Oleh: Oot Hotimah ABSTRACT
Oleh: Oot Hotimah ABSTRACT
Improvement of social welfare is the responsibility of the government. One way to overcome poverty and improve the poor quality of the living environment of the urban poor is a more humane manner by involving them in development planning. The conventional approach in the form of eviction for urban renewal undertaken during this creates urban social problems more acute and complicated and not sustainable in overcoming poverty. One of the policies that need to be taken, among others, is to build low-rent flats and community involvement in public policy making. The advantage is the increased sense of community and they can become agents of development control ..
Key Words: Building cities, settlements, society, poverty.
LATAR BELAKANG MASALAH
control , dan dua meta kriteria; efficiency Kota adalah kawasan pemukiman
and justice . Menurut Lynch, unsur yang secara fisik ditunjukkan oleh
ketahanan (vitality) dalam kriteria kota kumpulan
ideal mengandung makna bahwa sebuah mendominasi tata ruangnya dan memiliki
rumah-rumah
yang
kota harus mampu menunjang fungsi vital berbagai fasilitas untuk mendukung
kehidupan seperti ketercukupan persediaan kehidupan warganya secara mandiri. Kota
makanan, energi, air, udara, pembuangan yang telah berkembang maju mempunyai
sampah, yang harus selalu tersedia peranan yang luas, antara lain sebagai
sepanjang waktu. Khusus untuk menjamin berikut:
ketercukupan udara bersih yang diperlukan pemukiman penduduk; Kedua, sebagai
masyarakat serta menjaga keseimbangan pusat kegiatan ekonomi; Ketiga, sebagai
ekosistem kota (baik keseimbangan sistem pusat kegiatan sosial budaya; Keempat,
hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sebagai pusat kegiatan politik dan
sistem ekologis lain) maka pemerintah administrasi pemerintah serta tempat
melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun kedudukan pemimpin pemerintahan.
2007 tentang Penataan Ruang Pasal 29 Kota yang ideal (good city )
mensyaratkan proporsi ruang terbuka hijau menurut Kevin Lynch mengandung lima
pada wilayah kota paling sedikit 30% dari kriteria, yakni: vitality, sense, fit, access,
luas wilayah kota.
Kita sadari bahwa kemiskinan menempati sudut-sudut yang selain merupakan salah satu masalah sosial di
membahayakan dan merusak tata kota, Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi.
juga lahan yang mereka didiami adalah Beragam upaya dan program dilakukan
bukan haknya.
untuk mengatasinya tetapi masih banyak Perpindahan penduduk dari desa ke kita temui permukiman masyarakat miskin
kota terjadi akibat kuatnya kekuatan hampir di setiap sudut kota. Keluhan yang
sentrifugal dari daerah asal/ desa, seperti paling sering disampaikan mengenai
penghasilan rendah, kurangnya pemilikan permukiman masyarakat miskin tersebut
lahan, terbatasnya pasaran kerja dan adalah rendahnya kualitas lingkungan yang
rendahnya standar upah (Mitchell 1961). dianggap sebagai bagian kota yang mesti
Lebih lanjut Mitchell menambahkan bahwa disingkirkan.
kekuatan sentrifugal Badan Pusat Statistik (BPS)
berlangsungnya
tersebut terkait dengan aksesibilitas daerah. menyebutkan bahwa hingga Maret 2010,
Semakin baiknya prasarana transportasi, ada 31,02 juta penduduk miskin di
keterbukaan wilayah dan infrastruktur yang Indonesia, atau 13,33 persen dari total
baik cenderung memperkuat keputusan penduduk Indonesia. Angka ini turun jika
seseorang untuk meninggalkan daerah asal dibandingkan
menuju daerah lain, misalnya kota, yang sebelumnya yang sebanyak 32,53 juta.
mempunyai prospek ekonomi lebih cerah di Bagian terbesar penduduk miskin hidup di
masa mendatang (Findley, 1987). desa. Penduduk miskin lalu menoleh
Pertambahan penduduk Pulau Jawa perkotaan untuk mengatasi kemiskinan
yang sangat pesat dan tidak seimbang mereka. Maka arus urbanisasi pun
dengan luas tanah pertanian menyebabkan mengencang. Namun karena banyak dari
ketimpangan struktur agraris berupa mereka tidak cukup terdidik dan tidak
rendahnya pemilikan tanah pertanian bagi cukup keahlian, kehadiran mereka di kota
penduduk petani – gejala ini sering disebut malah memindahkan kemiskinan dari desa
kepadatan penduduk agraris, polarisasi ke kota atau mempertinggi angka
lahan pertanian kepada petani kaya, kemiskinan kota. Keadaan itu terjadi pula
meningkatnya pengangguran terselubung di di kota Jakarta. Malah, persaingan hidup
pedesaan, mendorong migrasi penduduk yang sengit dan lahan yang kian
pedesaan ke perkotaan dan berujung pada menyempit, memaksa jutaan orang miskin
kemiskinan. Padahal tanah merupakan kota tinggal di daerah-daerah tak layak
sumber daya vital bagi penduduk pedesaan ditempati, sampai-sampai ada yang harus
yang
menggantungkan kehidupan menggantungkan kehidupan
dari 75% buruh tani tidak memiliki lahan yang tinggi pada masyarakat pedesaan Jawa.
