Tinjauan tentang Perlindungan Hukum bagi Nasabah Bank

2. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum bagi Nasabah Bank

a. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Nasabah Bank

Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat tergantung kepada kepercayaan dari masyarakat. Tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, suatu bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Oleh karena itu, dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan.

Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah, Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu :

1) Perlindungan secara implisit (Implicit Deposit Protection) Perlindungan secara implisit yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini diperoleh melalui :

a) Peraturan perundang-undangan di bidang perbankan;

b) Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia;

c) Upaya menjaga kelangsungan sebuah bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya;

d) Memelihara tingkat kesehatan bank;

e) Melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian;

f) Cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah;

g) Menyediakan informasi risiko pada nasabah.

2) Perlindungan Secara Eksplisit (Explicit Deposit Protection) Perlindungan secara eksplisit yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut (Hermansyah, 2005:123).

Menurut Hermansyah, hakikat perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana adalah melindungi kepentingan dari nasabah penyimpan dan simpanannya yang disimpan disuatu bank tertentu terhadap suatu risiko kerugian (Hermansyah, 2005 : 124).

b. Alasan Perlunya Perlindungan Hukum bagi Nasabah Bank

Hubungan hukum antara nasabah deposan (penyimpan dana) dengan bank adalah hubungan hukum transaksional biasa yang diikat oleh hukum perdata. Salah satu syarat terjadinya hubungan hukum itu adalah kesepakatan dan kesetaraan di antara keduanya dalam membuat perikatan (Gunarto Suhardi, 2007 : 111). Namun, kenyataannya nasabah deposan mempunyai kedudukan yang tidak setara maupun tidak terjadi kesepakatan dengan pihak bank, antara lain :

1) Adanya perjanjian sepihak, misalnya saat pembukaan rekening, yang mana rekening tersebut merupakan formulir standar yang memuat persyaratan baku bagi calon nasabah. Dalam persyaratan tersebut biasanya tercantum persyaratan bahwa bank secara sepihak boleh mengubah atau menambah persyaratan;

2) Dengan adanya formulir standar yang memuat persyaratan baku bagi calon nasabah, sehingga nasabah memilih menerima persyaratan dalam formulir tersebut dan tanda tangan atau mencari bank lain, maka dapat disimpulkan dalam hal ini bahwa ada unsur keterpaksaan nyata di pihak deposan.

3) Batasan atau perlindungan dari pejabat publik, misalnya di Eropa dan Amerika Serikat, penguasa moneter biasanya menentukan hal-hal apa yang harus dikecualikan dalam perjanjian dan memberikan tuntunan agar bank memberikan informasi cukup, akan dipakai untuk apa dana yang disimpan pada bank tersebut atas nama deposan, apakah akan dipakai untuk jual beli saham, transaksi forward, atau transaksi derivatif yang memberikan hasil tinggi tetapi juga risiko besar. Semuanya harus dijelaskan secara transparan kepada deposan. Hal ini menunjukkan bahwa di negara maju kebebasan berkontrak dan menentukan berbagai syarat tersebut biasanya dibatasi oleh hukum publik. Di Indonesia juga ada batasan-batasan, namun dirumuskan secara umum, misalnya Pasal 1320, Pasal 1335, dan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4) Ketidaksetaraan dalam risiko, misalnya nasabah deposan yang menyimpan uang di bank, tidak mungkin meminta jaminan terhadap 4) Ketidaksetaraan dalam risiko, misalnya nasabah deposan yang menyimpan uang di bank, tidak mungkin meminta jaminan terhadap

5) Ketidaksetaraan administratif, misalnya nasabah deposan harus bertanggung jawab atas penyalahgunaan warkat-warkat bank, seperti cek, bilyet giro, dan sebagainya, dan nasabah juga harus memberikan bukti atau tanda tangan secukupnya dalam penarikan uangnya. Sebaliknya, bank sering tidak memberikan konfirmasi cukup terhadap rekening nasabah (Gunarto Suhardi, 2007 : 113).

c. Aspek Perlindungan Nasabah Bank Berdasarkan Arsitektur Perbankan Indonesia

Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana membawa konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan.

