Fuad Syukri Nuansa Positivistik Tafsir Modern

NUANSA POSITIVISTIK TAFSIR MODERN MUH{AMMAD ‘ABDUH

Tesis

Diajukan sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Magister Agama Islam

Oleh:

Fuad Syukri

NIM: 11.2.00.0.05.01.0115

KONSENTRASI TAFSIR HADIS SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2014 M

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan

tesis ini. S}alawat dan salam penulis ucapkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa Islam di muka bumi ini, sehingga kita semua mampu mengenal Islam dan mengambil pelajaran darinya.

Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Magister Sekolah Pasca Sarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menguraikan tentang munculnya sebuah tendensi pada sebagian penafsiran al-Quran semenjak abad ke 18, terutama penafsiran terkait ayat-ayat al- Kauni@ yah (ayat-ayat fenomena alam) yang telah terpengaruh oleh paradigma filsafat Positivisme, sehingga penafsiran yang dihasilkan akan semakin rasional-ilmiah. Penulisan tesis ini bertujuan untuk mengembangkan wacana dan pembahasan dalam Ilmu Tafsir Alquran, khususnya tafsir Modern.

Dalam proses penulisan tesis ini, banyak hambatan dan rintangan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa berkat bantuan moril dan materil dari beberapa pihak, menjadikan penulis sanggup menyelesaikan penelitian ini. Untuk itu, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Azyumardi Azra selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian kepada seluruh jajaran pimpinan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Suwito dan Dr. Yusuf Rahman, MA., beserta seluruh anggota staf Pascasarjana bidang akademik dan bidang kepustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku pembimbing dan promotor dalam

penulisan tesis ini. Saran dan kritikan yang diberikan sangat bermanfaat dalam membangun dan mengembangkan pemikiran keilmuan penulis. Ucapan terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran Dosen SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menuangkan kekayaan ilmu dan pemikiran demi memaksimalkan kompetensi akademis penulis.

3. Teristimewa buat inspirasi hidup penulis, Ayahanda tercinta Nafrizal, S.Pd. dan Ibunda tersayang Rahmi, S.Pd.I. yang selalu menyayangi, mendidik dan memotivasi serta menyertai setiap langkah kaki penulis dengan keikhlasan doa dan ridhonya. Kepada adik-adik tersayang, Fadhilati Salma, Muhammad Afdhal, Zakiyati Salma dan Muhammad Rusydan Hamdi yang telah menumbuhkan tekad dalam diri penulis untuk terus berusaha menjadi kakak yang baik serta layak untuk mereka teladani dan banggakan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar Paman penulis, H. Ahmad Daud, S.Ag dan Ir. Sri Suhartinah yang telah menjadi orang tua yang baik bagi penulis selama berada di tanah rantau Ciputat. Kemudian kepada keluarga besar Uda Akmal, S.Hum. dan Uni Nani, S.Pd.I., yang merupakan sepupu sekaligus kakak bagi penulis.

4. Buat seluruh rekan-rekan seperjuangan SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2012 yang telah mengukir warna-

warna indah dalam lukisan persahabatan penuh makna, terkhusus Defel Fakhyadi dan Aidil Aulya sebagai sahabat satu kos, Muhammad Abdurrahman, Yasin Amka, Muhammad Furqany, Mulyadi beserta seluruh sahabat-sahabat SPS UIN Syarif Hidayatullah angkatan 2012 yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

5. Kepada senior sekaligus sahabat, Arsyad Abrar, M.A.Hum., dan Anas Sofwan Khalid, M.A.Hk., yang telah rela meluangkan waktu dan membagi ilmu yang begitu berharga kepada penulis. Kemudian kepada rekan IKAPASMI, Muhammad Yusuf yang juga ikut memberikan sumbangsih waktu dan keilmuan dalam membantu penulis menyelesaikan tulisan ini. Akhirnya, sebuah doa yang penulis mohonkan untuk semua pihak

yang telah berpartisipasi membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini, semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang layak di sisi-Nya. Mudah-mudahan karya ini memberikan hikmah dan manfaat bagi semua pihak sekaligus menjadi motivasi yang kuat bagi Penulis untuk menghasilkan karya-karya berikutnya yang lebih berkualitas dan bermanfaat untuk agama, bangsa dan Negara. Amin ya Rabbal ‘alamin.

ABSTRAK

Tesis ini menunjukkan bahwa sebagian penafsiran yang muncul semenjak abad ke-18, terutama terkait ayat-ayat al-Kauni@ yah, telah terpengaruh oleh paradigma filsafat Positivisme, sehingga penafsiran yang dihasilkan akan semakin rasional-ilmiah. Hal ini sejalan dengan pendapat Rotraud Wielandt dan Ahmad N. Amir yang secara umum berpandangan bahwa paradigma sebagian penafsiran-penafsiran yang muncul semenjak abad ke-18, telah bergeser kepada kecenderungan yang mengadopsi dan mengintegrasikan paradigma filsafat pencerahan Eropa untuk diterapkan dalam proses penafsiran Alquran. Bahkan Nasr Hamid Abu Zaid menegaskan lagi bahwa mufassir pada abad ini terkadang berada dalam arus budaya Islam yang ia jadikan sebagai fondasi dan standar nilai, dan di saat yang lain ia bergerak dalam arus nalar Barat.

Pendapat di atas berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Abdullah Saeed, dan M. Quraish Shihab yang secara umum berpendapat bahwa hadirnya kecenderungan rasional-ilmiah semenjak abad ke-18 dalam sebagian tafsir Alquran dipandang sebagai bentuk keterpengaruhan mufassir terhadap tradisi rasional Islam pada masa sebelumnya, terutama tradisi rasional sekte Mu’tazilah. Penisbatan kepada sekte Mu’tazilah muncul atas dasar adanya pandangan bahwa Mu’tazilah merupakan salah satu dari sekian sekte dalam Islam yang begitu menjunjung tinggi akal serta karakteristik penafsirannya yang dinilai cenderung rasional.

Untuk melihat korelasi filsafat Barat dalam penafsiran Alquran, penulis menjadikan pendekatan filsafat Positivisme sebagai paradigma yang digunakan dalam menganalisa permasalahan ini. Pemilihan dan penggunaan filsafat Positivisme sebagai alat analisis dikarenakan adanya indikasi- indikasi tentang penerapan paradigma filsafat Positivisme itu sendiri dalam proses penafsiran Alquran. Pendekatan filsafat Positivisme merupakan sebuah pendekatan yang digunakan dengan memandang sesuatu melalui pendekatan keilmiahan. Sedangkan objek yang akan didalami dari penelitian hal ini adalah penafsiran-penafsiran Muh{ammad ‘Abduh terhadap ayat Alquran, terkhusus penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Kauni@ yah dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma karya Muh{ammad’Abduh. Dengan pendekatan tersebut akan diketahui penafsiran-penafsiran Muh{ammad ‘Abduh yang terbiasi oleh paradigma filsafat Positivisme.

