DASAR LEGITIMASI SOSIOLOGIS GAGASAN PERU (1)

DASAR LEGITIMASI SOSIOLOGIS GAGASAN PERUBAHAN UNDANG-

UNDANG NO. 1, TAHUN 1974 DALAM KONTEKS

PERUBAHAN SOSIAL

Noryamin Aini

Penulis adalah Dosen Tetap bidang Sosiologi Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Jakarta, 1989; S-2 Sosiologi, 1995, The Flinders University Adelaide, Australia Selatan, dan mengikuti Ph.D. Sandwich Program, bidang Gender Studies, spesialisasi Feminist Legal Theory, 1999-2000, di McGill University, Montreal, Canada). (Email: noryamin2001@yahoo.com ).

Abstrak

Hukum adalah acuan normatif-baku yang fungsi utamanya menciptakan ketertiban sosial dan menjamin keadilan. Namun eksistensi hukum untuk menjalankan fungsi tersebut tidak mudah karena sifat dasar dan asal-usul hukum itu sendiri; yaitu selain sebagai produk sosial-politik, hukum dibingkai dalam kerangka nilai-nilai kultural-religius masyarakat yang melahirkannya. Hukum dan masyarakat diikat dengan kesamaan asumsi kultural dan keyakinan warganya. Dari sisi ini, hukum secara sosiologis adalah pembakuan formal asumsi di atas. Pembakuan ini menjadikan hukum statis, sedang masyarakat yang diaturnya dimanis. Dengan karakter unik ini, antara hukum dan masyarakat selalu terbentang kesenjangan yang harus disikapi secara bijak dengan kearifan lokal. Dalam kerangka ini, bagaimana masyarakat menyikapi idealitas dan realitas hukum perkawinan nasional? Tulisan ini menganalisis Undang-undang RI. No. 1, Tahun 1974 dalam konteks perubahan sosial dan semangat perbaikan hukum.

Kata kunci : Perubahan sosial, kontekstual, konservatisme, ideologi dan hukum.

A. P ENDAHULUAN Selalu ada kesan pejoratif terhadap gagasan perubahan hukum, terutama hukum yang bernuansa keagamaan dan bermuatan sarat dengan beban ideologis. Tetapi, inspirasi dan tuntutan perubahan hukum adalah fenomena yang sangat sosiologis-historis. Suka atau tidak, secara

de facto , perubahan hukum tidak dapat diingkari, juga tidak mungkin dibendung, khususnya jika hukum yang ada sudah tidak mampu lagi mengayomi dan mengakomodasi kepentingan masyarakat luas, minimal komunitas yang secara sistematis selalu dirugikan oleh hukum yang ada. Dalam konteks ini adalah menarik untuk dianalisis wacana sosial-legal tentang kondisi obyektif Undang-undang No. 1, Tahun 1974 (selanjutnya UUP. No. 1/1974) yang telah berusia 33 tahun. Ini usia yang cukup tua untuk daya bertahan sebuah hukum. 1

Perlu ditekankan di sini bahwa jika kesan pejoratif, penentangan secara apriori terhadap gagasan perubahan hukum, kita tidak perlu menyalahkan fihak tertentu. Inilah fakta yang sering merias wajah kajian sosiologis hukum Islam terutama dalam semangat perubahan baik dari sudut pandang relasi gender, HAM, demokrasi atau pluralisme. Dalam rangkaian diskusi tentang UUP. No. 1/1974, fenomena polemis-kontroversial terus mengemuka. Gagasan kelompok yang mengatas-namakan diri sebagai pejuang anti kedzoliman terhadap perempuan menilai UUP. No. 1/1974 dalam beberapa hal perlu ditinjau-ulang terutama dari sisi keadilan dan kesetaraan gender. Tulisan ini diharapkan memberikan pengaya-an intelektual tentang UUP. No. 1/1974. Analisis difokuskan pada status kepastian hukum perkawinan dan dispensasi poligami dalam bingkai relasi gender. Pertama didiskusikan kontekstualitas konstruksi hukum, kemudian berurutan dibahas prinsip dasar analisis dan konteks perkembangan hukum perkawinan Islam, dan gagasan empiris perubahan hukum perkawinan.

Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang- Undang No. 1, Tahun 1974…

B. K ONTEKS I LMIAH S TUDI H UKUM P ERKAWINAN N ASIONAL

Hukum adalah bingkai acuan normatif bertingkah laku untuk mewujudkan ketertiban sosial. Kalangan ahli hukum sepakat bahwa hukum secara instrumental bukan suatu tujuan, tetapi ia berfungsi sebagai media praksis yang sangat kontekstual guna mewujudkan keadilan di tengah masyarakat. Secara sosiologis, hukum terbentuk sebagai responsi sosial-legal untuk menjawab tuntutan dan tantangan ketertiban. Dalam konteks

ini, hukum merupakan produk dinamika sosial-kultural-politik. 2) Dalam wacana hukum, termasuk hukum Islam, hukum memiliki basis sosial-

kultural-politik. 3) Mengingat sebagai produk sosial-kultural-politik, atau sebagai refleksi jaringan nilai-nilai, maka hukum selalu bersifat kontekstual. Entitas hukum selalu

mengusung semangat ruang dan waktu. Akibatnya, hukum sulit membebaskan diri dari segala jerat nilai-nilai spatial dan temporal; hukum selalu mengusung dan memancarkan semangat zaman dan dimensi ruangnya. Hukum sulit untuk mampu mentransendensikan dinding-dinding atau hambatan konteks ruang, waktu, nilai-nilai, struktur sosial, kultural, religius dan politis yang membing-kainya. Dari sisi lain, kajian-kajian sosial-legal tentang hukum telah membukukan banyak fakta bahwa ada interdependensi antara hukum dan pranata-pranata sosial serta struktur informal lainnya. Harus diakui bahwa hukum tidak dapat berdiri sendiri. Bahkan tidak hanya sekedar interdependensi, hukum dalam banyak kasus justru sering diperebutkan oleh sejumlah kekuatan sosial-politik- ideologis dalam masyarakat. 4)

Kenyataan bahwa hukum bermuatan pesan dan semangat spasial-temporal menyiratkan satu isu substansial dalam kajian hukum, yaitu hukum berada dalam jaringan dan konstelasi tarik-ulur kepentingan relasi kuasa sosial politikdan ideologi. Hukum harus dipahami dalam jaringan dan konstelasi tersebut. Hal ini terkait dengan bukti bahwa hukum hanya satu komponen dari sekian banyak anasir sosial-politik yang saling bergantung dan saling menopang. Pi őtr Sztompka menegaskan bahwa dinamika dan gejolak berbagai kehidupan sosial-politik justru akan diikuti dengan ketergantungan satu sektor kehidupan yang lain kepadanya. 5) Dengan melihat adanya kesaling-terkaitan

dalam proses sosial di atas, maka hal yang serupa juga dijumpai pada kehidupan hukum. Artinya, perubahan sosial akan menguji dan mempertanyakan eksistensi hukum terutama aspek fungsi utamanya menciptakan ketertiban sosial.

