TAFSIR DAN FILSAFAT

BAB II TAFSIR DAN FILSAFAT

Berbedanya pandangan beberapa pakar dan pengkaji tafsir Alquran melihat kecenderungan sebagian tafsir yang muncul sejak

abad ke-18, terutama penafsiran yang bertendensi ilmiah, berkutat pada topik apakah kecenderungan penafsiran tersebut masih merupakan bagian model dari paradigma dan konsep rasionalisme Islam pada masa sebelumnya atau sudah bercampur dengan konsep dan paradigma lain yang berasal dari luar Islam.

Berlandaskan perbedaan pandangan di atas, ada beberapa hal yang ingin dibahas terlebih dahulu dalam bab II, yaitu tafsir bi al- Ra’yi sebagai jalan memahami kandungan Alquran dengan mengedepankan aspek nalar atau akal, kemudian konsep rasionalitas Mu’tazilah sebagai salah satu sekte teologi Islam yang mengarah kepada paradigma filsafat Rasionalisme klasik (Yunani), dan yang terakhir adalah filsafat Positivisme, yaitu salah satu filsafat Barat dengan mengedepankan paradigma ilmiah yang berdiri di atas kepercayaan yang tinggi terhadap fakta empiris (Empirisme) dan sains dalam memahami realitas.

A. Tafsir Alquran dalam Dimensi Rasional

1. Rasionalistik Tafsir bi al-Ra’yi Penafsiran Alquran memang memiliki corak penafsiran yang beragam. Kecenderungan gaya dan nuansa yang mewarnai suatu proses penafsiran, menjadi ciri khas yang akan memberikan kesan tersendiri terhadap proses tersebut. Adanya penggunaan akal yang mendominasi dalam suatu penafsiran Alquran diistilahkan oleh para ulama dan pakar tafsir dengan corak tafsir bi al-Ra’yi, atau dalam istilah lain disebut

tafsir rasional. 1 Tafsir rasional atau al-Ra’y muncul pada masa dinasti ‘Abbasiyah. Kemunculan tafsir dengan corak rasional pada masa ini

masih belum semapan tafsir rasional pada zaman sekarang. Sebagaimana yang disebutkan oleh Muh{ammad H{usein al-Dhahabi@ ,

1 Tafsir bi al-Ra’yi terambil dari kata ra’y yang secara lughawi berarti, I’tiqa>d (keyakinan), ‘Aql (akal) dan Tadbi@ r (pemahaman). Sedangkan secara istilah

berarti Ijtiha>d yaitu sesutu yang dirasakan (hati) setelah berfikir dan mengetahui maknanya secara mendalam setelah mencari kebenarannya melalui tanda-tanda yang ada. T{a@ hir Mah{mu> d Muh{ammad Ya’qu@ b, Asba>b al-Khat{a’ fi@ al-Tafsi@ r, Juz I (Kairo: Da> r Ibnu al-Jauzi@ , 1425 H /2004 M), 25-26.

pada masa ini tafsir rasional muncul dan masih tercampur di dalam tafsir bi al-Ma’thu>r. Tafsir rasional yang pada esensinya merupakan hasil dari peran aktif analisa akal dari mufasir dalam memahami ayat, digunakan untuk memperkuat atau menghubungkan antara pendapat- pendapat ulama lain yang dinukilnya, kemudian menghasilkan pemikirannya sendiri atau pemahamannya sendiri terhadap ayat. Al- Dhahabi@ menambahkan bahwa pada masa ini para ulama tafsir yang kebanyakan merupakan ulama-ulama yang menguasai ilmu bahasa, pemikiran, dan ada sebagian yang fanatik terhadap mazhab-mazhab, mencoba menterjemahkan kitab-kitab yang berbau filsafat, dan kemudian mencoba mengkombinasikan antara filsafat dan tafsir, maka lahirlah sebuah kecenderungan penafsiran yang disebut tafsir bi al- Ra’yi atau tafsir rasional. 2

‘Abd H{ayy al-Farma> wi@ dan Muh{ammad al-Sayyi@ d Jibri@ l misalnya menjelaskan tafsir bi al-Ra’yi dalam pemahaman yang

senada sebagai proses penafsiran Alquran melaui jalan ijtihad, setelah mufasir mengetahui metode yang digunakan orang Arab ketika

berbicara dan mengetahui kosakata Arab beserta muatannya. 3 Selain itu, mufasir juga harus dibantu dengan sair-sair Jahiliyah, Asba>b al-

Nuzu>l, Na>sikh Mansu>kh dan lain sebagainya. Syaikh Manna>’ al-Qat}t{a>n juga menjelaskan bahwa tafsir bi al-Ra’yi (tafsir rasional) merupakan penafsiran terhadap Alquran dimana mufasir berpegang kepada pemahamannya sendiri dan pengambilan kesimpulanpun didasarkan kepada logika mufasir. 4 M. Quraish Shihab juga menambahkan bahwa

tafsir bi al-Ra’yi merupakan penafsiran yang dalam proses penafsiran itu sendiri menggunakan nalar. 5

Meskipun pandangan dikalangan ulama secara umum masih diwarnai oleh perdebatan dan polemik antara dua kutub yang saling

berseberangan (membolehkan dan melarang), 6 setidaknya dalam

2 Muh{ammad H{usain al-Dhahabi@ , ‘Ilm al-Tafsi@ r (Kairo: Da@ r al-Ma’a@ rif, tth), 37 3

‘Abd H{ayy al-Farma> wi@ , al-Bida>yah fi@ al-Tafsi@ r al-Maud}u’i@ Dira>sah Manhajiyyah Maud}u’iyyah (Kairo: Maktabah Jumhuriyyah, 1977), 26. Muh{ammad

al-Sayyid Jibri@ l , Madakhil al-Mana@ hij al-Mufassiri@ n (Kairo: al-Risa>lah, 2008), 106. 4 Manna’ al-Qat}t}an, Maba>hith fi@ ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Ttp: Da>r al-Rashi@ d, tth),

351. 5 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XIX (Bandung: Mizan, 1999), 85. 6 Secara umum, terdapat dua pendapat ulama dalam memandang tafsir bi al-

Ra’yi, ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Dilarangnya tafsir bi al-Ra’yi Ra’yi, ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Dilarangnya tafsir bi al-Ra’yi

penafsiran 7 ra’y (rasio) tersebut layak untuk diterima. Berbeda halnya dengan Muh{ammad bin Lut}fi@ 8 al-S{iba> gh yang lebih menganjurkan

karena; Pertama, kebanyakan dari lahirnya tafsir-tafsir Ra’y dilakukan oleh seorang mufasir tanpa memiliki ilmu-ilmu yang diwajibkan oleh ulama-ulama dalam menafsirkan Alquran. Kedua, karena semua penjelasan Alquran dianggap sudah ada penjelasannya dalam hadis Nabi. Ketiga, adanya penegasan langsung dari hadis Nabi bahwa bagi mufasir yang menafsirkan dengan akalnya, maka tempatnya di dalam neraka. Sedangkan bagi ulama yang membolehkan beralasan bahwa; Pertama, manusia memang dituntut oleh Allah untuk berusaha memahami Alquran dengan semaksimal mungkin tanpa terkecuali melalui akal manusia. Kedua, Jika tafsir Ra’y dilarang maka sesungguhnya ijtihadpun juga dilarang yang menyebabkan banyaknya hukum-hukum yang menjadi batal, karna sesunguhnya di antara hukum-hukum yang

ada dalam Islam, kebanyakan merupakan hasil dari ijtihad dimana ijtihad itu sendiri pada esensinya merupakan aplikasi dari akal. Ketiga, aplikasi Ra’y dianggap sudah

ada pada masa sahabat, hal itu dibuktikan dengan perbedaan pemahaman para sahabat dalam memahami ayat-ayat yang telah diajarkan Nabi kepada mereka. Muh{ammad H{usain al-Dhahabi@ , ‘Ilm al-Tafsi@ r, 47-50. Bandingkan dengan yang dijelaskan Nu> ruddi@ n ‘Ittir, ‘Ulu@ m al-Qur’a>n al-Kari@ m (Damaskus: Al-Shiba@ l, 1996), 85-87.

