Morfologi dan Morfometri Spermatozoa Kucing Domestik (Felis catus)

MORFOLOGI DAN MORFOMETRI SPERMATOZOA
KUCING DOMESTIK (Felis catus)

RADITYA NANDIASA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRACT
RADITYA NANDIASA. Sperm Morphology and Morphometry of Domestic Cat
(Felis catus). Under direction of R. IIS ARIFIANTINI and R. TAUFIQ PURNA
NUGRAHA
The objective of the research was to study the sperm morphology and
morphometry of domestic cat (Felis catus). Semen were obtained from five
sexually mature cats using electroejaculator and evaluated macro- and
microscopically. Semen samples were stained with carbofuchsin (William’s
stains). Sperm morphology was assested from 200 cells for each sample in three
times repetition. Sperm morphometry such as the length, width and head area and
the length of midpiece and principal tail were counted in three times repetition

using sperm morphology analyzed software (ImageJ) from 50 cells for each
sample. Result of the research indicated that the primary and secondary
abnormalities were 15.00 ± 3.11% and 7.97 ± 1.97% respectively. Headless and
dag defect abnormalities were the most common primary and secondary
abnormality that were found on all examined samples. The length, width and area
of sperm head were 5.13 ± 0.20 µm, 3.01 ± 0.31 µm and 11.96 ± 1.68 µm. The
length of midpiece and principal tail were 7.62 ± 0.22 µm and 38.72 ± 0.29 µm.
The total sperm length was 51.47 ± 0.56 µm.
Key words :sperm morphology, sperm morphometry, domestic cat

ABSTRAK

RADITYA NANDIASA. Morfologi dan Morfometri Spermatozoa Kucing
Domestik (Felis catus). Dibimbing oleh R. IIS ARIFIANTINI dan R. TAUFIQ
PURNA NUGRAHA
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai morfologi dan morfometri
spermatozoa kucing domestik (Felis catus). Lima ekor kucing yang telah dewasa
kelamin dikoleksi semennya menggunakan elektroejakulator. Semen dievaluasi
secara makroskopis dan mikroskopis. Sampel semen diwarnai menggunakan
pewarnaan carbofuchsin (William’s stain). Morfologi dievaluasi dari 200 sel

untuk setiap sampel dengan tiga kali pengulangan. Morfometri spermatozoa
dihitung menggunakan perangkat lunak ImageJ. Variabel yang diukur pada bagian
kepala spermatozoa adalah panjang, lebar dan luas sedangkan untuk bagian ekor
adalah panjang midpiece dan ekor bagian utama dari 50 sel untuk setiap sampel
dengan tiga kali pengulangan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa
abnormalitas primer dan sekunder pada kucing domestik masing-masing adalah
15.00 ± 3.11% dan 7.97 ± 1.97%. Headless dan dag defect adalah abnormalitas
yang paling banyak ditemukan pada semua sampel. Panjang, lebar dan luas daerah
kepala spermatozoa berturut-turut adalah 5.13 ± 0.20 µm, 3.01 ± 0.31 µm dan
11.96 ± 1.68 µm. Panjang midpiece dan ekor bagian utama adalah 7.62 ± 0.22 µm
dan 38.72 ± 0.29 µm. Panjang total spermatozoa adalah 51.47 ± 0.56 µm.
Kata kunci: morfologi spermatozoa, morfometri spermatozoa, kucing domestik

MORFOLOGI DAN MORFOMETRI SPERMATOZOA
KUCING DOMESTIK (Felis catus)

RADITYA NANDIASA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Morfologi dan Morfometri
Spermatozoa Kucing Domestik (Felis catus) adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.

Bogor, September 2011

Raditya Nandiasa

NIM B04070111

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi

:

Nama
NIM


:
:

Morfologi dan Morfometri Spermatozoa Kucing Domestik
(Felis catus)
Raditya Nandiasa
B04070111

Disetujui,

Dr. R. Iis Arifiantini, M.Si
Pembimbing I

drh. R. Taufiq Purna Nugraha, M.Si
Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


Tanggal lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
hikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi yang berjudul Morfologi dan Morfometri Spermatozoa Kucing
Domestik (Felis catus).
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Keluarga atas dukungannya secara moril dan materil.
2. Dr. R. Iis Arifiantini, M.Si dan drh. R. Taufiq Purna Nugraha selaku dosen
pembimbing atas arahan, nasehat dan pengalaman yang diberikan.
3. Bondan Achmadi, SE dan staf Depertemen Klinik, Reproduksi dan
Patologi atas setiap bantuannya.
4. Angeline Budiawan dan Fajriati Rafelia Hapsari sebagai teman
sepenelitian atas jerih payahnya dalam menyelesaikan rangkaian
penelitian, penulisan skripsi dan seminar bersama-sama.
5. Yanotama Tirta Laksana yang selalu mendampingi sepanjang suka dan
duka pengerjaan tugas akhir serta telah memberikan bantuan dalam segala
hal, motivasi dan kasih sayang yang berlimpah.

6. Keluarga besar UKM PMK IPB atas setiap doa, dukungan, penguatan,
persaudaraan, dan persekutuan yang indah yang selalu hadir.
7. Keluarga besar Gianuzzi 44 atas dorongan semangat dan persahabatan
yang spesial.
Penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak
yang membutuhkan dan memperkaya informasi di bidang reproduksi hewan.

Bogor, September 2011

Raditya Nandiasa

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 30 Juni 1989 dari ayah Wishnu
Santoso dan ibu Yani Wijaya. Penulis merupakan putri pertama dari dua
bersaudara. Penulis memulai jenjang sekolah pada tahun 1995 di SD PSKD kwt.
VIII di Depok, kemudian melanjutkan sekolah ke SMP 6 PSKD di Depok. Setelah
lulus SMP, penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Depok.
Tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 1 Depok dan pada tahun yang sama
diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk

IPB (USMI) dengan mayor Kedokteran Hewan.
Selama menjalani program S1, penulis tergabung dalam Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) Agria Swara pada tahun ajaran 2007/2008 dan UKM
Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor (PMK IPB) selama
tahun ajaran 2007/2008 hingga 2010/2011. Dalam UKM PMK IPB penulis
menjabat sebagai Wakil Koordinator I Bidang Pembinaan Komisi Pelayanan
Anak (2009/2010) dan Koordinator Kelompok Pra-alumni (2010/2011).

i
 

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI

…………………………………………………..………….

i

DAFTAR TABEL .. …….…………………………...……………………..


ii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………

iii

PENDAHULUAN

…………………………………………………………

1

Latar Belakang ………………………………..……………….....…
Tujuan ………………………………………………………………

1
2

TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….

Tinjauan Umum Kucing Domestik ………………………………....
Organ Reproduksi Kucing ………………………………………….
Spermatogenesis ……………………………………………………
Morfologi Spermatozoa …….……………………………………....
Morfometri Spermatozoa ….…………………………………..........
Pewarnaan Spermatozoa….………………………………………........

3
3
4
5
7
8
9

BAHAN DAN METODE……………………………………………………
Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………........
Metode Penelitian …..……………………………………………....
Persiapan Kucing ……………………………………………..
Koleksi Semen dengan Elektroejakulator …………………….