Sebagai sebuah produk dinamika sosial, hukum bermuatan nilai-nilai luhur yang mengilhami, menghidupinya, dan bersumber dari asumsi-asumsi sosial-kultural-religius

masyarakat. Namun sayangnya, seperti fakta yang lumrah dalam diskursus kekuasaan, 6) eksistensi relasi-relasi sosial, politik dan budaya yang membidani dan membesarkan

norma hukum tidak selalu seimbang, tetapi penuh dengan ketimpangan dan dominasi. Karenanya, tidak berlebihan jika dalam wacana marxian tumbuh keyakinan bahwa hukum sebagai epifenomenon, supra-struktur . Umpama, fenomena “ No dispute- processing forum welcomes women’s complaints; their issues are often not recognized as actionable in the legal lexicon of the male forums ”7) sudah menjadi sesuatu yang lumrah.

Dalam konteks ini, karena kungkungan ideologi, komunitas marginal cenderung menjadi korban kepen-tingan hegemonik the ruling group . Dalam perumusan kebijakan hukum, peran perempuan, kelompok marginal-minoritas sangat minimal. 8) Ringkasnya, hukum

adalah refleksi dari nilai-nilai yang elit-dominan di masyarakat. Secara sosiologis, hukum memiliki kepentingannya sendiri guna mewujud-kan ketertiban sosial dan keadilan. Di sisi lain, ia juga terikat pada komposisi bahan pokok diskursif-konstruktif yang disediakan oleh masyarakatnya. Secara teoritis, hukum yang

SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7/ No.1, 2007

baik adalah norma yang antisipatif, responsif, mampu beradaptasi dan mengakomodasi perubahan yang terjadi. Hukum dalam kaitannya dengan perubahan sosial mempunyai dua sisi. Pertama , perubahan sosial akan berujung pada perubahan hukum jika ada kesadaran dan kehendak masyarakat tentang urgensitas perubahan hukum seiring dengan akselerasi perubahan sosial. Butir ini menuntut political will dari pemerintah yang berkuasa. Faktanya, kehendak ini sering dihadang oleh semangat konservatisme , dan sakralisasi hukum. Orang sering mengatas-namakan Tuhan dan kepentingan publik untuk menentang perubahan hukum yang berdimensi agama. Fenomena ini sangat nampak pada segala bentuk usaha perubahan UUP. No. 1/1974. Kedua , dalam perspektif rekayasa, rancang-bangun sosial, hukum dapat dijadikan sebagai

a tool for social engineering . Sebagai bagian dari sub-sistem sosial yang mengalami supra interdependensi, eksistensi hukum sangat bergantung pada keberadaan institusi dan struktur sosial-politik lainnya di masyarakat.

Dua unsur hukum di atas bagai dua sisi mata uang, dan akan mengantarkan kita pada kesadaran akademis untuk selalu melihat hukum dalam setting sosial-politik dan kulturalnya. Hal ini penting mengingat bahwa walaupun hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan sosial, namun satu masalah yang menarik bahwa hukum justru senantiasa tertinggal di belakang pergerakan subyek yang diaturnya. Antara hukum dan masalah yang diaturnya selalu tercipta jarak kesenjangan, bahkan terkadang dalam skala yang sangat menyolok dan sulit ditolerer.

Dalam tata negara modern yang ditandai dengan kemunculan lembaga legislatif yang mengemban tugas-fungsi eksklusif untuk merancang-bangun hukum, pembuatan hukum menjadi lebih efektif dan profesional. Peningkatan dan sopistikasi fungsi formal pembuatan peraturan ini sekaligus meningkatkan sistem dan mekanisme bekerjanya hukum secara lebih meluas. Hukum kemudian akan menjamah ranah-ranah kehidupan individual yang sangat pribadi, sehingga peraturan-peraturan tersebut menjadi semakin kompleks. Dengan semakin meluasnya pengaturan beragam aspek kehidupan secara formal, relasi-relasi sosial akan lebih banyak dituangkan ke dalam bagan-bagan hukum yang baku, beku dan statis. Pembakuan nilai-nilai ke dalam format hukum positif telah dan terus menjadikan hukum sebagai satu institusi sosial yang cenderung berwatak kaku dan terkadang sangat jumud terutama jika hukum tersebut melindungi kepentingan regim yang berkuasa. Akibatnya, semakin besar pula kemungkinan ketertinggalan hukum di belakang peristiwa dan tingkah-laku warganya karena ketidak-mampuan hukum beradaptasi dengan perubahan.

Fakta ketertinggalan hukum di belakang subyek yang diaturnya sering dika-takan sebagai karakter dasar dari hukum, terutama hukum yang direinstitusiona-lisasi oleh lembaga formal. Tetapi ketertinggalan ini baru akan menimbulkan persoalan serius di masyarakat saat jarak yang memisahkan antara peraturan formal dengan kenyataan sosial, politik dan ekonomi telah melampai batas-batas toleransinya seperti kemunculan disorganisasi sosial-politik. Satu adigium hukum Islam menggaris- bawahi “ taghayyur al- hukm bi taghayyur al-azminat wa l-amkinat ” (perubahan hukum berjalan simetris dengan perubahan tempo dan spasial). Namun juga perlu diingat bahwa tidak selalu perubahan sosial mengaki-batkan perubahan hukum.

Dalam wacana realisme-pragmatis hukum, perubahan hukum baru terjadi di saat dua unsur utamanya telah bertemu pada satu titik singgung yang kritis. Dalam konteks ini, Sinzheimer seperti disadur Rahardjo mendeskripsikan isu kunci untuk menjabarkan saat perubahan sosial diikuti perubahan hukum yang mengaturnya. 9) Perubahan sosial

Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang- Undang No. 1, Tahun 1974…

yang melahirkan keadaan baru telah mejungkir-balikkan nilai-nilai dasariah lama, sehingga proses interaksi social-politik dalam kehidupan keseharian menjadi terganggu, apalagi jika terus mengalami stagnasi. Contoh, di negara super “industrial”, angka partisipasi perempuan di ranah produksi sangat tinggi. Keadaan ini menuntut restruk- turisasi dan reorientasi divisi kerja dalam rumah tangga. Dalam konteks tersebut, pem- bagian kerja secara seksual (publik-produksi untuk laki-laki, dan domestik-reproduksi untuk perempuan) dirasakan sudah tidak tepat lagi karena ia akan menambah beban kerja perempuan, yaitu mereka dituntut terlibat di dunia produksi, dan juga diharuskan secara ideologis untuk mengerjakan tugas konvensionalnya. 10)

Contoh lain bahwa multi-kulturalisme dan demokrasi menghendaki apresiasi terhadap hak-hak setiap individu warga negara dengan prinsip hak kesetaraan di depan hukum. Pretensi untuk kepentingan komunal tidak diizinkan untuk menekan hak-hak individu kelompok minoritas yang berada di pelataran luar teras mainstream . Saat ini, arus deformalisasi, privatisasi dan desakralisasi relasi marital mulai menggeser cara pandang tipikal banyak orang dalam memaknai institusi perkawinan. Akibatnya, eksistensi UUP. No. 1/1974 terus mendapat sorotan dan tantangan. Bahkan pemaknaan terhadap UUP ini telah mengalami pergeseran. Di waktu proses legislasinya di DPR di awal tahun 1970an, Undang-undang ini telah dihujat dan ditolak karena dinilai tidak islamis, minimal beberapa pasalnya dinilai berseberangan dengan doktrin Islam. Tetapi belakangan, setelah heboh kemunculan draft tandingan ( counter legal draft ) KHI, UUP. No. 1/1974 dan KHI sendiri dibela habis-habisan karena dinilai sudah sangat islamis. Dengan kata lain, ada antagonisme di sekitar hukum perkawinan.