7 Diterimanya tafsir dengan corak Ra’y seperti ini dalam pandangan Dr. T{a> hir Mah{mu> d Muh{ammad Ya’qu> b setidaknya berdiri pada tiga alasan: 1) tidak

seluruh penafsiran salaf terhadap Alquran dikupas atau dibahas secara tuntas dan terperinci, 2) Tidak seluruh makna atau maksud Alquran dijelaskan Nabi kepada sahabat secara terperinci, karena kebanyakan dari apa yang dijelaskan Nabi, hanyalah sebatas apa yang ditanyakan sahabat, 3) Ada sebagian sahabat yang terpaksa harus berijtihad dalam menafsirkan sebagian ayat Alquran dikarenakan mereka tidak mendengarkan penafsiran ataupun penjelasan Nabi secara langsung. T{a> hir Mah{mu> d Muh{ammad Ya’qu> b, Asba>b al-Khat}a’ fi@ al-Tafsi@ r, Juz’ 1 (Kairo: Da@ r Ibn al-Jauzi@ , 1425 H), 66-67.

8 Muh{ammad bin Lut}fi@ al-S{iba@ gh mengutip peringatan yang disampaikan oleh al-Qurt}ubi@ dalam kitabnya yang melarang penafsiran dengan kecenderungan

ra’yi (rasional) yang dilandaskan kepada hadis nabi نم هدعقم أوبتيلف هيأرب نارقلاب لاق نم رانلا. al-S{iba>gh menjelaskan beberapa kecenderungan atau model penafsiran ra’yi (rasional) yang menurutnya dilarang yang secara umum dikelompokkan kepada dua bagian besar, yaitu: 1) Menafsirkan sesuai hawa nafsunya, padahal ayat sama sekali tidak berbicara tentang hal itu. Kelompok pertama ini terbagi kepada tiga kasus umum, di antaranya; a) Karena pengetahuannya, seorang mufasir memalingkan makna Alquran padahal dia sendiri mengetahui jika makna ayat tersebut tidak berbicara tentang apa yang dibicarakannya. b) Karena ketidak tahuannya. Maksudnya ayat yang ditafsirkan berbicara tentang suatu konteks, namun menurut mufasir ayat tersebut justru berbicara tentang kontek yang lain. Pemahaman seperti ini dinilai disebabkan oleh faktor ketidaktahuannya sehingga kemudian mufasir ra’yi (rasional) yang dilandaskan kepada hadis nabi نم هدعقم أوبتيلف هيأرب نارقلاب لاق نم رانلا. al-S{iba>gh menjelaskan beberapa kecenderungan atau model penafsiran ra’yi (rasional) yang menurutnya dilarang yang secara umum dikelompokkan kepada dua bagian besar, yaitu: 1) Menafsirkan sesuai hawa nafsunya, padahal ayat sama sekali tidak berbicara tentang hal itu. Kelompok pertama ini terbagi kepada tiga kasus umum, di antaranya; a) Karena pengetahuannya, seorang mufasir memalingkan makna Alquran padahal dia sendiri mengetahui jika makna ayat tersebut tidak berbicara tentang apa yang dibicarakannya. b) Karena ketidak tahuannya. Maksudnya ayat yang ditafsirkan berbicara tentang suatu konteks, namun menurut mufasir ayat tersebut justru berbicara tentang kontek yang lain. Pemahaman seperti ini dinilai disebabkan oleh faktor ketidaktahuannya sehingga kemudian mufasir

Penggunaan logika dalam dunia penafsiran ternyata telah dimulai oleh sebagian mufasir pada masa tafsir klasik. Misalnya al-

T{abari@ (224-310 H) dengan corak tafsir bi al-Ma’thu>r yang pernah menggunakan pendekatan logika dalam sebagian penafsirannya seperti ketika membahas surat al-Isra> ’ (17) ayat 79. Dalam kasus ini, al- T{abari@ merespon penafsiran para pengikut Imam Hambali yang berkembang pada masa itu bahwa maqa>man mahmu>da> dalam surat al- Isra> 9 ’ (17) ayat 79 ditafsirkan bahwa Allah akan mendudukkan Nabi Muhammad bersama dirinya di ‘Arsh sebagai balasan atas shalat tahajudnya. Penafsiran seperti ini secara tidak langsung mengandung muatan pemahaman yang dekat dengan kecenderungan cara pandang antromorfisme. Hal inilah yang kemudian memicu al-T{abari@ memberikan penafsiran yang berbeda sekaligus menafikkan penafsiran antromorfisme yang mengatakan bahwa perihal Allah akan mendudukkan Muhammad di kursi yang berada di samping Allah, merupakan sesuatu yang mustahil. Namun pemahaman yang benar bagi al-T{abari@ dari lafaz maqa>man mahmu>da> dalam surat al-Isra>’ ayat

79 adalah suatu tempat yang terpuji yang telah disiapkan Allah. 10

secara berani menafsirkan dengan pendapatnya sendiri. c) Seorang mufasir menggunakan sebuah ayat untuk mendukung pendapatnya, padahal ayat tersebut secara maknawi berbicara tentang kontek yang lain dan itu juga bukan sesuai dengan pendapatnya, namun justru ayat tersebut dipaksakan untuk mendukung pendapatnya.

2) Mufasir yang tidak menguasai bahasa Arab dan kemudian mencoba menafsirkan ayat Alquran dengan akal dan pendapatnya semata, maka penafsiran dengan cara seperti ini akan menghasilkan penafsiran yang keliru. Muh{ammad bin Lut}fi@ al- S{iba@ gh, Maba>hith fi@ Us}u>l al-Tafsi@ r (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi@ , 1988), 46-47.

9 Qs. Al-Isra’ (17) ayat 79; #YŠθßϑøt¤Χ $YΒ$s)tΒ y7•/u‘ y7sWyèö7tƒ βr& #©|¤tã y7©9 \'s#Ïù$tΡ ÏμÎ/ ô‰¤fyγtFsù È≅ø‹©9$# z⎯ÏΒuρ

“Dan pada sebahagian malam hari, tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”

10 Dalam kitab Tafsi>r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@ l Ayy al-Qur’a>n, al-T{abari@ mengemukakan dua pendapat ulama terdahulu dalam menafsirkan

maqa>man mahmu>da yang dapat dipetakan bahwa kelompok pertama menafsirkannya dengan tempat yang terpuji dan kelompok yang kedua menafsirkannya dengan mendudukkannya di ‘ Arsh. Dalam polemik kedua pendapat ini, al-T{abari@ justru menegaskan bahwa pendapat dari kelompok pertamalah yang paling benar. Hal itu dikarenakan pendapat yang dikemukakan oleh kelompok

Kemudian beliau membacakan sebuah syair sebagai berikut, “Maha suci Allah yang tidak mempunyai rekan, dan di ‘Arash-Nya tidak ada rekan duduk”. Hal itu kemudian menimbulkan kemarahan yang besar dari masyarakat pada waktu itu sehingga beliaupun dilempari dengan batu yang begitu banyak meskipun telah bersembunyi ke dalam

rumah. 11 Penafsiran yang senada juga diungkapkan oleh al-Ra> zi@ (543-

12 606 H) 13 dan al-Zamakhshari@ (467-538 H) dalam kitabnya masing- masing yang pada intinya kedua mufasir tersebut lebih cenderung

menafsirkan lafaz maqa>man mahmu>da> dengan tempat ataupun keadaan yang terpuji, dimana nantinya pada tempat dan keadaan tersebut nabi Muhammad akan memberikan safa’at kepada umatnya.

Contoh penafsiran rasional lainnya juga diperlihatkan oleh Abi@ Su’u> 14 d ketika menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat ke 19, dimana

lafaz “wa futih{at al-sama>’ faka>nat abwa>ba>” ditafsirkan dengan terbelahnya langit (pada saat hari kiamat) sehingga terbukanya pintu- 15

pintu sebagai tempat turunnya malaikat.

pertama lebih dominan dan lebih sejalan dengan hadis-hadis yang dinukil oleh al- T{abari@ yang dalam penilaiannya hadis-hadis berstatus s}ahih. Ja’far Muh{ammad bin Jari@ r al-T{abari@ , Tafsi@ r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@ l Ayy al-Qur’a>n (Kairo: Bada> r Hijr, 2001 M / 1422 H), 38-54.

11 Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@ r al-Isla>mi@ (Kairo: Maktabah al- Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955), 123-124.

