EPISTEMOLOGI TAFSIR POSITIVISTIK MUH{AMMAD ‘ABDUH
BAB III EPISTEMOLOGI TAFSIR POSITIVISTIK MUH{AMMAD ‘ABDUH
Lahirnya karya Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma yang di tulis oleh Muh{ammad ‘Abduh adalah cerminan paradigma berpikir yang telah terbangun kokoh di dalam diri Muh{ammad ‘Abduh sehingga karya tafsir yang dilahirkannya sarat dengan ide-ide dan konsep-konsep pembaharuan. Kemunculan hal tersebut tidak terlepas dari konteks historis kehidupan ‘Abduh dan visi yang diusung. Untuk itu, perlu kiranya dalam bab ini diulas sisi historis kehidupan ‘Abduh dari masa awal pendidikan hingga menjadi seorang mufasir dan reformis, kemudian melihat sekilas tentang Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma sebagai bagian dari transformasi pemikiran dan pembaharuan ‘Abduh serta melihat konsep pemikiran ‘Abduh tentang relasi Alquran dengan akal dan ilmu pengetahuan guna menelaah secara spesifik dasar epistemologi ‘Abduh dalam menafsirkan Alquran.
A. Muh{ammad ‘Abduh dan Afiliasi Pemikiran Barat Dalam pembahasan ini perlu kiranya melihat sisi-sisi kehidupan yang dilewati ‘Abduh baik itu latar belakang keluarga dan proses pendidikan serta gerakan-gerakan pembaharuan ‘Abduh pada masa hidupnya.
1. Proses Pendidikan Muh{ammad ‘Abduh Nama lengkap Muh}ammad ‘Abduh adalah Muh}ammad bin
1 ‘Abduh bin H}asan Khairulla> 2 h. Beliau lahir di Delta Sungai Nil yang merupakan sebuah desa di Mesir Hilir 3 yang bernama Mah{allah Nas}r di
4 Kabupaten Al-Buhairah 5 pada tahun 1849.
M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al- Manar (Ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006), 5. Lihat juga ‘Abba>s Mah}mud al-‘Aqqa> d, ‘Abqari@ al-Is}la>h} wa al-Ta’li@ m al-Usta>dh al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh (Kairo: Maktabah Mis}r, t.th), 80.
2 Yvonne Haddad, “Muh{ammad ‘Abduh Perintis Pembaharuan Islam” dalam buku Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam, Penerj; Ilyas Hasan (Bandung:
Mizan, 1995), 36. 3 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1982), 58. 4 ‘Abduh tidak mengetahui detail latar belakang desa tersebut selain bahwa
ia merupakan lahan pertanian yang dimiliki seseorang bernama Nas}r yang merupakan
‘Abduh terlahir dari orang tua dengan ayah yang bernama ‘Abduh Ibn Hasan Khairullah, dan ibunya bernama Junainah. 6 Masa
awal pendidikan ‘Abduh dilalui di rumah dan berguru kepada seorang hafizh hingga Abduh juga menjadi seorang hafizh hanya dalam waktu dua tahun. 7 Pada tahun 1279 H/ 1863 M ia dikirim orang tuanya ke
T{ant}a> untuk meluruskan bacaanya di masjid Al-Ah}madi sekaligus mengikuti proses pendidikan yang diberikan di masjid tersebut. 8
Adanya penerapan sistem pendidikan yang dirasa kurang menarik menyebabkan Muh{ammad ‘Abduh beberapa kali melarikan diri dari
T{ant}a> 9 hingga ia sempat diasuh dan dididik oleh Syaikh Darwis Khadr. 10 Didikan Syaikh Darwis berhasil mengantarkan ‘Abduh
melanjutkan studinya di al-Azhar.
pemberian penguasa saat itu. Penamaan sebuah tempat dengan nama pemiliknya berlaku umum di tempat itu, seperti penyebutan rumah ‘Abduh dengan Bait al-
Tarkuma> n, yaitu nama salah seorang leluhur ‘Abduh. Muh{ammad Rasyi@ d Rid}a> , Ta>ri@ kh al-Usta>dh al-Ima>m al-Shaikh Muh}ammad ‘Abduh, Juz’ I (Mesir: al-Mana>r,
1350 H / 1931 M), 16. 5 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 58. Informasi yang
disampaikan oleh Harun Nasution terlihat berbeda dengan apa yang ditulis salah seorang murid kepercayaannya yaitu Muh{ammad Rasyi@ d Rid}a yang menyebutkan bahwa ‘Abduh lahir pada tahun 1265 H atau bertepatan dengan tahun 1844 M. Muh{ammad Rasyi@ d Rid}a> , Ta>ri@ kh al-Usta>dh al-Ima>m, 15-16.
6 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muh{ammadiyah dan Muh{ammad ‘Abduh Suatu Studi Perbandingan (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 112. A. Hanafi, Pengantar
Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), 199. 7 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muh{ammadiyah dan Muh{ammad ‘Abduh, 112.
8 ‘Abba> s Mah}mud al-‘Aqqa> d, ‘Abqari@ al-Is}la>h} wa al-Ta’li@ m, 85. Sedangkan menurut ‘Abdul Ghafa> r ‘Abdul Rah}i@ m, menyebutkan ‘Abduh mulai belajar di T{ant}a>
pada tahun 1282 H. ‘Abdul Ghafa> r ‘Abdul Rah}i@ m, al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh wa Manhajuh fi@ al-Tafsi@ r (Mesir: al-Markaz al-‘Arabi@ al-Thaqa> fah wa al-‘Ulu> m, t.th),
25. Oliver Scharbrodt, “The Salafiyya and Sufism: Muh{ammad ‘Abduh and his Risa>lat al-Wa>rida>t (Treatise on Mystical Inspirations)” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 70, No. 1 (2007), Accessed: 27/01/2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/40378895.pdf?acceptTC=true&acceptTC=true& jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.46 WIB), 90.
9 Para pengajar yang terkadang memberikan istilah-istilah yang tidak dikenal siswa dan kemudian juga tidak menjelaskannya secara rinci tentang maksud
dari istilah yang diberikan, dinilai ‘Abduh sebagai metode yang tidak efisien dan memunculkan kejenuhan dalam diri ‘Abduh. Oliver Schartbrodt, Islam and the Baha’i Faith A Comparative Study of Muh{ammad ‘Abduh and ‘Abdul Baha ‘Abbas (New York: Roudledge, 2008), 48-49.
10 ‘Abduh sempat melarikan diri ke kampung halamannya di Mahallah Nas{r dan kemudian kembali dipaksa oleh orang tuanya untuk kembali ke T{ant{a setelah
Dalam masa proses studi di al-Azhar tersebut, salah seorang tokoh revolusi Mesir yang bernama Jamaluddin al-Afghani datang ke Kairo dalam perjalanannya ke Istambul dan menginap tidak jauh dari al-Azhar dan inilah momentum awal pertemuan Muh{ammad ‘Abduh
dengan Jamaluddin al-Afghani sekitar tahun 1869. 11 Sekitar tahun 1871, Jamaluddin al-Afghani kembali datang ke Mesir dan kemudian
menetap di sana. Di masa inilah ‘Abduh menjadikan dirinya sebagai murid yang bersungguh-sungguh belajar kepada Jamaluddin al-Afghani dan kemudian menjadi muridnya yang setia. Dari Jamaluddin al- Afghani, ‘Abduh mulai mempelajari filsafat dan mengenal wawasan kewartawanan serta politik yang ada pada masa itu, yaitu sekitar tahun
1876 M. 12 Dari pertemuannya dengan al-Afghani, menjadikan ‘Abduh
mulai ter-Baratkan. ‘Abduh mulai merasa tertarik untuk memperhatikan dan mempelajari kemajuan peradaban dan pemikiran
Eropa. Dalam tahap awal persentuhan ‘Abduh dengan kemajuan
terlebih dahulu menikah dengan seorang gadis di kampungnya. ‘Abduh juga sempat diasuh oleh kerabatnya yang bernama Syaikh Darwis Khadr sebelum ia menempuh pendidikan di al-Azhar. Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), 11. M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran,
7. Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Penerj: Faisal Saleh dan Syahdianor (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2006), 251. Yvonne Haddad, “Muh{ammad ‘Abduh Perintis Pembaharuan Islam”, 37. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 60. T{a>hir al-T{ana>h{i@ , Mudhakara>t al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh (Kairo: Da>r al-Hila>l, t.th), 34.
11 ‘Abba> s Mah}mud al-‘Aqqa> d, ‘Abqari@ al-Is}la>h} wa al-Ta’li@ m, 122. Oliver Scharbrodt, “The Salafiyya and Sufism: Muh{ammad ‘Abduh and his Risa>lat al-
Wa>rida>t (Treatise on Mystical Inspirations)” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 70, No. 1 (2007), Accessed: 27/01/2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/40378895.pdf?acceptTC=true&acceptTC=true& jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.46 WIB), 91.
12 Sebenarnya pada masa itu berkembang dua partai, berhaluan konservatif dan Sufi (tarekat) dimana di antara kedua guru ‘Abduh di atas merupakan salah satu
dari pemuka partai tersebut. Sementara al-Afghani berafiliasi pada partai pertama. Namun dalam kunjungan yang kedua ke Mesir, al-Afghani mengembangkan tasawuf ke arah filsafat, dan dari situlah dia membangun gerakan revolusi sosial-politik. Kondisi seperti itu turut mempengaruhi kepribadian ‘Abduh karena dia menghadiri rapat-rapat kedua partai di atas. Akan tetapi seperti dinyatakan sebelumnya, kecenderungan tradisional partai tarekat, membuatnya lebih tertarik kepada al- Afghani. Dari situlah dia menekuni filsafat dan mantiq. Muh}ammad ‘Ima> rah, al- A’ma>l al-Ka>milah li al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh, Juz I (Beiru>t: Muasasah al- ‘Arabiyyah li al-Dira> sa> h wa al-Nashr, 1972), 20-21.
Eropa, nampaknya ‘Abduh memahami pentingnya penguasaan bahasa untuk bisa masuk menyelami kemajuan bangsa Eropa. Mempelajari bahasa-bahasa asing menjadi langkah pertama yang diusahakan ‘Abduh. Bahasa asing pertama yang dipelajari ‘Abduh adalah bahasa
Prancis, kemudian Jerman dan Inggris. 13 Detlev Kha> lid menjelaskan bahwa salah satu tujuan ‘Abduh mempelajari bahasa-bahasa asing
pada masa itu adalah untuk membuka dan memperluas akses wawasannya tentang berbagai keilmuan dan pemikiran yang berkembang di Barat saat itu. Detlev Kha> lid dan Harun Nasution juga menjelaskan bahwa setidaknya ada beberapa bidang keilmuan yang ingin didalami oleh ‘Abduh dari kemajuan Eropa pada waktu itu, yaitu ilmu-ilmu Sosial, ilmu Etika, Sejarah, ilmu alam (sains), Matematika,
dan model pendidikan Barat. 14 Aspek lain yang mendapat perhatian ‘Abduh dari kemajuan
bangsa Eropa hingga abad ke 18 adalah aspek pemikiran kefilsafatan. Dimuatnya pemikiran Francis Bacon dan Ernenst Renan dalam salah
satu karya ‘Abduh, 16 menunjukkan keluasan wawasan ‘Abduh terhadap kefilsafatan Eropa. Bahkan Ignaz Goldziher menyebutkan
bahwa ‘Abduh telah mengajak umat Islam untuk mulai meninggalkan
Harun Nasution, Muh{ammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), 24-25. 14 Detlev Kha> lid, “Ah}mad Ami@ n and the Legacy of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Islamic Studies, Vol 9, No. 1, Tanggal 27 Januari 2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20832970.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=tr ue, tanggal 27-01-2014, pukul 15.52 WIB), 5.
15 Yvonne Haddad menjelaskan bahwa tujuan lain dari usaha ‘Abduh menguasai bahasa Prancis adalah untuk mendapat berbagai pengetahuan dan
wawasan filsafat-filsafat Prancis yang sedang berkembang pada masa itu. Yvonne Haddad, “Muh{ammad ‘Abduh Perintis Pembaharuan Islam” dalam buku Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam, Penerj; Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), 49.
16 ‘Abduh memuat pendapat Francis Bacon tentang metode eksperiment dan observasi. Sedangkan pengulasan tentang Ernest Renan terkait dengan sanggahan
‘Abduh terhadap pendapat yang dilontarkan Ernenst Renan. Muh}ammad ‘Abduh, al- Isla>m wa al-Nas}ra>niyah Ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyah (Kairo: al-Mana>r, 1323 H), 100 dan 119. Mungkin inilah akar pemikiran yang ikut mempengaruhi gaya berpikir ‘Abduh yang modern sehingga banya memberikan pengaruh dalam proses modernisasi di berbagai negara-negara musli, termasuk di Asia Tenggara. Ahmad N. Amir Dkk. “Muh{ammad Abduh’s Contributions to Modernity” dalam Asian Journal of Management Sciences and Education, Vol. 1 No. 1, April 2012 (Diakses dari http://www.ajmse.leena-luna.co.jp/AJMSEPDFs/Vol.1(1)/AJMSE2012(1.1-07).pdf, tanggal 15-01-2013, pukul 13.05 WIB), 66.
pemikiran filosof-filosof Yunani klasik dan beralih memperhatikan pemikiran para filosof-filosof modern Eropa seperti Auguste Comte,
Leibniz dan Spinoza. 17 Harun Nasution juga menyebutkan bahwa ‘Abduh sering mengisi waktu-waktu liburnya untuk berkunjung ke Eropa guna mengikuti kuliah-kuliah ilmiah yang diadakan di berbagai
perguruan tinggi, terutama di Prancis dan Swis. Di Prancis, ‘Abduh mendapat izin untuk mengunjungi universitas mana saja yang
disukainya, termasuk universitas Jneef. 18 Sedangkan di Inggris, ‘Abduh mengunjungi beberapa universitas ternama seperti Universitas
Oxford dan Universitas Cambridge. 19 Bahkan pada tahun 1903, ‘Abduh sengaja pergi ke Inggris untuk bertukar pikiran dengan filosof
Inggris ternama pada masa itu yaitu Herbert Spencer (1820-1903). 20 Dalam sejarah filsafat, selain dikenal sebagai filosof pendukung teori
Evolusi, Herbert Spencer juga dikenal sebagai tokoh pendukung
filsafat Positivisme. Dengan keluasan wawasan yang dipelajari dan dimiliki ‘Abduh
dari kemajuan peradaban dan keilmuan Eropa pada masa itu, menjadikan ‘Abduh tampil sebagai sosok reformis dan modernis yang
Ignaz Goldziher menjelaskan bahwa ‘Abduh berusaha menggiring wacana umat untuk tidak lagi memperhatikan pemikiran-pemikiran beberapa filosof klasik Yunani dan India, melainkan ‘Abduh justru menganjurkan agar umat Islam memperhatikan dan melakukan kajian terhadap wacana-wacana baru (pada saat itu) yang dibawa oleh beberapa filosof Jerman, Prancis dan Inggris seperti Leibniz, Auguste Comte dan Spinoza. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@ r al-Isla>mi, Penerj; ‘Abdul H{ali@ m al-Naja> r (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955), 376.
