1 PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN SENDOK (PLANTAGO MAYOR L.) TERHADAP DERAJAT INFLAMASI BRONKUS MENCIT BALBC MODEL ASMA ALERGI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Nurul Futuchah G.0007122 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya (Dorland, 2002). Salah satu manifestasi alergi adalah asma alergi. Solomon (2006) menuliskan asma adalah suatu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan bronkus yang berulang, tetapi reversibel, dan diantara episode penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal.
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan (Sundaru dan Sukamto, 2007). Deivess dan Roitt (2001) dalam Mangatas dkk. (2006) menuliskan prevalensi global asma diperkirakan sekitar 4-8%. Sedangkan di Indonesia, prevalensi asma berkisar antara 5-7% (Sundaru dan Sukamto, 2007).
Proses alergi dimulai dengan pajanan alergen-alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC). Sel dendritik di saluran napas berperan sebagai APC pada asma (Iris, 2004). Hasil olahan alergen oleh APC selanjutnya akan dipresentasikan ke sel Cluster of Differentiation (CD) 4+ T- helper (Th)2 melalui ekspresi Major Histocompability Complex (MHC) II (David et al., 2006). Sel CD4+ Th2 akan menghasilkan interleukin (IL) 4 dan
IL-13 yang memacu sel B (sel-sel plasma) untuk menghasilkan imunoglobulin (Ig) E (Abbas and Litchman, 2003). IL-5 juga dihasilkan oleh sel CD4+ Th2 yang akan menarik eosinofil ke tempat inflamasi (Sell, 2001). IgE yang terbentuk akan berikatan dengan sel mast dan menyebabkan degranulasi sel mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator inflamasi yang dapat menyebabkan spasme bronkus, edema, peningkatan sekresi mukus, dan konstriksi otot polos bronkus seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin. Faktor kemotakis seperti IL-5 dan Tumour Necrosis Factor (TNF)α juga dilepaskan oleh sel mast (David et al., 2006). Faktor kemotaktis ini akan memacu infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil, limfosit, makrofag, neutrofil, dan basofil ke dalam jaringan bronkus (Abbas and Litchman, 2003). Infiltrasi sel-sel radang menunjukan terjadinya inflamasi pada bronkus (Sundaru dan Sukamto, 2007).
Salah satu pengobatan asma yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan obat tradisional. Menurut data WHO, hingga 80% penduduk di negara berkembang dan 65% penduduk di negara maju telah menggunakan obat herbal (Oktaria, 2008). Pemanfaatan tanaman sebagai sumber obat-obatan dilakukan dengan memanfaatkan ekstrak tanaman dan komponen bioaktif yang terkandung dalam tanaman. Tanaman tersebut digunakan secara langsung untuk pengobatan maupun sebagai bahan baku pembuatan obat-obatan yang diolah dengan teknologi (Latumahina, 2008).
Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman obat adalah daun sendok (Plantago mayor L.). Daun sendok berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, pereda demam (antipiretik), peluruh kencing (diuretik), peluruh dahak (ekspektoran), obat batuk (antitusif), penghenti perdarahan (hemostasis), astringen, menerangkan penglihatan dengan menormalkan aktivitas organ hati yang berlebihan, dan menghilangkan haus (Dalimartha, 1999).
Kandungan kimia daun sendok yang memiliki peran sebagai antiasma antara lain adalah adanya aktivitas antiinflamasi pada allantoin, apigenin, aucubin, baicalein, baicalin, caffeic acid, chlorogenic acid, cinnamic acid, ferulic acid, gentisic acid, linoleic acid, luteolin, neochlorogenic acid, oleanolic acid, oleic acid, salicylic acid, ursolic acid, vanilic acid; sebagai antialergi pada apigenin, ascorbic acid, baicalein, baicalin, ferulic acid, oleanolic acid ; sebagai inhibitor sintesis derivat asam arakidonat pada caffeic acid, chlorogenic acid, linoleic acid, luteolin, oleic acid, P-coumaric acid; sebagai antihistamin pada apigenin, ascorbic acid, baicalein, baicalin, caffeic acid, chlorogenic acid, linoleic acid, luteolin ; sebagai inhibitor siklooksigenase pada apigenin, baicalein, caffeic acid, oleanolic acid, salicylic acid, tannin, ursolic acid (Duke, 2009).
Dengan demikian, daun sendok secara teoritis dapat dimanfaatkan sebagai obat antiasma. Namun, penelitian daun sendok sebagai antiasma alergi belum banyak dikembangkan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk Dengan demikian, daun sendok secara teoritis dapat dimanfaatkan sebagai obat antiasma. Namun, penelitian daun sendok sebagai antiasma alergi belum banyak dikembangkan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
B. Perumusan Masalah
Adakah pengaruh pemberian ekstrak daun sendok terhadap derajat inflamasi bronkus mencit BALB/c model asma alergi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun sendok terhadap derajat inflamasi bronkus mencit BALB/c model asma alergi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh pemberian ekstrak daun sendok terhadap derajat inflamasi bronkus mencit BALB/c model asma alergi.
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk penelitian lebih lanjut dalam upaya memanfaatkan daun sendok sebagai obat antiasma alergi dalam pelayanan kesehatan secara resmi.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Daun Sendok (Plantago mayor L.)
a. Nama
1) Nama daerah
a) Sumatra : daun urat, daun urat-urat, daun sendok, ekor angin, kuping menjangan (Melayu)
b) Jawa : ki urat, ceuli, ceuli uncal (Sunda), meloh kiloh, otot-ototan, sangkubah, sangkabuah, sangkuah, sembung otot, suri pandak (Jawa)
c) Sulawesi : torongoat (Minahasa)
2) Nama asing
a) Cina
: che qian cao
b) Vietnam : ma de, xa tien
c) Belanda : Weegbree
d) Inggris : plantain, greater plantain, broadleaf plantain,
rat’s tail plantain, waybread, white man’s foot
(Dalimartha, 1999)
b. Klasifikasi Divisi
: Spermatopyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Marga : Coleus Jenis
: Plantago major L.
