E PILOG ; R EFLEKSI A KHIR

G. E PILOG ; R EFLEKSI A KHIR

Hukum dari anasir genealogisnya tumbuh dan berkembang dari tingkah-laku interaktif anggota masyarakat dalam upaya mereka mencukupi segala kebutuhan hidup, dan dalam rangka menciptakan ketertiban sosial. Terkait dengan masalah ini disinyalir bahwa hukum tumbuh dan berkembang dari tradisi atau adat yang hidup di masyarakat. Dalam bahasa Emile Durkheim, hukum berevolusi sesuai dengan pergerakan perubahan bentuk solidaritas sosial, dari mekanik ke organik. Lebih tegas lagi von Savigny mengatakan bahwa hukum tumbuh dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang menjadi “ruh” penggerak kehidupan. Dalam pakem hukum Islam dikenal satu kaidah yang mengatakan bahwa “ al-âdat muhakkamah ”. Akibatnya, hukum adalah produk sosial dan kultural. Pernyataan di atas mengimplikasikan bahwa hukum cenderung tidak netral. Artinya, hukum tidak beroperasi dalam setting kevakuman yang terisolasi dari lingkup praktek dan diskursus kekuasaan. Hukum memainkan peranan dan fungsi spesifik dalam negara liberal sebagai ekspresi yang menurut Alan Hunt sebagai medium politis untuk mendekontekstualisasi kesadaran individual untuk menentang sebuah hegemoni. Hukum secara instrumental juga dimanipulasi untuk menopang dan

melanggengkan sebuah regim kekuasaan. 23) Keberadaan UUP. No. 1/1974 harus disoroti dari kerangka pikir di atas. Dari

analisis data empiris di atas, ada beberapa butir pemikiran yang perlu digarisbawahi di akhir tulisan ini untuk gagasan perubahan UU. No. 1, tahun 1974. Pertama , adanya desakan terhadap perbaikan UU. No. 1, Tahun 1974, tidak hanya pada isu teknis tetapi juga menyangkut isu substantif. Gagasan perbaikan tersebut berbasiskan perubahan sosial yang terjadi di mayarakat. Desakan terutama disuarakan oleh mereka yang aktivitas kesehariannya banyak bersing-gungan langsung dengan masalah perkawinan dan dunia perempuan. Pengalaman praksis telah menuntun mereka pada kesimpulan di atas. Fenomena ini semakin menguatkan klaim teoritis bahwa hukum dibangun berdasarkan pengalaman anggota masyarakat. Hukum yang tidak sejalan dengan doktrin aksiomatis ini akan selalu dikritik orang.

Kedua , memang masih ada usaha menentang gagasan perubahan UUP. No. 1/1974. Usaha konservasi UU tersebut terutama disuarakan oleh kalangan agamawan. Harus diakui bahwa walaupun cara pandang konservatif masih sangat dominan, namun gejala yang mengidealisasikan kehidupan yang egaliter dalam bentuk kemitraan semakin mengemuka. Namun determinasi ikatan kesadaran tafsiran keagamaan yang sangat tradisional, bahkan model beragama yang menjadi-kan fiqh ( furu‘iyyah) sebagai

SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7/ No.1, 2007

doktriner tertutup, untouchable , telah membuat responden sulit melewati batas-batas otoritas keagamaan. Bagi mereka, gagasan perubahan hukum yang berbasis agama akan dihujat sebagai bentuk pengingkaran terhadap agama. Model beragama, tepatnya cara memperlakukan wacana hukum keagamaan secara konservatif secara diametral berseberangan dengan pendirian Ibn Qayyim bahwa bersikap statis terhadap teks-teks karya ulama terdahulu adalah satu bentuk kesesatan dalam beragama ”, dan jika anda tetap konservatif, maka anda telah sesat dan tidak mampu memahami maksud-maksud para ulama dan generasi awal Islam (-al-salaf).