Penelitian ini besifat kualitatif dan dari segi sumber data, penelitian ini tergolong studi kepustakaan ( library research). Sedangkan sumber data primer dari penelitian ini adalah kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma karangan Muh{ammad ‘Abduh. Sedangkan sumber sekunder dalam penelitian ini adalah segala tulisan baik itu buku, jurnal ataupun artikel- artikel lainnya yang terkait dengan tema dari penelitian ini.

لﺎﻗ يأﺮﻟا ﺲﻔﻧ ﻰﻠﻋو .ﺔﻨﻠﻘﻋو ﺎﻴﻤﻠﻋ ﺮﺜﻛا ﺎﻬﻨﻣ لﻮﺼﶈا رﺎﺼﻓ ( Positivisme ) ﺎﻬﳎدو ﺔﻴﺑوروﻷا ﺔﻳﺮﻳﻮﻨﺘﻟا ﺔﻔﺴﻠﻓ ﺔﺌﻴﺒﺗ ﱃا ﺖﻟﺎﻣ ﺎ ﺄﺑ ﲑﻣأ .ن ﺪﲪأو ت ﺪﻧﻼﻳو د وﺮﺗور كﺮﺤﺘﻳ ﺪﻗ ﻪﻧﺄﺑ ﺪﻳز ﻮﺑأ ﺪﻣﺎﺣ ﺮﺼﻧ ﺪﻛأو .ﺎﻘﺒﻄﻣ نآﺮﻘﻟا ﲑﺴﻔﺗ ﰲ ﺎﻬ ﻘﻴﺒﻄﺗو ﻞﻘﻌﻟا رﺎﻃإ ﰲو ،ﺔﻬﺟ ﻦﻣ ﺔﻴﻌﺟﺮﻣ ﺔﻄﻠﺴﻛ ﻲﻣﻼﺳﻹا ﰲﺎﻘﺜﻟا ﺦﻳرﺎﺘﻟا ﰲ نوﺮﺴﻔﳌا

ABSTRACT

The thesis reveals that some interpretations which have emerged in the 18th century, especially related al-Kauni@ yah verses, have been influenced by the philosophy of Positivism paradigm, so that the interpretation will be more rational-scientific. This is in line with the opinion of Rotraud Wielandt and Ahmad N. Amir who state that some of the interpretations in the 18th century tended to adopt and integrate the philosophy paradigm of European renaissance applied in the interpretation of the Qur’a> n. In addition, Nasr Hamid Abu Zaid contends that the interpreters in this century sometimes are in the stream of Islamic culture which becomes a foundation and standard of value, and at the same times follow the Western thought.

The above opinion is not in agreement with those of Abdullah Saeed’s and M. Quraish Shihab’s which generally argue that the presence of rational-scientific trend since the 18th century in most interpretations of the Qur'a> n is seen as a form of the influence of Mu'tazilah’s thought. Attribution to the Mu'tazilah sect emerged on the basis of the view that the Mu'tazilah is one of the many sects in Islam that upholds reason as well as rational interpretation.

To observe the correlation of Western philosophy in the interpretation of the Qur’a> n, the author makes the philosophical approach of Positivism as a paradigm used in analyzing this issue. The selection and the use of the Positivism philosophy as an analytical tool is because of the indications concerning the application of the philosophy of Positivism paradigm in the process of interpreting the Qur’a> n. Positivism is a philosophical approach with scientific. While the objects explored in this study are interpretations of Muhammad ‘Abduh in the verses of the Qur’a> n, specially the verses of al-Kauni@ yah in the book Tafsir al-Qur'a>n al-Kari@ m Juz’ 'Amma by Muhammad ‘Abduh. By using Positivism approach, it will

be identified the interpretations of Muhammad ‘Abduh wich are influenced by Positivism. This research employs a qualitative design with the data taken from documents (library research). While the primary data source of this study is the book of Tafsir al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ 'Amma by Muh}ammad ‘Abduh. And the secondary sources are that all good writing books, journals or other articles related to the theme of this study.

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini berpedoman pada aturan transliterasi Library of Congress Romanization of Arabic.

Pendek :a= َ◌ ; i = ِ◌ ; u = ُ◌

Panjang : a> = ا ; i@ َ◌ = ي ; u> = ُ◌ ِ◌ و

Diftong : ay = َا ْي ; aw = َا ْو

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korelasi antara tafsir Alquran dengan unsur filsafat, telah terjadi sejak masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah. 1 Bahkan pada

era kontemporer, gencarnya kemunculan model-model penafsiran baru yang mengusung konsep perubahan, dinilai tidak lepas dari pengaruh berbagai paradigma dan pemikiran kefilsafatan serta kemajuan

berbagai aspek yang berasal dari luar Islam 2 dan hal itu kemudian menjadi objek yang cukup berhasil menarik perhatian beragam

kalangan, baik itu internal maupun eksternal Islam.

Penggunaan aspek filsafat dalam proses penafsiran Alquran, dikenal cenderung pada pengoptimalan unsur rasional dalam

memahami dan menggali makna-makna yang terkandung di dalam Alquran. Kecenderungan tafsir rasionalistik ini memberikan corak tersendiri dalam pembahasan ilmu tafsir. Namun seiring waktu,

1 Pada masa pemerintahan Abbasiyah, ilmu agama, Filsafat dan ilmu lainnya sedang mengalami kemajuan. Kebudayaan Islam berkembang di wilayah-

wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab juga digalakkan pada masa pemerintahan dinasti ini. Di antara buku- buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plato. ‘Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Penerj. Ahmad Akrom (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 61 dan Rubiyanah, “Pertumbuhan Tradisi Filsafat di Dunia Islam” dalam Jurnal Refleksi, Vol. VII, No.

3, 2005 (Ciputat: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), 304-305. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Mohammed Rustom yang mengatakan sekitar abad ke 6 dan ke 7 hijriah, umat Islam telah mulai melakukan transformasi kefilsafatan Yunani ke dalam Islam. Hal tersebut pada saat itu mendapat begitu banyak perhatian dari umat Islam. Mohammed Rustom, “Qur’anic Exegesis in Later Islamic Philosophy: Mulla> S{adra> ’s Tafsi@ r Su> rat al-Fa@ tih{a“, Tesis di University of Toronto, 2009 (Diakses dari http://www.collectionscanada.gc.ca/obj/thesescanada/vol2/OTU/TC-OTU-32020. pdf, tanggal 31-01-2013, pukul 01.51 WIB), 2.

2 Gerakan ini lebih disuarakan oleh para tokoh yang berambisi membawa modernitas di tengah-tengah umat Islam. Mereka mencoba menggiring umat Islam

untuk kembali kepada Islam yang asli. Untuk mensukseskan tujuan tersebut, mereka memulainya dari proses pemahaman terhadap Alquran. Christopher A. Furlow, “Islam, Science and Modernity: From Northern Virginia to Kuala Lumpur”, Disertasi di University of Florida, 2005 (Diakses dari http://etd.fcla.edu/UF/UFE0012881/furlow_c.pdf, tanggal 31-02- 2013, pukul 00.31 WIB), 12-13 untuk kembali kepada Islam yang asli. Untuk mensukseskan tujuan tersebut, mereka memulainya dari proses pemahaman terhadap Alquran. Christopher A. Furlow, “Islam, Science and Modernity: From Northern Virginia to Kuala Lumpur”, Disertasi di University of Florida, 2005 (Diakses dari http://etd.fcla.edu/UF/UFE0012881/furlow_c.pdf, tanggal 31-02- 2013, pukul 00.31 WIB), 12-13

18, bahkan kecenderungan ini semakin kuat ditunjukkan oleh sebagian mufasir pada era sesudahnya. Hal inilah yang kemudian merangsang

minat berbagai pakar tafsir dan teologi untuk berusaha merunut kembali sejarah dan menjelaskan asal pengaruh kecenderungan tersebut terutama melihat perkembangan tafsir sejak abad ke-18.

