Analysis Acoustic Backscattering for Identification Species of Seagrass

(1)

IDENTIFIKASI SPESIES LAMUN

LA OLE

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Hambur Balik Akustik Untuk Identifikasi Spesies Lamun adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2011

La Ole NRP C552090031


(3)

LAOLE Analysis Acoustic Backscattering for Identification Species of Seagrass . Under direction of HENRY. M. MANIK and INDRA JAYA.

Seagrasses are flowering plants that develop extensive underwater meadows and play a key role in the coastal ecosystem. In this thesis, normal incident acoustic techniques were used to determine the values of backscattering strength of seagrass. Data collection was carried out in Seribu Islands, Jakarta by using SIMRAD EY 60 scientific echosounder systems with operating frequency 120 kHz. The results show that the average value of backscattering strength (Sv) for three seagrass species, namely Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata and Thallasia hemprichii are 64.16 , 65.35 and 62.23 respectively. These differences may be due to shape and density of the seagrass leaves.


(4)

LAOLE. Analisis Hambur Balik Akustik Untuk Identifikasi Spesies Lamun. Dibimbing oleh HENRY. M. MANIK dan INDRA JAYA

Lamun merupakan salah satu satunya tumbuhan laut berbunga yang memiliki peran penting dan strategis di wilayah pesisir. Berdasarkan fungsinya lamun dapat menjadi indikator dalam pengelolaan strategis wilayah pesisir dengan tujuan untuk memelihara atau meningkatkan kestabilan lingkungan pesisir. Pemantauan lamun yang bekelanjutan baik dalam jangka waktu bulanan maupun tahunan untuk mengetahui kondisi yang terjadi dan memberikan informasi awal atau menganalisa akibat yang ditimbulkan oleh perubahan lingkungan menjadi penting untuk diketahui. Perubahan tersebut dapat terjadi secara spasial dan temporal baik kelimpahan dan komposisi spesiesnya (Mckenzie 2009).

Salah satu teknologi yang kini banyak digunakan sebagai alat bantu dalam pemetaan padang lamun adalah teknologi akustik dengan kemampuanya mendeteksi keberadaan lamun. Beberapa penelitian mengenai vegetasi dasar perairan dengan metode hidroakustik sudah dilakukan walaupun jumlahnya masih sangat terbatas. Deswati (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan teknologi akustik untuk mendeteksi lamun di wilayah Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu.

Pengambilan data lapangan dilakukan pada tanggal 30 Januari – 3 Februari 2011 yang berlokasi di sekitar perairan Pulau Panggang, Pulau Semak daun Kepulauan Seribu, Jakarta Utara pada 3 spesies lamun yang terdapat di lokasi penelitian dengan menggunakan instrumen split beam echosounder SIMRAD EY 60. Data akustik yang diperoleh dalam bentuk raw data (echogram) diproses lebih lanjut dengan menggunakan perangkat lunak Echoview v4.0 dan Matlab serta

Systat 12. Perangkat lunak echoview digunakan untuk mengekstrasi nilai volume kekuatan hambur balik (volume backscattering strength) dari vegetasi lamun. Pengolahan volume backscattering strength (Sv)dilakukan dengan pemilahan data (filtering) untuk mengurangi data yang bias atau data yang tidak diinginkan. Pemilihan data dilakukan dengan cara menghilangkan nilai yang tidak diinginkan yaitu pada threshold > -55 dan < -110 dB, perangkat lunak Matlab digunakan untuk menghasilkan echo dan kurva energi, sedangkan Systat 12 digunakan untuk menghitung parameter statistik dari setiap spesies lamun.

Uji t dilakukan terhadap ke-tiga spesies lamun dengan tingkat keepercayaan 95%, dari 3906 ping data hasil penggabungan stasiun 1 dan stasiun 6 untuk spesies Enhalus acoroides didapatkan nilai Sv mean sebesar -64.07 dB hingga -64.25 dB, dari 7081 ping data hasil penggabungan stasiun 2, 3 dan stasiun 5 untuk spesies Cymodocea rotundata didapatkan nilai Sv mean -65.27 dB hingga -65.47 dB, serta Sv mean Thallasia hemprichiiadalah -62.09 dB hingga -62.37 dB.


(5)

@ Hak Cipta miliki IPB, tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(6)

LA OLE

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

(8)

Judul Tesis : Analisis Hambur Balik Akustik Untuk Identifikasi Spesies Lamun

Nama : La Ole NRP : C552090031

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB Teknologi Kelautan

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(9)

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan yang Maha Kuasa, karena kemurahanNya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul Analisis Hambur Balik Akustik Untuk Identifikasi Spesies Lamun.

Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir Henry M. Manik, M.T dan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan perbaikan. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ketua Mayor Teknologi Kelautan dan staf pengajar Program Studi Teknologi Kelautan, atas segala ilmu yang diberikan selama ini serta teman teman TEK angkatan 2009, khususnya Fahmi, Jefri, Aming, Obed, Riza dan Wiwik yang telah membantu penulis selama penulisan tesis ini.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan dan kemajuan teknologi kelautan di Indonesia.

Bogor, Desember 2011 La Ole


(10)

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 25 Desember 1982. Penulis merupakan putra kedua dari tujuh bersaudara. Pendidikan SD sampai SMU diselesaikan di Ambon dan pada tahun 2001 melanjutkan studinya di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura dan menamatkannya pada tahun 2008.

Tahun 2009 penulis melanjutkan studi di Program Magister Sains di Program Studi Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor dengan tesis yang berjudul Analisis Hambur Balik Akustik Untuk Identifikasi Spesies Lamun.


(11)

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Perumusan masalah ... 2

1.3 Kerangka pemikiran ... 3

1.4 Tujuan penelitian ... 3

1.5 Manfaat penelitian ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi lamun ... 5

2.2 Karakteristik tumbuhan lamun ... 6

2.3 Habitat dan distribusi lamun ... 6

2.4 Fungsi dan manfaat padang lamun ... 7

2.5 Parameter kualitas perairan ... 8

2.6 Pemantauan lamun ... 10

2.7 Metode hidroakustik ... 10

2.8 Akustik untuk vegetasi bawah air ... 13

2.9 Hambur balik akustik pada vegetasi ... 15

2.10 Instrumen Split Beam Echosounder ... 16

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian ... 18

3.2 Alat dan bahan ... 19

3.3 Metode Pengumpulan data ... 19

3.3.1 Identifikasi lamun ... 19

3.3.2 Survei akustik ... 20

3.4 Pemrosesan dan analisis data ... 21

4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data lapangan ... 24

4.2 Data akustik ... 24

4.2.1 Mean Scattering Volume ... 25

a. Spesies Enhalus acoroides ... 25

b.Spesies Cymodocea rotundata ... 29

c. Spesies Thalasia hemprichii ... 33

4.2.2 Perbandingan Sv antar spesies ... 35

4.2.3 Normalisasi energi echo lamun ... 37


(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(13)

1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ... 19

2. Pengaturan parameter instrument echosounder SIMRAD EY60 ... 21

3. Lokasi penelitian ... 24

4. Perbandingan parameter statistik Enhalus acoroides ... 26

5. Perbandingan parameter statistik Cymodocea rotundata ... 30


(14)

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 4

2. Morfologi lamun ... 5

3. Prinsip hidroakustik ... 11

4. Proses Scattering dan reflection ... 13

5. Proses Spherical dan cylindrical spreading ... 14

6. Contoh nilai backscatter tanpa vegetasi ... 16

7. Contoh nilai backscatter dengan vegetasi ... 16

8. Lokasi penelitian ... 18

9. Metode pengambilan sampel ... 21

10. Gambar Enhalus acoroides ... 25

11. Sebaran normal Sv stasiun 1 & 6 ... 27

12. Sebaran normal Sv gabungan stasiun 1 dan 6 ... 28

13. Spesies Cyomodocea rotundata ... 29

14. Sebaran normal Sv stasiun 2, 3 dan 5 ... 31

15. Perbandingan Sebaran normal Sv stasiun 2, 3 dan 5 ... 31

16. Sebaran normal Sv gabungan stasiun 2, 3 dan 5 ... 32

17. Spesies Thalasia hemprichii ... 33

18. Sebaran normal Sv stasiun 4 ... 34

19. Perbandingan Sv mean antar spesies ... 35

20. Perbandingan sebaran normal Sv untuk ketiga spesies ... 36

21. Echo envelope masing masing spesies ... 37

22. Perbandingan echo envelope masing masing spesies ... 38


(15)

1. Transduser SIMRAD EY 60 ... 43

2. Kapal Survei ... 43

3. Data Sv dan parameter statistik Enhalus acoroides ... 44

4. Data Sv dan parameter statistik Cymodocea rotundata ... 45

5. Data Sv dan parameter statistik Thallasia hemprichii ... 46

6. Uji t berpasangan Enhalus acoroides dan Thallasia hemprichii ... 47

7. Uji t berpasangan Thallasia hemprichii dan Cymodocea rotundata ... 48


(16)

Lamun merupakan salah satu sumberdaya yang memiliki peran penting dan strategis di ekosistem pesisir. Berdasarkan fungsinya lamun dapat menjadi indikator dalam pengelolaan strategis wilayah pesisir dengan tujuan untuk memelihara atau meningkatkan kestabilan lingkungan pesisir (Komatsu et al.

2003).

Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, hal ini berhubungan dengan asosiasi dengan ekosistem di sekitar padang lamun. Tumbuhan lamun mendukung rantai makanan kehidupan sejumlah detrifora (Mckenzie 2009).

Pemantauan lamun yang bekelanjutan baik dalam jangka waktu bulanan maupun tahunan untuk mengetahui kondisi yang terjadi dan memberikan informasi awal atau menganalisa akibat yang ditimbulkan oleh perubahan lingkungan menjadi penting untuk diketahui. Perubahan lingkungan tersebut dapat terjadi secara spasial dan temporal baik kelimpahan dan komposisi spesiesnya (Mckenzie 2009).

Beberapa metode telah banyak digunakan untuk pemantauan padang lamun diantaranya dengan observasi secara langsung melalui sampling dan survey penyelaman maupun dengan pemanfaatan teknologi optik termasuk diantaranya penginderaan jarak jauh, video bawah air dan sistem akustik (Lefebvre 2009).