Dari sisi ini, kajian kritis terhadap konstruk-konstruk hukum perkawinan nasional sangat penting, terutama untuk membongkar mitos “keluguan” hukum ( the innocence of

law ), popularitas dan akseptebilitas di mata masyarakat.

C. P IJAKAN D ASAR A NALISIS H UKUM I SLAM DALAM K ONTEKS P ERUBAHAN Seperti hukum lainnya, hukum Islam dibangun atas dasar berbagai postulat ideal- filosofis. Dalam konteks ini, ada beberapa prinsip dasar perkawinan hukum Islam. Secara metodologis ( tarîqa al-istinbât ), dalam bingkai ushul al-fiqh , fuqahâ sepakat bahwa prinsip-prinsip itu harus selalu dijadikan acuan dalam pembicaraan hukum perkawinan Islam terutama untuk agenda penerapannya.

Pertama , hukum Islam sangat menekankan moral. Bahkan dimensi moral lebih menonjol dibanding unsur formalnya. Semua ketetapan hukum Islamt tak boleh tercerabut dari akar moral. Dalam wacana fiqh , formalitas tak boleh mengebiri moralitas hukum; aspek formal hukum harus disemangati dengan jiwa dan moral keadilan. Moral

adalah spirit hukum Islam. 11) Perlu ditegaskan bahwa pesan moral berbeda dengan target formal hukum; moral mengenai baik-buruk , sedang forma-lisme hukum mengacu pada

dimensi kesahihan . Tidak semua yang sah menurut hukum formal adalah baik, dan tidak setiap hal yang baik adalah sah menurut hukum formal . Kesenjangan antara keduanya sering terlihat dalam aplikasi hukum Islam. Konsep ideal hukum Islam terukur dengan standar kedekatan idealitas hukum dengan realitas, aplikasinya.

Kedua , terkait dengan butir pertama di atas adalah teori bahwa jiwa ( volks-geists ) hukum Islam adalah keadilan, kepedulian, kasih-sayang dan kesetaraan. Tidak hanya kesamaan di depan hukum yang diperjuangkan secara un sich , tetapi hukum Islam memberikan hak virtual yang setara kepada setiap orang berda-sarkan norma hidup yang berlaku di masyarakat. Jauh sebelum Prof. Hart, tokoh positivisme hukum kontinental

SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7/ No.1, 2007

memisahkan dimensi formal dari jiwa keadilan hukum, 12) eksistensi hukum telah distandarisasi dengan keadilan yang dikandung dan diperjuangkannya. Dalam diskursus

hukum Islam, keadilan adalah pilar dasar syari‟at Islam. 13) Imam al-Ghazâlî (w. 505 H) menegaskan “tujuan syari’ at Islam adalah kemaslahatan ”. Senada dengan gagasan ini

adalah pernyataan Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H), yaitu “asas dan pijakan syari’at Islam adalah hikmah dan kemaslahatan, kebaikan kehidupan duniawi dan ukhrawi umat manusia; semuanya bercitrakan keadilan, kemaslahatan dan hikmah kehidupan bermasya- rakat; dan (syari’at Islam) sebaliknya menentang segala bentuk kerusakan, kedzoliman dan kesia-siaan. 14) ”.

Ini artinya, segala bentuk ketidak-adilan adalah musuh utama hukum Islam. Bahkan dalam banyak ketentuan, hukum Islam sangat berpihak kepada kelompok yang lemah, tertindas. Perlu diingat bahwa misi utama Islam adalah membawa pesan kebaikan dan kebahagiaan dunia-akhirat; menentang segala bentuk kedzoliman dan ketidakadilan. Prinsip ini selalu ditegaskan fuqahâ saat mereka membicarakan prinsip dasar hukum Islam. Ibn Qayyim mempertegas lebih jauh bahwa bukanlah syari‘at Islam jika wacana tafsir teks suci bersikap diskriminatif terhadap satu kelompok sosial tertentu, atau jika ia mengakibatkan kedzoliman terjadi dalam kehidupan .

Ketiga , hukum perkawinan Islam bersumber dari al-Qur'an dan hadits. Segala bentuk hukum Islam seperti yang diyakini banyak orang, tetapi bertentangan dengan prinsip dasar (seperti keadilan, dan keseteraan) dari kedua sumber ajaran ini, harus dianulir, minimal perlu dikaji-ulang. Kalau terjadi pertentangan antara beberapa ketentuan formal (karena persoalan khilafiyah ), para fuqahâ selalu merujukkannya kepada kedua sumber ajaran dasar tersebut.

Keempat , walaupun bersumber dari al-Qur'an dan hadits, hukum Islam dalam arti fiqh 15) adalah refleksi atau hasil kreasi fuqahâ dalam meresponi persoalan zaman. Ini

artinya, hukum Islam kental dengan semangat ruang dan waktu di mana dan di saat hukum tersebut dikonstruksi. Dengan kata lain, keberadaan hukum Islam sangat bersifat kondisional. Dalam hal ini, Ibn Qayyim lebih jauh menegaskan bahwa

Ulama berpendapat: “Anda tidak boleh terpaku pada teks-teks yang dikutip dalam kitab-kitab (kuning) sepanjang hidup anda. Jika orang luar, asing, datang menemui anda untuk menanyakan suatu persoalan hukum (iftâ), maka anda tanyai dulu tradisinya. Sesudah itu, baru anda putuskan ketentuannya berdasarkan analisis anda terhadap tradisi itu; bukan berdasarkan tradisi daerah tempat tinggal anda dan apa-apa yang terdapat dalam kitab-kitab (aliran) anda. 16)

