TAFSIR MODERN DAN NUANSA POSITIVISTIK

BAB IV TAFSIR MODERN DAN NUANSA POSITIVISTIK

Dalam melihat tafsir Positivistik sebagai sebuah nuansa tafsir yang muncul di era modern, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diulas lebih dalam di antaranya basis dan karakteristik dari tafsir Positivistik yang diterapkan Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma dengan tujuan melihat bagaimana ‘Abduh menjadikan pengetahuan dan fakta-fakta temuan sains modern yang dijadikan sebagai landasan penafsirannya sehingga tafsir yang dihasilkan terkait alam semesta dan fenomenanya sarat dengan nilai- nilai ilmiah sains modern. Sedangkan pengulasan karakteristik dari tafsir Positivistik ‘Abduh, bertujuan untuk melihat kecenderungan- kecenderungan yang sering muncul dalam penerapan tafsir Positivistik ‘Abduh. Selain itu, pada bab ini juga akan diulas urgensi dari tafsir Positivistik sehingga ‘Abduh menjadi tertarik untuk menerapkan model tafsir dengan nuansa Positivistik.

A. Basis Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh Muh}ammad ‘Abduh sebagai salah seorang modernis Islam, telah berusaha menggiring wacana umat Islam ke arah pembaharuan tafsir yang mengadopsi sebagian pemikiran Barat modern untuk

diaplikasikan ke dalam penafsiran Alquran. 1 Salah satu tokoh yang mendapat perhatian ‘Abduh adalah Auguste Comte dan filsafat

1 Rotraud Wielandt berpendapat bahwa sebagian modernis Islam abad 18 yang terkesan dengan perkembangan pemikiran dan peradaban Barat modern,

berupaya mengadopsi esensi dari pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa pada saat itu untuk diterapkan sebagai metode atau pendekatan dalam menafsirkan Alquran. Mengenai Muh{ammad ‘Abduh, Rotraud Wielandt berpendapat bahwa ‘Abduh berusaha mengambil beberapa gagasan atau pemikiran Eropa yang bisa ditelusuri kembali ke filsafat yang ada pada fase akhir dari pencerahan Eropa. Inilah yang menyebabkan munculnya penafsiran bertendensi ilmiah. Rotraud Wielandt, “ Exegesis of the Qur’a> n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n, Editor: Jane Dammen McAuliffe, Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), 126-127. Meskipun demikian, kebolehan penggunaan sains itu sendiri dalam penafsiran Alquran masih diperdebatkan. Nor Syamimi Mohd Dkk. “Scientific Exegesis in Malay Qur’anic Commentary” dalam Asian Social Science, Vol. 10, No.

10. 2014. Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/1527306144?accountid=25704, tanggal 13-06- 2014, pukul 20.07 WIB. 237-239.

Positivismenya. 2 Dalam filsafat Positivisme, ilmu pengetahuan alam modern (sains) memiliki peran yang urgen, terutama dalam

membentuk deskripsi dan pembenaran setiap proposisi yang berkaitan dengan fenomena alam empiris. 3 Positivisme telah membatasi ruang

lingkup kajiannya pada segala sesuatu yang terdapat dalam wilayah empiris. Positivisme berusaha menjadikan proposisi untuk ditinjau dan dijelaskan secara empiris dan ilmiah. Ilmiah dalam konteks Positivisme adalah menjadikan analisis dan fakta-fakta sains modern sebagai landasan dalam mendeskripsikan sebuah proposisi.

Model penafsiran yang diterapkan ‘Abduh pada sebagian ayat dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, setidaknya menunjukkan indikasi kemiripan dengan model deskripsi proposisi filsafat Positivisme. Dalam penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat fenomena alam, terkesan telah melandaskan penafsirannya secara

2 Analisis ini dikuatkan oleh keterangan Ignaz Goldziher yang menyebutkan bahwa ‘Abduh telah menggiring wacana umat Islam untuk tidak lagi menafsirkan

Alquran dengan menggunakan perangkat pemikiran filosof klasik Yunani dan India seperti Plato, Aristoteles, Phytagoras, Jalinus dan sebagainya. Justru ‘Abduh lebih menekankan umat Islam untuk memperhatikan dan mengkaji wacana-wacana baru yang dibawa oleh filosof-filosof Prancis, Jerman dan Inggris pada masa itu. Salah satu nama filosof modern yang disebutkan oleh Ignaz Goldziher yang mendapat perhatian dari ‘Abduh adalah Auguste Comte yaitu seorang filosof Prancis sekaligus pendiri aliran filsafat Positivisme. Filsafat Positivisme ini kemudian berkembang pesat yang tidak hanya di Eropa, namun juga masuk ke daerah-daerah di luar Eropa. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@ r al-Isla>mi, Penerj; ‘Abdul H{ali@ m al-Naja> r (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955), 376. Detlev Kha> lid juga menyebutkan bahwa ‘Abduh juga sempat bersentuhan dengan pemikiran Herbert Spencer yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh pendukung Positivisme. Detlev Kha> lid, “Ah}mad Ami@ n and the Legacy of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Islamic Studies, Vol 9, No. 1, Tanggal 27 Januari 2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20832970.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=tr ue, tanggal 27-01-2014, pukul 15.52 WIB), 5.

3 John Stuart Mill menjelaskan bahwa Auguste Comte begitu terobsesi menjadikan filsafat Positivismenya mampu mensistematisasikan secara lengkap dan

menyebarkan pandangan ilmiah ke dalam semua objek pengetahuan manusia. Menurut Ernest March, substansi science atau ilmu-ilmu alam merupakan deskripsi dari pengalaman manusia, dan tentunya berada dalam wilayah empiris. Oleh karena itu Positivisme menganggap penting penggunaan sains sebagai barometer tinjauan dan pembenaran dalam menjelaskan dan melihat sesuatu. John Stuart Mill, Auguste Comte and Positivism (tp: Marc D'Hooghe, 2005), 2 dan Passmore. J, “Logical Positivism” dalam The Encyclopaedia of Philosophy, Vol. 5, New York: Macmillan (Diakses dari http://infohost.nmt.edu/~mccoy/docs/Positivism.pdf, tanggal 09-12- 2012, pukul 14.05 WIB), 1.

umum kepada fakta-fakta dan analisis sains modern. ‘Abduh terlihat berusaha menjadikan fakta dan analisis sains modern sebagai basis

tafsirnya 4 terhadap ayat-ayat tentang alam sehingga ‘Abd Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh}tasi@ b menilai penafsiran ‘Abduh merupakan penafsiran ilmiah yang sarat dengan fakta-fakta temuan sains modern.

Penafsiran ‘Abduh yang dinilai bernuansa Positivistik dalam konteks penelitian ini bukan bermakna bahwa konteks realitas yang dibicarakan oleh ayat merupakan suatu kejadian yang telah terjadi pada masa lampau atau telah terjadi secara berulang-ulang. Namun, nuansa tafsir Positivistik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sebuah upaya yang dilakukan ‘Abduh untuk menafsirkan secara positif ayat-ayat yang berbicara dalam konteks fenomena-fenomena alam dimana di dalamnya mengandung ruang yang dapat dijelaskan secara positif (berdasarkan analisis terhadap rangkaian pola empiris serta realitas sains dan mungkin dengan objek yang berbeda), meskipun dari segi waktu kejadian, ayat tersebut bisa saja telah terjadi atau akan terjadi. Ketika sebuah ayat yang bercerita tentang fenomena alam (baik itu yang telah terjadi ataupun yang akan terjadi) dan kemudian ditafsirkan ‘Abduh dengan penjelasan yang sarat memuat fakta empiris dan analisis sains modern, maka itulah wujud dari tafsir Positivistik ‘Abduh. Menggiring penafsiran ke arah tendensi positif dari sebuah ayat yang pada dasarnya dapat ditafsirkan dengan penafsiran lain (seperti penafsiran bernuansa Rasionalisme-teologis), merupakan ciri umum dari tafsir Positivistik. Dari sekian banyak ayat- ayat tentang fenomena alam yang ditafsirkan ‘Abduh dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, setidaknya terdapat beberapa

4 Fauzi M. Najjar nampaknya juga memiliki argument yang berkaitan atau bahkan menguatkan hal tersebut. Fauzi M. Najjar menyebutkan bahwa dalam

menanggapi kemajuan dan pengaruh Barat, umat Islam secara umum terbagi ke dalam 3 kelompok yaitu kelompok Revivalis (menolak kemajuan modern dalam beragama), kelompok Liberal (memisahkan agama dari unsur-unsur kehidupan bernegara) dan kelompok Modernis (yang menyatakan agama sesuai dengan perkembangan modernisasi budaya). Salah satu tokoh yang begitu getor menyuarakan pemikiran ini adalah Muhammad ‘Abduh yang berusaha mengintegrasikan perkembangan dan kemajuan peradaban Barat dalam sisi-sisi budaya dan pemikiran umat Islam. Fauzi M. Najjar, “Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida by Malcolm H. Kerr” dalam The American Political Science Review, Vol. 62, No. 3. 1968 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/10.2307/1953452.pdf?acceptTC=true, tanggal 12-05-2014, pukul 17.09 WIB), 972.

penafsiran yang menunjukkan indikasi bahwa fakta dan analisis sains modern yang empiris menjadi basis penafsiran Muh{ammad ‘Abduh.

1. Kehancuran Langit. Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menjelaskan

tentang fenomena langit seperti yang terdapat dalam surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a> r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa> q (84) ayat

1. Secara umum ketiga ayat tersebut menggambarkan kondisi terjadinya hari kiamat. Mengenai ayat-ayat ini, Muh{ammad ‘Abduh telah memberikan penafsiran yang cukup menarik. Misalnya mengenai lafazh ءامسلا تحتفو dalam surat al-Naba’ (78) ayat 19, ‘Abduh menafsirkannya dengan kacaunya tatanan planet-planet serta hilangnya sesuatu yang menahan (gaya tarik menarik atau gaya gravitasi) di antara planet-planet sehingga tempat (keadaan) tersebut tidak lagi bisa disebut langit, melainkan yang terdapat hanya jalur- jalur (jalan-jalan) atau pintu-pintu yang tidak dijumpai lagi sesuatu yang saling bertemu (antara sesuatu benda dengan benda yang lainnya atau hancurnya seluruh yang ada di langit). Maka itulah kehancuran

alam atas (langit) sebagaimana hancurnya alam bawah (bumi). 5 Penafsiran yang senada juga terlihat ketika ‘Abduh menafsirkan surat

al-Infit}a> r (82) ayat 1 ( ترط فنا ءامسلا اذا ) sebagai kerusakan tatanan langit sehingga keadaan planet-planet (yang ada di langit) tidak lagi seperti yang disaksikan saat ini. Pada akhirnya semua alam akan menjadi hancur akibat hal tersebut. Bahkan lebih dalam lagi ‘Abduh mengaitkan tafsiran surat al-Infit}a> r (82) ayat 1 dengan surat al-Infit}a> r (82) ayat 2 ( ترثتنا بكاوكلا اذإو) bahwa dengan bertabrakkannya planet- planet di tata surya yang menyebabkan seluruh planet menjadi hancur berserakan, semakna dengan maksud Allah dalam surat al-Infit}a> r (82)

5 Dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, ‘Abduh telah memberikan tafsirannya bahwa “dibukanya langit” sama dengan apa yang

dimaksudkan Allah dalam ayat lain seperti “apabila langit terbelah” atau “ingatlah ketika langit terbelah dan mengeluarkan kabut”, bahwa pada hari itu tatanan planet- planet menjadi kacau serta hilangnya sesuatu yang menahan (gaya tarik menarik atau gaya gravitasi) di antara planet-planet tersebut sehingga tempat (keadaan) tersebut tidak lagi bisa disebut langit, melainkan yang terdapat hanya jalur-jalur (jalan-jalan) atau pintu-pintu yang tidak dijumpai lagi sesuatu yang saling bertemu (antara sesuatu benda dengan benda yang lainnya atau hancurnya seluruh yang ada di langit). Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma (Kairo: al-Ami@ ri@ yah, 1322 H), 5.

ayat 2, “dan apabila bintang-bintang berserakan”. 6 Begitu juga dengan penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Inshiqa> q (84) ayat 1( تّقشن اء ما ّسلا اذإ )

sebagai rusaknya tatanan langit ketika Allah menghendaki hancurnya alam. Kehancuran tersebut misalnya disebabkan oleh salah satu sebab

yaitu apabila sebuah planet melintas di dekat (jalur perlintasan) planet lain, maka akan menimbulkan (gaya) tarik menarik antar (kedua) planet yang akan mengakibatkan kedua planet bertabrakan sehingga

mengacaukan tatanan tata surya secara keseluruhan. 7 Dalam karya yang lain ‘Abduh sempat menjelaskan gagasan

yang sama terkait persoalan tata surya bahwa keterkaitan antar bintang-bintang yang ada di alam beserta kadar geraknya, tunduk terhadap suatu aturan tersendiri yang membuat bintang-bintang tersebut tetap berada pada tempatnya. Kemudian peredaran bintang itu sendiri yang mengikuti alur yang teratur berdasarkan garis edarnya, menunjukkan bintang-bintang tersebut bergerak berdasarkan hukum alam. Jika bintang-bintang itu sedikit saja keluar dari keteraturannya mengikuti garis edar, maka hilanglah keteraturan alam yang berakibat

pada hancurnya seisi alam. 8 Jadi tentang surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a> r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa> q (84) ayat 1, secara

umum ‘Abduh menafsirkannya dengan tabrakan antar planet yang disebabkan oleh hilangnya gaya tarik menarik (gravitasi) antar planet yang berakibat hancurnya seluruh benda-benda langit.

Penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh nampaknya berbeda dengan penafsiran yang dihadirkan oleh al-T{abari@ , al-Ra> zi@ dan al-Zamakhshari@

6 Mengenai surat al-Infit}a> r (82) ayat 1, ‘Abduh menafsirkannya dengan kerusakan tatanan langit sehingga keadaan planet-planet (yang ada di langit) tidak

lagi seperti yang di saksikan saat ini. Pada akhirnya semua alam akan menjadi hancur akibat hal tersebut. ‘Abduh juga mengaitkan penafsiran surat al-Infit}a> r (82) ayat 1 dengan surat al-Infit}a> r (82) ayat 2 bahwa dengan bertabrakkannya planet-planet di tata surya yang menyebabkan seluruh planet menjadi hancur berserakan, semakna dengan maksud Allah dalam surat al-Infit}a> r (82) ayat 2, “dan apabila bintang-bintang berserakan”. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, 33.

7 Mengenai surat al-Inshiqa> q (84) ayat 1, ‘Abduh mnyebutkan bahwa “terbelahnya langit” yaitu rusaknya tatanan langit ketika Allah menghendaki

hancurnya alam, seperti apabila sebuah planet melintas di dekat (jalur perlintasan) planet lain, maka akan (menimbulkan gaya) tarik menarik antar (kedua) planet yang akan mengakibatkan kedua planet bertabrakan sehingga mengacaukan tatanan tata surya secara keseluruhan. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, 49.

8 Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@ d (Kairo: Da>r al-Nas{r li al-T{iba>’ah, 1969), 35.

yang masing-masingnya dikenal sebagai ulama tafsir dengan kecenderungan al-Ma’thu>r, rasional dan bertendensi rasional Mu’tazilah. Misalnya seperti al-T{abari@ yang menafsirkan surat al- Naba’ (78) ayat 19 dengan terbelahnya langit, kemudian retak sehingga menjadi jalur-jalur atau langit itu terbuka sehingga menjadi pecahan-pecahan seperti potongan kayu yang dipakai untuk pintu

rumah dan tempat tinggal. 9 Sedangkan al-Ra> zi@ menafsirkan surat al- Naba’ (78) ayat 19 dengan terbukanya pintu surga sebagai jalan untuk

turunnya malaikat dan terbukanya langit tidak sampai menyebabkan langit itu terbelah atau bisa juga bermakna terbukanya seluruh pintu-

pintu yang ada di langit. 10 Kemudian mengenai surat al-Infit}a> r (82) ayat 1 al-Ra> zi@ memberikan tafsiran jika langit bergoncang maka

jatuhlah seluruh bintang-bintang ke bumi. 11 Begitu juga dengan al- Zamakhshari@ yang menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat 19 dengan

menyebutkan bahwa nanti akan terdapat banyak pintu-pintu yang terbuka di langit untuk turunnya malaikat, seolah-olah di langit yang

ada hanya pintu-pintu. 12 Jika dianalisa secara lebih dalam dari sudut pandang sains,

penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a> r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa> q (84) ayat 1 sebagai tabrakan antar planet yang disebabkan oleh hilangnya gaya tarik menarik (gravitasi) antar planet, secara tidak langsung menunjukkan keluasan pengetahuan ‘Abduh tentang teori peredaran planet dalam tata surya yang tentunya berkaitan erat dengan ilmu Astronomi dan Fisika dimana para filosof serta ilmuwan telah terlebih dahulu membahasnya jauh sebelum ‘Abduh menyebutkan hal ini. Ian Stewart menyebutkan bahwa teori tentang peredaran planet di ruang tata surya pertama kali muncul pada tahun 1300 M dari seorang filosof asal Persia bernama Najm al-Katibi yang dikenal dengan teori Heliosentris (matahari sebagai pusat planet). Meskipun pada masa ini kemunculan teori tersebut belum mencapai tingkat kematangan, namun cukup berhasil mempelopori dan merangsang Nicolaus Copernicus pada tahun 1543

9 Ja’far Muh{ammad bin Jari@ r al-T{abari@ , Tafsi@ r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@ l Ayy al-Qur’a>n, Juz 24 (Kairo: Bada>r Hijr, 2001 M / 1422 H), 19-20.

10 Muh{ammad al-Ra> zi@ Fakr al-Di@ n Ibn al-‘Alla> mah al-‘Umar, Mafa>ti@ h{ al- Ghaib Tafsi@ r al-Fakhr al-Ra>zi@ , Juz’ 31 (Kairo: Da> r al-Fikr, 1981 M), 12.

11 Muh{ammad al-Ra> zi@ Fakr al-Di@ n Ibn al-‘Alla> mah al-‘Umar, Mafa>ti@ h{ al- Ghaib Tafsi@ r al-Fakhr al-Ra>zi@ , Juz’ 31, 77.

12 Abi@ al-Qa> sim Mah{mu> d bin ‘Umar al-Zamakhshari@ , al-Kashsha>f, Juz’ 6 (Riya> d{: Maktabah al-‘Abi@ ka> n, 1998), 299.

M untuk mematangkan teori peredaran planet bahwa posisi bumi bukanlah berada di tengah-tengah benda-benda lain. Pada tahun 1609 M barulah Johannes Kepler mulai memecahkan teka-teki peredaran planet-planet (bintang) dengan mengeluarkan 2 hukum. Hukum pertama mengatakan bahwa semua planet bergerak secara elips dengan matahari sebagai pusat edar dan hukum kedua mengatakan bahwa setiap planet bergerak melintasi orbitnya dengan sedemikian rupa dan kembali melewati orbit yang sama. Teori inilah kemudian memunculkan sebuah penemuan besar tentang filsafat alam pada tahun 1687 M oleh Isaac Newton yang kemudian dikenal dengan hukum

gravitasi. 13 Dalam hukum gravitasi Newton disebutkan bahwa dua benda akan saling tarik menarik dengan kekuatan yang sebanding serta

dengan massa dan jarak yang berbading terbalik antara kedua benda tersebut. 14 Benda-benda (planet) tersebut bergerak secara bersamaan di

sekitar pusat gravitasi dalam orbit elips. Hal ini terdengar cukup bertentangan dengan teori Ptolemy sebagaimana yang berkembang

antara tahun 500-1450 M, bahwa bumi dianggap sebagai suatu bidang

13 Lebih dari 300 tahun yang lalu Newton telah mencoba merumuskan teori gravitasi ke dalam rumus-rumus matematika dan dari hukum-hukum yang

tersistematis tersebut sampai saat ini belum ada seorangpun yang sanggup membantah hukum gravitasi Newton dengan hukum baru yang lebih diakui kebenarannya. I. Peterson, “Taking the Measure of Newton's Gravity Law” dalam Science News, Vol. 142, No. 14, 1992 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/4017931.pdf, tanggal 24-06-2014, pukul 23.10 WIB), 215.

14 I. Bernard Cohen, “ Newton's Third Law and Universal Gravity” dalam Journal of the History of Ideas, Vol. 48, No. 4. 1987 (Diakses dari

http://www.jstor.org/stable/pdfplus/10.2307/2709688.pdf?acceptTC=true, tanggal 12-05-2014, pukul 20.20 WIB), 574.

15 Ian Stewart menyebutkan bahwa Najm al-Katibi pertama kali mulai memberikan perhatian kusus tentang tata surya dan sempat mengeluarkan teori

Heliosentris (matahari sebagai pusat planet) meskipun Najm al-Katibi sendiri sempat berubah pikiran tentang teorinya. Beranjak dari konsep yang dikemukakan oleh Najm al-Katibi inilah kemudian memunculkan konsep-konsep besar lainnya dari beberapa tokoh yang kemudian cukup dikenal, terutama di kalangan para Astronom, seperti Nicolaus Copernicus, Johannes Kepler dan Isaac Newton. Ian Stewar, “Riddle of the Wandering Stars” dalam Jurnal New Statesman, April 2012, (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1010584593?accountid=25704, tanggal 29-10-2013, pukul 08.42 WIB), 34.

datar dan tidak bergerak. Selain itu, bumi juga dianggap sebagai pusat semesta dimana seluruh benda-benda langit mengedarinya. 16

Pada dasarnya, planet-planet yang memiliki bentuk bulat, hanya memiliki 2 jenis gerak yaitu gerak translasi yang berupa

perpindahan posisi dalam ruang, dan gerak berputar atau rotasi yang dapat terjadi di tempat yang sama tanpa perubahan posisi dalam

ruang. 17 Selain itu Nadiyah Tharayyarah menyebutkan bahwa adanya gaya gravitasi yang menyertai pergerakan planet dalam orbitnya

merupakan bagian dari ketetapan Allah dimana gaya gravitasi itu sendiri berfungsi untuk mengendalikan sisi-sisi semesta dan

berhubungan dengan orbit atau ruang hampa serta massa dan energi. 18 Gaya gravitasi dan kontra gravitasi yang terjadi itulah yang akan

mengatur pergerakan planet-planet di dalam orbitnya sehingga planet- planet tersebut tetap beredar pada poros dan jalurnya masing-masing. 19

Itulah yang menyebabkan pergerakan planet-planet di tata surya begerak dalam bidang elips (melengkung) dan tidak mengenal garis

lurus. 20 Gerakan berputar secara terus menerus yang kemudian

16 Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains Mengungkap Berita-Berita Ilmiah Alquran, Penerj: Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 31.