Metode akustik bawah air dapat digunakan untuk pemantauan dan pemetaan dasar perairan berupa informasi substrat dasar dan vegetasi di dasar perairan berdasarkan karakteristik signal gema yang dipantulkan target. Informasi tersebut mampu diklasifikasikan dari data survey sebaik data informasi distribusi ikan dan plankton yang telah umum digunakan untuk aplikasi akustik bawah air (Burcynski

et al. 2001).

Menurut Valley dan Drake (2005), sistem akustik yang terintegrasi dengan

Global Positioning System (GPS) serta Geographcal Information System

merupakan alat pemantauan perubahan biovolum vegetasi air yang menjanjikan. Kemampuan teknologi akustik untuk klasifikasi substrat dasar dan klasifikasi vegetasi bawah air pada dasarnya adalah kemampuan untuk mengumpulkan data


(17)

akustik berdasarkan kedalaman, tipe substrat, tutupan dan tinggi vegetasi, kelimpahan serta distribusi vegetasi (Hoffman et al. 2002).

Beberapa penelitian mengenai vegetasi dasar perairan dengan metode hidroakustik di Indonesia sendiri sudah dilakukan walaupun jumlahnya masih sangat terbatas. Deswati (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan instrumen akustik Simrad EY 60 untuk pendeteksian lamun di wilayah Gugus Kepulauan Seribu, nilai Sv lamun untuk jenis Enhalus acoiroides berkisar -61.23 dB hingga -67.09 dB. Deswati (2009) mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya dapat disimpulkan bahwa metode akustik memiliki kemampuan mendeteksi keberadaan lamun.

1.2 Perumusan masalah

Pemanfaatan teknologi untuk mengevaluasi perubahan serta potensi sumberdaya sangat bermanfaat dalam menghasilkan data yang up to date dan akurat. Salah satu teknologi yang kini banyak digunakan sebagai alat bantu dalam pemantauan dan pendektesian sumberdaya laut adalah teknologi akustik.

Penerapan teknologi akustik di Indonesia dalam penelitian dan pengembangan bidang kelautan hingga saat ini masih sangat terbatas. Minimnya sarana dan prasarana menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan teknologi akustik. Beberapa tahun belakangan ini, aplikasi metode pemetaan akustik, khususnya penggunaan “Acoustic Ground Discrimination System

(AGDS) dikombinasikan dengan data sampling lapangan, telah menjadi kegiatan yang biasa dalam pemetaan dan monitoring habitat dasar laut.

Salah satu teknologi yang kini banyak digunakan sebagai alat bantu dalam pemetaan padang lamun adalah teknologi akustik dengan kemampuanya mendeteksi keberadaan lamun. Kemajuan teknologi akustik untuk klasifikasi vegetasi bawah air sudah banyak dikembangkan beberapa diantaranya dengan menggunakan side-scan sonar maupun echosounder atau multibeam sonar untuk menghitung tingkat kelimpahan maupun distribusi spasial vegetasi melalui jumlah respon pantulan energi (Waren et al. 2007;Winfield et al. 2007, diacu dalam Lefebvre et al. 2009). Pemanfaatan echosounder telah banyak digunakan untuk survey dasar perairan dan pemetaan vegetasi diantaranya beberapa penelitian


(18)

yang telah dikembangkan oleh Sabol et al. 2002, Tegowski et al. 2003, valley et al. 2005, maupun Deswati 2009.

Penggunaan echosounder untuk pemetaan vegetasi dalam areal yang luas dapat mengehemat waktu dan biaya karena banyaknya data yang diperlukan bisa didapatkan dengan sekali survey dibanding metode lain seperti pemanfaatan citra satelit maupun observasi langsung dengan sampling dan penyelaman. Lamun sebagai vegetasi perairan dapat tumbuh pada daerah yang sangat luas di pasir, puing puing karang maupun substrat berlumpur. Jenis-jenis lamun tersebut membentuk padang lamun baik yang bersifat padang lamun monospesifik maupun padang lamun campuran yang luasnya diperkirakan mencapai 30.000 km² (Nenhuis 1993).

1.3 Kerangka pemikiran

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian dengan teknologi hidroakustik adalah sangat bermanfaat dalam survey cepat sumberdaya dengan mendeteksi beberapa spesies lamun yang didasarkan pada karakteristik dari echo yang diperoleh dari echosounder split beam. Identifikasi spesies masing masing lamun berdasarkan, nilai pantulan yang diperoleh kemudian diverifikasi dengan data lapangan. Secara skematik bagan alir perumusan masalah dan tujuan penelitian ditunjukan pada Gambar 1.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai hambur balik atau volume backscattering strength (Sv) dari beberapa spesies lamun serta mengembangkan pengklasifikasian nilai tersebut untuk survey cepat sumberdaya lamun.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai karakteristik dan nilai pantulan dari spesies lamun yang berbeda, sehingga dapat dipakai untuk survey cepat sumberdaya lamun menggunakan teknologi hidroakustik.


(19)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

GPS

Echogram Lamun

Transduser

PC Identifikasi

lamun Perekaman

akustik

Sampling lapangan Survei akustik dan

observasi langsung padang lamun

SV SA Energi

Identifikasi & Kalsifikasi lamun

Uji t Spesies X

Validasi Silang


(20)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Lamun

Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup di perairan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 – 12 m dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu, namun pada umumnya padang lamun yang luas sering ditemukan di substrat berpasir tebal dengan sedikit lumpur antara dua komunitas yaitu mangrove dan terumbu karang (Mckenzie 2009).

Komponen dasar morfologi tumbuhan lamun terdiri dari rhizoma, daun, akar, bunga dan buah (Gambar 2).

Sumber : Mckenzie (2009)

Gambar 2. Morfologi Lamun

Secara lengkap klasifikasi jenis lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia (Gembong 2004) adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Anak Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae


(21)

Bangsa : Helobiae

Suku : Jenis

Hydrocharitaceae : Enhalus acoroides Halophila ovalis H. decipiens H. Minor H. spinulosa

H. Thallasia hemprichii

Cymodoceaceae : Cymodocea rotundata C. serrulata

Halodule pinifolia H. uninervis

Syringodium isoetifolium Thalassodendron ciliatum

2.2 Karakteristik tumbuhan lamun

Berdasarkan komposisi jenisnya pertumbuhan Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal, tersusun atas satu jenis lamun yang tumbuh dapat membentuk padang lebat, sedangkan vegetasi campuran terdiri dari 2 sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thallasia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan

Thalassodendrom ciliatum (Mckenzie et al. 2009).

2.3 Habitat dan Distribusi Lamun

Padang lamun di wilayah tropis memiliki tingkat variasi yang cukup tinggi dan hidup di perairan dangkal, dengan substrat halus di sepanjang pantai dan estuari. Spesies lamun di tropis banyak ditemukan di perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter, hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, yaitu pada substrat yang berlumpur sampai berbatu.

Di perairan Indonesia padang lamun adalah ekosistem yang umum terdapat dan tumbuh di daerah pasang surut pulau pulau utama dan pulau pulau karang.


(22)

Daerah yang paling penting bagi lamun adalah mintakat pasang-surut bawah dan mintakat subtidal atas, dimana suatu vegetasi yang kompleks dapat terbentuk dari 7-8 jenis yang tumbuh bersama sama (Hutomo et al. 1993)

Zonasi sebaran dan karakteristik habitat lamun di perairan pesisir Indonesia dapat dikelompokan menurut :

a) Genangan air dan kedalaman (daerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut, daerah dengan kedalaman sedang atau di daerah pasang surut dan daerah yang dalam dan selalu tergenang air)

b) Kecerahan air tempat tumbuhnya (air yang jernih, keruh dan sangat keruh) c) Komposisi jenisnya pertumbuhan padang lamun dapat dikelompokan atas

vegetasi tunggal dan vegetasi campuran.

d) Karakteristik tipe substratnya padang lamun yang tumbuh di perairan Indonesia dapat dikelompokan menjadi 6 kategori, yaitu : lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karag, dan batu karang.

e) Asosiasinya dengan ekosistem lain (terumbu karang, mangrove)

Berdasarkan karakteristik habitat dan sebaran lamun maka dapat dikelompokan jenis lamun yang kosmopolitan (dapat tumbuh di hampir semua kategori habitat), moderat (tumbuh pada kategori habitat antara 50-75%), dan jenis lamun yang terbatas sebarannya (tumbuh pada kategori habitat<50%) (Kiswara 1997)

2.4 Fungsi dan Manfaat Padang Lamun

Padang lamun yang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir memiliki keanekaragaman-hayati yang kaya dan merupakan penyumbang nutrisi yang sangat potensial bagi perairan disekitarnya mengingat produktivitasnya yang tinggi.

Padang lamun merupakan habitat yang memegang peranan penting dalam siklus kehidupan berbagai organisme. Biota yang hidup di padang lamun seperti crustacea (seperti udang) dan ikan-ikan kecil yang merupakan kumpulan dari larva dan juvenile, mengindikasikan bahwa padang lamun merupakan habitat untuk perkembangan larva dan juvenile (Borum et al. 2004).


(23)

Perannya sebagai pelindung pantai, daerah asuhan bagi ikan, teripang, kuda laut dan udang, stabilisator dan penangkap sedimen sangat penting bagi ekosistem lainnya seperti ekosistem terumbu karang dan mangrove. Daun lamun yang lepas akan mengendap di perairan sekitarnya dan dihanyutkan ke ekosistem atau perairan lainnya, daun lamun yang mengendap akan didekomposisi oleh bakteri dan biota bentik pemakan serasah.

Produktivitas primer padang lamun rata-rata cukup tinggi, hal ini berhubungan dengan produktivitas rata-rata yang berasosiasi dengan perikanan di sekitar padang lamun. Tumbuhan lamun mendukung rantai makanan kehidupan sejumlah herbivora dan detrifora (Mckenzie 2009).