Karakteristik Semen …………………………………………...
Morfologi dan Morfometri Spermatozoa ……………………..
Analisis Data ………………………………………………….

10
10
10
10
10
11
11
12

HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………...
Karakteristik Semen Segar Kucing Domestik ……………………....
Morfologi dan Morfometri Spermatozoa Kucing Domestik ………...

13
13
14

SIMPULAN

23

……………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

……………………………………………………..

24

………………………………………………………………

27

ii
 

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
5
6

Karakteristik semen kucing domestik yang dikoleksi
menggunakan elektroejakulator ……………………………………….
Morfologi kepala dan ekor spermatozoa kucing domestik
yang dikoleksi menggunakan elektroejakulator ……………………….
Persentase abnormalitas primer spermatozoa kucing domestik
yang dikoleksi menggunakan elektroejakulator ……………………….
Persentase abnormalitas sekunder spermatozoa kucing domestik
yang dikoleksi menggunakan elektroejakulator ……………………….
Hasil pengukuran morfometri spermatozoa kucing domestik
yang dikoleksi menggunakan elektroejakulator ……………………….
Morfometri spermatozoa dari beberapa mamalia ……………………..

14
15
18
20
21
21

iii
 

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4
5
6

Kucing domestik …………………………………………………...
Testis kucing dari sisi lateral ………………………………………..
Penis kucing ………………………………………………………..
Morfologi spermatozoa dari beberapa mamalia ……………………
Variabel morfometri sel spermatozoa ………………………………
Morfologi spermatozoa kucing ………………………………….....

4
4
5
8
12
17

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kucing merupakan salah satu hewan karnivora yang banyak dipelihara
sebagai hewan kesayangan. Kucing terutama kucing keturunan murni (pure
breed) sering dikembangbiakan oleh karena itu dibutuhkan penelitian-penelitan
mengenai reproduksi hewan tersebut. Selain itu, penelitian terhadap aspek
reproduksi kucing penting untuk melestarikan jenis-jenis kucing yang terancam
punah. Penelitian reproduktif ini akan lebih menguntungkan jika menggunakan
hewan model, yaitu kucing domestik (Felis catus).
Fertilitas kucing jantan dan betina menentukan keberhasilan proses
reproduksi. Penelitian-penelitian sebelumnya melaporkan bahwa abnormalitas
spermatozoa yang tinggi pada kucing dapat menurunkan kemampuannya untuk
penetrasi oosit in vitro, dibandingkan dengan spermatozoa dari pejantan dengan
tingkat abnormalitas yang rendah (Howard et al. 1993). Salah satu cara
mengetahui fertilitas kucing jantan adalah menguji kualitas semennya. Pengujian
kualitas semen dapat dilakukan secara makroskopis ataupun mikroskopis.
Pengujian makroskopis terdiri dari penilaian terhadap volume, konsistensi, warna,
dan pH semen. Pengujian mikroskopis meliputi gerakan individu, gerakan massa,
motilitas, konsentrasi, viabilitas, serta morfologi spermatozoa.
Morfologi spermatozoa menggambarkan bentuk spermatozoa. Morfologi
spermatozoa telah banyak dilaporkan pada berbagai hewan diantaranya pada
kancil (Najamudin 2010), kerbau (Arifiantini & Ferdian 2006), sapi bali
(Arifiantini et al. 2006a), sapi potong (Arifiantini et al. 2010), sapi perah
(Purwantara et al. 2010), dan kuda (Morrell et al. 2008).
Spermatozoa terdiri atas bagian kepala dan ekor dan mempunyai ukuran
yang berbeda untuk masing-masing spesies (Gage & Freckleton 2003). Ukuranukuran spermatozoa tersebut dikenal dengan istilah morfometri spermatozoa.
Informasi mengenai morfometri spermatozoa semen segar penting untuk diketahui
agar perubahan morfometri pada saat proses preservasi dapat diketahui.
Morfometri spermatozoa telah dilaporkan diantaranya pada sapi bali (Arifiantini
et al. 2006b), kelelawar (Nugraha 2010) dan kuda (Hidalgo et al. 2005).

2

Tujuan
Mengingat informasi mengenai morfologi dan morfometri spermatozoa
kucing belum banyak dilaporkan, penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai
morfologi dan morfometri spermatozoa kucing domestik (Felis catus) yang
dikoleksi menggunakan elektroejakulator.

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Kucing Domestik
Kucing domestik (Felis catus, Linneaus 1758) (Gambar 1) menempati
sebagian besar penjuru dunia. Bukti arkeologi menunjukkan domestikasi kucing
terjadi di Near East sekitar 9000 hingga 10 000 tahun yang lalu namun inisiasi
domestikasi mungkin dimulai ribuan tahun yang lalu saat manusia dan nenek
moyang kucing menjadi semakin saling tergantung. Proses domestikasi mungkin
dimulai selama periode ketika manusia berhenti berburu kawanan hewan liar dan
mengadopsi lebih banyak gaya hidup pertanian. Perubahan ini terjadi 10 000
sampai dengan 11 000 tahun yang lalu dan dimungkinkan oleh domestikasi
serealia liar tertentu dan rumput-rumputan yang menyebabkan manusia
membutuhkan kucing untuk mengontrol tikus yang merusak tanaman (Lipinski et
al. 2007). Menurut Wastlhuber (1991) kucing domestik yang ada sekarang ini
kemungkinan merupakan evolusi dari kucing liar Afrika (F. silvestris lybica) di
zaman Mesir kuno sekitar 3000 hingga 4000 tahun lampau.
Meskipun banyak kucing telah dipelihara, kucing tidak sepenuhnya
kehilangan kemampuannya untuk berburu sehingga sifat kucing pada saat ini
bervariasi, yaitu dari tidak dapat dijinakkan hingga sangat lembut (Lipinski et al.
2007). Adapun klasifikasi kucing menurut Linneaus (1758) adalah :
Kingdom : Animalia
Filum

: Chordata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Carnivora

Famili

: Felidae

Genus

: Felis

Spesies

: Felis catus

4

Gambar 1 Kucing domestik.
Organ Reproduksi Kucing
Alat kelamin jantan pada kucing terbagi dalam empat subbagian seperti
karnivora pada umumnya. Subbagian pertama meliputi testis, epididimis, duktus
deferens, korda spermatikus, dan tunika. Subbagian kedua terdiri dari kelenjarkelenjar asesoris, subbagian ketiga penis, dan yang terakhir uretra.
Testis kucing (Gambar 2) turun dan menempati skrotum antara minggu
kedua dan ketiga setelah kelahiran. Epididimis melekat pada perbatasan
dorsolateral dari testis. Kaput epididimis dimulai dari medial permukaan testis,
namun saat mencapai posisi dorsolateral dilanjutkan menjadi korpus dan kauda.
Duktus deferens merupakan saluran berdinding otot tebal dan berfungsi
menyalurkan sperma dari kauda epididimis ke dalam uretra (Schatten &
Constantinescu 2007).
korda spermatikus
duktus deferens

korpus epididimis

kauda epididimis

kaput epididimis
testis

arteri testikuler

Gambar 2 Testis kucing dari sisi lateral (Schatten & Constantinescu 2007).

