Techniques of Texture Analysis for Identification of Crocidolomia pavonana, Spodoptera exigua, Spodoptera litura

TEKNIK ANALISIS TEKSTUR UNTUK IDENTIFIKASI
HAMA ULAT Crocidolomia binotalis, Spodoptera exigua,
Spodoptera litura

YUNDA HENINGTYAS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Teknik Analisis
Tekstur untuk Identifikasi Hama Ulat Crocidolomia pavonana, Spodoptera
exigua, Spodoptera litura adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, September 2013

Yunda Heningtyas
NRP. G651110281

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

RINGKASAN
YUNDA HENINGTYAS. Teknik Analisis Tekstur untuk Identifikasi Ulat
Crocidolomia pavonana, Spodoptera exigua, Spodoptera litura. Dibimbing oleh
YENI HERDIYENI dan AUNU RAUF.
Kubis dan bawang daun merupakan dua komoditas yang banyak
diusahakan petani sayuran di dataran tinggi. Di antara hama yang banyak
menimbulkan kerusakan berat adalah ulat Crocidolomia pavonana pada kubis dan
Spodoptera exigua pada bawang daun. Ulat Spodoptera litura, yang bersifat
generalis, kadangkala dijumpai juga menyerang kedua jenis sayuran tadi. Bagi

petani maupun petugas pertanian yang belum berpengalaman, ketiga jenis ulat ini
tidak mudah untuk dibedakan. Padahal indentifikasi yang benar diperlukan agar
pengendalian yang dilakukan dapat berhasil dengan baik. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan mengembangkan sistem identifikasi ulat dengan
menggunakan teknologi computer vision.
Ketiga spesies ulat tersebut memiliki tekstur yang unik dan berbeda satu
sama lain, sehingga untuk membedakannya dapat didasarkan pada analisis tekstur.
Dalam penelitian ini, teknik analisis tekstur yang digunakan adalah gabungan fitur
entropi, gray level co-occurrence matrix (GLCM), fitur Haralick dan fitur
Tamura. Setiap spesies terdiri dari 45 citra sehingga total data yang digunakan
adalah 135 citra. Data dipilah menggunakan teknik 5-fold cross validation ke
dalam data latih (80%) dan data uji (20%). Probabilistic Neural Network (PNN)
digunakan untuk mengklasifikasi spesies ulat. Percobaan dilakukan menggunakan
teknik GLCM dengan jarak 1 piksel dan 8 sudut; fitur Haralick yaitu entropi,
homogeneity, information of correlation 1, information of correlation 2; fitur
Tamura yaitu coarseness dan fitur entropi.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa fitur Tamura dan fitur information of
correlation 1 berhasil memisahkan spesies ulat S. litura dari spesies lainnya. Fitur
entropi berhasil memisahkan spesies ulat C. pavonana dengan spesies ulat S.
litura. Fitur Haralick entropi berhasil memisahkan spesies ulat C. pavonana

dengan spesies ulat S. exigua. Fitur homogeneity berhasil memisahkan spesies ulat
S. exigua dengan spesies ulat S. litura sedangkan fitur information of correlation 2
tidak dapat memisahkan ketiga spesies ulat tersebut. Namun, penggabungan
keempat teknik tersebut berhasil meningkatkan akurasi sistem identifikasi spesies
ulat. Kinerja sistem, diperoleh dari akurasi rata-rata seluruh fold, mencapai
77.03%. Akurasi tertinggi (88.89%) diperoleh pada = 5. Selanjutnya, sistem
menggunakan model klasifikasi yang dihasilkan oleh fold kelima. Kesalahan
klasifikasi terjadi pada kelompok C. pavonana yang salah diidentifikasi sebagai S.
exigua dan kelompok S. exigua yang salah diklasifikasi sebagai S. litura.
Kesalahan klasifikasi tersebut disebabkan oleh kesalahan pemotongan bagian
tubuh ulat, tekstur yang direkam citra tidak jelas (blur) dan usia ulat belum berada
pada fase instar lanjut. Walaupun demikian, sistem identifikasi ulat yang
dikembangkan ini dapat digunakan oleh petani dan petugas pertanian yang
mengalami kesulitan dalam membedakan ketiga spesies ulat tersebut.
Kata kunci: analisis tekstur, computer vision, identifikasi hama

SUMMARY
YUNDA HENINGTYAS. Techniques of Texture Analysis for Identification of
Crocidolomia pavonana, Spodoptera exigua, Spodoptera litura. Supervised by
YENI HERDIYENI and AUNU RAUF.