(Soedarto, 2003)
c. Deskripsi
Gambar 2.1 Daun Sendok (Persi, 2002)
Daun sendok merupakan gulma di perkebunan teh dan karet. Dapat juga tumbuh liar di hutan, ladang, dan halaman berumput yang agak lembab. Tumbuhan ini berasal dari daratan Asia dan Eropa. Dapat ditemukan dari daratan rendah sampai 3.300 dpl. Merupakan tena menahun, tumbuh tegak, tinggi 15 - 20 cm, daun tunggal, bertangkai panjang, tersusun dalam roset akar. Bentuk daun bundar telur sampai lanset melebar, tepi rata atau bergerigi kasar tidak teratur, permukaan licin atau sedikit berambut, pertualangan melengkung, panjang 5 – 10 Daun sendok merupakan gulma di perkebunan teh dan karet. Dapat juga tumbuh liar di hutan, ladang, dan halaman berumput yang agak lembab. Tumbuhan ini berasal dari daratan Asia dan Eropa. Dapat ditemukan dari daratan rendah sampai 3.300 dpl. Merupakan tena menahun, tumbuh tegak, tinggi 15 - 20 cm, daun tunggal, bertangkai panjang, tersusun dalam roset akar. Bentuk daun bundar telur sampai lanset melebar, tepi rata atau bergerigi kasar tidak teratur, permukaan licin atau sedikit berambut, pertualangan melengkung, panjang 5 – 10
d. Kandungan Kimia Daun Sendok Kandungan kimia daun sendok antara lain adalah 3,4 dihydroaucubin, 6-0- β-glucosylaucubin, 9-hydroxy-cis-11-octadecanoic acid, adenine, alkaloids, allantoin, apigenin, apigenin-7-glucoside, ascorbic acid, aucubin, baicalein, baicalin, benzoic acid, caffeic acid, catalpol, chologenic acid, choline, cinnamic acid, citric acid, D- glucose, D-xylose, DI-O-methylgalactose, emulsin, eo, fat, ferulic acid, fiber, fumaric acid, geniposidic acid, gentisic acid, glucoraphenine, hispidulin, hydroxycinnamic acid, indicaine, invertin, L-fructose, lignoceric acid, linoleic acid, loliolid, luteolin, luteolin-7- β-D- glucoside, luteolin-7- β-D-glucoronide, mucilage, nepetin, oleanolic acid, oleic acid, P-coumaric acid, P-hydroxy-benzoic acid, phenolcarbonic acids, plantagic acid, plantagonine, plantagoside, plantease, planteolic acid, potassium salts, protein, resin, rhamnose, saccharose, salicylic acid, scutellarin, sitosterol, sorbitol, succinic acid, sulphorapheane, syringic acid, syringing, tannin, tyrosine, ursolic acid, vanillic acid (Duke, 2009).
e. Efek Farmakologi Daun Sendok Daun sendok bersifat manis dan dingin. Berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, pereda demam (antipiretik), peluruh kencing (diuretik), peluruh dahak (ekspektoran), obat batuk (antitusif), penghenti perdarahan (hemostasis), astringen, menerangkan penglihatan dengan menormalkan aktivitas organ hati yang berlebihan, dan menghilangkan haus (Dalimartha, 1999).
f. Daun Sendok sebagai Antiasma Daun sendok dapat digunakan sebagai antiasma dengan aktifitas beberapa zat yang dikandungnya, yaitu:
Tabel 2.1 Kandungan Kimia Daun Sendok yang Berperan sebagai
Antiasma (Duke, 2009)
Aktivitas Allantoin
Zat
Sumber
Tanaman Antiinflamasi
antihistamin, antiinflamasi, inhibitor COX-1, inhibitor COX-2, inhibitor ICAM-1, inhibitor NF-kB, inhibitor NO- synthetase,
inhibitor TNF- α,
inhibitor PKC
Ascorbic acid Tanaman Antialergi, antiasma, antihistamin, antiinflamasi, asthma preventive, antagonis Ca, imunomodulator
tanaman, biji
Baicalein
Daun
Antialergi, antiasma, antihistamin, antiinflamasi,
inhibitor
siklooksigenase
Baicalin Tanaman Antialergi, antiasma, antihistamin,
antiinflamasi
Caffeic acid
Tanaman Antihistamin,
antiinflamasi, antagonis Ca, inhibitor COX-2, inhibitor leukotrien
Chlorogenic
antiinflamasi, acid
Tanaman Antihistamin,
antileukotrien
Cinnamic acid
Tanaman Antiinflamasi
Ferulic acid
Tanaman Antialergi,
antiinflamasi,
antiserotonin,
inhibitor sintesis
prostaglandin
Gentisic acid
Tanaman Antiinflamasi
Linoleic acid
antiinflamasi, antileukotrien D4, imunomodulator Luteolin
antihistamin, antiinflamasi, antagonis Ca, inhibitor ICAM-1, inhibitor NF-kB, inhibitor NO, inhibitor sintesis prostaglandin, inhibitor TNF- α
chlorogenic acid Oleanolic acid Daun
Antialergi, antiinflamasi, inhibitor COX-2, imunomodulator, inhibitor NF-kB
Oleic acid
Antiinflamasi, antialeukotrien D4 P-coumaric
Daun
Tanaman inhibitor sintesis prostaglandin acid Salicylic acid
Tanaman Antiinflamasi, inhibitor COX-2 Syringin
Tanaman Imunomodulator
Tannin Tanaman Inhibitor siklooksigenase Ursolic acid
Inhibitor siklooksigenase, imunomodulator Vanillic acid
Tanaman Antiinflamasi,
Tanaman Antiinflamasi
2. Asma Alergi
Sundaru dan Sukamto (2007) menyebutkan asma adalah penyakit paru dengan karakteristik : obstruksi saluran napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan; inflamasi saluran napas; peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hiperreaktivitas).
Asma alergi termasuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, yaitu hipersensitivitas cepat. Karakteristik reaksi hipersensitivitas tipe I ini adalah diproduksinya antibodi IgE melawan protein asing yang umumnya ada di lingkungan (seperti serbuk sari, toxin binatang, tungau, atau debu rumah) (David et al., 2006).
Alergen yang masuk ke dalam tubuh individu yang rentan asma akan diambil oleh APC, seperti sel dendritik di saluran napas. Di dalam APC, alergen dikenali dalam bentuk peptida yang berinteraksi dengan MHC kelas II. Kompleks peptida-MHC II pada permukaan APC kemudian berinteraksi dengan reseptor sel T sehingga sel T teraktivasi. Sel T naïve CD4+ dapat berasosiasi secara eksklusif dengan antigen yang dipresentasikan bersama MHC II (David et al., 2006). Limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi sel Th1 dan Th2. Pada penderita rentan asma, akan terjadi polarisasi ke arah sel Th2 (Mangatas dkk., 2006). Limfosit Th2 akan memproduksi IL4, IL5, IL10, dan IL13 (David et al., 2006).