Biomassa lamun adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m²(gbk/m²), sedangkan produksi lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa lamun dalam selang waktu tertentu (Zieman dan Wetzel, 1980 dalam Supriadi, 2003). Besarnya biomassa lamun bukan hanya merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan tetapi juga merupakan fungsi dari kerapatan (Fortes 1990).

2.5 Parameter Kualitas Perairan

Parameter yang berperan penting bagi pertumbuhan lamun antara lain adalah salinitas, kedalaman, gelombang, arus, substrat dasar (McKenzie 2009). Menurut Hemminga dan Duarte (2000), faktor yang paling mempengaruhi hidup lamun adalah genangan air laut, substrat dan cahaya. Sebagian besar lamun tumbuh dalam substrat pasir dan lumpur, bahkan pada bebatuan. Perbedaan tipe substrat ini berkaitan dengan penetrasi akar lamun.

2.5.1 Suhu

Secara geografis padang lamun dapat tersebar secara luas, hal ini mengindikasikan bahwa adanya kisaran toleransi yang luas terhadap suhu, tetapi pada kenyataanya jenis lamun di daerah tropis mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu. Bagi lamun suhu dapat mempengaruhi proses proses fisiologis seperti fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap


(24)

kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Marsh et al. (1986) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 25-30 °C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu.

2.5.2 Salinitas

Jenis lamun memiliki toleransi yang berbeda terhadap salinitas, tetapi sebagian besar memiliki kisaran yang lebar. Penurunan salinitas akan menyebabkan laju fotosintesis dan pertumbuhan lamun menurun dan dapat berpengaruh terhadap proses perkecambahan dan pembentukan bunga (McRoy & McMilan 1977).

2.5.3 Sedimen dasar

Padang lamun umumnya dapat hidup pada berbagai tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan lumpur halus, namun mereka membutuhkan dasar yang lunak agar mudah ditembus oleh akar-akar dan rhizomanya untuk menyokong tumbuhan. Kesesuaian substrat yang paling utama bagi perkembangan dan pertumbuhan lamun ditandai dengan kandungan sedimen yang cukup. Semakin tipis substrat perairan akan menyebabkan lamun tidak stabil, sebaliknya semakin tebal substrat lamun akan tumbuh dengan subur (Berwick 1983 diacu dalam Paskalina 2008)

2.5.4 Kecerahan dan Kekeruhan

Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel partikel tersuspensi, baik oleh partikel partikel hidup seperti plankton maupun partikel partikel mati seperti bahan bahan organik, sedimen dan sebagainya sedangkan kecerahan perairan ditunjukan dengan kemampuan cahaya menembus lapisan air sampai pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitanya dengan proses fotosintesis. Distribusi dan kelimpahan lamun juga dibatasi oleh ketersediaan cahaya, hal ini dapat dilihat dari sebaran yang terbatas pada daerah yang masih dapat ditembusi cahaya matahari.


(25)

2.6 Pemantauan lamun

Pemantauan lamun merupakan salah satu cara untuk mengontrol keberadaan dan mengetahui status kondisi lamun. Pengamatan awal mengenai perubahan kondisi lamun membantu dalam pengelolaan wilayah pesisir karena keterkaitanya dengan kondisi ekosistem lainya seperti mangrove dan terumbu karang (MzKenzie 2009).

Metode pemantauan lamun dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu : berdasarkan observasi langsung dan metode tidak langsung melalui peralatan penginderaan jauh. Berdasarkan instrumen yang digunakan, metode tidak langsung dikelompokan menjadi penginderaan jauh optik dan penginderaan jauh akustik.

Salah satu teknologi akustik yang dikembangkan untuk pemetaan vegetasi bawah air adalah menggunakan narrow split beam sonar yang telah digunakan untuk pemetaan topografi dasar perairan laut dangkal. Metode ini mampu menampilkan gambaran secara horizontal dasar perairan sebaik menampilkan topografi vertikal sehingga mampu menentukan densitas vegetasi berdasarkan distribusi vertikal dan horizontal (Komatsu et al. 2003).

2.7 Metode hidroakustik

Prinsip dari pengoperasian alat akustik adalah dengan gelombang suara yang ditransmisikan ke kolom perairan dalam bentuk pulsa yang jika mengenai target maka target tersebut akan memantulkan sebagian pulsa yang diterimanya.

Prinsip dari pengoperasian instrumen hidroakustik (Gambar 3) adalah sebagai berikut : dimulai dari timer yang berfungsi sebagai penanda pulsa listrik untuk mengaktifkan pemancaran pulsa yang akan dipancarkan oleh transmitter


(26)

Gambar 3. Prinsip hidroakustik (MacLennan and Simmonds, 2005)

Transducer berfungsi mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika suara akan dipancarkan ke medium. Gelombang akustik yang merambat di kolom perairan akan mengenai target seperti ikan atau dasar perairan dimana gelombang akustik ini akan dipantulkan kembali dalam bentuk echo dan akan diterima oleh

transducer dan mengubahnya menjadi energi listrik dan diteruskan ke receiver amplifier yang berfungsi untuk menguatkan sinyal listrik sebelum diteruskan ke unit peraga untuk ditampilkan dalam bentuk echogram (MacLennan dan Simmonds, 2005).

Pengamatan terhadap suatu objek menggunakan metode akustik harus memperhatikan nilai SNR (signal to noise ratio) yang diperoleh. Suatu objek dapat terdeteksi jika nilai SNR yang didapat bernilai positfif, dimana :

SNR = EL-N ………...(1)

dengan EL dan N masing-masing adalah total sinyal yang kembali (echo) dan

noise yang diperoleh, dalam satuan dB re 1π Pa. Echo merupakan sinyal pantulan yang didapat dari target yang diharapkan, sedangkan noise merupakan gangguan yang berasal dari berbagai faktor; termasuk ambient noise, gangguan yang berasal dari lingkungan; self noise, gangguan yang berasal dari instrument itu sendiri; serta reverberasi atau pantulan pulsa suara yang berasal dari objek yang tidak


(27)

diharapkan. Besarnya echo dituliskan dalam bentuk desibel (dB) merupakan fungsi dari :

EL=SL+SV-2TL ……..………...(2) dimana SV adalah nilai volume backscattering dari target yang diharapkan dan SL merupakan source level atau intensitas suara yang dihasilkan oleh echosounder, dengan satuan dB re 1πPa pada 1 m. Nilai 2TL didapat dari dua arah transmission loss, dari echosounder ke target dan target ke echosounder yang besarnya dinyatakan dalam decibel (Urick 1983) .

Nilai backscattering strength tergantung dari sifat pantulan dari dasar laut dan luas dari dasar yang memantulkan kembali sinyal yang telah dihamburbalikan pada tiap waktu. oleh karena itu untuk mendefenisikan koefisien backscattering

dasar (

σ

bs) dalam dB/m², sebagai besaran nilai pantulan dasar.

………...(3)

Beberapa parameter yang digunakan untuk menghitung luas area hambur balik akustik adalah kecepata suara (c), panjang pulsa, lebar beam transmit (ѱ) dan lebar beam penerima

Data hambur balik adalah pantulan kembali ke arah gelombang ketika ditransmisikan. Analisa amplitudo dari gelombang suara yang kembali memungkinkan untuk mengekstrak informasi mengenai struktur dan kekerasan dari target, selanjutnya digunakan untuk identifikasi target di perairan. Sifat dari pantulan dasar bergantung dari kekerasan dan kekasaran dari permukaan dasar laut. Secara sederhana dapat disimpulkan sinyal kuat yang kembali menunjukan permukaan yang keras seperti rock dan gravel dan sinyal yang lemah menunjukan permukaan yang lebih halus seperti silts dan clay (Medina et al. 2010)


(28)

(Sumber : Medina 2010) Gambar 4. Sudut koordinat pada proses scattering dan reflection

Persamaan yang terbaik untuk menggambarkan nilai target strength bergantung dari sudut datang (incident angle) dan bergantung pada beam geometri. Secara umum sudut datang yang lebih kecil akan memberikan hambur balik yang lebih kuat dibanding sinyal dari sudut datang yang lebih besar.

… ...………...…(4) 2.8 Akustik untuk vegetasi bawah air

Akustik bawah air pada dasarnya merupakan karakteristik suara di air. Suara yang dipancarkan di dalam air adalah gelombang akustik yang memiliki komponen dasar yaitu amplitudo, frekuensi, panjang gelombang dan gelombang suara terhadap waktu.

Sifat fisik air laut sepertis suhu dan salinitas dipengaruhi oleh perubahan kedalaman, sehingga densitasnya pun mengalami perubahan dengan semakin tinggi kedalamanya maka semakin besar densitasnya, sehingga selama penjalaran gelombang akustik selama melintasi lapisan lapisan air laut mengalami pemantulan dan pembiasan (Mazel 1985)

Dalam perambatan akustik terjadi transmission loss akibat adanya

absorpsi dari medium dan adanya kehilangan akibat penyebaran di dalam medium air. Perjalanan gelombang akustik sesaat setelah ditembakan oleh transmitter akan mengalami proses absorpsi. Absorpsi pada kolom perairan terjadi akibat energi dari gelombang akustik dirubah menjadi energi panas (Urick 1983).


(29)

Saat suara merambat juga terjadi penyebaran energi suara mengikuti prinsip spherical spreading. Energi dari sumber suara akan tersebar pada medium perambatan dimana intensitas suara setelah merambat akan berkurang seiring bertambahnya jarak dari sumber suara, yaitu dengan mengikuti persamaan :

.. ……….(6)

Jika

r

1 adalah jarak satu meter, maka transmission loss pada jarak

r

2

adalah :

………...(7)

(Sumber : Urick 1983) Gambar 5. Proses spherical dan cylindrical spreading pada perambatan

suara di dalam air laut.

Pelemahan sinyal akustik disebabkan oleh penyerapan energi akustik oleh media air. Pelemahan ini biasa dinyatakan dalam decibel per meter (dB/m). Besarnya pelemahan karena penyerapan media air sangat tergantung dari frekuensi gelombang dan tingkat salinitas media air.