3 Misalnya saja seperti Abdullah Saeed 4 dan M. Quraish Shihab yang secara umum menilai bahwa hadirnya corak penafsiran rasional-ilmiah

sejak abad ke-18 dalam tafsir Alquran dipandang sebagai bentuk keterpengaruhan dari kecenderungan rasional sekte Mu’tazilah. Penisbatan kepada sekte Mu’tazilah muncul atas dasar pandangan umum bahwa Mu’tazilah merupakan salah satu dari sekian sekte dalam Islam yang begitu menjunjung tinggi akal, bahkan sebahagian ulama menyatakan akal lebih tinggi kedudukannya dari pada nash Alquran dalam sekte Mu’tazilah.

Dalam sudut pandang yang berbeda, sebagian dari para sarjana muslim ataupun para intelektual yang melakukan kajian terhadap perkembangan tafsir Alquran (terutama tafsir yang muncul pada abad ke-18 dan sesudahnya) menilai bahwa terdapat pergeseran pemahaman dalam penerapan tafsir Alquran sehingga kemudian memunculkan

3 Abdullah Saeed menyebutkan bahwa para modernis Islam mengusulkan untuk kembali kepada Islam seperti periode awal yang menekankan aspek dinamika

intelektual ke dalam diri umat Islam guna mengejar ketertinggalan Islam dari peradaban Barat. Selain itu ulama modernis juga berpendapat bahwa konsep wahyu sama sekali tidak berbenturan dengan akal manusia. Dengan demikian, mereka mencoba untuk menghidupkan kembali tradisi filsafat rasionalis Islam, dan beberapa ide sebelumnya yang dimunculkan dari sekte (rasional) Mu'tazilah yang kemudian menjadi trend di antara sarjana-sarjana Islam yang muncul belakangan. Para tokoh modernis yang datang kemudian mencoba menginterpretasikan topik-topik populer lainnya pada era lainnya seperti wacana poligami, perang dan perdamaian, ilmu pengetahuan, perbudakan dan keadilan. Abdullah Saeed, The Quran An Introduction (New York: Routledge, 2008), 209-210.

4 M. Quraish Shihab memberikan argument ketika mengomentari salah satu karya tafsir modern, yaitu penafsiran Muh{ammad ‘Abduh terkait sihir yang

berpendapat bahwa Muh{ammad ‘Abduh terpengaruh oleh pendapat golongan Mu’tazilah yang mengingkari adanya sihir, dan hal ini dianut pula oleh Muh{ammad ‘Abduh dalam rangka usaha beliau memberikan gambaran logis, ilmiah dan rasional terkhususnya di hadapan orientalis dan orang-orang Barat. Ciri ini merupakan prinsip pokok yang terpenting dalam penafsiran Muh{ammad ‘Abduh. M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006), 36 dan 49.

penafsiran yang cenderung kuat mengedepankan aspek rasionalitas- ilmiah. Mereka melihat indikasi adanya paradigma lain yang ikut melebur sebagai asal pengaruh munculnya tafsir dengan kecenderungan rasional-ilmiah pada abad ke-18 dan sesudahnya. Hal inilah yang coba dijelaskan oleh sebagian sarjana muslim ataupun para

intelektual yang di antaranya adalah Rotraud Wielandt 5 yang secara umum berpandangan bahwa paradigma penafsiran-penafsiran pada

abad ini telah bergeser kepada kecenderungan yang mengadopsi paradigma filsafat pencerahan Eropa untuk diterapkan dalam proses penafsiran Alquran. Ahmad N. Amir dan kawan-kawan juga menyebutkan secara umum bahwa paham rasional yang dianut Muh}ammad ‘Abduh pada dasarnya telah mendapat pengaruh pemikiran Jamaluddin al-Afghani yang diturunkan dari semangat kemajuan filsafat ilmiah Barat. Muh}ammad ‘Abduh berusaha mengintegrasikan berbagai aspek kemajuan Barat untuk membentuk paradigmanya guna membawa kembali Islam keluar dari keterpurukan

menuju arah kemajuan sebagaimana yang diraih Barat saat itu. 6 Bahkan Nasr Hamid Abu Zaid 7 menegaskan lagi bahwa mufasir pada

5 Rotraud Wielandt berpendapat dalam mengomentari Sayyid Ah{mad Khan dan Muh{ammad ‘Abduh sebagai modernis Islam abad 18 yang terkesan dengan

dominasi politik dan kemakmuran ekonomi peradaban Barat modern sebagai dampak positif dari peradaban ilmiah Eropa, sekaligus sebagai hasil dari apa yang dipopulerkan oleh filsafat pencerahan Eropa. Atas dasar itulah mereka berupaya mengadopsi esensi dari pendekatan yang bercorak rasional sebagai metode yang diterapkan dalam menafsirkan Alquran. Terutama Muh{ammad ‘Abduh, dalam pandangan Rotraud Wieland, Muh{ammad ‘Abduh berusaha mengambil beberapa gagasan atau pemikiran Eropa yang bisa ditelusuri kembali ke filsafat yang ada pada fase akhir dari pencerahan Eropa. Rotraud Wielandt, “ Exegesis of the Qur’a> n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n, Editor: Jane Dammen McAuliffe, Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), 126-127. 6

Ahmad N. Amir dkk, “The Foundation of Science and Technology in View of Muh{ammad Abduh” dalam Asian Journal of Natural & Applied Sciences, Vol. 1. No. 2. Juni 2012 (Diakses dari http://www.ajsc.leena- luna.co.jp/AJSCPDFs/Vol.1%282%29/AJSC2012%281.2-15%29.pdf, tanggal 04-04- 2013, pukul 16.01 WIB), 149.

7 Hal ini ditegaskan Nasr Hamid Abu Zayd ketika menggambarkan kecenderungan penafsiran dari corak penafsiran Muh{ammad ‘Abduh yang

menyebutkan bahwa terkadang di suatu saat Muh{ammad ‘Abduh bergerak dalam arus tura>th Islam yang ia jadikan sebagai pondasi dan standar nilai, dan di saat lain ia bergerak dalam arus nalar Barat yang menolak mitos-mitos dan mukjizat-mukjizat. Nasr Hamid Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran, Penerj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKiS, 2012), 22-23.

abad ini terkadang berada dalam arus tura>th Islam yang ia jadikan sebagai dasar dan standar nilai, dan di saat yang lain ia bergerak dalam arus nalar Barat yang menolak mitos-mitos dan mukjizat-mukjizat.