17 Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi Alquran yang Terlupakan, (Bandung: Mizan, 2008), 219. Sedangkan menurut Newton Garver, Johanes Kepler

justru membagi gerak planet kepada tiga bagian yang salah satu di antaranya adalah bahwa setiap planet bergerak dalam bidang elips mengelilingi matahari dengan matahari sebagai pusat edar. Newton Garver, “What Theory Is “ dalam Journal of Folklore Research, Vol. 45. No.1. 2008 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/40206965.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=tr ue, tangga 12-04-2014, pukul 22.34 WIB), 65.

18 Nadiah Tharayyarah, Sains dalam al-Quran Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman Allah, Penerj. M. Zaenal Arifin dkk (Jakarta: Zaman, 2013), 332. R.

Monastersky juga menunjukkan bukti adanya gaya gravitasi pada tiap-tiap planet. Misalnya saja pada bumi, ketika dilakukan penggalian yang semakin dalam ke arah inti bumi, maka akan ditemukan gaya tarik gravitasi yang semakin kuat. R. Monastersky, “Newton's Gravity Law May Take a Fall” dalam Science News, Vol. 134 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/3972808.pdf?acceptTC=true&jpdConfirm=true, tanggal 23-05-2014, pukul 22.09 WIB), 85.

19 Ah}mad Fua> d Ba> tha> menjelaskan bahwa setiap benda-benda langit mempunyai garis edarnya, baik itu bintang-bintang (planet), bulan, komet dan

beberapa benda-benda angkasa lainnya, beredar pada garis edar yang telah ditetapkan Tuhan. Pergerakan ini menggabungkan antara kekuatan gerak alam dengan kemahabesaran serta kekuasaan Allah. Ah{mad Fua> d Ba> tha> , Rahi@ q al-‘Ilm wa al-I@ ma>n (Kairo: Da> r al-Fikr al-‘Arabi@ , 2002 M), 70.

20 Nadiah Tharayyarah, Sains dalam Alquran, 345-347.

memunculkan dorongan dari pusat (kontra gravitasi) yang menyeimbangkan kekuatan gravitasi. Dari putaran yang tiada henti itulah kemudian timbul keseimbangan gerak dari planet-planet yang ada di tata surya. Ketika gaya gravitasi itu hilang, terutama gaya gravitasi pusat (matahari sebagai kontra gravitasi), maka hal itu akan berakibat pada beredarnya planet-planet di luar jalurnya yang akan

menyebabkan terjadinya tabrakan antar planet. 21 Ketika seluruh planet bertabrakan dalam skala besar, maka besar kemungkinan seluruh

planet akan hancur sehingga ruang angkasa menjadi kosong dari planet dan bintang-bintang. Jika dikaitkan antara realita-realita sains dengan penafsiran ‘Abduh, mungkin ada benarnya penafsiran ‘Abduh bahwa “terbelahnya langit” dipahami sebagai tabrakan antar planet. Namun secara substansi, ‘Abduh telah melandaskan penafsiran tentang “terbelahnya langit” dalam surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a> r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa> q (84) ayat 1 kepada realitas dan analisis sains tentang teori tarik menarik (gaya gravitasi) antar planet dan peredarannya sebagaimana yang terdapat dalam ilmu Astronomi dan Fisika.

2. Proses Metabolisme Tanaman. Dalam surat ‘Abasa (80) ayat ke 25-27 22 Allah telah

menjadikan tanaman sebagai objek pembicaraan. Dalam beberapa ayat tersebut Allah mengungkapkan isyarat-isyarat umum tentang rangkaian proses metabolisme tanaman, mulai dari diturunkannya hujan, kemudian dibelahnya bumi, dan ditumbuhkannya biji-bijian. Mengenai ketiga ayat tersebut, dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma ‘Abduh telah menafsirkannya dengan menyebutkan bahwa ketika Allah telah mencurahkan air hujan dengan curahan yang deras, kemudian Allah membelah tanah dengan sebaik-baiknya seperti kondisi tanah setelah diairi, atau seperti tanah yang telah dibajak manusia dengan tangan ataupun dengan alat-alat (tertentu) yang menyebabkan udara dan cahaya matahari masuk ke dalamnya sehingga

21 Nadiah Tharayyarah, Sains dalam Alquran, 360-361. 22 Surat ‘Abasa (80) ayat ke 25-27:

∩⊄∠∪ ${7ym $pκÏù $uΖ÷Kt7/Ρr'sù ∩⊄∉∪ $y)x© uÚö‘F{$# $uΖø)s)x© §ΝèO ∩⊄∈∪ ${7|¹ u™!$yϑø9$# $uΖö;t7|¹ $¯Ρr& Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),

kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.

tanah tersebut siap untuk ditanami dan kemudian menumbuhkan tanaman. 23 Tanaman tersebut akan menyerap zat-zat tertentu yang

dibutuhkannya dari tanah untuk proses hidupnya. 24 Penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh terkait surat ‘Abasa (80) ayat ke 25-27, cukup berbeda dengan penafsiran al-T{abari@ dan al-

Zamakhshari@ . Terkait surat ‘Abasa (80) ayat ke 25-27. Al-T{abari@ menjelaskan tafsirannya bahwa ketika (Allah) benar-benar menurunkan hujan ke bumi, lalu kemudian (Allah) membelah bumi melalui tumbuh-tumbuhan dan barulah kemudian ditumbuhkan biji-

bijian yang akan keluar dari bumi seperti gandum dan sejenisnya. 25 Sedangkan al-Zamakhshari@ menafsirkan bahwa ketika Allah

menurunkan hujan dan kemudian membelah tanah. Terbelahnya tanah dapat dilihat dari adanya hewan yang menggarap tanah, dan kemudian

baru tumbuh tanaman seperti gandum atau sejenisnya. 26 Membandingkan penafsiran yang dihadirkan al-T{abari@ dan al-

Zamakhshari@ dengan penafsiran ‘Abduh tentang surat ‘Abasa (80) ayat 25-27, maka dapat dianalisa bahwa penafsiran al-T{abari@ lebih mengedepankan sudut pandang dan tendensi teologis, sedangkan penafsiran al-Zamakhshari@ yang sedikit berbeda dibandingkan penafsiran al-T{abari@ , masih sebatas penggunaan epistemologi Empirisme. Sedangkan penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh secara umum mengarah pada model pembenaran proposisi dalam filsafat Positivisme dengan menghadirkan penafsiran yang dibangun berdasarkan fakta empiris yang sarat dengan muatan fakta-fakta dan analisis sains modern sebagaimana yang terdapat dalam ilmu Botani dan Biologi. Analisis ini bukan tanpa alasan karena dalam karya

23 Muh{ammad ‘Abduh, 24 Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 20. Dalam karya lain disebutkan ‘Abduh bahwa tanaman mempunyai

kemampuan untuk menyerap zat-zat tertentu yang dibutuhkannya dan membuang zat-zat yang tidak dibutuhkannya dalam proses hidup tanaman. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@ d, 35. Lihat juga penjelasan ilmiah Kieko Saito dan Masahiko Ikeda tentang proses penyerapan zat-zat mineral oleh tanaman. Kieko Saito dan Masahiko Ikeda, “The Function of Roots of Tea Plant ( Camellia Sinensis) Cultured by a Novel Form of Hydroponics and Soil Acidification” dalam American Journal of Plant Sciences, Vol. 3, 2012 (Diakse dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/1019983456?accountid=25704, tanggal 13-05- 2014, pukul 04.00 WIB), 647.

25 Ja’far Muh{ammad bin Jari@ r al-T{abari@ , Tafsi@ r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n, Juz 24, 115-116.

26 Abi@ al-Qa> sim Mah{mu> d bin ‘Umar al-Zamakhshari@ , al-Kashsha>f, Juz’ 6, 316-317.

‘Abduh yang lain, ‘Abduh telah menunjukkan bahwa dia memiliki wawasan pengetahuan tentang ilmu flora dan fauna serta ilmu Botani modern, sehingga tidak heran jika penafsiran yang dihasilkan tidak

hanya sekedar empiris, namun juga ilmiah. 27 Dalam tinjauan ilmu alam modern (sains), realitas penafsiran

yang dihadirkan ‘Abduh terhadap surat ‘Abasa (80) ayat 25-27 tersebut memang memiliki sisi-sisi yang dapat dibenarkan berdasarkan fakta dan analisa sains. Budiyanto menyebutkan bahwa dalam dunia tumbuh-tumbuhan, terdapat suatu proses pengubahan zat organik menjadi makanan. Proses tersebut diistilahkan dengan fotosintesis yang merupakan penggabungan zat-zat mineral dengan bantuan cahaya

matahari. 28 Kieko Saito dan Masahiko menyebutkan bahwa tumbu- tumbuhan menyerap air dan berbagai zat mineral dari tanah melalui

akar 29 yang kemudian diproses beserta karbon dioksida yang diambil dari udara. Dengan bantuan cahaya matahari menjadikan tanaman

memiliki energi klorofil yang menyebabkan tanaman mampu memasak makanan dengan sendirinya melaui daun. 30

27 Dalam buku Risa>lah al-Tauhi@ d ‘Abduh sempat menyuruh pembaca buku ini untuk memperhatikan alam semesta dan isinya, baik itu langit, bumi, flora dan

fauna serta proses hidup manusia sebagaimana yang terdapat dalam ilmu Astronomi, Botani, Zoologi, sejarah alam dan Kedokteran. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Abduh bukanlah sosok modernis yang buta dan anti terhadap pengetahuan-pengetahuan sains modern. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@ d, 35-36.

28 Budiyanto, Risalah Alam Semesta dan Kehidupan (Jakarta: G Kreatif, 2006), 70. Pieter J. C. Kuiper juga melakukan penelitian dalam proses fotosintesis

tanaman dan membuktikan bahwa beberapa unsur sangat berperan dalam proses tersebut, termasuk unsur air dan beberapa unsur mineral lainnya. Pieter J. C. Kuiper, “Temperature Dependence of Photosynthesis of Bean Plants as Affected by Decenylsuccinic Acid” dalam Plant Physiology, Vol. 40, No. 5. 1965 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/4260528.pdf, tanggal 23-05-2014, pukul 12.34 WIB), 915-916.

29 Kieko Saito dan Masahiko Ikeda menyebutkan bahwa secara umum tanaman hidup dengan bergantung pada akar. Akar adalah alat utama untuk

memperoleh makanan. Melalui akar, tamanan menyerap dan menyaring zat-zat mineral yang dibutuhkannya sebagai bahan makanan (memasak makanan atau fotosintesis). Namun ada juga beberapa zat yang terdapat di tanah yang tidak dibutuhkan oleh tanaman. Kieko Saito dan Masahiko Ikeda, “The Function of Roots of Tea Plant ( Camellia Sinensis) Cultured by a Novel Form of Hydroponics and Soil Acidification” dalam American Journal of Plant Sciences, Vol. 3, 2012 (Diakse dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1019983456?accountid=25704, tanggal 13-05-2014, pukul 04.00 WIB), 647.

30 Budiyanto, Risalah Alam Semesta dan Kehidupan, 70.

Nadiyah Tharayyarah juga menjelaskan bahwa dalam proses pertumbuhan tanaman, tanaman mengambil beberapa zat yang dikandung tanah seperti oksigen, hidrogen, karbon, nitrogen, potassium, kalsium dan sebagainya. Tanaman berusaha menyerap air

dari tanah dan cahaya dari matahari. 31 Jika tanaman tidak mendapatkan air atau zat-zat mineral dari tanah, maka tanaman tidak

akan mampu melakukan fotosintesis yang berakibat tanaman menjadi mati. 32 Disinilah hikmah Allah dari penciptaan akar pada tumbuh-

tumbuhan yang menjadikan akar sebagai struktur utama dalam penyerapan berbagai unsur yang terdapat pada tanah sehingga dalam proses hidup tumbuh-tumbuhan, akar pohon dengan jumlah yang banyak, menancap ke dalam tanah dan menyerap zat-zat yang diperlukan oleh tumbuh-tumbuhan dalam memasak makanannya

sendiri. 33 Menancapnya akar pohon tanaman yang lurus ke dalam tanah mirip seperti sesutu yang membelah bumi dan proses tersebut

tidak akan terjadi jika bukan karena kekuasaan dan skenario Allah. Konteks realitas seperti inilah yang dimaksudkan ‘Abduh sekaligus sebagai tafsiran dari firman Allah dalam surat ‘Abasa (80) ayat 26 yang menyebutkan “lalu Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya”.

31 Nadiah Tharayyarah, Sains dalam Alquran, 654. 32 J. S Boyer telah membuktikannya dengan meneliti proses perkembangan

tanaman dalam ruangan tertutup yang tidak mendapat asupan air yang cukup dengan tanaman yang berada di alam terbuka yang medapat asupan cahaya matahari dan air yang cukup. Hasilnya, tanaman yang mendapat asupan cahaya matahari dan air yang cukup yang mengalami perkembangan yang baik. J. S. Boyer, “Nonstomatal Inhibition of Photosynthesis in Sunflower at Low Leaf Water Potentials andHigh Light Intensities” dalam Plant Physiology (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/4262593.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=tru

e, tanggal 13-04-2014, pukul 14.35 WIB), 533. 33 Ah{mad Fua> d Ba> tha> menjelaskan bahwa struktur tanah juga mempengaruhi

perkembangan akar tanaman. Akar akan menancap dalam dan lebih lebih leluasa mencari makanan jika berada pada tanah yang lebih tinggi. Dengan berkembangnya akar dengan baik, maka akan semakin banyak zat-zat makanan (zat organik) pada tanah yang mampu diserap oleh tumbuhan sehingga dengan hal itu tanaman bisa menghasilkan buah yang lebih berkualitas. Ah{mad Fua> d Ba> tha> , Rahi@ q al-‘Ilm wa al- I@ ma>n (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi@ , 2002 M), 138-139. Charles C. Wilson dan kawan- kawan menyebutkan bahwa berkurangnya air yang diserap akar, dapat mengurangi asupan air pada daun sebagai tempat berproses fotosintesis bagi tanaman. Charles C. Wilson dkk, “Diurnal Fluctuations in the Moisture Content of Some Herbaceous Plants” dalam American Journal of Botany, Vol. 40. No. 3 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/2438766.pdf, tanggal 25-05-2014, pukul 11.32 WIB), 97-99.

3. Meluapnya Lautan. Dalam surat al-Takwi@ r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a> r (82) ayat

3, secara umum Allah menggambarkan sebuah fenomena dimana fenomena tersebut merupakan fenomena yang terjadi pada hari kiamat,

yaitu meluapnya air laut. Mengenai surat al-Takwi@ r (81) ayat 6 ( اذإو ترّجس راحبلا) misalnya, ‘Abduh memberikan tafsiran bahwa yang dimaksud dengan “lautan-lautan diluapkan” adalah ketika adanya

gempa yang meledakkan batas-batas antar lautan sehingga menjadikan seluruh lautan menyatu. Kata itu juga mengandung makna “penuh” dimana masing-masing lautan akan menjadi amat penuh sehingga menjadikannya (air laut) meluap sebagai akibat dari terputusnya

bagian-bagian bumi. 34 Begitu juga ketika ‘Abduh menafsirkan surat surat al-Infit}a> r (82) ayat 3 ( ترّجف راحبلا اذإو ) bahwa kata fujjirat bisa saja

berarti berkobarnya api di dalam laut dikarenakan naiknya api yang berada di dalam perut bumi dengan menembus lapisan atasnya (kerak

bumi). Akibatnya, air yang ada di laut menjadi meluap sehingga di dalam laut tidak ada yang tertinggal kecuali api. Hal itulah yang telah ditunjukkan (fakta) dengan bukti meletusnya gunung-gunung berapi ketika terjadinya gempa bumi yang begitu kuat sehingga terbelahnya tanah dan lautan di beberapa bagian bumi, seperti yang terjadi di

daerah Jawa pada beberapa tahun sebelumnya. 35 Penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh tentang surat al-Takwi@ r

(81) ayat 6 dan surat al-Infit}a> r (82) ayat 3 terlihat berbeda dari gaya penafsiran yang dihadirkan al-T{abari@ , al-Ra> zi@ dan al-Zamakhshari@ . Misalnya al-T{abari@ yang menafsirkan surat al-Takwi@ r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a> r (82) ayat 3 dengan makna penuh hingga meluap dan

mengalir, 36 atau Allah menjadikan sebagian lautan meluapi sebagian yang lainnya sehingga seluruhnya menjadi penuh. 37 Sedangkan al-Ra> zi@

menafsirkan surat al-Takwi@ r (81) ayat 6 dengan berkumpulnya seluruh air laut (pada suatu tempat) sehingga laut itu jadi mengering atau air laut itu tumpah menuju daratan dan naik sampai ke gunung sehingga setelah sampai di gunung maka air laut itu pecah seperti pecahnya

34 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma (Kairo: al- Ami@ riyyah, 1322 H), 26-27.

35 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 26-27 dan 33-34.

36 Ja’far Muh{ammad bin Jari@ r al-T{abari@ , Tafsi@ r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n, Juz 24, 140.

37 Ja’far Muh{ammad bin Jari@ r al-T{abari@ , Tafsi@ r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n, Juz 24, 174.

tanah, maka jadilah bumi menjadi lautan seluruhnya. 38 Mengenai surat al-Infit}a> r (82) ayat 3, al-Ra> zi@ menafsirkannya dengan berubahnya

kebiasaan air laut dimana sebelumnya air laut itu berada di bawah, namun tiba-tiba berubah menjadi tinggi dengan naiknya air laut ke daratan. 39 Begitu juga dengan al-Zamakhshari@ yang menafsirkan surat

al-Takwi@ r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a> r (82) ayat 3 sebagai suatu keadaan laut yang meluap antara yang satu dengan yang lainnya

sehingga kembali kepada satu lautan 40 atau membuka suatu bagian dengan bagian lainnya sehingga bercampurlah antara air tawar dan air

asin sebagai akibat hilangnya batas antara keduanya sehingga seluruhnya menjadi lautan. 41

Jika menganalisa penafsiran yang dihadirkan al-T{abari@ , al- Ra> zi@ , al-Zamakhshari@ dan ‘Abduh tentang surat al-Takwi@ r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a> r (82) ayat 3, terlihat model penafsiran yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Penafsiran yang diberikan al- T{abari@ lebih bersifat teologis. Sedangkan penafsiran al-Ra> zi@ dan al- Zamakhshari@ yang terkesan sedikit berbeda dari al-T{abari@ , namun penjelasan yang diberikan masih sebatas deskripsi empiris. Penafsiran ketiga ulama tersebut masih berupa spekulasi umum yang terkesan kering dari unsur-unsur ilmiah yang ditandai dengan penyelidikan dan pengamatan. Sedangkan penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh terlihat lebih bertendensi ilmiah dengan deskripsi gaya bahasa yang sarat muatan-muatan sains serta ditunjang oleh fakta-fakta empiris dalam sains itu sendiri.

Dalam tinjauan sains modern, berbagai pakar telah melakukan penelitian tentang lapisan-lapisan bumi. Setidaknya ada tiga bagian besar dari struktur lapisan bumi yaitu lapisan kerak bumi ( Crush), lapisan selimut ( Mantle) dan inti bumi (Core). Lapisan kerak bumi memiliki bagian paling atas dengan ketebalan rata-rata antara 10-50 km. Ketebalan lapisan ini tidak sama pada semua tempat di permukaan bumi. Yang kedua adalah lapisan selimut ( Mantle), merupakan lapisan bagian dalam setelah kerak bumi. Lapisan ini berfungsi untuk

38 Muh{ammad al-Ra> zi@ Fakr al-Di@ n Ibn al-‘Alla> mah al-‘Umar, Mafa>ti@ h{ al- Ghaib Tafsi@ r al-Fakhr al-Ra>zi@ , Juz’31, 69.

39 Muh{ammad al-Ra> zi@ Fakr al-Di@ n Ibn al-‘Alla> mah al-‘Umar, Mafa>ti@ h{ al- Ghaib Tafsi@ r al-Fakhr al-Ra>zi@ , Juz’31, 78.

40 Abi@ al-Qa> sim Mah{mu> d bin ‘Umar al-Zamakhshari@ , al-Kashsha>f, Juz’ 6, 321.

41 Abi@ al-Qa> sim Mah{mu> d bin ‘Umar al-Zamakhshari@ , al-Kashsha>f, Juz’ 6, 329.

melindungi lapisan bagian paling dalam (inti) dari bumi. Ketebalan lapisan mantel bumi terbagi dalam tiga bagian, yaitu Litosfer (paling luar dengan ketebalan sekitar 50-100 km), Astenosfer (terletak di bawah Litosfer dengan ketebalan sekitar 100-400 km) dan Mesosfer (bagian paling bawah dari lapisan selimut yang berdampingan dengan inti bumi dengan ketebalan sekitar 2.400-2.750 km). Lapisan bumi yang ketiga adalah inti bumi ( Core), merupakan lapisan paling dalam dari Bumi. Inti bumi terbagi dua, yaitu inti luar dengan ketebalan

sekitar 2.160 km dan inti dalam dengan ketebalan sekitar 1.320 km. 42 Inti bumi mengandung energi panas yang terdiri dari berbagai macam

unsur yang dikenal dengan magma. 43 Dalam ilmu Volkanologi misalnya, magma yang tersimpan dalam bumi tidak selalu berada di

dalam inti bumi. Magma akan naik ke permukaan bumi dengan sebab- sebab tertentu. Secara teori, pergeseran antara magma yang naik melalui pipa-pipa gunung api dengan batuan penyusun tubuh gunung, 44 menjadi penyebab timbulnya gempa. Namun penelitian lain juga menyebutkan bahwa salah satu sebab yang menyertai naiknya magma ke permukaan bumi adalah gempa. Hugh Tuffen dan kawan-kawan

menjelaskan hasil penelitian mereka 45 bahwa gempa yang terjadi pada suatu gunung berapi tertentu meskipun memiliki skala yang kecil akan

dapat meningkatkan aktifitas magma yang ada di dalamnya dan menyebabkan magma naik ke permukaan yang kemudian dikenal dengan letusan gunung berapi. Versi lain juga menyebutkan bahwa

42 Moch. Munir, Geologi Lingkungan (Malang: Bayu Media Publishing, 2006), 43-48.

43 Inti bumi yang dikenal dengan sebutan Magma terletak pada kedalaman 4.000 mil dari permukaan bumi. Magma merupakan batuan cair yang mengandung

unsur besi dan nikel dengan suhu yang sangat panas. Nichollas Harris dan Marc Gave, “Journey to the Center of the Earth” dalam Children's Digest, 1999 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/232010800?accountid=25704, tanggal 05-11-2013, pukul 02.24 WIB), 17.