Kutipan ini mengingatkan urgensitas bersikap kontekstual saat kita membi-carakan penerapan hukum Islam. Ibn Qayyim lebih jauh mempertegas bahwa “ model berpikir kontekstual adalah kebenaran nyata (al-haqq al-wâdhih) dan bersikap statis terhadap teks-teks karya ulama terdahulu adalah satu bentuk kesesatan dalam beragama ” ( al- jumûd ‘alâ l -manqûlât dhalâl fi l-dîn ), dan jika anda tetap konservatif, maka anda telah

sesat dan tidak mampu memahami maksud-maksud para ulama dan generasi awal Islam (al-salaf) . Dengan kata lain, teks-teks hukum Islam yang telah digagas fuqahâ harus dibaca dalam konteks semangat kelahirannya. Sejarah hukum Islam adalah potret

dinamika, bukan kejumudan. Kelima , butir keempat di atas mengimplikasikan bahwa eksistensi hukum perkawinan Islam sangat bergantung pada aspek semangat ruang dan waktu. Dalam bingkai kaidah taghayyur al-hukm bi tagayyur al-azminat wa l-amkinat , perubahan hukum Islam adalah sebuah kewajaran. Bahkan perubahan hukum, secara sosiologis, adalah suatu keniscayaan ketika ketentuan hukum yang ada sudah begitu jauh

Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang- Undang No. 1, Tahun 1974…

ditinggalkan oleh obyek-subyek hukum (keadaan dan perilaku masyarakat) yang diaturnya. Imam Syâfi„î (w.204 H) telah mencontohkannya melalui praktek qawl qadîm

(pendapat lama) saat beliau berada di Kufah, dan qawl jadîd (pendapat baru) setelah pindah menetap di Mesir. Satjipto Rahardjo mensinyalir bahwa ciri utama hukum selalu tertinggal dari masalah yang diaturnya. Ini terjadi mengingat karakter kunci hukum bersifat statis sedang masyarakat sangat dinamis seiring perubahan yang terus bergulir,

mengalir seperti air, tanpa ada yang bisa membendungnya. 17) Selain lima prinsip teoritis di atas, juga perlu ditegaskan bahwa materi UUP. No.

1/1974 jika dilihat dari segi hukum Islam, sangat kental dengan doktrin tradisional fiqh munâkahât yang dirumuskan fuqahâ di awal abad sejarah konstruksi hukum Islam, terutama abad kedua, ketiga dan keempat hijriah. Juga mendasar bahwa materi hukum perkawinan Islam yang tertuang dalam UUP. No. 1/1974 sangat kental dengan doktrin Syâ fi’iyyah dengan segala kultur arab dan struktur sosial pra modernnya. Walaupun

disepakati bahwa fiqh munâkahat bersumber pada al-Qur'an dan hadits, konstruksinya bercirikan beberapa hal berikut. Pertama, fiqh munâkahât lahir dari pribadi kesalehan fuqahâ yang merumuskan. Harus dicatat bahwa mayoritas fuqahâ klasik adalah ahli hikmah yang sangat kuat menjaga nilai-nilai tasawuf seperti „Abdullâh ibn Mas‟ûd (w. 32 H), Ibn Hanbal (w. 249 H), Imâm al-Ghazâlî (w. 505 H), Ibn al- „Arabî (w. 543 H), dan lain-lain. Bagi mereka, jiwa atau substansi hukum adalah kesalehan batin (individual), dan bajunya adalah ketertiban sosial. Pakem ikhtiyât (kehati-hatian) sering digunakan dalam literatur fiqh untuk menggambarkan citra kesalehan ini. Bahkan sebelum memutuskan ketentuan hukum, banyak fuqahâ terlebih dahulu melakukan salat nâfilah ; dan ada yang meralat pendapatnya setelah mendapat kritik dan masukan dari ulama yang lain.

Kedua, fiqh munâkahât lahir di saat tradisi dan teknologi baca tulis serta dokumentasi di masyarakat arab belum merakyat. Memang harus diakui bahwa di era keemasan Islam, tradisi baca tulis sudah menjadi indikator historis kemajuan Islam. Namun skala keberhasilannya masih terbatas pada elit tertentu. Sebagian besar umat Islam belum terbiasa dengan sistem baru ini. Akibatnya, secara sosiologis, praktek hukum perkawinan cukup “dicatat” secara oral, lisan, atau hanya diingat via proses

periwayatan. Karenanya, menurut doktrin fiqh klasik, pencatatan perkawinan tidak menentukan kesahihan kontrak perkawinan.

Ketiga, fiqh munâkahât lahir di saat birokrasi dan administrasi publik belum melembaga dalam komunitas Islam. Bahkan tradisi formalisme dalam kancah hukum nyaris tidak pernah mengemuka sampai akhirnya formalisme hukum modern berhasil meminggirkan moralitas hukum. Hal ini terlihat jelas dari fenomena historis tentang tidak melembaganya institusi-institusi hukum penunjang yang dibutuhkan dalam proses pelembagaan hukum Islam. Faktanya, sejarah hukum Islam tidak pernah mengabadikan keberadaan kantor pemerintah yang secara khusus,

ad hoc , ditunjuk untuk mengurusi masalah perkawinan seperti KUA saat ini, atau lembaga P3NTCR dulu. Keempat, fiqh munâkahât lahir di saat struktur sosial masyarakat Islam masih sangat sederhana, era agraris, pra modern, yang bercirikan homogenitas suku, profesi, atribut primordial lainnya, serta tingkat mobilitas spasial yang sangat rendah. Dalam konteks primordial ini, identitas diri seseorang mudah dikenali, termasuk identitas maritalnya. Orang sulit memanipulasi data pribadi untuk tujuan menyimpangkan hukum perkawinan untuk tujuan-tujuan pribadi, seperti dalam kasus poligami. Selain itu, kontrol moral yang dibangun berbasis kesalehan dapat menuntun umat Islam saat itu untuk

SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7/ No.1, 2007

menghindari segala bentuk penyelewengan hukum perkawinan. Kesalehan dan kontrol sosial telah mampu mencukupkan umat Islam untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan dari segala bentuk manipulasi orang-orang pragmatis-partisan .

Kelima, fiqh munâkahât berbasiskan sistem sosial dan budaya arab yang sangat patriarkis. Sistem budaya ini sangat memberikan hak-hak yang lebih istimewa kepada laki-laki. Budaya patriarkis secara tegas telah membedakan peran sosial-hukum laki-laki dan perempuan, serta memisahkan domain manusia berbasis kategori gender. Saat itu, sistem sosial arab tidak begitu memberi keleluasaan ruang gerak perempuan di ranah publik. Hasilnya, dunia laki-laki dan perempuan sangat berbeda di mana kehidupan perempuan cenderung mengalami domestikasi. Akibatnya, untuk urusan publik, suara dan hak-hak perempuan dibangun atas pijakan representasi, sementara laki-laki dipercaya secara ideologis untuk mewakili, pendamping perempuan. Peran-peran sosial-kultural di atas kemudian dibakukan via ketentuan fiqh

yang berlaku sampai saat ini. 18) Dengan kata lain, sebagian fiqh munâkahât sebagai pembakuan peran genderis yang didasarkan pada