Menurut Kloser et al. (2001) yang diacu dalam Siwabessy (2001), refleksi sinyal akustik dipengaruhi oleh :


(30)

a) impedansi akustik pada medium permukaan air laut maupun pada permukaan dasar perairan,

b) parameter akustik pada instrumen,

c) arah refleksi pada kolom air dan permukaan dasar perairan akibat kekasaran dasar perairan,

d) respon dari scattering yang berasal dari second acoustic bottom pada permukaan air, gelembung dalam kolom air dan kapal,

e) gaung (noise) yang disebabkan instrumen akustik, f) absorpsi akustik air laut, dan

g) waktu tunda (time delay) yang kembali akibat spherical spreading terhadap perubahan kedalaman atau jarak perambatan.

Informasi mengenai tipe dasar sedimen dan vegetasi perairan secara umum dapat digambarkan pada sinyal echo dimana sinyal ini dapat disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan menggunakan data GPS.

Sinyal echo ini dapat diuraikan sehingga informasi mengenai dasar perairan dapat diproyeksikan dalam bentuk digital. Nilai dari sinyal echo selain tergantung dari tipe dasar perairan khususnya kekasaran dan kekerasan tetapi tergantung juga dari parameter alat misalnya frekuensi dan tranduser beamwidth (Burczynski 2002).

Menurut Sabol (2001), prinsip utama pelaksanaan survei batimetri dengan akustik adalah mendeteksi dan melihat perbedaan waktu gema (echo) dari orientasi vertikal pulsa. Proses deteksi pulsa sangat beragam dari masing masing sistem, namun pada dasarnya tergantung dari intensitas minimum pembatas (threshold) dan lebar puncak (peak width).

2.9 Hambur balik akustik pada vegetasi

Sinyal hambur balik yang berasal dari hamparan dasar perairan yang tanpa vegetasi dan sinyal hamburan yang berasal dari vegetasi memliki pola yang berbeda. Gema yang berasal dari area yang memiliki vegetasi memperlihatkan lebar pulsa yang lebih lebar


(31)

Sumber : Stevens (2008)

Gambar 6. Contoh nilai backscatter pada ping 450 tanpa vegetasi

Sumber : Stevens (2008)

Gambar 7. Contoh nilai backscatter pada ping 330 dengan vegetasi

2.10 Instrumen Split Beam Echosounder

Instrumen split beam echosounder bekerja dengan memancarkan gelombang suara (ping) dan merekam pantulan balik dalam bentuk echo. Nilai backscatter

(echo intensity) merupakan hasil perekaman dalam interval waktu, jarak antara transduser dan objek dalam kolom perairan di tentukan oleh nilai kecepatan suara dalam perairan. Transmitter mengirim daya akustik ke semua bagian transduser pada waktu yang bersamaan.


(32)

Sinyal yang terpantul dari target di terima secara terpisah oleh masing-masing kuadran. Selama penerimaan berlangsung keempat bagian transduser menerima gema dan target, dimana target yang terdeteksi oleh transduser terletak pada pusat dari sumbu sorot dan gema dari target akan dikembalikan dan diterima oleh keempat bagian pada waktu yang bersamaan, tetapi jika target yang terdeteksi tidak terletak tepat pada sumbu pusat surat suara, maka gema yang kembali akan diterima lebih dulu oleh bagian transduser yang paling dekat dari target atau dengan mengisolasi target dengan menggunakan output dari sorot penuh (full beam) (SIMRAD 1993).

Echosounder split beam modern memiliki fungsi Time Varied Gain (TVG) didalam sistim perolehan data akustik. TVG ini berfungsi secara otomatis untuk mengeliminir pengaruh attenuation yang disebabkan baik oleh geometrical spreading dan absorbsi suara ketika merambat dalam air. Koreksi TVG memiliki dua modus, yaitu modus linear (20 log r) dan modus eksponensial (40 log r). Modus linear memberikan keakuratan yang lebih baik pada pengukuran target berkelompok, termasuk dasar perairan, sedangkan modus eksponensial digunakan untuk mendeteksi target tunggal di kolom perairan (Biosonics 2004).


(33)

3.1 Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten administratif Kepulauan Seribu-Jakarta Utara.

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan melalui telaah pustaka maupun observasi di lapangan.

Gambar 8. Lokasi penelitian

Pengolahan data akustik dan identifikasi spesies lamun dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB serta Laboratorium Tanah untuk analisis sedimennya.


(34)

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 bagian peralatan utama yakni peralatan survei lapang dan peralatan sampling

Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No Alat dan Bahan Type Keguanaan

I Peralatan survey lapang

- SIMRAD EY60 - Cruzpro - perekaman data akustik - GPSMAP - Garmin - menentukan posisi sampling

II Peralatan sampling

- Buku identifikasi lamun - identifikasi lamun - Roll meter - alat ukur

- Alat tulis - mencatat data lamun - Plastik - wadah sampel - Tali - batas area - Transek kuadrat - sampling lamun

3.3 Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Identifikasi Lamun

Sebelum dilakukan pengambilan data akustik, dilakukan studi pendahuluan untuk menentukan titik stasiun pengamatan. Setiap stasiun pengamatan dengan spesies berbeda merupakan daerah padang lamun yang homogen, pengambilan sampel lamun dilakukan sebagai ground truth data. Luas area sampling adalah 100 m². Lokasi yang diplih merupakan perairan pantai yang terdapat vegetasi lamun dengan kedalaman 1 hingga 5 meter.

Pengambilan data lamun mengacu pada panduan menurut McKenzie et al.

2009 yakni :

a) Tipe substrat

Dengan pengklasifikasian sebagai berikut :

mud : memiliki tekstur yang halus, ukuran partkel < 63 µm,

fine sand : memiliki ukuran prikel > 63 µm dan < 0.25mm


(35)

coarse sand : dengan ukuran > 0.5mm dan < 1mm

gravel : tekstur yang kasar dengan sedikit bebatuan, > 1mm b) Persen tutupan lamun, didukung dengan penggunaan foto.

c) Identifikasi komposisi spesies lamun, mengacu pada buku identifikasi jenis lamun (Mckenzie et al. 2009).

d) Rata rata tinggi lamun

Ukuran tinggi lamun akan diukur langsung menggunakan meteran yang dimulai dari pangkal daun sampai ujung daun.

e) Contoh spesies lamun diambil dan dianalisis di laboratorium. f) Contoh sedimen untuk analisis lanjutan.

3.3.2 Survei Akustik

Pengambilan data akustik menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY 60 scientific echosounder system. Transduser split beam dioperasikan dengan menggunakan frekuensi 120 kHz dengan kecepatan suara 1545 m/s dengan nilai

transmitted pulse length 0.128 m/s.

Proses sounding untuk pengumpulan data akustik dilakukan pada saat pasang tertinggi untuk setiap stasiun dengan spesies yang berbeda. Pada saat sounding posisi orientasi transduser adalah downward looking (grazing angle = 90 derajat) atau pemancaran secara vertikal.

Transduser berada pada kedalaman setengah meter dari permukaan air laut, sedangkan spesies lamun yang menjadi objek pengamatan beradar pada kedalaman 1.7 sampai 3 meter. Kondisi kapal dalam keadaan mati mesin dan diusahakan untuk tetap pada posisi yang telah ditentukan sehingga proses perekaman data diharapakan berasal dari vegetasi yang telah ditentukan.

Transduser diletakan pada bagian sisi kapal dengan kedalaman 0.5 meter dari permukaan laut. Transduser diletakan tegak lurus terhadap permukaan untuk memperoleh nilai hambur balik gema (echo) secara vertikal. Perekaman akustik tepat pada titik transek selama kurang lebih 15 menit untuk masing masing transek. Sistem Akustik merekam sinyal gema dan GPS map merekam data lintang dan bujur.


(36)

Gambar 9. Metode pengambilan sampel

Tabel. 2. Pengaturan parameter instrumen echo sounder SIMRAD EY60

Tipe transduser : ES120-7C

Frekuensi (f) : 120 (kHz) Kecepatan suara (c) : 1545 m/s Koefisien absorpsi (α) : 0.042762 dB/m

Gain (G) : 26.8

Equivalen beam angle (ѱ) : -21°

Transmitted power (P) : 50 (watt)

Pulse duration : 0.128 m/s Kedalaman tranduser : 0.5 m

Threshold : 130 dB

3.4 Pemrosesan dan Analisis data

Setelah survey selesai dilakukan, dilanjtkan dengan kegiatan pemrosesan data. Data echo yang dihasilkan diproses dengan sisem pengolah lanjut (past processing) dengan Perangkat lunak SIMRAD EP 500 echo processing system versi 5.0. Perangkat lunak ini menghasilkan echogram dan parameter fisik dugaan


(37)

(depth, volume backscattering) dengan format file berentuk (extension raw dan

bot). Interpretasi data akustik berdasarkan lokasi transek masing-masing, hasil pengolahan data akustik tersebut yang nantinya akan divaliadasi dengan pengukuran langsung. Beberapa tahapan dalam pengolahan dan analisis data sebagai berikut :

a) Ekstrak data

Data yang terekam dalam computer jinjing sebagai hasil perekaman akustik diolah lebih lanjut menggunakan perangkat lunak echo view. Perangkat ini juga digunakan mengekstrasi nilai mentah dari data akustik yang masih dalam format file berbentuk (extension raw dan bot).

b) Tahapan selanjutnya menampilkan pola gema dari hambur balik yang berasal dari pada dasar perairan. Grafik yang ditampilkan merupakan pantulan pertama dan pantulan berikutnya.

c) Pada tahap yang ke-tiga menginterpetasi nilai Sv (volume backscattering strength) yang diperoleh dengan mengintegrasi data akustik yang sudah di ekstrak. Pengolahan dilakukan pada domain time dan range yang lebih sempit. Tahapan ini akan menampilkan puncak yang terlihat nyata. Nilai Sv dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut :

Sv = 10 log Sv d) Bentuk gelombang gema (echo waveform)

Tahapan ini merupakan tahapan untuk membedakan bentuk gema pada stasiun yang memliki lamun dan tanpa lamun.Hasil intesitas gema (echo intensity) ditampilkan dalambentuk echo waveform kemudian diperoleh tinggi vegetasi yang selanjutnya dikoreksi terhadap sampling hasil manual. e) Rata-rata Sv (Scattering volume)

Tahapan berikut ini menampilkan nilai rata-rata (mean) yang terlebih dahulu dihilangkan gaung (noise) untuk menghindari nilai yang bias. Filter untuk menghilangkan gaung noise dilakukan berdasarkan pemisahan nilai Sv terhadap threshold -55 hingga -110 dB. Proses filter dilakukan dengan bantuan echoview.