5

Kelenjar asesoris yang berkembang pada kucing adalah kelenjar prostat dan
bulbouretralis sedangkan kelenjar vesikular tidak berkembang. Kelenjar prostat
memiliki dua bagian yaitu bagian badan dan diseminasi. Kelenjar bulbouretralis
bentuknya sangat kecil (memiliki diameter lebih dari 5 mm) (Schatten &
Constantinescu 2007).
Penis pada kucing (Gambar 3) berada di ventral skrotum. Penis disusun
oleh dua buah korpora cavernosa, satu pada tiap sisi dan sebuah korpus
spongiosum yang berada di tengah. Pejantan dewasa memiliki glans penis pada
bagian ujung penis dengan panjang 5 sampai dengan 10 mm, berbentuk kerucut
yang mengarah ke kaudal dan memiliki 120 hingga 150 buah duri penis (penile
spines). Peran duri pada proses kopulasi belum diketahui secara pasti namun
diperkirakan duri ini berfungsi memberikan stimulasi seksual pada jantan atau
betina, menghalangi penarikan penis dari vagina atau meningkatkan stimulasi
betina untuk induksi ovulasi. Os penis pada kucing berukuran panjang 3 sampai
dengan 5 mm dan berada di ujung glans penis pada kucing jantan dewasa
(Johnston et al. 2001).

papila kerucut

glans penis

Gambar 3 Penis kucing (Schatten & Constantinescu 2007).
Spermatogenesis
Spermatozoa dihasilkan dari stem sel (sel induk) melalui suatu siklik dan
proses yang terorganisir serta kompleks. Proses ini disebut spermatogenesis dan
terjadi di dalam tubulus seminiferus dari hewan yang dewasa seksual.
Pembentukan spermatozoa adalah salah satu sistem pembaharuan paling produktif
yang terjadi dalam tubuh hewan. Setiap hari jutaan spermatozoa diproduksi dari
induk spermatogonium (Costa et al. 2006).

6

Proses perkembangan sel germinal jantan dari spermatogonia menjadi
spermatozoa disebut spermatogenesis. Perkembangan ini terjadi di dalam tubuli
seminiferi. Spermatogenesis terbagi menjadi tiga fase, yaitu spermatositogenesis
(tahap proliferasi; Costa et al. 2006), meiosis dan spermiogenesis (tahap
diferensiasi; Costa et al. 2006). Proses spermatositogenesis diawali dengan
perkembangan sel-sel germinal primordial menjadi spermatogonia tipe A yang
diploid. Sel-sel ini tetap berada dekat membran basal dan selanjutnya akan
membelah. Spermatogonia tipe A secara ekstrim tahan terhadap paparan toksik
dan apabila diperlukan dapat membentuk kembali sel germinal di dalam tubuli
seminiferi. Beberapa spermatogonia tipe A berdiferensiasi menjadi spermatogonia
tipe B diploid yang selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi spermatosit primer
(spermatosit I) diploid. Sel spermatosit primer adalah produk akhir dari proses
spermatositogenesis (Schatten & Constantinescu 2007).
Selama fase meiosis, materi genetik spermatosit diduplikasi, direkombinasi
dan dipisahkan (Costa et al. 2006). Proses ini terdiri dari dua tahap, yaitu meiosis
I yang mengubah spermatosit primer menjadi spermatosit sekunder (spermatosit
II) dan meiosis II yang mengubah spermatosit sekunder menjadi spermatid
haploid. Spermatosit sekunder sulit ditemukan pada preparat histologi karena
keberadaannya langsung menginisiasi terjadinya meiosis II (Schatten &
Constantinescu 2007).
Tahap akhir spermatogenesis disebut spermiogenesis yang mencakup
pengembangan dari spermatid dengan bentuk membulat menjadi spermatozoa
yang berbentuk memanjang dan siap untuk keluar dari tubulus seminiferus
(Schatten & Constantinescu 2007). Empat peristiwa utama terjadi sebagai bagian
dari tahap ini, yaitu fase golgi, fase tudung, fase akrosom, dan fase pematangan.
Di akhir tahap spermiogenesis, spermatozoa yang telah matang disimpan dalam
epididimis dan menunggu hingga dapat keluar dari tubuh jantan untuk
melaksanakan fungsi reproduktifnya, yaitu membuahi oosit (Theunissen 2011).
Meskipun proses spermatogenesis mirip dalam semua mamalia, terdapat
karakteristik khusus antar spesies dalam hubungannya dengan kronologi
peristiwa, proporsi volumetrik yang dihasilkan oleh komponen parenkim testis,
jumlah generasi spermatogonium, populasi sel di tubulus seminiferus, produksi

7

sperma harian, tingkat sel sertoli, dan hasil spermatogenesis secara umum (Costa
et al. 2006).
Morfologi Spermatozoa
Spermatozoa pada hewan mamalia merupakan sel panjang yang motil.
Sebuah sel sperma memiliki kepala dan ekor (Gambar 4). Kepala terdiri dari
sebuah nukleus dengan kepadatan tinggi, kromatin kental yang diselimuti teka
perinuklear, sebuah akrosom dan membran plasma. Fungsi utama dari bagian
kepala adalah untuk penetrasi pada oosit, membawa genom haploid jantan, dan
inisiasi perkembangan embrionik setelah fertilisasi.
Ekor dapat terbagi menjadi bagian penghubung (connecting piece), bagian
tengah (midpiece), bagian utama (principle piece), dan bagian ujung (end-piece).
Bagian penghubung merupakan bagian rangkaian penghubung yang pendek antar
kepala dengan ekor yang terdiri dari segmen-segmen, jaringan fibrosa dan
kapitulum. Bagian tengah berfungsi sebagai membran pelindung mitokondria
yang merupakan pengatur energi untuk motilitas sperma. Bagian ini dimulai dari
distal bagian penghubung sampai annulus (struktur yang membatasi bagian
tengah dengan bagaian utama). Bagian utama ekor merupakan daerah yang
dimulai dari annulus sampai ujung ekor. Secara keseluruhan, ekor berguna untuk
mendorong spermatozoa bergerak melalui uterus dan tuba falopii hingga bertemu
dan berpenetrasi pada oosit (Schatten & Constantinescu 2007).
Berdasarkan kejadiannya, abnormalitas morfologi spermatozoa dapat
dibedakan menjadi abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas morfologi
juga dapat dibagi berdasarkan dampaknya, yaitu abnormalitas mayor dan minor.
Abnormalitas primer terjadi pada bagian kepala, bersifat genetik dan berdampak
mayor terhadap fertilitas sedangkan abnormalitas sekunder umumnya terjadi pada
bagian ekor dan mudah terseleksi pada pengujian motilitas (Arifiantini et al.
2010).