Proses pembentukan IgE terjadi melalui dua sinyal. Sinyal pertama dibawa oleh IL-4 atau IL-13 yang menempel pada reseptornya di sel B. Sinyal kedua terjadi melalui ikatan antara CD-40 pada sel B yang mengikatkan diri pada reseptornya di sel T, antara CD-28 dan molekul kostimulator B7 (CD-80 dan CD-86), serta antara integrin α1β2 dengan ICAM-1 (intracelullar adhesion molecule-1) (Bosquet et al., 2000 dalam Mangatas dkk., 2006). IgE yang terbentuk akan berikatan Proses pembentukan IgE terjadi melalui dua sinyal. Sinyal pertama dibawa oleh IL-4 atau IL-13 yang menempel pada reseptornya di sel B. Sinyal kedua terjadi melalui ikatan antara CD-40 pada sel B yang mengikatkan diri pada reseptornya di sel T, antara CD-28 dan molekul kostimulator B7 (CD-80 dan CD-86), serta antara integrin α1β2 dengan ICAM-1 (intracelullar adhesion molecule-1) (Bosquet et al., 2000 dalam Mangatas dkk., 2006). IgE yang terbentuk akan berikatan
dalam Mangatas dkk., 2006; David et al., 2006), atau reseptor dengan afinitas rendah, yaitu FcεRII seperti pada limfosit, trombosit, dan
makrofag (Bosquet et al., 2000 dalam Mangatas dkk., 2006). Proses inflamasi pada asma alergi meliputi inflamasi akut dan inflamasi kronik.
a. Inflamasi akut
1) Reaksi fase awal (early phase reaction) Apabila terjadi paparan ulang oleh alergen maka produksi IgE spesifik akan meningkat dan terbentuk ikatan antara alergen dengan dua atau lebih IgE pada sel mast yang disebut sebagai cross-linking (Abbas and Litchman, 2003). Ikatan IgE tersebut menyebabkan peningkatan influks ion kalsium yang memudahkan sel mast dan basofil untuk melepaskan berbagai preformed mediators. Diantaranya adalah histamin, yang menyebabkan kontraksi bronkus, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Bocornya protein akan merangsang penebalan dinding saluran nafas dan pembentukan sumbatan dalam bentuk eksudat yang terdiri dari campuran protein plasma dengan mukus, sel-sel radang, dan berbagai komponen inflamasi. Eksudasi plasma merusak integritas epitel saluran nafas dan berakibat pengelupasan epitel saluran nafas (Bosquet et al.,
2000, Nadel and Busse, 1998, Davies et al., 1997 dalam Mangatas dkk., 2006).
2) Reaksi fase lambat (late phase reaction) Fase ini timbul setelah 6-9 jam paparan alergen dan meliputi pengerahan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, neutrofil dan makrofag. Sel-sel tersebut diaktivasi oleh sitokin-sitokin yang diproduksi pada proses inflamasi sebelumnya. Interleukin 3, IL-5, dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM–CSF) akan memacu produksi dan aktivasi eosinofil; sedangkan TNF α akan meningkatkan ekspresi molekul adesi endotel terhadap leukosit seperti E-Selection dan Intercelllular Adhesion Molecule (ICAM) 1 (Bosquet et al., 2000 dan Davies et al., 1997 dalam Mangatas dkk., 2006; Janeway et al., 2005).
Reaksi fase lambat ditandai oleh retensi selektif sel T pada saluran nafas, ekspresi molekul adhesi, serta pelepasan newly generated mediators yaitu derivat asam arakhidonat. Fosfolipid sel mast, eosinofil, makrofag, trombosit dan endotel vaskular merupakan sumber asam arakhidonat yang sintesisnya memerlukan bantuan enzim fosfolipase. Termasuk dalam newly generated mediators diantaranya adalah prostaglandin (PG), tromboksan (TX), leukotrien (LT) dan platelet activating Reaksi fase lambat ditandai oleh retensi selektif sel T pada saluran nafas, ekspresi molekul adhesi, serta pelepasan newly generated mediators yaitu derivat asam arakhidonat. Fosfolipid sel mast, eosinofil, makrofag, trombosit dan endotel vaskular merupakan sumber asam arakhidonat yang sintesisnya memerlukan bantuan enzim fosfolipase. Termasuk dalam newly generated mediators diantaranya adalah prostaglandin (PG), tromboksan (TX), leukotrien (LT) dan platelet activating
bersifat sebagai bronkokonstriktor poten, sedangkan PGA2α, PGD2 dan PAF
menyebabkan bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas vaskular dan sekresi mukus. Dalam konsentrasi tinggi, PAF juga menyebabkan agregasi trombosit dan pembentukan mikrotrombus. Hal ini terus menerus terjadi sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat (Bosquet et al., 2000 dan Davis et al., 1997 dalam Mangatas dkk., 2006).
b. Inflamasi kronik Survival sel inflamasi pada saluran nafas lebih tinggi lagi oleh adanya peningkatan molekul adhesi seperti ICAM dan VCAM (Vascular Cell Adhesion Molecule) yang melekatkan sel-sel radang pada saluran nafas (Busse and Lemanske, 2001 dalam Mangatas dkk., 2006). Karakteristik inflamasi kronik asma alergi adalah sebagai berikut:
1) Pengelupasan epitel saluran nafas (airway epithelial shedding). Akibat reaksi inflamasi, terjadi pembengkakan, vakuolisasi, hilangnya silia epitel, penambahan jumlah sel goblet, serta pengelupasan sebagian epitel saluran nafas. Penyebab pengelupasan epitel diperkirakan adalah eksudasi plasma, berbagai mediator toksik seperti radikal bebas oksigen, TNF- α, 1) Pengelupasan epitel saluran nafas (airway epithelial shedding). Akibat reaksi inflamasi, terjadi pembengkakan, vakuolisasi, hilangnya silia epitel, penambahan jumlah sel goblet, serta pengelupasan sebagian epitel saluran nafas. Penyebab pengelupasan epitel diperkirakan adalah eksudasi plasma, berbagai mediator toksik seperti radikal bebas oksigen, TNF- α,
Akibat pengelupasan epitel, terjadi hiperresponsivitas bronkus, peningkatan permeabilitas mukosa saluran nafas, dan penurunan jumlah enzim endoprotease netral, seperti substansi P, yang berfungsi mendegradasi sitokin proinflamasi (Bosquet et al., 2000 dan Holgate, 1998 dalam Mangatas dkk., 2006).
2) Aktivasi sel epitel Sel epitel saluran napas turut berperan dalam reaksi inflamasi asma alergi. Reaksi inflamasi ini bertujuan memperbaiki kerusakan jaringan epitel akibat asma. Sel epitel yang teraktivasi melepaskan berbagai mediator, antara lain 15-hydroxyeicotetraenoic acid (15- HETE), PGE2, fibronektin, eotaksin. Selain itu, terjadi peningkatan ekspresi berbagai petanda inflamasi seperti molekul adhesi, nitric oxide synthetase (NOS) dan endotelin (Bosquet et al., 2000 dalam Mangatas dkk., 2006).