(38)

f) Uji statistik

Tahapan selanjutnya adalah melakukan uji statistik untuk melihat parameter akustik masing masing spesies lamun yang meliputi Sv, Amplitudo, energi. Uji t dilakukan untuk melihat hubungan dari paramater parameter dari masing masing spesies lamun yakni :

= rata-rata variabel 1 = rata-rata variabel 2


(39)

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata dan Thallasia hemprichii. Pada setiap stasiun pengamatan merupakan daerah dengan komposisi lamun yang homogen, keberadaan lamun padat dan rapat.

Secara umum kondisi dasar perairan adalah homogen dengan dasar perairan pasir berlumpur, pasir dengan kontur perairan yang relatif datar dengan kedalaman rata-rata adalah 2-3 meter. Lokasi penelitian berada pada lintang 05’44’546 –

05’43’388 dan bujur 106’36’193 –106’35’954 yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 3. Lokasi Penelitian

Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

1 5 44'546" 106 36'193" Enhalus acoroides Pulau Panggang

2 5 43’459” 106 36’782” Cymodocea rotundata Pulau Gosong

3 5 43'809 106 34'315" Cyomodocea rotundata Pulau Semak Daun 4 5 43'806 106 34'310" Thallasia hemprichii Pulau Semak Daun 5 5 43'814" 106 34'341" Cymodocea rotundata Pulau Semak Daun

6 5 43'388" 106 35'954" Enhalus acoroides Pulau Panggang (dermaga)

4.2 Data Akustik

Echogram merupakan penampang melintang dari hasil rekaman akustik, sumbu x adalah jumlah ping dan sumbu y adalah range/kedalaman (m), tampilan

echogram merupakan hasil penjabaran dari setiap ping dari nilai volume backscattering strength, dengan unit decibel (dB)


(40)

4.2.1 Mean Scattering Volume (Sv)

Pengolahan Scattering Volume (Sv) dilakukan dengan pemilahan data (filtering) untuk mengurangi data bias atau data yang tidak diinginkan. Pemilihan data dilakukan dengan cara menghilangkan nilai yang tidak diinginkan yaitu pada

threshold > -55 dan < -110 dB. Nilai Sv lamun dihitung berdasarkan keberadaanya terhadap kedalaman.

a. Spesies Enhalus acoroides

Lokasi pengamatan spesies lamun Enhalus acoroides terdapat di sekitar Pulau Panggang yakni di stasiun 1 dan stasiun 6. Pada saat pengamatan kondisi perairan dalam keadaan pasang tertinggi dengan suhu permukaan laut sebesar 27 °C serta salinitas berkisar antara 30 hingga 31 psu.

Sumber : Dokumentasi penelitian 2011

Gambar 10. Enhalus acoroides

Spesies Enhalus acoroides mempunyai rhizoma yang ditumbuhi rambut rambut padat dan kaku dengan lebar lebih dari 1.5 cm. Akarnya banyak dan bercabang dengan panjang antara 10-20 cm dan lebar 3-5 mm. Panjang daun mencapai 30-150 cm dengan lebar 1.25-1.75 cm (Philips dan Menez 1988). Lamun ini memiliki warna daun hijau pekat didapatkan pada perairan yang terlindung dengan substrat yang terdiri dari pasir atau lumpur, tumbuhnya berpencar dalam kelompok


(41)

kelompok kecil terdiri dari individu individu atau kumpulan individu yang rapat, berupa kelompok murni atau bersama sama dengan Thallasia hemprchii dan

Halophila ovalis, rata rata tinggi lamun yang diukur dari pangkal daun pada daerah pengamatan berkisar dari 70-85 cm.

Berdasarkan proses perekaman akustik selama ±15 menit, diperoleh ping data sebanyak 1287 pada stasiun 1 dan 2619 ping data pada stasiun 6. Pengolahan statistik pada stasiun 1 diperoleh nilai Sv maksimum adalah -61.37 dB, nilai minimum -91.94 dB dengan nilai rata rata Sv yang diperoleh pada stasiun tersebut adalah -66.51 dB dan std adalah ± 3.43 dB. Nilai pengamatan yang diperoleh pada stasiun 6 sedikit berbeda dengan yang diperoleh pada stasiun 1, nilai maksimun pada stasiun 6 adalah -59.33 dB dengan minimumnya -70.58 dB dan nilai rata rata -63.35 dB serta std ± 1.32 dB. Nilai Sv pada stasiun 6 menunjukan perolehan data pengamatan yang cukup baik karena nilai standar deviasinya yang cenderung kecil. Perbandingan parameter statistik tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan parameter statistik Enhalus acoroides

Parameter Stasiun 1 Stasiun 6

N data 1287 2619

Minimum -91.94 dB -70.58 dB

Maximum -61.37 dB -59.33 dB

Median -67.04 dB -63.39 dB

Mean -66.51 dB -63.35 dB

Standard Deviation 3.43 1.32

Variance 11.74 1.74

Coefficient of Variation -0.05 -0.02

Dari 56% data pengamatan pada stasiun 1 didapatkan nilai Sv berkisar antara -61.37 dB hingga -67.48 dB, sedangkan pada 83% data pengamatan di stasiun 6 yang didapatkan adalah nilai Sv berkisar antara -61.58 dB hingga -64.96 dB.

Data hasil penelitian yang dilakukan Deswati 2009 di Pulau Pari Kepulauan Seribu menggunakan Instrumen hidroakustik split beam Simrad EY 60 pada 7 stasiun


(42)

pengamatan spesies Enhalus acoroides diperoleh Sv mean berkisar dari -58.71 dB hingga -71. 79 dB dengan standar deviasi adalah ± 5.46 dB hingga 9.15 dB.

Gambar 10 a. Sebaran normal nilai Sv stasiun 1, b. Sebaran normal nilai Sv stasiun 6

Gambar 11 . Sebaran normal nilai Sv stasiun 1 dan 6.

Nilai Sv rata rata yang diperoleh dari 7 stasiun pengamatan pada spesies lamun Enhalus acoroides adalah -64.12 dB dengan standar deviasi ± 6.43 dB


(43)

sehingga diperoleh threshold lamun tersebut adalah -57.69 dB hingga -70.56 dB. Nilai thereshold lamun ini agak berbeda pada thereshold yang digunakan oleh Valley dan Drake 2005 dengan menggunakan EcoSav yaitu -65 hingga -75 dB (Deswati 2009).

Nilai threshold lamun pada penelitian yang dilakukan oleh Deswati (2009) untuk spesies yang sama ini tidak begitu berbeda dengan hasil yang diperoleh pada stasiun 6 sebesar -63.35 dB, perbedaan keduanya yang cukup nyata hanya terlihat dari nilai standar deviasi yakni ± 6.43 dan ± 1.32. Nilai standar deviasi yang cukup kecil menunjukan tingkat keakuratan yang cukup baik di stasiun 6 bila dibandingkan dengan penelitian yang telah ada.

Gambar 12 . Sebaran normal nilai Sv gabungan

Dari 3906 ping data hasil penggabungan stasiun 1 dan stasiun 6 untuk spesies

Enhalus acoroides didapatkan nilai Sv mean sebesar -64.16 dB dengan std ± 2.93 dB, sehingga diperoleh threshold lamun Enhalus acoroides adalah -61.23 hingga -67.09 dB.

Nilai ini masih dalam kisaran threshold yang diperoleh Deswati 2009 dalam penelitiannya di Pulau Pari, Kepulauan Seribu dengan menggunakan split beam


(44)

Dari uji t yang dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% untuk spesies Enhalus acoroides nilai Sv mean berkisar -64.07 dB hingga -64.25 dB.

b. Spesies Cymodocea rotundata

Spesies Cymodocea rotundata memiliki rhizoma vertikal yang pendek dan pelepah seperti lempeng. Menurut Tanaka (2004), karakteristik morfologi yang demikian memungkinkan bagian-bagian di atas permukaan berada pada sedimen dan tetap berhubungan dengan substrat yang basah, sehingga terhindar dari kehilangan air ketika padang lamun terdedah.

Data rata rata panjang daun yang diukur pada saat pengamatan adalah 10 sampai 13.5 cm, dengan suhu permukaan laut berkisar antara 26 °C hingga 28°C serta salinitas 30 hingga 31 psu.

Sumber : Dokumentasi penelitian 2011

Gambar 13 . Spesies Cymodocea rotundata

Pengolahan data Sv Cymodocea rotundata dilakukan dengan prosedur yang sama untuk jenis Enhalus acoroides. Pada penelitian ini, spesies Cymodocea rotundata ditemukan di stasiun 2, 3 dan 5 , parameter akustik berupa nilai rata rata Sv untuk masing-masing stasiun tidak menunjukan perbedaan.


(45)

Dari 1115 ping data yang diperoleh dari perekaman aksutik selama ± 15 menit pada stasiun 2 diperoleh nilai Sv mean pada stasiun tersebut yakni -68.17 dB dengan standar deviasi ± 4.57 dB, untuk stasiun 3 diperoleh 2838 ping data dengan nilai Sv mean adalah -66.62 dB dan standar deviasi ± 4.33 dB. Stasiun 5 dengan jumlah ping data 3128 diperoleh nilai Sv mean sebesar -64.07 dB dengan standar deviasi ± 3.39 dB. Nilai perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan parameter statistik Cymodocea rotundata

Parameter Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 5

N data 1115 2838 3128

Minimum -98.78 dB -82.94 dB -84.45 dB

Maximum -60.94 dB -58.45 dB -58.25 dB

Median -67.79 dB -68.82 dB -64.74 dB

Mean -68.17 dB -66.62 dB -64.07 dB

Standard Deviation 4.57 4.33 3.39

Variance 20.87 18.71 11.46


(46)

Gambar 14. ( a. Sebaran normal nilai Sv stasiun 2, (b stasiun 3, (c stasiun 5


(47)

Dari 70% data pengamatan pada stasiun 2 didapatkan nilai Sv berkisar -64.73 dB hingga -72.25 dB, untuk stasiun 3 dari 72% data pengamatan diperoleh nilai Sv berkisar antara -63.34 dB hingga -73.14 dB. Untuk stasiun 5 dengan 79% data pengamatan diperoleh nilai Sv berkisar antara -60.87 dB hingga -68.73 dB.