18 Mani’ ‘Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Penerj: Faisal Saleh dan Syahdianor (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), 253. 19 Harun Nasution, Muh{ammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah
(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), 26. 20 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
2003), 203. Detlev Kha> lid juga menyebutkan bahwa ‘Abduh juga mempelajari bahasa inggris untuk tujuan memperluas wawasan keilmuannya dari perkembangan peradaban Inggris. ‘Abduh juga sempat menterjemahkan salah satu karya Herbert Spencer ke dalam bahasa Arab. Detlev Kha> lid, “Ah}mad Ami@ n and the Legacy of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Islamic Studies, Vol 9, No. 1, Tanggal 27 Januari 2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20832970.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=tr ue, tanggal 27-01-2014, pukul 15.52 WIB), 5.
21 Akhyar Yusuf Lubis menjelaskan bahwa Herbert Spencer termasuk salah satu tokoh Positivisme, yaitu Positivisme Evolusioner. Akhyar Yusuf Lubis,
Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi (Bogor: Akademia, 2009), 197.
kuat dan cerdas. 22 Dalam bidang pemerintahan di Mesir, ‘Abduh sempat terlibat serangkaian pemberontakan frontal yang didalangi
Jamaluddin al-Afghani terhadap pemerintahan Khadewi Taufik (1879- 1882). 23 Sedangkan di Paris, ‘Abduh bersama Jamaluddin al-Afghani
mendirikan gerakan bawah tanah yang diberi nama Al-‘Urwah al- Wusqa> yang diketuai oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muh{ammad ‘Abduh sebagai wakilnya. Kemudian untuk menyalurkan pemikirannya kepada umat Islam secara umum (Mesir secara kusus) dalam konteks revolusi dan pemberontakan terhadap penjajah, maka dibentuklah
majalah Al-‘Urwah al-Wusqa> 24 . Inilah bagian dari respon ‘Abduh dalam menanggapi fenomena umat Islam pada waktu itu 25 yang lebih
cenderung menjadi objek penghianatan dan penghinaan bangsa Eropa, baik dari segi harga diri maupun sumber daya yang ada di tengah-
Mark Sedgwick, “Muhammad ‘Abduh” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 2010 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/516242920?accountid=25704, tanggal 18-05- 2014, pukul 20.20 WIB), 320.
23 Kedekatan ‘Abduh dengan Jamaluddin al-Afghani (sebagai guru dan reformis), ikut menyeret ‘Abduh melakukan penentangan dan penggulingan
kekuasaan Khadewi Taufik selaku pemimpin Mesir waktu itu yang telah bersekutu dengan Prancis dan Inggris dan membiarkan kedua negara Eropa tersebut mengintervensi pemerintahan Mesir. Namun gerakan ‘Abduh dan al-Afghani ternyata mampu diantisipasi oleh Khadewi Taufik mereka dibuang ke luar Kairo, yaitu ke Beirut. Oliver Schartbrodt, Islam and the Baha’i Faith, 67-69. Muh}ammad ‘Ima> rah, al-A’ma>l al-Ka>milah li al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh, 24-25.
24 Oliver Scharbrodt menjelaskan bahwa masuknya Inggris ke Mesir menimbulkan efek yang besar bagi masyarakat Mesir, namun praktek penjajahan
yang dilakukan Inggris terhadap Mesir tetap saja tidak dapat ditolelir. Hal itulah yang terfikir oleh sebagian tokoh revolusi Mesir pada waktu itu, terutama ‘Abduh sehingga dilakukanlah perlawanan-perlawanan dalam berbagai cara, termasuk sebagaimana yang dilakukan ‘Abduh dan Muh{ammad Rashi> d Rid{a dan ‘Abduh sewaktu di Prancis untuk mendirikan majalah al-‘Urwah al-Wusqa> sebagai wadah penyaluran ide-ide dalam melakukan perlawanan terhadap Inggris. Oliver Scharbrodt, “The Salafiyya and Sufism: Muh{ammad ‘Abduh and his Risa>lat al- Wa>rida>t (Treatise on Mystical Inspirations)” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 70,No. 1 (2007), Accessed: 27/01/2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/40378895.pdf?acceptTC=true&acceptTC=true& jpdConfirm=true, tanggal 27-01-2014, pukul 15.46 WIB), 90.
25 Mark Sedgwick, “Muhammad ‘Abduh” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 2010 (Diakses dari http://e-
resources.pnri.go.id:2056/docview/516242920?accountid=25704, tanggal 18-05- 2014, pukul 20.20 WIB), 321.
tengah umat Islam, namun umat Islam itu sendiri tidak menyadari akan penghinaan yang mereka alami.
Setelah Al-’Urwah al-Wusqa> dibubar paksa oleh Inggris selang tidak berapa lama setelah organisasi ini berdiri, menjadikan ‘Abduh
harus menetapkan pilihan untuk kembali ke Beirut. Hari-hari Muh{ammad ‘Abduh di Beirut disibukkan dengan memberikan pendidikan dan pengajaran pada salah satu sekolah muslim yang ada di Beirut. Tidak hanya itu, rumah ‘Abduh sering dijadikan fasilitas pendidikan non formal dengan melakukan berbagai kajian-kajian yang dipimpin langsung oleh ‘Abduh, sehingga hal tersebut menarik perhatian para pemuda-pemuda Beirut yang berasal dari berbagai kalangan untuk menimba ilmu kepada ‘Abduh. Akhirnya kegiatan inipun terhenti pada tahun 1888 ketika Khadewi Taufik mengizinkan ‘Abduh pulang kembali ke Kairo. Di Kairo Muh{ammad ‘Abduh tidak mendapat izin untuk mengajar, namun sebagai gantinya Khadewi Taufik menempatkan sebuah posisi hakim di pengadilan.
Pada tahun 1895, jabatan Muh{ammad ‘Abduh dipindahkan menjadi dewan administratif al-Azhar. Tidak lama kemudian ‘Abduh diangkat menjadi mufti besar Mesir. Dalam masa jabatan inilah ‘Abduh banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan di Mesir hingga akhir hayatnya pada tanggal 11 Juli 1905.
2. Ide dan Gerakan Pembaharuan Muh{ammad ‘Abduh Pertemuan Muh{ammad ‘Abduh dengan Jamaluddin al-Afghani
pada tahun 1871, 26 secara perlahan memperluas kapasitas wawasan keilmuan yang selama ini dimiliki ‘Abduh. Dari al-Afghani, ‘Abduh
sempat mempelajari ilmu Kalam, Filsafat, Tafsir, Hadis, Tasawuf dan ilmu Sosial Politik. Selain mendapatkan perluasan beberapa wawasan keilmuan, ‘Abduh juga diberikan kesadaran bahwa sesungguhnya kondisi Islam pada waktu itu berada dalam intervensi Eropa dan untuk menghadapi intervensi asing, umat Islam harus bersatu. Kesadaran tentang hal tersebutlah yang kemudian menimbulkan perubahan tersendiri dalam diri Muh{ammad ‘Abduh. Sisa-sisa tasawuf yang bersifat pantang dunia yang selama ini mengakar dalam diri ‘Abduh, beliau ganti dengan semangat dunia dalam bingkai aktivitas sosio
politik. 27
M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran, 9. 27 Muh}ammad ‘Ima> rah, al-A’ma>l al-Ka>milah li al-Ima>m Muh}ammad
‘Abduh, 22. Yvonne Haddad, “Muh{ammad ‘Abduh Perintis Pembaharuan Islam”, 38.
Berbagai pembaharuanpun kemudian mulai dilakukan ‘Abduh bersama Jamaluddin al-Afghani. Awalnya ‘Abduh bergerak dalam ritme yang sama dengan Jamaluddin al-Afghani, yaitu di bidang politik sehingga kemudian mengantarkan ‘Abduh ikut terlibat dalam berbagai pemberontakan terhadap pemerintahan Mesir yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan atau konsep politik tersendiri bagi ‘Abduh bahwa perbaikan politik itu harus didahului oleh perbaikan
akhlak. 28 Hal itu berarti perbaikan pertama yang harus dilakukan adalah perbaikan sumber daya manusianya, bukan sistem
pemerintahan. Dari konsep ini kemudian ‘Abduh bersimpang jalan dengan Jamaluddin al-Afghani. ‘Abduh menghentikan aktivitas politik dan lebih memilih aspek pendidikan sebagai orientasi dari gerakan
pembaharuan. 29 Aktivitas pembaharuan dari aspek pendidikan, sebenarnya telah lama dimulai ‘Abduh. Bahkan sejak ‘Abduh
menyelesaikan studinya di al-Azhar pada tahun 1877 dimana ‘Abduh memberikan kajian-kajian keilmuan, baik di al-Azhar ataupun di
rumahnya sendiri dengan berpegang pada beberapa buku yang dianggapnya menarik seperti buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih, Mukaddimah Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot yang diterjemahkan al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab tahun
1879 M. 30 Masalah lain yang dianalisa ‘Abduh adalah degradasi umat
Islam yang dilatarbelakangi oleh adanya kejumudan berfikir yang
Salah satu gerakan pembaharuan yang dilakukan ‘Abduh adalah dari aspek politik meskipun hanya pada masa-masa awal aktivitas pembaharuan ‘Abduh. Salah satu yang dilakukan dalam bidang politik adalah membuat pembaharuan- pembaharuan dalam aturan-aturan sistem demokrasi parlemen serta meprovokasi gerakan-gerakan penentangan tehadap pemerintahan Mesir yang zalim pada waktu itu. Konsep di ataslah yang menjadi dasar paradigma politik ‘Abduh dimana perbaikan politik harus dimulai dari perbaikan akhlak. ‘Abdul Ghafa> r ‘Abdul Rah}i@ m, al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh, 70.
29 Strategi ini juga dipilih oleh T{a> hir al-Jaza> ’iri dalam mengkritisi pemerintahan Ottoman dalam rangka melakukan perubahan dan reformasi dimana
aspek pendidikan menjadi prioritas utama yang harus difokuskan untuk dilakukan pembaharuan. Salah satu langkah yang dilakukan Al-Jaza’iri adalah dengan mewajibkan para siswa mempelajari ilmu perdagangan dan ekonomi guna mencetak sisiwa yang memiliki kemandirian tinggi. Joseph H. Escovitz, “He Was the Muh{ammad ‘Abduh of the Syria, A Study of T{a> hir al-Jaza> ’iri and His Influence” dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 18, No. 3 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/163380, tanggal 27-01-2014), 297.
30 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 61.
tengah menyelimuti dan mengakar kuat dalam diri umat Islam. Kejumudan tersebut dipahami ‘Abduh sebagai suatu kondisi yang mengandung unsur kebekuan, statis dan tidak ada perubahan. Hal itulah yang menyebabkan umat Islam tidak menghendaki adanya perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Umat Islam lebih menyukai dan berpegang teguh kepada tradisi yang sudah ada yang dari hari kehari tidak mengalami kemajuan, namun justru mundur dan
tertinggal jauh dari bangsa lain yang di dominasi oleh Eropa. 31 Adanya hegemoni Barat dalam dunia Islam yang menghendaki
negara-negara Islam dan umat Islam itu sendiri berada di dalam penguasaannya, mengantarkan umat Islam kepada lingkaran budaya animistis yang lebih mengesampingkan kombinasi unsur akal dan ilmu pengetahuan. Hal itu dilakukan untuk menutup mata umat Islam agar mereka tetap berada secara tidak sadar di bawah intervensi Barat sehingga menjadikan umat Islam itu sendiri mudah dikendalikan. Secara tidak langsung bangsa Eropa menyebarkan virus-virus permusuhan terhadap ilmu pengetahuan ke dalam tubuh umat Islam.
Sedangkan dari aspek pemahaman dan aktualisasi ke-Islaman, jauhnya umat Islam dari ilmu pengetahuan menjadikan mereka cenderung berada dalam pemahamanan taqlid dan aktualisasi bid’ah, yang dinilai ‘Abduh sebagai bentuk lupanya umat Islam akan ajaran- ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk itu Muahammad ‘Abduh menuntut umat Islam harus segera keluar dari kondisi yang menyedihkan tersebut dengan kembali kepada ajaran Islam yang
Cita-cita politik ‘Abduh sama dengan al-Afghani yaitu kebebasan berpikir dan kemerdekaan politik. Namun kedua tokoh tersebut ber\beda dalam memilih strategi perjuangannya. Jamaluddin al-Afghani memandang revolusi sebagai satu-satunya cara untuk meraih cita-cita tersebut. Dia bukan tidak menyadari bahwa pendidikan merupakan sarana efektif untuk cita-cita pertama, hanya saja dia menyadari bahwa rezim pengetahuan saat itu di dominasi oleh modernisme Barat yang justru menumpulkan logika revolusi. Oleh karena itu bangunan revolusi politik al-Afghani di dasarkan pada semangat Islam sebagai anti tesis Barat. Sementara ‘Abduh menganggap reformasi mesti dijalankan secara gradual (berangsur-angsur) melalui penekanan pendidikan, bahkan dengan cara yang sama sekali ditentang oleh al-Afghani, sebab melalui pendidikan dengan orientasi Barat sekalipun perjuangan revolusi bisa bermain dijantung kekuatan Barat-kolonial itu sendiri. Bahkan ‘Abduh menilai perjuangan politik menimbulkan perpecahan dikalangan umat Islam. Muh}ammad ‘Ima> rah, al-A’ma>l al-Ka>milah li al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh, 37-38. Bandingkan dengan Ahmad Baso, Islam Pasca Kolonial Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme (Bandung: Mizan, 2005), 95-101.
mendasar. 32 Namun bagi ‘Abduh usaha tersebut tidak cukup sampai di situ, justru ajaran-ajaran Islam yang asli tersebut haruslah disesuaikan
dengan keadaan dan perkembangan yang ada di dunia modern itu sendiri. 33
Guna mencapai visi tersebut, salah satu jalan yang diusahakan ‘Abduh adalah dengan menghadirkan penafsiran bernuansa baru, terutama tentang persoalan-persoalan kemasyarakatan yang sarat akan unsur ilmu pengetahuan. Kemudian penafsiran-penafsiran yang mampu memberikan ransangan bagi pembaca agar segera membuka mata untuk mengetahui dan menguasai segala perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan modern. 34 Secara prinsip, Muh{ammad ‘Abduh meyakini bahwa kehadiran
ilmu pengetahuan tidaklah bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Hukum alam merupakan ciptaan Allah dan wahyupun juga berasal dari Allah. Oleh karena kedua aspek tersebut sama-sama berasal dari Allah, maka ilmu pengetahuan modern yang berasal dari hukum alam serta Islam yang sebenarnya berasal dari wahyu, tidak bisa dan tidak mungkin akan bertentangan. Oleh karenanya Islam haruslah sesuai dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern dan ilmu pengetahuan modern itu sendiri harus sesuai dengan Islam. Ilmu pengetahuan merupakan faktor kemajuan umat Islam pada masa
‘Abduh berusaha mengembalikan budaya di tengah-tengah umat Islam sebagaimana pada masa ulama salaf dimana mereka tidak hanya mengetahui sesuatu tanpa dasar, namun justru mengetahui dengan diiringi alasan dari apa yang diketahui tersebut. Selain itu, pada masa ini budaya berfikir juga sangat menojol, karena mengetahui sesuatu tersebut sesungguhnya menuntut manusia untuk berfikir. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 62-63.