12 Maqa>man mahmu>da>” dalam surat al-Isra’ (17) ayat 79 ditafsirkan al- “ Ra> zi@ dengan dua makna, yaitu sebagai keadaan yang terpuji dan sebagai tempat yang

terpuji. Namun dalam penafsiran ayat ini, beliau juga menukil pendapat sebagian sahabat yang menafsirkan “ maqa>man mahmu>da>” dengan tempat duduknya Nabi di samping Allah di ‘ Arsh. Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakhruddi@ n Ibn al-‘Ala> mah D{iya> al- ‘Umar, Tafsi@ r al-Fakhr al-Ra>zi@ al-Mashhu>r bi al-Tafsi@ r al-Kabi@ r wa Mafa>ti@ h{ al-Ghaib, Juz 11 (Beirut, Libanon: Da> r al-Fikr, 1981 M / 1401 H), 32-33.

13 Al-Zamakhshari@ juga menafsirkan sebagai tempat terpuji, dimana pada tempat itu nantinya Nabi Muhammad memberikan shafa’at. Abi@ al-Qa> sm Mah}mu> d

Bin ‘Umar al-Zamakhshari@ , al-Kashsha>f ‘an H{aqa>’iq Ghawa>mid} al-Tanzi@ l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi@ l fi@ Wuju@ h al-Ta’wi@ l, Juz 3 (Riyad}: Maktabah al-‘Abi@ ka> n, 1998 M / 1418 H), 542-544.

14 Qs. Al-Naba’ (78) ayat 19: $\/≡uθö/r& ôMtΡ%s3sù â™!$yϑ¡¡9$# ÏMysÏGèùuρ

“Dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu.” 15 Nama lengkap beliau adalah Abi@ al-Su’u> d bin Muh{ammad al-‘Ama> di@ al-

H{anafi@ yang hidup pada tahun 900-982 H. Terkait surat al-Naba (78) ayat 19, Abi@ al- Su’u> d menafsirkannya secara umum dengan meyakini bahwa pada saat ditiupkan sangkakala di hari kiamat, maka langit itu akan terbelah secara zahir sehingga terbukalah beberapa pintu yang akan menjadi tempat turunnya para malaikat ke

Begitu juga dengan penafsiran al-Qurt}ubi@ (w 671 H) terhadap surat al-Takwi@ r (81) ayat 1 dan Ibnu Abba> s terhadap surat al-Takwi@ r

(81) ayat 2. 16 Pada ayat pertama dari surat al-Takwi@ r, al-Qurt}ubi@ menafsirkannya dengan digulungnya matahari dan dihilangkan sinarnya kemudian sinarnya dilemparkan ke dalam laut. Sedangkan

pada ayat ke dua dari surat al-Takwi@ r, Ibnu Abba> s menafsirkan bintang yang berjatuhan dengan penafsiran bahwa bintang-bintang tersebut merupakan lampu-lampu yang tergantung antara langit dan Bumi dengan rantai yang terbuat dari cahaya. Rantai cahaya tersebut dipegang oleh malaikat, kemudian jika datang tiupan pertama maka wafatlah seluruh penduduk bumi dan penduduk langit, lalu bintang- bintang tersebut bertebaran dan rantai-rantai dari tangan malaikat berjatuhan karena akan mati siapa yang memegangnya. Bisa jadi juga

yang dimaksud bintang berjatuhan adalah hilang sinarnya. 17 Dari penafsiran al-T{abari@ , al-Ra> zi@ dan al-Zamakhshari@ misalnya

ketika menafsirkan surat al-Isra> ’ (17) ayat 79 dipahami bahwa secara umum ayat ini berbicara tentang persoalan transendental dengan sifat realitasnya berada di luar wilayah empiris dan tidak mampu dijangkau oleh pancaindra, namun ketiga ulama tersebut tetap berusaha memberikan penafsiran terhadap ayat untuk menunjukkan realitas ayat yang sebenarnya. Mereka cenderung memanfaatkan pendekatan kebahasaan yang didukung oleh pendapat-pendapat para sahabat dan ulama-ulama sebelum mereka, kemudian dipahami melalui akal sehingga membentuk sebuah imajinasi di alam rasio yang kemudian dituangkan menjadi sebuah penafsiran terhadap ayat walaupun realitas imajinasi itu sendiri berada di luar wilayah empiris. Secara tidak langsung dapat dianalisa bahwa penafsiran al-T{abari@ , al-Ra> zi@ dan al- Zamakhshari@ tentang maqa>man mahmu>da> dihasilkan tanpa melewati proses pengamatan realitas empiris dan aplikasi seperti itu tentunya menegasikan aplikasi utuh dari epistemologi Empirisme. Begitu juga

Bumi, dan itu benar-benar ada. Abi@ al-Su’u> d Bin Muh{ammad al-‘Ama> di> al-H{anafi@ , Tafsi@ r Abi@ al-Su’u>d au Irsha>d al-‘Aql al-Sali@ m Ila> Maza>ya> al-Kita>b al-Kari@ m, Juz 5 (Riya> d}: Maktabah al-Riya> d} al-Hadi@ thah, t.th), 455.

16 Qs. al-Takwi@ r (81) ayat 1-2; ôNu‘y‰s3Ρ$# ãΠθàf–Ψ9$# #sŒÎ)uρ . ôNu‘Èhθä. ߧ÷Κ¤±9$# #sŒÎ)

“Apabila matahari di gulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan.”

17 Abi@ ‘Abdalla> h Muh{ammad bin Ah{mad al-Ans}ari@ al-Qurt}ubi@ , al-Ja>mi’ li@ Ah}ka>m al-Qura>n (Kairo: Da>r al-Ka>tab al-‘Arabi@ li al-T{aba> ’ah wa al-Nashr, 1967),

227-228.

dengan ayat-ayat al-Kauni@ yah seperti yang terdapat dalam al-Naba’ (78) ayat ke 19 dan surat al-Takwi@ r (81) ayat 1 dan 2 sebagaimana yang ditafsirkan oleh Abi@ Su’u> d, al-Qurt}ubi@ dan Ibn Abba> s. Ketiga ayat ini secara umum berbicara dalam kontek sebuah fenomena alam yang memiliki hukum-hukum alam dan sisi-sisi empiris tersendiri yang dapat diketahui melalui pengalaman dan penalaran ilmiah. Namun jika membedah penafsiran dari ketiga ulama tersebut maka akan terlihat deskripsi yang dibangun terhadap ayat lebih kepada realitas teologis dan metafisik yang secara esensi tidak dapat ditunjukkan dalam konteks realitas empiris. Jika penafsiran tersebut diverifikasi berdasarkan realitas empiris yang ditunjang ilmu pengetahuan alam (sains), maka akan ditemukan beberapa kerancuan antara realitas yang digambarkan dalam penafsiran dengan realitas wilayah empiris. Inilah yang dimaksud dalam penelitian ini dengan penafsiran rasional dimana esensi epistemologi mufasir ketika memahami ayat masih berada dan terfokus kepada apa yang dideskripsikan oleh akal budi (rasio) tanpa mengukuhkan keyakinan itu melalui kesesuaian antara deskripsi akal budi (rasio) dengan pengamatan empiris, apalagi didukung oleh pejelasan analitis ilmiah sebagaimana yang ditekankan dalam filsafat Positivisme.