8

a

b

c

d

e

f

g

h

Kepala

Ekor

Gambar 4 Morfologi spermatozoa dari beberapa mamalia (a) sapi, (b) babi,
(c) domba, (d) kuda, (e) anjing, (f) kucing, (g) manusia, (h) tikus
(Schatten & Constantinescu 2007).
Barth dan Oko (1989) mengatakan bahwa abnormalitas primer dapat
terjadi karena kelainan pada saat proses spermatogenesis yang terjadi di tubuli
seminiferi, sedangkan abnormalitas sekunder terjadi kerusakan spermatozoa
selama perjalanan melalui epididimis, selama fase ejakulasi atau setelah ejakulasi
terjadi. Kerusakan spermatozoa setelah ejakulasi bisa terjadi akibat kesalahan
dalam penanganan dan perlakuan terhadap spermatozoa seperti pemanasan yang
berlebihan, heat shock, kontaminasi dengan zat lain seperti air, urin dan antiseptik.
Morfometri Spermatozoa
Morfometri didefinisikan sebagai pengukuran bentuk. Pengkajian terhadap
morfometri spermatozoa yang masih jarang dilaporkan ini perlu dilakukan untuk
mengetahui karakteristik ukuran-ukuran spermatozoa pada berbagai hewan.
Arruda et al. (2002) berpendapat bahwa pengetahuan terhadap morfometri
spermatozoa diperlukan untuk pengkajian terhadap upaya kriopreservasi semen

9

mengingat terdapat perbedaan yang signifikan terhadap ukuran spermatozoa
semen segar dengan semen yang telah mengalami kriopreservasi.
Panjang spermatozoa manusia dan hewan domestik secara umum adalah
sekitar 50 µm sedangkan spermatozoa rodensia dapat mencapai panjang 100
hingga 250 µm. Hewan mamalia yang memiliki spermatozoa terpanjang adalah
Homey opossum (Tarsipens rostratus), yaitu sepanjang 350 µm (Schatten &
Constantinescu 2007).
Pewarnaan Spermatozoa
Pewarnaan yang umum digunakan untuk spermatozoa adalah eosin, eosinnigrosin (EN) dan William’s. Eosin merupakan zat warna dengan sifat asam dan
termasuk ke dalam kelompok molekul yang memiliki cincin kuinoid yang
ditautkan pada cincin non-kuinoid melalui atom-atom C dan O. Pewarnaan EN
merupakan pewarnaan ganda untuk memberikan efek kontras sehingga memberi
batas yang jelas pada sel. Zat warna dasar yang digunakan dalam pewarnaan
William’s adalah basic fuchsin dan eosin. Baik basic fuchsin, yang merupakan zat
warna yang termasuk dalam golongan trifenil metan, maupun eosin dapat
mewarnai sitoplasma (Gunarso 1989).
Salah satu pewarnaan yang sering digunakan untuk spermatozoa adalah
pewarnaan William’s. Pewarnaan ini mempunyai kelebihan dalam hal kejernihan
hasil yang didapatkan sehingga pengamatan morfologi dan morfometri
spermatozoa dapat dilakukan dengan mudah. Selain itu pewarnaan ini tidak perlu
dilakukan bersamaan dengan evaluasi semen. Preparat ulas yang dikeringudarakan
dari sampel yang ada dapat langsung diwarnai atau didiamkan dalam waktu yang
cukup lama. Kekurangan pewarnaan William’s adalah tidak dapat digunakan
untuk membedakan dan menghitung jumlah spermatozoa yang hidup dan mati
seperti pada pewarnaan eosin-nigrosin (Arifiantini 2006a).

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 hingga Juni 2011 di
Unit Rehabilitasi Reproduksi, Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen
Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor dan Laboratorium Reproduksi, Bagian Zoologi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor. Kucing dipelihara dalam
kandang individual di Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor selama
penelitian berlangsung.
Metode Penelitian
Persiapan kucing
Lima ekor kucing domestik yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
bobot 3 sampai dengan 4 kg dan diperoleh di daerah Bogor. Sebelum dikoleksi
semennya, kucing diadaptasikan selama satu bulan, diperiksa kesehatannya secara
klinis dan dari gambaran darah, diberi obat cacing, campuran kuning telur dan
madu, serta vitamin. Selama proses penelitian, kucing diberikan pakan kering (My
Dear Cat®) dua kali sehari masing-masing sebanyak 50 g dan minum ad libitum.

Koleksi semen dengan elektroejakulator
Kucing dipuasakan selama 12 jam sebelum dilakukan pembiusan
menggunakan kombinasi ketamine HCl dan diazepam secara intravena pada vena
cephalica antibrachii dorsalis kanan atau kiri. Setelah kucing terbius, bagian
preputium dibersihkan dengan kapas yang telah dibasahi dengan NaCl fisiologis
untuk mencegah semen terkontaminasi kotoran. Koleksi semen dilakukan dengan
elektroejakulator (Fujihira Industry, Jepang) dan mengadopsi teknik Howard et al.
(1990). Probe elektroejakulator diberi pelumas berupa gel dan dimasukkan secara
perlahan ke dalam anus dan diarahkan ke bagian ventral tubuh (sekitar 7 sampai
dengan 9 cm). Setiap kucing dikoleksi semennya sebanyak tiga kali dengan waktu
antar koleksi satu minggu.

11

Karakteristik semen
Karakteristik semen dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis.
Pengujian makroskopis terdiri atas penilaian terhadap volume, konsistensi, warna,
dan pH semen (pH special indicator paper). Pengujian mikroskopis meliputi
gerakan individu (scoring 0 sampai dengan 5), motilitas spermatozoa (0 hingga
100%), konsentrasi spermatozoa/mL (Neubauer chamber), dan viabilitas
(persentase spermatozoa hidup dan mati).

Morfologi dan morfometri spermatozoa
Morfologi spermatozoa dinilai dengan pewarnaan carbofuchsin atau
William’s stain (Arifiantini et al. 2006a). Satu tetes semen segar dibuat preparat
ulas dan dikeringudarakan. Pewarnaan dilakukan sekaligus pada seluruh sampel
dengan cara difiksasi di atas bunsen, direndam dalam alkohol absolut selama 4
menit dan dikeringudarakan. Selanjutnya preparat dicelupkan berulang kali dalam
larutan chloramin 0.5% selama 1 sampai 2 menit atau hingga mukus hilang dan
ulasan terlihat jernih, dicuci dalam air destilasi, dicelupkan dalam alkohol 95%
dan diwarnai dengan carbofuchsin selama 8 hingga 10 menit. Preparat yang telah
diwarnai dicuci dengan air mengalir hingga ulasan terlihat jernih dan dikeringkan.
Morfologi spermatozoa dihitung dari 200 spermatozoa menggunakan
mikroskop (Olympus CH 20) dengan pembesaran 1000 X. Kelainan morfologi
kepala diantaranya adalah pearshape (kepala berbentuk buah pir), narrow (kepala
menyempit), narrow at the base (kepala menyempit di bagian post akrosom),
headless (tanpa kepala), abaxial (posisi ekor tidak di tengah), undeveloped
(kepala tidak berkembang), microcephalus (kepala kecil), macrocephalus (kepala
besar), diadem (kepala berlubang di bagian nukleus), knobbed acrosome (KA)
defect (bagian akrosom melekuk ke arah dalam atau luar), round head (kepala
membulat), double head (kepala ganda), detached head (kepala patah atau
terlepas), dan abnormal contour (kelainan pada kontur kepala). Kelainan
morfologi ekor termasuk tailless (tanpa ekor), bent tail (ekor melipat), coiled tail
(ekor menggulung), dan dag defect (ekor menggulung di bawah kepala).
Persentase spermatozoa yang abnormal adalah jumlah spermatozoa abnormal

12

(kepala dan ekor) dibagi total spermatozoa (jumlah spermatozoa normal dan
abnormal) dikali 100%.
Pengukuran morfometri spermatozoa dapat dilakukan dengan bantuan
perangkat lunak imageJ ver 1.43h (http://rsb.info.nih.gov.ij/). Preparat ulas yang
sudah diwarnai, diamati dan difoto mengunakan mikroskop (Nikon Optihot-2,
Jepang) yang dilengkapi dengan kamera digital (Canon PS S5IS, Jepang) dengan
pembesaran lensa objektif 100 X (Nugraha 2010). Sebanyak 50 spermatozoa per
sampel dilakukan analisis yang meliputi panjang kepala, lebar kepala, area kepala,
panjang ekor bagian tengah (midpiece), panjang ekor (utama dan akhir) dan
panjang total sperma (Gambar 1). Semua pengukuran dilakukan dalam satuan
mikrometer (µm).