3. Bronkus
Bronkus terdiri atas bronkus primer atau ekstrapulmonal dan bronkus sekunder atau intrapulmonal. Bronkus intrapulmonal merupakan hasil percabangan dari bronkus ekstrapulmonal sehingga ukurannya lebih kecil. Bronkus tersusun oleh beberapa lapisan, yaitu: Bronkus terdiri atas bronkus primer atau ekstrapulmonal dan bronkus sekunder atau intrapulmonal. Bronkus intrapulmonal merupakan hasil percabangan dari bronkus ekstrapulmonal sehingga ukurannya lebih kecil. Bronkus tersusun oleh beberapa lapisan, yaitu:
b. Lamina propria Merupakan lapisan tipis di bawah lamina mukosa. Terdiri atas jaringan ikat halus dengan banyak serat elastin.
c. Lamina muskularis Lapisan ini berupa selapis tipis otot polos yang melapisi lamina propria.
d. Lamina submukosa Pada lapisan ini terdapat banyak kelenjar serosa, mukosa, dan mukoserosa.
e. Lamina adventitia Lapisan terluar dari bronkus ini dipisahkan dengan lamina submukosa oleh lempeng-lempeng tulang rawan. Pada celah antar tulang rawan tersebut, jaringan ikat submukosa menyatu dengan adventitia (Eroschenko, 2002).
Gambar 2.2 Histologi Bronkus (Gregory, 2009)
4. Inflamasi Bronkus
Inflamasi atau peradangan bronkus merupakan faktor patofisiologi yang penting pada asma alergi. Myou et al. (2003) menuliskan derajat inflamasi pada saluran napas adalah sebagai berikut:
0 = Tidak ada infiltrasi sel radang
1 = Infiltrasi sel radang sedikit
2 = Infiltrasi sel radang ke-1 lapisan dinding bronkus
3 = Infiltrasi sel radang hingga 2-4 lapisan dinding bronkus
4 = Infiltrasi sel radang hingga > 4 lapisan dinding bronkus Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang tepat belum pasti. Rahmawati dkk. (2003) menyebutkan sel inflamasi yang terlibat dalam patogenesis asma meliputi sel mast, makrofag, neutrofil, eosinofil, limfosit T, basofil, dan platelet.
a. Neutrofil Merupakan granulosit polimorfonuklear karena bergranula dan mempunyai inti berlobus. Sitoplasma neutrofil mengandung granula halus berwarna ungu atau merah muda yang sukar dilihat dengan mikroskop cahaya biasa. Akibatnya, sitoplasma neutrofil tampak bening. Inti neutrofil terdiri atas beberapa lobus yang dihubungkan oleh benang kromatin halus. (Eroschenko, 2002).
Gambar 2.3. Neutrofil Segmen (Nivaldo, 2009)
b. Eosinofil Eosinofil diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5 dan GMCSF (Rahmawati dkk., 2003). Sel ini biasanya mudah dikenali pada apusan darah karena sitoplasmanya dipenuhi granula eosinofilik (merah muda terang) besar (Jancquira and Carneiro, 2005). Granul intraselular ini merupakan sumber protein proinflamasi seperti major basic protein (MBP), eosinophil derived neurotoxin , peroksidase dan protein kationik (Mangatas dkk., 2006). Inti eosinofil khas bipolar namun kadang-kadang ada lobus ketiga yang kecil (Jancquira and Carneiro, 2005).
Gambar 2.4. Eosinofil (Nivaldo, 2009)
c. Limfosit Limfosit merupakan leukosit granuler. Limfosit tidak atau hampir tidak memiliki granula sitoplasma, dengan inti bulat sampai berbentuk tapal kuda. Besarnya barvariasi, pada limfosit kecil intinya yang terpulas gelap mengisi hampir seluruh sitoplasma dan sitoplasma itu tampak sebagai daerah basofilik sempit di sekitar inti. Sitoplasma agranuler, tetapi dapat mengandung sedikit granula azurofilik. Pada limfosit besar, sitoplasma basofiliknya lebih banyak di sekitar inti, dan intinya lebih besar dan lebih pucat serta mengandung satu atau dua nukleoli (Baldy, 2006).
Gambar 2.5. Limfosit (Nivaldo, 2009)
d. Basofil Granula pada basofil tidak sebanyak pada eosinofil, tetapi ukuran granulanya lebih bervariasi, tidak begitu berhimpitan dan terpulas biru tua atau coklat. Meskipun intinya tidak berlobi banyak d. Basofil Granula pada basofil tidak sebanyak pada eosinofil, tetapi ukuran granulanya lebih bervariasi, tidak begitu berhimpitan dan terpulas biru tua atau coklat. Meskipun intinya tidak berlobi banyak
Gambar 2.6. Basofil (Nivaldo, 2009)
e. Makrofag Makrofag memiliki ciri morfologis dengan spektrum luas berdasarkan keadaan aktifitas fungsional dan jaringan yang dihuni. Makrofag dapat terfiksasi atau berpindah tempat. Makrofag bergerak dengan mempergunakan gerakan amuboid. Dengan mikroskop elektron terlihat permukaan makrofag tidak teratur, kaki palsu yang terjulur ke segala arah. Membran plasma berlipat-lipat dan mengandung tonjolan dan lekukan. Nukleus mengandung kromatin padat, berbentuk bulat besar, nukleoli tidak mencolok, sitoplasma terpulas gelap dan sedikit mengandung vakuol kecil yang terpulas secara supravital dengan merah netral. Makrofag dapat ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE-dependent sehingga berperan dalam proses inflamasi (Efendi, 2003).
Gambar 2.7. Makrofag (Caceci, 2009)
5. Mencit Model Asma Alergi
Terdapat beberapa spesies binatang yang digunakan sebagai binatang model asma, diantaranya adalah mencit, tikus, marmut, musang, anjing, kambing, monyet, dan kuda. Dari spesies-spesies tersebut, yang paling banyak digunakan adalah mencit karena memiliki keuntungan yang paling besar dibanding spesies lain, diantaranya adalah karena IgE merupakan antibodi terhadap alergi yang utama pada mencit (Shin et al., 2009).
Dari beberapa strain, BALB/c dan C57BL/6 paling banyak digunakan karena keduanya memiliki respon imunologi yang karakteristik. Mencit BALB/c secara tipikal meningkatkan dominasi Th2 pada respon imun, dan menginduksi parameter respon alergi seperti IgE spesifik alergen, airway hyperresponsiveness (AHR), dan meningkatkan inflamasi eosinofilik pada jalan napas (Shin et al., 2009).