44 Moch. Munir, Geologi Lingkungan, 176. 45 Hugh Tuffen dan kawan-kawan telah melakukan penelitian guna menguji

efek gempa (meski hanya berukuran kecil) terhadap peningkatan aktifitas gunung berapi dengan menggunakan sampel kristal dan kaca yang dipanaskan dengan suhu 900\\°C. Penelitian tersebut sampai pada kesimpulan bahwa proses gempa yang terjadi dapat meningkatkan aktivitas gunung berapi yang menyebabkan naiknya lava atau magma ke permukaan bumi yang sebelumnya berada pada bagian inti bumi. Hugh Tuffen dkk, “Evidence for Seismogenic Fracture of Silicic Magma” dalam Journal Nature, Vol 453, 2008 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/204539398?accountid=25704, tanggal 05-11- 2013, pukul 02-46 WIB), 513.

adanya pergeseran lempeng kerak bumi juga dapat menimbulkan gempa sehingga memancing munculnya gunung-gunung berapi, lava dan letusan gunung berapi yang dahsyat, bahkan sampai menyebabkan

Tsunami. 46 Walaupun memiliki versi yang berbeda, namun dari ketiga pendapat tersebut, dua di antaranya menyebutkan hal yang sama

bahwa gempa dapat memancing dan meningkatkan aktivitas pada wilayah magma sehingga kemudian menyebabkan magma bergolak dan muncul ke permukaan kerak bumi, atau dikenal dengan lava

(pijar). 47 Di Indonesia, fenomena meletusnya gunung berapi pernah

terjadi di tengah-tengah lautan dan fenomena ini cukup dikenal oleh dunia sebagai salah satu fenomena letusan gunung berapi dalam skala besar, yaitu letusan gunung Krakatau yang terjadi di perairan Selat Sunda pada tahun 1883. Letusan gunung Krakatau yang begitu besar berhasil mengeluarkan lahar atau magma dalam volume yang besar sehingga kemudian massa lahar yang dikeluarkan gunung Krakatau mendorong massa air laut yang ada di sekitarnya menuju daratan dan bahkan menimbulkan ombak besar setinggi 30-40 meter, yang kemudian dikenal dengan Tsunami. Kejadian tersebut berdampak buruk pada pesisir pantai dan daratan yang ada di sekitarnya, bahkan sejarah mencatat bahwa lebih dari 36.000 orang meninggal dunia

akibat fenomena besar tersebut. 48 Berdasarkan ilmu Geologi, memang disebutkan bahwa fenomena alam yang berupa Tsunami bisa

dibangkitkan oleh tiga sumber utama yaitu gempa, letusan gunung api dan longsoran yang terjadi di dasar laut. 49 Mungkin inilah yang

dimaksud ‘Abduh dengan meluapnya lautan seperti yang terjadi pada

46 Ahmad Baiquni, Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), 113.

47 Budiyanto,

48 Risalah alam Semesta dan Kehidupan, 42. Colin Pantall, “A Volcanic Media Event Vivid Details Enliven the Story

of the Eruption of Krakatoa in 1883” dalam Far Eastern Economic Review, 2003 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/208239678?accountid=25704, tanggal 05-11- 2013, pukul 03.31 WIB), 52. Fukashi Maeno dan Fumihiko Imamura, “Tsunami Generation By A Rapid Entrance of Pyroclastic Flow Into the Sea During the 1883 Krakatau Eruption, Indonesia” dalam Journal of Geophysical Research, VOL. 116, 2011 (Diakses dari: http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/1026770220?accountid=25704, tanggal 05-11- 2013, pukul 03.44 WIB), 1-2.

49 Moch. Munir, Geologi Lingkungan, 200.

ledakan gunung berapi di daerah Jawa dalam kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al- Kari>m Juz’ ‘Amma.

4. Gunung Sebagai Penyeimbang Bumi Dalam surat al-Naba’ (78) ayat 7 ( اداتوأ لابجلاو), Allah berbicara

tentang gunung dan fungsinya terhadap bumi. Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa gunung-gunung berfungsi sebagai pasak bagi bumi. Di dalam kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Karim Juz’ ‘Amma, Muh{ammad ‘Abduh telah memberikan tafsiran sendiri tentang ayat ini bahwa disebutnya gunung sebagai pasak dikarenakan bentuk dari gunung itu sendiri yang menyerupai pasak. Pengibaratan gunung sebagai pasak juga dikarenakan fungsi dari gunung itu sendiri sebagai pengukuh sekaligus menjaga keseimbangan bumi agar tidak bergoncang (gempa). Jika seandainya tidak ada gunung-gunung tersebut, niscaya bumi akan selalu mengalami goncangan (gempa) yang disebabkan oleh bergolaknya material-material yang ada di

dalamnya. 50 Dalam tinjauan sains, sebagaimana yang dijelaskan Zagloul el-

Naggar bahwa gunung-gunung yang timbul di atas permukaan bumi sebenarnya hanya tonjolan puncak raksasa batu karang yang mengapung di atas zona lemah bumi, sebagaimana gunung es yang mengapung di sekitar air laut. Posisi gunung dengan bloknya yang menancap dalam lapisan batu karang bumi dan mengapung di zona lemah bumi, mampu mengurangi kerasnya goyangan bumi dalam

rotasinya dan menjadikan gerak bumi lebih teratur. 51 Caner Taslaman mengutip penjelasan Frank Press yang menjelaskan bahwa keberadaan

gunung dalam fungsinya terhadap bumi memang ibarat seperti pasak. Lempeng bumi yang ketebalannya sekitar 5 km pada dasarnya mengambang di atas berbagai cairan dan material di dalam bumi. Hal ini menjadikan bumi memerlukan sesuatu yang dapat

mengokohkannya. 52

50 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 3. 51 Zagloul el-Naggar, Selekta dari Tafsir Ayat-Ayat Kosmos dalam al-Quran

al-Karim, Penerj; Masri El-Mahsyar Bidin dan Mirzan Thabrani Razak (Jakarta Selatan: Shorouk International Bookshop, 2010), 147.

52 Caner Taslaman mengutip penjelasan Frank Press (penulis buku yang berjudul Earth) yang mengibaratkan gunung dengan baji yang bagian terbesarnya

berada di bawah permukaan tanah. Press menyebutkan fungsi gunung dan peran pentingnya dalam memperkokoh lempeng bumi. Caner Taslaman menyebutkan bahwa keterangan itu sesuai dengan penjelasan dari ayat lain yaitu surat al-Anbiya> ’

Agus Haryo Sudarmojo juga menjelaskan bahwa sejak kurang dari 3,5 miliar tahun yang lalu ketika planet bumi mulai mendingin, ia berusaha mengeluarkan gas demi menjaga tekanan dan temperatur di dalam bumi. Jika gas yang ada di dalam bumi tidak dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu maka bumi akan meledak sebagai akibat adanya tekanan gas yang terus menerus sehingga terkumpul dalam jumlah besar. Pada akar gunung terdapat tempat mengalirnya magma, gas dan produk-produk material lainnya. Pengibaratan gunung sebagai pasak juga berkaitan dengan fungsi gunung yang meminimalisir guncangan Litosfer ketika bergerak. Desakan gas yang ada di dalam bumi dikeluarkan melaui saluran magma di dalam gunung berapi yang disebut Volcanic Neck dan juga melaui retakan, rengkahan dan patahan yang ada di bumi. Selain sebagai saluran pembuangan unsur gas dan matrial lain dari bumi, Agus Haryo Sudarmojo juga menyebutkan bahwa gunung-gunung, terutama gunung berapi dapat memperlambat gerakan kerak atau lempeng bumi sehingga perputaran dan kondisi

bumi menjadi stabil. 53 Senada dengan apa yang dijelaskan Agus Haryo Sudarmojo,

Ah{mad Fua> d Ba> tha> juga menyebutkan bahwa bagian bumi yang pertama kali mendingin dalam proses pembentukannya adalah lapisan kulit bumi bagian luar. Kulit bumi mengalami pembekuan, sedangkan bagian dalamnya masih tetap panas dalam bentuk larutan berbagai material dan gas. Dalam proses pendinginan, kulit bumi mengalami keretakan. Bagian yang tinggi menjadi gunung dan bukit, yang rendah menjadi lembah dan daratan serta lautan. Jika bumi tidak menjorok ke permukaan, maka lapisan kulit bumi akan pecah dan menimbulkan kegoncangan yang luar biasa. Oleh karena itu, salah satu fungsi gunung adalah memelihara dan menahan bagian bawah bumi agar

tidak meledak dan menimbulkan goncangan atau gempa. 54

5. Wabah Penyakit Cacar Topik ini berkaitan dengan firman Allah dalam surat al-Fi@ l

(105) ayat 3-4;

(21) ayat 31 yang menyebutkan bahwa dijadikan gunung-gunung bagi bumi agar tidak ikut berguncang. Caner Taslaman, The Quran Unchallengeable Miracle (Turki: Netleberry / Citlembik Publication, 2006), 129-130.

53 Agus Haryo Sudarmodjo, Menyibak Sains Bumi dalam Alquran (Bandung: Mizania, 2008), 183-190.

54 Ah{mad Fua> d Ba> tha> , Rahi@ q al-‘Ilm wa al-I@ ma>n (Kairo: Da>r al-Fikr al- ‘Arabi@ , 2002 M), 97.

∩⊆∪ 9≅ŠÅd∨Å™ ⎯ÏiΒ ;οu‘$y∨Ït¿2 ΝÎγ‹ÏΒös? ∩⊂∪ Ÿ≅‹Î/$t/r& #·ösÛ öΝÍκön=tã Ÿ≅y™ö‘r&uρ “dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-

bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar”, (al-Fi@ l (105): 3-4).

Mengenai ayat ini, ‘Abduh membuat sebuah penafsiran yang menarik dan berbeda. Mengenai kata t}aira>n aba>bi@ l, awalnya ‘Abduh hanya menjelaskan makna dari kedua kata tersebut, yaitu aba>bi@ l berarti kawanan burung atau kuda yang berbondong-bondong, sedangkan t}airun berarti hewan yang terbang di langit, baik bertubuh kecil atau bertubuh besar, baik yang tampak ataupun yang tidak. Namun pada bagian akhir dari penafsiran terhadap surat ini ‘Abduh kembali mempertegas penafsirannya tentang t}aira>n aba>bi@ l. Secara umum ‘Abduh menyebutkan bahwa tidak ada salahnya jika kata t}aira>n aba>bi@ l ditafsirkan dengan sejenis nyamuk atau lalat yang membawa virus suatu penyakit, dan kata al-h{ija>rah juga diartikan sebagai tanah kering yang bercampur racun yang menempel di kaki binatang tersebut. Apabila racun itu menempel di kulit, maka racun atau virus itu akan masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori yang berakibat menimbulkan bisul-bisul yang akan merontokkan daging dari tubuh

seseorang. 55 Wawasan ‘Abduh tentang sejarah yang melingkupi ayat,

nampaknya juga ikut mempengaruhi hasil penafsirannya. ‘Abduh mengatakan dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma bahwa pernah terjadi suatu peristiwa di Mekah dimana ada seorang panglima perang dari Habasyah (Yaman) yang berniat ingin menghancurkan Ka’bah. Awalnya panglima tersebut hanya mengirim utusan untuk memperingati penduduk Mekah bahwa panglima dan pasukannya akan menyerang Ka’bah dan diharapkan kepada penduduk untuk menghindar. Namun sebelum pasukan itu sampai di Mekah, pada hari keduanya muncullah wabah penyakit cacar. Kejadian ini dikuatkan oleh riwayat dari ‘Ikrimah sebagaimana yang dikutip ‘Abduh dalam tafsirnya bahwa ini merupakan wabah cacar yang pertama kali muncul di Jazirah Arab. Kemudian ‘Abduh juga mengutip perkataan Ya’qu> b bin ‘Utbah bahwa pertama kali wabah cacar terlihat di Jazirah Arab

adalah pada tahun itu. 56 Sejarah yang diungkapkan ‘Abduh tentang penafsiran surat al-Fi@ l (105) ayat 3-4 sebagai penyakit cacar, juga

55 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 156-158. 56 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 157.

diungkapkan oleh beberapa ulama sebelum dan sesudah ‘Abduh seperti

57 Iman al-T{abari@ 58 , Imam al-Qurt}ubi@ dan Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka) 59 yang sama-sama memuat riwayat yang sama

tentang munculnya penyakit cacar pada tahun gajah tersebut. Penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Fi@ l (105) ayat 3-4, sangat

berbeda dengan penafsiran yang diberikan al-Ra> zi@ dan al-Zamakhshari@ . Al-Ra> zi@ menafsirkan t}aira>n aba>bi@ l sebagai burung yang datang berbondong-bondong dengan ciri-ciri paruhnya seperti gajah dan cakarnya seperti anjing, datang dari arah laut dan berwarna hitam. Sedangkan al-h{ija>rah ditafsirkan sebagai batu dari neraka yang masing-masing burung membawa tiga buah batu (satu di paruh dan dua di kakinya) dan tiap-tiap batu membunuh satu orang. Pada batu tersebut juga tertulis nama-nama orang yang akan ditimpa batu tersebut. Ketika batu itu menimpa seseorang dari satu sisi, maka batu

57 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari dalam kitab tafsir Tafsi@ r al- T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@ l Ayy al-Qur’a>n, juga mengutip sebuah riwayat yang

datang dari ‘Ikrimah yang kemudian diriwayatkan oleh Husain dan Ya’qu> b mengatakan bahwa “Apabila mengenai salah seorang di antara mereka, maka muncullah cacar darinya. Itulah hari pertama terlihatnya cacar. Tidak pernah terlihat cacar tersebut sebelum hari itu dan begitu pula pada hari sesudahnya”. Ja’far Muh{ammad bin Jari@ r al-T{abari@ , Tafsi@ r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@ l Ayy al- Qur’a>n (Kairo: Bada>r Hijr, 2001 M / 1422 H), 633. 58

Al-Qurt}ubi@ menyebutkan riwayat dari ‘Ikrimah bahwa ketika batu-batu kecil yang dilemparkan burung-burung tersebut mengenai pasukan bergajah, maka akan timbul cacar yang sangat parah pada kulit mereka, dan itu belum pernah terjadi sebelumnya. Al-Qurt}ubi@ juga mengutip pendapat Ibn ‘Abba> s yang menyebutkan bahwa cacar itu tidak langsung muncul setelah terkena lemparan batu-batu itu, namun didahului rasa terbakar di kulit mereka, setelah itu barulah memunculkan penyakit cacar. Abi@ ‘Abdalla> h Muh{ammad bin Ah{mad al-Ans}ari@ al-Qurt}ubi@ , al-Ja>mi’ li@ Ah}ka>m al-Qura>n (Kairo: Da>r al-Ka>tab al-‘Arabi@ li al-T{aba> ’ah wa al-Nashr, 1967), 198.

59 Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka) mengatakan setelah dia mengutip penafsiran Muh{ammad ‘Abduh tentang surat al-Fi@ l ayat 3-4 bahwa

penafsiran ‘Abduh tentang t}aira>n aba>bi@ l sebagai virus penyakit cacar memang bisa diterima karena pada masa penyerangan tentara Abrahah ke Mekah itulah mulai munculnya penyakit cacar. Hal itu dikarenakan adanya riwayat yang kuat dari sahabat yang membenarkan sejarah tersebut. Seperti yang diungkapkan Hamka tentang riwayat ‘Ikrimah yang menyebutkan bahwa sejak saat itu mulai ditemukannya penyakit cacar di tanah Arab, kemudian juga riwayat dari Ibn ‘Abbas yang mengatakan bahwa sejak waktu itulah terjadinya penyakit cacar di tanah Arab. Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsi@ r al-Azhar, (Jakarta: Citra Serumpun Padi, April 2004), 274.

itu akan keluar di sisi yang lainnya. 60 Senada dengan al-Ra> zi@ , al- Zamakhshari@ juga menafsirkan t}aira>n aba>bi@ l sebagai burung (dengan

ciri-ciri) berwarna hijau dan putih. Al-Zamakhshari@ menjelaskan bahwa setiap burung tersebut membawa batu yang terletak di

paruhnya dan di kedua kakinya. Ketika batu tersebut dijatuhkan di atas kepala seseorang maka batu tersebut akan keluar dari duburnya dan pada tiap batu telah tertulis nama dari orang yang akan ditimpakan batu tersebut. Sedangkan al-h{ija>rah ditafsirkan al- Zamakhshari dengan mengutip riwayat Ibn ‘Abba> s yang menyebutkan bahwa al-h{ija>rah merupakan batu yang berasal dari tanah yang dibakar. 61

Jika diverifikasi dari sudut pandang historis sains modern, Ian dan Jenifer Glynn menjelaskan karyanya yang berjudul The Life and Death of Smallpox bahwa terdapat banyak versi yang menceritakan sejarah awal munculnya penyakit cacar. Ada di antara ilmuwan yang mengatakan cacar muncul sekitar tahun 340 M dan sebagian yang lain mengatakan cacar muncul sekitar tahun 500 M, meskipun secara umum banyak yang berpendapat bahwa cacar pertama kali muncul sekitar tahun 500 M. Namun ada sejarah lain yang lebih panjang diulas oleh Ian dan Jenifer Glynn yaitu tentang sejarah yang terjadi di Mekah sekitar tahun 569 M tentang pengepungan Mekah oleh tentara Abesinia yang dipimpin oleh seorang panglima bernama Abrahah. Penyerangan pasukan Abrahah terhenti ketika mereka “kalah” dikarenakan terkena virus yang membuat tubuh mereka hancur dan

60 Al-Ra> zi@ menjelaskan dalam tafsirnya bahwa t}aira>n aba>bi@ l berarti burung yang berbondong-bondong. Al-Ra> zi@ juga menyebutkan ciri-ciri dari burung tersebut

di antaranya memiliki paruh seperti gajah dan cakarnya menyerupai cakar anjing, datang dari arah laut dan berwarna hitam meskipun ada juga sebagian riwayat yang menyebutkan warnanya putih dan sebagian lagi menyebutkan warnanya hijau. Mengenai al-h{ija>rah, al-Ra>zi@ menafsirkannya sebagai batu. Setiap burung membawa tiga buah batu (di paruh dan kedua cakarnya) dan tiap-tiap batu membunuh satu orang (pasukan bergajah). Pada tiap batu tertulis nama masing-masing orang yang akan ditimpa batu tersebut. Ketika batu itu ditimpakan di satu sisi, maka batu itu akan keluar dari sisi tubuh yang lain. Sedangkan menurut riwayat ‘Ikrimah dan Ibn ‘Abba> s, batu tersebut akan menyebabkan tubuh seseorang menjadi terkoyak dan terbakar. ‘Muh{ammad al-Ra> zi@ Fakr al-Di@ n Ibn al-‘Alla> mah al-‘Umar, Mafa>ti@ h{ al- Ghaib Tafsi@ r al-Fakhr al-Ra>zi@ , Juz’31, 99-100.

61 Abi@ al-Qa> sim Mah{mu> d bin ‘Umar al-Zamakhshari@ , al-Kashsha>f, Juz’ 6, 433-434.

mencair (meleleh). Sejak saat itulah wabah penyakit cacar itu mulai menyebar di sekitaran Jazirah Arab. 62

Dalam ilmu kesehatan sebagaimana yang dijelaskan Kim Renee Finer dari bukunya yang berjudul Smallpox, Deadly Diseases and

Epidemics menjelaskan bahwa sebelum abad ke 19, cacar menjadi sesuatu penyakit yang menakutkan dengan sifatnya yang menular. Virus cacar masuk ke dalam tubuh melalui mulut, hidung dan kulit (kontak langsung atau tak langsung). Virus yang masuk ke dalam tubuh akan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui getah bening dan darah. Masa inkubasi (perkembangan) virus cacar di dalam tubuh terjadi dalam rentang waktu 7-17 hari, namun rata-rata hanya 12 hari. Virus yang terus berkembang tersebut kemudian masuk ke dalam pembuluh darah kecil pada bagian kulit sehingga menimbulkan semacam luka atau infeksi. Infeksi-infeksi tersebut awalnya berbentuk bintik-bintik yang berwarna merah yang disebut Makula. Makula muncul pada kulit yang tumbuh menyebar di seluruh bagian tubuh. Makula kemudian berkembang seperti jerawat yang berwarna merah muda yang disebut Papula. Papula tersebut kemudian terus berkembang dan membengkak serta bernanah yang kemudian disebut Pustula. Pustula inilah yang kemudian menjadi melepuh dan memberikan efek rasa sakit kepada si penderita di seluruh tubuh. Efek lain yang dimunculkan Pustula kepada si penderita adalah rasa panas dan terbakar yang intens pada kulit sehingga ketika rasa ini terlalu berlebihan dan tidak tertahankan oleh tubuh si penderita, maka sering kali dapat menyebabkan kematian. Pustula yang bernanah tersebut juga menimbulkan sejenis lubang atau korengan pada kulit si

penderita. 63 Bahkan Jon Cohen menyebut virus cacar sebagai virus yang paling mematikan di muka bumi. 64

62 Ian dan Jenifer Glynn, The Life and Death of Smallpox, (London: Profil Book, 2005), 16-19.

63 Kim Renee Finer, Smallpox, Deadly Diseases and Epidemics (New York: Chelsea House Publisher, 2004), 57-59.

64 Jon Cohen menyebutkan bahwa para ahli kesehatan telah memberikan perhatian kusus dalam menangani penyakit cacar, bahkan pada tahun 1995

sekelompok peneliti melakukan penelitian besar-besaran untuk menemukan vaksin guna mengatasi penyakit cacar yang disebabkan oleh virus yang dianggap paling berbahaya di bumi pada saat itu. Jon Cohen, “Blocking Smallpox: A Second Defense” dalam Jurnal Science, Vol. 294, 2001 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/213562699?accountid=25704, tanggal 27-04- 2014, pukul 21.08 WIB), 500.