struktur dan budaya arab yang patriarkis. Mengacu pada gagasan Ibn Qayyim, usaha menjadikan fiqh munâkahât sebagai acuan dasar-baku dalam mengembangkan hukum perkawinan di Indonesia harus dikritisi ulang juga usaha legislasi KHI menjadi hukum terapan Peradilan Agama. Paling tidak, dari diskusi teorits dapat disimpulkan bahwa secara analitis, usaha mempertahankan status quo UUP. No. 1/1974 atas pijakan teori hukum Islam sangat rapuh. Ushûl al-fiqh menggariskan urgensitas kontekstualisasi hukum yang mau diterapkan; UUP. No. 1/1974 perlu dikembangkan dalam bingkai semangat dan kebutuhan kekinian dan keindonesiaan. Hal ini perlu diperhatikan oleh perancang dan pembuat kebijakan di bidang hukum. Ilmu hukum mengajarkan bahwa rekayasa dan pembuatan hukum harus berorintasi ke depan, responsif, antisipatif, dan futuristik.

D. G AGASAN P ERUBAHAN H UKUM P ERKAWINAN DALAM S OROTAN M ASYARAKAT . Analisis teoritis di atas telah memperlihatkan bagaimana pembinaan hukum dalam

bingkai ilmu ushûl al-fiqh . Satu butir gagasan yang juga harus digaris-bawahi bahwa hukum tidak semata-mata persoalan normative; keberadaan hukum harus dikritisi dari aspek-apsek sosiologis. Untuk melengkapi analisis di atas sebagai upaya memberikan masukan terhadap diskursus perbaikan UUP. No. 1/1974, terutama dari sudut pandang perubahan sosial.

Data untuk tulisan ini bersumber dari studi yang dilakukan Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja-sama dengan Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Studi itu dimaksudkan untuk menangkap sinyal fenomenal tentang kemungkinan dan arah perubahan hukum perkawinan nasional. Studi melibatkan 288 orang responden yang mewakili berbagai stratifikasi 19) sosial di 9 provinsi, dan tersebar di sejumlah lembaga seperti disajikan pada Tabel 1. Sampel diseleksi secara purposif. Mereka terutama mewakili kelompok sosial progresif-kritis dan warga masyarakat yang konservatif, kuat mempertahankan status quo seperti tokoh. Studi ini memperlihatkan beberapa isu kunci tentang gagasan arah dan bentuk perubahan UU. No. 1/1974.

Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang- Undang No. 1, Tahun 1974…

Tabel 1 : Responden menurut Institusi Asal Bekerja

Semua No. Institusi Asal

Jenis Kelamin

f % 1. Pengadilan Agama (PA)

Lk

Pr

51 15 66 22,9 2. Pengadilan Negeri (PN)

32 7 39 13,5 3. Kantor Urusan Agama (KUA)

57 9 66 22,9 4. Kantor Catatan Sipil (KCS)

10 5 15 5,2 5. Institusi Keagamaan

18 6 24 8,3 6. Institusi Sosial Keagamaan

7 8 15 5,2 7. LSM Pro-Perempuan

2 17 19 6,6 8. LSM-Kantor Pengacara

Keterangan : Data diolah dari hasil survei lapangan

Pertama , satu trend menarik terlihat bahwa kesahihan sebuah perkawinan diakui tidak hanya ditentukan oleh hukum agama tetapi juga oleh dimensi pencatatan. Dalam hal ini, 80 % responden mengatakan bahwa kesahihan perkawinan ditentukan oleh

kombinasi hukum agama dan hukum negara, sebaliknya hanya 16 % responden mengatakan bahwa kesahihan perkawinan hanya semata-mata ditentukan oleh hukum agama. Legalitas negara untuk tujuan kepastian hukum dan perlindungan hak-hak pihak yang terikat dengan akad menjadi semakin diakui sebagai faktor determinan dalam validitas perkawinan. Seorang responden agamawan, ketua MUI Sumatera Utara, mene- gaskan “ perkawinan harus dicatat, tetapi (pencatatan) tidak menentukan kesahihan perkawinan, dan negara tidak bertanggungjawan untuk mengurusinya ”.

Kedua , sejalan dengan analisis di atas, pencatatan perkawinan, oleh mayoritas responden, dipandang sebagai unsur penting dari keberlangsungan sebuah perkawinan.

90 % responden mewajibkan pencatatan perkawinan di kantor resmi pemerintah. Seorang responden non muslim, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Kota Mataram

menegaskan bahwa “ perkawinan harus disaksikan oleh Tuhan, masyarakat dan negara. Sehingga pencatatan perkawinan wajib dalam agama Hindu ”. Hal senada juga

diungkapkan seorang responden pengacara di Surabaya. Katanya “ perkawinan harus tercatat untuk menjamin terpenuhinya hak-hak (perempuan) sebagai istri dan anak. Jika

tidak, istri akan menanggung beban jika suami tidak bertanggungjawab ”. Dalam konteks pencatatan perkawinan, dualisme hukum di masyarakat Islam masih tetap eksis, tertutama di kalangan kelas bawah yang paternalistik ke figur agamawan. Nuansa dualisme tampak pada hasil wawancara dengan sejumlah responden seperti kepala KCS Banjarmasin dan ketua salah satu KUA di Bandung. Katanya, “ Ya kalau dipandang (dari) kaca mata agama (nikah di bawah tangan) ya mungkin sah, tetapi karena kita memiliki Undang-undang, itu tetap saja tidak sah ”. Artinya, dualisme hukum pencatatan perkawinan masih kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia. Di sisi ini, pendirian sejumlah responden terhadap hukum Islam terlihat mulai ambivalen, mengambang, walaupun kesadaran terhadap urgensitas pencatatan sudah mulai menguat.

Walaupun pendirian di atas masih membela kawin ala agama, sirri , namun secara implisit, tokoh tersebut sangat menyadari urgensitas pencatatan perkawinan. Cepat atau lambat pintu implisit penerimaan pencatatan perkawinan akan berujung pada pengakuan urgensitas pencatatan perkawinan. Masyarakat semakin sadar akan masalah ini.

SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7/ No.1, 2007

Ambiguitas sikap beragama, ewuh pakewuh , sungkan dan takut “ kuwalat ” menyebabkan banyak orang tetap membela doktrin kesahihan kawin sirri , walaupun secara faktual mereka sadar perkawinan ala ini sering berujung tragis.