Dengan disahkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hal ini membawa dampak terhadap kebijakan pengaturan perlindungan nasabah melalui Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu cetak biru sistem perbankan nasional yang terdiri dari enam pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), antara lain :

1) Struktur perbankan yang sehat;

2) Sistem pengaturan yang efektif;

3) Sistem pengawasan yang independen dan efektif;

4) Industri perbankan yang kuat;

5) Infrastruktur yang mencukupi;

6) Perlindungan Nasabah.

Menurut Inosentius Samsul berpendapat terdapat tiga fase penting pengintegrasian perlindungan nasabah bank kedalam sistem hukum perlindungan konsumen, antara lain :

1) Fase pengakuan nasabah bank adalah konsumen;

2) Fase harmonisasi pengembangan hukum perbankan dan hukum perlindungan konsumen;

3) Fase penyempurnaan integrasi masalah perbankan dalam sistem hukum perlindungan konsumen (Inosentius Samsul, Volume 7 Nomor 1 Januari 2009 : 15).

Menurut pendapat Inosentius Samsul di atas, dalam kaitannya dengan fase pertama yaitu fase pengakuan nasabah bank adalah konsumen, ini dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, disebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.

Berdasarkan pengertian konsumen pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 jika dihubungkan dengan pengertian nasabah dalam Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998, dijelaskan bahwa nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nasabah bank merupakan konsumen, dalam hal ini terkait jasa bank, yang juga berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum sesuai yang diatur dalam undang-undang perlindungan konsumen.

Menurut pendapat Inosentius Samsul, hubungan yuridis antara undang- undang perlindungan konsumen dengan undang-undang perbankan bukan masuk dalam model lex generalis dan lex specialis, melainkan hubungan yang saling melengkapi (complementary), ini sesuai dengan tujuan kelahiran undang-undang perlindungan konsumen sebagai payung (umbrella act) (Inosentius Samsul, Volume 7,Nomor 1 Januari 2009 : 15).

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Sehingga perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.

Secara umum dikenal, ada empat hak dasar konsumen, antara lain :

1) Hak untuk mendapatkan keamanan (The Right to Safety);

2) Hak untuk mendapatkan informasi (The Right to be Informed);

3) Hak untuk memilih (The Right to Choose);

4) Hak untuk didengar (The Right to be Heard). Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa hak konsumen, terdiri dari :

1) Hak atas kenyamanan, keamana, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur terkait kewajiban pelaku usaha, antara lain :

1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencaoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Bank Indonesia dalam memujudkan Pilar keenam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) terkait perlindungan nasabah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Peraturan Bank Indonesia ini telah mengintegrasikan kepentingan nasabah sebagai konsumen sebagaimana dimaksud dalam undang-undang perlindungan konsumen (Inosentius Samsul, Volume 7 Nomor 1 Januari 2009 : 20). Di samping itu, masih terdapat Peraturan Bank Indonesia lain, misalnya : Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang menjadi bagian dari Paket Kebijakan Perbankan Januari 2005 dan Peraturan

Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagai bagian dari Paket Kebijakan Perbankan Januari 2006 merupakan realisasi dari upaya Bank Indonesia untuk menyelaraskan kegiatan usaha perbankan dengan amanat undang-undang perlindungan konsumen yang mewajibkan adanya kesetaraan hubungan antara pelaku usaha (bank) dengan konsumen (nasabah). Sebagai bagian dari Paket Kebijakan Perbankan, penerbitan ketiga ketentuan tersebut akan dapat membawa dimensi baru dalam pengaturan perbankan dengan turut diperhatikannya pula kepentingan nasabah secara eksplisit sebagai aspek penting yang turut mempengaruhi perkembangan perbankan nasional ke depan (Muliaman D.Hadad, 2006 : 5).