Hugh Pennington menyebutkan bahwa dalam beberapa kasus yang diketahuinya, jika seseorang tidak segera mendapat vaksinasi ketika terjangkit penyakit cacar, maka cacar akan mengembang dengan cepat dan tidak membutuhkan waktu lama akan menjadi parah. Dalam tulisannya, Penningtong mengungkap beberapa kasus yang menggambarkan betapa cacar dapat membunuh seseorang dalam waktu singkat, misalnya saja seperti kasus yang terjadi di Todmorden Inggris pada tahun 1893. Pada tahun ini wabah cacar menyerang daerah Todmorden yang merupakan pusat industri pemintalan benang dan tenun kapas dengan jumlah penduduk 19.000 jiwa. Para penduduk terjangkit penyakit cacar dan dapat menular dari seseorang ke orang lain. Sebagian penduduk yang tidak mendapat vaksinasi, tidak beberapa lama meninggal dunia setelah terjangkit penyakit cacar, ada

yang hanya jelang tiga hari atau dalam rentan waktu tujuh hari. 65 Jika dianalisa penafsiran ‘Abduh terhadap surat al-Fi@ l (105)

ayat 3-4, terdapat sisi-sisi tersendiri yang dapat dibenarkan berdasarkan realitas empiris sains (ilmu kesehatan) bahwa penyakit cacar yang dialami seseorang dalam kondisi tertentu dan tidak segera mendapat pertolongan pencegahan (vaksin), maka hal itu dapat mengakibatkan kematian. Begitu juga dengan kisah yang dialami tentara Abrahah saat menuju Mekah bahwa bisa jadi kematian yang dialami tentara tersebut disebabkan oleh parahnya penyakit cacar yang dialami sehingga daya tahan tubuh pasukan Abrahah tidak sanggup lagi menahan pekembangan virus-virus cacar di dalam tubuh mereka hingga pada akhirnya satu persatu dari tentara Abrahah gugur. Meskipun dalam konteks informasi yang diberitakan ayat tidak dapat diketahui dan dibuktikan secara pasti apa yang menyebabkan pasukan

65 Todmorden merupakan suatu daerah yang terletak di Pennine Hills Inggris yang memiliki 19.000 jiwa dengan rata-rata pencaharian penduduk adalah

sebagai pemintal benang dan bertenun kapas. Pada tahun 1893, masyarakat di daerah ini terjangkit cacar. Hugh Pennington mengungkapkan beberapa kasus cacar di daerah ini di antaranya seperti kasus istri seorang pengusaha pemintal benang yang meninggal tanggal 2 maret setelah beberapa hari terjangkit gejala awal cacar dan tiga jam dirawat di rumah sakit, tidak berapa hari kemudian dua orang karyawannya juga meninggal karena penyakit yang sama. Bahkan ada seseeorang karyawan di perusahaan City of Leeds Public Mortuary yang meninggal hanya dalam waktu dua hari setelah terjangkit penyakit cacar. Hugh Pennington, “Smallpox and Bioterrorism” dalam Bulletin of the World Health Organization, Vol. 81, No. 10, 2003 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/229544802?accountid=25704, tanggal 28-04- 2014, pukul 02.59 WIB), 763.

Abrahah mati di tengah perjalanan menuju Mekah, namun realita seperti inilah yang dipilih ‘Abduh untuk dijadikan sebagai tafsiran dari surat surat al-Fi@ l (105) ayat 3-4.

‘Abduh telah membuat spekulasi tersendiri yang lebih bersifat real agar deskripsi dari informasi yang diberitakan ayat dapat lebih

diterima logika kebanyakan manusia. ‘Abduh terkesan memanfaatkan pendekatan kebahasaan untuk membuka ruang yang lebih lebar agar ‘Abduh bisa lebih leluasa menarik beberapa fenomena-fenomena bersifat empiris yang sarat dengan nilai dan fakta-fakta ilmiah untuk dijadikan deskripsi (penafsiran) dari realitas yang diinformasikan oleh ayat. Berbeda dengan al-Ra> zi@ dan al-Zamakhshari@ yang cenderung menafsirkan ayat secara rasional (dalam konteks epistemologi filsafat Rasionalisme) tanpa menarik sisi-sisi yang bersifat real (nyata) atau ilmiah sebagai landasan pembenaran dari tafsir yang dihadirkan. Hal inilah yang menunjukkan perbedaan penafsiran ‘Abduh sekaligus memperkuat indikasi bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat tentang alam semesta ‘Abduh telah menjadikan alam empiris yang ditunjang dengan nilai dan fakta ilmiah ilmu-ilmu alam (sains) sebagai basis penafsirannya terhadap ayat.

B. Karakteristik Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh Menganalisa penafsiran Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma yang terindikasi bernuansa Positivistik tentang ayat-ayat fenomena alam, terdapat beberapa poin yang menunjukkan karakteristik dari aplikasi tafsir Positivistik ‘Abduh.

1. Ayat-Ayat Fenomena Alam Sebagai Objek. Tafsir Positivistik pada intinya merupakan aplikasi penafsiran

Alquran yang memanfaatkan teknis-teknis pembenaran proposisi seperti yang diterapkan dalam filsafat Positivisme. Prinsip dasar yang perlu dipahami dari filsafat Positivisme adalah pandangannya yang meyakini bahwa alam bergerak berdasarkan hukum-hukum yang meliputinya atau diistilahkan dengan hukum alam. Hukum alam menyertai seluruh fenomena-fenomena yang terjadi dalam wilayah empiris. Filsafat Empirisme yang lahir sebelum filsafat Positivisme, telah terlebih dahulu meyakini bahwa wilayah empiris merupakan wilayah yang dapat diketahui dan dipahami oleh manusia. Oleh karenanya kemudian Positivisme mengadopsi epistemologi Empirisme Alquran yang memanfaatkan teknis-teknis pembenaran proposisi seperti yang diterapkan dalam filsafat Positivisme. Prinsip dasar yang perlu dipahami dari filsafat Positivisme adalah pandangannya yang meyakini bahwa alam bergerak berdasarkan hukum-hukum yang meliputinya atau diistilahkan dengan hukum alam. Hukum alam menyertai seluruh fenomena-fenomena yang terjadi dalam wilayah empiris. Filsafat Empirisme yang lahir sebelum filsafat Positivisme, telah terlebih dahulu meyakini bahwa wilayah empiris merupakan wilayah yang dapat diketahui dan dipahami oleh manusia. Oleh karenanya kemudian Positivisme mengadopsi epistemologi Empirisme

pengetahuan 67 atau dalam istilah lain disebut sumber empiris. Positivisme berpandangan bahwa setiap pernyataan yang tidak

dapat dikembalikan pada fakta, maka pernyataan tersebut dinilai tidak real (nyata) dan dianggap irrasional (negatif). Positivisme hanya

menganggap hubungan antara fakta-faktalah yang dapat diketahui. 68 Positivisme mengajarkan kepada manusia bahwa segala yang

berhubungan dengan kehidupan dan tindakan manusia di alam merupakan sesuatu yang berwujud nyata, bisa dibuktikan serta sudah

menjadi hukum positif dalam tatanan elemen alam. 69 Secara tidak langsung Positivisme telah membatasi ruang kajiannya kepada

fenomena empiris sebagaimana yang digambarkan oleh Kamanto Sunarto bahwa objek kajian filsafat ini haruslah berupa fakta dan dinilai bermanfaat (bisa diketahui) serta mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Hal ini merupakan substansi penegasan Comte tentang pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis sebagai sarana yang dapat digunakan untuk melakukan kajian

Positivistik. 70 Persoalan teologis atau yang berkaitan dengan masalah transendental, pada akhirnya hanya dianggap sebatas kemungkinan,

sedangkan sains adalah kepastian, 71 dan alam (empiris) serta

66 Fadel Kaboub menyebutkan bahwa Positivisme mengadopsi epistemologi Empirisme yang berasal dari teori David Hume tentang sifat realitas (terkait

ontologi). Hume percaya bahwa realitas itu sendiri bersifat atomistik (tingkat mikro) dan independen. Dia meyakini penggunaan pancaindra untuk menghasilkan pengetahuan tentang realitas. Jadi konsep fakta real dan nyata dalam pemikiran David Hume adalah sesuatu yang mampu ditangkap dan dibuktikan oleh pancaindra. Fadel Kaboub, “Positive Paradigm” dalam Leong (Encyc), Vol 2. 2008 (Diakses dari http://personal.denison.edu/~kaboubf/Pub/2008-Positivist-Paradigm.pdf, tanggal 13- 05-2013, pukul 03.06 WIB), 343. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional Isu-Isu Teori Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi, (Bogor: Akademia, 2009), 190.

67 Ugi Suharto, “Epistemologi Islam” dalam On Islamic Civilization Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam yang Sempat Padam, Editor; Laode

M. Kamaluddin (Semarang: Unisula Press, 2010), 141. 68 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 192.

69 Bernhard Ple, “Auguste Comte on Positivism and Happiness” dalam Journal of Happiness Studies, April 2000 (Diakses dari: http://e-

resources.pnri.go.id:2056/docview/751320034?accountid=25704, tanggal 02-12- 2013, pukul 02.22 WIB), 428.

70 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), 3.

71 Ugi Suharto, “Epistemologi Islam” dalam On Islamic Civilization, 143.

fenomena-fenomena yang menyertainya merupakan objek yang akan dibedah dengan paradigma Positivisme.

Pembatasan objek kajian yang dilakukan Positivisme kepada alam empiris beserta fenomena-fenomenanya, setidaknya berdiri di

atas tiga logika berpikir yang saling terkait. Pertama, Positivisme telah mendefenisikan alam yang dianggap benar sebagai sesuatu yang berada pada wilayah dengan sifat empiris. Kedua, dikarenakan alam dipahami sebagai sesuatu yang berada di wilayah empiris, maka Positivisme meyakini bahwa manusia mampu mengetahui, mengungkap dan mengukur sisi-sisi yang benilai positif, yaitu yang dapat diketahui dan dibenarkan oleh pancaindra. Ketiga, dikarenakan manusia dianggap mampu mengungkap dan mengukur sisi-sisi positif dari alam, maka Positivisme menyakini bahwa hal tersebut dapat

dicapai dan dijelaskan melalui ilmu-lmu alam. 72 Kebutuhan Positivisme terhadap ilmu-ilmu alam (sains) dikarenakan ilmu-ilmu

alam itu sendiri berdiri di atas epistemologi Empirisme yang menganggap sesuatu yang bisa diketahui dan diamati pancaindra sebagai pengetahuan yang benar.

Ontologi dalam kajian filsafat mengandung keluasan makna yang di dasari satu pertanyaan umum yaitu “apakah yang disebut dengan kenyataan (realitas)”. Pertanyaan ini secara tidak langsung merangkul wilayah realitas fisis (yang dapat diamati) dan metafisis

(tidak dapat diamati), 73 atau singkatnya membahas segala yang dianggap ada. Dalam perkembangan ontologi, juga muncul sebuah

kecendungan yang berpandangan bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang menguasai fenomena-fenomena empiris dan semua itu terlepas dari kekuasaan dunia mistis. Pandangan ini kemudian mempertajam wilayah kajian ontologi yang terfokus pada masalah-

masalah yang terdapat dalam ruang lingkup pengalaman manusia. 74

72 Birger Hjorland menyebutkan bahwa Positivisme pada dasarnya memang telah terlahir dari doktrin yang mengagungkan teknik pembenaran ilmiah. Kebenaran

ilmiah yang berasal dari pengamatan empiris dianggap sebagai dasar yang dapat di buktikan kebenarannya. Birger Hjorland, “Empiricism, Rationalism and Positivism in Library and Information Science” dalam Journal of Documention, 2005 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2058/docview/217978392/fulltextPDF/13E049046462C52FCBD /12?accountid=25704, tanggal 14-05-2013, pukul 04.01 WIB), 135-136.

73 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 31-32. 74 Kaum Positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam

dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan

Inilah poin dasar yang ditarik oleh Positivisme menjadi ontologinya sekaligus membatasi ruangnya bahwa yang dianggap sebagai kenyataan (realitas) hanyalah sesuatu yang berada pada wilayah fisis (bisa teramati) dan menegasikan sesuatu yang berada pada wilayah metafisis sehingga dasar pengetahuan yang dianggap benar dalam Positivisme adalah sesuatu yang terkait dengan alam empiris atau segala sesuatu yang dapat diamati.

Alquran diyakini hadir dalam wujudnya yang utuh dan sempurna tanpa mengecualikan satu dimensi (pembahasan) sekalipun, singkatnya Alquran hadir membawa informasi dan petunjuk seputar

dimensi alam metafisis dan alam fisis. 75 Dimensi metafisis bersifat doktrinal yang menuntut iman sebagai landasannya. Tanpa iman

manusia menampik informasi dan petunjuk dari dimensi ini. 76 Persoalan-persoalan seputar ketuhanan, kenabian, alam ghaib dan

kehidupan setelah mati, hari perhitungan dan pembalasan menjadi tidak berarti jika tidak dimulai dari iman. Sedangkan dimensi fisis

yang dibawa Alquran, bukanlah bersifat doktrinal, karena dimensi ini menuntut pengoptimalan akal dan pengamatan pancaindra sebagai anugrah tertinggi manusia dalam mencari kebenaran.

Manusia secara fitrahnya, dibekali oleh Allah dengan kemampuan untuk mengetahui kenyataan-kenyataan besar di alam

hukum-hukumnya, karna alam dan fenomena yang ada di dalamnya berdiri di atas hukum alam itu sendiri. Must{afa> H{alami@ , “al-Akhla> q ‘Inda Auguste Comte” dalam al-Alu>kah al-Thaqa>fiyyah, 2012 (Diakses dari http://www.alukah.net/Culture/0/44474/, tanggal 07-03-2014). Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007).

75 Howard R. Turner juga menjelaskan bahwa kepercayaan umat Islam pada keutuhan fenomena-fenomena yang dimiliki Alquran yang diikuti oleh klasifikasi

sains dalam pandangan yang filosofis, telah mendorong penelitian terhadap kosmologi yang secara keseluruhan mencerminkan keluasan wilayah pembahasannya. Pada satu sisi terdapat spekulasi metafisika yang melampaui keberadaan benda-benda empiris yang dapat diamati pancaindra serta diuji secara rasional. Sedangkan di sisi yang lain juga memuat persoalan dan isyarat tentang fenomena-fenomena alam yang dapat diamati secara langsung dan empiris. Howard R. Turner, Science in Medieval Islam (Austin: University of Texas Press, 2002), 38.

76 Muzaffar Iqbal justru menyebutkan bahwa persoalan metafisik dalam Islam itu sendirilah yang menjadi pemicu awal tumbuh dan berkembangnya sains di

internal umat Islam. Muzaffar Iqbal, “Islam and Science” dalam Aleph : Historical Studies in Science & Judaism, Vol 5, 2005 (http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/220524961?accountid=25704, tanggal 22-05- 2014, pukul 01.32 WIB), 305.

raya yang mengarah kepada pengungkapan rahasia dan tujuan dari segala sistem yang menyertainya. 77 Di sinilah relasi antara Alquran,

alam raya dan manusia. Alam raya sebagai kitab pengamatan, merupakan ekspresi nyata dari informasi dimensi fisis yang

disampaikan Alquran. Semua itu bertujuan untuk membuka peluang bagi manusia guna memverifikasi sebagian kecil dari kebenaran Alquran, karena pada dasarnya fitrah manusia secara umum melalui akal dan pancaindra, hanya mampu menyibak kebenaran dari sesuatu

yang jelas teramati dalam wilayah empiris. 78 Ayat-ayat al-Kauni@ yah (ayat tentang fenomena alam) yang

begitu banyak terdapat di dalam Alquran, menjadi salah satu penghubung ketiga elemen tersebut, yaitu Alquran, manusia dan alam semesta. Jika melihat penafsiran Muh{ammad ‘Abduh tentang ayat- ayat Alquran dalam Juz’ ‘Amma, penafsiran-penafsiran yang teridikasi menggunakan paradigma Positivisme memang hanya terlihat dalam penafsiran-penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat yang bercerita tentang alam dan fenomena-fenomenanya. Misalnya saja seperti penafsiran ‘Abduh terhadap surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al- Infit}a> r (82) ayat 1-2 dan surat al-Inshiqa> q (84) ayat 1 yang bercerita tentang terbelahnya langit, kemudian penafsiran ‘Abduh terhadap

77 Mahmu> d Syukri@ al-Alu> si@ menjelaskan bahwa penciptaan alam raya sebenarnya mengandung maksud agar manusia terdorong untuk melakukan

pengamatan dan perenungan. Melalui alam raya sebagai sarana, diharapkan manusia memahami bahwa apa yang diisyaratkan Allah di dalam Alquran sama sekali tidak bertentangan dengan apa yang diketahui manusia dari pengamatan alam raya. Dengan demikian hendaknya manusia menyadari akan kebesaran Allah. Mahmu> d Syukri@ al-Alu> si@ , Ma> Dalla ‘Alaihi al-Qur’a>n (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi@ , 1997), 4. Menurut Syed Shahid Ali dan kawan-kawan, begitulah salah satu cara Allah untuk menunjukkan keberadaan dirinya kepada manusia. Syed Shahid Ali dkk, “Belief and Respect in Multicultural Society: Religious Approach in the Globalised World” dalam American Journal of Applied Sciences, Vol. 9, No.10, 2012 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1326330057?accountid=25704, tanggal 25-04-2014, pukul 22.56 WIB), 1571-1573.

78 Muh{ammad Ka> mal al-Hur menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya hanya mengetahui segala yang tampak dan yang bisa difikirkan manusia juga segala

yang tampak. Itulah kekuatan akal manusia yaitu mengetahui segala sesuatu yang dapat disaksikan. Muh{ammad Ka> mal Al-Hur, Ibn Si@ na> H{aya>tuhu, Atha>ruhu wa Falsafatuhu (Beirut, Libanon: Da>r al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1991), 117. Dalam konteks inilah P. Lipton memahami pengalaman dan pengamatan indrawi dalam posisi sebagai sumber pokok pengetahuan manusia. P. Lipton, History of Empiricism, (Diakses dari http://www.hps.cam.ac.uk/people/lipton/history of empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013 pukul 01.59 WIB), 4483.

surat ‘Abasa (80) ayat 25-27 yang bercerita tentang metabolisme tumbuhan, diguncangkannya bumi (al-Inshiqa> q (84) ayat 3 dan al- Zalzalah (99) ayat 1-2), fenomena meluapnya lautan (Takwi@ r (81) ayat

6 dan surat al-Infit}a> r (82) ayat 3), fungsi gunung sebagai stabilisator bumi dalam surat al-Naba’ (78) ayat 7, tentang wabah penyakit cacar

dalam surat al-Fi@ l (105) ayat 3-4 dan lain sebagainya. Pengulasan ayat- ayat tersebut melaui pendekatan sains, menggambarkan visi ‘Abduh yang tengah berusaha menggiring dan menunjukkan bahwa tidak selayaknya umat Islam mengesampingkan isyarat-isyarat tentang alam semesta yang diungkap Alquran. Banyak aspek yang perlu dikaji dari ayat-ayat terkait alam semesta yang mampu meningkatkan dan meransang kemampuan berfikir manusia serta menyadarkan akan pentingnya benda-benda tersebut bagi kelansungan hidup manusia. Menurut ‘Abduh, inilah salah satu hikmah mengapa dalam sebagian ayat-ayat Alquran Allah mengungkapkan sumpah dengan menggunakan benda-benda empiris ciptaan-Nya yang terdapat di alam

semesta. 79 Hikmah lain menurut ‘Abduh yang paling penting bagi

manusia dengan diungkapnya ayat-ayat tentang alam adalah dorongan untuk memperhatikan alam semesta dan bersungguh-sungguh mempelajarinya sebagai eksplorasi manusia terhadap sisi-sisi alam

raya yang masih tersembunyi dari pengetahuan manusia. 80 Pendapat yang senada dengan ‘Abduh juga diutarakan Sayed Hosen Nasr 81 dan

79 Dalam Alquran, terdapat beberapa ayat yang mengandung ungkapan sumpah dari Allah dengan menggunakan benda-benda pada alam semesta, seperti

pada awal surat al-Na> zi’a> t dimana Allah bersumpah demi sesuatu yang melesat dengan cepat (bintang), kemudian dalam surat al-Takwi@ r (81) ayat 17 Allah juga bersumpah dengan menggunakan malam sebagai objek sumpah, begitu juga pada awal surat al-T{a> riq (86) dimana Allah bersumpah dengan langit sebagai objek sumpah. Dalam pandangan ‘Abduh, hikmah dari sumpah-sumpah Allah dengan menggunakan alam semesta sebagai objek sumpah demi menjelaskan bahwa begitu besarnya perhatian Allah terhadap alam semesta. Selain itu, Allah juga bermaksud menunjukkan betapa agungnya benda-benda itu (sebagai ciptaannya) dan betapa pentingnya benda-benda itu bagi manusia. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al- Kari>m Juz’ ‘Amma, 10.

80 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 57. 81 Mulyadhi Kartanegara menjelaskan pandangan Sayyed Hossein Nasr yang

menyebutkan bahwa ketika ilmuwan-ilmuwan muslim mempelajari fenomena alam, mereka melakukan sesuatu hal yang tidak hanya sekedar melunaskan rasa ingin tahu, melainkan justru untuk mengamati dari dekat jejak-jejak ilahi ( Vestigial Dei). Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen, melainkan tanda-tanda ( sign / ayat) Allah yang dengannya manusia diberi petunjuk akan keberadaan tuhan, kasih

M. Quraish Shihab. 82 Bahkan ‘Abbas Mahmud al-‘Aqad mempertajam lagi bahwa ayat-ayat tentang alam mengandung ajakan aqidah. 83

Pandangan-pandangan seperti ini mengindikasikan alasan mengapa ‘Abduh menjadikan ayat-ayat al-Kauni@ yah sebagai objek penerapan

penafsiran bernuansa Positivistik dengan memanfaatkan pendekatan nilai-nilai ilmiah sains modern dalam menafsirkannya sehingga hal tersebut bisa dilihat sebagai salah satu karakteristik dari tafsir Positivistik yang diperlihatkan ‘Abduh di dalam Tafsi@ r al-Qur’a>n al- Kari@ m Juz’ ‘Amma.

2. Fakta Empiris Sebagai Realitas. Dalam pembahasan filsafat, realitas tidak dapat dipisahkan dari

pembahasan ontologi. Ontologi secara umum membahas tentang segala yang ada. Pertanyaan yang mendasar dari ontologi tertuju kepada apa yang disebut realitas. Ontologi pada esensinya tidak mendikotomikan realitas antara alam fisis dan metafisis. Rasionalisme

sayang, kebijaksanaannya dan kepintarannya. Mulyadhi Kartanegara , Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Ciputat, Tangerang: UIN Jakarta Press, 2003), 3.