Ketiga , walaupun masih diperdebatkan di level dan lingkup tertentu, pencatatan perkawinan ternyata bukan sebatas masalah administratif. 59 % responden berpendapat bahwa pencatatan perkawinan di kantor pemerintah (KUA-KCS) menentukan validitas perkawinan. Seorang pengacara dari Manado, secara asertif menegaskan signifikansi pencatatan perkawinan. Katanya, “ pencatatan nikah sangat penting diadakan karena

secara hukum (hal tersebut) menentukan sah dan tidaknya perkawinan. Artinya, perkawinan tidak dianggap dan tidak diakui secara hukum kecuali ada akte otentik yaitu akte nikah ”. Terlepas dari urgensitas pencatatan dimaksud, banyak responden menginginkan penyederhanaan birokrasi pencatatan perkawinan seperti dipaparkan responden di Bali. Selama ini, katanya, “ persyaratan-persyaratannya (pencatatan perkawinan) terlalu birokratis, sehingga rakyat malas mengurusnya ”. Selain diklaim mahal, masyarakat juga belum terbiasa dengan birokrasi korup yang bertele-tele .

Juga penting dipaparkan bahwa walaupun mayoritas responden umumnya melihat urgensitas pencatatan perkawinan, ternyata banyak responden yang belum berani secara tegas mengatakan “pencatatan secara formal menentukan kesahihan perkawinan”. Mereka hanya sebatas menganjurkan pencatatan atas dasar diskresi kemaslahatan seperti penuturan Sherli, pengacara di Mataram. Katanya, “ Pencatatan perkawinan sangat baik, bila dijadikan keharusan sahnya perkawinan ”. Kemunculan dualisme visi di atas dapat dijadikan sebagai indikator kuat tentang pengaruh doktrin agama yang tidak melihat pencatatan sebagai salah satu syarat substantif yang menentukan kesahihan perkawinan. Ketakutan melewati batas otoritas keagamaan nampaknya membuat mereka tidak leluasa untuk berpendapat berbeda dengan kebenaran doktrin hukum Islam yang selama ini mereka yakini walaupun secara de facto mereka sering mempertanyakan, bahkan dalam banyak kasus telah dilangkahi.

Arah pengakuan signifikansi pencatatan perkawinan saat ini terus semakin menguat walaupun dengan pertimbangan yang beragam. Urgensitas pencatatan secara formal juga tercermin dari opini responden tentang status perkawinan sirri . Mayoritas (84 %) responden mengatakan bahwa untuk kepastian hukum, perkawinan sirri tidak sah, karena ia sangat merugikan fihak istri dan anak-anak. Seorang pengacara di Manado

mengatakan “ perkawinan di bawah tangan harus dinyatakan tidak sah demi hukum ”, bahkan “ perkawinan di bawah tangan harus dilarang ” tutur seorang kepala KUA di

Singaraja. Bai Sutirah, Ketua Muslimat Nahdathul Wathan Praya, NTB menilai bahwa “ pencatatan perkawinan perlu untuk melindungi perempuan dalam perkawinan, dan sanksi (perlu) diperberat untuk perkawinan di bawah tangan”. Ketua PA Majalengka, Jawa Barat, berpendapat lebih progresif. Katanya “ perkawinan di bawah tangan harus

dilarang secara hukum, dan harus ada ketentuan pidananya. Sebetulnya sekarang aja sudah dilarang, tetapi karena tidak ada ketentuan pidana, (kita) tidak bisa berbuat apa- apa. Akhirnya (kawin sirri) berjalan saja, apalagi fatwa sebagian ulama di kampung memperbolehkan nikah di bawah tangan ”.

Praktek kawin sirri memang masih mengakar kuat hampir di semua lapisan warga pedesaan. Perlu ditegaskan bahwa kawin sirri tidak selalu buruk. Namun satu gejala ironis terlihat bahwa perkawinan sirri di perkotaan merupakan satu bentuk penyimpangan terhadap moral perkawinan. Kawin sirri lebih sering diselewengkan, seperti untuk tujuan mempunyai istri “ simpanan ”, atau perkawinan untuk menutupi aib

Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang- Undang No. 1, Tahun 1974…

keluarga karena calon mempelai perempuan sudah terlanjur hamil pra menikah. Hasil wawancara dengan Ketua PA kota Bandung menjelaskan bahwa “ dalam banyak hal,

pernikahan di bawah tangan banyak dilakukan untuk tujuan menggolkan keinginan berpoligami di mana pihak istri tua tidak dikasih tahu 20) ”.

Terlepas dari kuatnya tradisi perkawinan sirri , responden dari kalangan cerdik pandai dan praktisi hukum menggugat tradisi ini. Husein, kepala salah satu KUA di Jawa Timur, mengingatkan “ perkawinan sirri tidak sah, karena (model perkawinan ini) sering menimbulkan masalah baik menyangkut istri maupun keturunan ”. Dampak negatif kawin sirri sangat luas seperti dituturkan seorang panitera PA Singaraja Bali. Katanya,

“ seorang laki-laki menikah lagi (sirri) kemudian punya anak. Setelah itu laki-laki tersebut wafat. Terjadi farâid dan (waris) dibagi rata oleh anak-anak dari istri

pertamanya (saja) ”. Seorang rohaniawan Katolik di Manado menambahkan bahwa “(pihak) yang sering dirugikan … adalah perempuan dan anak -anak, untuk itu

perkawinan di bawah tangan harus dilarang ”. Keempat , asas monogami dan masalah poligami mendapat sorotan kritis dalam penelitian di atas. 21) Dalam konteks ini, asas monogami di luar dugaan logika patriarkis

ternyata didukung mayoritas responden laki-laki. Jika selama ini monogami dilihat telah mengekang hak pribadi lelaki, 67 % responden mengatakan “asas monogami masih pada koridor menghargai HAM ”. Walaupun poligami sering diperjuangkan sejumlah responden, namun hal ini hanya dimaknai sebatas hak teologis lelaki; dan di sisi lain masalah keadilan, syarat-syarat formal dan dimensi moral dalam praktiknya masih cenderung diabaikan. Seorang pelaku poligami di Kalimantan Selatan bertutur “ poligami merupakan hak laki-laki ”. Dengan nada protes, dia berkomentar “ kenapa poligami harus dilarang, apalagi jika ia harus diberikan sanksi seperti ketentuan yang diatur dalam PP. No. 10, Tahun 1983 ”. Tetapi di sisi lain, dia juga mengakui bahwa perempuan

mempunyai haknya untuk tidak disakiti sebagai implikasi dari tuntutan moral kasih- sayang dalam ikatan perkawinan. Karenanya, jika asas monogomi diprioritaskan, katanya, pelarangan dan dispensasi untuk berpoligami harus dilihat secara kasuistik dan diberikan secara teliti. Oleh sebab itu, dapat dimengerti jika Prof. Ichtiyanto mengatakan dispensasi poligami seperti pintu khusus di pesawat terbang yang hanya boleh dibuka dalam keadaan darurat, oleh dan untuk orang tertentu.

Walaupun banyak responden mengizinkan poligami, namun mereka sendiri banyak yang enggan untuk berpoligami. Seorang responden menegaskan bahwa tradisi poligami memang betul bukan sesuatu yang asing dalam keluarganya, bahkan dia sendiri berpoligami. Namun anehnya, dia mengajurkan agar tidak ada keturunannya yang meneruskan tradisi polemis tersebut. Seorang pelaku poligami di Bandung memberi saran yang bernada penyesalan. Katanya “ sebaiknya jangan ada yang melakukan (poligami) lagi ya, karena (ia) lebih banyak menekan perasaan wanita atau sang istri ”.