2. Mu’tazilah dan Tendensi Rasional Beragam polemik yang melatarbelakangi kemunculan Mu’tazilah, mengantarkan Mu’tazilah pada tatanan yang cukup dikenal sebagai salah satu aliran teologi dalam Islam. Perdebatan mengenai pelaku dosa besar yang terjadi antara Khawarij dan Murji’ah, disebut sebagai salah satu faktor yang mendongkrak kepopularitasan Mu’tazilah. Perdebatan inipun juga berimbas pada permasalahan tentang konsepsi manusia terkait pesoalan ketuhanan. Kehadiran Mu’tazilah yang dalam hal ini berusaha menafikkan segala bentuk konsepsi seorang muslim dalam keyakinannya tentang ketuhanan yang mengarah kepada penggambaran tuhan secara

antropomorfisme 18 ataupun menyerupai makhluknya dalam konteks

18 Andrew J. Lane menyebutkan bahwa pembacaan dengan kecenderungan antomorfisme terhadap ayat-ayat Alquran berkembang pesat sejak pertengahan abad

kedelapan. Kecenderungan ini didominasi dan dikembangkan oleh kaum tradisionalis Islam. Andrew J. Lane, “You Can’t Tell A Book by Its Author the Study of Mu’tazillite of Theology in Zamakhshari’s (d.538/1144) Kashsha> f” dalam Journal SOAS, 2012 (Diakses dari http://e- kedelapan. Kecenderungan ini didominasi dan dikembangkan oleh kaum tradisionalis Islam. Andrew J. Lane, “You Can’t Tell A Book by Its Author the Study of Mu’tazillite of Theology in Zamakhshari’s (d.538/1144) Kashsha> f” dalam Journal SOAS, 2012 (Diakses dari http://e-

waktu itu. 19 Sikap kontra Mu’tazilah yang berhadapan dengan pendapat dan

konsepsi-konsepsi yang ma’thu>r dengan metode naql pada waktu itu, seraya menunjukkan dan menawarkan kemerdekaan dan kebebasan berpikir bagi umat Islam. Dalam usaha itu, Mu’tazilah segera berpindah pada situasi yang mengharuskan mereka untuk memapankan mazhabnya berdasarkan nas-nas dan di sisi lain berusaha menangkis serta melemahkan argumen-argumen yang diarahkan untuk menyerang mereka dari teks-teks tersebut dengan cara yang cerdik dalam

mentakwilkannya. Kondisi ini kemudian secara tidak langsung mengantarkan kaum Mu’tazilah berjalan memasuki wilayah-wilayah

praktis filsafat yang semakin menonjolkan kecenderungan rasionalnya. Dalam kajian filsafat, terkusus filsafat Barat, kata rasional sendiri muncul sekitar dua ribu tahun yang lalu ketika Sineca menyebut manusia sebagai binatang bernalar, namun yang lebih dikenal dikalangan pakar filsafat adalah istilah yang dimunculkan

Aristoteles yang menyebut manusia dengan 21 animal rasionale. Dalam perkembangannya, karakteristik Rasionalisme lebih terlihat ketika

adanya kecenderungan manusia dalam melihat dan memahami sesuatu kebenaran yang bertumpu pada akal. Rasionalisme berpandangan bahwa kebenaran realitas merupakan apa yang diketahui oleh akal manusia tanpa harus bergantung pada realita empiris. Sejauh akal mampu melihat dan memahami sesuatu, itulah kebenaran yang

resources.pnri.go.id:2058/docview/1008896618?accountid=25704, tanggal 03-09- 2013, pukul 15.08 WIB), 73.

19 Misalnya saja pertentangan antara Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa Dinasti ‘Abbasiyah dengan pengikut mazhab Ah{mad bin Hanba> l

tentang Alquran itu makhluk atau qadim. Golongan pemuka Mu’tazilah pada masa itu berkompromi dengan pemerintah Abbasiyah untuk memaksa seluruh rakyat yang berada di bawah kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyah (termasuk pengikut Ahmad bin Hanbal) untuk mengakui bahwa Alquran itu adalah makhluk. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@ r al-Isla>mi@ , 121.

20 Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@ r al-Isla>mi@ , 121-122. 21 Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori

Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi (Bogor: Akademia, 2009), 109-110.

diyakini tanpa harus diiringi keberadaan unsur empiris dari sebuah proposisi. Dengan kata lain bahwa Rasionalisme mengabaikan keberadaan ranah empiris sebagai realitas dan meyakini sepenuhnya kebenaran itu adalah apa yang dideskripsikan oleh akal. Sedangkan dalam wilayah pembahasan filsafat Islam, tradisi rasional lebih kepada upaya menemukan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan akal dalam suatu masyarakat dan mencoba menyelaraskan hubungan antara akal dan wahyu. Tradisi rasional dalam Islam mencoba melihat konflik-konflik serta berusaha menguranginya, dan menemukan hal-hal misterius dalam agama dan memahami serta menjelaskannya dengan pejelasan rasional mengenai kemungkinan-kemungkinannya atau

doktrin-doktrin agama. 22 Pembahasan rasional dalam Islam disatu sisi juga

dideskripsikan sebagai upaya untuk memahami dalam pengertian rasional yang lebih luas fenomena-fenomena yang diakui berada di luar

jangkauan akal atau yang tidak rasional dan sama sekali tidak akan pernah diubah menjadi sesuatu yang rasional. Inilah tujuan filsafat Islam secara umum yang mencoba mengurangi kemungkinan konflik di antara akal atau pengetahuan rasional dan wahyu-wahyu yang telah

diturunkan. 23 Tendensi rasional dalam konsep seperti ini yang terus dibangun dan dimapankan oleh Mu’tazilah bahwa kekuatan akallah

yang membantu manusia mengetahui sesuatu, 24 termasuk persoalan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sang khaliq. 25 Bahkan

sebagian dari ahli Fikih juga menilai bahwa kaum Mu’tazilah lebih bersikap berani mengedepankan akal mereka dari pada ajaran dan

22 Muhsin Mahdi, “Tradisi Rasional dalam Islam” dalam Tradisi-Tradisi Intelektual Islam, Ed. Farhad Daftary, Penerj; Fuad Jabali dan Udjang Tholib

(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), 64-65. 23 Muhsin Mahdi, “Tradisi Rasional dalam Islam” dalam , 78-79.

24 Secara umum karakteristik seperti ini yang diperlihatkan Mu’tazilah bahwa pengamatan indrawi bukanlah sarana yang menjadi sumber atau sarana yang

mengantarkan manusia mengetahui sesuatu. Namun justru menunjukkan kecenderungan akal sebagai sumber dari pengetahuan yang membentuk pengetahuan manusia itu sendiri. Setidaknya inilah pandangan yang diyakini oleh Abu Huzail sebagai salah satu tokoh yang dikenal dari kalangan Mu’tazilah. ‘Ali@ Sami@ al-Nasha> r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi@ fi@ al-Isla>m, Juz 1 (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1981), 475-501.

25 Pemikiran ini bertolak belakang dengan konsep Asy’ariyah yang cenderung menunjukkan dan memposisikan akal pada posisi yang dianggap lemah

serta tidak dapat mengetahui sesuatu, termasuk kewajiban-kewajiban manusia. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan ke 2 (Jakarta: Universitas Indonesia, t.th), 80-83.

aturan-aturan syara’ yang sudah cukup tabu di tengah-tengah masyarakat Islam. Inilah salah satu implikasi yang ditimbulkan oleh dominasi pengaruh filsafat dan kefanatikan mazhab yang berjalan di

luar alur 26 mainstream yang ada. Bahkan Harun Nasution mengistilahkan kelompok Mu’tazilah sebagai teolog liberal Islam. 27

Rasionalisme dalam pembicaraan filsafat Islam mengidentikkan diri pada substansi rasionalisme yang memahami dan menerima fakta mengenai keberadaan segala sesuatu yang tidak benar- benar rasional. Inilah rasionalisme yang membatasi dirinya pada jenis akal tertentu dan menolak pentingnya memahami atau membenarkan segala yang ada di luar cara pikir seperti ini, dalam artian cenderung mengabaikan wilayah-wilayah eksistensi tertentu atau pengalaman yang jelas-jelas ada, atau dalam istilah Muhsin Mahdi disebut

rasionalisme yang tidak rasional. 28 Misalnya saja terkait penafsiran terhadap surat al-Qiya> mah

(75) ayat 22-23: . ×οtÏß$tΡ $pκÍh5u‘ 4’n<Î) . îοuÅÑ$¯Ρ 7‹Í×tΒöθtƒ ×νθã_ãρ

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Golongan Ahlu Sunnah secara umum berpegang pada makna tekstual ayat ini dengan meyakini bahwa orang-orang yang bertaqwa akan dapat melihat Allah dengan mata kepala secara zahir. Pemahaman ini terintegrasikan dari pemahaman Imam Syafi’i terhadap surat al-Mut}affifi@ n (83) ayat 15:

. tβθç/θàfóspR°Q 7‹Í×tΒöθtƒ öΝÍκÍh5§‘ ⎯tã öΝåκ¨ΞÎ) Hξx.

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.

Dari surat al-Mut}affifi@ n (83) ayat 15, Imam Syafi’i memahami bahwa orang-orang yang berdusta tidak akan dapat melihat tuhannya dan bahkan sebaliknya orang-orang yang beriman akan dapat melihat

26 Bara> kah Muh{ammad Mura> d, Manha>j al-Jada>l wa al-Muna>d{arah fi@ al-Fikr al-Isla>m (Kairo: al-Nashi@ r, 1990), 89.