Perbedaan argumentasi antara Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab dengan Rotraud Wielandt, Ahmad N. Amir dan Nasr Hamid

Abu Zaid pada penjelasan sebelumnya, secara umum menggambarkan bahwa di satu sisi tendensi rasional-ilmiah dalam dunia penafsiran Alquran yang begitu kuat terlihat sejak abad ke-18, identik dengan

pengaruh yang tertumpu pada paradigma sekte Mu’tazilah semata, 8 namun di sisi lain terkesan bahwa tendensi penafsiran rasional-ilmiah

tersebut justru menunjukkan perkembangan yang tidak hanya bersumber dari sekte rasional dalam Islam (Mu’tazilah), melainkan juga dari aliran ataupun sekte-sekte rasional lain yang berada di luar Islam.

Meninjau konsep rasional itu sendiri, terutama dari sudut pandang sekte Mu’tazilah, dipahami bahwa konsep rasional

Mu’tazilah mengacu kepada kesesuaian proposisi dengan akal budi manusia (rasio). Bagi Mu’tazilah, akal mampu mengetahui sesuatu,

meskipun memiliki batasan-batasan tersendiri. 9 Mu’tazilah menjadikan akal sebagai standar kebenaran dalam melihat sesuatu,

karna akal pada potensinya mampu dengan sendirinya mengetahui hakekat keberadaan sesuatu. Kebenaran objektif empiris bukanlah substansi dasar yang ditekankan sebagai barometer peninjau dalam konsep kebenaran realitas, melainkan kesesuaian antara pembacaan akal terhadap proposisilah yang menjadi esensi rasional Mu’tazilah. Sebuah proposisi sudah dinyatakan benar adanya secara realitas jika proposisi tersebut mampu dipahami dan dicerna serta diimajinasikan dalam alam idea manusia tanpa perlu adanya pembuktian kebenaran secara empiris. Inilah pemahaman rasional yang dipahami secara umum dari konsep rasional sekte Mu’tazilah yang diadopsi dari filsafat

8 Kaum Mu’tazilah adalah salah satu sekte dalam Islam yang membawa persoalan-persoalan teologis yang lebih mendalam dan bersifat filosofis. Pembahasan

mereka cenderung lebih kritis jika dibandingkan dengan pembahasan sekte-sekte lain dalam Islam seperti sekte Khawarij dan Murji’ah. Dalam membahas permasalahan- permasalahan teologis tersebut, mereka dominan menggunakan akal sehingga kemudian mereka dikenal sebagai kaum rasionalis Islam. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978), 38.

9 Harun Nasution, Muh{ammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987), 58.

rasional Yunani, 10 dan konsep ini secara tidak langsung juga dipahami dan dianut oleh tokoh-tokohnya, termasuk al-Zamakhshari@ 11 .

Melihat perkembangan tafsir Alquran abad ke 18 dan sesudahnya, muncul penafsiran-penafsiran yang menurut sebagian

ulama juga dikenal mengusung tendensi rasional. Namun tendensi rasional yang dihadirkan bukanlah rasional murni, melainkan sebuah tendensi yang di dalamnya mengandung indikasi perpaduan dari paradigma lain yang lebih mengarah kepada tendensi rasional-ilmiah.

Muh}ammad ‘Abduh 12 misalnya, merupakan salah satu tokoh modernis Islam 13 yang telah memberikan berbagai sentuhan-sentuhan pembaharuan di berbagai bidang 14 , termasuk Ilmu Tafsir dan proses penafsiran terhadap Alquran. Hadirnya kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma dan kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-H{aki@ m al-Mashhu@ r bi Tafsi@ r

10 Aliran rasional yang berkembang di Barat, merupakan pengembangan dari konsep rasional yang telah dibangun sejak masa filsafat Yunani. Filsafat Yunani

yang pada masa awalnya bermula dari Plato hadir sekitar tahun 427-347 SM. Konsep rasional plato kemudian terus berkembang seiring waktu. Namun secara umun dari konsep rasional yang bermuara dari Yunani ini dapat ditarik beberapa benang merah bahwa melalui proses pemikiran abstrak mampu mencapai kebenaran fundamental. Selain itu keberadaan realitas serta beberapa kebenaran tentang realitas dapat dicapai tanpa menggunakan metode empiris. Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi (Bogor: Akademia, 2009), 110-115.

11 Manna@ ’ al-Qat}t}a@ n menyebutkan bahwa al-Zamakhshari@ merupakan seorang mufasir yang menganut paham teologi Mu’tazilah. Bahkan al-Zamakhshari@

menyebut kaum Mu’tazilah sebagai saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil. Manna@ ’ al-Qat}t}a@ n, Maba@ hith fi@ ‘Ulu@ m al-Qur’a@ n (Kairo: Da@ r al- Rashi@ d, t.th), 389.

12 Nama beliau adalalah Muh}ammad bin ‘Abduh bin H{asan Khairulla> h. Berikutnya ditulis ‘Abduh. ‘Abba> s Mah}mud al-‘Aqqa> d, ‘Abqari@ al-Is}la>h} wa al-

Ta’li@ m al-Usta>dh al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh (Kairo: Maktabah Mis}r, t.th), 80. 13 Maryam Jameelah dan Abd al-Qadir al-Sufi menyebutkan sebagaimana

yang dikutip oleh Mursyidi Ridwan bahwa tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al- Afghani, Muh}ammad ‘Abduh dan Sayyid Ah}mad Khan merupakan beberapa tokoh disebut sebagai dengan istilah kaum Modernis dalam Islam. Mursyidi Ridwan, “Islam Modernisme dan Fundamentalisme; Studi Tentang Ideologi Modernisme dan Fundamentalisme dalam Islam” dalam Jurnal Dialogia, Vol. 3, No.2, Juli-Desember 2005 (Ponorogo: Jurusan Ushuluddin STAIN Ponorogo, 2005), 55.

14 Ahmad N. Amir dkk, “Muh{ammad Abduh’s Contributions to Modernity” dalam Asian Journal of Management Sciences and Education, Vol. 1 No. 1, April

2012 (Diakses dari http://www.ajmse.leena- luna.co.jp/AJMSEPDFs/Vol.1(1)/AJMSE2012(1.1-07).pdf, tanggal 15-01-2013, pukul 13.05 WIB), 394-395.

al-Mana@ r atau yang lebih dikenal dengan Tafsi@ r al-Mana@ r merupakan dua karya tafsir ‘Abduh yang di dalamnya memuat hasil-hasil penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat Alquran yang sering dijadikan sebagai objek kajian dan analisa yang mewakili pemikiran, metode serta pendekatan yang digunakan ‘Abduh dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran walaupun ada sebahagian ulama yang menganggap kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-H{aki@ m al-Mashhu@ r bi Tafsi@ r al-Mana@ r bukanlah karya ‘Abduh, melainkan merupakan sumbangsih Muh}ammad Rashi@ d