Dari 7081 ping data hasil penggabungan stasiun 2, 3 dan stasiun 5 untuk spesies Cymodocea rotundata didapatkan nilai Sv maksimum adalah -58.24 dB, Sv minimum sebesar -98.78 dB serta Sv mean sebesar -65.37 dB dengan standar deviasi ± 4.34 dB, sehingga diperoleh thresholdCymodocea rotundata adalah -61.03 hingga -69.71 dB.

Gambar 16. Sebaran normal Sv gabungan

Uji t yang dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai Sv mean untuk spesies Cymodocea rotundata berkisar dari -65.27 dB hingga -65.47 dB.


(48)

c. Thallasia hemprichii

Jenis Thallasia hemprichiimerupakan salah satu lamun yang tumbuh di daerah tropis dan mempunyai penyebaran yang cukup luas. Menurut Fortes (1993) Thallasia hemprichii mempunyai rimpang berwarna coklat atau hitam dengan ketebalan 1-4 mm dan panjang 3-6 cm, satu akar per nodus dimana akar dikelilingi oleh rambut kecil yang padat. Setiap tegakan mempunyai 2-5 helaian daun dengan ujung yang membulat, panjang 6-30 cm dan lebar 5-10 mm. Lamun ini mempunyai sebaran kedalaman yang relatif sempit, dari daerah eulitoral sampai kedalaman 4-5 meter, walaupun juga ditemukan pada kedalaman 30 meter, sering merupakan spesies yang melimpah di daerah intertidal rataan terumbu karang yang menerima hempasan energi yang tinggi dengan substrta pasir dan pecahan pecahan karang yang kasar. (Tomscik 1997)

Sumber : Dokumentasi penelitian 2011

Gambar 17. Spesies Thalasia hemprichii

Thallasia hemprichii memiliki rhizoma vertikal yang lebih panjang dan pelepah yang tidak fleksibel dibanding Cymodocea rotundata, sehingga mengalami kondisi terdedah yang lebih lama. Namun, kondisi ini diimbangi oleh toleransi fisiologis daunya yang lebih besar terhadap kekeringan dan juga memiliki pelepah yang banyak sehingga bias membantu mencegah kehilangan air dari meristemnya.


(49)

Tabel 6. Parameter statistik Thalasia hemprichii

Paramater Stasiun 4

N (Jumlah data) 2381

Minimum -83.36 dB

Maximum -57.2 dB

Median -62.6 dB

Arithmetic Mean -62.23 dB

Standard Deviation 3.39 dB

Variance 11.5

Coefficient of Variation -0.05

Spesies Thalasia hemprichiihanya terdapat pada 1 stasiun pengamatan yakni stasiun 4. Nilai Sv minimum adalah -83.36 dB dan nilai maksimum sebesar -57.2 dB. Nilai Sv rata rata Thalasia hemprichii adalah -62.23 dB dengan standar deviasi sebesar ± 3.39. sehingga diperoleh threshold Thallasia hemprichii adalah -58.84 hingga -65.62 dB.


(50)

Jumlah data pengamatan pada stasiun 4 yakni sebesar 64% diperoleh nilai Sv berkisar antar -59.81 dB hingga -65.04 dB. Dari uji t yang dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai Sv spesies Thallasia hemprchii berkisar antara -62.09 dB hingga -62.37 dB.

4.2.2 Perbandingan Sv antar spesies

Hasil yang diperoleh dari ke-tiga spesies lamun yang di analisis nilai akustiknya secara lengkap ditunjukan pada gambar 19.

Gambar 19. Perbandingan Sv antar spesies

Dari gambar 19 tersebut dapat dilihan bahwa nilai Sv mean lamun untuk ke-tiga spesies berkisar antara -65.37 dB sampai -62.23 dB dengan nilai tertinggi diberikan oleh spesies Thallasia hemprichii , sedangkan nilai terendah didapatkan pada Cymodocea rotundata, kuatnya respon akustik yang diberikan oleh Thallasia hemprichii ditunjukan dengan nilai hambur balik yang diperoleh.


(51)

Gambar 20. Sebaran normal Sv untuk ketiga spesies

Nilai threshold lamun untuk masing-masing spesies menunjukan perbedaan, Enhalus acoroides sebesar -62.22 dB hingga -64.85 dB , Cymodocea rotundata -61.77 dB hingga -68.54 dB dan Thallasia hemprichii yakni -59.83 dB hingga -66.61 dB.

Hal yang membedakan nilai threshold untuk masing masing vegetasi adalah ditentukan oleh morfologi dan tekstur masing masing dari spesies itu sendiri yang berbeda.

Uji t berpasangan dilakukan antar masing masing spesies, Cymodocea rotundata terhadap Thallasia hemprichii, Cymodocea rotundata terhadap Enhalus acoroides dan Enhalus acoroides terhadap Thallasia hemprichii. Dari ke-3 uji berpasangan pada masing-masing spesies yang dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai p-value adalah 0.000, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan Sv mean antar masing-masing spesies.

Enhalus acoroides Cymodocea rotundata Thalasia hemprichii

-90 -80 -70 -60 -50

Nilai Sv (dB)

0 200 400 600

Co

u

n


(52)

4.2.3 Normalisasi energi echo lamun

Tingkat energi dasar perairan dapat digambarkan berdasarkan intensitas gema (echo) yang berasal dari dasar perairan termasuk lamun dalam memberikan respon terhadap sinyal akustik yang mengenainya.

Gambar 21. Echo envelope yang mengindikasikan tingkat intensitas energi dari masing masing spesies lamun


(53)

Hal ini ditandai dengan adanya anggapan bahwa dasar perairan yang keras akan menghasilkan intensitas echo yang tajam berupa nilai amplitudo yang tinggi, sementara bagian dasar perairan yang lunak akan menghasilkan echo yang lemah yang ditandai dengan rendahnya nilai respon amplitudo yang dihasilkan.

Gambar 22. Perbandingan echo envelope dari masing masing spesies lamun

Hasil normalisasi echo dasar perairan yang diperoleh dari data echogram pada Gambar 22 menunjukan tingkat intensitas energi dari beberapa spesies lamun di lokasi penelitian. Berdasarkan kurva energi tersebut, dapat dilihat bahwa spesies

Thalasia hemprichii memberikan respon backscattering yang lebih kuat. Puncak output ini merupakan batas atas/ujung tutupan lamun, bahkan mungkin merupakan kedalaman dasar perairan (Sabol dan Johnson, 2001).

Puncak-puncak gema yang terlihat pada spesies Cymodocea rotundata dan

Thalasia hemprichii menunjukan pola yang berbeda nyata dengan spesies Enhalus acoroides, berdasarkan hasil pengamatan langsung hal ini disebabkan karena letak daun Cymodocea rotundata dan Thallasia hemprichii yang menjulur ke bawah serta berhimpitan dengan dasar perairan dengan ketinggian dan lebar daun relatif kecil bila dibandingkan dengan spesies Enhalus acoroides.

0 50 100 150 200 250 300

-80 -60 -40 -20 0 20 40

Energy from 1st Enhalus acoroides Energy from 1st Cymodocea rotundata Energy from 1st Thallasia hemprichii


(54)

4.3 Data sedimen

Analisa butiran sedimen pada lamun mengacu pada panduan Mckenzie et al. 2009. Data sedimen yang dianalisis pada stasiun 4, 5 dan 6 yang mewakili masing masing spesies. Pada stasiun 4 dengan spesies Thallasia hemprichii didominasi oleh

sand dengan persentase 54.07%, coarse sand sebesar 18.12%, mud 4.87%. Pada stasiun 5 dengan spesies Cymodocea rotundata didominasi sand dengan persentase 33.92%, coarse sand 32.65%, mud 7.37%. Pada stasiun 6 dengan spesies Enhalus acoroides di dominasi sand dengan persentase 49.68%, coarse sand 21.25%, mud

6.45%.

Distribusi ukuran partikel sedimen sangat mempengaruhi pertukaran air pori dengan kolom air di bagian atasnya. Pada distribusi ukuran partikel yang cenderung ke arah debu dan liat akan menyebabkan pertukaran air pori dengan kolom air menjadi rendah sehingga konsentrasi nutrient dan fitoksin seperti sulfida akan meningkat, kondisi sebaliknya akan dialami oleh lamun jika menempati tipe sedimen pasir kasar (Koch 2001).


(55)

5.1 Simpulan

Dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa :

1) Nilai mean volume backscattering strength untuk ketiga spesies menunjukan perbedaan,

enhalus acoroides sebesar -64.16 dB dengan standar deviasi ±2.93 dB, Cymodocea rotundata -65.37 dB dengan standar deviasi ± 4.34 dB serta Thallasia hemprichii yakni -62.23 dB dengan standar deviasi ±3.39 dB.

2) Bentuk normalisasi echo dari masing masing spesies menunjukan pola yang berbeda, puncak puncak gema yang terlihat pada spesies Cymodocea rotundata dan Thallasia hemprichii menunjukan pola yang berbeda nyata dengan spesies Enhalus acoroides.

3) Berdasarkan hasil nilai akustik volume backscattering strength (Sv) maka, metode hidroakustik potensial membedakan spesies masing masing lamun.

5.2 Saran

Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan pada beberapa spesies lamun lain yang belum sempat diukur.


(56)

Seagrass : an Introduction for Monitoring and Management. EU Project Monitoring and Managing of Eurropean Seagrasses.