27 Harun Nasution menyebutkan bahwa tingginya pengaruh akal dalam kalangan Mu’tazilian mejadikan mereka cenderung menjamah ayat dan hadis serta

menghadirkan interpretasi yang liberal terhadap ajaran-ajaran Islam yang bahkan sudah dianggap qat’i. Harun Nasution, Teologi Islam, 150-151.

28 Muhsin Mahdi, “Tradisi Rasional dalam Islam”, 82.

tuhannya. Pandangan ini kemudian secara umum dipegang dan dijadikan dasar oleh golongan Ahlu Sunnah, yaitu pemahaman dengan kecenderungan antromorpisme bahwa Allah akan terlihat oleh mata kepala manusia sebagaimana mata manusia mampu melihat benda-

benda yang nyata di alam empiris. 29 Dalam pandangan yang berbeda, Mu’tazilah justru menafikkan

pemahaman Ahlu Sunnah dan Imam Syafi’i. Bagi golongan Mu’tazilah konsep pemahaman tersebut bertentangan dengan surat al-An’a> m (6)

ayat 103 30 sehingga dengan demikian Mu’tazilah mengambil jalan untuk tidak berpegang kepada makna literal ayat dan menyebutkan

bahwa penglihatan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah penglihatan dengan mata hati, 31 dan bukan mata kepala, karena mata

hatilah yang mampu melihat sesuatu dengan sempurna. 32 Sedangkan apa yang disebutkan dalam surat al-Qiya> mah (75) ayat 23 merupakan

sebuah ungkapan metaforis semata. Selain berpegang kepada ayat Alquran (al-An’a> m (6) ayat 103), pemahaman yang berbeda dengan

apa yang dipahami imam Syafi’i dan Ahlu Sunnah tersebut juga merupakan imbas dari kuatnya penggunaan akal atau rasio di kalangan Mu’tazilian. Para Mu’tazilian meyakini penafsiran yang dipegang oleh Imam Syafi’i dan Ahlu Sunnah cukup bertentangan dengan akal, oleh karena itu dalam konteks ayat ini kaum Mu’tazilah mencoba

29 Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@ r al-Isla>mi@ , 125-126. 30 Surat al-An’a> m (6) ayat 103:

çÎ6sƒø:$# ß#‹Ïܯ=9$# uθèδuρ ( t≈|Áö/F{$# à8Í‘ô‰ãƒ uθèδuρ ã≈|Áö/F{$# çμà2Í‘ô‰è? ω Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat 31 segala yang terlihat dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui.

Mu’tazilah memahami bahwa informasi ayat secara literal, hanya sebatas majas, namun substansinya bukan sebagaimana literal ayat. Mereka menegasikan penglihatan mata (pancaindra), namun lebih mengarah kepada penglihatan hati. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@ r al-Isla>mi@ , 126-127.

32 Muh{ammad ‘Ali@ Abu> Rayya> n, Ta>ri@ kh al-Fikr al-Falsafi@ fi@ al-Isla>m (Iskandariya: Da> r al-Ma’rifa> h, 1980), 276.

33 Melakukan penafsiran secara metaforis terhadap ayat-ayat yang secara umum berbicara terkait sifat-sifat tuhan, dianggap oleh sekte Muktazilah sebagai

langkah yang perlu dilakukan. Hal ini mengingat agar terhindarnya penafsiran yang mengandung klaim kesamaan makhluk dengan Allah. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an Towards A Contemporary Aproach (New York: Routledge, 2006), 62.

menafsirkan surat al-Qiya> mah (75) ayat 22-23 dengan penafsiran yang dianggap sesuai dengan akal mereka. 34

Dari contoh penafsiran (surat al-Qiya> mah (75) ayat 22-23) tersebut, dipahami sebuah bentuk aplikasi penafsiran yang berusaha

mengungkapkan kebenaran realitas dari apa yang mereka pahami terhadap ayat Alquran dimana realitas itu sendiri berada dalam wilayah akal budi (rasio) manusia dan bukan berada dalam wilayah empiris. Selain itu, pembenaran yang dipilih dan dimunculkan sebagai wujud pemahaman dari pembacaan terhadap ayat juga berasal dan berada di wilayah akal budi (rasio). Hal itu berarti bahwa keyakinan yang dipegangi secara umum ketika memahami ayat adalah keyakinan yang terbentuk secara sadar karena disandarkan pada realitas akal budi (rasio) semata, sesuai dengan apa yang digambarkan dan dimunculkan oleh akal manusia itu sendiri atau dengan kata lain meyakini sebuah pemahaman yang terlepas dari wilayah realitas empiris karena kebenaran dari realitas empiris adalah keyakinan terhadap sesuatu dari apa yang bisa diketahui, ditangkap dan dibenarkan oleh pancaindra manusia sebagai pengalaman (empiris) yang kemudian sering disebut dengan istilah Empirisme. Inilah gambaran kecenderungan dan karakteristik penafsiran kelompok Mu’tazilah yang lebih dikenal dengan tafsir rasional Mu’tazilah.

B. Positivisme dalam Bingkai Epistemologi Empirisme Perbincangan tentang Positivisme tidak terlepas dari perdebatan epistemologi pengetahuan manusia tentang realitas dalam filsafat Rasionalisme dan Empirisme. Rasionalisme dan Empirisme sama-sama mengakui adanya realitas. Namun perdebatan kedua aliran filsafat ini terletak pada epistemologi pengetahuan itu sendiri.

Secara umum dalam konsep filsafat Rasionalisme, epistemologi pengetahuan tergambar dari pemikiran salah seorang filosof klasik Yunani, yaitu Plato (427-327 S.M) yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukanlah hasil pengamatan indra manusia karena wilayah empiris yang diamati hanya merupakan bayangan dari dunia

34 Sebagaimana aliran teologi lainnya, Mu’tazilah juga menganggap pentingnya wahyu untuk menyertai akal. Oleh karena itu, ketika ada pertentangan

antara wahyu dan akal, maka wahyu harus ditakwilkan agar sejalan dengan akal. Inilah suatu corak yang kental dalam perspektif Mu’tazilah secara umum ketika memahami sebuah ayat Alquran. Ah{mad Mah}mu> d S}ubh}i@ , al-Falsafah al-Akhla>qiyah fi@ al-Fikr al-Isla@ m (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), 41.

idea. Anggapan dunia empiris sebagai bayangan alam idea menyebabkan pengetahuan manusia tentang realitas menjadi kabur. Pengamatan indrawi dianggap sebagai jalan pembuka realitas

sesungguhnya (alam idea). 35 Dengan demikian dalam pandangan Plato, akal budi (rasio) merupakan sumber dan penentu kebenaran sesuatu.

Rene Descartes (1596-1650 M) juga berpandangan bahwa Rasionalisme sebagai upaya untuk mempertimbangkan segala sesuatu di bawah pertimbangan akal budi atau fikiran, karena yang benar-benar

eksis dan tidak dapat diragukan adalah berfikir. 36 Dengan menggunakan akal fikiran, Leibniz (1646-1716 M) juga meyakini hal

tersebutlah yang dapat menjelaskan semua realitas. 37 Jadi dalam konsep Rasionalisme secara umum, akal budi (rasio) merupakan

sumber utama pengetahuan manusia. Terbentuknya ide dan konsep serta kebenaran tentang sesuatu merupakan hal yang sebenarnya berada di alam idea manusia. Bahkan Herbert Marcuse, sempat menyinggung gambaran kecenderungan Rasionalisme walaupun secara tidak langsung bahwa aliran ini sibuk membahas dan mengupas konsepsi benda dan esensi murninya yang tidak sampai pada tahap

eksistensi aktual dan tidak bisa menyediakan pengetahuan yang riil. 38 Hal tersebut menguatkan keberadaan Rasionalisme yang meyakini

asal dan kebenaran pengetahuan terbebas dari wilayah empiris ataupun pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi dari sesuatu yang empiris justru hanya dianggap sebatas celah deskriptif dari realitas mutlak (alam idea).

35 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 114. 36 Rene Descartes mengawali pemikirannya yang meyakini akal sebagai sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya dari filsafat keraguannya

yang muncul ketika ia meyakini kebenaran dari apa yang ditangkap pancaindra terhadap benda-benda di sekitarnya. Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu dari Empirik Rasional Ateistik ke Empirik Rasional Teistik (Bandung: Benang Merah Press, 2005), 77-80.