Rid}a> 15 yang pada saat itu merupakan salah satu murid ‘Abduh. Sebagian besar ulama dan pakar tafsir pasca ‘Abduh memang

telah banyak mengkaji dan memberikan penilaian terhadap karya- karya ‘Abduh di bidang tafsir Alquran. Terdapatnya kesejalanan pola penafsiran ‘Abduh dengan penafsiran para Mu’tazilian, terutama menyangkut tema-tema sentral dalam Islam, seperti ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan ketuhanan, nabi dan persoalan-persoalan transendental lainnya, menjadi argument umum para pakar tafsir untuk menyimpulkan posisi ‘Abduh sebagai seorang mufasir dengan kecenderungan rasional. Namun jika melihat penafsiran-penafsiran ‘Abduh terkait ayat-ayat tentang alam, akan ditemukan beragam indikasi yang menguatkan asumsi bahwa tendensi tafsir yang dilahirkan ‘Abduh tidak murni rasional, melainkan justru ‘Abduh juga terlihat berusaha menunjukkan kebenaran informasi dan realitas ayat secara empiris sebagai argumen yang sarat akan nilai-nilai ilmiah, yaitu menjelaskan ayat berdasarkan fakta-fakta temuan dari teori-teori tentang alam yang telah terangkul dalam berbagai disiplin ilmu

15 Meskipun penafsiran yang terdapat di dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al- H{aki@ m al-Mashhu>r bi Tafsi@ r al-Mana>r merupakan hasil penafsiran bersama antara

Muh{ammad ‘Abduh dengan Muh{ammad Rashi@ d Rid{a> , namun pemilik sesuangguhnya adalah Muh{ammad Rashi@ d Rid{a> . Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan, 1) Ide dasar kemunculan tafsir berasal dari Muh{ammad Rashi@ d Rid{a> , 2) Pencatatan dan pengeditan kajian-kajian tafsir Muahammad ‘Abduh di masjid Al-Azhar adalah Muh{ammad Rashi@ d Rid{a> , 3) Ayat-ayat yang ditafsirkan Muh{ammad Rashi@ d Rid{a> lebih banyak dari ayat-ayat yang ditafsirkan Muh{ammad ‘Abduh serta sebagaimana yang dikutip Muhammad Nurung dari M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa Muh{ammad Abduh hanya menafsirkan 413 ayat yang ditulis dalam jumlah yang kurang dari 5 jilid, sedangkan Muh{ammad Rashi@ d Rid{a> menafsirkan 930 ayat yang ditulis dalam 7 jilid lebih. Selain itu dalam surat al-Fa@ tih{ah, al-Baqarah dan an-Nisa@ juga ditemukan pendapat-pendapat Muh{ammad Rashi@ d Rid{a> . Muhammad Nurung, “Pemikiran Tafsir Muh{ammad Rashi@ d Rid{a> ” dalam Jurnal Inovatio, Vol. IX, No. 2, Juli-Desember 2010 (Jambi: Pasca Sarjana IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, 2010), 267-268.

pengetahuan alam modern (sains) yang secara jelas telah melandaskan epistemologinya pada aspek empiris.

Mengamati model penafsiran terhadap ayat-ayat fenomena alam, memang terdapat beberapa penafsiran ‘Abduh yang terlihat

berbeda dari penafsiran-penafsiran mufasir sebelumnya, bahkan menurut sebahagian ulama hal tersebut terkesan ganjil. Jika Fakhruddi@ n al-Ra> zi@ (543-606 H) yang dikenal sebagai mufasir rasional ( ra’yi) klasik dan al-Zamakhshari@ sebagai mufasir rasional yang berpaham Mu’tazilah hanya menafsirkan t}aira>n aba>bi@ l (surat al-Fi@ l (105) ayat 3) sebagai seekor burung yang dikenal dengan nama burung Aba> bi@ l lengkap dengan ciri-cirinya, namun ‘Abduh justru menafsirkannya dengan lalat atau nyamuk yang membawa virus. Begitu juga dengan penafsiran al-Ra> zi@ dan al-Zamakhshari@ (467-538

H) tentang fenomena terbelahnya langit (surat an-Naba’ (78) ayat 19 dan surat al-Infit}a@ r (82) ayat 1) dengan penafsiran bahwa langit itu

memang adanya terbelah karna kehendak dan kekuasaan Allah, namun bagi ‘Abduh fenomena dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai tabrakan antar planet yang menyebabkan seluruh planet dan bintang- bintang menjadi hancur. Begitu juga dengan penafsiran-penafsiran ‘Abduh lainnya seperti esensi Malaikat (surat al-Baqarah (2) ayat 34) sebagai ruh alam yang ada dalam diri manusia, hewan dan tumbuhan, kemudian tentang metabolisme tumbuh-tumbuhan (surat ‘Abasa (80) ayat 26) dan lain sebagainya sehingga dengan demikian tidak berlebihan jika Harun Nasution menyuguhkan kesimpulan bahwa Muh{ammad ‘Abduh jauh melampaui rasionalnya Muktazilah itu sendiri.

Dari beberapa contoh penafsiran Muh}ammad ‘Abduh tersebut secara tidak langsung menunjukkan indikasi adanya pergeseran tendensi penafsiran dimana tendensi tersebut bukan lagi tendensi rasional murni sebagaimana paradigma rasional Mu’tazilah yang diadobsi dari konsep rasional filsafat Yunani dengan akal sebagai barometer kebenaran. Kecenderungan penafsiran ‘Abduh tidak lagi hanya sekedar menghadirkan penjelasan terhadap proposisi (ayat) sebatas diterima berdasarkan imajinasi akal semata, namun juga berusaha membangun imajinasi akal yang dilandaskan kepada kebenaran realitas berdasarkan fakta dan kemungkinan empiris, bahkan lebih jauh lagi berusaha masuk ke dalam wilayah dimensi- dimensi ilmiah guna menyajikan fakta-fakta yang mampu berfungsi sebagai dasar keyakinan bagi akal untuk menerima deskripsi realitas Dari beberapa contoh penafsiran Muh}ammad ‘Abduh tersebut secara tidak langsung menunjukkan indikasi adanya pergeseran tendensi penafsiran dimana tendensi tersebut bukan lagi tendensi rasional murni sebagaimana paradigma rasional Mu’tazilah yang diadobsi dari konsep rasional filsafat Yunani dengan akal sebagai barometer kebenaran. Kecenderungan penafsiran ‘Abduh tidak lagi hanya sekedar menghadirkan penjelasan terhadap proposisi (ayat) sebatas diterima berdasarkan imajinasi akal semata, namun juga berusaha membangun imajinasi akal yang dilandaskan kepada kebenaran realitas berdasarkan fakta dan kemungkinan empiris, bahkan lebih jauh lagi berusaha masuk ke dalam wilayah dimensi- dimensi ilmiah guna menyajikan fakta-fakta yang mampu berfungsi sebagai dasar keyakinan bagi akal untuk menerima deskripsi realitas

masa itu, yang salah satu di antaranya adalah Auguste Comte, 16 yaitu seorang filosof Prancis sekaligus pendiri aliran filsafat Positivisme

yang menekankan paradigma ilmiah sebagai landasan kebenaran argumen dalam menunjukkan realitas dari sebuah proposisi.