Burczynski J., Hoffman. J., Schneider P., and Sabol B 2001. Use of Acoustic for Detection Aquatic vegetation. Sonar system for asssesment of submerged aquatic vegetation and bottom substrata classification. Report of the join session of working groups on Fisheries Acoustics Science and Technology and Fishing Technology and Fish Behaviour Seatlle, USA. 25 April 2011. Deswati, S. R. 2009. Evaluasi Metode Akustik Untuk Pendeteksian Padang

Lamun. Thesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Fortes MD. 1990. Seagrasses : A Resources Unknown in the ASEAN Region. ICLARM Education Series. 6. Manila, Philipines : International Center for Living Aquatic Resources Management.

Gavrilov, A., Parnum, I. 2003. Statisitical Properties of Backscater from Seagrass Collected from A Sidescan Sonar Survey. Center for Marine Science and Technology, Curtin University, Perth Australia.

Gembong T. 2004. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press

Hemminga MA, Duarce CM. 2000. Seagrass Ecology. Australia : Cambridge University Press.

Hoffman, J. P., and Penrose, J. D., (2000), “Acoustic Propagation Prediction in Shallow Water”, Curtin University of Technology.

Kiswara W. 1997. Struktur Komunitas Padang Lamun Perairan Indonesia dalam Konggres Biologi Indonesia XV. Inventarisasi daan Evaluasi Potensi Laut Pesisir II Geologi, Kimia, Biologi dan Ekologi. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI.

Komatsu T., Mikami A. 2003. Hydro-Acoustic Methods as a Practical Tool for Cartography of Seagrass Beds. Otsuchi Marine Science 28:72-79.

Komatsu T et al. 2003. Use of multi-beam sonar to map seagrass beds in Otsuchi Bayon the Sanriku Coast of Japan. Aquatic Living Resources 16: 223–230. Lefebvre A, Thompson C, Collins K, Amos CL. 2009. Use of High Resolution

Profiling Sonar and a Towed Video Camera to Map a Zostera marina bed, Solent, UK. Estuarine, Coastal and Shelf Science 82 : 323-334

Manual Cruzpro PcFF80 50/200Khz 2007. http://www.cruzpro.com [15 Agustus 2010].

Marsh JA, WC Dennison, RS Alberte. 1986. Effects of temperature on photosynthesis and respiration in Eelgrass (Zostera marina). J. Exp Mar. Biol. Ecol. 101 : 257-267.


(57)

Nienhuis PH. 1993. Structure and functioning of Indonesia Seagrass Ecosystem. Di dalam : Moosa MK, HH de long, HJA Blaauw, MKJ Norinarma, Editor. Coatal Zone Management of Small Island Ecosystem Proceedings International Seminar. Ambon. Hal 82-86.

Parnum I., Gavrilov A. Statistical Properties of Backscatter from Seagrass Collected from a Sidescan Sonar Survey. Centre for Marine Science and Technology, Curtin University, Perth. Australia.

Paskalina, M. 2008. Studi Ekologi Padang Lamun pada Perairan Pantai Manokwari. Thesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Riegl, B., Moyer, R., Morris. L. 2005 Determination of the Distributio of Shallow-water Seagrass and Drift Algae Communities ith Acoustic Seafloor Discrimination. National Coral Reef Institute, Florida. USA.

Sabol B. M. and Johnton. S. A. 2001. Innovative Technique for Improved Hydroacoustic bottom Tracking in dense Aquatic vegetation. Aquatic plant control research Program. US Army Corp of Engineers Washington, DC 20314-1000.

Sabol, B., Melton, E., Chamberlain, R 2002. Evaluation of a Digital Echo System for Detection of Submersed Aquaic Vegetation. Estuaries Juournal Vol. 25 : 133-141.

Siwabessy P. J. W. 2001. An investigation of the relationship between seabed type and benthic and bentho-pelagic biota using acoustic techniques. Doctor of Philosophy of the Curtin University of Technology.

Siwabessy P. J. W. 2004. Seabed Habitat Mapping in Coastal Waters Using a Normal Incident Acoustic Technique. Proceeding of Acoustics, Curtin University of Technology, Perth, Australia.

Stevens, A.W., Lacy, J.R., Finlayson, D.P., and Gelfenbaum, G., 2008, Evaluation of a Single-Beam Sonar System to Map Seagrass at two Sites in Northern Puget Sound, Washington: U.S. Geological Survey Scientific Investigations Report 2008-5009, 45 p.

Tegowski J., Gorska N.,Klusek Z. 2003. Statistical analysis of acoustic echoes from underwater meadows in the eutophic puck bay (southern Baltic Sea).

Aquatic Living Resources 16 : 215-221

Urick, R. J. 1983. Principles of Underwater Sound (3rd edn). New York : McGraw-Hill.

Valley, R. D. and M. T. Drake. 2005. Accuracy and precision of hydroacoustic estimates of aquatic vegetation and the repeatability of wholelake surveys: field tests with a commercial echosounder. Investigational Report 527, Minnesota Department of Natural Resources, St.Paul.


(58)

Transduser SIMRAD EY 60


(59)

Parameter statistik Enhalus acoroides

N ping 3906

Minimum -91.94 dB

Maximum -59.33 dB

Mean -64.16 dB

Standard Deviation 2.93 dB

Variance 8.59 dB

Data Sv dan parameter statistik Enhalus acoroides

-95 -87 -79 -71 -63 -55

Nilai Sv

0 1000 2000 3000

P

ing

dat


(60)

Parameter statistik Cymodocea rotundata

N ping 7081

Minimum -98.78 dB

Maximum -58.24 dB

Mean -65.37 dB

Standard Deviation 4.34 dB

Variance 18.81 dB

Data Sv dan parameter statistik Cymodocea rotundata

-100 -91 -82 -73 -64 -55

Nilai Sv

-500 1500 3500 5500

P

ing

dat


(61)

Parameter statistik Thallasia hemprichii

N ping 2381

Minimum -83.36 dB

Maximum -57.19 dB

Mean -62.23 dB

Standard Deviation 3.39 dB

Variance 11.49 dB

Data Sv dan parameter statistik Thallasia hemprichii

-85 -78 -70 -63 -55

Nilai Sv

0 625 1250 1875

P

ing

dat


(62)

Alternative = 'not equal'

Mean Cymodocea rotundata : -65.37 Mean Thallasia hemprichii : -62.23 Mean Difference : -3.14 95.00% Confidence Interval : -5.791 to -5.382 Standard Deviation of Difference : 5.097

t : -53.482

df : 2380

p-value : 0.000


(63)

Mean Cymodocea rotundata : -65.37 Mean Enhalus acoroides : -64.16 Mean Difference : -1.21 95.00% Confidence Interval : -3.951 to -3.612 Standard Deviation of Difference : 5.405

t : -43.722

df : 3905

p-value : 0.000


(64)

Alternative = 'not equal'

Mean Enhalus acoroides : -64.16 Mean Thallasia hemprichii : -62.23 Mean Difference : -1.93 95.00% Confidence Interval : -2.551 to -2.160 Standard Deviation of Difference : 4.873

t : -23.586

df : 2380

p-value : 0.000


(65)

LAOLE Analysis Acoustic Backscattering for Identification Species of Seagrass . Under direction of HENRY. M. MANIK and INDRA JAYA.

Seagrasses are flowering plants that develop extensive underwater meadows and play a key role in the coastal ecosystem. In this thesis, normal incident acoustic techniques were used to determine the values of backscattering strength of seagrass. Data collection was carried out in Seribu Islands, Jakarta by using SIMRAD EY 60 scientific echosounder systems with operating frequency 120 kHz. The results show that the average value of backscattering strength (Sv) for three seagrass species, namely Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata and Thallasia hemprichii are 64.16 , 65.35 and 62.23 respectively. These differences may be due to shape and density of the seagrass leaves.


(66)

Lamun merupakan salah satu sumberdaya yang memiliki peran penting dan strategis di ekosistem pesisir. Berdasarkan fungsinya lamun dapat menjadi indikator dalam pengelolaan strategis wilayah pesisir dengan tujuan untuk memelihara atau meningkatkan kestabilan lingkungan pesisir (Komatsu et al.

2003).

Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, hal ini berhubungan dengan asosiasi dengan ekosistem di sekitar padang lamun. Tumbuhan lamun mendukung rantai makanan kehidupan sejumlah detrifora (Mckenzie 2009).

Pemantauan lamun yang bekelanjutan baik dalam jangka waktu bulanan maupun tahunan untuk mengetahui kondisi yang terjadi dan memberikan informasi awal atau menganalisa akibat yang ditimbulkan oleh perubahan lingkungan menjadi penting untuk diketahui. Perubahan lingkungan tersebut dapat terjadi secara spasial dan temporal baik kelimpahan dan komposisi spesiesnya (Mckenzie 2009).

Beberapa metode telah banyak digunakan untuk pemantauan padang lamun diantaranya dengan observasi secara langsung melalui sampling dan survey penyelaman maupun dengan pemanfaatan teknologi optik termasuk diantaranya penginderaan jarak jauh, video bawah air dan sistem akustik (Lefebvre 2009).

Metode akustik bawah air dapat digunakan untuk pemantauan dan pemetaan dasar perairan berupa informasi substrat dasar dan vegetasi di dasar perairan berdasarkan karakteristik signal gema yang dipantulkan target. Informasi tersebut mampu diklasifikasikan dari data survey sebaik data informasi distribusi ikan dan plankton yang telah umum digunakan untuk aplikasi akustik bawah air (Burcynski

et al. 2001).

Menurut Valley dan Drake (2005), sistem akustik yang terintegrasi dengan

Global Positioning System (GPS) serta Geographcal Information System

merupakan alat pemantauan perubahan biovolum vegetasi air yang menjanjikan. Kemampuan teknologi akustik untuk klasifikasi substrat dasar dan klasifikasi vegetasi bawah air pada dasarnya adalah kemampuan untuk mengumpulkan data


(67)

akustik berdasarkan kedalaman, tipe substrat, tutupan dan tinggi vegetasi, kelimpahan serta distribusi vegetasi (Hoffman et al. 2002).

Beberapa penelitian mengenai vegetasi dasar perairan dengan metode hidroakustik di Indonesia sendiri sudah dilakukan walaupun jumlahnya masih sangat terbatas. Deswati (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan instrumen akustik Simrad EY 60 untuk pendeteksian lamun di wilayah Gugus Kepulauan Seribu, nilai Sv lamun untuk jenis Enhalus acoiroides berkisar -61.23 dB hingga -67.09 dB. Deswati (2009) mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya dapat disimpulkan bahwa metode akustik memiliki kemampuan mendeteksi keberadaan lamun.