Cabbage and green onion are two common vegetables cultivated by
farmers in highland. Among major pests causing significant damage are
Crocidolomia pavonana on cabbage and Spodoptera exigua on green onion. In
addition, the generalist Spodoptera litura occasionally found attacking these
vegetables. For unexperienced farmers as well as extension agents, the three
caterpillars are not easily differentiated; although an accurate identification is
required for a better control of the pests. Therefore, research was conducted with
the objectives to develop identification system of the caterpillars based on
computer vision technology.
The three species of caterpillars have a unique texture and distinct feature
from each other; and therefore, differentiating the species can be based on
techniques of texture analysis. For this purpose, we used combination of several
texture analysis: entropy feature, GLCM, Haralick features and Tamura feature.
Each species consisted of 45 images, and consequently the total images used in
this research were 135 images. Data work splitted using k-fold cross validation
technique into training data (80%) and testing data (20%). Probabilistic Neural
Network (PNN) was applied for classifying the three species of caterpillars.
Research was conducted using GLCM with 1 pixel distance and 8 angles;
Haralick features consisting of entropy, homogeneity, information of correlation
1, information of correlation 2; and Tamura feature consisting of coarseness; and

entropy feature techniques.
Our research revealed that Tamura features and information of correlation 1
were able to differentiate S. litura from other species. Entropy feature was able to
differentiate C. pavonana with S. litura. Haralick entropy was able to differentiate
C. pavonana with S. Exigua. Homogeneity was able to differentiate S. Exigua
with S. litura whereas information of correlation 2 was not able to differentiate
among the three species. However, combination of four techniques were able to
improve the accuracy of caterpillar identification system. System performance
obtained from the average accuracy of the entire fold reached 77.03%. The best
accuracy (88.89%) was obtained when k = 5. Furthermore, we tested the system
using classification model based on the fifth fold. Error occurred when C.
pavonana incorrectly identified as S. exigua, and S. exigua incorrectly identified
as S. litura. The error in identification were caused by inappropriate cropping of
caterpillar images, the blur of image, and the caterpillar was not in advance stage.
However, in general the pest identification system developed through this
research can be used by farmers and extension agents who have difficulties in
differentiating the three species of caterpillars.
Keyword: textures analysis, computer vision, pest identification

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TEKNIK ANALISIS TEKSTUR UNTUK IDENTIFIKASI
HAMA ULAT Crocidolomia binotalis, Spodoptera exigua,
Spodoptera litura

YUNDA HENINGTYAS

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Agus Buono, MSi MKom

Judul Tesis : Teknik Analisis Tekstur untuk Identifikasi Hama Ulat
Crocidolomia pavonana, Spodoptera exigua, Spodoptera litura
Nama
: Yunda Heningtyas
: 0651110281
NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr lr Aunu Rauf, MSc
Anggota


SSiMKom

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Komputer

Tanggal Ujian: 17 September 2013

Tanggal Lulus:

3 0 SEP

2013

Judul Tesis
Nama
NIM


: Teknik Analisis Tekstur untuk Identifikasi Hama Ulat
Crocidolomia pavonana, Spodoptera exigua, Spodoptera litura
: Yunda Heningtyas
: G651110281

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Yeni Herdiyeni, SSi MKom
Ketua

Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Komputer

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Yani Nurhadryani, SSi MT

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: 17 September 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini adalah
ekstraksi tekstur citra digital dengan judul Teknik Analisis Tekstur untuk
Identifikasi Hama Ulat Crocidolomia pavonana, Spodoptera exigua, Spodoptera
litura.
Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, penulis mendapatkan banyak sekali
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan
terima kepada Ibu Dr Yeni Herdiyeni, SSi, MKom selaku ketua komisi dan Bapak

Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc selaku anggota komisi atas bimbingan dan arahannya
selama penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir
Agus Buono, MSi, MKom selaku penguji dalam sidang tesis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada orangtua dan adik penulis atas doa dan
dukungannya. Mba Ismi, Kutha, Mega, Bang Ardiansyah dan semua teman LAB
CI, atas diskusi, bantuan dan motivasinya. Pak Wawan dan Ridwan, selaku
laboran di laboratorium bionomi dan ekologi serangga departemen proteksi
tanaman IPB, atas diskusi dan bantuannya. Teman-teman Pasca Ilkom 13 atas
dorongan dan motivasi dalam proses penelitian ini. Pengelola pasca sarjana,
seluruh dosen dan staf akademik Ilmu Komputer IPB atas bantuan dan
bimbingannya selama penelitian ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis selama penyelesaian karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat.