Gambar 5 Variabel morfometri sel spermatozoa. panjang kepala (a), lebar kepala
(b), area kepala (c), panjang ekor bagian tengah (midpiece) (d),
panjang ekor (utama dan akhir) (e) dan panjang total sperma (a, d dan
e) (Arifiantini et al. 2006b).
Analisis Data
Data disampaikan dalam bentuk rataan dan simpangan baku dari tiga kali
pengulangan untuk setiap sampel.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Semen Segar Kucing Domestik
Pengujian kualitas semen segar diawali dengan pengujian secara
makroskopis. Semen kucing yang dikoleksi dengan elektroejakulator memiliki
konsistensi encer-sedang dan warna putih keruh. Semen dengan konsentrasi
spermatozoa yang tinggi akan mempunyai warna yang lebih putih dibandingkan
dengan semen yang memiliki konsentrasi spermatozoa lebih rendah. Warna
kekuningan tampak pada semen yang terkontaminasi urin dan terkadang warna
kekuningan tersebut dapat muncul pada semen yang dikoleksi dengan
elektroejakultor terutama dengan voltase tinggi (Axnér & Linde-Forsberg 2002).
Semen kucing domestik memiliki volume senilai 59.00 ± 12.45 µL. Derajat
keasaman (pH) semen yang diperoleh dalam penelitian ini (7.26 ± 0.43) termasuk
dalam kisaran normal, yaitu 6.60 hingga 8.80 (Axnér & Linde-Forsberg 2002).
Pengamatan terhadap karakteristik semen segar secara mikroskopis pada
penelitian ini menghasilkan nilai motilitas, gerakan individu, viabilitas, dan
konsentrasi spermatozoa. Persentase spermatozoa yang motil (bergerak secara
progresif) diperoleh sebesar 72.00 ± 13.04%. Menurut Axnér dan Linde-Forsberg
(2002), motilitas spermatozoa pada kucing sangat bervariasi. Axnér dan LindeForsberg (2002) menyatakan kisaran persentase motilitas spermatozoa kucing
senilai 56 hingga 84% sedangkan Howard et al. (1990) menilai lebih tinggi, yaitu
84.40 ± 5.90%. Gerakan spermatozoa juga dapat dinilai secara individu dengan
skala 0 sampai 5. Skala 0 menyatakan tidak ada pergerakan sama sekali dan skala
5 menyatakan adanya gerakan yang sangat cepat ke arah depan (Axnér & LindeForsberg 2002). Dalam penelitian ini diperoleh nilai gerakan individu sebesar 4.60
± 0.55. Howard et al. (1990) mendapatkan nilai gerakan individu sebesar 4.20 ±
0.30 dalam penelitiannya.
Nilai viabilitas dan konsentrasi spermatozoa yang diperoleh dalam
penelitian ini secara berurutan adalah 85.46 ± 8.51% dan 608.00 ± 598.74 x
106/mL (Tabel 1). Seperti motilitas, konsentrasi spermatozoa juga sangat
bervariasi. Axnér dan Linde-Forsberg (2002) menyatakan kisaran konsentrasi
spermatozoa kucing yang dikoleksi dengan elektroejakulator adalah sebesar 168

14

hingga 361 x 106/mL sedangkan konsentrasi spermatozoa yang dikoleksi dengan
vagina buatan ada dalam kisaran 96 hingga 5101 x 106/mL.
Tabel 1 Karakteristik semen kucing domestik yang dikoleksi menggunakan
elektroejakulator
Parameter
Makroskopis
Konsistensi
Warna
Volume (µL)
pH
Mikroskopis
Motilitas (%)
Gerakan individu (scoring 0-5)
Viabilitas (%)
Konsentrasi (juta/mL)

Rata-rata
Encer-sedang
Putih keruh
59.00 ± 12.45
7.26 ± 0.43
72.00 ± 13.04
4.60 ± 0.55
85.46 ± 8.51
608.00 ± 598.74

Morfologi dan Morfometri Spermatozoa Kucing Domestik
Abnormalitas morfologi dapat digolongkan menjadi abnormalitas primer
(pada bagian kepala) dan abnormalitas sekunder (pada bagian ekor). Hasil
penelitian ini menunjukkan morfologi kepala spermatozoa yang normal adalah
85.00 ± 3.11%, berkisar antara 79.00 hingga 92.50% sedangkan morfologi ekor
spermatozoa yang normal adalah 92.03 ± 1.97% dengan kisaran 85.50 sampai
dengan 95.50% (Tabel 2). Axnér dan Linde-Forsberg (2002) mengkaji laporan
dari beberapa peneliti dan

menyimpulkan bahwa jumlah abnormalitas

spermatozoa pada kucing berkisar antara 38.20 sampai dengan 90.00%. Howard et
al. (1993) mendefinisikan istilah normospermik bagi kucing jantan dewasa yang
menghasilkan spermatozoa dengan morfologi normal lebih dari 60% per ejakulat
dan teratospermik bagi pejantan dewasa yang memproduksi spermatozoa dengan
morfologi normal kurang dari 40% per ejakulat. Axnér et al. (1997) dalam
penelitiannya memperoleh tingkat abnormalitas kepala, kerusakan akrosom,
abnormalitas akrosom, dan abnormalitas midpiece spermatozoa kucing masingmasing sebesar 14.70 ± 7.00%, 2.40 ± 4.60%, 1.80 ± 1.30%, dan 5.10 ± 5.70%.