37 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 133. Muh{ammad Ka>mal al-Hur justru menyebutkan hal yang sedikit berbeda bahwa dalam proses berfikir,

yang bisa difikirkan itu adalah segala hal yang bisa disaksikan. Artinya di sini, harus ada persentuhan terlebih dahulu antara objek dengan pancaindra yang kemudian data tersebut baru diolah dalam proses berfikir. Muh{ammad Ka> mal al-Hur, Ibn Si@ na> H{aya>tuhu, Atha>ruhu wa Falsafatuhu (Beirut, Libanon: Da>r al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1991), 117. 38

Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi Menyuguhkan Kembali Doktrin Hegel Untuk Umum, Penerj; Imam Baehaqie (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 265.

Bertolak belakang dengan Rasionalisme, Empirisme justru memahami epistemologi dan kebenaran pengetahuan dari sisi yang berbeda. Empirisme memandang bahwa pengalaman dan

pengamatanlah yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan. 39 Democritus dan Chrisippus menjelaskan bahwa pengetahuan

bersumber dari pengamatan. Realitas dipahami sebagai sesuatu yang berada di dalam wilayah empiris. Realitas empiris bergerak dalam keteraturannya sendiri (mekanisme) dan pengetahuan adalah upaya

mengungkap realitas sebagaimana realitas itu adanya. 40 Aristoteles (384-322 S.M) bahkan menafikkan sesuatu yang kemudian disebut

sebagai persepsi tanpa menyentuh objek empiris. 41 Demikian juga David Hume (1711-1776 M) yang menganggap bahwa pengalaman

adalah sarana yang paling memadai untuk mencapai kebenaran. Hume menganggap bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman indrawi yang meliputi pengertian, hubungan antara pengertian dan kepastian 42 pengertian.

39 George Bealer dan P. F. Strawson mencoba mengkritik epistemologi Empirisme bahwa selain pengalaman dan pengamatan idrawi, pada dasarnya

Empirisme juga melibatkan faktor intuisi dalam menghasilkan pengetahuan. Walupun demikian, posisi intuisi dalam pandangan George Bealer dan P. F. Strawson masih tetap sebagai faktor pendukung dari kebenaran yang didapat dari pengalaman dan pengamatan indrawi dan bukan bersifat primer. Dari pandangan tersebut dapat dianalisa bahwa pada intinya dalam Empirisme, sebagaimana juga yang dijelaskan P. Lipton bahwa posisi pengalaman dan pengamatan indrawi tetap sebagai sumber pokok dari pengetahuan manusia. George Bealer dan P. F. Strawson, “The Incoherence of Empiricism” dalam Proceedings of the Aristotelian Society, Vol

66 tahun 1992 (Diakses dari http://thatmarcusfamily.org/philosophy/Course_Websites/Readings/Bealer%20and% 20Strawson%20-%20Incoherence%20of%20Empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013, pukul 02.11 WIB), 105. P. Lipton, History of Empiricism, (Diakses dari http://www.hps.cam.ac.uk/people/lipton/history_of_empiricism.pdf, tanggal 14-09- 2013 pukul 01.59 WIB), 4483.

40 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 148-149. 41 Persepsi dalam pandangan Aristoteles mengacu kepada apa yang

ditindaklanjuti terhadap sesuatu yang berasal dari sesuatu objek empirik yang kemudian ditangkap dan disimpan oleh akal sehingga menjadi sesuatu yang diketahui, dan itulah sesuatu pengetahuan yang bijaksana. Michael Esfeld, “Aristotle's Direct Realism in De Anima” dalam Jurnal The Review of Metaphysics, Dsember 2000 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2058/docview/223468949?accountid=25704, tanggal 14-09- 2013, pukul 00.14 WIB), 323.

42 Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu, 73. Ji@ ra> r Juha> mi@ juga menyebutkan hal yang senada bahwa secara substansi, akal bekerja dengan memikirkan sesuatu

Francis Bacon (1561-1626 M) juga memberikan kriteria tentang pengetahuan yang dianggap layak disebut sebagai pengetahuan yang benar adalah sesuatu yang diterima oleh manusia yang berasal dari persentuhan indrawi dengan fakta, karena persentuhan indrawi dengan fakta merupakan persentuhan yang bersifat sejati yang tidak bisa dispekulasi, namun justru mampu

dibuktikan secara 43 real, dan kecenderungan ini juga didukung oleh Ibnu Khaldun. 44 Dengan demikian kebenaran suatu realitas dalam

Empirisme beranjak dari apa yang diketahui secara empiris dan bukan berupa sesuatu yang ada di dalam alam idea manusia dan sebaliknya apa yang ada dalam idea manusia merupakan apa yang didapat dari persentuhan antara pancaindra terhadap fakta-fakta ataupun benda- benda yang ada di alam nyata.

Dari perbandingan model epistemologi pengetahuan antara Rasionalisme dan Empirisme, maka kemudian muncul filsafat

Positivisme yang lahir mengadopsi epistemologi Empirisme. Positivisme sebagai salah satu aliran dalam filsafat Barat abad pencerahan yang didirikan dan dibangun oleh seorang filosof Prancis

yang bernama Auguste Comte 45 sekitar abad ke delapan belas.

objek berdasarkan objek lain yang bersifat empirik. Jadi ada relasi hubungan antara objek yang bersifat empirik dengan akal yang membentuk sebuah pengetahuan. Ji@ ra> r Juha> mi@ , Risa>lah ma> Ba’da al-T{abi@ ’ah (Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr al-Libana>ni@ , 1994), 155.

44 Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu, 69-70. Yusuf Farha> t menjelaskan bahwa menurut Ibnu Khaldun, pengetahuan itu

harus berdasarkan pada cara mengetahuinya, sebagaimana suara yang diperoleh melalui telinga, bukan melalui penglihatan. Demikian juga warna diperoleh melalui penglihatan, dan bukan melalui indra perasa. Yusuf Farha> t, al-Falsafah al-Isla>miyyah wa A’la>muha> (Jenewa, Swiss: Tara>d Kasi@ m, 1986), 213.

45 Auguste Comte (selanjutnya disebut Comte) adalah seorang filosof kelahiran Montpellier Prancis pada tahun 1798 dan meninggal pada tahun 1857.

Auguste Comte merupakan penggagas aliran filsafat Positivisme yang berkembang di Prancis. Pada masa awal kemunculannya, aliran filsafat Positivisme ini lebih dilatarbelakangi oleh dorongan dan keinginan pribadi Auguste Comte untuk memunculkan antitesis dari keyakinan beragama masyarakat Prancis dengan mendirikan sebuah “agama baru” yang kemudian dikenal sebagai Agama Humanis. Konsep-konsep yang ditawarkan oleh Comte dalam agama humanisnya, ternyata dikemudian hari justru banyak berperan dalam membentuk dunia ilmiah, terkhusus dalam perkembangan filsafat Positivismenya. Secara umum, prinsip-prinsip yang dikembangkan Comte dalam filsafat Positivisme dipengaruhi oleh adanya unsur pengaruh Kristen, ilmu pengetahuan dan Aufklaerung. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 188-191. Bernhard Ple, “Auguste Comte on Positivism

Istilah Positivisme berasal dari kata positif. 46 Terlepas dari pemahaman Schelling, 47 Auguste Comte justru mendefenisikan kata

”positif” sebagai sesuatu yang mengandung unsur fakta real atau nyata. 48 Pemahanan Comte terhadap positif diadopsi dari pemikiran David Hume tentang sifat realitas, 49 dimana Hume sendiri termasuk

salah seorang tokoh Empirisme. Tak heran jika cara pandang dan pemahaman Comte ditegaskan oleh pernyataan Hoekheimer bahwa transendentalisme dihancurkan oleh pemikiran Positivis yang murni

berlandaskan pengalaman sebagai dasar pengetahuan, 50 kemudian dilengkapi dengan argument-argumen keilmiahan. 51 Dengan demikian

dipahami bahwa Positivisme menggunakan dua prinsip dasar yang dipandang urgen sekaligus sebagai karakateristik Positivisme itu

sendiri, yaitu fakta empiris dan penjelasan logis analitis. 52 Pada dasarnya sesuatu yang diketahui masih berada pada batas asumsi.