Bogor, September 2013

Yunda Heningtyas

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ulat
Image Enhancement
Ekstraksi Fitur (Feature Extraction)
K-Fold Cross Validation
Confusion Matrix
Klasifikasi
3 METODE PENELITIAN
Data Citra Ulat
Preprocessing
Ekstraksi Tekstur
Penggabungan Teknik
Pembagian Data
Klasifikasi PNN
Evaluasi
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Preprocessing
Ekstraksi Fitur dengan Tamura
Ekstraksi Tekstur dengan GLCM
Ekstraksi Tekstur dengan Fitur Haralick
Ekstraksi Tekstur dengan Fitur Entropi
Penggabungan Teknik Ekstraksi Tekstur
Pembagian Data
Klasifikasi dan Evaluasi
Implementasi Sistem
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

ii
ii
iii
1
1
2
2
2
3
4
4
5
6
10
11
11
14
15
16
16
18
19
20
20
21
21
21
24
25
42
45
45
45
56
58
58
58

ii

DAFTAR TABEL
1 Confusion matrix
2 Skenario pembagian data
3 Contoh citra hasil preprocessing
4 Contoh tekstur dengan nilai coarseness tinggi dan coarseness rendah
5 Contoh citra dengan tingkat entropi tinggi, sedang, dan rendah
6 Hasil akurasi setiap fold
7 Confussion matrix fold 5
8 Nilai Fitur Data Citra ke-1 Spesies C. pavonana
9 Nilai Fitur Data Citra ke-6 Spesies C. pavonana
10 Nilai Fitur Data Citra ke-4 Spesies S. exigua

11
19
21
23
44
45
46
47
50
53

DAFTAR GAMBAR
1 Spesies ulat yang diidentifikasi
2 Persegi berukuran 3 × 3 dengan pusat ( , ) pada citra
3 Struktur PNN
4 Skema pengembangan sistem
5 Metodologi penelitian
6 Contoh data citra (a) C. pavonana, (b) S. exigua, (c) S. litura
7 Contoh pemindaian (a) citra grayscale, (b) kuantisasi derajat keabuan
8 Contoh perhitungan matriks co-occurrence arah horizontal
9 Penggabungan teknik analisis fitur
10 Hasil ekstraksi teknik coarseness
11 Citra ke-20, ke-21, ke-26, ke-27 spesies C. pavonana
12 Citra ke-25, ke-26 dan ke-27 spesies ulat S. exigua
13 Citra ke-2, ke-43, ke-44 dan ke-45 spesies ulat S. litura
14 Hasil ekstraksi dengan fitur Haralick entropi arah horizontal
15 Hasil ekstraksi fitur Haralick entropi arah diagonal kanan
16 Hasil ekstraksi fitur Haralick entropi arah vertikal
17 Hasil ekstraksi fitur Haralick entropi arah diagonal kiri
18 Hasil ekstraksi fitur homogeneity arah horizontal
19 Hasil ekstraksi fitur homogeneity arah diagonal kanan
20 Hasil ekstraksi fitur homogeneity arah vertikal
21 Hasil ekstraksi fitur homogeneity arah diagonal kiri
22 Hasil ekstraksi fitur info. of correlation 1 arah diagonal kiri
23 Hasil ekstraksi fitur info. of correlation 1 arah diagonal kanan
24 Hasil ekstraksi fitur info. of correlation 1 arah vertikal
25 Hasil ekstraksi fitur info. of correlation 1 arah horizontal
26 Hasil ekstraksi fitur info. of correlation 2 arah horizontal
27 Hasil ekstraksi dengan fitur info. of correlation 2 arah diagonal kanan
28 Hasil ekstraksi dengan fitur info. of correlation 2 arah vertikal
29 Hasil ekstraksi dengan fitur info. of correlation 2 arah diagonal kiri
30 Hasil ekstraksi teknik entropi

5
5
12
14
15
16
17
17
19
22
23
24
24
25
26
27
28
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

iii

31
32
33
34
35

Citra ke-10, ke-11, ke-37 dan ke-38 spesies S. exigua
Citra ke-4, ke-6, ke-42, ke-43 dan ke-45 spesies S. exigua
Salah klasifikasi citra ulat
Form Masukan Citra
Form hasil identifikasi masukan citra

44
44
46
56
57

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Korelasi Fitur Terbaik Teknik Haralick
2 Citra Spesies Crocidolomia pavonana
3 Citra Spesies Spodoptera exigua
4 Citra Spesies Spodoptera litura