Untuk menginduksi asma pada mencit, reaksi artifisial yang mirip dengan asma diinduksikan pada jalan napas. Terdapat mencit model asma alergi akut dan mencit model asma alergi kronik.
a. Mencit Model Asma Alergi Akut Sifat dari model inflamasi akut dipengaruhi oleh pilihan strain, alergen, dan protokol sensitisasi dan paparan. Alergen yang umumnya dipakai adalah ovalbumin (OVA), yang merupakan derivat dari telur ayam. OVA relatif tidak mahal, tidak berbahaya, dapat dimurnikan, dan memiliki epitop yang mendominasi respon imun. Namun, OVA justru dapat menyebabkan toleransi dan downregulation inflamasi dan AHR pada beberapa model. Trimble et al. (2009) menuliskan bahwa mekanisme toleransi tersebut dapat diatasi dengan pemberian bersama adjuvant. Selain OVA, alergen lain yang digunakan adalah ekstrak dari derivat protein alergen yang berpotensi menginduksi reaksi alergi pada manusia seperti tungau debu rumah, kecoa, rumput-rumputan, dan jamur (Shin et al., 2009).
Protokol sensitisasi pada model inflamasi akut biasanya membutuhkan pemberian alergen secara sistemik yang multipel dengan penambahan adjuvant (Nials and Uddin, 2008). Adjuvant
seperti alumunium hydroksida [Al(OH) 3 ] diketahui menginduksi perkembangan fenotip Th2 oleh sistem imun ketika dipapar antigen (Nials and Uddin, 2008; Shin et al., 2009; Brewer et al., 1999). Protokol tanpa adjuvant juga dapat dilakukan, tetapi membutuhkan seperti alumunium hydroksida [Al(OH) 3 ] diketahui menginduksi perkembangan fenotip Th2 oleh sistem imun ketika dipapar antigen (Nials and Uddin, 2008; Shin et al., 2009; Brewer et al., 1999). Protokol tanpa adjuvant juga dapat dilakukan, tetapi membutuhkan
Sigaret dapat digunakan sebagai adjuvant pada model inflamasi akut. Pemberian OVA bersama-sama dengan sigaret terbukti meningkatkan inflamasi eosinofilik jalan napas. Namun, peran sigaret sebagai adjuvant hanya berlaku hanya ketika masa paparan dengan OVA (Trimble et al., 2009). Setelah OVA dihentikan dan paparan sigaret dilanjutkan, justru akan melemahkan ekspansi sel dendritik dan mengurangi ekspansi sel T, yang berarti bahwa sigaret juga memliki peran sebagai antiinflamasi (Trimble et al., 2009; Robbins et al., 2005). Mekanisme hal tersebut belum diketahui dengan jelas. Hal ini kontroversial dengan kenyataan di klinik yang menunjukkan bahwa pengobatan asma pada perokok lebih sulit dibanding dengan yang bukan perokok. Dengan demikian, diketahui bahwa efek merugikan sigaret pada asma bukan merupakan konsekuensi dari eksaserbasi proses inflamasi yang terkait dengan asma alergi, tetapi merupakan efek langsung sigaret terhadap fungsi paru, pertahanan tubuh penderita, dan sensitivitas terhadap intervensi farmakologi (Trimble et al., 2009).
Paparan primer pada model inflamasi akut memperlihatkan perubahan seperti asma di klinik seperti peningkatan kadar IgE, inflamasi jalan napas, hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel, AHR yang spesifik stimulus, dan -pada beberapa model- bronkokonstriksi fase cepat dan fase lambat. Namun, karena paparan ini bersifat paparan singkat, maka tidak dijumpai beberapa lesi yang ada pada asma kronik pada manusia, seperti inflamasi kronik pada dinding jalan napas dan remodelling jalan napas. Terlebih lagi, beberapa proses berjalan singkat, dan pada beberapa model, inflamasi jalan napas dan AHR berkurang setelah beberapa minggu dari paparan alergen terakhir. Oleh karena itu, model paparan akut lebih cocok digunakan untuk meneliti proses yang mendasari inflamasi jalan napas akut dan AHR (Nials and Uddin, 2008).
b. Mencit Model Asma Alergi Kronik Tujuan pembuatan model inflamasi kronik adalah untuk memperlihatkan perubahan yang terjadi seperti pada asma di klinik, seperti AHR yang persisten dan remodelling jalan napas, dan juga memungkinkan evaluasi obat baru sebagai rancangan terapi daripada sebagai rancangan profilaksis (Nials and Uddin, 2008). Selain itu, keuntungan dari protokol ini adalah kemampuannya untuk memonitor perubahan parameter inflamasi (Shin et al., 2009).
Paparan kronik alergen dilakukan dengan memaparkan secara berulang jalan napas dengan alergen kadar rendah sampai selama 12 Paparan kronik alergen dilakukan dengan memaparkan secara berulang jalan napas dengan alergen kadar rendah sampai selama 12
Pemaparan kronik alergen memperlihatkan perubahan- perubahan seperti asma pada manusia, termasuk alergen dependent sensitisasi, Th2 dependent inflamasi alergi dengan karakteristik influks eosinofil pada mukosa jalan napas, AHR, remodelling jalan napas seperti hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel, dan fibrosis subepitelial atau peribronkiolar. Selain itu, setelah penghentian pemaparan alergen, beberapa perubahan pada remodelling jalan napas menetap pada sejumlah model. AHR dan inflamasi paru yang menetap bervariasi, tergantung pada pemakaian protokol paparan (Nials and Uddin, 2008).
B. Kerangka Berpikir
1. Kerangka berpikir konseptual
Alergen
IFN γ
Sel CD4+ Th1
APC sel dendrit
Sel CD4+ Th2
Antihistamin:
apigenin, ascorbic
IL-4
IL-4, IL-13
acid, baicalein,
baicalin, IgE
Sel B
acid, caffeic
degranulasi
chlorogenic acid, linoleic acid,
Histamin
luteolin IL-5 Sel Mast FcεR
Ekstrak
IL-5, daun
Basofil,
GM-CSF sendok
Limfosit,
IL-5, Trombosit, GM-
asam arakidonat:
luteolin, oleic acid, peningkatan
survival
P-coumaric acid Derivat asam arakidonat:
PG, TX, PAF, LT
Inhibitor mediator
inflmasi kronik:
apigenin, luteolin,
Inflamasi
Pengelupasan
ICAM-1, VCAM,
saluran napas
sel epitel
endotelin, NOS, 15-
Keterangan :
HETE, PGE2, fibronektin, eotaksin
: memacu : menghambat
Inflamasi bronkus
Asma
Gambar 2.8. Skema kerangka berpikir
2. Kerangka berpikir teoritis
Alergen yang masuk ke dalam tubuh mencit akan ditangkap oleh APC yaitu sel dendrit yang nantinya akan dikenali oleh sel Th0. Sel Th0 akan berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Pada individu yang rentan asma, akan terjadi polarisasi ke arah Th2. Sel Th2 akan menghasilkan IL-4 yang semakin memacu diferensiasi dan proliferasi Th0 menjadi Th2. Produksi Th2 akan menghambat produksi Th1 dengan produksi IL-10, dan sebaliknya, jika produksi Th1 yang
dominan, maka akan menghambat Th2 dengan IFNγ. Selain itu, IL-4 dan IL-13 yang diproduksi oleh Th2 akan menstimulasi sel B dalam
memproduksi antibodi IgE. Sitokin lain seperti IL-5 dan GM-CSF mampu menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil.