pertanian. Apabila dirata-ratakan, pemilikan
lahan pertanian per rumah tangga buruh tani penduduk pedesaan Jawa untuk selalu
Pentingnya tanah telah mendorong
hanya berkisar antara 0,018 - 0,027 ha untuk berusaha agar mendapat akses terhadap
lahan sawah dan hanya 0,001 – 0,004 ha tanah,
untuk lahan kering. Kondisi demikian Kondisi ketimpangan pemilikan
menyebabkan buruh tani dan petani guram tanah di pedesaan merupakan faktor
lebih mengandalkan kerja berburuh di luar penyebab yang cukup dominan dan
pertanian untuk mencukupi kebutuhan merupakan dimensi yang berkaitan dan
keluarganya.
berhubungan erat dengan distribusi tanah Proses landlessness yang semakin dan pendapatan yang tidak merata.
cepat di pedesaan Jawa terutama selama Ketimpangan pemilikan tanah, khususnya di
masa Orde Baru, antara lain disebabkan oleh pedesaan
revolusi hijau yang dilaksanakan melalui seimbangnya penguasaan dan pengelolaan
program Bimas dan Inmas serta didukung tanah antara yang dikelola oleh rakyat kecil,
dengan mekanisasi pertanian yang hanya perusahaan besar (swasta maupun BUMN)
menguntungkan kelas pemilik tanah dan yang dikelola negara.
(Husken, 1999; Husken dan B. White, Sementara
1999). Kelompok yang diuntungkan ini menyatakan bahwa di Pulau Jawa hampir
Gunawan
mampu mengakumulasikan modalnya dan 60% penduduk tidak memiliki lahan,
kemudian menanamkan kembali di sektor sedangkan rata-rata luas pemilikan lahan
pertanian dan cara untuk membeli lahan di (sawah dan lahan kering) hanya 0,62 ha
sekitarnya. Melalui proses ini maka pada Sensus Pertanian tahun 1993 dan
terjadilah proses akumulasi polarisasi di mengalami penurunan yaitu 0,61 ha menurut
pedesaan Jawa secara perlahan berkembang Sensus Pertanian tahun 1993. Petani dengan
dengan pesat (Tjondronegoro dan G. pemilikan tanah pertanian kurang dari 0,5 ha
ini telah oleh Bank Dunia dikelompokan sebagai
kerja bagi “small farmers”, yang bermodal lahan
menghilangkan
peluang
penduduk yang tidak memiliki lahan dan pertanian yang sempit bahkan banyak petani
kemudian memaksa meninggalkan daerah yang dikategorikan sebagai petani gurem,
asalnya menuju ke perkotaan. yaitu petani yang tidak memiliki tanah
Persaingan hidup yang sengit dan pertanian sama sekali (landless).
lahan yang kian menyempit, memaksa lahan yang kian menyempit, memaksa
dan kualitas daerah tak layak ditempati, sampai-sampai
Kemiskinan
lingkungan yang rendah adalah hal yang ada yang harus menempati sudut-sudut
mesti dihilangkan tetapi tidak dengan yang selain membahayakan dan merusak
masyarakat yang telah tata kota, juga lahan yang mereka diami
menggusur
bermukim lama di lokasi tersebut. adalah bukan haknya, maka terjadilah
hanya sekedar permukiman kumuh di perkotaan.
Menggusur
adalah
memindahkan kemiskinan dari lokasi lama Pendekatan konvensional yang
ke lokasi baru dan kemiskinan tidak paling populer dalam menangani masalah
berkurang. Bagi orang yang tergusur ini adalah menggusur permukiman kumuh
malahan penggusuran ini akan semakin dan kemudian diganti oleh kegiatan
menyulitkan kehidupan mereka karena perkotaan lainnya yang dianggap lebih
mereka mesti beradaptasi dengan lokasi bermartabat. Cara seperti ini yang sering
permukimannya yang baru. disebut pula sebagai Peremajaan Kota bukanlah cara yang berkelanjutan untuk menghilangkan
kemiskinan
dan
permukiman kumuh dari perkotaan.