Ketiga , sikap konservatisme tokoh agama di atas di sisi lain memperlihatkan satu realitas unik tentang aplikasi keyakinan keagamaan, yaitu ambiguitas, atau inkonsistensi beragama. Islam sangat mengajarkan konsistensi, istiqamah pendirian; kesesuaian antara pengakuan keberanan dan realisasinya. Namun dalam studi ini, fenomena sikap banyak agamawan menarik untuk dielaborasi. Mereka yang menjadi icon keberagamaan di masyarakat tidak cukup istiqamah dalam menyikapi keyakinan keagamaannya. Sikap ambivalensi dan ambiguitas ber-agama juga nampak dalam kasus poligami. Walaupun banyak orang menyetujui legislasi dispensasi poligami, mereka juga sebetulnya tidak berani melakukannya dan mementang prakteknya. Dengan kata lain, isu polemik poligami lebih cenderung sebatas wacana keyakinan, bukan sebuah gerakan ideologis pembelaan praktis terhadap hak-hak laki-laki. Perlu ditambahkan, mayoritas responden menilai perlunya pemberian sanksi yang tegas kepada pihak yang melanggar hukum perkawinan.

Dalam kepribadian ambigius, doktrin agama diyakini dan dibela kebena-rannya, namun di sisi lain, keyakinan itu diingkari dalam aplikasinya. Walaupun mereka menyadari sikap ambivalensi tersebut, tetapi mereka tidak merasa bahwa citra diri beragama ala ini adalah satu bentuk negatif dalam menjadi (to be) seorang beragama; agama dipuji, tetapi sekaligus dilecehkan. Pelajaran lain dari fenomena di atas bahwa sikap tokoh agama terhadap doktrin hukum berbasis agama dapat dijadikan indeks dari dominasi orientasi ortodoksi beragama. Dalam konteks ini, hukum agama hanya dibela sebatas kebenaran doktriner yang sulit menembus alam imajiner, walaupun hukum tersebut sudah tidak fungsional menjalankan peran utamanya (menciptakan ketertiban sosial). Artinya, pembelaan eksistensi hukum-hukum agama sering semata-mata didasarkan pada pijakan pengakuan teologis yang tak membumi. Bahkan dalam banyak kasus, hukum berbasis agama dikonservasi dan dibela hanya karena nilai-nilai historis dan sakralitasnya, walaupun faktanya, sudah tidak fungsional.

Realitas ini adalah wajah buruk dalam beragama; agama hanya dijadikan sebagai entitas jumud , melangit tanpa akar di bumi. Jika gaya beragama ala ini tetap menjadi citra dan icon para agamawan, maka kita nampaknya akan selalu menghadapi benturan klaim teologis-konservatif dalam usaha perubahan hukum yang berbasis keagamaan. Akibatnya, disfungsi dan impotensi hukum agama dalam mengatasi problem-problem aktual akan terus terjadi. Hal ini semakin sulit diingkari ketika agama lebih dilihat dari sudut ortodoksi, atau disikapi hanya sebatas kebenaran teologis transendental, bukan sebagai media praksis untuk aktuliasasi dan realisasi pesan-pesan dasar agama (nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan). Akhirnya, apa yang dikhawatirkan Ibn Qayyim saat ini telah menjadi suatu fenomena hegemonik di masyarakat muslim.

Keempat , mengacu pada paradigma yang digagas sejumlah pemikir dan praktisi hukum dan didasarkan pada trend perubahan sosial yang terus bergulir di masyarakat, perbaikan terhadap UU. No. 1, Tahun 1974 sudah menemukan basis sosiologisnya,

Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang- Undang No. 1, Tahun 1974…

walaupun akhirnya usaha perubahan ini akan hadang oleh kelompok agamawan yang begitu kuat menjaga tradisi patriarkis dan tentunya dengan semangat konservasi dalam kerangka kesadaran teologis yang melangit tanpa akar di bumi.

Terkait dengan sinyal perubahan di atas adalah satu klaim yang terus menguat bahwa hukum yang baik adalah norma yang kontekstual, responsif dan fungsional. Dalam bingkai ini, satu kalimat akhir yang harus diperhatikan bahwa basis filosofis dan pola harapan terhadap masa depan UU. No. 1, Tahun 1974 sudah cukup jelas, yaitu harus bermuara pada usaha perbaikan kehidupan manusia. Namun gagasan perbaikan UU tersebut masih terbatas di kalangan yang berpikir progresif dan berorientasi ke depan, serta berpikir instrumental dalam melihat hukum. Harus diperhatikan bahwa walaupun secara kuantitatif jumlah penggagas perubahan UUP. No. 1/1974 relatif kecil, namun secara kualitatif, mereka mewakili kelompok sosial yang profesional, berpandangan jauh ke depan; masa depan yang membutuhkan dukungan hukum untuk sebuah kepastian. Karenanya, gerak perubahan UUP. No. 1/1974 hanya menunggu momentum yang tepat. Dibanding negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim, hukum perkawinan di negara kita masih sangat konservatif, dan terlambat berubah.