15

Tabel 2 Morfologi kepala dan ekor spermatozoa kucing domestik yang dikoleksi
menggunakan elektroejakulator

♂1: jantan 1, ♂2: jantan 2, ♂3: jantan 3, ♂4: jantan 4, ♂5: jantan 5

Axnér

dan

Linde-Forsberg

(2002)

menyatakan

bahwa

morfologi

spermatozoa kucing sangat dipengaruhi oleh variasi individu dan cara fiksasi.
Pengelompokan jenis abnormalitas pun berbeda-beda antar peneliti. Selain itu,
teknik pembuatan preparat, seperti jenis pewarnaan yang digunakan dapat
mempengaruhi identifikasi morfologi. Kelainan bentuk kepala seperti pear
shaped, narrow, narrow at the base, abnormal contour, undeveloped, dan kepala
dengan ukuran abnormal (microcephalus atau macrocephalus) lebih mudah
terlihat dengan preparat yang diwarnai sedangkan kelainan seperti knobbed
acrosome (KA) defect, detached head, abaxial, dan kelainan-kelainan pada ekor
lebih mudah dinilai dengan preparat basah (Axnér & Linde-Forsberg 2002).
Morfologi spermatozoa juga dipengaruhi oleh teknik koleksi semen (Axnér
et al. 1998). Semen yang dikoleksi menggunakan elektroejakulator memiliki
jumlah abnormalitas sekunder lebih tinggi dibandingkan dengan semen yang
dikoleksi langsung dari kauda epididimis. Tingkat abnormalitas juga berbeda
antara ejakulat satu dan kedua meskipun dilakukan dalam waktu pembiusan yang
sama (Axnér et al. 1997).
Berbagai jenis abnormalitas primer ditemukan dalam penelitian ini (Tabel 3)
dengan abnormalitas yang paling banyak ditemukan berupa spermatozoa yang
tidak memiliki kepala (headless) sebesar 2.88%. Spermatozoa tanpa kepala juga
ditemukan dalam urin tikus pada umur 8 sampai 11 minggu dan merupakan
kejadian fisiologis terkait dengan pematangan sel sertoli (Shimomura et al. 2008).
Detached head (kelainan berupa patah atau terlepasnya kepala dari bagian leher

16

dan ekor) sebesar 2.77% dan nilai ini hampir sama dengan laporan Axnér et al.
(1997), yaitu 2.50 ± 2.20%. Kelainan ini biasanya diakibatkan oleh hipoplasia
testikular, degenerasi testis atau peradangan pada ampula dan epididimis. Selain
itu, faktor genetik merupakan predisposisi terjadinya kelainan ini (McGowan et
al. 1995).
Spermatozoa narrow atau tapered head (Barth & Oko 1989) yang
ditemukan sebanyak 2.07% dalam penelitian ini dan merupakan kelainan bentuk
pada kepala berupa terjadinya penyempitan pada daerah akrosom serta post
akrosom. Kelainan ini diakibatkan oleh perkembangan yang tidak sempurna pada
fase spermatosit primer sehingga substansi spermatozoa pada daerah kepala tidak
tersebar secara merata dan kepala mengalami penekanan sehingga bentuknya
menyempit. Narrow at the base merupakan abnormalitas primer yang ditandai
dengan penyempitan post akrosom spermatozoa yang pada penelitian ini
ditemukan sebanyak 1.25%.
Abaxial dapat diklasifikasikan sebagai abnormalitas primer maupun
sekunder. Kelainan ini ditandai dengan bergesernya tempat bertaut ekor pada
kepala. Abnormalitas ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang bersifat herediter
dan pada penelitian ini ditemukan sebesar 2.13%. Pada ternak kuda dan babi
kelainan ini tidak mempengaruhi fertilitas, tetapi pada sapi jika ditemukan dalam
jumlah yang tinggi akan mengganggu fertilitas (Barth & Oko 1989).
Variable size merupakan kelainan ukuran kepala spermatozoa yang lebih
kecil (microcephalus) atau lebih besar (macrocephalus) dari ukuran normal
spermatozoa

pada

spesies

tersebut.

Ukuran

kepala

spermatozoa

akan

mempengaruhi jumlah kromosom yang terkandung di dalamnya. Kelainan ini
akibat faktor genetik tetapi microcephalus dapat juga disebabkan oleh perubahan
lingkungan, luka, demam, atau radang testis (orchitis) yang kronis (Barth & Oko
1989). Dalam penelitian ini microcephalus ditemukan 1.83%, lebih banyak
dibandingkan dengan macrocephalus yang hanya 0.5%. Kejadian microcephalus
dan macrocephalus sebesar 0.10 ± 0.02% dan 0.10 ± 0.03% pada kucing domestik
di wilayah Amerika (Howard et al. 1990). Stachecki et al. (1993) tidak
menemukan kelainan microcephalus tetapi menemukan 0.30 ± 0.10%

17

macrocephalus pada spermatozoa kucing domestik yang dikoleksi melalui
epididimis.

Gambar 6 Morfologi spermatozoa kucing (a) normal, (b) headless, (c) round
head, (d) detached head, (e) abaxial, (f) abnormal contour, (g)
microcephalus, (h) narrow, (i) macrocephalus, (j) bent tail, (k)
double head dan dag defect, (l) coiled tail.
Spermatozoa dengan bentuk pear shaped atau pyriform memiliki
pembesaran pada bagian akrosom dan menyempit pada bagian post akrosom
sehingga terbentuk batas yang jelas diantara keduanya (Barth & Oko 1989).
Kelainan jenis ini ditemukan sebanyak 0.80%. Kelainan ini bersifat genetik dan
dalam jumlah tinggi dapat menurunkan fertilitas (Chenoweth 2005). Abnormalitas

18

ini terjadi akibat proses spermiogenesis yang tidak sempurna yang disebabkan
oleh gangguan regulasi panas dan gangguan hormonal pada testis (McGowan et
al. 1995).
Knobbed acrosome (KA) defect ditemukan sebesar 1.35% dalam penelitian
ini. Kelainan ini disebabkan oleh berlebihnya matriks akrosomal sampai ke bagian
apeks dari kepala spermatozoa dan terlambatnya pembentukan fase akrosomal
saat spermiogenesis (Barth & Oko 1989). Kelainan ini ditandai dengan adanya
lekukan ke arah dalam atau luar kepala pada daerah akrosom. Abnormalitas ini
terjadi pada individu yang mengalami gangguan regulasi panas pada testis,
misalnya karena penyakit sistemik, toksisitas, defisiensi nutrisi, dan deposisi
lemak sekitar skrotum, dapat diwariskan kepada keturunan yang berikutnya
(McGowan et al. 1995) serta mengakibatkan infertilitas pada sapi, babi dan
domba (Chenoweth 2005).
Tabel 3 Persentase abnormalitas primer spermatozoa kucing domestik yang
dikoleksi menggunakan elektroejakulator
No Parameter

♂1

♂2

♂3

♂4

♂5

Rata-rata (%)

1

Headless

0.50

4.17

3.00

3.75

3.00

2.88

2

Detached head

1.67

4.67

2.33

2.83

2.33

2.77

3
4

Narrow
Abaxial

2.00
1.67

0.83
2.25

3.00
3.50

1.25
2.75

3.25
0.50

2.07
2.13

5

Microcephalus

2.33

1.50

2.50

1.67

1.17

1.83

6

KA defect

0.75

1.33

2.67

0.50

1.50

1.35

7
8
9
10
11
12

Narrow at the base
Abnormal contour
Pear shaped
Undeveloped
Macrocephalus
Double head