33 ‘Abduh melihat bahwa minimnya umat Islam yang mengetahui secara sadar bahwa mereka pada dasarnya sedang berada dalam kondisi kemunduran dan
kejumudan berfikir yang salah satu faktor penyebab semua itu adalah adanya kecenderungan hegemoni dalam keilmuan seorang muslim, yaitu antara kecenderungan tradisionalis yang membatasi diri pada ilmu-ilmu keagamaan dan kecenderungan modern yang berusaha mempelajari sains dan ilmu-ilmu lain sebagaimana yang di terapkan di Barat. ‘Abduh merasa kedua kecenderungan tersebut perlu disatukan untuk membuka dan merobah cara berpikir kaum muslimin secara keseluruhan pada waktu itu, sehingga tidak ada lagi dikotomi antara tradisionalis dan modern. Detlev Kha> lid, “Ah}mad Ami@ n” dalam Islamic Studies, 3.
34 Mostafa Labib, “Nazarat fi Fikr al-Imam Muhammad 'Abduh/ Consideraciones Sobre el Pensamiento del Imam Muhammad Abduh” dalam Anaquel
de Estudios Árabes, Vol. 24. 2013 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2056/docview/1492831250?accountid=25704, tanggal 22-03- 2014, pukul 23.04 WIB), 192-193.
lampau dan juga menjadi faktor kemajuan Barat sekarang ini. Untuk itu, dalam rangka mencapai kemajuan umat Islam itu sendiri dari aspek apapun, umat Islam haruslah kembali mempelajari dan
mementingkan soal ilmu pengetahuan tanpa pengecualian, 35 termasuk ilmu-ilmu modern (sains).
Konsep ini menjadi bagian dari langkah pembaharuan ‘Abduh untuk menyadarkan dan membangkitkan umat Islam agar keluar dari kondisi degradasi sekaligus sebagai bentuk perlawanan ‘Abduh dalam menghadapi intervensi Eropa ke dunia Islam, karena dalam prinsip Muh{ammad ‘Abduh, “Besi tak tumpul kecuali oleh besi” yang berarti menghadapi intervensi Eropa haruslah dengan kekuatan yang
sempurna yaitu senjata dan intelektual. 36
B. Tafsi@ r al-Qur’a@ n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma Muh{ammad ‘Abduh Kitab Tafsi@ r al-Qur’a@ n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma merupakan salah
satu karya yang berharga dari Muh{ammad ‘Abduh yang ditulisnya sekitar tahun 1321 H. Pada awalnya, kitab ini ditulis ‘Abduh dengan memanfaatkan waktu-waktu senggang yang menurut ‘Abduh sangat jarang dijumpaianya. Namun ketika ia berada di daerah Maghrib, ‘Abduh memiliki waktu yang cukup luang untuk kembali meneruskan penulisan kitab Tafsi@ r al-Qur’a@ n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma hingga karya tafsir ini selesai. 37 Secara lebih rinci dalam sub bab ini, akan diuraikan
tentang motivasi penulisan, metode penafsiran yang digunakan serta corak dari penafsiran Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a@ n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma.
1. Motivasi Penulisan Dalam pendahuluan kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, ‘Abduh telah mengungkapkan motivasinya dalam penulisan dari kitab tafsir ini. Secara umum, motivasi tersebut dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu motivasi internal dan motivasi eksternal.
a. Motivasi Internal Motivasi internal ‘Abduh dalam penulisan kitab Tafsi@ r al- Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, lebih kepada kesadaran tanggung
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 65. 36 Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, Penerj; Sunarwoto
Dema (Yogyakarta: LKiS, 2012), 21. 37 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz ‘Amma (Kairo: al-
Ami@ riyyah, 1322 H), 2.
jawab serta kewajiban setiap individu muslim untuk mempelajari, menggali dan mengamalkan apa yang dikandung oleh Alquran. Hadirnya Alquran di tengah-tengah manusia berperan sebagai standar nilai dalam membentuk kepribadian setiap individu serta sebagai hujah tertinggi guna memberikan ketegasan hukum yang berlaku universal.
Sebagaimana yang diungkapkan ‘Abduh dalam pendahuluan Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, terlihat bagaimana ‘Abduh menyadari sepenuhnya bahwa Allah akan selalu memberikan petunjuk dan pelajaran kebaikan kepada setiap manusia. Dalam pemikiran ‘Abduh, hal tersebut mampu diperoleh dengan jalan berkomunikasi secara total dengan Alquran. ‘Abduh memandang Alquran sebagai pengejawantahan pengajaran Allah bagi manusia
dan merupakan nikmat luar biasa yang harus disyukuri. 38 Wajar saja jika M. Quraish Shihab menjelaskan dan menegaskan pandangannya
bahwa hadirnya Alquran bertujuan untuk mengajak manusia menuju kebahagiaan hidup dunia akhirat 39 dengan menempuh jalur-jalur
yang ditunjukkan oleh Alquran itu sendiri. Petunjuk-petunjuk tersebut akan diraih oleh manusia jika hidup dalam lingkungan Alquran, sehingga kemudian merasakan bahwa Alquran berdialog dan bahkan besahabat dengannya. Inilah suatu proses komunikasi secara tidak langsung yang substansinya
merupakan komunikasi antara manusia dengan Allah. 40 Keingingan untuk bersahabat sepenuhnya dengan Alquran sebagai bagian dari
Dalam pendahuluan dari kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, ‘Abduh menyatakan isi hatinya bahwa Allah telah membukakan baginya pintu-pintu karunia Allah dan ‘Abduh merasa Allah telah mengajarkannya apa-apa yang dikehendaki Allah sebagaimana di dalam rahasia-rahasia dari firman-Nya. Atas nikmat itu ‘Abduh menyebutkan bahwa dengan ucapan apa ia harus memuji Allah dan dengan perbuatan apa dia bisa bersyukur kepada Allah. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, 2.
39 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran (Ciputat, Tanggerang:
Lentera Hati, 2013), 21. 40 M. Quraish Shihab menegaskan dengan mengutip perkataan para pakar
tafsir yang menyebutkan bahwa: “Jika anda ingin berbicara dengan Allah, maka berdoalah, dan jika anda ingin Allah berbicara dengan anda, maka bacalah Alquran. Bersahabatlah dengan Alquran”. M. Quraish Shihab memandang bahwa bersahabat dengan Alquran akan memperoleh rahasia-rahasia yang tidak disampaikan kepada siapa saja yang hanya sekedar berkenalan dengannya. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 23.
pemenuhan kebutuhan rohani yang disertai harapan agar Allah melimpahkan hidayah serta membuka pintu-pintu karunia-Nya, menjadi salah satu target yang ingin diwujudkan ‘Abduh.
Motivasi internal lain dari penulisan kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma juga terlihat dari cara ‘Abduh dalam
memandang Alquran sebagai sebuah kitab yang luar biasa hebat. Bagi ‘Abduh, Alquran memberikan kekuatan tersendiri di dalam dirinya sehingga ‘Abduh menjadikan Alquran sebagai ucapan pamungkas yang mampu digunakan dan ditujukan bagi seluruh
manusia. 41 Dalam buku Risa>lah al-Tauhi@ d, ‘Abduh juga menjelaskan bahwa Alquran memberikan seperangkat aturan hukum
kepada manusia yang sangat sesuai dengan kemaslahatan manusia itu sendiri. Keadilan dapat ditegakkan dengan melaksanakannya. Masyarakat akan menjadi teratur sesuai dengan ketentuan yang ditetapkannya dan begitu juga sebaliknya. Bagi ‘Abduh, dengan seperangkat aturan dan nilai yang dibawa Alquran, mampu mendorong hati untuk tunduk dan akal untuk menerimanya serta memacu keinginan mewujudkan cita-cita kebahagiaan seluruh
manusia. 42 Pandangan ini memiliki korelasi yang sejalan dan saling mendukung dalam proses pencapaian tujuan ‘Abduh yang gigih
mengkritisi, merobah dan membangkitkan kembali pandangan serta peradaban umat Islam secara umum yang pada saat itu telah tertinggal jauh dari kemajuan dan kejayaan Eropa, sehingga tidak salah jika ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasi@ b menegaskan bahwa ‘Abduh telah membangun konsep reformasi yang semata- mata bertumpu pada tafsir-tafsir Alquran yang ditulis dengan
metodologinya sendiri. 43
Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, 2. 42 Muh{ammad ‘Abduh melihat Alquran sebagai anugrah Allah yang luar
biasa. Bagi ‘Abduh, Alquran itu turun membawa seperangkat aturan hukum, nasehat dan etika moral yang menyebabkan hati menjadi tunduk, akalpun terdorong untuk menerima kebenaran Alquran serta menyemangati manusia untuk mewujudkan kebahagiaan umat. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@ d (Kairo: Da>r al-Nas{r li al- T{iba> ’ah, 1969), 128.
43 Muh}ammad ‘Abduh telah membuat metodologi tafsir sendiri sekaligus dijadikan sebagai landasan utamanya dalam melakukan reformasi (di Mesir) guna
menghapus budaya bid’ah, wahm (asumsi-asumsi teologis tanpa dasar) dan khurafat sehingga seringkali menjadikan ‘Abduh berseberangan dengan doktrin ulama pada masa itu. ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@ r fi@ al-‘As}r al- Rahin (‘Amma>n, Yordania: Jam’iyyah ‘Ama>l al-Mut}a>bi’ al-Ta’a>wuniyah, 1402 H / 1982 M), 124.
Dengan demikian dipahami bahwa kebutuhan dan keinginan untuk bersahabat dengan Alquran sebagai bagian dari proses pendekatan diri kepada Allah, sekaligus sebagai salah satu langkah bijak yang dapat ditempuh untuk merobah peradaban umat secara mendasar agar umat Islam keluar dari keterpurukan, menjadi motivasi internal dari ‘Abduh dalam menulis kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma.
b. Motivasi Eksternal Motivasi ekternal Muh{ammad ‘Abduh dalam penulisan kitab tafsir Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma terindikasi dari penjelasan ‘Abduh mengungkapkan bahwa adanya beberapa ikhwan dari anggota al-Jami’i@ yah al-Khairi@ yah al-Isla> mi@ yah yang telah meminta ‘Abduh untuk menuliskan tafsir dua juz dari Alquran, yaitu juz ‘Amma Yatasa> Alu>n (Juz ke-30) dan juz Taba>rakalladhi@ Biyadihi al-Mulk (Juz ke-29). Penulisan tafsiran tersebut ditujukan sebagai rujukan bagi para pengajar dalam mengajarkan makna- makna yang terkandung di dalam Alquran di sekolah-sekolah Al-
Jami’i@ 44 yah. Langkah tersebut diharapkan mampu menjadikan para murid
dari sekolah Al-Jami’i@ yah, terbiasa memahami apa yang mereka hafal dan merenungi makna dari apa yang mereka baca serta agar kandungan dari ayat-ayat Alquran yang mengandung unsur tauhid yang kuat dan nasehat yang dalam, diharapkan akan menjadi benih- benih akidah yang mengakar kokoh sehingga melalui langkah tersebut dengan sendirinya akan merubah kepribadian individu
murid, baik pemikiran ataupun tindakan keseharian mereka. 45 Jika ditinjau dari sisi sejarah, tertinggalnya Mesir dari Eropa
dalam segala bidang dan tak terkecuali dari segi pendidikan pada waktu itu, memunculkan semangat tokoh-tokoh revolusi Mesir seperti Jamaluddin al-Afghani, Muh{ammad ‘Abduh dan Muh}ammad Rashi@ d Rid}a> untuk melakukan gerakan pembaharuan di Mesir dengan cara mereka masing-masing. Dalam hal ini, pembaharuan dari segi pendidikan menjadi jalan yang mantap dipilih ‘Abduh. Mengembalikan semangat ilmiah dan cinta ilmu
Muh{ammad ‘Abduh, Tafsir al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, 2. 45 ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasi@ b, Ittija>ha>t al-Tafsi@ r fi@ al-‘As}r al-
Rahin, 105.
pengetahuan dijadikan sebagai basis ‘Abduh dalam merobah masyarakat yang sedang mengalami masa degradasi.
‘Abduh melihat hal tersebut urgen dilakukan dari pada memilih jalan revolusi sebagaimana yang dilakukan oleh gurunya
Jamaluddin al-Afghani karna kemajuan negara itu berasal dari majunya kepribadian individu masyarakatnya. Untuk itu pendidikan dasar yang ingin diwujudkan ‘Abduh adalah mentransformasikan nilai-nilai yang dikandung Alquran ke dalam jiwa individu dari
masyarakat Islam, 46 termasuk para murid-murid dari sekolah Al- Jami’iyyah karena ‘Abduh meyakini bahwa Alquran dengan
seperangkat hukum, nasehat dan pelajaran moral yang dikandungnya mampu menyemangati dan membangkitkan kembali pencapaian cita-cita kemajuan dan kebahagiaan dari cita-cita bersama suatu masyarakat. Berpegang pada pandangan inilah kemudian ‘Abduh merasa perlu untuk menulis penafsirannya terhadap Alquran terutama juz ‘Amma Yatasa> Alu>n (Juz ke-30) dan juz Taba>rakalladhi@ Biyadihi al-Mulk (Juz ke-29), meskipun pada akhirnya hanya mampu menyelesaikan satu juz penafsiran, yaitu juz ‘Amma Yatasa> Alu>n (Juz ke-30).
2. Metode Penafsiran Secara umum dalam ilmu tafsir Alquran terdapat empat metode tafsir yang cukup dikenal, yaitu metode Tah{lili, Ijma@ li@ , Muqa>ran dan Maud{u>i@ . Dari ke empat metode tafsir sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Ali Hasan al-‘Arid{ dan ‘Abd H{ayy al-Farma> wi@ tentang
ke empat metode tersebut, 47 Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@ r
‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib menjelaskan bahwa ‘Abduh melakukan pembaharuan dengan menyentuh paradigma masyarakat sebagai dasar dari peradaban dan mereformasikannya melalui tafsir Alquran sehingga nilai-nilai kebenaran Alquran bisa ditransformasikan ke dalam diri umat Islam. ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@ r fi@ al-‘As}r al-Rahin, 105.