62
64
67
70

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sayuran merupakan sumber makanan yang mengandung vitamin dan serat
yang baik untuk tubuh. Berbagai jenis sayuran tumbuh di Indonesia, di antaranya
adalah kubis, daun bawang, kacang-kacangan, kangkung, kentang, kedelai, dan
jenis lainnya. Namun, dalam proses budidayanya, tanaman sayuran selalu
mengalami gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dapat
menimbulkan penurunan hasil panen baik kualitas maupun kuantitas.
Petani sayuran di dataran tinggi umumnya mengusahakan berbagai jenis
sayuran, seperti kubis dan bawang daun. Salah satu hama utama tanaman kubis
adalah ulat Crocidolomia pavonana, sedangkan hama utama bawang daun adalah
Spodoptera exigua (Kalshoven 1981). Ulat Spodoptera litura, yang bersifat
generalis, kadangkala dijumpai juga menyerang kedua jenis sayuran tadi. Bagi
petani maupun petugas pertanian yang belum berpengalaman, ketiga jenis ulat ini
tidak mudah untuk dibedakan. Padahal dalam konsepsi pengelolaan hama
terpadu (PHT), seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman, indentifikasi yang benar diperlukan agar
pengendalian yang dilakukan dapat berhasil dengan baik. Apabila terjadi
kesalahan identifikasi maka dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar,
terutama dari segi waktu dan biaya. Kondisi seperti ini membutuhkan suatu sistem
yang secara otomatis dapat mengidentifikasi spesies hama yang menyerang
tanaman. Hama yang diidentifikasi adalah spesies ulat Crocidolomia vaponana,
Spodoptera exigua, dan Spodoptera litura. Teknologi computer vision dapat
digunakan untuk mengenali spesies hama ulat menggunakan citra digital. Sistem
ini diharapkan mampu mengidentifikasi hama sehingga dapat membantu petani
maupun petugas pertanian yang belum berpengalaman dalam melakukan
pengamatan hama di pertanaman
Computer vision telah banyak diterapkan untuk membangun sistem
identifikasi serangga. Arbuckle et al. (2001) berhasil membangun sistem ABIS
(Automated Bee Identification System) yang dapat mengidentifikasi lebah dengan
mengekstraksi bagian sayap. O’Neill et al. (2000) membangun DAISY (Digital
Automated Identification SYstem) yang dapat mengidentifikasi beberapa spesies
hewan arthropoda seperti nyamuk, parasitoid Ophioninae, parasitoid Enicospilus,
dan ngengat Xylophanes (Sphingidae). Larious et al. (2007) membangun sistem
PCBR (principal curvature-based region) yang dapat mengidentifikasi larva
stonefly. Teknologi computer vision juga dapat diterapkan untuk mengidentifikasi
hama ulat. Ulat memiliki tekstur tubuh yang sangat unik dan berbeda setiap
spesies sehingga dapat digunakan metode analisis tekstur. Metode ini sudah
banyak diterapkan untuk mengekstrak dan menganalisis berbagai jenis tekstur.
Salah satu teknik analisis yang banyak digunakan adalah gray-level co-occurrence
matrix (GLCM). Eleyan dan Hasan (2011) menggunakan teknik ini untuk
mengekstraksi tekstur yang terdapat pada wajah. Proses ekstraksi fitur dilakukan
dengan membandingkan teknik GLCM dan teknik GLCM dengan fitur Haralick.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa teknik GLCM dapat menganalisis tekstur
wajah dengan baik. Teknik analisis lain berhasil diterapkan oleh Lin et al. (2010).

2

Teknik tersebut adalah fitur Tamura. Teknik ini digunakan untuk membagi tekstur
yang terdapat pada citra pemandangan alam. Lin et al. juga menggunakan
algoritme K-means Clustering untuk proses segmentasi citra. Hasil penelitian
menunjukkan metode tersebut mampu membagi wilayah objek secara akurat
dalam citra dengan kondisi kontras yang rendah. Teknik GLCM, fitur Haralick,
dan fitur Tamura diujicoba pada citra ulat C. pavonana, S. exigua, dan S. litura,
namun menghasilkan akurasi yang rendah. Oleh sebab itu, kami menggabungkan
teknik GLCM, fitur Haralick, fitur Tamura, dan fitur entropi untuk
mengidentifikasi spesies ulat tersebut. Mohammadi et al. (2012) berhasil
mengkombinasikan beberapa teknik analisis tekstur pada citra medical x-ray.
Teknik baru juga diusulkan dalam penelitian ini yang disebut dengan novel shapetexture feature (NSTF). Penggabungan dilakukan pada teknik NSTF, GLCM,
moment invariant, region properties, fitur Tamura, entrophy, reformed wavelet
feature, dan LBP. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah SVM. Hasil terbaik
diperoleh dengan kombinasi fitur NSTF, GLCM, LBP, Moment Invariants dan
SVM dengan persentase mencapai 94.2%.
Penelitian ini menggabungkan berbagai teknik analisis tekstur untuk
mengidentifikasi spesies ulat. Spesies ulat yang diidentifikasi adalah
Crocidolomia pavonana, Spodoptera exigua dan Spodoptera litura. Teknik
analisis yang digunakan antara lain GLCM, fitur Haralick, fitur Tamura dan
entropi.

Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana cara
menggabungkan teknik GLCM, fitur Haralick, teknik entropi, dan fitur Tamura
untuk mengidentifikasi spesies ulat Crocidolomia pavonana, Spodoptera exigua
dan Spodoptera litura.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sistem identifikasi ulat
Crocidolomia pavonana, Spodoptera exigua dan Spodoptera litura dengan
menggabungkan teknik GLCM, fitur Haralick, teknik entropi, dan fitur Tamura.

Manfaat Penelitian
Petani dan juga petugas pertanian yang belum berpengalaman seperti tenaga
harian lepas (THL) umumnya mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi
berbagai jenis hama. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mereka
dalam mengidentifikasi ulat Crocidolomia pavonana, Spodoptera exigua, dan
Spodoptera litura sehingga pengendalian yang dilakukan dapat lebih tepat
sasaran.

3

Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Hama yang didentifikasi terbatas pada ulat Crocidolomia pavonana,
Spodoptera exigua, dan Spodoptera litura.
2. Identifikasi setiap hama didasarkan pada fase larva instar lanjut.
3. Citra yang digunakan difokuskan pada bagian toraks dan abdomen.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Ulat
Ulat merupakan kelompok serangga pada fase larva yang dapat merusak
tanaman sayuran seperti kangkung, kubis, kol, brokoli, dan banyak jenis sayuran
lainnya. Beberapa spesies ulat yang dapat menimbulkan kerusakan berat adalah
Crocidolomia pavonana, Spodoptera exigua dan Spodoptera litura. Spesies ulat
ini biasanya memakan daun sehingga dapat menurunkan hasil produksi, baik
secara langsung maupun tidak langsung (Wallingford 2012).
Crocidolomia pavonana
C. pavonana adalah larva yang menyerang tanaman kubis (Gambar 1 (a)).
C. pavonana merupakan famili Pyralidae. Telur C. pavonana diletakkan secara
berkelompok yang disusun seperti atap rumah secara tumpang tindih dan menetas
dalam 4-5 hari (Shepard 1999). Larva yang baru menetas memiliki kepala
berwarna hitam dan tubuh berwarna hijau terang dengan bintik-bintik gelap.
Larva pada fase instar lanjut ditandai dengan 3 garis berwarna putih yang
memanjang pada bagian punggung dan satu garis putih yang memanjang pada
setiap sisi tubuh. Larva ini memiliki panjang tubuh 15-22 mm. Larva memakan
daun kubis secara berkelompok dan mengalami 5 kali instar selama 11-17 hari.
Instar adalah fase hidup larva saat mengalami pertumbuhan dan berganti kulit.
Instar pertama berumur 2-4 hari, instar kedua berumur 1-3 hari, instar ketiga
berumur 1-3 hari, instar keempat berumur 1-5 hari, dan instar kelima berumur 3-7
hari. Setelah instar kelima, larva berubah menjadi kepompong selama 9-13 hari.
Larva memakan daun muda dan menyerang titik tumbuh tanaman kubis
(Sastrosiswojo dan Wiwin 1992).
Spodoptera exigua
S. exigua adalah larva yang menyerang tanaman daun bawang (Gambar 1
(b)). S. exigua atau ulat grayak bawang merupakan famili Noctuidae. Larva ini
menyebabkan masalah yang serius dalam produksi daun bawang di Indonesia.
Serangan berat dapat mengurangi hasil produksi secara signifikan bahkan dapat
menyebabkan kerusakan secara total (Shepard 1999). Larva berbentuk bulat
panjang dengan ukuran instar akhir antara 2.5-3.0 cm, memiliki variasi warna
yang sangat banyak (polymorfisme) dari berwarna hijau sampai coklat tua, dengan
ciri khas berupa garis-garis putih memanjang (longitudinal stripes) (Samsudin
2011). Larva mengalami 5 kali instar dalam waktu 9-14 hari (Shepard 1999).
Instar pertama dan kedua biasanya makan secara berkelompok (gregariously)
pada bagian dalam daun muda dengan membentuk gejala khas berupa membran
putih transparan (Samsudin 2011).
Spodoptera litura
Spodoptera litura (Gambar 1 (c)) atau ulat grayak merupakan famili dari
Noctuidae. Larva S. litura menyerang beberapa tanaman termasuk tanaman
kentang, kangkung, kedelai, kacang-kacangan, bawang merah, dan beberapa jenis
tanaman lain. Larva memiliki warna yang cenderung gelap (Shepard 1999). Larva

5

ini juga mempunyai ci
ciri khas yaitu pada ruas perut keempat dann kesepuluh
terdapat bentuk bulan sa
sabit berwarna hitam, dibatasi garis kuning pada
da punggung
dan bagian samping tubuhnya
tub
(Pracaya 2007). Larva ini memakan daun
da secara
berkelompok dan hanya
ya menyisakan tulang daun. Larva mengalami 6 kali instar
dalam waktu 15-21 hari (Shepard 1999).