Akhirnya, dalam bingkai di atas, satu masalah yang fundamental adalah upaya melacak apakah masyarakat melihat adanya satu kenyataan baru bahwa UUP. No. 1/1974 telah ditinggalkan oleh permasalahan yang diaturnya. Jika perubahan sosial yang terjadi memang sudah terlampau jauh meninggalkan hukum perkawinan yang berlaku sekarang, maka pasti ada kejanggalan yang dirasakan oleh masyarakat luas, dan tentunya kejanggalan ini tidak bisa diabaikan. Walaupun kita berupaya menutup mata terhadap tuntutan perubahan hukum sebagai akibat dari derasnya perubahan sosial, maka secara sosiologis, UUP. No. 1/1974 pelan-pelan akan ditinggalkan orang. Karena sejarah perkembangan hukum mengajarkan kepada kita bahwa hukum yang tidak sejalan dengan nilai-nilai di mana hukum tersebut diberlakukan, ia hanya berupa kumpulan peraturan mati yang tidak fungsional guna mengatur kehidupan sehari-hari, dan ia secara gradual akan ditinggalkan. Soer jono Soekanto menegaskan “ tidak ada hukum yang mengikat warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya 24) ”.

Terlepas dari segala perdebatan di atas, kalaupun UU. No. 1, Tahun 1974 tetap dipertahankan, sementara di sisi lain perubahan sosial tidak mungkin dibendung, maka akan banyak persoalan hukum yang sulit terselesaikan. Bukankah hukum lahir guna memberikan panduan kepada anggota masyarakat untuk bisa menyelesaikan persoalan keseharian mereka. Hukum lahir, bergerak dan hidup bersama masyarakat. Hukum tidak boleh dipuja, apalagi dikultuskan hanya karena sejarah asal-usulnya. Sebaliknya, eksistensi hukum harus terukur dan diuji dengan standar sejauhmana kemampuan hukum tersebut dapat menjalankan fungsi utamanya, dan kemampuan menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat.

Jakarta, 2 Juni 2007 Wa Allâh a‟lam bi l-shawâb

Catatan Akhir

1 Analisis sosial-legal terhadap hokum berkembang pesat di Eropah dan USA. Untuk contoh hasil analisis kritisnya lihat Austin Sarat, et.als., Crossing the Boundaries: Traditions and Transformations in Law and

Society Research , (Evanston, Illinois: Northwestern University Press, 1998); Bryant Grath, et.als., Justice and Power in Sociolegal Studies , (Evanston, Illinois: Northwestern University Press, 1997).

SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7/ No.1, 2007

2 Noryamin Aini. “Budaya Hukum: Melintas Batas Formalisme-Yuridis (Sentralitas Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Kuning dalam Putusan Pengadilan Agama)”, Era Hukum: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum,

No.3/Th.9/Mei (2002); Catherine MacKinnon. Toward a Feminist Theory of The State, (Cambridge: Harvard University Press, 1989a); Feminism Unmodified: Discourses on Life and Law, (Cambridge, MA & London, England: Harvard University Press, 1987b); The Honourable Maryka Omatsu. “The Fiction of Judical Impartiality”, C. Journal of Women and Law, (1997), hal. 10; Jennifer Nedelsky. “Embodied Diversity and the Challenges to Law”, McGill Law Journal, Vol. 42, (1997), hal. 98.

3 Elizabeth Comack and Stephen Brickey, eds. The Social Basis of Law: Critical Readings in the Sociology of Law , (Halifax, Nova Scotia: Garamond Press, 1991); Louis A. Knafla and Susan W.S.

Binnie, eds. Law, Society and the State; Essays in Modern Legal History, (Toronto: University of Toronto Press, 1995); Carol Smart and Julia Brophy. “Locating Law: A Discussion of the Place of Law in Feminist Politics”, dalam Women in Law: Explorations in Law, Family and Sexulity, Julia Brophy and Carol Smart. eds. (London: Routledge & Kegan Paul, 1985), hal. 1.

4 Power tidak hanya sekedar kekuasaan politik atau lebih sederhana lagi sebagai kekuatan fisik atau alam. Dalam kajian sosial post-strukturalist, power mengambil bentuknya yang sangat beragam. Untuk pembahasan

mendetail tentang format-format power, kekuasaan, lihat Thomas E. Wartenberg. The Forms of Power: From Domination to Transformation , (Philadelphia: Temple University Press, 1990); Barry Hinderss. Discourses of Power: from Hobbes to Foucault , (Oxford: Backwell Publishers , 1996).