Terkait dengan fenomena di atas, seorang tuan guru di Kalimantan Selatan mengakui “agama Islam memang telah memberikan kelonggaran kepada laki-laki untuk poligami ”. Namun secara pribadi, dia menolak ketika dibujuk anak-anaknya untuk berpoligami, walaupun istrinya sudah sangat udzur secara usia dan fisikal. Dia menggaris-bawahi bahwa dispensasi poligami harus dikonstruksi dan dimaknai dalam bingkai moralitas. Umpama, apakah poligami yang dilakukan betul didasarkan pada niat yang tulus untuk membahagiakan orang lain seperti ketela-danan yang dicontohkan Rasulullah. Jika rencana poligami lebih sebagai upaya untuk menyenangkan diri sendiri, melampiaskan gratifikasi libido, maka niat poligami sudah keluar dari rambu-rambu dan

SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7/ No.1, 2007

bingkai moralitas agama. Praktik ini menyalahi prinsip hukum Islam. Tanggapan terhadap dispensasi poligami juga harus dipahami secara kritis dan hermeneutis . Dalam bingkai ini, opini responden yang mengizinkan poligami tidak identik dengan keinginan mereka untuk berpoligami; hal itu hanya sebatas wacana teologis hukum. Seorang aktivis LSM perempuan bertutur “poligami itu ‘ kan sebagai pintu darurat saja, sebagai pengecualian; tidak setiap saat terbuka. (Namun) saya sendiri tidak setuju dengan poligami ”. Sikap kritis tidak hanya disuarakan perempuan, tetapi juga dituturkan responden lelaki yang secara kultural dan religius kental dengan tradisi poligami. Ketua PN Singaraja, Bali berkata “ dalam tradisi Hindu, poligami memang tidak dilarang, dan jumlahnya tidak terbatas. Meskipun begitu, banyak umat Hindu memilih monogami karena menyadari sisi positif dan negatifnya. Di sini (Bali) memang ada yang berpoligami dan fihak yang menanggung beban negatif dari poligami itu bukan hanya istri dan anak-anaknya tetapi juga si suami itu sendiri ”.

Keengganan sejumlah responden lelaki berpoligami nampaknya lebih diilhami oleh konsep kesalehan individual, yaitu ketakutan mereka untuk tidak dapat berbuat adil. Zirna, responden PNS yang menjadi istri kedua di Mataram bertutur “ orang yang berpoligami harus mempertanggung-jawabkannya kepada Allah tentang hidup poligaminya ”. Oleh sebab itu, menurut logika ini, poligami tidak bisa hanya direduksi menjadi masalah duniawi, tetapi ia harus dikaitkan dengan tanggungjawab teologis.

Harus diakui bahwa poligami memang banyak terjadi di masyarakat, bahkan sudah menjadi fenomena yang lumrah eksis lintas budaya dan daerah termasuk di komunitas dengan sistem kekerabatan matrilineal seperti Minang. Namun poligami memiliki tradisi dan karakternya sendiri. Ketua KUA Cakranegara, NTB mensinyalir “ kebanyakan mereka yang kawin poligami tidak melaporkannya ke KUA ”. Awalnya, para suami berpoligami penuh rahasia, tak memberitahu istri pertamanya. Hal seperti ini dilakukan Peter di Jakarta, dialami Emilia di Padang, Hasti dan Nini di Medan, Xaza di Bandung,

serta Yanti, aktivis LSM Pembela Kemanusiaan NTB. 22) Kata Yanti “ pernikahan kedua suamiku (dilakukan) secara sembunyi, baru setelah satu bulan saya mengetahui ”.

Seorang bapak yang berpoligami menuturkan pengalaman poligaminya; “ nikahnya di bawah tangan… setelah ketahuan, sempat clash lama juga dengan istri tua. Istri tua berang sekali……. Sampai -sampai dia minta cerai ”. Hasti menambahkan “ perkawinan kedua (suamiku) ini berlangsung di bawah tangan ”. Sedang Nini menuturkan panjang lebar asal-usul suaminya berpoligami sebagai berikut:

Mula-mula kami hidup rukun. Anak-anak sangat dekat dengan bapaknya. Ketika itu kerja bapak cuma berdagang rokok dan disambi juga dengan menjual tanah. Dia jadi calo tanah. Sesudah itu rejekinya sikit-sikit. Akhirnya kami buka warung galon minyak di pinggir jalan. Semenjak itu, rejeki kami mulai naik. Suami saya sudah bisa beli “kereta” (sepeda motor, pen.). Lama-lama dia sering pergi-pergi; katanya sich mau mencari objekan tanah. Sering juga dia tidak pulang. Lama-lama terdengar bisik-bisik orang-orang dekat, jika suami aku kawin lagi. Tetapi, aku tak percaya, karena dia biasa-biasa saja.

Setelah tak sanggup dengar cakap orang, aku tanyakan sama dia. Katanya: “Kau mau saja dengar kata orang, tak ada tu ”. Akupun percaya. Tetapi lama-lama dia sering tidak pulang. Aku jadi curiga. Aku pegi ke teman-temannya, tetapi mereka tak bilang apa-apa. Suatu kali saudaraku datang, dia mengatakan melihat suamiku berjalan dengan perempuan itu. Aku tak sabar. Begitu suamiku pulang, kutanyakan. Dia langsung menjawab bahwa dia betul sudah kawin dengan perempuan.

Poligami memang menimbulkan banyak masalah. Pihak istri pertama umumnya

Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan Undang- Undang No. 1, Tahun 1974…

keberatan saat dimadu. “ Mana ada poligami yang menarik. Namanya suami yang tadinya milik sendiri, sekarang dia jadi harus dibagi dua. Siapa yang mau? Jadi jangan bercita-cita dimadu walaupun ajaran Islam memperbolehkan poligami; tetapi jangan sampai hal itu terjadi. Tak ada ketenangan dalam keluarga bila istri tua dimadu ”, kata

Nini. Xaza menceritakan kesedihan menjalani kehidupannya sebagai istri yang dimadu; “ Saya sangat tersiksa dalam menjalani kehidupan poligami suami terutama secara mental ”. Bahkan Poengki Indarti lebih asertif mengatakan “ daripada dipoligami, saya lebih baik diceraikan saja! Bagi saya poligami dan cerai dampaknya sama saja. Ketika

misalnya suami berpoligami; keluarga saya pun tidak utuh. Masa depan anak saya walaupun misalnya secara finansial tercukupi, secara psikologis perkembangannya terpecah. Itu sama saja dengan bercerai .” Pengalaman Nini lebih tragis lagi. Dia hanya pasrah dalam ketidak-berdayaan. Katanya;

Saudara-saudaraku marah semua, tetapi apa mau dikata. Ketimbang anak-anakku terlantar, lebih baik (aku) mengalah sikit (sedikit). Tetanggaku mengejekku, apalagi terhadap suamiku; mereka sindir terus-terusan. Hal yang paling parah menimpa anakku yang pertama, yang laki- laki. Waktu itu dia lagi sekolah SMP. Begitu mendengar bapaknya kawin lagi, dia tak mau keluar rumah, tak mau sekolah, tak mau bermain dengan kawan-kawannya, malu katanya. Sejak itu anakku itu jadi pendiam.