(a) Crocidolomia pavona
nana

(b) Spodoptera exigua

(c) Spodopte
ptera litura

Gam
ambar 1 Spesies ulat yang diidentifikasi

Image Enhancement
Menurut Gonzale
ales dan Richard (2002), prinsip enhanceme
ment adalah
memroses sebuah citraa ssehingga menghasilkan citra yang lebih baik dar
ari citra asli.
Perbandingan kinerja al
algoritme enhancement sulit dilakukan karena
na tidak ada
standar pasti dari evalu
aluasi visual kualitas citra. Salah satu pendeka
katan teknik
enhancement adalah teknik
tek
spasial domain. Spasial domain adalah teknik
te
yang
memanipulasi piksel citra.
citr Manipulasi piksel dilakukan menggunakan
n Persamaan
1.
( , )=

( , )

(1)

( , ) adalah citra masukan,
( , ) adalah citra yang diproses, dan
mas
an T adalah
operator untuk f ( , )). Prinsip pendekatannya adalah menggunakan ar
area persegi
yang berpusat pada ( , ) yang disebut subimage (Gambar 2). Pusat
sat subimage
dipindahkan dari piksel
sel satu ke piksel lain yang dimulai dari sudut
ut kiri atas.
(
)
Operator T digunakan
n pada setiap lokasi ,
untuk mendapatkan
n output, g,
dilokasi tersebut.
Sudut kiri
atas

Citra

Gambar 2 Perse
rsegi berukuran 3 × 3 dengan pusat ( , ) pada ci
citra

6

Bentuk sederhana adalah saat area persegi berukuran 1 × 1 piksel (piksel
tunggal). Pada kasus ini, hanya bergantung pada nilai di titik ( , ) sehingga
disebut sebagai fungsi transformasi gray level. Bentuk transformasi gray level
seperti Persamaan 2.
= ( )

(2)

r dan s adalah variabel yang menunjukkan gray level ( , ) dan ( , ) pada
titik ( , ). T adalah transformasi yang memetakan nilai piksel r pada nilai piksel
s (Gonzales dan Richard 2002).

Ekstraksi Fitur (Feature Extraction)
Ekstraksi fitur adalah proses pemetaan fitur asli menjadi fitur berukuran
kecil yang hanya berisi informasi utama dari data. Pemrosesan data masukan yang
terlalu besar diduga akan berlebihan karena banyak data tetapi tidak banyak
informasi. Oleh karena itu data masukan diubah menjadi satu set fitur yang
disebut sebagai vektor fitur. Transformasi data masukan menjadi satu set fitur
disebut ekstraksi fitur (Sharma et al.. 2011). Tujuan ekstraksi fitur adalah
mengurangi kompleksitas komputasi dan ruang dimensi. Ekstraksi fitur paling
penting dalam sistem pengenalan citra karena fitur yang disediakan berpengaruh
terhadap akurasi klasifikasi (Patil et al. 2012). Salah satu fitur yang dapat
dianalisis adalah fitur tekstur. Ekstraksi yang memroses fitur tekstur disebut
ekstraksi tekstur.
Tekstur adalah pola atau corak yang terdapat pada permukaan objek.
Tekstur menyediakan informasi tentang susunan struktural dari permukaan atau
menggambarkan susunan fisik permukaan (Patil et al.. 2012). Tekstur dikaitkan
dengan distribusi spasial gray tones (Haralick et al.. 1973). Proses umum yang
dilakukan adalah mengukur karakteristik tekstur, mengklasifikasikannya dan
membagi citra berdasarkan komponen teksturnya (Nixon dan Alberto 2002).
Gray-Level Co-Occurrence Matrix
Gray level co-occurrence matrix (GLCM) atau gray level dependency
matrix pertama kali diperkenalkan oleh Haralick untuk mengekstrak fitur tekstur
(Sulochana dan Vidhya 2013). GLCM merupakan teknik ekstraksi tekstur dengan
mempertimbangkan hubungan spasial dua piksel yang berdekatan atau
berpasangan pada jarak dan arah tertentu (∆ , ∆ ) (Haralick et al. 1973). Teknik
ini menghitung frekuensi jumlah piksel bernilai yang bersebelahan dengan piksel
bernilai (Suresh dan Shunmuganathan 2012). GLCM dihitung menggunakan
vektor perpindahan , didefinisikan oleh jarak dan orientasi/arah . Nilai
mulai dari 1, 2 sampai 10 dan setiap piksel memiliki delapan piksel tetangga yang
memungkinkan delapan pilihan untuk , yaitu 0° dan 180° (arah horizontal), 45°
dan 225° (arah diagonal kanan), 90° dan 270° (arah vertikal), 135° dan 315° (arah
diagonal kiri) (Sulochana dan Vidhya 2013).
GLCM membentuk sebuah matriks, disebut matriks co-occurrence,
berbentuk persegi dengan dimensi Ng, Ng adalah jumlah gray level dalam citra.
Elemen [i,j] diperoleh dengan menghitung frekuensi piksel bernilai i yang