Dari analisis sederhana ini memunculkan beberapa pertanyaan, apakah model dan kecenderungan penafsiran ‘Abduh yang dikenal berbeda masih murni dari paradigma rasionalnya Mu’tazilah, atau telah berbaur dengan paradigma-paradigma lain seperti paradigma filsafat Positivisme. Bisa jadi juga dalam konteks ayat-ayat tertentu seperti ayat-ayat al-Kauni@ yah (ayat-ayat tentang alam dan fenomenanya), ‘Abduh memang tidak menggunakan model paradigma Rasionalisme, melainkan paradigma lain (filsafat Positivisme) yang dirasa sesuai untuk dijadikan paradigma dalam menafsirakan dan menjelaskan realitas ayat.

Beranjak dari permasalah di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji topik ini secara lebih mendalam, untuk meneliti model dan konsep penafsiran ‘Abduh, terutama terhadap ayat-ayat tentang alam dan fenomenanya dengan melakukan penelitian lebih lanjut yang dirangkul dalam penelitian yang berjudul “Nuansa Positivistik Tafsir Modern Muh{ammad ‘Abduh”.

16 Ignaz Goldziher menjelaskan pandangan ‘Abduh bahwa bukan waktunya lagi penafsiran Alquran menggunakan paradigma beberapa filosof klasik Yunani dan

India, melainkan ‘Abduh justru menganjurkan agar umat Islam memperhatikan dan melakukan kajian terhadap wacana-wacana baru (pada saat itu) yang dibawa oleh beberapa filosof Jerman, Prancis dan Inggris seperti Leibniz, Auguste Comte dan Spinoza. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@ r al-Isla>mi, Penerj; ‘Abdul H{ali@ m al- Naja> r (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955), 376.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah Beranjak dari dasar pemikiran di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan terkait tendensi penafsiran Muh}ammad ‘Abduh dalam Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, di antaranya sebagai berikut:

a. Awal munculnya paham Rasionalisme dalam Islam.

b. Sejauh mana pengaruh Mu’tazilah dalam membangun konsep penafsiran dalam Islam, terkhusus penafsiran Muh}ammad ‘Abduh.

c. Bagaimana konsep Rasionalisme dan Empirisme dari filsafat yang muncul pada abad pencerahan Eropa.

d. Bagaimana bentuk substansi yang ingin diwujudkan Muh}ammad ‘Abduh dari penulisan Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma.

e. Bagaimana konsep relasi antara Alquran, akal dan ilmu pengetahuan dalam pandangan Muh}ammad ‘Abduh.

f. Bagaimana penafsiran Muh}ammad ‘Abduh terhadap ayat-ayat al-Kauni@ yah (ayat-ayat tentang fenomena alam).

g. Bagaimana basis penafsiran Muh}ammad ‘Abduh dalam tinjauan paradigma filsafat Positivisme.

h. Bagaimana karakteristik tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh.

i. Urgensi tafsir Positivistik

2. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah penelitian ini terkait penafsiran Muh}ammad ‘Abduh dalam Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz ‘Amma, lebih terfokus kepada upaya penulis untuk membahas tentang:

a. Konsep relasi antara Alquran, akal dan ilmu pengetahuan (sains).

b. Basis tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh.

c. Karakteristik tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh.

d. Urgensi tafsir Positivistik.

3. Perumusan Masalah Pokok masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah konsep tafsir Positivistik modern terutama meninjau penafsiran Muh}ammad ‘Abduh terkait ayat-ayat al- Kauni@ yah dalam Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma.

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan Kajian yang bersinggungan dengan turunan tema ini memang telah banyak dilakukan, seperti pembahasan tentang kajian yang C. Penelitian Terdahulu yang Relevan Kajian yang bersinggungan dengan turunan tema ini memang telah banyak dilakukan, seperti pembahasan tentang kajian yang

Berdasarkan turunan tema yang diangkat dalam kajian ini, ditemukan beberapa literatur yang bisa dimanfaatkan sebagai perbandingan dan tambahan informasi guna menganalisa masalah dari penelitian yang sedang dilakukan. Misalnya saja Ahmad N. Amir dan kawan-kawan, “The Foundation of Science and Technology in View of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Asian Journal of Natural & Applied Sciences, secara umum membicarakan wacana ilmiah pengetahuan modern dari Eropa (muncul dan berkembang sejak abad ke-13 hingga abad ke-18) yang sangat menekankan pada gagasan objektivitas, iman (keyakinan) dan peradaban, metafisika, epistemologi secara empiris serta berusaha memproduksi sintesis unik antara agama dan filsafat yang menekankan aspek metodologi ilmiah, pengamatan sistematis, eksperimen dan bangunan teori. Kondisi ini kemudian disambut baik oleh para modernis Islam pada masa kebangkitan Islam seperti yang diusahakan oleh Sayyid Ah}mad Khan, Jamaluddin al-Afghani, Muh}ammad ‘Abduh, Rashi@ d Rid{a> , T{aha H{usein, Muh}ammad H}usein Haykal, dan Qasim Ami@ n. Ahmad N. Amir dan kawan-kawan juga menyebutkan bahwa semangat kemajuan di dunia Eropa juga ditularkan oleh Jamaluddin al-Afghani kepada Muh}ammad ‘Abduh sehingga Muh}ammad ‘Abduh menarik perkembangan pemikiran dan kemajuan Eropa ke dalam gaya berfikirnya yang memunculkan nuansa berbeda pada penafsirannya terhadap Alquran jika dibandingkan

dengan penafsiran-penafsiran pada masa sebelumnya. 17 Rotraud Wielandt dengan judul “Exegesis of the Qur’an: Early

Modren and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Quran

17 Ahmad N. Amir dkk, “The Foundation of Science and Technology in View of Muh{ammad Abduh” dalam Asian Journal of Natural & Applied Sciences,

Vol. 1. No. 2. Juni 2012 (Diakses dari http://www.ajsc.leena- luna.co.jp/AJSCPDFs/Vol.1%282%29/AJSC2012%281.2-15%29.pdf, tanggal 04-04- 2013, pukul 16.01 WIB), 147-149.

dengan Jane Dammen Mc Auliffe sebagai editor. 18 Dalam tulisan ini Rotraud Wielandt membahas upaya penafsiran dari sarjana muslim

serta dengan pandangan mereka tentang metodologi penafsiran dari pertengahan abad kesembilan belas sampai sekarang. Mengenai

kecenderungan yang berbeda dalam tafsir Alquran sejak abad ke Sembilan belas, Rotraud Wielandt menjelaskan secara panjang lebar bagaimana kecenderungan para mufasir pada masa ini dan ulama- ulama tafsir yang terpengaruh sesudahnya dimana muncul sebuah model penafsiran yang lebih menunjukkan adanya upaya pengadobsian unsur-unsur kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan dari Barat yang semua itu bersumber dari filsafat pencerahan yang ada di Eropa. Keberadaan filsafat pencerahan Eropa yang diklaim sebagai dasar kebangkitan Eropa, memberikan efek tersendiri ke dalam paradigma beberapa mufasir sehingga menghasilkan sebuah penafsiran yang sarat dengan model paradigma-paradigma kefilsafatan. Rotraud Wielandt menyebukan bahwa munculnya Sayyid Ahmad Khan dari India dan Muh{ammad ‘Abduh dari Mesir, menjadi dua tokoh sentral yang dipandang sebagai pioner dalam membumikan hal tersebut, terutama dalam upaya mereka menyerap ilmu-ilmu modern dan kemajuan budaya Eropa pada waktu itu dan mereka mencoba memadukan unsur tersebut ke dalam Islam untuk kembali memutar balikkan kondisi Islam pada saat itu yang sedang mengalami degradasi.