47 Dalam ilmu tafsir Alquran, terdapat beberapa motode tersendiri yang biasa digunakan oleh para mufasir dalam menafsirkan Alquran. ‘Ali Hasan al-‘Arid{
dan ‘Abd H{ayy al-Farma> wi@ secara umum menjelaskan bahwa metode penafsiran Alquran dapat dibedakan menjadi empat macam metode, yaitu metode Tah{li@ li@ , metode Ijma>li@ , metode Muqa>ran dan metode Maud{u>’i@ . Metode Tah{li@ li@ merupakan metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai aspek dan lebih bersifat analitis. Metode Ijma>li@ merupakan metode dengan menafsirkan Alquran secara singkat dan global. Metode Muqa>ran lebih kepada usaha menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan penafsiran dari beberapa mufasir yang memiliki metode, kecenderungan dan penafsiran yang berbeda-beda. Sedangkan dan ‘Abd H{ayy al-Farma> wi@ secara umum menjelaskan bahwa metode penafsiran Alquran dapat dibedakan menjadi empat macam metode, yaitu metode Tah{li@ li@ , metode Ijma>li@ , metode Muqa>ran dan metode Maud{u>’i@ . Metode Tah{li@ li@ merupakan metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai aspek dan lebih bersifat analitis. Metode Ijma>li@ merupakan metode dengan menafsirkan Alquran secara singkat dan global. Metode Muqa>ran lebih kepada usaha menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan penafsiran dari beberapa mufasir yang memiliki metode, kecenderungan dan penafsiran yang berbeda-beda. Sedangkan
memahami metode 48 Tah{li@ li@ sebagai metode yang mengandalkan nalar. Tujuan dari metode ini sebagaimana yang disebutkan oleh
Malik bin Nabi ketika dikutip oleh M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa penggunaan metode Tah{li@ li@ oleh para ulama adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman dan pembuktian kemukjizatan Alquran. Namun M. Quraish Shihab justru mengkritik tujuan metode Tah{li@ li@ yang disampaikan Malik bin Nabi dan memandang bahwa tujuan itu benar jika melihat tahap awal dari lahirnya metode ini, karena dalam kenyataannya hal tersebut tidak selalu ditemukan kecuali pada tafsir Tah{li@ li@ yang bercorak
kebahasaan. 49 Meskipun terdapat perbedaan pandangan dalam melihat tujuan dari metode ini, pada intinya tetap saja tafsir Tah{li@ li@ bertujuan
untuk membantu seseorang memahami Alquran. 50 Penerapan metode Tah{li@ li@ yang membuka ruang untuk
mengulas ayat dari berbagai aspek dengan menggunakan analisa yang dalam menjadi salah satu kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh tafsir Tah{li@ li@ , sehingga sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Abd Hayy al- Farma> wi@ bahwa terkadang seorang mufasir terlihat dominan dalam mengulas ayat dari salah satu aspek yang secara tidak langsung
metode Maud{u>’i@ lebih kepada usaha menafsirkan ayat dengan menghimpun beberapa ayat dalam satu tema besar dan kemudian melihat kandungan umum dari ayat-ayat tersebut untuk ditarik saru pemahaman besar tentang tema yang ulas. ‘Ali Hasan al-‘Arid{, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Penerj; Ahmad Akram (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 41, 73, 75, 78. ‘Abd H{ayy al-Farma> wi@ , al-Bida>yah fi@ Al- Tafsi@ r al-Maud{u>’i@ (Kairo: ttp, 1988), 24, 43, 45, 46.
48 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 85.
49 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 378. 50 ‘Ali Hasan al-‘Arid{, Sejarah dan Metodologi Tafsir, 41. ‘Abd H{ayy al-
Farma> wi@ , al-Bida>yah fi@ al-Tafsi@ r al-Maud{u>’i@ , 25.
menjadi kecenderungan atau corak tersendiri ketika menafsirkan ayat. Al-Farma> wi@ menyebutkan bahwa dalam metode Tah{li@ li@ , terdapat beberapa kecenderungan tafsir di antaranya al-Ma’thu>r, al-Ra’yi, al- S{u>fi@ 51 , al-Fiqhi@ , al-Falsafi@ , al-‘Ilmi@ dan al-Adabi@ al-Ijtima>’i@ .
Sedangkan kelemahan dari metode ini sebagaimana yang dijelaskan M. Quraish Shihab bahwa disamping sering kali mufasir bertele-tele dalam menjelaskan tafsirannya terhadap ayat, metode Tah{li@ li@ juga kurang memiliki rambu-rambu metodologis yang harus diperhatikan oleh seorang mufasir ketika menarik makna dan pesan ayat Alquran. Hal itu mengakibatkan terbukanya ruang yang lebar untuk masuknya subjektivitas dalam porsi yang banyak ketika
menafsirkan ayat Alquran. 52 Pendapat M. Quraish Shihab tentang kelemaham metode
Tah{li@ li@ secara umum ini agaknya bertentangan dengan pendapat al- Farma> wi@ . Al-Farma> wi@ dalam pendapatnya memasukkan tafsir bi al-
Ma’thu>r ke dalam salah satu kecenderungan dari metode Tah{li@ li@ . Dalam ilmu tafsir Alquran dikenal luas bahwa sistem kerja dari tafsir bi al-Ma’thu>r sendiri adalah menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran lain, atau menafsirkan ayat Alquran dengan hadis dan pendapat sahabat yang secara substansi metode ini merupakan upaya secara tidak langsung dalam menekan banyaknya porsi subjektivitas mufasir dalam menafsirkan Alquran. Oleh karna itu, meskipun M. Quraish Shihab sepakat dengan pendapat al-Farma@ wi@ dalam membagi metode tafsir menjadi empat metode, namun dalam memandang corak tafsir nampaknya ada sedikit perbedaan dimana M. Quraish Shihab justru tidak memasukkan tafsir bi al-Ma’thu>r dan tafsir bi al-Ra’yi sebagai salah satu kecenderungan tafsir dari metode tafsir Tah{li@ li@ seperti yang dilakukan oleh al-Farma> wi@ , melainkan hanya menyebutkan bahwa corak tafsir Alquran terdiri dari corak sastra
‘Abd H{ayy al-Farma> wi@ , al-Bida>yah fi@ al-Tafsi@ r al-Maud{u>’i@ , 24. 52 Menurut M. Quraish Shihab, kurangnya rambu-rambu metodologis dari
metode tafsir Tah{li@ li@ menjadikan mufasir cenderung bergerak dalam subjektivitas yang dominan. Terasa bahwa semua yang terdapat di dalam benak penulisnya ingin dihidangkannya sehingga mengakibatkan kejenuhan pembaca. Padahal dalam saat yang sama hidangan yang disodorkan hampir tidak pernah tuntas. Hal itu dikarenakan sang mufasir biasanya mengarahkan pandangan pada ayat yang dibahasnya yang terlepas dari ayat lain. Padahal antara ayat yang satu dengan ayat yang lain memiliki keterikatan makna dengan ayat tersebut. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 379.
bahasa, corak filsafat dan teologi, corak ilmiah, corak Fiqh atau hukum, corak tasawuf dan corak sosial kemasyarakatan. 53
Mengenai penafsiran Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma dan menganalisa pendapat al-Farma>wi@
dan M.Quraish Shihab dalam melihat kelebihan dan kekurangan dari metode tafsir Tah{li@ li@ , nampaknya terdapat kesamaan dengan kecenderungan penafsiran yang diterapkan oleh ‘Abduh. Dalam penafsiran yang diterapkan ‘Abduh dalam Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan ‘Abduh tidak menggunakan tiga metode lain sebagaimana yang dirumuskan oleh al-Farma> wi@ , yatu metode Ijma>li, Muqa>ran dan Maud{u>’i@ . Pertama, dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, terlihat adanya upaya ‘Abduh mencoba menafsirkan Alquran dengan analisa-analisa luas dan dalam serta sarat akan nilai-nilai ilmiah, baik itu dalam menguraikan maksud yang ingin dituju dari suatu surat ataupun dalam mengulas tiap-tiap ayat, meskipun ada juga sebahagian dari penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat Alquran dari Juz’ ‘Amma yang diuraikan secara singkat. Meski demikian, setidaknya hal ini mengindikasikan secara tidak langsung bahwa ‘Abduh tidak menggunakan metode Ijma>li@ .
Kedua, dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, ‘Abduh berusaha menghindari penafsirannya dari pertentangan dan
perbedaan pendapat para ulama-ulama terdahulu. 54 Hal itu dilakukan lantaran adanya kekhawatiran ‘Abduh bahwa hal tersebut akan
menimbulkan kebingungan dari pembaca ketika membaca tafsiran terhadap ayat-ayat yang ditafsirkannya serta menjauhkan pembaca
dari substansi Alquran itu sendiri. 55 Di samping itu, dalam Tafsi@ r al- Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, ‘Abduh juga tidak terlihat
mengumpulkan ayat-ayat dari Juz’ ‘Amma dalam satu tema khusus dan menjelaskan tema tersebut berdasarkan ayat-ayat yang dikumpulkannya untuk ditarik satu kesimpulan besar. Hal ini jelas menunjukkan ‘Abduh sama sekali tidak menerapkan metode Muqara>n dan Maud{u>’i@ sebagai metode yang digunakan ketika menafsirkan ayat- ayat Alquran Juz’ ‘Amma. Selain itu, ‘Abduh juga cenderung menutup tafsirannya tentang satu ayat dengan mengaitkan makna atau
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, 71-73. 54 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsir al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz ‘Amma (Kairo: al-
Ami@ riyyah, 1322 H), 2. 55 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran, 20-21.
penafsiran dari satu ayat dengan ayat sesudahnya. Langkah tersebut menimbulkan kesan yang kuat dimana seluruh ayat-ayat dalam satu surat benar-benar memiliki keterkaitan yang erat untuk menjelaskan maksud umum dari satu surat. Inilah penerapan metode ‘Abduh secara umum dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma yang lebih menunjukkan keidentikan sistematika dari metode tafsir Tah{li@ li@ .
3. Corak Penafsiran Mengenai corak tafsir yang diusung ‘Abduh dalam menafsirkan Alquran, ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib dan M. Quraish Shihab telah memberikan pandangan mereka masing-masing. ‘Abd al- Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib misalnya menilai tendensi tafsir yang diusung ‘Abduh dalam penafsirannya, lebih memperlihatkan corak tafsir ‘ Ilmi@ dengan alasan bahwa dalam sebagian besar penafsiran ‘Abduh terhadap ayat Alquran terlihat ‘Abduh begitu bangga dengan ilmu pengetahuan alam yang dimilikinya. ‘Abd al- Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib memandang seringkali ditemukan dalam sebagian besar penafsiran dimana ‘Abduh berusaha masuk ke dalam ambiguitas Alquran dengan berpedoman pada penemuan- penemuan sains yang diketahuinya untuk mejelaskan ambiguitas tersebut. Bahkan ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib menilai
‘Abduh sebagai pelopor tafsir dengan corak ‘ 56 Ilmi@ di era modern. Sedangkan di sisi yang berbeda M. Quraish Shihab justru menilai
corak tafsir yang diusung ‘Abduh lebih kepada corak Adabi@ al- Ijtima>’i@ 57 , yaitu corak tafsir yang berusaha menjelaskan petunjuk-
petunjuk dari ayat Alquran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah di tengah-tengah masyarakat berdasarkan
‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasi@ b menjelaskan bahwa ‘Abduh telah mempelopori corak tafsir ‘ Ilmi era modern bukanlah sesuatu hal yang berlebih- lebihan, namun hal itu merupakan realitas. Tendensi tersebut dikarenakan kuatnya pondasi rasional ‘Abduh yang dikolaborasikan dengan fakta dan temuan-temuan dari kemajuan Eropa pada waktu itu sehingga ‘Abduh juga termotivasi untuk menerapkannya dalam penafsiran Alquran. ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al- Muh{tasib memberikan contoh penafsiran ‘Abduh yang memasuki wilayah ambiguitas dari ayat yaitu terkait penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Naba’ ayat 17 dan surat al-Fi@ l ayat 3. ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@ r Fi al-‘As}r al-Rahi@ n, 266-267.
57 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran, 24-25.
petunjuk-petunjuk ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar. 58
Merujuk pendapat ‘Abd al-H{ayy al-Farma> wi@ dalam menunjukkan keidentikan dari tafsir dengan corak Ilmi@ dan corak al-
Adabi@ al-Ijtima>’i@ dapat memperjelas perbedaan dan keidentikan dari masing-masing corak tersebut dimana corak tafsir Ilmi@ lebih kepada usaha menunjukkan tendensi penafsiran yang mengedepankan dan menggunakan kacamata ilmu pengetahuan serta fakta-fakta ilmiah dalam menjelaskan kandungan ayat. Hal itu lebih memperlihatkan korelasi yang sejalan antara Alquran dan ilmu pengetahuan. Sedangkan al-Adabi@ al-Ijtima>’i@ lebih kepada upaya untuk menghubungkan antara ayat-ayat Alquran dengan permasalahan serta kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat. Corak ini kering dari ungkapan-ungkapan yang berbau ilmu pengetahuan dan teknologi,
kecuali sebatas kebutuhan. Meskipun terdapat perbedaan tersendiri dari ketiga ulama di
atas dalam memandang corak tafsir, yang jelas dalam corak tafsir sebagaimana yang jelaskan oleh Hujair A. H. Sanaky bahwa corak penafsiran Alquran tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, motivasi mufasir, misi yang diemban, kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan
kondisi serta sebagainya. 60 Meninjau tendensi tafsir yang dikedepankan Muh{ammad
‘Abduh dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, terutama dengan berpijak kepada pandangan ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al- Muh{tasib, M. Quraish Shihab dan ‘Abd al-H{ayy al-Farma> wi@ sebagai barometer analisa, maka tendensi penafsiran yang menonjol dari gaya penafsiran ‘Abduh lebih memperlihatkan indikasi-indikasi dari corak tafsir al-‘Ilmi@ meskipun sebahagian yang lain dari seluruh penafsirannya dalam kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma juga mengandung indikasi corak al-Adabi@ al-Ijtima>’i@ . Sebagaimana yang disampaikan oleh Maurice Bucaille bahwa Alquran sesungguhnya mengajak manusia memperdalam sains. Alquran itu memuat
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, 73. 59 ‘Abd H{ayy al-Farma> wi@ , al-Bida>yah fi@ al-Tafsi@ r al-Maud{u>’i@ , 35-42.