7

berdekatan dengan piksel bernilai j. Matriks co-occurrence dinormalisasi dengan
membagi setiap elemen dengan jumlah seluruh elemen matriks. Elemen [i,j] yang
telah dinormalisasi merupakan nilai probabilitas kemunculan pasangan piksel
gray level bernilai i dan bernilai j dalam citra.
Misalkan ada sebuah citra grayscale berukuran
untuk sumbu horizontal
(kolom) dan
untuk sumbu vertikal (baris). Gray level muncul pada setiap
piksel terkuantisasi untuk
.
= 1, 2, … , " merupakan domain horizontal,
= #1, 2, … , $ merupakan domain vertikal, dan % = #1, 2, … , $ adalah
kuantisasi gray level.
×
adalah himpunan piksel citra berdasarkan baris dan
kolom. Citra & dapat direpresentasikan sebagai sebuah fungsi yang memiliki nilai
keabuan dalam % untuk setiap pasangan
×
sehingga & adalah
×
→%
(Haralick et al. 1973).
Fitur Haralick
Matriks co-occurrence mampu menangkap ciri tekstur tetapi tidak dapat
digunakan sebagai alat analisis seperti membandingkan dua tekstur citra. Haralick
et al. (1973) menggunakan teknik statistik yang dapat menghitung nilai tekstur
dari matriks co-occurrence. Teknik ini yang digunakan untuk membandingkan
tekstur antar citra. Haralick et al. memperkenalkan 14 cara menghitung nilai
tekstur antara lain Angular Second Moment (Persamaan 3), Correlation
(Persamaan 4), Contrast (Persamaan 5), Entropy (Persamaan 6), Homogeneity
(Persamaan 7), Variance (Persamaan 8), Sum Average (Persamaan 9), Sum
Entropy (Persamaan 10), Sum Variance (Persamaan 11), Difference Entropy
(Persamaan 12), Difference Variance (Persamaan 13), Information Measure of
Correlation1 (Persamaan 14), Information Measure of Correlation2 (Persamaan
15), Maximal Correlation Coefficient (Persamaan 16) (Haralick et al. 1973).
Fitur-fitur tersebut dikenal dengan istilah fitur Haralick.
1. Angular Second Moment
(

= )- ), *( , )"+

(3)

2. Correlation
+

=

)4 )3(-,).(-,,)/0102
51 52

(4)

3. Contrast
6

8

8

8

9:; +
9
9
),=(
= )
7 ?)-=(
*( , ) @

(5)

4. Entropy
A

= − )- ), *( , ) log *( , )

(6)

8

5. Homogeneity
.(-,,)

= )- ), (GH-/,H

(7)

= )- ),( − J)+ *( , )

(8)

F

6. Variance
I

7. Sum Average
K

+8

= )-=+9 *

G

()

(9)

8. Sum Entropy
L

+89

= )-=+ *

G

( ) log#*

G

( )$

(10)

9. Sum Variance
M

+89

= )-=+ ( −

L)

+

*

G

()

(11)

10. Difference Entropy
*

/

8

8

9
9
( ) = )-=(
),=(
*( , ),

(>

8

9:;
= − )-=(
*

= 0, 1, 2, … ,
/

( ) log#*

/

−1

( )$

(12)

11. Difference Variance
((

8

9:;
( −
= )-=>

+
(> ) * /

()

(13)

12. Information Measure of Correlation1
(+

O /QRS(

P
= TUV
QR,QS"

(14)

WXY1 = − )- ), *( , ) log#* ( )* ( )$
dimana WX dan WY adalah entropi dari * dan * .
13. Informaiton Measure of Correlation2
(6

= (1 − Z * −2.0(WXY2 −

A)

)( \ +

WXY2 = − )- ), * ( )* ( ) log#* ( )* ( )$

(15)