82 Menurut M. Quraish Shihab, setidaknya ada tiga hal yang dapat disimpulkan dari pembicaraan Alquran tentang alam raya dan fenomenanya.

Pertama, adanya perintah Alquran untuk mempelajari dan memahaminya dalam rangka meyakini ke-Esaan dan kekuasaan tuhan. Perintah ini mengandung substansi bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum- hukum yang mengatur fenomena alam tersebut, namun pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak. Kedua, alam raya dan hukum- hukumnya diciptakan, dimiliki dan diatur oleh ketetapan tuhan yang sangat teliti, dan alam raya tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan tersebut kecuali jika tuhan yang menghendakinya. Hal ini mengandung maksud bahwa alam raya dan seluruh elemennya tidak boleh disembah. Ketiga, redaksi yang digunakan oleh Alquran dalam uraian tentang fenomena alam bersifat singkat, teliti dan padat sehingga pemahaman atau penafsiran tentang maksud redaksi-redaksi tersebut sangat bervariasi. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 104-105. Ali Raza Tahir

menambahkan dengan mengutip pendapat Muhammad Iqbal bahwa hal itu juga bertujuan untuk mengungkapkan tanda-tanda (keberadaan dan kekuasaan) Allah kepada manusia. Ali Raza Tahir, “The Concept of Ethical Life in Islam” dalam Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, Vol. 3. No. 9. 2012 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/964018844?accountid=25704, tanggal 23-04- 2014, pukul 23.03 WIB), 1361.

83 ‘Abbas Mahmud al-‘Aqad, Filsafat Qur’an, Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam Isyarat Qur’an, Penerj; Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996),

yang mengatakan realitas adalah apa yang dideskripsikan dalam alam idea, dibantah dengan keras oleh Empirisme yang justru menjadikan fakta empiris sebagai realitas. Rasionalisme menjadikan realitas empiris sebagai bayangan dari idea manusia, sebaliknya Empirisme justru menjadikannya sebagai hal yang utama untuk disebut realitas. Realitas Empirisme mengarah kepada hal yang berupa materi. Seolah- olah Empirisme membatasi ontologi hanya pada wilayah empiris. Hal ini sangat berkaitan erat dengan fakta. Bangunan konsep Empirisme tentang fakta adalah sesuatu yang real (nyata), yaitu sesuatu yang dapat diketahui pancaindra dan dapat dihitung. Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya Epistimologi Fundasional mengutip pandangan Thomas Kuhn dan Michel Polanyi yang menyatakan bahwa fakta tidak bisa bicara sendiri, fakta hanya berbicara dalam kerangka teori atau paradigma tertentu. Betrand Russel menyebutkan fakta adalah segala sesuatu yang ada di alam. Fakta merupakan sesuatu yang dapat di observasi sehingga pernyataan tentang fakta itu dapat dibuktikan

benar dan salahnya secara empiris. 84 Pandangan ini kemudian menjadi salah satu titik penting yang ditekankan Positivisme. Positivisme

menjadikan fakta empiris sebagai realitas. Dengan menjadikan fakta empiris sebagai realitas maka membuka ruang bagi manusia untuk

mengetahui bagian-bagiannya yang positif, 85 yaitu yang

84 Disebutkan oleh Akhyar Yusuf Lubis bahwa secara umum dalam ilmu pengetahuan, terdapat hubungan yang sangat erat antara fakta dengan teori.

Penjelasan tentang hubungan antara fakta-fakta disebut teori. Jadi teori adalah suatu pernyataan yang dapat dibuktikan benar dan salahnya. Secara umum, ada beberapa peran teknis fakta terhadap teori, yaitu untuk membenarkan teori (memverifikasi) atau membuktikan salahnya (memfalsifikasi) teori. Selain itu fakta juga dapat mempertajam atau memperluas rumusan teori yang ada dan yang terakhir fakta dapat menimbulkan munculnya sebuah teori baru. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 91-92. Fakta-fakta itulah yang kemudian disebut pengalaman sebagai dasar pengetahuan. Christian Fuchs dan Marisol Sandoval, “Positivism Postmodernism or Critical Theory A Case Study of Communications Students’ Understandings of Criticism”, dalam Journal for Critical Education Policy Studies, Volume 6 (Diakses dari http://www.jceps.com/PDFs/6-2-07.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.03 WIB), 115.

85 Auguste Comte mendefenisikan kata ”positif” tentang alam sebagai sesuatu yang mengandung unsur fakta real atau nyata. Pemahaman Comte tentang

“positif” berbeda dengan pemahaman Schelling yang mendefenisikan secara lebih luas. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 191 dan Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi, 266. Vincent A. Wellman menyebutkan juga bahwa hukum alam yang ada dan meliputi setiap wujud dari benda-benda alam, dijadikan sebagai subjek sekaligus objek perhatian dalam Positivisme. Vincent A. Wellman, “positif” berbeda dengan pemahaman Schelling yang mendefenisikan secara lebih luas. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 191 dan Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi, 266. Vincent A. Wellman menyebutkan juga bahwa hukum alam yang ada dan meliputi setiap wujud dari benda-benda alam, dijadikan sebagai subjek sekaligus objek perhatian dalam Positivisme. Vincent A. Wellman,

sama yaitu pancaindra. 86

Dalam konteks penafsiran ayat-ayat tentang alam, ‘Abduh secara tidak langsung telah mengaplikasikan konsep Positivisme yang

melandaskan pembenaran proposisi pada fakta empiris yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah. Misalnya ayat-ayat yang membahas tentang terbelahnya langit (surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a> r (82) ayat 1-2 dan surat al-Inshiqa> q (84) ayat 1), ‘Abduh menafsirkannya dengan tabrakan antar planet yang disebabkan oleh hilangnya gaya tarik menarik (gravitasi) dari tiap-tiap planet. Pada dasarnya, ‘Abduh memiliki peluang untuk menafsirkan ayat ini dengan penafsiran lain misalnya melalui pendekatan teologis, kemudian membuat spekulasi rasional dengan menyebutkan “terbelahnya langit sebagai bentuk kekuasaan Allah terhadap alam dan hanya Allah yang mengetahui kejadian sesungguhnya”, atau cukup mengatakan bahwa “hal itu merupakan sesuatu yang pasti terjadi di masa yang akan datang dan manusia cukup mengimaninya atau memperbanyak ibadah sebagai persiapan menghadapi kejadian tersebut”. Namun dalam kenyataannya, ‘Abduh tidak berbuat demikian. ‘Abduh justru menjadikan realitas empiris sains sebagai deskripsi pembenaran dari tafsiran yang diberikan terhadap ayat.

Begitu juga dengan penafsiran ‘Abduh terkait fenomena meluapnya lautan (al-Takwi@ r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a> r (82) ayat

3) dan penyakit cacar (surat al-Fi@ l (105) ayat 3-4. Mengenai surat al- Takwi@ r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a> r (82) ayat 3, ‘Abduh memberikan penafsiran dengan deskripsi bahwa ketika terjadi sebuah gempa yang menyebabkan batas-batas antar lautan hancur sehingga

“Positivism, Emergent and Triumphant” dalam Michigan Law Review, Vol. 97, May 1999 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/201044593?accountid=25704, tanggal 12-06- 2014, pukul 21.12 WIB), 1725.

86 Dengan menjadikan fakta empiris sebagai realitas, Comte mengharapkan agar setiap manusia mampu mengungkap dan menemukan hukum kebenaran dari

fenomena-fenomena yang ada di wilayah empiris. Bahkan Nadem J. Z. Hussain menegaskan bahwa Comte telah mengkolaborasikan antara aspek penalaran dan observasi dalam upaya Comte untuk menemukan hukum kebenaran (realitas empiris) dari fenomena. Nadem J. Z. Hussain, “Nietzsche’s Positivism” dalam European Journal of Philosophy, 2004 (Diakses dari http://www.stanford.edu/~hussainn/StanfordPersonal/Online_Papers_files/Hussain_Ns Positivism.pdf, tanggal 13-05-2012, pukul 02.04 WIB), 344.

seluruh air yang ada di laut menyatu dan penuh, kemudian menjadikan air tersebut tumpah ke daratan, atau bergolaknya api yang ada di dalam perut bumi, kemudian naik ke permukaan bumi dan mendorong massa air laut sehingga menjadikannya meluap ke daratan. Selain itu ‘Abduh juga menguatkan penafsirannya dengan mengemukakan peristiwa meletusnya salah satu gunung berapi di daerah Jawa pada waktu itu (1883) atau dikenal dengan fenomena gunung Krakatau. Sedangkan mengenai surat al-Fi@ l (105) ayat 3, ‘Abduh menafsirkan t}aira>n aba>bi@ l sebagai nyamuk atau lalat yang membawa virus yang kemudian menjadikan pasukan bergajah yang menyerang Mekah terjangkit penyakit cacar sehingga kemudian mereka mati seperti daun yang dimakan ulat.

Tentang kedua penafsiran ‘Abduh tersebut, sebenarnya ‘Abduh memiliki peluang untuk menafsirkannya dengan penafsiran lain. Misalnya seperti gaya penafsiran teologis yang dihadirkan al-T{abari@ yang menafsirkan surat al-Takwi@ r (81) ayat 6 dan surat al-Infit{a> r (82)

ayat 3 dengan meluapnya air laut 87 dimana Allah menjadikan sebagiannya meluapi sebagian yang lain sehingga seluruhnya akan

menjadi penuh, 88 atau seperti penafsiran al-Qurt}ubi@ yang dikutipnya dari riwayat al-Qushairi@ yang menyebutkan bahwa Allah menjadikan

penghalang (batas) antara keduanya dengan cara-Nya sehingga antara keduanya tidak saling melampaui dan jika pembatas itu diangkat, maka terpancarlah air laut yang kemudian akan menggenangi seluruh

bumi sehingga semuanya (tergenang) menjadi satu lautan. 89 Begitu

87 Al-T{abari@ menyebutkan bahwa penafsiran tentang surat al-Takwi@ r (81) ayat 6 dalam pandangan ulama-ulama sebelum beliau secara umum terbagi kepada

tiga penafsiran, ada yang memahami maksud ayat tersebut dengan lautan yang menyalakan api dan dipanaskan, ada yang menafsirakannya dengan meluap dan ada juga yang menafsirkannya dengan menghilangnya air laut. Dari ketiga penafsiran ulama tersebut, al-T{abari@ menyebutkan bahwa penafsiran yang tepat dari surat al- Takwi@ r (81) ayat 6 adalah pendapat yang kedua yang bermakna meluapnya air laut. Ja’far Muh{ammad bin Jari@ r al-T{abari@ , Tafsi@ r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n , 137-141.

88 Mirip dengan penafsiran surat al-Takwi@ r (81) ayat 6, pada intinya al- T{abari@ juga menafsirkan surat al-Infit{a> r (82) ayat 3 dengan “air yang meluap”,

namun penafsiran al-T{abari@ tentang ayat ini lebih sedikit bermuatan teologis dengan menyebutkan bahwa “Allah menjadikan sebagiannya meluapi bagian yang lain sehingga menjadikan semuanya menjadi penuh”. Ja’far Muh{ammad bin Jari@ r Al- T{abari, Tafsi@ r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n, 174.

89 Abi@ ‘Abdalla> h Muh{ammad bin Ah{mad al-Ans}ari@ al-Qurt}ubi@ , al-Ja>mi’ li@ Ah}ka>m al-Qura>n (Kairo: Da>r al-Ka>tab al-‘Arabi@ li al-T{aba> ’ah wa al-Nashr, 1967),

juga ketika al-Ra> zi@ dan al-Zamakhshari@ yang menafsirkan t{aira>n aba>bi@ l dalam surat al-Fi@ l (105) ayat 3 sebagai burung yang berbondong- bondong. Bahkan al-Ra> zi@ dan al-Zamakhshari@ sampai menjelaskan bentuk dan ciri-ciri dari burung tersebut, meskipun mereka tidak melihat secara langsung atau mengetahui secara pasti kronologis

kejadiannya. 90 Mengenai surat al-Takwi@ r (81) ayat 6 dan surat al-Infit{a> r (82)

ayat 3, penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh terlihat berbeda jika dibandingkan dengan penafsiran al-T{abari@ dan al-Qurt{ubi@ . ‘Abduh cenderung menunjukkan ketertarikannya untuk menjadikan fakta-fakta empiris dan analisis sains sebagai deskripsi dari informasi ayat, seperti penafsiran tentang meluapnya lautan (dalam surat Takwi@ r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a> r (82) ayat 3) dengan melihat proses naiknya magma ke permukaan bumi melalui letusan gunung berapi sehingga berakibat

Tsunami seperti yang terjadi di daerah Jawa. Kemudian penafsiran ‘Abduh tentang t}aira>n aba>bi@ l dalam surat al-Fi@ l (105) ayat 3 sebagai

penyakit cacar. Penafsiran ini didasarkan kepada serangkaian proses beserta akibat yang dapat ditimbulkan penyakit cacar pada tubuh manusia dan juga ditunjang dengan informasi-informasi historis yang melingkupi ayat. Model aplikasi dari penafsiran yang diterapkan ‘Abduh menjadikan informasi yang dibawa ayat lebih bisa terlihat real dan diterima oleh akal manusia. Inilah karakteristik yang kedua yang

90 Al-Ra> zi@ dan al-Zamakhshari> secara umum menafsirkan t{aira>n aba>bi@ l sebagai burung yang berbondong-bondong. Al-Ra> zi@ menafsirkan t}aira>n aba>bi@ l

sebagai burung yang datang berbondong-bondong dengan ciri-ciri paruhnya seperti gajah dan cakarnya seperti anjing, datang dari arah laut dan berwarna hitam. al- Zamakhshari@ juga menafsirkan t}aira>n aba>bi@ l sebagai burung (dengan ciri-ciri) berwarna hijau dan putih. Al-Zamakhshari@ menjelaskan bahwa setiap burung tersebut membawa batu yang terletak di paruhnya dan di kedua kakinya. Ketika batu tersebut dijatuhkan di atas kepala seseorang maka batu tersebut akan keluar dari duburnya dan pada tiap batu telah tertulis nama dari orang yang akan ditimpakan batu tersebut. ‘Muh{ammad al-Ra> zi@ Fakr al-Di@ n Ibn al-‘Alla> mah al-‘Umar, Mafa>ti@ h{ al- Ghaib Tafsi@ r al-Fakhr al-Ra>zi@ , Juz’31, 99-100. Abi@ al-Qa> sim Mah{mu> d bin ‘Umar al- Zamakhshari@ , al-Kashsha>f, Juz’ 6, 433-434.

91 Lynn Nutwell menyebutkan bahwa ledakan dahsyat pernah terjadi di tengah-tengah perairan Indonesia, tepatnya peristiwa meletusnya gunung Krakatau

1883 yang menyebabkan naiknya air laut ke daratan-daratan yang ada di sekitaran gunung. Lynn Nutwell, “Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27, 1883” dalam School Library Journal, Vol. 49, 2003 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/211725793?accountid=25704, tanggal 12-06- 2014, pukul 14.08 WIB), 210.

diperlihatkan ‘Abduh dalam penafsiran-penafsirannya yang bernusansa Positivistik.

3. Meminimalisasi Penafsiran dalam Wilayah Transendental. Dalam sejarah masyarakat Eropa pada putaran abad ke-17

hingga abad setelahnya, sains mengalami pekembangan yang pesat. Pandangan mereka tentang kebenaran alam, bergerak ke arah Empirisme dan mengukur benar-salah sesuatu berdasarkan fakta-fakta sains (fakta ilmiah). Cara pandang seperti ini menjadikan masyarakat Eropa mendefinisikan alam empiris sebagai alam yang layak untuk disebut sebagai alam sebenarnya dan menafikkan segala sesuatu yang berada di luar itu untuk disebut alam. Mereka menganggap nyata segala hal yang bisa ditunjukkan dalam alam empiris atau sains dan menganggap segala hal yang berada di luar wilayah tersebut sebagai khayalan atau asumsi. Paradigma Empirisme yang semakin mengakar dalam diri masyarakat Eropa, menjadikan mereka secara perlahan- lahan mulai menafikkan keberadaan dan kebenaran dari wilayah metafisik. Bahkan lebih ekstrim lagi adanya pengingkaran penuh

terhadap Tuhan dan agama. 92 Cara pandang seperti ini jelas bertententangan dengan doktrin

ke-Islaman. Islam justru mengakui wilayah metafisik dan dalam hal- hal tertentu justru mewajibkan setiap muslim untuk mengimaninya. Misalnya saja Alquran sebagai landasan utama hukum dan nilai dalam Islam, memuat begitu banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang hal-hal yang berada di dalam wilayah transendental seperti tuhan dan sifat-sifatnya, malaikat, jin serta surga dan neraka. Dalam menyikapi ayat-ayat yang berbicara tentang hal-hal yang berada pada wilayah transendental, nampaknya ‘Abduh memiliki cara pandang dan konsep

92 Sayyed Hosein Nasr menjelaskan bahwa sejak abad ke-17 peradaban Barat mulai diselimuti sekularisme. Untuk pertama kalinya bangsa Barat mulai

memisahkan diri terhadap agama dan mengikatkan diri kepada sains modern yang empiris dan dengan itu mereka secara perlahan-lahan mulai berusaha menggantikan peran agama. Dengan mengikatkan diri kepada kebenaran empiris sains, mereka mulai mempersoalkan agama dan doktin-doktrin teologi agama. Gerakan seperti ini dinilai sebagai gerakan filsafat modern yang diistilahkan dengan Misosophy (kebencian yang muncul dari cinta terhadap kebijaksanaan yang menjadi makna etimologis filsafat). Bahkan dalam sebagian gerakan filsafat-filsafat empiris dan sains, mulai memandang dirinya sebagai pengganti agama-agama yang ada. Sayyed Hosein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, Penerj; Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1994), 155-157.

sendiri. Dalam pandangan ‘Abduh, akal manusia pada dasarnya tidak akan mampu menyusun dan mengungkap pengetahuan tentang

substansi hal-hal gaib (transendental). 93 Hal itu bukan berarti bahwa keterangan dan kebenaran dari informasi yang dibawa Alquran (terkait persoalan transendental) bertentangan dengan akal manusia, namun

kemampuan akal yang terbatas menjadikan akal tidak mampu masuk ke dalam wilayah transendental guna mengetahui kebenaran mutlak

dari hal-hal yang berada dalam wilayah transendental itu sendiri. 94 Dalam konteks ini ‘Abduh lebih cenderung mengambil sikap untuk

mempercayai dan mengimani hal-hal tersebut, karena pengetahuan yang benar tentang hal-hal gaib (transendental) bukanlah berada dalam

jangkauan manusia, namun berada dalam kekuasaan Allah. 95 M. Quraish Shihab juga menilai bahwa ‘Abduh lebih bersikap

untuk tidak menafsirkan ayat-ayat yang berada di luar jangkauan akal,

93 Bagi ‘Abduh, persoalan dalam wilayah transendental menjadi persoalan yang berada di luar jangkauan akal manusia. Kemampuan akal yang terbatas,

membuat jurang pemisah dalam pengetahuan manusia antara alam nyata dan alam gaib. Di sinilah letak keterbutuhan manusia dengan rasul sehingga pengimanan terhadap alam gaib tidak dapat dilepaskan dari keberadaan dan pengakuan adanya Nabi. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@ d (Kairo: Da>r al-Nas{r li al-T{iba>’ah, 1969), 83-84.

94 Allamah Muhammad Husain Thabathaba’i menjelaskan bahwa Alquran mempunyai kedudukan yang tinggi, terutama dalam hal nilai spiritual. Dalam

pembahasan-pembahasan tertentu, karna tingginya nilai-nilai yang diungkap dalam Alquran, menjadikannya tidak terjangkau oleh manusia. Terbatasnya kemampuan manusia untuk menembus wilayah pembahasan tersebut sehingga dalam memahaminya dibutuhkan perumpamaan-perumpamaan yang melibatkan akal. Allamah Muhammad Husain Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia al-Quran, Penerj;

A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas (Bandung: Mizan Pustaka, 2009), 70-71. 95 ‘Abduh menjelaskan pandangan ini ketika menafsirkan surat al-Qa> riah

(101) ayat 8-9 sebagai respon terhadap perbedaan penafsiran dari beberapa mufasir sebelum ‘Abduh yang begitu jauh menafsirkan ayat ini (secara umum berbicara tentang proses penimbangan amal ibadah manusia di akhirat) yang sampai menafsirkan bagaimana bentuk detail dari timbangan yang akan digunakan Allah dalam menimbang amal ibadah manusia di hari kemudian. ‘Abduh menjelaskan bahwa, akal manusia pada hakikatnya tidak akan mampu menyingkapi pengetahuan terhadap hal tersebut, bahkan jika dipaksakan justru akan menjauhkan dari pengimanan terhadap hal-hal gaib. Bagi ‘Abduh, yang lebih layak dilakukan oleh seorang muslim adalah mempercayai bahwa kelak Allah akan benar-benar menimbang amal ibadah manusia di hari kemudian dengan caranya sendiri dan tidak perlu bertanya-tanya tentang bagaimana cara Allah menimbang dan bagaimana cara Allah menentukan nilai. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz ‘Amma, 147.

dan tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak dirinci oleh Alquran. Bahkan ‘Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang

tidak jelas dan justru menganjurkan untuk tidak membahasnya. 96 J. M. S. Baljon juga menegaskan bahwa salah satu kecenderungan yang menonjol dari mufasir modern adalah adanya usaha untuk meniadakan

segala hal yang bersifat tahayul atau menghindari sebisa mungkin eksplorasi hal-hal ghaib dalam penafsiran-penafsiran terhadap

Alquran. 97 Sayyed Ah{mad Kha> n juga menganggap penting usaha meminimalisir kecenderungan dominasi cerita-cerita supranatural

(transendental) serta hal-hal lain yang berada di luar nalar dan saintifik manusia karena dengan melandaskan pemahaman Alquran melalui dominasi cerita-cerita yang bersifat transendental maka akan menutup akses yang sama bagi seluruh manusia untuk memahaminya sehingga

hasil penafsiran cenderung bersifat eksklusif. 98 Dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, ada

beberapa ayat yang menyinggung persoalan transendental dan ‘Abduh lebih mengambil sikap untuk tidak memfokuskan penafsiran terhadap hal tersebut, apalagi berusaha menafsirkan secara rinci substansi keadaan dari wilayah transendental yang dibicarakan Alquran. Sikap ‘Abduh justru lebih kepada upaya untuk menyarankan pembaca agar mengimani kebenaran dari apa yang diinformasikan oleh ayat. Dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, setidaknya terdapat beberapa penafsiran ‘Abduh yang menunjukkan kecenderungan seperti

96 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 78-79. 97

J. M. S. Baljon melihat bahwa para mufasir era modern telah terpengaruh paradigma modern masyarakat Eropa yang lebih berpegang kepada alam fisis dan mengesampingkan hal-hal metafisis. Kebanyakan masyarakat Eropa modern menganggap cerita-cerita metafisis hanya bersifat tahayul dan primitif. Menurut Baljon, cara pandang inilah yang telah merasuk ke dalam diri sebagian mufasir modern sehingga ketika menafsirkan ayat-ayat yang bersinggungan dengan persoalan transendental, mereka cenderung berspekulasi dengan mengetengahkan deskripsi empiris-ilmiah atau memperkecil eksporasi hal-hal gaib dalam uraian penafsirannya. J. M. S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (Leiden: E. J. Brill, 1968), 21- 24.