Namun poligami tidak selamanya ditentang istri yang ada (tua). Memang ada poligami yang direstui, walaupun jumlah sangat sedikit. Hal ini seperti dituturkan satu keluarga poligami di Amuntai. Dalam kasus ini, sang suami berprofesi sebagai PNS, begitu juga istri pertamanya. Perkawinan keduanya dilakukan setelah mendapat izin istri pertama di PA. Pada kasus ini, kedua istrinya dinikahi secara resmi, tercatat di KUA. Mereka hidup rukun, bahkan anak dari istri pertama sering dibawa ke rumah istri keduanya, dan istri kedua tidak jarang memberikan uang kepada anak madunya. Dari kasus ini, nampaknya poligami yang bermasalah (dililit segudang dilema) adalah poligami yang tidak sehat, yaitu poligami yang tidak mendapat izin dan restu dari istri yang ada; poligami kucing-kucingan, atau poligami sepihak. Jadi, masalah poligami sebetulnya bukan pada dispensasi poligami itu secara un sich , tetapi lebih diakibatkan oleh “kenakalan”, egoisme lelaki dengan mengatas-nama hukum-agama. Akhirnya, adalah betul kritik Kepala KCS Manado bahwa “ poligami merupakan permasalahan laki-laki di manapun ” dan kapanpun; poligami sebuah perselingkuhan serial; bukan masalah perempuan, walaupun dampaknya lebih diderita oleh kaum perempuan.

Perlu ditegaskan bahwa kebanyakan poligami lebih menyuarakan kepenting-an lelaki; tidak mendengarkan jeritan suara perempuan. Istri tua umumnya tidak pernah diberitahu saat suaminya menikah lagi, seperti dituturkan Hasti dan Nini di Medan, dan Popi di NTB. Popi, istri muda, menuturkan “dia terpaksa dicerai suaminya saat istri pertama suaminya tahu bahwa suaminya menikah lagi tanpa sepengatahuannya ”. Bahkan, banyak suami tidak jarang mencari-cari alasan pembenaran untuk diizinkan berpoligami seperti yang dialami oleh Emilia di Padang;

Alasan-alasan yang dikemukakan suami saya hanyalah semata-mata untuk mencari-cari kesalahanku, sehingga ia dapat mengawini pacarnya (yang kemudian dinikahinya, pen.). Karena ia sibuk dengan pacarnya, akibatnya saya dan anak-anaknya terlantar, baik material maupun moral. Saya menjadi kesal, akhirnya saya menjual orgen yang dibeli suami dengan tujuan agar dia tidak lagi bertemu dengan pacarnya. Tetapi akibatnya dia malah bertambah marah, sampai-sampai dia memukul dan menampar saya. Suami saya menjelek-jelekan saya pada teman-teman dan atasannya di kantor sehingga mereka menyangka sayalah yang bersalah, dan sumber masalah.

SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.7/ No.1, 2007

Poligami walaupun bisa diterima beberapa istri, ternyata sering ditandai dengan sejumlah pelanggaran moral dan formal hukum oleh para suami. Istri-istri yang dimadu menuturkan bahwa para suami mereka sering ingkar terhadap ke-adilan seperti dituturkan Hasti. Ketika ditanya tentang keadilan dalam pengalaman poligami, dia merespon dengan nada kecewa berat: “ Adil? Apa adil? Mula-mula katanya dia akan berlaku adil; dia gilir

aku dua malam-dua malam, tetapi lama-lama, pernah sekali, empat malam dia tak pulang, ku turut (datangi dia) ke rumah perempuan tu, kutarik dia pulang. Ku ancam istrinya ”.

Nasib sedih istri yang dipoligami sering berlanjut saat perkawinannya berakhir dengan perceraian. Mantan istri yang dipoligami banyak dirugikan pasca perceraian. Popi menuturkan pengalaman pahitnya menjadi istri kedua. Ketika “madunya” tahu bahwa suaminya telah menikah lagi, Popi, istri kedua akhrinya diceraikan. Kata Popi, pasca perceraian, “ nafkah iddah tidak pernah diberi, hanya ketika anak kami lahir, dia

memberi biaya melahirkan, sedang nafkah sehari-hari anak tidak pernah diberikan. Jangankan memberi nafkah, menengok anak saja dia belum pernah. Akte kelahiran anak belum dibuat, hanya ada surat kenal lahir dari rumah sakit dengan mencantum-kan orang tua saya dan suami saya ”. Kesedihan Popi semakin lengkap saat perkawinannya sebagai istri kedua hanya dilakukan di bawah tangan. Akibatnya dia tidak dapat menuntut hak-hak formalnya dan juga anaknya dari mantan suaminya.

Terlepas dari pengalaman pahit-manis poligami di atas, responden dalam studi ini sepakat agar dispensasi poligami harus diatur secara ketat, dan diikuti dengan sanksi hukum yang lebih tegas bagi pihak yang melanggarnya. Tabel 2 memperlihatkan bahwa responden sangat tegas menginginkan pemberian sanksi terhadap pelanggaran syarat poligami, walaupun sanksi itu masih cenderung bersifat perdata. Sanksi yang paling dominan diusulkan berbentuk perdata ganti rugi (36 %), pemutusan ikatan perkawinan dengan istri muda (35 %), dan berupa pencabutan hak-hak tertentu dari suami (32 %). Sherli Sembiring berkata “ secara pribadi UU telah melarang untuk poligami. Saya setuju dengan doktrin hukum tersebut, dan sanksi yang keras harus dikenakan; sanksi ditegakkan dengan tegas bagi siapa yang melanggarnya ”.

Tabel 2 : Ranking Sanksi Pelanggaran Syarat Poligami menurut Opini Responden (%) Sanksi Pelanggaran terhadap Syarat Poligami*

Pr Semua 1. Sanksi perdata ganti rugi

Lk

36,6 36,2 2. Pemutusan hubungan perkawinan dengan istri muda

42,3 35,0 3. Pencabutan hak-hak tertentu darri suami

38,0 31,7 4. Sanksi pidana denda

22,5 22,6 5. Sanksi pidana penjara

16,9 14,8 6. Sanksi pidana kurungan

11,3 12,8 7. Tidak perlu ada sanksi apa

Keterangan : Data diolah dari hasil survei lapangan * Jawaban boleh lebih dari satu