1.2 Perumusan masalah

Pemanfaatan teknologi untuk mengevaluasi perubahan serta potensi sumberdaya sangat bermanfaat dalam menghasilkan data yang up to date dan akurat. Salah satu teknologi yang kini banyak digunakan sebagai alat bantu dalam pemantauan dan pendektesian sumberdaya laut adalah teknologi akustik.

Penerapan teknologi akustik di Indonesia dalam penelitian dan pengembangan bidang kelautan hingga saat ini masih sangat terbatas. Minimnya sarana dan prasarana menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan teknologi akustik. Beberapa tahun belakangan ini, aplikasi metode pemetaan akustik, khususnya penggunaan “Acoustic Ground Discrimination System

(AGDS) dikombinasikan dengan data sampling lapangan, telah menjadi kegiatan yang biasa dalam pemetaan dan monitoring habitat dasar laut.

Salah satu teknologi yang kini banyak digunakan sebagai alat bantu dalam pemetaan padang lamun adalah teknologi akustik dengan kemampuanya mendeteksi keberadaan lamun. Kemajuan teknologi akustik untuk klasifikasi vegetasi bawah air sudah banyak dikembangkan beberapa diantaranya dengan menggunakan side-scan sonar maupun echosounder atau multibeam sonar untuk menghitung tingkat kelimpahan maupun distribusi spasial vegetasi melalui jumlah respon pantulan energi (Waren et al. 2007;Winfield et al. 2007, diacu dalam Lefebvre et al. 2009). Pemanfaatan echosounder telah banyak digunakan untuk survey dasar perairan dan pemetaan vegetasi diantaranya beberapa penelitian


(68)

yang telah dikembangkan oleh Sabol et al. 2002, Tegowski et al. 2003, valley et al. 2005, maupun Deswati 2009.

Penggunaan echosounder untuk pemetaan vegetasi dalam areal yang luas dapat mengehemat waktu dan biaya karena banyaknya data yang diperlukan bisa didapatkan dengan sekali survey dibanding metode lain seperti pemanfaatan citra satelit maupun observasi langsung dengan sampling dan penyelaman. Lamun sebagai vegetasi perairan dapat tumbuh pada daerah yang sangat luas di pasir, puing puing karang maupun substrat berlumpur. Jenis-jenis lamun tersebut membentuk padang lamun baik yang bersifat padang lamun monospesifik maupun padang lamun campuran yang luasnya diperkirakan mencapai 30.000 km² (Nenhuis 1993).

1.3 Kerangka pemikiran

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian dengan teknologi hidroakustik adalah sangat bermanfaat dalam survey cepat sumberdaya dengan mendeteksi beberapa spesies lamun yang didasarkan pada karakteristik dari echo yang diperoleh dari echosounder split beam. Identifikasi spesies masing masing lamun berdasarkan, nilai pantulan yang diperoleh kemudian diverifikasi dengan data lapangan. Secara skematik bagan alir perumusan masalah dan tujuan penelitian ditunjukan pada Gambar 1.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai hambur balik atau volume backscattering strength (Sv) dari beberapa spesies lamun serta mengembangkan pengklasifikasian nilai tersebut untuk survey cepat sumberdaya lamun.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai karakteristik dan nilai pantulan dari spesies lamun yang berbeda, sehingga dapat dipakai untuk survey cepat sumberdaya lamun menggunakan teknologi hidroakustik.


(69)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

GPS

Echogram Lamun

Transduser

PC Identifikasi

lamun Perekaman

akustik

Sampling lapangan Survei akustik dan

observasi langsung padang lamun

SV SA Energi

Identifikasi & Kalsifikasi lamun

Uji t Spesies X

Validasi Silang


(70)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Lamun

Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup di perairan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 – 12 m dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu, namun pada umumnya padang lamun yang luas sering ditemukan di substrat berpasir tebal dengan sedikit lumpur antara dua komunitas yaitu mangrove dan terumbu karang (Mckenzie 2009).

Komponen dasar morfologi tumbuhan lamun terdiri dari rhizoma, daun, akar, bunga dan buah (Gambar 2).

Sumber : Mckenzie (2009)

Gambar 2. Morfologi Lamun

Secara lengkap klasifikasi jenis lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia (Gembong 2004) adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Anak Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae


(71)

Bangsa : Helobiae

Suku : Jenis

Hydrocharitaceae : Enhalus acoroides Halophila ovalis H. decipiens H. Minor H. spinulosa

H. Thallasia hemprichii

Cymodoceaceae : Cymodocea rotundata C. serrulata

Halodule pinifolia H. uninervis

Syringodium isoetifolium Thalassodendron ciliatum

2.2 Karakteristik tumbuhan lamun

Berdasarkan komposisi jenisnya pertumbuhan Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal, tersusun atas satu jenis lamun yang tumbuh dapat membentuk padang lebat, sedangkan vegetasi campuran terdiri dari 2 sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thallasia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan

Thalassodendrom ciliatum (Mckenzie et al. 2009).

2.3 Habitat dan Distribusi Lamun

Padang lamun di wilayah tropis memiliki tingkat variasi yang cukup tinggi dan hidup di perairan dangkal, dengan substrat halus di sepanjang pantai dan estuari. Spesies lamun di tropis banyak ditemukan di perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter, hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, yaitu pada substrat yang berlumpur sampai berbatu.

Di perairan Indonesia padang lamun adalah ekosistem yang umum terdapat dan tumbuh di daerah pasang surut pulau pulau utama dan pulau pulau karang.


(72)

Daerah yang paling penting bagi lamun adalah mintakat pasang-surut bawah dan mintakat subtidal atas, dimana suatu vegetasi yang kompleks dapat terbentuk dari 7-8 jenis yang tumbuh bersama sama (Hutomo et al. 1993)

Zonasi sebaran dan karakteristik habitat lamun di perairan pesisir Indonesia dapat dikelompokan menurut :

a) Genangan air dan kedalaman (daerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut, daerah dengan kedalaman sedang atau di daerah pasang surut dan daerah yang dalam dan selalu tergenang air)

b) Kecerahan air tempat tumbuhnya (air yang jernih, keruh dan sangat keruh) c) Komposisi jenisnya pertumbuhan padang lamun dapat dikelompokan atas

vegetasi tunggal dan vegetasi campuran.

d) Karakteristik tipe substratnya padang lamun yang tumbuh di perairan Indonesia dapat dikelompokan menjadi 6 kategori, yaitu : lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karag, dan batu karang.

e) Asosiasinya dengan ekosistem lain (terumbu karang, mangrove)

Berdasarkan karakteristik habitat dan sebaran lamun maka dapat dikelompokan jenis lamun yang kosmopolitan (dapat tumbuh di hampir semua kategori habitat), moderat (tumbuh pada kategori habitat antara 50-75%), dan jenis lamun yang terbatas sebarannya (tumbuh pada kategori habitat<50%) (Kiswara 1997)

2.4 Fungsi dan Manfaat Padang Lamun

Padang lamun yang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir memiliki keanekaragaman-hayati yang kaya dan merupakan penyumbang nutrisi yang sangat potensial bagi perairan disekitarnya mengingat produktivitasnya yang tinggi.

Padang lamun merupakan habitat yang memegang peranan penting dalam siklus kehidupan berbagai organisme. Biota yang hidup di padang lamun seperti crustacea (seperti udang) dan ikan-ikan kecil yang merupakan kumpulan dari larva dan juvenile, mengindikasikan bahwa padang lamun merupakan habitat untuk perkembangan larva dan juvenile (Borum et al. 2004).


(1)

Parameter statistik Enhalus acoroides

N ping 3906

Minimum -91.94 dB

Maximum -59.33 dB

Mean -64.16 dB

Standard Deviation 2.93 dB

Variance 8.59 dB

Data Sv dan parameter statistik Enhalus acoroides

-95 -87 -79 -71 -63 -55

Nilai Sv

0

1000 2000 3000 4000

P

ing

dat


(2)

Parameter statistik Cymodocea rotundata

N ping 7081

Minimum -98.78 dB

Maximum -58.24 dB

Mean -65.37 dB

Standard Deviation 4.34 dB

Variance 18.81 dB

Data Sv dan parameter statistik Cymodocea rotundata

-100 -91 -82 -73 -64 -55

Nilai Sv

-500 1500 3500 5500 7500

P

ing

dat


(3)

Parameter statistik Thallasia hemprichii

N ping 2381

Minimum -83.36 dB

Maximum -57.19 dB

Mean -62.23 dB

Standard Deviation 3.39 dB

Variance 11.49 dB

Data Sv dan parameter statistik Thallasia hemprichii

-85 -78 -70 -63 -55

Nilai Sv

0 625 1250 1875 2500

P

ing

dat


(4)

Uji t-test berpasangan Cymodocea rotundata vs Thallasia hemprichii Alternative = 'not equal'

Mean Cymodocea rotundata : -65.37 Mean Thallasia hemprichii : -62.23

Mean Difference : -3.14

95.00% Confidence Interval : -5.791 to -5.382 Standard Deviation of Difference : 5.097

t : -53.482

df : 2380

p-value : 0.000


(5)

Uji t-test berpasangan Cymodocea rotundata vs Enhalus acoroides Alternative = 'not equal'

Mean Cymodocea rotundata : -65.37 Mean Enhalus acoroides : -64.16

Mean Difference : -1.21

95.00% Confidence Interval : -3.951 to -3.612 Standard Deviation of Difference : 5.405

t : -43.722

df : 3905

p-value : 0.000


(6)

Uji t-test berpasangan Enhalus acoroides vs Thallasia hemprichii Alternative = 'not equal'

Mean Enhalus acoroides : -64.16 Mean Thallasia hemprichii : -62.23

Mean Difference : -1.93

95.00% Confidence Interval : -2.551 to -2.160 Standard Deviation of Difference : 4.873

t : -23.586

df : 2380

p-value : 0.000