1.50
1.17
0.50
0.75
0.00
0.00

1.25
2.00
0.00
0.75
0.50
0.50

1.50
1.50
1.50
1.25
0.50
0.00

0.67
0.75
0.00
0.25
0.50
1.00

1.33
0.50
2.00
0.00
1.00
0.25

1.25
1.18
0.80
0.60
0.50
0.35

13
14

Round head
Diadem

0.50
0.00

0.25
0.00

0.50
0.00

0.00
0.25

0.50
0.00

0.35
0.05

♂1: jantan 1, ♂2: jantan 2, ♂3: jantan 3, ♂4: jantan 4, ♂5: jantan 5

Teratoid adalah spermatozoa yang mengalami penyimpangan struktur
sehingga kehilangan kemampuan untuk melakukan fertilisasi. Teratoid adalah
istilah yang diberikan oleh Barth dan Oko (1989) untuk kelainan contour

19

(permukaan kepala tidak rata dan konformitas tidak teratur) dan undeveloped
(tidak berkembang, terlihat kepala kecil dan ekor pendek serta tidak disusun oleh
materi genetik yang lengkap). Undeveloped disebabkan akibat gangguan yang
parah pada spermatogenesis terutama pada saat spermiogenesis atau degenerasi
pada tubulus dan fibriosis (McGowan et al. 1995). Dalam penelitian ini
ditemukan abnormal contour dan undeveloped masing-masing 1.18% dan 0.60%.
Double head (bicephalic) adalah kelainan spermatozoa berupa kepala ganda
dengan ukuran yang sama atau berbeda dan terjadi akibat kerusakan genetik.
Round head adalah bentuk kepala spermatozoa yang membulat tanpa batas
akrosom yang jelas. Kedua jenis kelainan ini ditemukan dalam jumlah yang sama
dalam penelitian ini, yaitu 0.35%. Howard et al. (1990) melaporkan hasil yang
hampir sama untuk jenis kelainan ini yaitu 0.20 ± 0.20% dan Stachecki et al.
(1993) sebesar 0.30 ± 0.10% tetapi pada semen dikoleksi dari epididimis.
Diadem adalah kelainan pada kepala spermatozoa berupa adanya lubanglubang pada bagian apeks nukleus yang disebabkan oleh invaginasi membran
nuklear ke dalam nukleoplasma. Diadem disebut juga pouches, craters atau
nuclear vacuoles karena bentuk lubang terlihat seperti kantung. Abnormalitas
jenis ini dapat meningkat seiring kondisi stres karena cedera, kekurangan pakan,
kondisi iklim yang ekstrim, serta kondisi lain yang tidak mendukung (Barth &
Oko 1989; McGowan et al. 1995). Abnormalitas ini pada spermatozoa kucing
ditemukan 0.05%, hanya pada jantan 4. Axnér et al. (1997) melaporkan nilai yang
hampir sama yaitu 0.03 ± 0.10% pada kucing-kucing di wilayah Swedia.
Jenis abnormalitas sekunder yang paling banyak ditemukan dalam
penelitian ini adalah dag defect sebanyak 2.73%. Abnormalitas ini ditandai
dengan ekor melipat, melingkar, dan fraktur bagian distal dari midpiece
spermatozoa dengan atau tanpa adanya sitoplasmik droplet dibagian distal. Dag
defect pertama kali ditemukan pada sapi perah jenis Jersey dan diduga bersifat
herediter dan dapat disebabkan oleh gangguan testis atau epididimis (McGowan et
al. 1995). Semen sapi normal dapat memiliki kelainan ini maksimal 4%. Jumlah
dag defect lebih dari 50% akan berimplikasi terhadap gangguan fertilitas
(Chenoweth 2005).

20

Bent tail terjadi akibat disfungsi testis dan epididimis. Kelainan ini dapat
juga terjadi sebagai artefak yang diakibatkan oleh cold shock atau pada
lingkungan dengan tekanan osmotik yang tidak sesuai, misalnya kontaminasi air
akibat vagina buatan yang bocor (McGowan et al. 1995). Dalam penelitian ini
diperoleh persentase abnormalitas bent tail sebesar 2.20%, nilai ini cukup kecil
jika dibandingkan dengan Axnér et al. (1997) yang dapat mencapai 6.70 ± 4.80%.

Tabel 4 Persentase abnormalitas sekunder spermatozoa kucing domestik yang
dikoleksi menggunakan elektroejakulator
No

Parameter

♂1

♂2

♂3

♂4

♂5

Rata-rata (%)

1

Dag defect

3.00

1.17

2.00

3.83

3.67

2.73

2

Bent tail

3.83

1.33

3.33

1.33

1.17

2.20

3

Tailless

2.00

3.33

3.00

1.00

0.67

2.00

4

Coiled tail

0.83

0.50

2.17

1.00

1.17

1.13

♂1: jantan 1, ♂2: jantan 2, ♂3: jantan 3, ♂4: jantan 4, ♂5: jantan 5

Coiled tail merupakan bentuk ekor spermatozoa yang menggulung dibagian
ujungnya dan disebabkan oleh faktor-faktor yang mirip dengan bent tail
(McGowan et al. 1995). Dalam penelitian ini ditemukan abnormalitas coiled tail
hanya 1.13% sedangkan Axnér et al. (1997) menemukan jumlah yang sangat
tinggi yaitu 15.80 ± 17.50%. Tailless (kepala tanpa ekor) merupakan kelainan
spermatozoa yang akan terjadi pada individu yang mengalami degenerasi testis,
hipoplasia testis dan gangguan sistem saluran reproduksi seperti epididimitis atau
ampulitis (McGowan et al. 1995). Jenis abnormalitas ini ditemukan sebanyak
2.00% (Tabel 4).
Informasi mengenai morfometri spermatozoa kucing masih terbatas. Hasil
pengukuran morfometri spermatozoa pada penelitian ini adalah panjang, lebar dan
luas kepala masing-masing 5.13 ± 0.20 µm, 3.01 ± 0.31 µm dan 11.96 ± 1.68 µm2,
panjang midpiece 7.62 ± 0.22 µm, panjang ekor (utama dan akhir) 38.72 ± 0.29
µm, serta panjang total spermatozoa 51.47 ± 0.56 µm (Tabel 5). Ukuran ini tidak
jauh berbeda dengan morfometri spermatozoa kucing domestik di wilayah
Amerika (Terrell 2011). Peneliti tersebut melaporkan panjang dan lebar kepala,
panjang midpiece, panjang ekor bagian utama serta panjang spermatozoa kucing

21

domestik masing-masing adalah 4.54 ± 0.15, 2.22 ± 0.10, 7.68 ± 0.13, 40.06 ±
0.76, dan 52.29 ± 0.88 µm.
Tabel 5 Hasil pengukuran morfometri spermatozoa kucing domestik yang
dikoleksi menggunakan elektroejakulator
♂1

♂2

♂3

♂4

♂5

Rata-rata

Luas kepala (µm )

10.84

13.87

10.32

13.69

11.10

11.96 ± 1.68

2

Lebar kepala (µm)

2.88

3.43

2.76

3.26

2.74

3.01 ± 0.31

Panjang kepala (µm)

4.93

5.24

4.89

5.33

5.24

5.13 ± 0.20

Panjang midpiece (µm)

7.46

7.95

7.60

7.41

7.70

7.62 ± 0.22

Panjang ekor (µm)