Abdullah Saeed, 19 The Quran An Introduction. Secara umum buku karya Abdullah Saeed menggambarkan perkembangan tafsir

seiring perkembangan waktu yang dimulai dari gambaran umum tentang tafsir pada periode awal, tafsir dalam lingkaran pengaruh sekte teologi Islam dan corak penafsirannya serta sampai pada persentuhan tafsir dengan Barat sehingga mengantarkan kepada hadirnya tafsir modern dan kontemporer. Dalam kontek korelasi tulisan Abdullah Saeed dengan penelitian ini yang menarik adalah bagaimana Abdullah Saeed mencoba menjelaskan bahwa tafsir modern yang terlahir cenderung mengarah kepada tendensi rasional. Hal itu merupakan pengaruh yang diturunkan oleh sekte rasional Islam, yaitu sekte Mu’tazilah. Kecenderungan Mu’tazilah mengandalkan rasio dalam

18 Rotraud Wieland, “Exegesis of the Qur’a> n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a> n, Editor: Jane Dammen

McAuliffe Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002). 19 Abdullah Saeed, The Quran An Introduction (New York: Routledge,

menafsirkan ayat-ayat yang bertemakan persoalan Kalam, menjadi kunci turunan yang mempengaruhi mufasir pada era setelahnya yang juga bercorak rasional. Namun disayangkan bahwa Abdullah Saeed tidak menjelaskan bagaimana konsep rasional Mu’tazilah secara mendalam dan konsep rasional para mufasir modern yang justru terdapat perbedaan dengan konsep rasional sekte klasik Islam tersebut.

Ignaz Goldziher dalam buku 20 Madha>hib al-Tafsi@ r al-Isla>mi@ . Dalam buku ini, Ignaz Golziher mengungkapkan berbagai polemik

tafsir dalam atmosfer teologi rasional yang diklaim sebagai nuansa sekte Mu’tazilah. Kecenderungan rasional Mu’tazilah ini kemudian juga mempengaruhi beberapa mufasir klasik, di antaranya al- Zamakhshari@ . Bibit-bibit rasional dalam tafsir yang dibangun Mu’tazilah diaplikasikan secara utuh oleh al-Zamakhshari@ dalam kitab tafsirnya. Berlandaskan pada aplikasi rasional yang diterapkan oleh Zamakhshari@ dalam menafsirkan Alquran yang mewakili model penafsiran rasional Mu’tazilah sehingga Ignaz Goldziher mengklaim kecenderungan penafsiran di era modern (pada abad ke 18 dan setelahnya) yang diusung beberapa mufasir pada masa itu seperti Muh}ammad ‘Abduh, masih dikategorikan sebagai bentuk lain dari konsep rasional Mu’tazilah atau lebih dikenal dengan Neo Mu’tazilah. Namun di sisi yang berbeda, Ignaz Goldziher juga menunjukkan kecenderungan lain dari penafsiran ‘Abduh dimana banyak dari penafsiran yang dihasilkan sarat dengan nilai-nilai ilmiah sebagai bentuk upaya memadukan temuan-temuan yang bersifat ilmiah dari hasil peradaban modern Eropa ke dalam tafsir. Ignaz menilai bahwa terdapat pergeseran wacana kefilsafatan yang perlu dikaji dan diperhatikan, dimana tidak saatnya lagi membahas wacana kefilsafatan klasik Yunani dan India seperti Aristoteles, Plato, Socrates, Phytagoras, Jalinus dan sebagainya karena dalam penilaian ‘Abduh, wacana yang diusung filosof klasik tersebut tidak lagi relevan dalam kontek kekinian (saat ‘Abduh hidup). Namun ‘Abduh lebih menuntut untuk memperhatikan dan melakukan kajian secara mendalam terhadap wacana-wacana baru yang dibawa oleh beberapa filosof Prancis, Jerman dan Inggris seperti Auguste Comte, Leibniz dan Spinoza.

M. Quraish Shihab dalam buku Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar. Secara umum dalam buku ini M. Quraish

20 Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@ r al-Isla>mi@ , Penerj; ‘Abdul H{ali@ m al- Naja> r (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955).

Shihab berbicara tentang Tafsi@ r al-Manna@ r untuk melihat kecenderungan mufasirnya (Muh}ammad ‘Abduh dan Rashi@ d Rid}a> ) dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Terkait Muh{ammad ‘Abduh, M. Quraish Shihab sempat menyimpulkan bahwa Muh{ammad ‘Abduh merupakan tokoh pembaharu di bidang tafsir yang memiliki coraknya sendiri. M. Quraish Shihab juga menyebutkan bahwa dari segi penggunaan akal dalam menafsirkan Alquran, Muh{ammad ‘Abduh sangat dominan mengaplikasikan model penafsiran seperti ini. M. Quraish Shihab menilai bahwa hal tersebut menunjukkan kesejalanan antara Muh{ammad ‘Abduh dengan Mu’tazilah, baik dalam prinsip- prinsip yang dianutnya ataupun dari segi tujuannya, terlepas dari perdebatan panjang antar para ulama dan pakar tafsir terkait

Muh{ammad ‘Abduh adalah seorang Mu’tazilian atau bukan. 21 Muhammad Hamid al-Nashr dengan buku berjudul Menjawab

Modernisasi Islam; Membedah Pemikiran Jamaluddin al-Afghani Hingga Islam Liberal. Secara umum dalam buku ini Muh{ammad

Hamid An-Nashr sempat menyinggung pembahasan tentang sekte Mu’tazilah dengan meninjau berbagai aspek dari Mu’tazilah sehingga terlihat kekentalan permainan akal atau kecenderungan rasional dari Mu’tazilah itu sendiri. Bagi Muhammad Hamid An-Nashr, Mu’tazilah dipandang begitu mengagungkan akal. Akal atau logika dalam sekte Mu’tazilah dipandang sebagai dasar utama yang dijadikan barometer kebenaran yang kemudian baru diperkuat oleh dalil-dalil yang ada. Inilah landasan utama Muhammad Hamid An-Nashr menyebutkan Mu’tazilah sebagai sekte rasional Islam yang kemudian juga menularkan pengaruhnya kepada generasi sesudahnya, termasuk Muh{ammad ‘Abduh yang juga digolongkan sebagai salah satu

penganut Mu’tazilah. 22 Dari beberapa penelitian sebelumnya, ada spesifikasi

pembahasan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang diungkapkan oleh Ahmad N. Amir, Rotraud Wielandt, Abdullah Saeed, Ignaz Goldziher, M. Quraish Shihab dan Muhammad Hamid al- Nashr. Pembahasan yang diungkapkan Ahmad N. Amir dan Rotraud Wielandt secara umum hanya menunjukkan indikasi global tentang

21 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al- Mannar (Jakarta: Lentera Hati 2006), 32-36.

