bidang iptek dan kemakmuran materi. Oleh karena itu, kita harus mampu memadukan antara kebudayaan ekspresif dan progresif, agar menjadi bangsa yang maju baik di bidang rohani dan jasmani, di bidang agama dan iptek, serta menjadi makmur.
2) Sanusi Pane Menurut Sanusi Pane bahwa kebu-
Eksplorasi dayaan Indonesia baru yang akan dibentuk
Angkatan Pujangga Baru adalah
harus memadukan unsur-unsur kebudayaan
segolongan pengarang dan penyair yang
Barat dan Timur. Kebudayaan Barat oleh
tersebar di seluruh Nusantara dan sejak tahun 1933 menerbitkan majalah sendiri
Sanusi Pane dilambangkan sebagai faust,
dengan nama Pujangga Baru. Tahun 1933
seorang tokoh mitologi dalam sastra Barat
adalah tahun terbitnya Pujangga Baru dan
yang bersedia mengorbankan jiwanya asal
dianggap sebagai tahun permulaan
menguasai materi. Kebudayaan Timur oleh
Angkatan Pujangga Baru. Pelopor Pujangga Baru adalah Sutan Takdir
Sanusi Pane dilambangkan sebagai Arjuna,
Alisyahbana.
seorang tokoh ksatria dalam dunia pewa- yangan yang bersedia mengorbankan dirinya
untuk memperoleh keluhuran budi (segi rohani). Unsur-unsur kebudayaan, meliputi kolektivisme, spiritualisme, dan perasaan. Kebudayaan baru yang akan dibentuk harus memadukan unsur kebudayaan Barat (materialisme, intelektualisme, dan individualisme) dan kebudayaan Timur (kolektivisme, spiritualisme dan perasaan). Dengan kata lain kebudayaan baru yang akan dibentuk merupakan perpaduan antara kebudayaan Barat dan Timur.
d. Tokoh-Tokoh Sastra Pujangga Baru Tokoh-tokoh Pujangga Baru dan hasil karyanya adalah sebagai berikut.
1) Sutan Takdir Alisyahbana Sutan Takdir Alisyahbana dilahirkan di Natal, Tapanuli Selatan tahun 1908. Pada tahun 1928 ia menjadi guru HIS di Palembang, namun pekerjaan itu tidak menarik, dan pada tahun 1929 beralih ke pekerjaan sebagai redaktur kepala majalah Panji Pustaka.
Pada tahun 1930, menjabat sebagai redaktur kepala di Balai Pustaka. Mulai tahun 1937 melanjutkan studi di Sekolah Hakim Tinggi hingga memperoleh gelar Mister van de Recht (Sarjana Hukum) pada tahun 1942.
138 Sejarah SMA/MA Kelas XI Bahasa
Hasil karyanya, antara lain: (1) Tak Putus Dirundung Malang, roman tahun 1929; (2) Dian Yang Tak Kunjung Padam, roman tahun 1932, (3) Anak Perawan di Sarang Penyamun, roman tahun 1941; (4) Layar Terkembang, roman tahun 1936; (5) Tebaran Mega, puisi; (6) Dari Perjuangan ke Pertumbuhan Bahasa Indonesia, tahun 1957; (7) Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan.
2) Sanusi Pane Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, Tapanuli. Tingkat pendidikannya adalah Mulo, Kweek-school Gunung Sari, dan HIK di Bandung. Pada tahun 1923 belajar ke India untuk menambah pengetahuan tentang kebudayaan India. Kembali dari India menjabat redaksi majalah Timbul. Pada tahun 1934 menjadi kepala Perguruan Rakyat di Bandung, dan menceburkan diri di dalam dunia jurnalistik. Lapangan perguruan kemudian ditinggalkan dan menjadi redaktur harian Kebangunan, selanjutnya menjabat Ketua Kantor Pusat Kebudayaan di Jakarta. Karya sastranya adalah: (1) Pancaran Cinta tahun 1926, (2) Puspa Mega tahun 1927, (3) Madah Kelana tahun 1937, (4) Manusia Baru tahun 1940, (5) Arjuna Wiwaha tahun 1940.
3) Armyn Pane Armyn Pane lahir pada tahun 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli. Tingkat pendidikan adalah masuk SMA bagian A/1 (bagian sastra Timur) di Sala dan pernah mengenyam pendidikan dokter di Stovia Jakarta, dan pindah sekolah dokter di NIAS Surabaya (tidak tamat).
Semula bekerja sebagai wartawan, di samping sebagai guru bahasa dan sejarah pada sekolah Kebangsaan di Jakarta. Sejak tahun 1936 bekerja sebagai anggota sidang pengarang di Balai Pustaka. Pada masa pendudukan Jepang menjabat sebagai kepala bagian Kesusastraan di Kantor Pusat Kebudayaan di Jakarta. Pernah duduk sebagai anggota redaksi Majalah Indonesia dan Majalah Wanita.
Hasil karyanya antara lain: (1) Belenggu, tahun 1938, (2) Jiwa Berjiwa, tahun 1939, (3) Ratna, tahun 1943, (4) Kisah Antara Manusia, tahun 1949.
4) Amir Hamzah Amir Hamzah lahir di Binjai, Langkat 1911. Pendidikannya adalah: HIS, Mulo di medan, AMS di Solo, dan Sekolah Kehakiman baru sampai kandidat. Hasil karyanya antara lain: (1) Nyanyi Sunyi, (2) Buah Rindu, (3) Setanggi Timur.
5) Y.E Tatengkeng Hasil karyanya adalah Rindu Dendam tahun 1934.
6) Hamidah Hasil karyanya Kehilangan Mustika tahun 1935.
Perkembangan Kebudayaan Masyarakat Nusantara di Bawah Penjajahan Asing
7) Suman Hasibuan Hasil karya Suman Hasibuan meliputi: (1) Kasih Tak Terlerai tahun 1929, (2) Percobaan Setia tahun 1931, (3) Mencari Pencuri Anak Perawan tahun 1932, (4) Kasih Tersesat, tahun 1932, (5) Tebusan Darah, tahun 1939.