38.51

39.02

38.47

39.05

38.56

38.72 ± 0.29

Panjang spermatozoa
50.89
52.22
50.96
51.79
♂1: jantan 1, ♂2: jantan 2, ♂3: jantan 3, ♂4: jantan 4, ♂5: jantan 5

51.50

51.47 ± 0.56

Tabel 6 Morfometri spermatozoa dari beberapa mamalia
Hewan

Luas kepala
(µm2)

Lebar kepala
(µm)

Panjang
kepala (µm)

Beruang1
Bison2
Sapi3
Anjing4
Kambing5
Kelinci6
Domba7
Kuda8
Kelelawar9
Rusa10

22.20
35.6 ± 41.91
32.9 ± 3.6
20.94 ± 1.06
29.03 ± 0.09
22.10
27.17 ± 0.23
14.72 ± 1.72
24.51 ± 1.65
32.57 ± 2.40

4.42
4.76 ± 0.22
4.6 ± 0.4
3.89 ± 0.15
4.09 ± 0.12
3.91
4.22 ± 0.03
3.07 ± 0.27
4.39 ± 0.26
4.70 ± 0.26

6.09
9.03 ± 0.32
8.9 ± 0.5
6.72 ± 0.17
8.53 ± 0.13
7.38
8.03 ± 0.04
5.87 ± 0.39
7.11 ± 0.25
8.20 ± 0.44

Panjang
midpiece
(µm)
14.58 ± 0.40
23.52 ± 0.55
-

Panjang ekor
(µm)
46.61 ± 2.15
53.91 ± 12.04
97 ± 2.43
-

Sumber: 1Àlvarez et al. (2008), 2 Peggea et al. (2011), 3 Beletti et al. (2005), 4Rijsselaere et al.
(2004), 5Hidalgo et al. (2007), 6Gravance dan Davis (1995), 7Martí et al. (2011), 8Hidalgo et al.
(2005), 9Nugraha (2010), 10Soler et al. (2005)

Panjang spermatozoa manusia dan hewan domestik secara umum adalah
sekitar 50 µm sedangkan spermatozoa rodensia dapat mencapai panjang 100
hingga 250 µm (Schatten & Constantinescu 2007). Morfometri sepermatozoa
kucing sangat kecil dibandingkan dengan spermatozoa mamalia pada umumnya.
Sebagai pembanding, hewan ternak seperti sapi, domba dan kambing memiliki
luas kepala spermatozoa antara 27.40 hingga 36.50 µm2 (Tabel 6). Ukuran
spermatozoa kucing juga lebih kecil dibandingkan dengan kelinci meskipun
ukuran tubuh kedua hewan tersebut tidak jauh berbeda. Morfometri spermatozoa

22

kucing lebih mendekati ukuran spermatozoa kuda apabila dilihat dari luas, lebar
dan panjang kepala.
Teknik pewarnaan dan umur hewan diketahui dapat mempengaruhi nilai
morfometri spermatozoa. Pengaruh nyata terhadap teknik pewarnaan ditemukan
pada pengukuran panjang kepala dan ekor bagian utama spermatozoa sapi bali
tetapi tidak ditemukan pada lebar dan panjang midpiece (Arifiantini et al. 2006b)
dan panjang total spermatozoa anoa yang diwarnai dengan teknik William’s lebih
panjang dibandingkan dengan pewarnaan dengan eosin-nigrosin (Yudi et al.
2008). Perbedaan yang nyata terjadi pada panjang kepala, midpiece dan ekor
utama antara anoa dewasa dan anoa muda tetapi tidak berbeda nyata pada lebar
kepala dan panjang total telah dilaporkan oleh Yudi et al. (2008).

SIMPULAN
Abnormalitas morfologi spermatozoa kucing domestik yang diperoleh
dalam penelitian ini sebesar 15.00 ± 3.11% untuk abnormalitas primer dan 7.97 ±
1.97% untuk abnormalitas sekunder. Headless dan dag defect merupakan jenis
abnormalitas yang paling banyak ditemukan. Panjang, lebar dan luas daerah
kepala spermatozoa adalah 5.13 ± 0.20 µm, 3.01 ± 0.31 µm dan 11.96 ± 1.68 µm2.
Panjang midpiece dan ekor (utama dan akhir) adalah 7.62 ± 0.22 µm dan 38.72 ±
0.29 µm serta panjang total spermatozoa adalah 51.47 ± 0.56 µm.

DAFTAR PUSTAKA
Àlvarez M, García-Macías V, Martínez-Pastor F, Martínez F, Borragán S, Mata
M, Garde J, Anel L, De Paz P. 2008. Effects of cryopreservation on head
morphometry and its relation with chromatin status in brown bear (Ursus
arctos) spermatozoa. Theriogenology 70:1498-1506.
Arifiantini RI, Ferdian F. 2006. Tinjauan aspek morfologi dan morfometri
spermatozoa kerbau rawa (Bubalus bubalis) yang dikoleksi dengan teknik
masase. J Vet 7:83-91.
Arifiantini RI, Wresdiyanti T, Retnani EF. 2006a. Pengujian morfologi
spermatozoa sapi bali (Bos sondaicus) menggunakan pewarnaan William’s.
Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Fapet Undip 31:105-110.
Arifiantini RI, Wresdiyanti T, Retnani EF. 2006b. Kaji banding morfometri
spermatozoa sapi bali (Bos sondaicus) menggunakan pewarnaan William’s,
eosin, eosin nigrosin dan formol saline. Jurnal Sains 24:65-70.
Arifiantini RI, Purwantara B, Riyadhi M. 2010. Occurrence of sperm abnormality
of beef cattle at several artificial insemination centers in Indonesia. Animal
Production 12:44-49.
Arruda RP, Ball BA, Gravance CG, Garcia AR. 2002. Effect of extender and
cryoprotectants on stalion sperm head morphometry. Theriogenology
58:253-256.
Axnér E, Strom B, Linde-Forsberg C. 1997. Sperm morphology is better in the
second ejaculate than in the first in domestic cats electoejaculated twice
during the same period of anesthesia. Theriogenology 47:929-934.
Axnér E, Strom B, Linde-Forsberg C. 1998. Morphology of spermatozoa in the
cauda epididymidis before and after electroejaculation and a comparison
with ejaculated spermatozoa in the domestic cat. Theriogenology 50:973979.
Axnér E, Linde-Forsberg C. 2002. Semen collection and assessment, and artificial
insemination in the cat. International Veterinary Information Service.
Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal Morfology of Bovine Spermatozoa. Iowa :
Iowa State University Press.
Beletti ME, Costa LF, Viana MP. 2005. A comparison of morphometric
characteristics of sperm from fertile Bos taurus and Bos indicus bulls in
Brazil. Animal Reproduction Science 85:105-116.
Chenoweth PJ. 2005. Genetic sperm defect. Theriogenology 64:457-468.
Costa DS, Paula TAR, Matta SLP da. 2006. Cat, Cougar, and Jaguar
Spermatogenesis: a Comparative Analysis. Brazilian Archives of Biology
and Technology 49:725-731.
Gage MJG, Freckleton RP. 2003. Relative testis size and sperm morphometry
across mammals: no evidence for an association between sperm competition
and sperm length. Proc R Soc Lond B 270:625-632.

25

Gravance CG, Davis RO. 1995.