60 Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir Perkembangan Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufasirin” dalam Jurnal al-Mawardi, Edisi XVIII, 2008 (Diakses
dari http://fis.uii.ac.id/images/al-mawarid-edisi-xviii-2007-08-sanaky.pdf, tanggal 11-01-2014, pukul 02.48 WIB), 265.
bermacam-macam pemikiran tentang fenomena alam dengan rincian yang menerangkan kecocokannya dengan sains modern, 61 misalnya
saja mengenai penciptaan alam, astronomi, keterangan tentang bumi, hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan dan kelahiran manusia. 62 Secara
prinsip, pemikiran Maurice Bucaille dalam memandang Alquran, memiliki kesejalanan dengan pemikiran yang ingin ditunjukkan ‘Abduh bahwa keunggulan Alquran itu terhimpun dalam dua segi, yaitu segi bahasa dan ilmu. Bagi ‘Abduh dasar pertama pembinaan Islam terletak pada penelitian yang sejalan dengan akal, yaitu yang
berdasarkan bukti-bukti nyata. 63 Corak penafsiran ‘Abduh dapat dilihat dari penafsiran-
penafsirannya terkait ayat-ayat al-Kauni@ yah (ayat-ayat tentang alam dan fenomenanya). Selain dalam Juz’ ‘Amma terdapat banyak ayat- ayat yang bercerita tentang alam seperti tentang langit, bumi dan isinya seperti lautan, gunung, tumbuh-tumbuhan beserta proses penciptaan manusia, penafsiran yang diberikan ‘Abduh ketika menafsirkan ayat-ayat al-Kauni>yah juga terlihat mendalam dengan disertai analisis yang di dasari atas ilmu-ilmu alam yang dirasa mampu menjelaskan maksud ayat yang juga dikuatkan oleh fakta-fakta ilmiah berdasarkan ilmu-ilmu alam tersebut. Meskipun ‘Abduh sering kali tidak menyebutkan penafsiran yang diberikannya terhadap ayat berdasarkan tinjauan analisa dari disiplin ilmu alam tertentu, namun kedalaman dan kekentalan indikasi-indikasi ilmiah yang disajikan, cukup memberikan keterangan tentang ilmu-ilmu alam apa saja yang digunakan ‘Abduh sebagai pisau analisa dalam menyelami kandungan dari ayat-ayat al-Kauni@ yah tersebut. Misalnya saja seperti ‘Abduh
menjelaskan penafsirannya tentang surat an-Na> 64 zi’a> t (79) ayat 27 dimana kata اَھاَنَب ditafsirkan dengan mengumpulkan bagian-bagian
menjadi satu dan mengikatnya dengan sesuatu sehingga tidak bercerai berai dan menjadi satu kesatuan, seperti Allah menciptakan planet-
Maurice Bucaille, La Bible Le Coran Et La Science Bibel Quran dan Sains Modern, Penerj; H. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), 106-107. 62 Maurice Bucaille, La Bible Le Coran Et La Science, 110. 63 Muh}ammad ‘Abduh, al-Isla>m wa al-Nas}ra>niyah Ma’a al-‘Ilm wa al-
Madaniyah (Kairo: al-Mana>r, 1323 H) . 61-62. 64 Surat an-Na> zi’a> t (79) ayat 27:
∩⊄∠∪ $yγ8oΨt/ 4 â™!$uΚ¡¡9$# ÏΘr& $¸)ù=yz ‘‰x©r& ÷Λä⎢Ρr&u™ Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit? Allah telah
membinanya.
planet. Tiap-tiap planet diletakkan dengan jarak-jarak tertentu yang terdapat sistem yang mengikatnya dijalur peredarannya. Itulah alam
yang disebut langit. 65 Penafsiran yang bercorak ‘Ilmi@ lainnya juga terlihat ketika ‘Abduh menafsirkan ayat yang berbicara tentang gunung seperti yang
terdapat dalam surat an-Na> 66 zi’a> t (79) ayat 32 dimana اَھَس ْرَا َلاَبِجْلا َو ditafsirkan dengan gunung-gunung dipancangkan untuk mencegah
bumi bergoyang untuk selanjutnya dapat dihuni oleh makhluk hidup. 67 Begitu juga ketika ‘Abduh menafsirkan tentang laut yang
diluapkan sebagaimana yang terdapat surat al-Takwi@ 68 r (81) ayat 6, bahwa ْت َرِّجُسُراَحِبْلااَذِا َو berarti saat itu gempa yang terjadi meledakkan
batas-batas antar lautan tersebut sehingga semuanya bercampur dan menjadi satu (lautan). Atau (kalimat itu) juga berarti penuh karena tiap-tiap lautan akan menjadi penuh dan meluap sehingga bercampur dengan yang lainnya yang dikarenakan putusnya bagian-bagian bumi 69 dan lepasnya gunung-gunung darinya.
Model penafsiran seperti ini, seringkali diaplikasikan ‘Abduh ketika menafsirkan ayat-ayat al-Kauni@ yah. Dengan model penafsiran yang secara umum sarat dengan indikasi-indikasi analisis ilmiah, seakan ‘Abduh ingin menunjukkan bahwa dalam menafsirkan Alquran tidak cukup hanya bermodalkan ilmu bahasa semata, melainkan adanya menguasaan yang dalam terhadap cabang ilmu-ilmu lain, terutama sains yang dapat dikolaborasikan dengan pengetahuan bahasa Arab sang mufasir guna membantu mufasir memilih berbagai alternatif penafsiran yang dapat dijadikan sebagai tafsiran dari ayat yang ditafsirkan sekaligus menghindari mufasir dari kesalahan memaknai arti kata sebuah ayat Alquran sehingga tafsiran yang dihasilkan akan terasa lebih luas dan mendalam. Analisa ini dikuatkan oleh pendapat Maurice Bucaille yang menjelaskan bahwa untuk memahami ayat-ayat
Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, 13. 66 Surat an-Na> zi’a> t (79) ayat 32;
∩⊂⊄∪ $yγ9y™ö‘r& tΑ$t7Ågø:$#uρ Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh.
67 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, 14. 68 Surat al-Takwi@ r (81) ayat 6;
∩∉∪ ôNtÉdfß™ â‘$ysÎ7ø9$# #sŒÎ)uρ Dan apabila lautan dijadikan meluap.
69 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, 26.
Alquran, pengetahuan tentang bahasa Arab yang mendalam saja tidak cukup. Selain bahasa Arab, ahli tafsir juga memerlukan pengetahuan ilmiah yang bermacam-macam. Hal itu diperlukan untuk menghindari kesalahan-kesalahan penafsiran sebagaimana yang dialami oleh sebagian ahli tafsir pada era tafsir-tafsir klasik dimana sains pada saat
itu belum mencapai perkembangan yang pesat. 70
C. Konsep Relasi Alquran, Akal dan Ilmu Pengetahuan Mengenai Wahyu (Alquran), akal dan ilmu pengetahuan, ketiga elemen ini memiliki garis relasi yang saling terhubung dalam kontek Alquran sebagai tuntunan yang harus diketahui dan diyakini oleh manusia. Pertama adalah relasi antara wahyu dan akal. Pada dasarnya, Alquran diturunkan dan dialamatkan kepada manusia. Bagi ‘Abduh, Islam dengan Alquran sebagai pondasi, itulah sebuah agama untuk pertama kali menunjukkan realita kesesuaian antara akal dengan kitab 71 suci. ‘Abduh memandang bahwa sebagian besar dari ketetapan agama yang terdapat di dalam wahyu tidak mungkin diyakini tanpa melibatkan akal. Justru Alquran itu sendiri turun dalam misinya menarik aspek pikiran manusia dan meransang akal untuk memahami dan membentuk sebuah konsep utuh tentang kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat. 72 Oleh karena itu bagaimana mungkin manusia mampu mengetahui dan mendengar seruan wahyu dengan
mengabaikan akal sebagai kualitas terpenting dan meonjol dari manusia. 73 Dalam konteks inilah kemudian ‘Abduh menyuarakan
Maurice Bucaille, 71 La Bible Le Coran Et La Science, 110. Detlev Khalid menjelaskan bahwa Jamaluddin al-Afghani dan
Muh{ammad ‘Abduh meyakini bahwa Islam adalah agama akal. Hal ini mengindikasikan antara Islam dan akal tidak ada pertentangan, namun antara keduanya terdapat kesejalanan. Begitu juga ketika Alquran sebagai landasan hukum tertinggi dalam Islam, tentunya secara tidak langsung juga tidak terdapat pertentangan dengan akal. Prinsip ini yang dinilai oleh Detlev Khalid yang coba dikembangkan pada periode pasca ‘Abduh seperti Ahmad Ami> n. Detlev Kha> lid, “Ah}mad Ami@ n” dalam Islamic Studies, 3.
72 Rotraud Wielandt, “Exegesis of the Qur’a> n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n, Editor: Jane Dammen
McAuliffe (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), Volume II, 127. 73 Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, Akal dan Wahyu Tentang
Rasionalitas dalam Ilmu, Agama dan Filsafat, Penerj; Ammar Fauzi Heryadi (Jakarta: Sadra Press, November 2011), 32.
pemikirannya secara lantang bahwa sesuatu yang mustahil jika Alquran bertentangan dengan akal. 74
Alquran bukanlah kitab suci yang serta merta memaksa pembacanya menerima makna ataupun realitas yang dikandung ayat,
namun justru Alquran menunjukkan sikap terbuka dan memberikan ransangan-ransangan logis untuk membuktikan kebenaranya dari berbagai sisi bagi siapapun yang masih meragukan Alquran. Bagi ‘Abduh, terdapat sebagaian (kandungan berita) ayat-ayat Alquran yang dinilai sulit untuk diyakini secara realitas dan untuk itu perlu adanya peran serta akal untuk memahami sisi-sisi yang bisa dipahami
sejauh kemampuan maksimal akal. 75 Selain menghimbau manusia untuk memfungsikan akal,
Alquran juga mengecam dan memberikan cemoohan bagi manusia yang mengabaikan dan tidak memfungsikan akal secara optimal, bahkan hal itu dianggap sebagai salah satu penyebab terjerumusnya 76 manusia ke dalam neraka. Sehingga tidak salah jika Imam Kazhim menyebutkan bahwa Allah telah menganugrahkan kepada manusia dua bukti kebenaran, yaitu bukti eksternal dan bukti internal. Bukti eksternal manusia salah satunya adalah adanya nabi dan bukti internal manuisa adalah akal. Sebagian ulama lain terkadang memposisikan akal pada posisi ekstrim, bahkan ada di antara mereka yang
Muh{ammad ‘Abduh meyakini bahwa sebagian ketentuan agama yang terdapat di dalam Alquran tidak dapat diyakini kecuali dengan akal seperti memahami adanya Allah, mengetahui kekuasaan-Nya, kebenaran diutusnya Rasul, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Alquran itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan akal dan mustahil jika Alquran bertentangan dengan akal. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@ d, 10.
75 H{asan H{anafi@ telah menjelaskan bahwa secara natural, akal manusia telah tercipta untuk mampu memahami segala sesuatu. Namun di sisi lain, dalam konteks
memahami ayat-ayat Allah, ’Abduh memandang bahwa tidak seluruh ayat dan informasi yang dimuat di dalam ayat mampu diketahui dan dipahami oleh akal. M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran, 22. Bandingkan dengan H{asan H{anafi@ , Dira>sat Falsafiyah fi@ al-Falsafah al-Gharbiyyah al-H{adithah wa al-Mu’a>s}irah, Jilid II (Beirut, Libanon: al-Suwi@ r, 1995), 35.
76 Qs. Al-Mulk (67) ayat 10: . ÎÏè¡¡9$# É=≈ptõ¾r& þ’Îû $¨Ζä. $tΒ ã≅É)÷ètΡ ÷ρr& ßìyϑó¡nΣ $¨Ζä. öθs9 (#θä9$s%uρ
Dan mereka berkata: Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.
menganggap akal sebagai nabi. 77 Meski demikian, kebanyakan ulama cenderung menganggap akal sebagai bagian dari penyangga bangunan
agama, karena hanya dengan sarana akallah manusia mampu mengenal dan dekat dengan Allah. 78
Mengenai jangkauan akal terhadap Alquran, ‘Abduh mengakui bahwa tidak seluruh maksud ayat mampu dijangkau oleh akal. Akal memiliki jangkauan yang terbatas. Namun, hal itu bukan berarti memberikan defenisi bahwa akal bertentangan dengan Alquran, hanya saja kemampuan akal yang terbatas dalam memahaminya. Maka keterbatasan akal tersebut menjadikan manusia butuh bimbingan dan tambahan informasi dari Rasulullah, kususnya dalam persoalan
metafisika dan persoalan ibadah. 79 Cara pandang inilah kemudian menjadikan ‘Abduh berani mengkritisi realita sejarah yang terjadi pada
masa dinasti Abbasiyah, 80 dimana akal dinilai bergerak melebihi batas wilayah yang seharusnya disentuh oleh akal.
Al-Ma’ari@ adalah salah satu ulama yang berpendapat ekstrim tentang akal. Bagi al-Ma’ari@ , akal adalah imam dan prasangka bukanlah sebuah kebenaran, namun justru akal itu sendirilah yang berupa kebenaran. Bahkan al-Ma’ari@ menganggap akal itu sama dengan Nabi. Yusu> f Farha> t, al-Falsafah al-Isla>miyyah wa A’la>muha> (Jenewa, Swiss: Tara>d Kasi@ m, 1986), 42. 78
H{asan H{anafi@ menyebutkan bahwa akal yang benar itu adalah akal yang mampu mencapai tuhannya. Bagi H{asan H{anafi, selayaknya akal itu memikirkan segala sesuatu yang dapat membantu manusia untuk mengenal Allah lebih dekat dan jika akal bekerja bukan untuk memenuhi tujuan tersebut, maka dia bukanlah akal yang benar. Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, Akal dan Wahyu, 241-242. Bandingkan dengan H{asan H{anafi@ ,
79 Dira>sat Falsafiyah, 36.
Yusuf H. R. Sefereta menjelaskan bahwa bagi ‘Abduh, keberadaan Nabi dibutuhkan manusia dalam konteksnya sebagai pembawa wahyu yang mengetahui lebih dalam seluruh persoalan yang diberitakan di dalam Alquran. Misalnya tentang persoalan kehidupan pasca kematian bahwa fitrah manusia tidak mampu mengetahui hal tersebut kecuali hanya sebatas apa yang dijelaskan Nabi berdasarkan informasi dari Alquran. Yusuf H. R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in the Writings of Muh{ammad ‘Abduh and Rashi@ d Rid{a> ” dalam Islamic Studies, Vol 24, No. 2 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20847306.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=tr ue, tanggal 27-01-2014, pukul 15.55 WIB), 142-143.
80 ‘Abduh menunjukkan adanya kecenderungan penggunaan akal dalam memahami Alquran yang terjadi pada masa dinasti Abbasiyah melalui konsep
penggunaan akal yang dikembangkan oleh pengikut Was{il bin At}a’ pada waktu itu. Namun, menanggapi hal tersebut ‘Abduh sendiri justru mengkritisi konsep penggunaan akal dalam penerapan pengikut Was{il yang cenderung di luar porsinya. Kuatnya pengaruh wawasan dari referensi-referensi Yunani dan beberapa wawasan lain yang menjadi acuan Was{il dan pengikutnya, cenderung mengantarkan mereka
Tuntutan untuk memahami dan meyakini berbagai konteks realitas yang dikandung Alquran, telah membuka ruang bagi akal untuk memainkan posisi penting dalam membentuk dan mengukuhkan keyakinan tersebut. Bahkan A. Jawadi Amuli mengidentifikasi akal ke dalam tiga peran, yaitu akal sebagai tolak ukur, akal sebagai sarana
pembuka dan akal sebagai sumber pengetahuan. 81 Dari ketiga identifikasi peran akal ini, ‘Abduh lebih cenderung terlihat
memposisikan akal terhadap Alquran sebagai sarana pembuka. 82 Bagi ‘Abduh, keyakinan itu tidaklah terbentuk hanya berdasarkan pendapat-
pendapat yang ada pada masa dahulu, 83 melainkan akallah yang menjadi sarana untuk membuka, mengetahui dan memahami realitas-
realitas yang terkandung di dalam Alquran yang pada akhirnya akan memunculkan keyakinan. 84 Bahkan Muh{ammad al-Ghazali
menyamaratakan seluruh ayat dalam kawasan yang dapat ditelusuri akal tanpa membedakan secara teliti mana ayat-ayat yang bisa dipahami melalui penggunaan
akal dan mana yang tidak, sehingga dalam penilaian ‘Abduh hal tersebut justru melahirkan penafsiran-penafsiran yang menunjukkan pertentangan antara pengetahuan agama dengan rasionalitas akal. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al- Tauh{i@ d, 15-16.