98 Sayyed Ah{man Kha> n mengangap penting untuk menghilangkan kecenderungan penafsiran yang melandaskan pemahamannya pada cerita-cerita

supranatural. Menurut Kha> n, pendekatan dengan sains lebih bersifat universal yang membuka akses lebih luas bagi seluruh manusia untuk memahaminya. Rotraud Wielandt, “Exegesis of the Qur’a> n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n. Editor: Jane Dammen McAuliffe, Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), 127.

ini. Pertama, ketika ‘Abduh menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat 18 ( اجاوفأ نوتأتف روّصلا ىف خفني موي) yang berbicara tentang peniupan sangkakala pada hari akhir. Dalam ayat ini diinformasikan bahwa pada hari akhir akan ditiupkan sangkakala dan kemudian manusia datang secara berkelompok-kelompok. Mengenai ayat ini ‘Abduh terlebih dahulu menjelaskan tafsirannya bahwa informasi dari ayat itu memberikan gambaran tentang begitu cepatnya proses kebangkitan manusia pada hari kiamat dan seolah-olah proses kebangkitan tersebut

hanya membutuhkan waktu satu tiupan saja. 99 Sedangkan mengenai bagaimana proses peniupan sangkakala dilakukan, ‘Abduh lebih

menyarankan pembaca untuk sekedar mengimaninya dan tidak berusaha untuk mencari tahu bagaimana cara peniupan maupun hakekat benda dari sangkakala, karena membahas hal itu sama dengan

melakukan perbuatan yang sia-sia. 100 Di sisi yang berbeda, al-T{abari@ justru mencoba menafsirkan روّصلا (sangkakala) dengan mengutip

riwayat-riwayat dari para sahabat yang kemudian dijadikan sebagai tafsiran ayat ini. Di antara riwayat-riwayat tersebut ada yang

menyebutkan bahwa sangkakala adalah tanduk yang ditiup 101 dan ada riwayat lain yang mencoba menjelaskan keadaan pada saat ditiup

sangkakala dengan menyebutkan bahwa Isra> fi@ l telah menyentuh sangkakala dan keningnya telah ditundukkan sambil menunggu

perintah Allah untuk meniup sangkakala. 102 Kedua, penafsiran ‘Abduh terkait surat al-Infit}a> r (82) ayat 10-

12 103 yang secara umum menginformasikan bahwa sesungguhnya bagi

99 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz ‘Amma, 5. 100 Muh{ammad ‘Abduh,

Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz ‘Amma, 5. Al-T{abari@ menafsirkan lafazh al-S{u>ri (sangkakala) dalam surat al-Kahfi (18) ayat 99 sebagai tanduk yang ditiup. Penafsiran ini disandarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdulla> h Ibn ‘Amr. Ja’far Muh{ammad bin Jari@ r al- T{abari@ , Tafsi@ r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@ l Ayy al-Qur’a>n, Juz’ 15 (Kairo: Bada> r Hijr, 2001 M / 1422 H), 416.

102 Penafsiran tentang lafazh al-S{u>ri dalam surat al-An’a>m (6) ayat 73 berasal dari sebuah hadis Nabi yang tidak disebutkan sanadnya oleh al-T{abari@ ,

namun intinya hadis tersebut menyebutkan bahwa Isra> fi@ l telah memenyentuh sangkakala dan menundukkan kepalanya menunggu perintah Allah datang untuk meniup sangkakala. Ja’far Muh{ammad bin Jari@ r al-T{abari@ , Tafsi@ r al-T{abari@ Ja>mi’ al- Baya>n ‘an Ta’wi@ l Ayy al-Qur’a>n, Juz’ 9 (Kairo: Bada>r Hijr, 2001 M / 1422 H), 340.

103 Surat al-Infit}a> r (82) ayat 10-12; ∩⊇⊄∪ tβθè=yèøs? $tΒ tβθçΗs>ôètƒ ∩⊇⊇∪ t⎦⎫Î6ÏF≈x. $YΒ#tÏ. ∩⊇⊃∪ t⎦⎫ÏàÏ≈ptm: öΝä3ø‹n=tæ ¨βÎ)uρ 103 Surat al-Infit}a> r (82) ayat 10-12; ∩⊇⊄∪ tβθè=yèøs? $tΒ tβθçΗs>ôètƒ ∩⊇⊇∪ t⎦⎫Î6ÏF≈x. $YΒ#tÏ. ∩⊇⊃∪ t⎦⎫ÏàÏ≈ptm: öΝä3ø‹n=tæ ¨βÎ)uρ

yang dilakukan karena semua itu pasti akan dicatat dan dihitung. 104 Ketiga, penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Buru> j (85) ayat 21-

22 105 dimana ayat ini secara umum berbicara tentang pendustaan sekelompok manusia (kaum Fir’aun dan kaum Thamu> d sebagaimana

disebutkan Allah dalam surat al-Buru> j (85) ayat 18) terhadap kebenaran Alquran yang tersimpan di al-Lauh{ al-Mah{fu>z}. Menyikapi ayat 22 dari surat al-Buru> j (85), ‘Abduh tidak menjelaskan hakekat keadaan dari al-Lauh{ al-Mah{fu>z} sebagaimana yang diinformasikan oleh Alquran, namun ‘Abduh hanya menjelaskan bahwa al-Lauh{ al- Mah{fu>z} merupakan sesuatu tempat yang diinformasikan oleh Allah sebagai tempat disimpannya Alquran tanpa memberitahu bagaimana hakikatnya dan manusia hanya berkewajiban mengimaninya sebagai

sesuatu yang benar-benar ada. 106

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (petugas-petugas) yang mengawasi, yang mulia dan mencatat, mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

104 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz ‘Amma, 36. 105 Surat al-Buru> j (85) ayat 21-22;

∩⊄⊄∪ ¤âθàøt¤Χ 8yöθs9 ’Îû ∩⊄⊇∪ Ó‰‹Åg¤Χ ×β#u™öè% uθèδ ö≅t/ “Bahkan yang didustakan mereka itu adalah Alquran yang mulia, yang

(tersimpan) dalam al-Lauh{ Mahfu>z{“. 106 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz ‘Amma, 61.

Keempat, penafsiran ‘Abduh terkait surat al-Lail (92) ayat

14 107 dimana ayat ini bercerita tentang peringatan Allah kepada manusia tentang api yang menyala-nyala. Mengenai lafaz ىَّظَلَت اًراَن (api

neraka yang menyala-nyala) dalam ayat ini, ‘Abduh menjelaskan bahwa mengenai (hakikat keadaan) api neraka tersebut, manusia hanya

berkewajiban sebatas mengimaninya, manusia tidak perlu menyelidikinya karena hal itu berkaitan dengan persoalan akhirat dan hanya Allah yang mengetahui persoalan tersebut. Kemudian ‘Abduh menjelaskan bahwa yang dapat diketahui hanyalah (api neraka) itu merupakan azab yang amat pedih bagi siapa saja yang masuk ke

dalamnya. 108 Penafsiran yang senada juga diperlihatkan ‘Abduh ketika menafsirkan surat al-Bayyinah (98) ayat 6. 109 Secara umum ayat ini

menginformasikan tentang gambaran keadaan orang-orang kafir (dari kalangan ahlul kitab) dan orang-orang musyrik yang nantinya akan berada di neraka Jahannam dan itulah gambaran dari seburuk-buruk manusia. Mengenai neraka Jahannam yang disebutkan dalam ayat tersebut, ’Abduh menjelaskan tafsirannya bahwa neraka Jahannam merupakan suatu tempat penghukuman di akhirat. Tentang bagaimana hakekat keadaan neraka (Jahannam) tersebut, manusia hanya wajib mengimani dan membenarkan keadaan azab yang ada di dalamnya lebih pedih dari pada azab di dunia. ‘Abduh juga menyebutkan bahwa seharusnya wajib bagi manusia untuk menghindari pembahasan tentang hakikat dari neraka Jahannam, baik itu tentang bahan bakar ataupun letak dari api neraka Jahannam itu sendiri, karena menurut ‘Abduh akal manusia tidak akan mungkin sampai mengetahui dan

mengungkap hal tersebut. 110

107 Surat al-Lail (92) ayat 14; ∩⊇⊆∪ 4‘©àn=s? #Y‘$tΡ ö/ä3è?ö‘x‹Ρr'sù

“Maka Kami memperingatkan kamu akan neraka yang menyala-nyala”. 108 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz ‘Amma, 104.

109 Surat al-Bayyinah (98) ayat 6; ∩∉∪ Ïπ−ƒÎy9ø9$# •Ÿ° öΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé& 4 !$pκÏù t⎦⎪Ï$Î#≈yz zΟ¨Ψyγy_ Í‘$tΡ ’Îû t⎦⎫Ï.Îô³ßϑø9$#uρ É=≈tGÅ3ø9$# È≅÷δr& ô⎯ÏΒ (#ρãxx. t⎦⎪Ï%©!$# ¨βÎ)

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”.

110 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz ‘Amma, 137.

4. Mengedepankan Argumentasi Ilmiah. Aspek lain yang menandakan sebuah penafsiran bernuansa

Positivistik adalah penafsiran tersebut berusaha mendeskripsikan informasi yang dihadirkan Alquran melalui bahasa sains modern.

Sebagaimana filsafat Positivisme, keberadaan sains menjadi elemen penting yang mendasari pembenaran terhadap proposisi. 111 Selain itu,

sains juga dipercaya mampu menjadi medium dan barometer dalam mengungkap serta mengukur sisi-sisi positif dari sebuah proposisi sehingga Positivisme selalu mengupayakan deskripsi dari proposisi hadir dalam bahasa-bahasa ilmiah sains yang mengandung muatan fakta-fakta dan temuan sains. Positivisme meyakini bahwa dengan menggunakan bahasa sains dalam mendeskripsikan sebuah proposisi menjadikannya lebih bisa diterima akal.

Tafsir bernuansa Positivistik sebagaimana yang dimunculkan oleh sebagian mufasir pada masa modern, secara tidak langsung juga

memperlihatkan kesejalanannya dengan paradigma Positivisme. Dalam konteks tertentu, tafsir Positivistik bisa dipahami sebagai sebuah upaya dari seorang mufasir untuk menghadirkan kehendak tuhan yang terumuskan dalam hukum alam dengan mengenal mekanisme sebab akibat yang memungkinkannya untuk bisa dikaji dan dibuktikan secara

eksperimental. 112 Tafsir Positivistik kelihatannya tidak hanya ingin menunjukkan korelasi yang erat antara Alquran dengan sains modern

namun juga berusaha menunjukkan bahwa Alquran sebagai teks suci keagamaan mampu diinterpretasikan ke dalam bahasa-bahasa ilmiah sains modern. Artinya, gaya bahasa ilmiah sains modern dapat dimanfaatkan sebagai media pembuka ruang relasi secara langsung antara informasi Alquran dengan realitas empiris yang menjadikan setiap pembaca tafsir dapat mengetahui, mengukur dan menyelidiki realitas Alquran secara positif sehingga deskripsi dari realitas ayat

111 David L. Prychitko bahkan mengkritisi Positivisme yang terlalu mengagung-agungkan sains yang bersifat nisbi. Inilah yang dalam pandangan Davit

L Prychitko sebagai bentuk kegagalan Positivisme. David L. Prychitko, “Beyond Positivism and Relativism: Theory, Method, and Evidence” dalam Southern Economic Journal, 1997 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/212132638?accountid=25704, tanggal 18-06- 2014, pukul 22.45 WIB), 359-360.

112 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta Selatan: Teraju, 2004), 100.

hadir dalam sistematisasi yang lebih 113 real. Di samping itu, gaya bahasa ilmiah yang dijadikan sebagai argument atau deskripsi dari

ayat yang ditafsirkan, dianggap mampu mempersempit ruang masuk cerita-cerita primitif dan mitos-mitos bersifat khayali yang sulit untuk

dibuktikan secara empiris. Dominasi cerita-cerita primitif dan mitos- mitos yang bersifat khayali dalam membentuk sebuah pembenaran hanya akan mendorong seseorang untuk membenarkan secara emosional dan bersifat subjektif, bukan objektif.

Dalam filsafat Positivisme memang dikenal bahwa salah satu tujuan dari Positivisme adalah membentuk paradigma masyarakat yang terbebas dari cerita-cerita prmitif dan mitos-mitos yang bersifat khayali sehingga tidak terbuka ruang yang sama bagi setiap manusia

untuk dapat membuktikannya. 114 Jika dibandingkan dengan sejarah gerakan dan visi yang diusung ‘Abduh, ‘Abduh memang berencana

mengikis segala bentuk bid’ah, tahayul dan khurafat yang saat itu 115 sedang menyebar di tengah-tengah umat Islam terkusus di Mesir.

113 Hal ini tergambar dari penjelasan ‘Abduh ketika menafsirkan surat al- Gha> shiyah (88) ayat 20 dimana ‘Abduh sempat menyebutkan bahwa pemilihan unta,

langit, gunung dan bumi sebagai perumpamaan dikarenakan benda-benda tersebut merupakan benda-benda yang dapat diamati secara langsung oleh pancaindra. Jika semua manusia mau memahami Alquran melalui penalaran terhadap alam semesta, maka sesungguhnya setiap orang akan menemukan hal yang sama bahwa alam yang mereka lihat merupakan perwujudan dari apa yang diulas Allah dalam Alquran yang tidak akan pernah lepas dari wujud dan pemeliharaan Allah. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah mengembalikan semangat pengkajian alam (semangat ilmiah ) agar membuahkan pengetahuan sempurna dan kesadaran. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, 75. Al-Marbawi juga memahami bahwa mengetahui ilmu pengetahuan modern secara mendalam, dapat membantu mufasir dalam menemukan alternatif-alternatif makna yang lebih sesuai dengan Alquran. Nor Syamimi Mohd Dkk, “Scientific Exegesis in Malay Qur’anic Commentary” dalam Asian Social Science, Vol. 10, No. 10. 2014 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/1527306144?accountid=25704, tanggal 13-06- 2014, pukul 20.07 WIB), 240.

114 Doyle Paul Johnson menjelaskan bahwa salah satu tujuan mengapa Positivisme menerima sepenuhnya pandangan dunia ilmiah atau yang berdasar pada

analisis sains modern adalah untuk melahirkan suatu masyarakat dengan budaya penalaran akal budi yang (dianggap) benar sehingga unsur-unsur tahayul, ketakutan, kebodohan, paksaan dan konflik di tengah-tengah masyarakat akan hilang secara perlahan-lahan. Pandangan ini sangat mendasar dalam gagasan Positivisme Comte. Doyle Paul Johnson, 115 Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 80.

Mani’ ‘Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Penerj: Faisal Saleh dan Syahdianor (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 254-258. Inilah penyakit tercela yang menggerogoti

Jika penafsiran pada periode klasik atau sebelum era modern cenderung menuntut keberadaan iman terlebih dahulu untuk bisa masuk meyakini kebenaran realitas informasi Alquran sehingga sering kali cerita-cerita fiktif yang bersifat khayali atau transendental dengan muatan teologis hadir memperkuat atau membenarkan realitas yang diinformasikan Alquran, maka berbeda halnya jika menyelami Alquran dengan beranjak dari pengungkapan realitas Alquran dalam tinjauan sains modern. Luasnya wilayah yang diulas oleh Alquran, baik itu persoalan dalam wilayah metafisis dan fisis, secara tidak langsung Alquran telah memperlihatkan bahwa pada Alquran itu sendiri terdapat sisi-sisi yang membuka ruang yang sama bagi seluruh manusia untuk mengetahui, memahami, menyelidiki dan mengukur dimensi-dimensi yang “positif” tanpa perlu terlebih dahulu melandasi diri dengan iman. Manusia secara keseluruhan memiliki satu barometer ukur yang bersifat universal yaitu melalui pembuktian secara empiris dengan melakukan penyelidikan yang didasarkan pada pemahaman akal atas hasil tangkapan pancaindra sehingga dengan tolak ukur yang sama dari setiap manusia maka akan mungkin

ditemukan satu bukti kebenaran yang sama terhadap Alquran. 116 Inilah salah satu wujud dari teknis pembenaran proposisi yang di dasarkan

pada pengalaman dalam filsafat Positivisme-Empirisme. Langkah seperti ini sebelumnya pernah dilakukan oleh salah seorang orientalis Prancis yang bernama Maurice Bucaille. Bucaille mencoba membandingkan kebenaran Bible dengan Alquran dalam mengungkap persoalan-persoalan empiris pada alam dan memahami ayat-ayat pada Bible dan Alquran dengan pendekatan sains empiris, kemudian memberikan deskripsi-deskripsi dari ayat-ayat yang dibahas dalam

masyarakat Mesir pada waktu itu yang menurut ‘Abduh bukan bagian dari apa yang diajarkan Islam. Ibrahim Abu Bakar, “A Reflection on `Abduh’s Islamic Modernism and its Declining Factors” dalam Journal of Applied Sciences Research, 2012 (Diakses dari http://www.aensiweb.com/jasr/jasr/2012/4917-4921.pdf, tanggal 04-04- 2013, pukul 15.53 WIB), 4918. 116

Inilah yang sempat disebutkan oleh Nor Syamimi Mohd dan kawan- kawan bahwa upaya pengungkapan fakta-fakta secara ilmiah dari Alquran merupakan bagian dari nilai-nilai kemukjizatan yang dikandung Alquran. Nor Syamimi Mohd Dkk, “Scientific Exegesis in Malay Qur’anic Commentary” dalam Asian Social Science, Vol. 10, No. 10. 2014 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/1527306144?accountid=25704, tanggal 13-06- 2014, pukul 20.07 WIB), 237.

bahasa sains. 117 Langkah yang dilakukan Bucaille mengantarkannya pada kesimpulan bahwa Alquran adalah satu-satunya kitab suci

keagamaan yang memuat persoalan-persoalan tentang alam beserta fenomenanya dengan menunjukkan keserasian antara informasi yang

diceritakan Alquran dengan realitas empiris dan sains modern. Dengan kesimpulan tersebut, Maurice Bucaille mengakui bahwa Alquran benar-benar murni karya tuhan dan bukan karya manusia karena jika Alquran adalah karya manusia maka ia tidak akan lepas dari kesalahan dan ketidak serasian antara informasi ayat dengan realitas alam empiris dan sains modern.

Rotraud Wielandt menjelaskan pandangan ‘Abduh bahwa Alquran merupakan pengejawantahan bimbingan Allah terhadap manusia yang terkorelasi dengan tanda-tanda kekuasaannya pada alam. Selayaknya setiap manusia berusaha memahami bimbingan tersebut dengan memusatkan usaha mereka pada pencarian makna-makna Alquran melalui pembacaan tanda-tanda yang telah diletakkan-Nya pada alam, memahami hukum dan norma-norma yang tersimpan di belakangnya. Sikap ini merupakan langkah yang tepat untuk dilakukan dari pada seorang mufasir hanya disibukkan dengan persoalan dan perdebatan tata bahasa arab serta cerita-cerita mistis dalam memahami

Alquran. 118 Dalam aplikasi bahasa ilmiah sebagai argument dalam

menafsirkan ayat, secara umum mengandung beberapa ciri utama. Pertama, gaya bahasa yang dijadikan sebagai argument dalam menafsirkan ayat merupakan hasil telaah dan eksperimen yang telah dilakukan sebelumnya, baik langsung ataupun tidak langsung. Kedua, gaya bahasa yang dihadirkan bersifat hipotesis yang mengandung

117 Maurice Bucaille, The Qur’an and Modern Science (Diakses dari http://www.islamicbook.ws/english/english-017.pdf, tanggal 13-06-2014, pukul

16.05 WIB), 2-18. 118 Bagi ‘Abduh, di dalam Alquran tercakup bimbingan Allah untuk

menjadikan manusia mengenal alam. Oleh karena itu ‘Abduh meyakini bahwa dalam konteks tertentu Alquran sama sekali tidak bertentangan dengan hukum alam dan akal manusia yang berperan penting mengungkap makna-makna Alquran melalui pendekatan ilmiah pada alam. Rotraud Wielandt, “ Exegesis of the Qur’a> n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n. Editor: Jane Dammen McAuliffe, Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), 127-128. Ibrahim Abu Bakar, “A Reflection on `Abduh’s Islamic Modernism and its Declining Factors” dalam Journal of Applied Sciences Research, 2012 (Diakses dari http://www.aensiweb.com/jasr/jasr/2012/4917-4921.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul

15.53 WIB), 4917-4918.

hukum sebab akibat. Ketiga, gaya bahasa yang dihasilkan bersifat terbuka untuk diverifikasi melalui penyelidikan dan penemuan baru yang dirasa lebih tepat dan benar. Keempat, gaya bahasa yang dihadirkan penuh dengan muatan dan prediksi empiris sehingga mampu membuat prediksi atau ramalan tentang kejadian pada masa

yang akan datang. 119 Jadi, ketika Alquran menyebutkan “apabila langit terbelah” (surat al-Infit}a> 120 r (82) ayat 19), kemudian ditafsirkan

dengan “Allah membelah langit dengan kehendak dan kekuasaan-Nya” maka secara teologis penafsiran tersebut dapat diterima. Namun secara ilmiah, masih terdapat sisi lain dari ayat yang masih bisa dikejar dan digali lebih dalam lagi sehingga akan terkuak realitas yang bersifat empiris eksperimental dan mengandung hukum sebab akibat serta dapat diverifikasi secara terbuka bagi siapa saja yang ingin memverifikasinya. Misalnya seperti ‘Abduh yang menafsirkan “apabila langit terbelah” sebagai tabrakan antar planet yang disebabkan oleh hilangnya gaya gravitasi tiap-tiap planet sehingga

seluruh planet akan menjadi hancur. 121

C. Urgensi Tafsir Positivistik Model penafsiran Positivistik yang diterapkan ‘Abduh dalam Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, telah memberikan inspirasi dan warna baru dunia penafsiran Alquran. Tendensi penafsiran yang berusaha melandaskan deskripsi realitas ayat kepada hal-hal ataupun fenomena-fenomena yang berada di dalam wilayah empiris yang juga

didukung oleh kebenaran-kebenaran analisis ilmiah, 122 menjadi model

119 Komaruddin Hidayat menyebutkan bahwa metodologi ilmiah iptek secara umum mengandung keempat unsur tersebut. Bahasa ilmiah dalam memahami

Alquran secara substansi berusaha mengejar sisi-sisi yang mampu dideskripsikan dengan bahasa yang menjadikan kehendak tuhan terumuskan dalam hukum alam yang mengenal mekanisme sebab akibat yang memungkinkan siapapun untuk bisa mengkaji dan membuktikan secara eksperimental. Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2004), 100-101.