IgE yang terbentuk nantinya akan berikatan dengan reseptornya, baik itu pada FcεRI pada sel mast dan eosinofil maupun FcεRII seperti pada limfosit, trombosit, dan makrofag. Alergen yang
diikat oleh dua atau lebih molekul IgE pada permukaan sel mast (cross-linking) menimbulkan degranulasi sel mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator inflamasi yang dapat inflamasi saluran napas. Sel mast juga akan melepaskan IL-5 dan GM-CSF yang semakin memicu perekrutan eosinofil dari sumsum tulang. Eosinofil akan memproduksi protein proinflamasi seperti MBP yang berperan dalam reaksi inflamasi. Proses inflamasi juga diperankan oleh newly generated mediators seperti PG, TX, LT, PAF diikat oleh dua atau lebih molekul IgE pada permukaan sel mast (cross-linking) menimbulkan degranulasi sel mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator inflamasi yang dapat inflamasi saluran napas. Sel mast juga akan melepaskan IL-5 dan GM-CSF yang semakin memicu perekrutan eosinofil dari sumsum tulang. Eosinofil akan memproduksi protein proinflamasi seperti MBP yang berperan dalam reaksi inflamasi. Proses inflamasi juga diperankan oleh newly generated mediators seperti PG, TX, LT, PAF
Inflamasi saluran napas kronik akan menyebabkan pengelupasan epitel dan aktivasi sel epitel untu memperbaiki kerusakan. Sel epitel akan meningkatkan ekspresi ICAM-1, VCAM, endotelin, NOS, 15-HETE, PGE2, fibronektin, eotaksin yang justru akan menyebabkan peningkatan survisal sel radang di saluran napas.
Daun sendok memiliki komponen bioaktif yang mempunyai peran sebagai antiasma, diantaranya adalah adanya aktivitas inhibisi sintesis derivat asam arakidonat pada caffeic acid, chlorogenic acid, linoleic acid, luteolin, oleic acid, P-coumaric acid ; antihistamin pada apigenin, ascorbic acid, baicalein, baicalin, caffeic acid, chlorogenic acid, linoleic acid, luteolin; inhibisi mediator inflamasi kronik pada apigenin, luteolin. Dengan demikian pemberian ekstrak daun sendok dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati asma alergi. Hal tersebut dapat dilihat, salah satunya, melalui penurunan derajat inflamasi bronkus mencit BALB/c model asma alergi.
C. Hipotesis
Ekstrak daun sendok menurunkan derajat inflamasi bronkus mencit BALB/c model asma alergi.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik, dengan post test only control group design.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian berupa 40 ekor mencit BALB/c jantan, dengan berat badan ±20–30 gram, dan berumur 6-8 minggu. Bahan makanan mencit digunakan pakan mencit pelet.
D. Teknik Sampling dan Besar Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode random sederhana. Dalam penelitian ini subjek dibagi ke dalam lima kelompok. Jumlah subjek pada masing-masing kelompok didapat dengan rumus besar sampel independen (tidak berpasangan) untuk menaksir perbedaan rata- rata dua populasi (Arief, 2004):
Keterangan: Keterangan:
= nilai pada distribusi normal standar untuk uji dua sisi pada tingkat kemaknaan α. Pada penelitian ini Z = 1,96 untuk α = 0,05
s = simpang baku populasi standar
d = presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi
Jika s tidak diketahui nilainya, maka dianggap sama dengan d, sehingga rumus di atas menjadi:
n = 2 x 3,8416 n = 7,6832 ≈8 Jadi, dalam penelitian ini digunakan 8 mencit BALB/c untuk tiap kelompok.
E. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Ekstrak daun sendok
2. Variabel terikat : Derajat inflamasi bronkus
3. Variabel luar
a. Dapat dikendalikan : makanan, genetik, umur, berat badan mencit.
b. Tidak dapat dikendalikan : variasi kepekaan mencit BALB/c terhadap suatu zat.
F. Skala Variabel Penelitian
1. Ekstrak daun sendok
: skala nominal
2. Derajat inflamasi bronkus : skala ordinal
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Ekstrak Daun Sendok Daun sendok didapat dari Merapi Farma, Yogyakarta yang diekstrak di Lembaga Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Yogyakarta. Pemberian daun sendok dilakukan peroral dengan dosis
50 dan 100 mg/kgBB/hari atau 0,05 dan 0,1 mg/gBB/hari. Dengan mengambil rata-rata berat badan mencit 20 gram, maka dosis ekstrak daun sendok menjadi 1 dan 2 mg/20 gBB/hari.
Ekstrak dibuat dalam konsentrasi 30gr dalam 600mL aquabides (50mg/mL). Agar pemberian lebih mudah, ekstrak diencerkan 4 kali sehingga konsentrasinya menjadi 10mg/mL. Maka ekstrak daun sendok yang diberikan pada sekali pemberian untuk kelompok 4 adalah 0,1 mL dan untuk kelompok 5 adalah 0,2 mL.