81 Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, Akal dan Wahyu, 256. 82 Muh{ammad ‘Abduh memandang bahwa Islam melaui kitab sucinya
(Alquran) telah melenyapkan penghalang yang mengalangi kemerdekaan berpikir manusia untuk memahami kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada manusia (kitab Samawi). ‘Abduh bahkan mengkritisi sikap sebagian tokoh agama yang dalam penilaiannya sudah mulai mengalami penyimpangan dan menebarkan anggapan pelarangan bahwa tidak semua orang berhak menggali dan mengetahui maksud Alquran, bahkan melarang diri mereka sendiri dan seolah-olah mereka menempatkan diri mereka pada tempat yang memiliki hak prerogatif untuk menggali dan memahami Alquran. ‘Abduh begitu mengecam ulama dengan kecenderungan seperti ini, yaitu mereka yang menganggap akal yang dimiliki oleh setiap individu manusia tidak cukup memadai untuk menggali dan menemukan keterangan-keterangan dalam syariat dan kenabian, yang tentunya termasuk di dalamnya adalah Alquran. Muh{ammad ‘Abduh,
83 Risa>lah al-Tauh{i@ d, 141-143. Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah
(Jakarta: UI Press, 1987), 45. 84 Akal bagi ‘Abduh memiliki kekuatan yang tinggi. Muh{ammad ‘Abduh
menganggap bahwa dengan meneliti alam sekitar akan mengantarkan manusia untuk sampai ke alam abstrak. Pada sebagian ayat Alquran, memang terdapat anjuran penggunaan akal ketika meneliti alam semesta untuk sampai kepada rahasia-rahasia yang terletak di belakangnya (Alquran). Oleh karena itu, dalam pandangan Harun Nasution ketika menilai dan memahami pemikiran ‘Abduh untuk beberapa persoalan keagamaan, misalnya persoalan ketuhanan, nabi dan lain sebagainya, hal tersebut tidak dapat diyakini tanpa melalui pertolongan akal. Berbeda dengan pendapat Harun Nasution, Yusuf H. R. Sefereta menilai bahwa dalam pandangan ‘Abduh akal menganggap bahwa dengan meneliti alam sekitar akan mengantarkan manusia untuk sampai ke alam abstrak. Pada sebagian ayat Alquran, memang terdapat anjuran penggunaan akal ketika meneliti alam semesta untuk sampai kepada rahasia-rahasia yang terletak di belakangnya (Alquran). Oleh karena itu, dalam pandangan Harun Nasution ketika menilai dan memahami pemikiran ‘Abduh untuk beberapa persoalan keagamaan, misalnya persoalan ketuhanan, nabi dan lain sebagainya, hal tersebut tidak dapat diyakini tanpa melalui pertolongan akal. Berbeda dengan pendapat Harun Nasution, Yusuf H. R. Sefereta menilai bahwa dalam pandangan ‘Abduh akal
jika akal manusia diposisikan pada tempat yang tidak selayaknya. 85 Dengan demikian, relasi antara akal dan naql (Alquran) dalam
pandangan ‘Abduh ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi dalil naql merupakan landasan pokok yang kokoh, dan di sisi lain akallah sebagai pengikut yang setia
mendampingi 86 naql. Dalam membentuk keyakinan, akal tidaklah memunculkan
keyakinan dengan sendirinya. Akal membutuhkan unsur pembenaran yang didapat dari luar dirinya. Pada dasarnya akal tidak akan mampu dengan sendirinya memikirkan secara konkrit hal-hal yang tidak berwujud, apalagi substansi sebenarnya dari sesuatu kecuali hanya berupa pengejawantahan dari hal-hal yang telah ada di dalam idea manusia itu sendiri yang didasarkan terhadap benda-benda (materi) yang sebelumya telah diketahui oleh manusia sebagai hasil tangkapan pancaindra. Ji@ ra> r Juha> mi@ termasuk salah satu ulama yang sejalan dengan konsep ini yang berpendapat bahwa akal akan cenderung memikirkan objek yang bersifat materi dan tidak mungkin akal akan sampai memikirkan sesuatu yang berada dalam wilayah immateri, karena pada dasarnya akal akan memikirkan sesuatu objek berdasarkan objek lain yang bersifat empiris, namun apa yang dipikirkan berdasarkan kepada pengejawantahan terhadap hal-hal empirik
memiliki keterbatasan untuk masuk ke wilayah-wilayah gaib yang di ceritakan Alquran, termasuk wujud dan sifat-sifat tuhan serta persoalan metafisika lainnya. Namun Yusuf H. R. Severeta meyakini bahwa wahyu (Alquran) tidaklah bertentangan dengan akal, bahkan dengan ilmu pengetahuan modern. Harun Nasution, Muh{ammad ‘Abduh, 48. Yusuf H. R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood” dalam Islamic Studies, 143.
85 Muh{ammad al-Ghazali menyebutkan bahwa sejak dari masa kerasulan dan nabi-nabi pembawa risalah terdahulu, telah dituntut untuk menjauhi kekerasan
hati dan kelemahan akal pikiran, sebaliknya mereka dituntut untuk mengikat diri dengan pikiran yang lurus dan akal yang sadar untuk membentuk iman yang kokoh serta menjadikan agama menjadi berfungsi dalam kehidupan meraka. Muh{ammad al- Ghazali, Syariat dan Akal dalam Perspektif Tradisi Pemikiran Islam, Penerj; Halid al-Kaff dan Muljono Damopoli (Jakarta: Penerbit Lentera, 2002), 55.
86 Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@ d, 22-23.
tersebut tetap saja bukan esensi sesungguhnya, 87 dan menurut Muh{ammad Ka> 88 mal al-Hur, itulah kekuatan akal yang sebenarnya.
Dalam konteks inilah persoalan dasar dari pengetahuan manusia mulai dibahas.
‘Abduh dalam pendapatnya sempat menyinggung bagaimana manusia bisa mengetahui sesuatu, hanya dengan menggunakan potensi alami yang ada di dalam dirinya sendiri bahwa keberadaan pancaindra sebagai sarana untuk mendeteksi dan merasakan keberadaan sesuatu yang ada di alam menjadi basis yang kuat dari manusia untuk
mengetahui sesuatu. 89 Dalam pandangan ‘Abduh, apa yang diketahui oleh manusia berdasarkan apa yang dideteksi ataupun dirasakan
melalui perantara pancaindra, menjadi titik pembenaran yang digunakan manusia secara umum dan alami untuk meyakini kebenaran
dari apa yang dicerna oleh akal manusia. 90 Mungkin ini merupakan
Ji@ ra> r Juha< mi@ menjelaskan pandangannya yang sejalan dengan pemikiran Aristoteles bahwa tidak mungkin akal akan memikirkan sesuatu yang tidak berwujud kecuali sebatas imajinasi manusia berdasarkan benda-benda yang bersifat materi. Ji@ ra> r Juha> mi@ , Risa>lah Ma> Ba’da al-T{abi@ ’ah (Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr al-Libana>ni@ , 1994), 153, 155, 157-158.
88 Menurut Muh{ammad Ka> mal al-Hur, yang bisa difikirkan itu adalah segala yang tampak dan itulah yang merupakan kekuatan dari akal manusia. Muh{ammad
Ka> mal al-Hur, Ibn Si@ na> Haya>tuhu Atha>ruhu wa Falsafatuhu (Beirut, Libanon: Da>r al- Kitab al-‘Ilmiyah, 1991). 117.
89 Yusuf H. R. Seferta menjelaskan bahwa ‘Abduh pada dasarnya memandang manusia sebagai makhluk yang secara alaminya untuk berpikir, mencari
dan menalar, namun mereka hanya mampu menjelaskan hal-hal yang berada dalam wilayah fisik, di luar itu, manusia tidak mampu untuk menjangkaunya. Yusuf H. R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in the Writings of Muh{ammad ‘Abduh and Rashi@ d Rid{a> ” dalam Islamic Studies, Vol 24, No. 2 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20847306.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=tr ue, tanggal 27-01-2014, pukul 15.55 WIB), 142-143.
90 Mengenai epistemologi pengetahuan itu sendiri, ‘Abduh menjadikan wujud empirik sebagai dasar dari pengetahuan. Pengetahuan manusia tidak lebih
hanya sebatas hal-hal yang mampu diamati oleh pancaindra manusia. Misalnya saja ketika ‘Abduh menjelaskan bahwa Allah tidak menuntut manusia untuk mengetahui esensi dari benda-benda di alam. Manusia hanya butuh mengetahui sifat dan keistimewaan benda-benda. Kepuasan akal terletak pada kesanggupannya menunjukkan sifat-sifat dari benda-enda alam beserta hukum yang berlaku bagi benda tersebut. Jika di analisa, substansi pandangan ‘Abduh tersebut mengarah kepada pengamatan terhadap hal-hal atau benda-benda yang berada pada wilayah empirik. Inilah cara dan kecenderungan yang diperlihatkan ‘Abduh dalam epistemologi pengetahuannya yang lebih dekat dengan kecenderungan epistemologi hanya sebatas hal-hal yang mampu diamati oleh pancaindra manusia. Misalnya saja ketika ‘Abduh menjelaskan bahwa Allah tidak menuntut manusia untuk mengetahui esensi dari benda-benda di alam. Manusia hanya butuh mengetahui sifat dan keistimewaan benda-benda. Kepuasan akal terletak pada kesanggupannya menunjukkan sifat-sifat dari benda-enda alam beserta hukum yang berlaku bagi benda tersebut. Jika di analisa, substansi pandangan ‘Abduh tersebut mengarah kepada pengamatan terhadap hal-hal atau benda-benda yang berada pada wilayah empirik. Inilah cara dan kecenderungan yang diperlihatkan ‘Abduh dalam epistemologi pengetahuannya yang lebih dekat dengan kecenderungan epistemologi
oleh penglihatan. 91 Inilah model epistemologi pengetahuan manusia yang begitu dipegang dan disuarakan sebagaimana yang terjadi pada masa abad pencerahan Eropa oleh kaum Empirisme.
Seiring berkembangnya cara pandang yang cenderung empiris, meransang kebanyakan manusia untuk mulai melakukan observasi dan penelitian terhadap alam dengan realitas empiris sebagai objek. Di Eropa misalnya, perlahan-lahan perkembangan tersebut mengantarkan manusia Eropa dengan gencarnya mulai menyusun metode-metode tersendiri untuk mengetahui dan menguak sisi-sisi realitas empiris yang dapat ditangkap dan dirasakan oleh pancaindra manusia sehingga kemudian membentuk sebuah disiplin-disiplin keilmuan atau lebih dikenal dengan ilmu-ilmu alam atau sains. Melalui ilmu-ilmu alam yang berkembang pesat pada zaman itu, menjadikan Eropa mulai tumbuh dan bangkit dari era keterpurukannya, bahkan ‘Abduh menyebutkan bahwa peradaban Barat saat itu jauh lebih maju dan lebih baik dibandingkan peradaban Islam yang semakin hari semakin mengalami masa kemunduran. ‘Abduh menilai bahwa inilah imbas yang timbul di tengah-tengah bangsa Eropa karena mereka mampu menguasai alam sekaligus menjadi pemimpin dari alam dengan memanfaatkan kegencaran dan kegesitan mereka menguasai, mengembangkan dan menggunakan ilmu-ilmu alam yang secara perlahan-lahan semakin mapan.
Dalam memahami realitas (empiris), ilmu pengetahuan alam memiliki peran yang sangat urgen. Keberadaan manusia yang dilingkupi oleh realitas-realitas empiris yang ada di sekitarnya, memaksa manusia untuk berusaha keras mengetahui dan memahami realitas-realitas empiris yang telah berjalan berdasarkan hukum alam. Di sinilah ilmu alam memainkan perannya bahwa dengan adanya ilmu- ilmu alam yang semakin hari semakin berkembang dan mapan, mampu
Empirisme dengan realitas empirik sebagai dasar pengetahuan. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@ d, 45-46.
91 Imam al-Ghaza> li@ membangun definisi tersendiri tentang akal. Bagi Imam al-Ghaza> li@ akal merupakan sebuah insting yang disiapkan untuk mengenali informasi
yang diberikan oleh penglihatan. Dari konsep ini dipahami bahwa akal membangun sebuah persepsi berdasarkan apa yang diketahui oleh pancaindra dalam objek yang tentunya berada di wilayah empirik. Muh{ammad bin Muh{ammad Abu Ha> mid al- Ghaza> li@ al-Matu> fi@ , Mukhtas{ar Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di@ n (Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr, 1414 H / 1993 M), 28.
dimanfaatkan manusia untuk mengungkap realitas-realitas alam (dalam sifatnya yang empiris) yang sebelumnya tertutup dari pengetahuan manusia. Ilmu-ilmu alam memiliki cirinya tersendiri bahwa ilmu-ilmu tersebut hanya berusaha mengungkap kebenaran realitas dari wilayah-wilayah empiris karena dasar dari ilmu-ilmu alam adalah apa yang diketahui pancaindra dari hal-hal empiris. Ilmu-ilmu alam tidaklah mampu menjangkau realitas alam yang berada dalam wilayah-wilayah trasendental atau metafisis karena wilayah-wilayah tersebut berada di luar wilayah empirik dan tidak dapat diketahui serta dijangkau oleh pancaindra manusia.
Melihat pembicaraan yang menyinggung persoalan relasi antara Alquran dengan ilmu alam (sains), sama halnya membicarakan hubungan sains dengan kitab suci. Sebagaimana yang dikutip oleh Andi Rosadisastra bahwa Ian G. Barbour telah mengemukakan teori tentang empat pola umum relasi antara sains (ilmu pengetahuan alam) 92 dengan kitab suci. Pertama, Tipologi konflik, yaitu anggapan bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan saling bertentangan. Tipologi seperti ini umumnya dipegang oleh kaum Materialisme ilmiah (murni) dan kelompok Literalisme kitab suci. Tipologi inilah yang sebelumnya juga pernah melingkupi hubungan antara kitab suci Injil dan sains dalam agama Kristen sehingga kemudian di antara mereka ada yang berpendapat antara sains dengan kitab suci Injil terdapat pertentangan sendiri, karena antara sains dan kitab suci memiliki substansi dasar
yang berbeda. 93
Andi Rosadisastra menyebutkan bahwa di akhir dasawarsa 90-an sampai sekarang, di Amerika Serikat dan Eropa Barat telah berkembang arus pembicaraan tentang ilmu pengetahuan dan kitab suci. Beredarnya wacana ini di dua daerah tersebut menjadikan berbagai tokoh berusaha memahami relasi antara sains dan agama. Di antaranya Ian G. Barbour dengan mengemukakan empat tipologi umum relasi sains dengan kitab suci. Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial (Jakarta: Amzah, 2007), 15-16.