120 Surat al-Infit}a>

r (82) ayat 19; ْت َرَطَفْنا ُءآَمَّسلا اَذِا (Apabila langit terbelah). Gaya penafsiran seperti ini dapat dilihat dalam penafsiran ‘Abduh terkait

surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a> r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa> q (84) ayat 1. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma (Kairo: al- Ami@ riyyah, 1322 H), 5, 33 dan 49. 122

Bagi ‘Abduh, wahyu dan ilmu pengetahuan (sains) hanyalah dua cara yang digunakan untuk menyampaikan kebenaran dan antara keduanya dapat diintegrasikan. Detlev Kha> lid, “Ah}mad Ami@ n and the Legacy of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Islamic Studies, Vol 9, No. 1, Tanggal 27 Januari 2014 (Diakses dari Bagi ‘Abduh, wahyu dan ilmu pengetahuan (sains) hanyalah dua cara yang digunakan untuk menyampaikan kebenaran dan antara keduanya dapat diintegrasikan. Detlev Kha> lid, “Ah}mad Ami@ n and the Legacy of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Islamic Studies, Vol 9, No. 1, Tanggal 27 Januari 2014 (Diakses dari

1. Integrasi Alquran dan Sains Relasi antara kitab suci dan sains di Eropa, pernah mengalami

masa-masa kelam. Keberadaan paham Materialistik yang sempat berkembang di Eropa, memberikan efek yang negatif dalam

membentuk paradigma masyarakat dalam melihat hubungan kitab suci dan sains. 123 Kitab suci yang merupakan bagian pokok dari agama

dan sains sebagai hasil dari proses pengetahuan manusia dianggap sebagai dua unsur yang saling terpisah. Mereka menganggap bahwa

sains merupakan sebuah pengetahuan yang bersifat sekuler, 124 duniawi serta jauh dari unsur keagamaan. Sains juga dianggap sebagai faktor

dasar yang menentukan kemajuan dalam kehidupan dan peradaban

http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20832970.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=tr ue, tanggal 27-01-2014, pukul 15.52 WIB), 11.

123 Munculnya perhatian-perhatian sebagian orang dari masyarakat Eropa yang mencoba memperhatikan berbagai fenomena-fenomena alam pada masa itu

dinilai sebagai awal pengaruh paradigma Materialistik. Hal ini dibuktikan adanya upaya pembuktian ajaran-ajaran agama dalam kitab suci Kristen (Bible) yang kemudian menimbulkan pertentangan antara saintis dan agamawan ortodok. Upaya Galileo mempersoalkan bahwa bumi itu bulat adalah salah satu contoh paradigma Materialisme yang menyelimuti Eropa sehingga ajaran-ajaran agama Kristen yang seharusnya berada dalam wilayah pengimanan, justru mendapat penggugatan dari jamaahnya. Seng Piew Loo, “Islam, Science and Science Education: Conflict or Concord?” dalam Studies in Science Education, 2001 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/222856588?accountid=25704, tanggal 22-06- 2014, pukul 23.40 WIB), 45-50. 124

Mereka memandang segala sesuatu berdasarkan epistemologi Empirisme yang melihat realita sebagai kebenaran yang sesungguhnya. Brian W. Ogilvie, “The Science of Describing: Natural History in Renaissance Europe” dalam Science and Technology,

2006 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/225775522?accountid=25704, tanggal 17-06- 2014, pukul 20.38 WIB), 665.

manusia di dunia. 125 Sebaliknya, kitab suci dianggap sebagai faktor yang menyebabkan kemunduran. Agama dan kitab suci dipandang

telah mengekang ruang dan proses perkembangan pengetahuan manusia. Perkembangan sains cenderung terhambat oleh doktrin-

doktrin yang disampaikan oleh kitab suci. Ketika realitas sains yang dikemukakan oleh seorang ilmuwan (saintis) bertentangan dengan berita yang dibawa kitab suci atau doktrin agama, maka realitas sains dianggap sebagai suatu kekeliruan. Dalam sejarah masyarakat Kristen, hubungan antara kitab suci (Bible) dengan sains pernah sampai pada kondisi yang tidak lagi menunjukkan kedua hal tersebut berbeda dan terpisah, namun justru telah mengarah kepada sikap yang menunjukkan pertentangan antara kitab suci dan sains. Bahkan sebagian saintis terpaksa harus menjalani hukuman mati atau hukuman bakar hanya karena dia telah mengungkapkan sebuah penemuan sains

yang bertentangan dengan apa yang diberitakan kitab suci (Bible).

125 Ah{mad Fua> d Ba> tha> menyebutkan bahwa dalam peradaban Barat pernah berkembang sebuah paham Materialistik. Paham ini kemudian mempengaruhi

paradigma masyarakat Eropa pada waktu itu dalam melihat hubungan antara kitab suci dan sains. Akibat paham Materialistik tersebut, dalam masyarakat Barat mulai muncul kecenderungan untuk memisahkan sains dengan kitab suci. Mereka memiliki jargon bahwa sains dianggap sebagai penentu kehidupan dunia dan syarat dari terbentuknya sebuah peradaban. Oleh karena itu sekularisasi antara sains dan agama dianggap sebagai langkah yang urgen dilakukan, karena sains itu sendiri dipandang bersifat sekuler, duniawi dan tidak bersifat keagamaan. Ah{mad Fua> d Ba> tha> , Rahi@ q al-‘Ilm wa al-I@ ma>n, 25. Paham inilah yang secara tidak langsung memunculkan sekularisari antara agama dan negara di beberapa negara Eropa, seperti Italia. David S. Peterson, “Out of the margins: Religion and the Church in Renaissance Italy” dalam

Renaissance Quarterly, 2000 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/222337111?accountid=25704, tanggal 23-05- 2014, pukul 22.45 WIB), 837-838.

126 Maurice Bucaille menjelaskan bahwa di dunia Kristen selama beberapa abad, para pemegang otoritas agama telah melakukan penentangan terhadap

perkembangan sains yang didasarkan pada inisiatif mereka sendiri dan bukan berlandaskan kepada kitab suci mereka. Terhadap mereka yang memajukan sains, para pemegang otoritas agama Kristen melancarkan tindakan-tindakan yang memaksa para saintis untuk menyembunyikan diri mereka dan kebenaran yang mereka bawa jika para saintis ingin terhindar dari hukuman mati bakar, kecuali jika mereka memperbaiki sikap dan kesimpulan sains yang mereka bawa atau jika mereka memohon ampun dan mengakui bahwa mereka telah berbuat salah. Kasus seperti ini pernah dialami oleh Galileo Galilie yang harus mengalami hukum mati bakar hanya karena ia mencoba melanjutkan penyelidikan Copernicus tentang peredaran bumi. Upaya yang dilakukan Galileo dianggap sebagai kekeliruan dalam menafsirkan ayat- ayat Bible sehingga apa yang ditemukan berdasarkan realitas penyelidikan ilmiah

Dalam perkembangan masyarakat Islam, cara pandang sekularistik antara Alquran dan sains ternyata juga pernah berkembang, meskipun tidak seperti yang terjadi di Barat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ah{mad Fua> d Ba> tha> bahwa munculnya sekelompok orang yang cenderung sekularistik di tengah- tengah umat Islam pasca berkembangnya paham Materialistik dan Sekularistik di Eropa, telah menyebabkan terjadinya pemisahan antara aspek materi dan rohani dari Alquran. Kecenderungan mereka lebih dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan dalam melihat relasi antara Alquran dan sains. Ah{mad Fua> d Ba> tha> juga menambahkan bahwa keyakinan seperti ini merupakan sebuah bentuk kekeliruan yang telah menyebabkan terhentinya perkembangan sains dalam diri umat Islam, sehingga kemampuan berkreatifitas dan penyelidikan-penyelidikan

ilmiah yang bersifat baru juga ikut menjadi lumpuh. 127 Alquran pada dasarnya mengandung hal-hal yang bisa dipahami

oleh manusia karena Alquran itu sendiri turun untuk ditujukan bagi seluruh manusia. Di samping itu, manusia juga dituntut menggunakan seluruh kemampuan yang dimilikinya untuk menggali dan memahami

maksud yang terkandung di dalamnya, 128 walaupun tidak seluruh maksud ayat dapat diketahui secara pasti. Meskipun demikian, ada

dimensi-dimensi tertentu dari informasi Alquran yang membuka ruang bagi manusia untuk lebih memanfaatkan metode pengetahuan yang

Galileo yang berbeda dengan keterangan Bible dianggap sebagai sebuah kesalahan fatal yang harus dihukum. Maurice Bucaille, La Bible Le Coran Et La Science Bibel Quran dan Sains Modern. Penerj. H. M. Rasjidi. (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), 106. Seng Piew Loo, “Islam, Science and Science Education: Conflict or Concord?” dalam Studies in Science Education, 2001 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/222856588?accountid=25704, tanggal 22-06- 2014, pukul 23.40 WIB), 45-50. Wood. C. G, “Renaissance Genius: Galileo Galilei & His Legacy to Modern Science” dalam Choice Science and Technology, Vol. 47. 2010 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/225677244?accountid=25704, tanggal 24-05- 2014, pukul 01.03 WIB), 1091.

127 Ah{mad Fua> d Ba> tha> , Rahi@ q al-‘Ilm wa al-I@ ma>n, 25. 128 Alquran pada dasarnya meransang manusia untuk memahami secara

mendalam hal-hal yang diberitakan dari ayat-ayat Alquran itu sendiri. Bahkan Ahmad Mahmud Sulaiman lebih memperjelas lagi bahwa Alquran telah memberikan penekanan penelitian yang bersifat ilmiah. Hal itu dilatarbelakangi oleh banyaknya ayat-ayat yang meminta manusia untuk berfikir dan menggunakan akal mereka guna mengungkap rahasia alam semesta dan mengungkap rahasia penciptaan. Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains, Mengungkap Berita-Berita Ilmiah al-Quran, Penerj. Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 30.

bersifat empiris, misalkan ketika Alquran bercerita tentang alam semesta dan fenomena-fenomena yang melingkupinya.

Dalam konteks usaha memahami ayat-ayat ini, secara tidak langsung manusia harus bersentuhan dengan alam dan mengetahui

secara ekplisit segala hal yang berkaitan dengan alam dan fenomenanya. Proses dan upaya untuk membaca dan mengetahui realitas alam beserta fenomenanya juga telah dilakukan secara kusus dalam metode-metode penelitian sains, dan dalam perkembangannya metode-metode tersebut telah dispesifikasikan ke dalam berbagai disiplin keilmuan tertentu.

Ahmad Mahmud Sulaiman berpandangan bahwa Alquran sebagai kitab suci dalam Islam pada dasarnya mengandung banyak fakta ilmiah, meskipun Alquran itu sendiri tidak dimaksudkan sebagai buku ilmiah. Salah satu penyebab dari munculnya stigma negatif terkait pertentangan antara kitab suci keagamaan dengan sains terletak pada proses pembacaan atau penafsiran Alquran itu sendiri. Ketika proses penafsiran yang dilakukan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat yang mengandung fakta-fakta ilmiah tidak memanfaatkan sains sebagai salah satu sarana dalam memahami ayat, maka besar kemungkinan penafsiran yang dihasilkan akan berbeda dari kesimpulan atau realitas yang ditunjukkan oleh sains. Dari situlah kemudian secara perlahan-lahan muncul stigma negatif terhadap sains, bahkan terkadang sampai kepada justifikasi bahwa apa yang ditunjukkan oleh sains bertentangan dengan Alquran. Cara pandang seperti ini kemudian memicu perbedaan pendapat dikalangan ulama Islam sendiri sehingga ada yang setuju penafsiran menggunakan pendekatan sains (secara ilmiah), dan ada juga yang menolak hal

tersebut dengan keras. 129 Harun Nasution juga menjelaskan, hal lain yang ikut melatarbelakangi munculnya pandangan bahwa antara

Alquran dan sains saling bertentangan adalah anggapan yang menyebutkan ketidakserasian antara Alquran dan sains sehingga tidak

mungkin dua sifat yang berbeda dipersatukan. 130 Alquran sebagai

129 Inilah realitas lapangan yang pernah terjadi di tengah-tengah umat Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Mahmud Sulaiman bahwa pada abad-abad

pertengahan telah terjadi kekeliruan umat dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan fakta-fakta ilmiah sehingga kemudian berujung pada konflik terhadap sains seiring berkembangnya sains itu sendiri. Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains, Mengungkap Berita-Berita Ilmiah al-Quran, 12.

130 Harun Nasution menjelaskan bahwa agama yang mengandung ajaran- ajaran absolut telah lumrah dipandang bersifat statis. Hal itu dianggap tidak sejalan 130 Harun Nasution menjelaskan bahwa agama yang mengandung ajaran- ajaran absolut telah lumrah dipandang bersifat statis. Hal itu dianggap tidak sejalan

Sikap Islam sebagai sebuah agama terhadap sains, secara umum tidak berada dalam lingkaran konflik, pemisahan diri ataupun permusuhan dengan sains. Sikap Islam justru berdiri di atas penyatuan dua unsur tersebut, karena memang kedua unsur itu sama-sama berasal dari zat yang satu, Allah Swt. Begitu juga jika merinci lagi hubungan antara Alquran dan sains. Maurice Bucaille menjelaskan sekaligus mengakui bahwa pada intinya Alquran telah mengajak umat manusia untuk memperdalam sains. Alquran telah memuat bermacam-macam pemikiran tentang fenomena alam dengan menyertakan perincian yang menerangkan hal-hal yang secara otomatis cocok dengan sains modern. Maurice Bucaille juga menyebutkan bahwa sikap yang ditunjukkan Alquran terhadap sains, tidak satupun serupa dengan sikap yang ditunjukkan dalam kitab suci agama Yahudi dan Kristen. Tuntunan-tuntunan yang diberikan Alquran telah hadir menggiring rohani manusia sehingga memiliki sikap ketaatan dan jiwa keagamaan yang kuat tanpa menghalangi mereka untuk menjadi seorang yang mukmin dan sekaligus pandai. Hal itu menunjukkan bahwa dalam

Islam sains hadir sebagai saudara kembar dari agama. 131 Mah{mu> d Shukri@ al-Alu> si@ juga menegaskan bahwa Islam

sebenarnya telah memberikan apresiasi atas sikap dan usaha umat Islam dalam memperdalam ilmu pengetahuan (sains). Di samping hal itu mampu memberikan manfaat secara langsung bagi kehidupan manusia di dunia, aktivitas memperdalam sains juga akan membantu

dengan sains yang memiliki sifat dinamis. Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), 291.

131 Bagi Maurice Bucaille, Islam dan sains merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Islam telah memberikan dorongan kepada manusia untuk

memperdalam sains. Sikap Islam yang lebih terbuka dalam melihat sains tidak hanya didorong oleh Alquran, melainkan hadis Nabi juga menekankan hal serupa dan menegaskan untuk mencari dan menguasai ilmu pengetahuan. Hal itu justru sangat berbeda dari sikap yang ditunjukkan dalam agama Yahudi dan Kristen. Maurice Bucaille, La Bible Le Coran Et La Science, 106-107. Maurice Cucaille juga menunjukkan beberapa ayat yang keterangan di dalamnya sama sekali tidak bertentangan dengan sains modern. Maurice Bucaille, The Qur’an and Modern Science (Diakses dari http://www.islamicbook.ws/english/english-017.pdf, tanggal 13-06-2014, pukul 16.05 WIB), 1-13.

manusia memberikan kejelasan dalam proses memahami Alquran yang menyinggung hal-hal terkait fakta-fakta dan fenomena alam semesta. Misalnya saja ketika Alquran berbicara persoalan bintang, planet, matahari ataupun tentang proses turunnya hujan yang mau tidak mau menjadikan mufasir harus bersinggungan atau merujuk kepada realitas

ilmiah ilmu Astronomi dan ilmu Meteorologi. 132 Begitu juga ketika Alquran berbicara tentang proses turunnya hujan yang menyebabkan

tanaman menjadi hidup, tumbuh hingga bisa menghasilkan buah atau ketika Alquran menyuruh manusia memperhatikan gunung-gunung beserta struktur dan kelakuannya, menjadi bahasan yang mengharuskan manusia untuk berkomunikasi dengan ilmu Biologi,

ilmu Geologi dan ilmu Fisika. 133 Informasi dan berita tentang alam yang disuguhkan Alquran

pada dasarnya masih berupa indikasi-indikasi yang bersifat global. Di sinilah ruang yang terbuka bagi manusia untuk mengetahui wilayah-

wilayah yang lebih spesifik dari informasi global yang disampaikan Alquran dengan mengamati dan mengetahui realitas empiris pada alam. Di samping berangkat dari ilmu bahasa dalam menafsirkan Alquran, mengetahui fakta-fakta tentang alam secara ilmiah melaui sains dan kemudian menjadikannya sebagai pendekatan dalam memahami ayat, maka langkah tersebut akan menjadikan mufasir memperoleh gambaran real dari realitas yang diungkapkan Alquran. Langkah tersebut juga dinilai mampu meminimalisir kekeliruan dari penafsiran yang dihasilkan ketika ayat sebagai sebuah proposisi, diverifikasi ke dalam realitas empiris (alam nyata). Inilah deskripsi yang mencerminkan sebuah harmonisasi antara Alquran dan sains dimana ketika kedua unsur tersebut dimanfaatkan dalam relasi yang saling terintegrasi maka akan memberikan pemahaman yang lebih sempurna terhadap Alquran.

132 Alquran memang tidak memberikan spesifikasi keterkaitan Alquran terhadap keilmuan tertentu. Namun begitu banyak realita-realita alam yang

membuka ruang bagi masuknya berbagai sains untuk membantu memahami maksud dari ayat-ayat Alquran tersebut. Misalanya ilmu Astronomi dan Meteorologi. Mah{mu> d Shukri@ al-Alu> si@ , Ma> Dalla ‘Alaihi al-Qur’a>n, cet. 3 (Beirut: al-Maktab al- Isla> mi@ , 1997), 12-13.

133 Salman Harun, Mutiara al-Quran, Aktualisasi Pesan al-Quran dalam Kehidupan (Ciputat: Logos, 2004), 94.

2. Universalitas Pemahaman Alquran Tuntunan Alquran bagi manusia bersifat universal. Tidak

hanya berlaku untuk internal umat Islam, melainkan juga ditujukan bagi seluruh umat manusia. Dalam konteks manusia yang telah

mengikrarkan diri dalam keyakinan utuh terhadap Islam, menerima kebenaran dari informasi beserta realita yang dibawa Alquran menjadi sesuatu keniscayaan. Namun ketika Alquran harus berhadapan dengan mereka yang berada di luar doktrin ke-Islaman, menerima kebenaran informasi dan realita yang diberitakan Alquran menjadi hal yang sulit dilakukan. Hal ini merupakan titik balik dari apa yang dituju Alquran

yaitu menjadi petunjuk yang universal bagi seluruh manusia. 134 Dalam konteks ini, penafikkan kebenaran informasi Alquran

bagi mereka yang mengingkarinya menjadi tantangan tersendiri yang harus diselesaikan oleh umat Islam secara umum, terkhusus bagi para mufasir. Muh{ammad ‘Abduh sebagai mufasir yang hidup pada abad modern, telah memperhatikan persoalan tersebut. ‘Abduh melihat peluang bagaimana Alquran yang telah digali makna dan maksudnya melalui peran aktif mufasir, bisa diterima oleh mereka yang mengingkari kebenaran Alquran karena landasan keyakinan keberagamaan yang berbeda. Salah satu peluang yang dilihat ‘Abduh adalah dengan menghadirkan penafsiran yang sesuai dengan standar dasar kebenaran manusia yaitu akal yang di dasari pengamatan dan penyelidikan. Manusia secara umum, telah dianugrahi oleh Allah akal dan pancaindra sebagai modal dasar dalam mengetahui dan meyakini sesuatu. ‘Abduh berpandangan bahwa kemampuan manusia untuk melihat dan mengetahui sesuatu yang bersifat empiris, menjadi basis umum bagi seluruh manusia untuk meyakini sesuatu yang dianggap benar dan bisa diterima. Kekuatan pancaindra mengetahui hal-hal yang bersifat empiris menjadi barometer pembenaran untuk menilai

kebenaran sebuah realitas. 135

134 Caner Taslaman menyebutkan bahwa firman Allah ditujukan kepada seluruh umat manusia. Artinya tujuan Alquran bersifat universal. Namun dalam

konteks kekinian, telah terjadi transisi paradigma yang sebelumnya beranjak dari pendekatan teologis menjadi paradigma sains. Bahkan agama dan kitab suci juga diukur dengan sains. Untuk itu, bagi orang-orang yang memandang segala sesuatu berdasarkan sains, cara pandang yang bersifat teologis terhadap Alquran tidak sepenuhnya dapat diterima sehingga Alquran tidak lagi secara aktif menunjukkan keuniversalitasannya. Caner Taslaman, The Quran Unchallengeable Miracle, 17-18.

135 ‘Abduh menyebutkan bahwa akal bagi manusia dalam doktrin keislaman memiliki kedudukan yang tinggi. Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan sasaran

Paradigma Materialisme yang pernah menyelimuti bangsa Eropa sekitar abad ke 16 telah mengakibatkan pemisahan hal-hal yang bersifat fisik dan non fisik, bahkan aplikasi tersebut juga diterapkan pada agama. Sebagian mereka bahkan cenderung tidak mengakui hal- hal yang berada pada wilayah transendental hanya karena hal itu tidak

mampu diketahui oleh pancaindra. 136 Materialisme memunculkan era Renaissance, yaitu kebangkitan semangat ilmiah Eropa. Begitu

kuatnya semangat ilmiah bangsa ini, menjadikan mereka cenderung melandaskan barometer kebenaran segala sesuatu kepada fakta-fakta bersifat empiris-ilmiah.