5 Piőtr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, terj. Alimanda, (Jakarta: Prenada, 2004). Bab pertama buku ini sangat kritisi mendudukkan isu perubahan sosial dan interdependensi anasir sosial.

6 Susan F. Hirsch. Pronouncing and Persevering; Gender and the Discourse of Disputing in an African Islamic Court , (Chicago: the University of Chicago Press, 1998); Richard F. Devlin, ed., Feminist Legal

Theory , (Toronto: Edmonton Montgomery Publications Limited, 1991); E.B. Pashukanis, Law and Marxism: A General Theory , (London: Ink Links, 1978).; Valerie Kerruish, Jurisprudence as Ideology, London: Routledge, 1991); E.Adelberg and C.Currie, eds., In Conflict with the Law: Women and the Canadian Justice System, (Vancouver: Press Gang Publishers, 1993). Untuk kritik hukum dari perspektif feminis, lihat Bryna Bogoch. “Gendered Lawyering: Difference and Dominance in Lawyer-Client Interaction”, Law and Society Review , Vol. 31 (1997); Bryna Bogoch, “Courtroom Discourse and the Gendered Construction of Professional identity”, Law and Social Inquiry, Vol. 24 (1999); Judith A. Bear. Our Lives Before the Law: Constructing a Feminist Jurisprudence , (New Jersey: Princeton University Press, 1999); Hilaire Barnett. Introduction to Feminist Jurisprudence, (London: Cavendish Publishing Limited, 1998); N. Naffine. Law and the Sexes , (Sydney: Allen and Unwin, 1990). 7 E.P. Moore. “Law‟s Patriarchy in India”, dalam Contested States: Law, Hegemony and Resistance, Mindie

Lazarus-Black and Susan F. Hirsch, eds, (New York: Routledge, 1994), hal. 92. Untuk konteks analisis lain, lihat karya G.M. Matoesian. Reproducing Rape:Domination through Talk in the Courtroom, (Chicago: The University of Chicago Press, 1993).

8 Umpama, dalam proses legislasi Undang-undang No. 1, Tahun 1974, tentang Perkawinan, ada 10 oran anggota tetap DPR dan 15 orang anggota pengganti yang terlibat. Hanya ada 3 orang perempuan yang terlibat dalam

panitia kerja. Hal yang lebih menyedihkan lagi, mereka hanya difungsikan sebagai sekretaris yang bungkam seribu bahasa walaupun isu-isu yang dibicarakan menyentuh persoalan kehidupan mereka. Untuk analisis sejarah keterlibatan kaum perempuan dalam provisi Undang-undang No. 1, Tahun 1974, lihat Indraswati Saptaningrum , Pembakuan Peran Perempuan dalam Undang-undang Perkawinan, Laporan Penelitian, (Jakarta: LBH-Apik, 1999).

9 Satjipto Rahardjo. Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1981), hal. 100-101 10 Kathleen Gerson. No Man’s Land: Men’s Changing Commitments to Femily and Work, (New York: Basic Books, 1993); Barbara L. Epstein. The Politics of Domesticity, (Middletown, CT: Wesleyan

University Press, 1981). 11 Bernard Lewis, The Spirits of Islamic Law, (Cambridge: Oxford University Press, 1999); Lawrence

Rosen, The Anthropology of Justice: Law as Culture in Islamic Society, (Cambridge: Cambridge University Press, 1989); Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Clarendon Press, 1964). Bab pertama buku terakhir ini dengan jelas memotret sinyalemen ini.

Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang- Undang No. 1, Tahun 1974…

12 Herbert, A.L. Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Harvard Law Review; The Concept of Law , (New York: Oxford University Press, 1961).

13 Abû Hamid al-Ghazâlî, al- Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, (Beirût: Dâr al-Turâts al-‟Arabî, 1907), Jilid 1, hal. 281.