93 Michael Goheen menjelaskan bahwa terdapat perbendaan pandangan dalam meninjau relasi dan kesejalanan antara kitab suci Injil dengan sains, ada
sebagian orang yang berpendapat antara keduanya sejalan dan ada yang menentang bahwa antara keduanya tidak jarang ditemukan pertentangan. Di antara tokoh yang menyuarakan konsep tersebut adalah Berkouwer yang berpandangan bahwa antara sains dengan kitab suci adalah dua hal yang terpisah dan akan ada pertentangan dikarenakan keduanya memiliki substansi dasar yang berbeda. Untuk memahami kitab suci landasannya adalah iman sedangkan sains adalah penelitian ilmiah. Michael Goheen, “Scriptural Revelation, Creational Revelation and Natural Science: The Issue” dalam Facets of Faith and Science, Vol 4 (Diakses dari
Kedua, tipologi Independensi. Tipologi Independensi ini lebih kepada anggapan bahwa tidak perlu ada konflik antara keduanya karna antara ilmu pengetahuan (sains) dan kitab suci merupakan 2 hal yang berbeda. Sains merupakan kajian tentang alam dan agama merupakan rangkaian aturan perilaku, merupakan dua dimensi manusia yang saling terpisah. Ketiga, tipologi dialog, yaitu tipologi yang berusaha mencari relasi teologis dan ilmiah guna melihat sisi-sisi persamaan dan
perbedaan dari keduanya. 94 Keempat, adalah tipologi integrasi, yaitu sebuah pendekatan
yang berusaha mencari titik temu antara agama (kitab suci) dengan ilmu pengetahuan (sains). Tipologi integrasi ini juga terbagi kepada tiga bagian yaitu:
1. Natural Theology, merupakan cara pandang bahwa eksistensi tuhan dapat disimpulkan dari bukti desain alam, yang dari alam tersebut memunculkan kesadaran akan adanya tuhan. Jadi Natural Theology
lebih kepada upaya untuk berangkat dari sains untuk mengantarkan manusia sampai kepada keyakinan teologis.
2. Theology of Nature, merupakan cara pandang yang berangkat dari doktrin keagamaan yang berdasarkan pada pengalaman keagamaan
dan wahyu historis, kemudian berusaha menjadikan doktrin tradisional untuk dirumuskan ulang dalam sinaran sains (ilmu pengetahuan) terkini.
3. Sintesis Sistematis, adalah cara pandang yang melihat antara keduanya merupakan sintesa integrasi yang lebih sistematis antara
sains dengan agama yang memberikan kontribusi ke arah pandangan dunia yang lebih koheren dengan mengelaborasikannya dalam kerangka metafisika yang lebih komprehensif. Singkatnya, sintesis sistematis merupakan sitesa integrasi sains dan agama yang di sistematisasikan melalui pandangan bahwa peristiwa atau teori
baru merupakan produk masa lalu dari tindakan dan aksi tuhan. 95
Dalam kontek relasi antara ilmu pengetahuan alam (sains) dengan Alquran sebagai kitab suci, ‘Abduh berpandangan bahwa Alquran pada dasarnya telah menekankan kepada manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan. Substansi tujuan yang ingin dicapai Alquran dari perintah tersebut dalam pandangan ‘Abduh tidak lain
http://www.allofliferedeemed.co.uk/Goheen/ScripturalRevelationCreationalRevelati on.pdf, tanggal 10-11-2013, pukul 03.18 WIB), 5.
94 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, 17-18. 95 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, 19-23.
untuk menyokong manusia dari rasa keingintahuannya terhadap kebenaran yang dikemukakan Alquran dengan melakukan serangkaian kajian secara mendalam melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan, sehingga manusia sampai kepada keberhasilannya untuk menggali dan mengetahui sisi kebenaran syariat yang telah ditetapkan di dalam
Alquran itu sendiri, 96 sehingga dapat dicerna akal berdasarkan logika kebenaran yang tersistematisasi. Nampaknya dalam konteks ini,
konsep ‘Abduh ketika menunjukkan hubungan antara sains dan Alquran sebagai kitab suci, lebih berindikasi kepada tipologi integrasi sintesis sistematis.
‘Abduh memandang peran akal dan tindakan penelitian dalam mengetahui sesuatu merupakan dua aspek yang saling mengokohkan. ‘Abduh menjelaskan bahwa melalui akal yang dilandasi penelitian, menjadikan manusia mampu membuka tabir pengetahuan sehingga kemudian menjadikan manusia mengetahui rahasia-rahasia alam yang pada dasarnya telah terlebih dahulu digambarkan Allah di dalam
Alquran. 97 Dengan kata lain, Abduh mempercayai bahwa antara Alquran dan ilmu pengetahuan (sains) tidak terdapat pertentangan
sebagaimana pertentangan yang terjadi antara Bible dan sains (dalam sejarah agama Kristen), namun antara keduanya justru menunjukkan relasi yang saling berkaitan erat karna keduanya sama-sama berasal
dari yang maha benar (Allah). 98 Konsep ini menjadi salah satu solusi
Bagi ‘Abduh, sudah selayaknya Alquran menjadi sarana untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Untuk itulah Alquran telah memberikan sinyal yang jelas kepada manusia untuk segera memfungsikannya dengan jalan mengkaji Alquran secara mendalam melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang alam yang berada di sekitar manusia agar manusia menemukan sesuatu yang berharga dari apa yang telah ditetapkan-Nya di dalam Alquran itu sendiri. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@ d, 143.
97 Kuatnya akal manusia sehingga mampu membuka ruang yang sebelumnya tertutup serta dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh manusia, menjadikan
‘Abduh yakin manusia mampu mengetahui rahasia-rahasia alam dibalik apa yang telah terlebih dahulu digambarkan di dalam Alquran secara sempurna. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@ d, 146. Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@ d, 146. Must{afa> H{alami@ , “al-Akhla> q ‘Inda Auguste Comte” dalam al-Alu>kah al- Thaqa>fiyyah, 2012 (Diakses dari http://www.alukah.net/Culture/0/44474/, tanggal 07-03-2014).
98 Detlev Khalid menguatkan analisanya dalam melihat pandangan ‘Abduh bahwa pada dasarnya ‘Abduh memegang prinsip antara Alquran dan ilmu
pengetahuan tidaklah bertentangan. Alquran dan ilmu pengetahuan (sains) hanyalah dua cara dalam menunjukkan kebenaran Ilahi. Pandangan inilah yang kemudian menurut Detlev mendorong ‘Abduh untuk menjelaskan kandungan Alquran pengetahuan tidaklah bertentangan. Alquran dan ilmu pengetahuan (sains) hanyalah dua cara dalam menunjukkan kebenaran Ilahi. Pandangan inilah yang kemudian menurut Detlev mendorong ‘Abduh untuk menjelaskan kandungan Alquran
Ah}mad Fua> d Ba> tha> menguraikan pandangannya bahwa Alquran yang diturunkan Allah kepada nabi Muh{ammad berperan
sebagai kitab bacaan yang harus disampaikan kepada manusia. Sedangkan diciptakannya alam raya sebagai kitab pengamatan dan penelitian, bertujuan merangsang manusia melalui akal yang didasari ilmu pengetahuan untuk melakukan verifikasi secara mendalam terutama terkait ayat-ayat al-Kauni@ yah yang telah digambarkan Allah di dalam Alquran dan antara kedua kitab tersebut mengandung
kebenaran yang tidak akan saling bertentangan. 100 Bahkan T{ant}a> wi@ Jauhari@ telah memberikan perhatian kusus terhadap pembahasan
seperti ini dan berusaha keras menunjukkan hal tersebut dengan menghadirkan kitab tafsir yang secara terang-terangan sarat akan
penafsiran-penafsiran dengan tendensi sains.
101
berdasarkan relasi yang erat dengan teori-teori ilmiah modern. Detlev Khalid, “Ah}mad Ami@ n” dalam
99 Islamic Studies, 11. Menurut ‘Abduh, ada 2 hal yang harus diperhatikan sekaligus juga
sebagai solusi dari stagnannya kondisi masyarakat waktu itu yaitu; membebaskan mayarakat dari belenggu taklid dan menanamkan paradigma bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) adalah dua hal yang sejalan dan saling terkait. P. J. Vatikiotis, “Muh{ammad ‘Abduh and the Quest for A Muslim Humanis” dalam Arabica, Vol. 4, No. 1 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/4055152, tanggal 27-01-2014, pukul 16.17 WIB), 59.
100 Alquran yang merupakan kitab bacaan dan alam sebagai kitab pengamatan yang antara keduanya tidak akan bertentangan. Justru akan
menunjukkan dua kebenaran yang saling terkorelasi, yaitu kebenaran agama dan kebenaran ilmu pengetahuan. Ah}mad Fua> d Ba> tha> , Rahi@ q al-‘Ilm wa al-I@ ma>n (Kairo: Da> r al-Fikr al-‘Arabi@ , 2002 M), 31. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Aristoteles bahwa alam adalah wilayah pengmatan atau pengalaman. Michael Esfeld, “Aristotle's Direct Realism in De Anima” dalam Jurnal The Review of Metaphysics, Dsember 2000 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2058/docview/223468949?accountid=25704, tanggal 14-09- 2013, pukul 00.14 WIB), 323.
101 T{ant}a> wi@ Jauhari@ memeberikan perhatian lebih terhadap ayat-ayat al- Kauniyya>h dalam kitab tafsirnya. Hal ini dikarenakan banyaknya ayat-ayat yang
bercerita tentang alam sehingga secara tidak langsung mengajak manusia untuk mengetahuinya yang kemudian menuntut manusia untuk mengikutsertakan sains. T{ant}a> wi@ Jauhari@ menyebutkan bahwa perbandingan antara ayat-ayat al-Kauni@ yah dan ayat-ayat Fiqh tidaklah sama. Ayat Fiqh hanya sekitar 150 dan ayat tentang alam ada sekitar 750 ayat. Untuk itu T{ant}a> wi@ berusaha mengkorelasikan tafsirannya dengan berbagai disiplin sains, seperti Agraris, Kedokteran, Pertambangan, Fisika, Arsitektur dan Kelautan. Dengan demikian T{ant}a> wi@ Jauhari@ berharap pembaca
Mengenai ayat-ayat yang bercerita tentang fenomena alam, Ah}mad Fua> d Ba> tha> juga menyuguhkan sebuah konsep yang menarik. Baginya, tingkat membaca yang paling baik adalah membaca fenomena-fenomena alam dengan berbagai unsur dan sarananya serta menembus alam teori dan hukum sains. Proses tersebut akan mengantarkan manusia untuk memahami bahwa semua ilmu yang menjadikan alam raya dan fenomenanya sebagai objek secara substansi juga merupakan ilmu yang membahas tentang kekuasaan dan kebesaran Allah. Sains sebenarnya bukan dimaksudkan untuk sains itu sendiri, melainkan juga merupakan sebuah upaya pemenuhan kebutuhan hidup dan akal manusia yang di dalamnya terkandung dimensi-dimensi keimanan. Sains akan melihat setiap fenomena alam sebagai ayat yang berbicara mengenai kekuasaan serta keesaan Allah. Alquran menjelaskan bahwa seluruh alam raya dengan sifatnya yang nyata merupakan buku sains sekaligus menjadi bukti rasional dari apa yang disampaikan oleh Alquran, oleh karena itu ilmu-ilmu pengetahuan yang terkorelasi dengan seluruh alam nyata menjadi penting untuk diketahui dan dikuasai guna menguak dan memberikan pemahaman akan adanya hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan- Nya di dalam dan di balik segala fenomena alam. Hal itulah yang pada akhirnya mengantarkan manusia mengenal Allah secara sempurna yang pada esensinya akan memunculkan dan meningkatkan keimanan yang kuat serta rasa takut akan kebesaran dan kemaha agungan Allah
SWT. 102 Inilah perbedaan konsep yang ditawarkan Islam dengan
mampu melihat keunikan tersendiri antara sains, makhluk empirik dan Alquran. T{ant}a> wi@ Jauhari@ , al-Jawa>hir fi@ Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m, Juz’ I (Mesir: Mus}t}afa> al- Ba> bi@ al-Halabi@ , 1350 H), 2-3.
102 Pandangan Ah}mad Fua> d Ba> tha seakan-akan ingin menyampaikan bahwa alam raya merupakan pengejawantahan dari kebenaran Alquran. Sains merupakan
sarana yang mampu digunakan untuk mengetahui dan memahami hukum alam yang ada di alam raya. Oleh karenanya sains pun juga diperlukan ketika memahami kandungan ayat-ayat Alquran. Ah}mad Fua> d Ba> tha> , Rah{i@ q al-‘Ilm wa al-I@ ma>n, 30-34. Sebagaimana yang dijelaskan P. Lipton bahwa posisi pengalaman dan pengamatan indrawi tetap sebagai sumber pokok dari pengetahuan manusia. George Bealer dan P.
F. Strawson, “The Incoherence of Empiricism” dalam Proceedings of the Aristotelian Society, Vol 66 tahun 1992 (Diakses dari http://thatmarcusfamily.org/philosophy/Course_Websites/Readings/Bealer%20and% 20Strawson%20-%20Incoherence%20of%20Empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013, pukul 02.11 WIB), 105. P. Lipton, History of Empiricism, (Diakses dari http://www.hps.cam.ac.uk/people/lipton/history_of_empiricism.pdf, tanggal 14-09- 2013 pukul 01.59 WIB), 4483.
konsep yang disuarakan Materialisme murni yang semakin hari semakin menjadikan pengikutnya kering dari nilai-nilai spiritualitas. 103
Seiring perkembangan dan keberhasilan ilmu-ilmu alam (sains), terutama sains modern dalam menemukan fakta-fakta baru tentang
alam raya, seiring itu juga ilmu-ilmu alam (sains) mampu memainkan peran sebagai salah satu faktor pendukung ijtihad dalam menguasai alam raya untuk menampakkan makna-makna baru dari apa yang disampaikan Alquran serta menunjukkan sisi-sisi kemukjizatan Alquran yang sebelumnya masih tersembunyi dari pengetahuan dan
pemahaman manusia. 104 Agus Purwanto berpandangan bahwa setiap bangunan ilmu pengetahuan atau sains selalu berpijak kepada tiga pilar
utama, yaitu Ontologis, Aksiologis dan Epistemologis. Dalam konteks ke-Islaman ketiga pilar tersebut hendaklah dibangun berdasarkan prinsip tauhid yang tersari dalam kalimat la> ila>ha illalla>h dan terdeskripsi di dalam rukun iman dan rukun Islam sehingga suatu ilmu tersebut layak untuk disebut sebagai sains Islam. Agus Purwanto juga menyebutkan bahwa tujuan sains Islam adalah untuk mengenal sang pencipta melalui pola-pola ciptaan-Nya dan mengetahui watak sejati segala sesuatu sebagaimana yang diberikan tuhan. Selain itu sains Islam juga bertujuan untuk memperlihatkan kesatuan hukum alam, kesaling hubungan seluruh bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip ilahi, karena mengenal alam dan hukum setiap spesies adalah wujud berarti mengenal Islam sehingga membawa sang ilmuwan menjadi lebih dekat dengan sang pencipta. Pemahaman ini adalah refleksi Epistemologis Islam bagi seorang ilmuwan dimana Alquran dengan prisnsip-prinsip sains yang dikandungnya mampu
menjadi pengantar manusia kepada suatu pengetahuan. 105
Sebagaimana yang disebutkan Ahmad Mahmud Sulaiman bahwa seiring perkembangannya, Materialisme semakin hari semakin mendapatkan dirinya sangat membutuhkan nilai-nilai spiritual akibat kegagalannya mencapai kebahagiaan manusia karena semakin materialistis suatu Negara maka akan semakin memperlebar jarak untuk meraih kebahagiaan dan akan memperumit hubungan manusia. Bahkan menurut Ahmad Mahmud Sulaiman, kegagalan kaum Materialisme untuk menguak rahasia dan misteri alam semesta justru menyadarkan umat Islam untuk melihat dan meyakini terdapatnya suatu kekuatan besar dan utama yang telah mengukuhkan alam semesta ini. Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains Mengungkap Berita- Berita Ilmiah al-Quran, Penerj; Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 13-14.