Dalam menghadapi tipikal manusia seperti ini, peran penafsiran yang kuat menunjukkan hal-hal empiris dengan dilandasi sains menjadi diperlukan. Bagi mereka yang mengingkari kebenaran Alquran karna landasan keimanan yang berbeda, tafsir Positivistik menjadi salah satu solusi untuk membuktikan kebenaran Alquran. Tafsir Positivistik yang diterapkan ‘Abduh dalam penafsiran Alquran bukan lagi mengusung misi dasar Positivisme murni yang berusaha menentang agama, namun justru sebaliknya bahwa tafsir Positivistik berusaha menunjukkan keintegrasian antara ilmu-ilmu alam modern (sains) dengan agama. Penerapan paradigma Positivistik dalam proses penafsiran Alquran, secara tidak langsung mengindikasikan kritikan ‘Abduh terhadap Positivisme murni yang cenderung menafikkan dan menentang agama

penyelidikan akal. Akal merupakan sarana pembuka untuk mengetahui sesuatu yang menjadikan penyelidikan sebagai sasaran sekaligus pondasi pengetahuan. Pengetahuan manusia secara alami berasal dari apa yang diketahui pancaindra, seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Hal ini menjadi saranan yang disenangi dari proses pengetahuan manusia. Muh{ammad ‘Abduh, al- Isla>m wa al-Nas}ra>niyah Ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyah (Kairo: al-Mana>r, 1323 H), 87-88.

136 Howard R. Turner menjelaskan bahwa pada abad ke 13, filosof Roger Bacon mencoba menekankan penerapan penelitian ilmiah Metematika yang teliti

terhadap fenomena alam dan juga validasi terhadap hasilnya. Tiga abad kemudian (abad ke 16), rekan senegara yang juga senama dengannya yaitu Francis Bacon juga mendorong metode-metoda rasional-empiris dalam penelitian ilmiah yang dianggap dapat mengurangi kesengsaraan manusia. Pemikiran Bacon kemudian terus berkembang menjadi paradigma umum masyarakat Eropa (Materialisme) sekaligus menjadi jantung revolusi Ilmiah pasca abad ke 16. Paradigma ini kemudian juga berimbas pada pemisahan antara agama dan sains. Hal ini menjadi jurang pembeda yang mencerminkan karakteristik wajah sains antara dunia Barat dengan dunia Islam. Howard R. Turner, Science in Medieval Islam, 219.

melalui kebenaran-kebenaran sains. 137 Tafsir Positivistik yang berusaha menafsirkan ayat-ayat tentang alam semesta dengan

melandaskan penafsirannya kepada bukti-bukti empiris yang juga dikuatkan oleh kebenaran sains, menjadi sebuah penafsiran yang

membuka ruang bagi setiap manusia untuk mengukur sisinya yang positif, tanpa perlu melandaskan diri sebelumnya kepada keimanan yang utuh terhadap doktrin-doktrin keislaman dan Alquran. Sayyed

Ah{mad Kha> 138 n berpandangan bahwa, di dalam Alquran telah memuat berbagai macam persoalan keilmiahan yang memungkinkan bagi siapa

saja untuk membuktikannya melalui kebenaran sains, bahkan hal itu merupakan bagian dari tantangan yang dihadirkan oleh Alquran kepada seluruh manusia. Dengan demikian melalui panafsiran Positivistik, setiap orang (baik yang meyakini kebenaran Alquran atau tidak), bisa menerima informasi yang diberitakan oleh Alquran dengan standar umum kebenaran manusia yaitu akal dan pancaindra, sehingga menjadikan penafsiran yang dihasilkan mufasir menjadi lebih universal.

3. Stimulus Pengembangan Ilmu Pengetahuan Pasca abad pertengahan, umat Islam mulai mengalami

kemuduran. Kejumudan berpikir dan keengganan untuk membuka diri kepada kondisi yang lebih baru, berdampak kepada peradaban Islam yang lebih terlihat statis. M. Amin Abdullah mengutip pandangan Fazlur Rahman yang menjelaskan bahwa adanya sikap yang berusaha

137 M. Quraish Shihab mengutip penjelasan Muh{ammad Rashi> d Ridha> yang menjelaskan bahwa salah satu tujuan ‘Abduh memberikan penafsiran-penafsiran

yang mengeksplorasi sebagian ayat-ayat Alquran melalui paradigma dan realita- realita ilmiah adalah untuk meyakinkan orang-orang yang mengingkari hakekat keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Abduh memahami tingkatan audience yang berbeda-beda dan ‘Abduh memiliki cara tersendiri untuk menghadapi audience dengan tipikal masing-masing. M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran, Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006), 266.

138 Rotraud Wielandt menjelaskan pandangan Sayyed Ah{mad Kha> n yang menjelaskan bahwa tujuan diturunkannya Islam sebagai agama agar Islam mampu

dipahami oleh seluruh manusia dan kekuatan utama manusia dalam memahami segala sesuatu adalah akal yang dilandasi realitas empiris. Oleh karenanya, agar Alquran bisa dipahami secara universal, maka Islam harus diposisikan dalam wilayah empiris sehingga mampu dijangkau akal dan ilmu pengetahuan manusia. Oleh karena itu suatu hal yang mustahil jika apa yang dibawa Alquran bertentangan dengan sains manusia. Rotraud Wielandt, “Exegesis of the Qur’a> n” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n, 127.

memisahkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu sekuler, telah melemaskan dan mematikan semangat keilmuan yang kritis-diskursif

di dalam diri umat Islam. 139 Hal itu justru bertolak belakang dengan Eropa yang begitu gesit dalam memperbaiki kondisi peradaban mereka, sehingga pasca Renaissance bangsa Eropa tampil ke pentas

dunia sebagai penguasa yang mendominasi pengaruh peradaban.

Degradasi peradaban yang dialami umat Islam secara umum, mulai mendapat perhatian para pembaharu Islam pada abad ke 18. Munculnya al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Sayyed Ahmad Khan, Muh{ammad ‘Abduh dan Muh{ammad Rasyid Ridha dan lain sebagainya, tidak dapat dilepaskan dari kondisi historis pada masa itu. Mereka kemudian mulai melakukan kritikan dan memperbaiki paradigma masyarakat Islam. Salah satu aspek utama yang mendapat perhatian kaum pembaharu abad ke 18 adalah perkembangan keilmuan.

Dalam pandangan Muh{ammad ‘Abduh, kekosongan otak dari ilmu pengetahuan dan kehampaan jiwa dari agama serta dominasi nafsu dalam diri setiap individu, menjadi faktor utama terjebaknya peradaban umat dalam kondisi statis, bahkan degradasi. Sikap taqlid telah mematikan semangat dan perhatian umat terhadap budaya

keilmuan yang kritis-diskursif. 140 Bagi ‘Abduh, permasalahan tersebut hanya dapat diselesaikan dengan memperkuat basic keilmuan dan

memperkokoh nilai-nilai agama dalam diri setiap individu umat.

139 M. Amin Abdullah mengutip pandangan Fazlur Rahman yang menjelaskan bahwa konsepsi al-Ghazali dalam memisahkan secara tegas antara ilmu-

ilmu agama di satu pihak dengan ilmu-ilmu sekuler di pihak lain secara perlahan tapi pasti, telah mematikan dan melemaskan semangat keilmuan yang kritis-diskursif dalam diri umat Islam. Amin Abdullah juga mengutip pendapat Roger Geraudi yang menilai sikap tersebut sebagai bentuk penolakan umat Islam terhadap pemikiran yang kreatif. M. Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Filsafat Islam (Diakses dari http://digilib.uin-suka.ac.id/269/1/02.%20Amin%20Abdullah%20- %20ASPEK%20EPISTEMOLOGIS%20FILSAFAT%20ISLAM.pdf, tanggal 15-07- 2013, pukul 14.04 WIB), 13.

140 Muh{ammad ‘Abduh memandang bahwa ketiga unsur tersebut telah menyebabkan kebenaran menjadi tertutup oleh kebatilan dan memunculkan

kepercayaan yang bertentangan dengan nilai-nilai pokok dalam agama. Muh{ammad ‘Abduh, al-Isla>m wa al-Nas}ra>niyah, 125-126. Nurizam Baharum, “Pengaruh Reformasi Pendidikan Muhammad Abduh” dalam Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV, 2011 (Diakses dari http://www.ukm.my/nun/Artikel%20EDITED%20OK%20%28PDF%29/51%20392- 399%20Nurizan.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 16.31 WIB), 393.

Memadukan kekuatan ilmu pengetahuan dan agama dinilai mampu menggiring peradaban umat Islam untuk kembali bangkit menuju

kejayaan. 141 Muh{ammad al-Ghazali berpandangan bahwa Alquran telah mengajak manusia untuk memperhatikan ilmu pengetahuan.

Banyaknya ayat Alquran yang menyuruh manusia untuk berfikir, secara substansi mengisyaratkan penguasaan ilmu pengetahuan. 142

Harun Nasution juga berpandangan bahwa sumber agama adalah wahyu, sedangkan sumber dari ilmu pengetahuan adalah hukum alam (kosmos). Kedua hal tersebut sama-sama bersumber dari zat yang satu, yaitu Allah. Begitu juga dengan ayat-ayat Alquran yang bercerita tentang alam semesta, ketika manusia berusaha memahaminya, secara tidak langsung telah meniscayakan manusia untuk memperhatikan,

mempelajari dan meneliti alam sekitar beserta fenomenanya. 143 Hal itu mengisyaratkan bahwa pengetahuan tentang alam semesta (alam

empiris) tidak dapat dikesampingkan ketika seseorang masuk memahami ayat-ayat Alquran tentang alam secara utuh.

Langkah seperti ini ternyata telah terlebih dahulu dipahami Muh{ammad ‘Abduh pada masa hidupnya. Sebagaimana yang dijelaskan Ignaz Goldziher dalam aspek keterkaitan Alquran dengan ilmu pengetahuan alam (sains), Muh{ammad ‘Abduh telah menjelaskan pandangan dasar bahwa pada substansinya Alquran tidak diturunkan semata-mata guna mengupas persoalan-persoalan ilmu pengetahuan alam (sains), namun adanya ayat-ayat yang bercerita tentang alam semesta dimaksudkan agar manusia dapat melihat dan memahami keindahan beserta keagungan ciptaan-ciptaan Allah sebagai hikmah

141 Muh{ammad ‘Abduh, al-Isla>m wa al-Nas}ra>niyah, 154. Itulah mengapa kemudian ‘Abduh berusaha melakukan modernisasi di lembaga-lembaga pendidikan

Islam, terutama di Mesir tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman dalam pendidikannya. H. Sahrah, “Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh Sebagai Strategi Modernisasi” (Diakses dari http://idb3.wikispaces.com/file/view/rk3018.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 14.46 WIB), 4-10.

142 Muh{ammad al-Ghaza> li@ , Kaifa Nata’a>mal Ma’a al-Qur’a>n (Kairo: Nahd{ah Mis{r, 2005), 43.

143 Harun Nasution menyebutkan bahwa ulama-ulama Islam zaman klasik nampaknya sudah menyadari bahwa untuk memahami ayat-ayat Alquran yang

bercerita tentang alam, meniscayakan manusia untuk memperhatikan fenomena- fenomena alam. Hal tersebut kemudian juga diikuti oleh tindakan mempelajari dan meneliti segala yang berkaitan tentang alam. Dari sanalah muncul sebuah pemahaman dan mengamalan nilai-nilai Alquran secara utuh dan sempurna. Harun Nasution, Islam Rasional. 298.

dari kekuasaan Allah. Ignaz Goldziher juga menambahkan bahwa inilah bagian hikmah yang disampaikan Alquran yang mendorong manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu alam dan melakukan

penyelidikan terhadapnya. 144

Dalam mencapai visi membangkitkan kembali semangat ilmu pengetahuan di dalam diri umat Islam, Muh{ammad ‘Abduh telah menjadikan tafsir Alquran sebagai sarana untuk menyampaikan ide dan pemikirannya kepada umat. Gaya penafsiran ‘Abduh yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah terhadap sebagian ayat Alquran dijadikan sebagai salah satu langkah kongkrit dalam meminimalisir sikap skeptis dan menstimulus semangat umat terhadap ilmu pengetahuan dan perkembangan sains modern. Hal ini diungkapkan oleh ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib bahwa Muh{ammad ‘Abduh telah berusaha memperbaiki kebodohan umat (terhadap ilmu pengetahuan) sebagai gerakan pembaharuannya melalui sarana tafsir Alquran yang dijadikan sebagai sandaran dan pijakan dalam memperbaiki budaya umat. Al- Muh{tasib juga berpandangan tafsir yang dihasilkan ‘Abduh terhadap sebagian ayat-ayat Alquran bukanlah menjadi tujuan bagi ‘Abduh namun hanya sebagai alat untuk menyuguhkan pemikiran dan ide-ide

pembaharuanya. 145 Misalnya saja ketika Muh{ammad ‘Abduh dalam

144 Ignaz Goldziher melandaskan pandangannya kepada pandangan ‘Abduh terhadap ilmu pengetahuan yang juga kemudian dikuatkan oleh dorongan beberapa

ayat Alquran yang mendorong manusia untuk mempelajari ilmu pengetahuan alam dan memperhatikan alam beserta fenomenanya seperti yang terdapat dalam surat al- Baqarah (2) ayat 28-29 dan ayat 164. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@ r al-Isla>mi, 378-379.

145 ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib menjelaskan bahwa ‘Abduh menyadari akan kemunduran umat Islam yang semakin hari semakin mendekati

puncak kebodohan dan budaya itu cenderung mengakar. Di samping itu, ‘Abduh juga melihat kecenderungan umat yang begitu kuat berpegang secara sempit kepada hukum-hukum yang dijelaskan Alquran. Oleh karena itu ‘Abduh berusaha memperbaiki kondisi umat Islam dan menstimulus semangat umat untuk kembali mempelajari dan mengembangkan semangat keilmuan melalui penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran. Di sinilah dipahami kemudian oleh ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib bahwa tafsir Alquran hanya sebagai alat bagi ‘Abduh untuk menyadarkan umat tentang kondisi dan posisinya di tengah-tengah perkembangan peradaban saat itu. ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@ r fi@ al-‘As}r al-Rahin (‘Amma>n, Yordania: Jam’iyyah ‘Ama>l al-Mut}a>bi’ al-Ta’a>wuniyah, 1402 H / 1982 M), 125. Berbagai solusi kemudian diusahakan ‘Abduh dalam merespon kondisi degradasi tersebut secara nyata. Ibrahim Abu Bakar, “A Reflection on `Abduh’s Islamic Modernism and its Declining Factors” dalam Journal of Applied Sciences Research, 2012 (Diakses dari puncak kebodohan dan budaya itu cenderung mengakar. Di samping itu, ‘Abduh juga melihat kecenderungan umat yang begitu kuat berpegang secara sempit kepada hukum-hukum yang dijelaskan Alquran. Oleh karena itu ‘Abduh berusaha memperbaiki kondisi umat Islam dan menstimulus semangat umat untuk kembali mempelajari dan mengembangkan semangat keilmuan melalui penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran. Di sinilah dipahami kemudian oleh ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib bahwa tafsir Alquran hanya sebagai alat bagi ‘Abduh untuk menyadarkan umat tentang kondisi dan posisinya di tengah-tengah perkembangan peradaban saat itu. ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@ r fi@ al-‘As}r al-Rahin (‘Amma>n, Yordania: Jam’iyyah ‘Ama>l al-Mut}a>bi’ al-Ta’a>wuniyah, 1402 H / 1982 M), 125. Berbagai solusi kemudian diusahakan ‘Abduh dalam merespon kondisi degradasi tersebut secara nyata. Ibrahim Abu Bakar, “A Reflection on `Abduh’s Islamic Modernism and its Declining Factors” dalam Journal of Applied Sciences Research, 2012 (Diakses dari

sesuatu yang bersifat fisik dan non fisik, yaitu demi langit yang mempunyai buru>j, dan demi hari yang dijanjikan serta demi yang

menyaksikan serta disaksikan. Secara umum, dari penafsiran ‘Abduh tentang ketiga ayat tersebut, ‘Abduh ingin menyampaikan pemikirannya bahwa dalam ayat ini Allah telah bersumpah demi sesuatu yang telah diciptakannya dan mengisyaratkan tentang alam yang terbagi ke dalam dua dimensi yaitu dimensi fisis (nyata) dan dimensi metafisis (ghaib). Langit dan bintang-bintang termasuk bagian dari dimensi fisis dan dapat disaksikan oleh mata, sedangkan dalam pembahasan langit tersebut, terdapat pula aspek lain yang bersifat metafisis (ghaib) yang tidak dapat diketahui oleh pancaindra seperti hakekat dari bintang-bintang dan penghuni-penghuni yang berada di dalamnya. Hal ini merupakan sesuatu yang berada di luar jangkauan pancaindra manusia. Model sumpah yang dihadirkan Allah dalam ayat ini dimaksudkan agar manusia mampu mengambil pelajaran dan pengetahuan dari alam sekitar manusia dan dari apa yang tersembunyi darinya. ‘Abduh Juga menambahkan bahwa dalam ayat- ayat tersebut terkandung sebuah tujuan yang mengharuskan manusia mengamati sisi-sisi empiris dari realitas fisis yang diungkapkan oleh

ayat. 147

http://www.aensiweb.com/jasr/jasr/2012/4917-4921.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 15.53 WIB), 4918-4920. 146 Surat al-Buru> j (85) ayat 1-3:

∩⊂∪ 7Šθåκô¶tΒuρ 7‰Ïδ$x©uρ ∩⊄∪ ÏŠθããöθpRùQ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ ∩⊇∪ Ælρçã9ø9$# ÏN#sŒ Ï™!$uΚ¡¡9$#uρ Demi langit yang mempunyai al-buru>j (gugusan bintang), dan hari yang

dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. 147 Penjelasan ini dijelaskan oleh ‘Abduh ketika menjelaskan penafsiran

surat al-Buru> j (85) ayat 1-3. Dalam ayat 1 dari sirat al-Buru> j (85) ‘Abduh menjelaskan bahwa dari sumpah Allah terhadap langit menggambarkan bahwa langit dan bintang-bintang merupakan benda-benda yang dapat diamati dan disaksikan oleh penglihatan manusia, namun di balik itu juga terdapat hal-hal yang tidak dapat diketahui manusia seperti hakikat dari bintang-bintang dan penghuni-penghuninya. Begitu juga dengan sumpah Allah dalam ayat ke 2 bahwa ِد ْوُع ْو َمْلا ِم ْوَيْلَا (demi hari yang dijanjikan) juga merupakan bagian dari hal yang tidak diketahui manusia, namun manusia dapat megetahui bahwa hari tersebut pasti akan datang suatu saat nanti. Kemudian dalam ayat 3 dari surat ini Allah juga bersumpah dengan menyebutkan

ٍدِھاَش َو (demi yang mempunyai penglihatan) dan ٍد ْوُھْشَم (yang dapat disaksikan oleh penglihatan). Menurut ‘Abduh, hal ini mengandung maksud untuk menarik perhatian

manusia tentang keagungan dan kebesaran-Nya melalui penggambaran dari sesuatu

Terkhusus ayat-ayat yang berkaitan dengan alam semesta, manusia secara umum sulit untuk bisa memahami maksud yang disampaikan ayat seutuhnya tanpa mengamati realitas alam raya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syed Muh{ammad Naquib al-Attas bahwa pada dasarnya ilmu terbagi kepada dua bagian, yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah dan ilmu yang diperoleh dari usaha manusia. Ilmu yang langsung datang dari Allah salah satunya hadir melalui firman-firman-Nya di dalam Alquran dalam bentuk teks tertulis. Dari firman-firman Allah yang terdapat di dalam teks tertulis, manusia diberikan indikasi-indikasi yang bernilai pragmatis agar manusia memperoleh pengetahuan berdasarkan kemampuan dasarnya yaitu mengetahui sesuatu yang bersifat nyata (empiris). Pengetahuan manusia yang kedua ini diperoleh dengan mengandalkan pengalaman, pengamatan dan penyelidikan yang dilandaskan kepada segenap bukti-

bukti dari tangkapan pancaindra yang kemudian dipahami oleh akal. Hal itu menjadikan manusia harus menguasai segala yang

bersinggungan tentangnya, yaitu melalui sains. Dengan menghadirkan model penafsiran Positivistik yang mengedepankan fakta-fakta tentang alam Empiris yang ditunjang oleh kebenaran dari analisis sains, ‘Abduh mengharapkan umat Islam memahami bahwa ada hal lain yang perlu diperhatikan dan ditumbuh kembangkan dalam diri umat Islam selain pembahasan dan perdebatan seputar persoalan bersifat teologis, yaitu Ilmu pengetahuan. Melalui

yang dapat disaksikan oleh sesuatu mempunyai alat untuk menyaksikan (pancaindra). Bagi ‘Abduh, inilah dorongan kepada manusia untuk bersungguh- sungguh mengamati dan mempelajari benda-benda yang dapat disaksikan oleh manusia kemudian menarik pengetahuan dari apa yang diamati tentang alam. Muh{ammad ‘Abduh,

Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 56-57. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan manusia sama-sama bersumber dari zat yang satu, yaitu Allah. Namun jika diklasifikasikan lagi berdasarkan cara memperolehnya, maka ilmu itu dibagi kepada dua bagian, yaitu ilmu yang langsung dari Allah dan ilmu yang diperoleh melaui hasil pengetahuan manusia. Ilmu yang diperoleh dari Allah salah satunya datang melalui firman-firman Allah dalam Alquran yang bersifat tertulis dan ilham. Pengetahuan ini bersifat langsung. Sedangkan ilmu yang kedua didapat melaui usaha manusia itu sendiri yang mengandalkan nilai-nilai pragmatis (pengalaman) berdasarkan pengamatan dan penyelidikan. Dari sebagian ayat Alquran yang disampaikan langsung oleh Allah, memiliki ruang-ruang tersendiri yang mampu dimasuki dan diketahui manusia dengan melalukan serangkaian pengamatan dan penyelidikan yang didasarkan pada tangkapan pancaindra. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Isla>m and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993), 144-147.