14 Teks aslinya adalah “Fa inna l-syarî’ah mabnâhâ wa asâsuhâ ‘alâ l-hikam wa mashâlih al-ibâd fî al- ma’âsy wa l-ma’âd, wa hiyâ ‘adl kulluhâ, wa mashâlih kulluhâ wa hikmah kulluhâ, fa kullu mas’alah

kharajat ‘min l-‘adl ilâ l-jûr, wa ‘an al-rahmah ilâ dhidhdhihâ, wa ‘an al-maslahat ilâ l-mafsadah, wa ‘an al-hikmah ilâ al-‘abats falaysa min al-syarî‘ah wa in ’udkhilat bi l-ta’wîl”. Syamsuddin Abû Abdullâh Muhammad ibn Abî Bakr (dikenal dengan Ibn Qayyim), I’lâm al-Mu’aqqi’în ’an Rabb al- ’Âlâmin, (Kairo: Mutâba‟ah al-Islâm, 1980), Jilid 3, hal. 3.

15 Diksi fiqh yang dalam wacana hukum sering disinonimkan dengan Hukum Islam sebetulnya telah mengalami perkembangan. Di era paling awal sejarah kebudayaan dan peradaban Islam, era genarasi

sahabat Nabi sampai kira-kira ± pertengahan awal abad ke-2 Hijriyah, term fiqh bermakna pemahaman individual ulama tentang ajaran Islam yang bersumber dari al- Qur‟an dan Hadits. Pada era ini, istilah fiqh lebih menggambarkan mekanisme dan proses berpikir yang hasilnya sangat bersifat subyektif dan personal; hasilnya tidak harus menjadi referensi hukum, dan eksistensinya tidak mengikat. Pada pase kedua, dimulai pada paroh kedua abad ke-2 Hijriyah, istilah fiqh mengalami pergeseran dari makna awal sebagai proses berpikir individual ke arah standarisasi kebenaran dan metodologi berpikir yang obyektif. Proyek standarisasi mekanisme berpikir (metodologi) ini kemudian menghasilkan acuan obyektif tentang hasil berpikir atau pemahaman. Di tahap lanjutannya, pase ketiga, di saat hasil pemikiran yang telah terstandarisasi ini mulai dikodifikasikan, maka fiqh direduksi dan dibakukan identik dengan hukum dan yurisprudensi. Fiqh yang awalnya fleksibel, kemudian berubah menjadi doktrin tertutup dan nyaris tidak mungkin tersentuh untuk proyek perubahan hukum Islam Lihat Fazlur Rahman, Islam, terj. Trahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 2003), hal 141-145; A. Qodri Azizy, Ekletisisme Hukum Nasional: Kompetisi a ntara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta:Gama Media, 2002, terutama bagian awal buku).

16 Syamsuddin Abû Abdullâh Muhammad ibn Abî Bakr, Op.Cit, Jilid. 3, hal. 77-78. 17 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Alumni, 1981). 18 Kajian tentang pembakuan peran ke dalam hukum, lihat Nancy Levit. The Gender Line: Men, Women and

the Law , (New York: New York University Press, 1998); Indraswati Saptaningrum , Pembakuan Peran Perempuan dalam Undang-undang Perkawinan , Laporan Penelitian, (Jakarta: LBH-Apik, 1999).

19 Yaitu (a) Sumatera Utara, (2) Sumatera Barat, (3) DKI Jakarta, (4) Jawa Barat, (5) Jawa Tengah, (6) Kalimantan Selatan, (7) Sulawei Utara, (8) Bali, dan (9) Nusa Tenggara Barat.

20 Satu kasus menghebohkan terjadi di Jakarta di saat seorang tokoh prioner pembela hak-hak perempuan diam-diam menikahi sekretarisnya tanpa memberitahu istri tuanya. Peristiwa ini menuai hujatan keras.

Seorang pakar perempuan yang merasa dikhianati oleh tokoh tersebut, konon, langsung membakar buku tokoh dimaksud yang telah diberi kata pengantar olehnya.

21 Untuk contoh kritikan tajam yang diarahkan kepada Undang-undang No. 1 lihat ulasan Harian Kompas, 12 Oktober 2000 yang secara khusus menurunkan liputan tentang mengkaji ulang Undang-

undang Nomor 1, Tahun 1974. 22 Semua nama pelaku dan korban poligami disamarkan untuk menjaga konfidensialitas, atau kerahasiaan

mereka dan etika penelitian. 23 Alan Hunt, “The Theory of Critical Legal Studies”, Oxford Journal od Legal Studies, Vol. 6 (1), 1986.

24 Soerjono Soekanto, Kesadaran dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV Rajawali, 1982), hal. 145.

SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7/ No.1, 2007