104 Ah}mad Fua> d Ba> tha> , Rah{i@ q al-‘Ilm wa al-I@ ma>n, 38. 105 Agus Purwanto menyebutkan bahwa secara umum ada tiga pilar ilmu
pengetahuan yaitu Ontologis yaitu berkaitan dengan objek dari ilmu pengetahuan,
Perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan (sains) memang telah banyak menunjukkan berbagai manfaat yang positif. Meskipun demikian tidak sertamerta kemudian menyatukan persepsi dari seluruh umat Islam dalam memfungsikan ilmu-ilmu alam (sains) guna membantu mufasir memahami ayat-ayat Alquran. Bahkan adu argumentasi kerap mewarnai pertikaian pandangan antara kaum pembaharu (modernis) dengan ulama lain yang telah memakan waktu lama. Misalnya penolakan Abu> Hayya> n al-Andalusi@ terhadap tafsir ‘Ilmi yang menganggap bahwa hal itu dapat menjadikan penafsiran terhadap ayat keluar dari metode dan esensi yang dimaksud dalam ayat
itu sendiri. 106 Begitu juga dengan al-Sha> t}ibi@ yang menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang melampaui batas dalam memberikan
klaim terhadap Alquran. 107 Berbeda halnya dengan ‘Abd al-H{ayy al- Farma> wi@ yang berpandangan bahwa ajakan Alquran adalah ajakan
ilmiah. Selain menyuruh memperhatikan wahyu yang tertulis, Allah juga menyuruh untuk memperhatikan wahyu yang tampak, yaitu alam.
Merkipun ayat-ayat al-Kauni@ yah tidak secara terbuka dialamatkan khusus bagi para ilmuwan, namun merekalah yang sebenarnya diharapkan untuk meneliti dan memahami ayat-ayat al-Kauni@ yah karena mereka memiliki sarana dan kompetensi yang lebih dibidang
ilmu-ilmu alam. 108 Bahkan Ah{mad Mus}t}afa> al-Mara> ghi@ secara terang- terangan mengakui bahwa dalam menulis karya tafsirnya, al-Mara> ghi@
telah memanfaatkan sudut pandang berbagai disiplin ilmu-ilmu alam modern (sains) dalam sebagian tafsirannya terhadap ayat-ayat Alquran guna menunjukkan korelasi yang erat antara Alquran dengan ilmu- ilmu lain (sains) sekaligus dalam rangka menghasilkan penafsiran yang
Aksiologis yaitu berkaitan dengan tujuan ilmu pengetahuan itu dibangun dan di rumuskan (nilai dari ilmu pengetahuan), dan yang terakhir Epistemologis yaitu berkaitan dengan bagaimana mencapai sebuah pengetahuan. Ketiga pilar tersebut berlaku umum sehingga sulit membedakan antara sains Islam dan sains modern (Barat). Sain tersebut baru menjadi sains Islam ketiga ketiga pilar tersebut dibalut dengan nilai dan semangat yang dilandasi dengan tauhid. Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi al-Quran yang Terlupakan (Bandung: Mizan, 2008), 188-193.
106 ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@ r fi al-‘As}r al-Rahin, 295-296.
107 Menambah ilmu-ilmu pengetahuan terdahulu dan ilmu-ilmu mutakhir seperti ilmu Eksakta, Arsitektur, filsafat logika dan sebagainya ke dalam tafsir
Alquran dianggap al-Shat}ibi@ sebagai tindakan yang melampaui batas. ‘Abd al-Maji@ d ‘Abd al-Sala> m al-Muh{tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi@ r fi al-‘As}r al-Rahin, 300.
108 ‘Abd al-H{ayy al-Farma> wi@ , Al-Bida>yah fi al-Tafsi@ r al-Maud}u>’i@ , 35-36.
lebih mendekati kebenaran secara realitas dan dapat dibuktikan dalam konteks kekinian (berdasarkan sains modern). 109
Pervez Hoodbhoy secara umum memandang bahwa konflik antara kaum pembaharu (modernis) dan muslim ortodoks sebenarnya
hanya dipicu oleh satu masalah yang mendasar yaitu anggapan seputar sains sebagai suatu pencapaian yang sekuler. Dalam pandangan Pervez Hoodboy, sifat sekuler sains bukan berarti sains tidak perlu mengakui keberadaan tuhan. Tetapi dalam sains, keabsahan kebenaran ilmiah itu sendiri tidak bersandarkan pada segala bentuk wewenang spiritual. Pengamatan dan percobaan adalah wasit tunggal yang memutuskan apa yang benar dan apa yang salah. Para ilmuwan memiliki kebebasan menganut suatu agama secara fanatik, namun sains tidak mengakui
barometer satu hukumpun di luar hukumnya sendiri. 110 Ahmad Mahmud Sulaiman juga menegaskan bahwa satu-satunya perbedaan
antara agama dan penelitian ilmiah adalah bahwa agama berlandaskan kepada iman, sedangkan penelitian ilmiah berlandaskan kepada
penyelidikkan. Meskipun antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar, tetap saja antara keduanya tidak terdapat pertentangan. Bisa saja sesuatu hal yang diberitakan Alquran terlihat tidak masuk akal pada satu waktu, namun secara perlahan dan seiring berjalannya
Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara> ghi@ ingin menunjukkan bahwa penafsiran Alquran tidak hanya terkait dengan ilmu-ilmu bahasa, Fiqh dan Tauhid, namun juga memiliki korelasi yang erat dengan disiplin ilmu-ilmu alam (sains) lainnya. Untuk itulah dalam menulis karya tafsirnya al-Mara> ghi@ berkonsultasi dengan para ahli di bidang sains (seperti para ahli di bidang Kedokteran dan ilmu Astronomi dan lain sebagainya) untuk mengetahui perkembangann ilmu pengetahuan serta untuk mendukung pemahaman isi Alquran agar penafsiran yang dihasilkan semakin mendekati kebenaran realitas sesuai dengan konteks kekinian. Ah}mad Mus}t}afa> al- Mara> ghi@ , Tafsi@ r al-Mara>ghi@ , Juz’ I (Mesir: Mus}t}afa> al-Ba> bi@ al-H{alabi@ , 1325 H / 1946 M), 17.
110 Kaum tradisionalis yang cenderung antipati terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan berusaha menjaga jarak dengan sains. Hal itu mereka lakukan guna
memelihara Islam dari pengaruh yang merusak serta sekuler. Anggapan inilah yang selalu bertentangan dengan pandangan serta cara pikir kaum pembaharu atau modernis sehingga mereka saling beradu argumentasi dalam waktu yang cukup lama, bahkan sejak seribu tahun yang lalu. Bagi kaum modernis, perkembangan ilmiah dan ideologi semakin terkait dan tidak dapat dipisahkan. Kaum modernis berusaha meminimalisir dan mendamaikan pertentangan antara sistem metafisika yang berdasarkan iman dan kemapuan akal dengan sistem keingintahuan yang didasarkan unsur empiris. Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, Penerj; Sari Mutia (Bandung: Mizan, 1996), 24-25.
waktu, kebenarannya sedikit demi sedikit mulai terkuak. 111 Sedangkan menurut H{anafi@ Ah{mad sebagaimana yang dikutip oleh ‘Abd al-H{ayy
al-Farma> wi@ menyebutkan bahwa hal lain yang juga menjadi penyebab penentangan memahami Alquran melaui ilmu pengetahuan (sains)
adalah kuatnya mainstream akidah sebagian umat Islam sehingga hanya memandang Alquran semata-mata sebagai petunjuk dan
penuntun yang tidak memiliki korelasi dengan teori ilmu-ilmu alam. 112 Dalam pandangan M. Quraish Shihab, relasi antara Alquran
dengan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalam Alquran dan juga bukan dengan menunjukkan kebenaran dari teori-teori ilmiah, melainkan antara ilmu pengetahuan terhadap Alquran selayaknya diletakkan dalam proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian
Alquran serta dengan logika ilmu pengetahuan. 113 Lebih lanjut M. Quraish Shihab menambahkan bahwa ilmu pengetahuan dengan
sifatnya yang tidak mengenal kata kekal atau selesai, bekerja dalam porsinya sebatas melihat atau menilik dan bukan menetapkan. Ilmu pengetahuan hanya mewadahi manusia untuk melukiskan fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang ilmuwan yang memiliki beberapa kelemahan dan
keterbatasan. 114 M. Quraish Shihab memberikan rambu-rambu yang
Ahmad Mahmud Sulaiman,
Tuhan dan Sains, 12-13.
‘Abd al-H{ayy al-Farma> wi@ , al-Bida>yah fi al-Tafsi@ r al-Maud}u>’i@ , 38. 113 Korelasi antara ilmu pengetahuan dengan Alquran dipahami M. Quraish
Shihab bukan dengan melihat sejauh mana teori-teori ilmiah tersebut ada di dalam Alquran. Misalnya melihat teori relativitas, teori terkait luar angkasa atau teori terkait dengan ilmu Komputer dan imu-ilmu lainnya. Namun yang terpenting yang harus diperhatikan adalah menunjukkan bahwa terhindarnya jiwa yang dikandung dan diusung oleh ayat-ayat yang ada di dalam Alquran yang kontradiktif dengan semangat kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, 41-42. 114
Teori-teori ilmiah dari sebuah disiplin ilmu pengetahuan memiliki sifat yang tidak kekal serta relatif, artinya di sini selalu mengalami perubahan dan perkembangan serta perbedaan seiring temuan-temuan baru dan perbedaan cara pandang dari ahlinya. Misalnya adanya teori bahwa Bumi itu datar pada masa dahulu, dibantah oleh temuan berikutnya yang menghasilkan teori bahwa Bumi itu bulat, dan teori tersebut juga dibantah oleh teori yang ditemukan kemudian yang menyatakan bahwa Bumi berbentuk lonjong. Dari sini dipahami bahwa kemungkinan kebenaran berdasarkan daya nalar dan hitung-hitungan logika manusia belum tantu memiliki kesesuaian yang mutlak benar dengan realitas yang sesungguhnya. Dengan demikian, sifatnya yang tidak kekal dan relatif dari ilmu pengetahuan tidak dapat dijadikan sebagai sesuatu yang akan dan bisa menetapkan maksud dari sesuatu, Teori-teori ilmiah dari sebuah disiplin ilmu pengetahuan memiliki sifat yang tidak kekal serta relatif, artinya di sini selalu mengalami perubahan dan perkembangan serta perbedaan seiring temuan-temuan baru dan perbedaan cara pandang dari ahlinya. Misalnya adanya teori bahwa Bumi itu datar pada masa dahulu, dibantah oleh temuan berikutnya yang menghasilkan teori bahwa Bumi itu bulat, dan teori tersebut juga dibantah oleh teori yang ditemukan kemudian yang menyatakan bahwa Bumi berbentuk lonjong. Dari sini dipahami bahwa kemungkinan kebenaran berdasarkan daya nalar dan hitung-hitungan logika manusia belum tantu memiliki kesesuaian yang mutlak benar dengan realitas yang sesungguhnya. Dengan demikian, sifatnya yang tidak kekal dan relatif dari ilmu pengetahuan tidak dapat dijadikan sebagai sesuatu yang akan dan bisa menetapkan maksud dari sesuatu,
ayat tersebut. 115 Sejalan dengan M. Quraish Shihab, ‘Abd al-H{ayy al-Farma> wi@
juga menegaskan bahwa pengkajian Alquran melaui pendekatan ilmiah diperbolehkan sepanjang tidak ada pemaksaan terhadap ayat dan tidak memperkosa lafaz-lafaznya dan si mufasirpun tidak memaksakan diri secara berlebihan untuk mengeluarkan makna-makna ilmiah dari ayat tersebut. Penentuan arti ayat harus berpijak pada aturan kebahasaan serta harus tetap berada di dalam lingkaran kemungkinan- kemungkinan arti yang dikandung oleh lafaz ayat tanpa melakukan
pengurangan dan penambahan. 116 Meskipun demikian, hal itu tidak menghalangi ilmu-ilmu alam (sains) untuk masuk ke dalam wilayah-
wilayah teologis dan memberikan ruang yang lebih lapang dalam membentuk sebuah konsepsi pemahaman seseorang ketika berinteraksi dengan Alquran sebagai sumber wacana dan diskursus teologis.
Bahkan Amin Abdullah memandang pentingnya hal itu dilakukan. 117 Mengabaikan hal tersebut justru akan menimbulkan kegersangan rasa
dan nilai terhadap konsep yang terlahir dari penggalian sumber utama yang sebenarnya kaya akan saripati kebaikan serta menjadikan diskursus teologis menjadi jauh dari gerak dinamis seiring
melainkan hanya sebatas melihat dan mengungkapkan sisi-sisi yang dapat diketahui. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, 44-46.
115 M. Quraish Shihab,
Membumikan al-Quran, 56-57.
‘Abd al-H{ayy al-Farma> wi, al-Bida>yah fi al-Tafsi@ r al-Maud}u>’i@ , 40-41. 117 Polarisasi yang begitu tajam antara tradisi idealis dan tradisi empiris di
wilayah peta pemikiran Islam klasik dan kontemporer merupakan salah satu sebab dari sekian sebab mengapa pemikiran Islam begitu kurang peduli terhadap realitas ayat-ayat al-Kauni@ yah dan ayat ayat lain di dalam Alquran. Bentuk polarisasi antara kedua tradisi yang seharusnya perlu bergerak dinamis, tetapi di dalam dunia pemikiran Islam lebih banyak bergeser ke wilayah pemikiran idealis-normatif dan berhenti sampai di situ. Pemisahan ilmu agama dan ilmu umum lainnya (ilmu alam dan ilmu sosial) akan menimbulkan ketimpangan-ketimpangan tersendiri dalam tatanan hidup peradaban umat Islam. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 58-59.
perkembangan dan kemajuan serta kompleksitas permasalahan dalam ruang lingkup peradaban manusia dari waktu ke waktu.