2. Derajat inflamasi bronkus Bronkus mencit yang akan dibuat preparat diperoleh pada hari ke-25 atau pada akhir percobaan, dengan mengorbankan mencit, diambil jaringan bronkus utama di dekat percabangan (bifurcation) sepanjang 1,5 cm, kemudian direndam dalam larutan formalin buffer 10% selama 10 jam, setelah itu dibuat blok parafin. Selanjutnya dibuat potongan serial terhadap blok parafin tersebut untuk dibuat slide. Setelah itu dilakukan pewarnaan Haematoxyllin-Eosin (HE) untuk 2. Derajat inflamasi bronkus Bronkus mencit yang akan dibuat preparat diperoleh pada hari ke-25 atau pada akhir percobaan, dengan mengorbankan mencit, diambil jaringan bronkus utama di dekat percabangan (bifurcation) sepanjang 1,5 cm, kemudian direndam dalam larutan formalin buffer 10% selama 10 jam, setelah itu dibuat blok parafin. Selanjutnya dibuat potongan serial terhadap blok parafin tersebut untuk dibuat slide. Setelah itu dilakukan pewarnaan Haematoxyllin-Eosin (HE) untuk
0 = Tidak ada infiltrasi sel radang
1 = Infiltrasi sel radang sedikit
2 = Infiltrasi sel radang ke-1 lapisan dinding bronkus
3 = Infiltrasi sel radang hingga 2-4 lapisan dinding bronkus
4 = Infiltrasi sel radang hingga > 4 lapisan dinding bronkus
H. Mencit Model Asma Alergi
Untuk membuat mencit model asma alergi dilakukan injeksi intraperitonial pada hari ke-0 dan 10 dengan 0,15 cc ovalbumin (OVA) dalam alumunium hidroksida [Al(OH) 3 ] dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada 7,75 ml Al(OH) 3 . Selanjutnya, pada hari ke-15, 17, 19, 21, dan 23 mencit dipapar menggunakan OVA aerosol yang dilarutkan dalam aquades dengan perbandingan OVA : aquades adalah 10 : 1 selama 20 menit menggunakan alat nebulizer kecepatan 6 L/menit. Pada hari ke 16, 18, 20,
22, dan 24 mencit dipapar sigaret yang dilarutkan dalam aquades dengan perbandingan sigaret : aquades adalah 10 : 1 selama 20 menit menggunakan alat nebulizer kecepatan 6 L/menit. Sigaret yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sigaret kretek merk Lodjie ® . Mencit diterminasi pada hari ke-25.
I. Penentuan Dosis Antihistamin
Antihistamin yang digunakan dalam penelitian ini adalah Telfast ® (antihistamin generasi III) 120 mg yang mengandung Fexofenadine.
Faktor konversi manusia (dengan berat badan ±70 kg) ke mencit (dengan berat badan ±20 gr) adalah 0,0026 (Harmita dan Maksum, 2005). Dengan demikian, dosis antihistamin yang diberikan pada mencit adalah:
120 mg x 0,0026
0,3 mg
Telfast ® diberikan pada mencit dengan dosis 0,3 mg/mencit/hari/oral yang sudah dilarutkan dalam 0,1 ml aquades. Jadi, volume aquades yang digunakan sebagai pelarut antihistamin adalah:
120 mg/0,3 mg
V (ml)/0,1 ml
40 ml
J. Rancangan Penelitian
K 1 I 1 Uji Krusskal- Wallis
dilanjutkan n dengan Mann-
Whitney
Gambar 3.1. Skema rancangan penelitian
Keterangan : n
= Jumlah Mencit K1 = Kelompok kontrol
K2 = Kelompok asma K3 = Kelompok asma + antihistamin 0,3mg/mencit/hari/oral K4 = Kelompok asma + ekstrak daun sendok 1 mg/mencit/hari/oral
K5 = Kelompok asma + ekstrak daun sendok 2 mg/mencit/hari/oral
I1 = Derajat inflamasi bronkus K1 I2 = Derajat inflamasi bronkus K2 I3 = Derajat inflamasi bronkus K3 I4 = Derajat inflamasi bronkus K4 I5 = Derajat inflamasi bronkus K5
K. Alat dan Bahan
1. Alat penelitian
a. Kandang hewan ukuran 35 x 20 x 15
b. Timbangan hewan merk camry
c. Spuit injeksi 0,1 ml
d. Sonde 0,1 ml
e. Pipet ukur 1 ml
f. Labu ukur 5 ml
g. Beaker glass 5 ml
h. Deck glass
i. Nebulizer j. Mikroskop cahaya
2. Bahan penelitian
a. Ekstrak daun sendok
b. Bronkus hewan coba
c. Aquades
d. Pakan mencit pelet
e. OVA
f. Antihistamin generasi III
g. Formalin buffer 10% g. Formalin buffer 10%
i. Sigaret j. Blok parafin k. Pewarna HE
L. Cara Kerja
1. Kandang mencit disiapkan, satu kandang berisi 1 kelompok mencit. Mencit diadaptasi dengan lingkungan selama 7 hari.
2. Mencit sebanyak 40 ekor dikelompokan secara acak menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 8 ekor mencit dengan rincian:
a. Kelompok 1 : Kelompok kontrol
b. Kelompok 2 : Kelompok asma
c. Kelompok 3 : Kelompok asma + antihistamin 0,3
mg/mencit/hari/oral
d. Kelompok 4 : Kelompok asma + ekstrak daun sendok 1
mg/mencit/hari
e. Kelompok 5 : Kelompok asma + ekstrak daun sendok 2
mg/mencit/hari
3. Antihistamin untuk kelompok 3 dan ekstrak daun sendok untuk kelompok 4 dan 5 diberikan mulai hari ke-10.
4. Sensitisasi OVA intraperitonial (i.p.) dilakukan pada hari ke-0 dan 10 dengan dosis 0,15 ml/mencit.
5. Pada hari ke-15, 17, 19, 21, dan 23, mencit dipapar menggunakan OVA aerosol 50 mg yang dilarutkan dalam aquades dengan perbandingan OVA : aquades adalah 10 : 1 selama 20 menit menggunakan alat nebulizer kecepatan 6 L/menit.
6. Pada hari ke-16, 18, 20, 22, dan 24, mencir dipapar menggunakan sigaret 50 mg yang dilarutkan dalam aquades dengan perbandingan sigaret : aquades adalah 10 : 1 selama 20 menit menggunakan alat nebulizer kecepatan 6 L/menit.
7. Dua puluh empat jam setelah paparan OVA aerosol berakhir, semua mencit dikorbankan menggunakan teknik cervical dislocation. Bronkus mencit diambil dan dibuat preparat dengan pengecatan HE. Preparat diamati menggunakan mikroskop cahaya untuk menentukan derajat inflamasinya.