Untuk itu dalam Positivisme harus dilakukan pembuktian secara logis

and Happiness” dalam Journal of Happiness Studies, 2000 (Diakses dari http://e- resources.pnri.go.id:2058/docview/751320034?accountid=25704, tanggal 14-05- 2013, pukul 03.5 WIB), 423-424.

46 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), 114.

47 Dalam pemikiran Schelling, positif bukan saja berarti sesuatu fakta riil atau nyata semata, melainkan segala sesuatu aktivitas kreatif yang bebas juga

termasuk ke dalam pemahaman dari kata positif itu sendiri. Jadi, defenisi positif dalam kerangka pemikiran Schelling lebih luas dari apa yang didefenisikan Auguste Comte. Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi, 266.

48 Akhyar Yusuf Lubis, 49 Epistimologi Fundasional, 191. Fadel Kaboub menyebutkan bahwa Positivisme mengadopsi teori David

Hume dari sifat realitas (terkait ontologi). Hume percaya bahwa realitas itu sendiri bersifat atomistik (tingkat mikro) dan independen. Dia meyakini penggunaan pancaindra untuk menghasilkan pengetahuan tentang realitas. Jadi konsep fakta riil dan nyata dalam pemikiran David Hume adalah sesuatu yang mampu ditangkap dan dibuktikan oleh pancaindra. Fadel Kaboub, “Positive Paradigm” dalam Leong (Encyc), Vol 2. 2008 (Diakses dari http://personal.denison.edu/~kaboubf/Pub/2008- Positivist-Paradigm.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.06 WIB), 343. 50

Christian Fuchs dan Marisol Sandoval, “Positivism Postmodernism or Critical Theory A Case Study of Communications Students’ Understandings of Criticism”, dalam Journal for Critical Education Policy Studies, Volume 6 (Diakses dari http://www.jceps.com/PDFs/6-2-07.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.03 WIB),

115. 51 Must{afa> H{alami@ , “al-Akhla> q ‘Inda Auguste Comte” dalam al-Alu>kah al-

Thaqa>fiyyah, 2012 (Diakses dari http://www.alukah.net/Culture/0/44474/, tanggal 07-03-2014).

52 Fadel Kaboub, “Positive Paradigm” dalam Leong (Enciyc), 343.

analitis ke dalam ranah empiris. Dengan demikian barulah suatu informasi diyakini bernilai benar adanya.

Pembuktian logis analitis dalam Positivisme, dianggap mampu diwujudkan melalui pendekatan ilmiah. 53 Pendekatan ilmiah

sebagaimana yang pahami secara umum dari penjelasan Jujun S. Suriasumantri, 54 merupakan pengetahuan yang bersifat rasional dan

teruji serta memenuhi syarat-syarat tertentu dari sebuah tubuh keilmuan yang tersusun secara sistematis dan eksplisit, serta secara umum dianggap layak dan dapat diandalkan dalam spesifikasi masalah tertentu yang mampu menunjukkan kekonsistensian dan kebenarannya yang teruji secara empiris. Salah satu cara berpikir dari pendekatan ilmiah adalah cara berpikir induktif dimana cara berpikir seperti ini merupakan esensi dari teori korespondensi bahwasannya suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan umum berkesesuaian dengan objek faktual yang dituju oleh pernyataan tersebut. Dengan kata lain suatu pernyataan benar adanya apabila terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Artinya, dalam cara berpikir seperti ini lebih memegang dan meyakini hal-hal nyata yang dapat diamati pancaindra atau fakta empiris sebagai landasan yang kuat dalam menjelaskan pernyataan- pernyataan umum yang ada. Beranjak dari pendekatan ilmiah yang secara substansi mengamati sesuatu yang berada di alam secara empiris, menjadikan Positivisme Auguste Comte melandaskan penjelasan logis analitis tentang pernyataan terhadap sesuatu melalui

ilmu-ilmu alam ( 55 science) , karena alam memiliki sifat bahwa hukum- hukumnya dapat diketahui, 56 atau lebih dikenal dengan hukum alam.

53 John Stuart Mill menyebutkan bahwa Auguste Comte adalah orang pertama yang telah mencoba mensistematisasikan secara lengkap dan menyebarkan

pandangan ilmiah ke dalam semua objek pengetahuan manusia. John Stuart Mill, Auguste Comte and Positivism (tp: Marc D'Hooghe, 2005), 2.

54 Tentang pendekatan ilmiah ini dapat dipahami secara mendalam dalam penjelasan Jujun S. Suriasumantri ketika mengupas pembahasan terkait metode

ilmiah dan struktur ilmiah. Dalam pembahasan ini Jujun mengupas tentang pemahaman ilmiah, sistem kerja dan langkah-langkah ilmiah serta struktur-struktur ilmiah itu sendiri. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan ke 20 (Jakarta: Pancaranintan Indahgraha, 2007), 119-161.

55 Dalam pemikiran Ernest March, science atau ilmu-ilmu alam merupakan deskripsi dari pengalaman manusia. Pengalaman dalam konteks ini dipahami sebagai

pengetahuan pancaindra terhadap alam secara empirik. Passmore. J, “Logical Positivism” dalam The Encyclopedia of Philosophy, Vol. 5, New York: Macmillan

Pemikiran Comte tentang Positivisme secara umum sebagaimana yang dikutip oleh Doyle Paul Johnson melihat bahwa semangat positif dalam hubungannya dengan konsepsi ilmiah akan ditemukan filsafat Positivisme ini berbeda dari metafisika teologis. Studi mengenai hukum-hukum gejala harus bersifat nisbi (relatif) karena studi dalam Positivisme mengandalkan suatu kemajuan pemikiran yang terus berkembang yang akan membentuk kesempurnaan pengamatan secara bertahap tanpa pernah akan membukakan secara penuh suatu kenyataan setepat-tepatnya. Jadi sifat nisbi konsepsi ilmiah tidak dapat terpisahkan dari pengertian yang tepat mengenai hukum-hukum alam, seperti halnya kecenderungan khayali akan pengetahuan mutlak yang menyerupai

setiap penggunaan fiksi dan hal-hal metafisik. 57 Berlandaskan pemikiran Comte tersebut penulis memahami

bahwa unsur fiksi sekaligus sesuatu yang mengandung hal-hal metafisik merupakan bagian dari suatu bentuk kecenderungan khayali.

Itulah perbedaan dan fungsi dari kehadiran Positivisme yang mencoba memediasi konsep-konsep ilmiah untuk mampu menjelaskan sesuatu dari keberadaan kecenderungan khayali ataupun hukum-hukum alam yang abstrak sehingga secara perlahan sampai kepada kenyataan yang setepat-tepatnya yang dikenal sebagai sesuatu yang positif.

Senada dengan itu, Soerjono Soekanto juga menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan yang bersifat positif sebagaimana yang dimaksudkan Comte adalah apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongkrit, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian ada kemungkinan untuk memberikan ruang bagi berbagai ilmu pengetahuan untuk mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu tadi mampu mengungkapkan kebenaran yang positif. Lebih jauh lagi Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa terdapat berbagai macam disiplin ilmu-ilmu alam yang bisa digunakan dalam membaca gejala-gejala serta mengungkapkan kebenaran yang positif di

(Diakses dari http://infohost.nmt.edu/~mccoy/docs/Positivism.pdf, tanggal 09-12- 2012, pukul 14.05 WIB), 1.

56 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 192-197. 57 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerj; Robert

M. Z. Lawang, Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1988), 82-83.

antaranya seperti disiplin ilmu Matematika, Astronomi, Fisika, ilmu Kimia, Biologi, Sosiologi dan lain sebagainya. 58

Jennifer Vermilyea menambahkan bahwa salah satu pernyataan penting dari Positivisme adalah perannya dalam modernitas dimana

Positivisme berkeinginan tanpa henti untuk membuat sesuatu lebih ilmiah dan lebih mampu menjelaskan fenomena yang terjadi, 59 dengan

mengacu pada deskripsi ilmiah. 60 Doyle Paul Johnson juga menjelaskan bahwa Positivisme

menerima dengan sepenuhnya pandangan dunia ilmiah atau yang berdasar pada analisis terhadap hukum-hukum alam untuk melahirkan suatu masyarakat dengan budaya penalaran akal budi yang kemudian akan menghasilkan kerjasama sehingga tahayul, ketakutan, kebodohan, paksaan dan konflik akan dilenyapkan. Titik pandangan ini sangat mendasar dalam gagasan Comte mengenai kemajuan yang mantap dari

61

Positivisme. Dalam ajaran filsafat Positivisme itu sendiri dikenal tiga tahap

perkembangan pemikiran manusia untuk sampai kepada tahap pikir positif atau dalam istilah Comte dikenal dengan Hukum Tiga Tahap

yaitu tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positif. 62 Pertama; tahap teologis; merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia.