22 Muh{ammad Hamid al-Nashr, Menjawab Modernisasi Islam; Membedah Pemikiran Jamaluddin al-Afghani Hingga Islam Liberal, Penerjemah; Abu Umar

Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), 18 dan 45.

adanya ketertarikan ‘Abduh dan upayanya untuk mengintegrasikan perkembangan pemikiran dan kemajuan peradaban Barat ke dalam ide dan pemikiran pembaharuannya terhadap dunia Islam. Ahmad N. Amir dan Rotraud Wielandt juga menduga bahwa pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa pada masa itu juga ikut mempengaruhi gaya penafsiran ‘Abduh sehingga terkesan nuansa penafsirannya berbeda dari penafsiran-penafsiran pada era sebelum ‘Abduh. Sedangkan Ignaz Goldziher, M. Quraish Shihab dan Muhammad Hamid al-Nashr masih menilai bahwa nuansa tafsir ‘Abduh yang kuat mengedepankan aspek rasional-ilmiah pada era modern, masih dipengaruhi sepenuhnya oleh paradigm Mu’tazilah meskipun Ignaz Goldziher telah memberikan indikasi yang menunjukkan upaya ‘Abduh untuk menggiring wacana umat Islam untuk menggunakan pemikiran-pemikiran modern Eropa pada saat itu seperti Auguste Comte, Leibniz dan Spinoza. Walaupun demikian, seluruh pembahasan yang coba diungkapkan oleh beberapa tokoh tersebut terkait tendensi penafsiran ‘Abduh sebagai seorang mufasir modern, hanya sebatas uraian-uraian yang bersifat global atau mengikuti wacana yang berkembang sebelumnya bahwa ‘Abduh masih terpengaruh sepenuhnya oleh paradigma Mu’tazilah.

Penelitian yang dirangkul oleh judul “Nuansa Positivistik Tafsir Modern Muh{ammad ‘Abduh” mencoba mengulas tentang penafsiran ‘Abduh dalam Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma secara lebih spesifik dengan mengidentifikasi paradigma asal yang mempengaruhi perbedaan nuansa penafsiran ‘Abduh jika dibandingkan dengan gaya penafsiran-penafsiran ulama-ulama pada era sebelum ‘Abduh, terkhusus penafsiran-penarsiran terhadap ayat-ayat al- Kauni>yah (ayat-ayat fenomena alam). Peneliti melihat bahwa, terdapat satu aliran filsafat pencerahan Eropa pada masa itu yang ikut mempengaruhi paradigma penafsiran ‘Abduh terkait ayat-ayat al- Kauni>yah, seperti filsafat Positivisme.

Sebagaimana indikasi yang ditunjukkan secara global oleh Ahmad N. Amir dan Rotraud Wielandt yang menilai ‘Abduh telah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran kefilsafatan Eropa pada masa itu, ditambah lagi dengan indikasi yang diungkapkan oleh Ignaz Goldziher yang menyebutkan ‘Abduh telah menggiring perhatian umat Islam untuk memperhatikan pemikiran-pemikiran para filosof Eropa pada masa itu seperti Auguste Comte, Leibniz dan Spinoza, menjadi penguat asusmsi dasar dari penelitian ini. Dalam pembahasan filsafat Eropa, Auguste Comte memang dikenal sebagai tokoh pendiri dari Sebagaimana indikasi yang ditunjukkan secara global oleh Ahmad N. Amir dan Rotraud Wielandt yang menilai ‘Abduh telah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran kefilsafatan Eropa pada masa itu, ditambah lagi dengan indikasi yang diungkapkan oleh Ignaz Goldziher yang menyebutkan ‘Abduh telah menggiring perhatian umat Islam untuk memperhatikan pemikiran-pemikiran para filosof Eropa pada masa itu seperti Auguste Comte, Leibniz dan Spinoza, menjadi penguat asusmsi dasar dari penelitian ini. Dalam pembahasan filsafat Eropa, Auguste Comte memang dikenal sebagai tokoh pendiri dari

ini secara spesifik dengan berusaha mencari dan menunjukkan pengaruh filsafat Positivisme dalam membentuk paradigma penafsiran

‘Abduh yang terkesan berbeda terkait ayat-ayat al-Kauni>yah dalam Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma, kemudian melihat karakteristik serta urgensi dari model penafsiran Positivistik yang diterapkan ‘Abduh. Hal ini merupakan kelebihan yang paling menonjol dari penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya .

D. Tujuan Penelitian Merujuk kepada rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk; Pertama, melihat konsep relasi antara Alquran, akal dan ilmu pengetahuan alam (sains) dalam pandangan Muh{ammad ‘Abduh. Kedua, melihat basis tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh sebagaimana yang diterapkan dalam kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma. Ketiga, melihat karakteristik tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh. Keempat, melihat urgensi dari model tafsir Positivistik.

E. Signifikansi Penelitian Signifikansi dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Memperluas pandangan dunia intelektual dalam pengkajian tafsir Alquran dengan memahami perkembangan model atau nuansa penafsiran Alquran, terkhusus tafsir yang dimulai dari era modern.

2. Secara praktis diharapkan agar penelitian ini akan berguna bagi kehidupan masyarakat intelektual Islam, terutama dalam memahami dan berusaha menghasilkan sebuah penafsiran yang lebih bersifat dinamis serta mampu menjadi alternatif-alternatif dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, namun tetap berada dalam nilai-nilai dan aturan-aturan pokok yang telah ditetapkan Alquran.

23 Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi (Bogor: Akademia, 2009),

188-197.

F. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini secara umum mencakup tiga hal penting, yaitu dari segi sumber data penelitian, dari segi sifat dan jenis penelitian, dan yang terakhir dari segi metode serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Sumber Data Penelitian Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini merupakan penelitian yang berkaitan dengan bidang tafsir yang lebih terfokus kepada kajian tokoh dimana tokoh yang diteliti adalah Muh{ammad ‘Abduh. Jadi dalam proses penelitian ini sumber primer yang penulis gunakan adalah kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma karangan Muh{ammad ‘Abduh (Kairo: al-Ami@ riyyah, 1322 H). Pemilihan kitab Tafsi@ r al-Qur’a>n al-Kari@ m Juz’ ‘Amma sebagai sumber primer dikarenakan kitab ini merupakan kitab tafsir yang memuat penafsiran-penafsiran ‘Abduh terhadap ayat Alquran. Hal lain yang penulis perhatikan adalah bahwa kitab ini merupakan kitab tafsir yang murni dikarang oleh ‘Abduh. Sedangkan kitab Tafsir al-Manna>r menurut sebahagian pakar tafsir, tidak lagi orisinil dari hasil penafsiran ‘Abduh karena telah terdapat pemikiran-pemikiran Muh{ammmad Rashi@ d Rid{a@ yang pada saat itu berperan menuliskan penafsiran-penafsiran Muh{ammad ‘Abduh dalam majlis Al-Manna> r. Sedangkan sumber skunder dalam penelitian ini adalah segala karya tulis ilmiah baik itu buku, jurnal ataupun artikel-artikel lainnya yang terkait dengan tema dari penelitian ini.

2. Sifat dan Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat Kualitatif. 24 Dari segi jenis, penelitian

ini tergolong penelitian kepustakaan ( library research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data-data dan menelaah buku- buku atau leteratur-literatur perpustakaan yang terkait dengan pembahasan.