M. Alur Penelitian
Mencit BALB/c 40 ekor
Kelompok 4 Kelompok 5
Hari 0 & 10 :
Hari 0 & 10 : Sensitisasi
Ekstrak daun Ekstrak daun
0,3mg/mencit
1mg/mencit
2mg/mencit
/hari/oral
/ hari/oral
/hari/oral
Hari ke-15, 17, 19, 21, dan 23: Paparan OVA aerosol dalam aquades dengan
perbandingan OVA:aquades = 10:1
Hari ke-16, 18, 20, 22, dan 24: Paparan sigaret aerosol dalam aquades dengan
perbandingan sigaret:aquades = 10:1
Terminasi dengan metode dislokasi servikalis
Koleksi bronkus
Slide preparat
Derajat inflamasi
Analisis statistik
Gambar 3.2. Alur penelitian
N. Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian berupa grade histologis saluran napas, dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Kruskall-Wallis dan dilanjutkan dengan Post Hoc Tests yaitu Mann-Whitney menggunakan
program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.0 for Windows Release . Kruskall-Wallis adalah uji nonparametrik untuk membandingkan perbedaan mean lebih dari dua kelompok dengan syarat kedua variabel adalah skala kategorikal, sedangkan Mann-Whitney digunakan untuk membandingkan perbedaan mean antarkelompok.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Preparat bronkus dari masing-masing mencit dibuat menggunakan pengecatan HE setelah dislokasi servikalis. Preparat diamati dengan mikroskop cahaya menggunakan perbesaran 100 kali. Masing-masing bronkus dinilai derajat inflamasinya menggunakan sistem grading Myou et al., (2003) sebagai berikut:
Gambar 4.1. Grade 0 pada K1 Gambar 4.2. Grade 1 pada K1
Gambar 4.3. Grade 2 pada K5 Gambar 4.4. Grade 3 pada K3
Gambar 4.5. Grade 4 pada K5 Keterangan :
: yang ditunjuk adalah sel-sel radang Dari hasil pengamatan terhadap 40 preparat bronkus dari 5 kelompok, maka persentase derajat inflamasi masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.1. Derajat Inflamasi pada Bronkus Mencit BALB/c Masing- Masing Kelompok.
Kelompok Grade 0
Grade 1
Grade 2
Grade 3 Grade 4
0 0 0 0 5 62,5 2 25 1 12,5 Sumber : Data primer 2010
Keterangan : K1
: Kelompok kontrol K2
: Kelompok asma K3
: Kelompok asma + antihistamin K4
: Kelompok asma + ekstrak daun sendok 1 mg/mencit/hari K5
: Kelompok asma + ekstrak daun sendok 2 mg/mencit/hari
Data tabel 4.1 disajikan dalam bentuk histogram grading inflamasi bronkus mencit BALB/c pada tiap-tiap kelompok perlakuan sebagai berikut:
Gambar 4.6. Histogram Grading Inflamasi Masing-Masing Kelompok
terhadap Jumlah Sampel
B. Analisis Hasil
Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan uji Kruskall-Wallis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rerata lebih dari dua kelompok. Hasil uji Kruskall-Wallis menunjukan p = 0,000 yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna (p <0,05) pada sedikitnya dua kelompok perlakuan. Untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan, maka analisis dilanjutkan dengan Post Hoc Test yaitu uji Mann-Whitney.
Dari hasil uji Mann-Whitney (α =0,05), didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan asma, kontrol dengan antihistamin, kontrol dengan daun sendok dosis 1 mg, kontrol dengan daun sendok dosis 2 mg, asma dengan antihistamin, asma dengan daun sendok dosis 1 mg, dan asma dengan daun sendok dosis 2 mg. Sedangkan antara kelompok antihistamin dengan daun sendok dosis 1 mg, antihistamin dengan daun sendok dosis 2 mg, dan daun sendok dosis 1 mg dengan daun sendok dosis 2 mg, tidak berbeda secara bermakna. Rangkuman hasil uji Mann-Whitney antarkelompok dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.2. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney Antarkelompok
Kelompok
Kemaknaan
K1-K2
Bermakna K2-K3
Bermakna K2-K4
Bermakna K2-K5
Bermakna K3-K4
Tidak bermakna K3-K5
Tidak bermakna K4-K5
Tidak bermakna Sumber : Data primer 2010
BAB V PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, mencit model asma alergi yang digunakan adalah mencit model asma alergi akut, dimana perlakuan diberikan selama 25 hari. Alergen yang digunakan untuk sensitisasi dan pemaparan adalah OVA dan sigaret
kretek dengan adjuvant Al(OH) 3 . Alergen yang masuk ke dalam tubuh mencit akan ditangkap oleh APC yang akan dipresentasikan bersama MHC kelas II kepada sel Th0. Sel Th0 akan berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Pada individu yang rentan asma, akan terjadi polarisasi ke arah Th2. Sel Th2 akan menghasilkan IL-4 yang semakin memacu diferensiasi dan proliferasi Th0 menjadi Th2. Selain itu, IL-4 dan IL-13 yang diproduksi oleh Th2 akan menstimulasi sel B dalam memproduksi antibodi IgE.
IgE yang terbentuk akan berikatan dengan reseptornya, baik itu pada FcεRI pada sel mast dan eosinofil, maupun FcεRII seperti pada limfosit,
trombosit, dan makrofag. Alergen yang diikat oleh dua atau lebih molekul IgE pada permukaan sel mast (cross-linking) menimbulkan degranulasi sel mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator inflamasi yang dapat menyebabkan spasme bronkus, edema, peningkatan sekresi mukus, dan konstriksi otot polos bronkus seperti histamin, kinin, dan triptase. Proses inflamasi juga diperankan oleh newly generated mediators seperti prostaglandin (PG), tromboksan (TX), leukotrien (LT) dan platelet activating factors (PAF) yang merupakan derivat asam arakhidonat yang diantara sumbernya adalah fosfolipid trombosit, dan makrofag. Alergen yang diikat oleh dua atau lebih molekul IgE pada permukaan sel mast (cross-linking) menimbulkan degranulasi sel mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator inflamasi yang dapat menyebabkan spasme bronkus, edema, peningkatan sekresi mukus, dan konstriksi otot polos bronkus seperti histamin, kinin, dan triptase. Proses inflamasi juga diperankan oleh newly generated mediators seperti prostaglandin (PG), tromboksan (TX), leukotrien (LT) dan platelet activating factors (PAF) yang merupakan derivat asam arakhidonat yang diantara sumbernya adalah fosfolipid
Hasil pengamatan infiltrasi sel radang pada tabel 4.1 menunjukan adanya peningkatan derajat inflamasi pada kelompok asma bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Derajat inflamasi pada kelompok kontrol menunjukan 87,5% grade
0 dan 12,5% grade 1. Sedangkan pada kelompok asma, didapat 37,5% grade 3 dan 62,5% grade 4. Dari uji Mann Whitney, diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok asma (p = 0,000). Hal ini sesuai dengan penelitian Swirski et al. (2002) yang menyatakan bahwa inhalasi OVA dapat mengaktivasi respon imun dan menimbulkan reaksi alergi yang memicu timbulnya inflamasi; dan juga penelitian Rumold et al. (2001)