Secara umum dalam tahap ini manusia mencari sebab atau tujuan dari segala sesuatu. Tingginya kepercayaan supranatural (kekuatan dewa- dewa yang mengatur dan menyebabkan segala sesuatu itu terjadi) atau

58 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru Keempat 1990 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 35-36. Untuk perbandingan bahwa Ah{mad

Nabi@ l Farha> t justru lebih menjeneralkan bidang keilmuan yang dapat digunakan dalam mengukur nilai positif dari sesuatu, yaitu ilmu Fisika dan ilmu Biologi. Nampaknya Ah{mad Nabi@ l Farha> t mencoba mengelompokkan bahwa untuk benda mati dapat digunakan ilmu fisika dan untuk sesuatu yang hidup dapat menggunakan Ilmu biologi. Ah{mad Nabi@ l Farha> t, “al-Naz{ariyyah al-Waz{i@ fiyyah” dalam al-Muntadi@ al-‘Arabi@ al-Ida>rah al-Mawa>rid al-Bashariyyah, 2008 (Diakses dari http://www.hrdiscussion.com/hr3505.html#.UxkSVaIZ77s, tanggal 07-03-2014).

59 Jennifer Vermilyea, The Paradox of Positivism Securing Inherently Insecure Boundaries (Diakses dari: http://web.uvic.ca/~onpol/spring2006/6-

vermilyea.pdf, tanggal 09-12-2012, pukul 14.00 WIB). 60 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 2004).

61

62 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 80. Ah{mad Nabi@ l Farha> t, “al-Naz{ariyyah al-Waz{i@ fiyyah” dalam al-Muntadi@

al-‘Arabi@ al-Ida>rah al-Mawa>rid al-Bashariyyah, 2008 (Diakses dari http://www.hrdiscussion.com/hr3505.html#.UxkSVaIZ77s, tanggal 07-03-2014).

keyakinan yang menganggap semua fenomena yang terjadi di alam sebagai akibat yang ditimbulkan oleh sesuatu zat yang gaib. Dalam tahapan ini Auguste Comte membagi ke dalam tiga periode yaitu; Fetisisme dimana adanya kecenderungan meyakini bahwa setiap benda memiliki kekuatan hidupnya sendiri, Politeisme dimana adanya kecenderungan meyakini bahwa terdapatnya beberapa kekuatan supranatural yang menguasai dan mengatur semua gejala alam, dan yang terakhir adalah Monoteisme adalah kepercayaan yang meyakini adanya satu kekuatan tertinggi yang mengatur dan menguasi seluruh alam dan gejala-gejala alam yang ada. Kedua: tahap metafisik; merupakan tahap dimana kepercayaan kepada dewa-dewa diganti dengan entitas metafisik seperti substansi, esensi, roh dan ide yang dianggap ada dalam setiap benda atau adanya unsur abstrak yang menyertai setiap fenomena dari alam. Pada tahap ini manusia merumuskan jawaban atas fenomena-fenomena alam dengan mencari sebab dan tujuan akhir melalui penjelasan atau spekulatif yang masih abstraksi sebagai metode yang diandalkan. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas ada dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik. Ketiga: tahap positif; merupakan tahap berpikir real, faktual dan nyata sebagai dasar pengetahuan. Adanya kesadaran yang tinggi bahwa alam memiliki hukum-hukumnya sendiri yang dapat dipelajari dan dapat dijelaskan secara empiris melalui data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, menjadi tanda dalam

tahapan ini. 63 Tahap positif ini merupakan puncak perkembangan tahap

pemikiran umat manusia. Positivisme diartikan Auguste Comte sebagai segala sesuatu yang nyata, yang jelas yang pasti dan bermanfaat. Semangat dalam tahap positif ini memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar pengetahuan yang dapat ditinjau kembali dan diperluas. Tidak seperti dalam periode metafisik yang mementingkan adanya akal budi, namun dalam tahapan positif hal tersebut perlu diiringi oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia memperoleh hukum-hukum, akan tetapi hukum-hukum tersebut dilihat

63 Delaney, “Auguste Comte Proponent of Positivism and Evolutionary Thought” dalam Journal Free Inquiry, 2003 (Diakses dari http://e-

resources.pnri.go.id:2058/docview/230080362?accountid=25704, tanggal 10-09- 2013, pukul 01.25 WIB), 44-45.

sebagai uniformitas (keseragaman pola) empiris yang lebih dari kemutlakan metafisik. Comte tidak memungkiri dalam sebuah fenomena ketiga unsur itu ada dan mungkin dilakukan, namun memilih jalan untuk menjelaskan dan mengungkapkan fenomena tersebut melalui hal-hal empiris yang dapat diketahui secara nyata dalam penalaran ilmiah, menunjukkan sebuah cara berpikir positif dalam

konteks filsafat Positivisme. 64 Kaum Positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian

dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya, karna alam dan fenomena yang ada di dalamnya berdiri di atas hukum alam itu

sendiri. 65 Kebanyakan kelompok Positivis bertekad mencampakkan tradisi-tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat berdasarkan

hukum alam sehingga menjadi lebih rasional. Comte percaya bahwa penemuan hukum-hukum alam akan membukakan batas-batas pasti

yang melekat dalam kenyataan dan melampaui batas-batas itu, perubahan sosial akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya. Adanya bentuk-bentuk pemikiran teologis purba dan penjelasan- penjelasan metafisik, merupakan salah satu aspek sekaligus objek yang ingin diungkapkan dan dijelaskan melalui filsafat Positivisme, sehingga kemudian akan digiring sampai kepada terbentuknya hukum-

hukum ilmiah yang positif 66 dan secara tidak langsung Positivisme telah mencoba mengkombinasikan intisari dari paradigma Empirisme

ke dalam Positivisme sebagai paradigma dasar guna memenuhi keterbutuhan akal untuk memahami sesuatu, sebagaimana yang diungkapkan oleh Nadem J. Z. Hussain bahwa Comte telah mengkolaborasikan antara aspek penalaran dan observasi dalam upaya Comte untuk menemukan hukum kebenaran (realitas empiris) dari

fenomena. 67

64 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi, 86. Akhyar Yusuf Lubis,

Epistimologi Fundasional, 194. Delaney, Auguste Comte, 45. 65 Must{afa> H{alami@ , “al-Akhla> q ‘Inda Auguste Comte” dalam al-Alu>kah al- Thaqa>fiyyah, 2012 (Diakses dari http://www.alukah.net/Culture/0/44474/, tanggal 07-03-2014).

66 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi, 81-82 67 Nadem J. Z. Hussain, “Nietzsche’s Positivism” dalam European Journal

of Philosophy, 2004 (Diakses dari http://www.stanford.edu/~hussainn/StanfordPersonal/Online_Papers_files/Hussain_Ns Positivism.pdf, tanggal 13-05-2012, pukul 02.04 WIB), 344.

Dengan analisa tersebut terlihat bahwa Positivisme juga dipahami sebagai cara pandang dengan corak kefilsafatan yang mengacu atau berpegang kepada apa yang diketahui secara positif, yaitu segala yang tampak dan diketahui berdasarkan pengalaman yang bersifat empiris dan mampu dijelaskan dengan penjelasan logis analitis yang dilandaskan kepada nilai-nilai ilmiah (ilmu-ilmu alam), untuk mengungkap realitas dan kebenaran dari sebuah proposisi yang ada. Cara berpikir Positivisme dengan sistematis yang tersendiri, bertujuan untuk menjelaskan realitas yang berada pada wilayah teologis dan metafisik dengan sifatnya yang abstrak dan spekulatif untuk bisa diukur, ditunjukkan dan dijelaskan isinya yang positif sehingga kebenaran tersebut benar-benar merangkum kebenaran yang bisa dibuktikan secara universal.