9

14. Maximal Correlation Coefficient
(A

= (7 ]^ Z Z7 _Z `Z ^

a ( , ) = )b

.(-,b).(,,b)
.1 (-).2 (,)

Z−2 ^

a )(\+

(16)

= 1, 2, 3, … ,

dengan:
*( , ) merupakan entry ke-( , ) dalam matriks co-occurrence ternormalisasi
* ( ) dan * ( ) adalah entry ke-i dalam matrik marginal probabilities dengan
menambahkan baris (sumbu x) dan kolom (sumbu y)
adalah jumlah gray level citra

Fitur Tamura
Fitur Tamura adalah teknik yang bekerja pada domain spasial. Fitur ini
menggunakan teknik pendekatan yang menghitung nilai tekstur berdasarkan
persepsi panca indra seperti mata dan sentuhan manusia (Howart dan Stefan 2004;
Tamura 1978). Fitur ini terbagi dalam 6 fitur yaitu coarseness (kekasaran),
contrast (kontras), directionality (direksional), linelikeness (kesesuaian),
regularity (keteraturan), dan roughness (kekesatan). Tamura (1978) melakukan
pengujian terhadap 6 fitur tersebut. Salah satu fitur terbaik dari hasil percobaan
adalah fitur coarseness.
Coarseness merupakan fitur yang paling mendasar dalam analisis tekstur.
Fitur ini mengidentifikasi dan mengukur tingkat kekasaran yang dimiliki oleh
suatu citra (Tamura 1978). Majtner dan David (2012) menyebutkan bahwa
coarseness didesain untuk mengukur perbedaan antara tekstur kasar dan tekstur
halus sehingga diperoleh informasi tentang ukuran dari elemen tekstur tersebut.
Tekstur halus memiliki nilai yang lebih kecil daripada tekstur kasar.
Tamura (1978) melakukan perhitungan coarseness yang dimulai dari
pemilihan blok piksel ( , ) dengan syarat antara blok piksel satu dengan blok
piksel tetangganya tidak mengalami overlapping. Pemilihan blok menggunakan
ukuran 2b × 2b seperti 1 × 1, 2 × 2, … , 32 × 32.
Selanjutnya, menghitung nilai rata-rata piksel cb ( , ) dari blok tersebut
menggunakan Persamaan 17.
cb ( , ) =

(

+de

e:;

e:;

G+
/(
G+
/(
(, )
)-=/+
e:; ),=/+e:;

(17)

dimana
adalah indikasi tingkat kekasaran setiap piksel ( = 0, 2, … , 5) dan
( , ) adalah nilai gray level pada ( , ).
Untuk setiap piksel, hitung selisih nilai rata-rata antara blok piksel satu
dengan blok piksel tetangganya (dalam arah horizontal dan vertikal). Perhitungan
arah horizontal menggunakan Persamaan 18 dan arah vertikal menggunakan
Persamaan 19.
fb,g ( , ) = Hcb ( + 2b/( , ) − cb ( − 2b/( , )H

(18)

10

fb,i ( , ) = Hcb ( , + 2b/( ) − cb ( , − 2b/( )H

(19)

Langkah selanjutnya adalah memilih ukuran blok piksel yang memiliki nilai
keluaran tertinggi dengan Persamaan 20.
jklmn ( , ) = 2b

(20)

dimana k akan memaksimalkan nilai E dalam Persamaan 21.
fb = Epq (E( , E+ , … , Er )

(21)

Langkah terakhir adalah mengambil nilai rata-rata dari jklmn untuk
mengukur nilai coarseness yang dilambangkan dengan stuqvml ( , ) seperti
Persamaan 22 berikut:
stuqvml =

(

p×<

<
)p
- ), jklmn ( , )

(22)

Shannon Entropy
Entropi merupakan teknik yang mengukur ketidakpastian data dalam
distribusi diskrit (Duda et al. 2000). Shannon (1948) melambangkan entropy H
dari sebuah variabel acak diskrit X yang didefinisikan dalam Persamaan 23.
W(X) = − )

∈R *(

) log + *( )

(23)

Kuantitas H memainkan peranan utama dalam teori informasi sebagai ukuran
informasi, pilihan, dan ketidakpastian. *( ) adalah fungsi peluang , dengan
merupakan anggota bilangan acak X. Entropi tergantung pada intensitas gray
level.

K-Fold Cross Validation
Menurut Duda et al. (2000), cross validation merupakan teknik yang
membagi data menjadi dua bagian. Satu bagian digunakan sebagai kelompok
pelatihan data untuk membuat parameter model dalam classifier. Bagian lain
merupakan data validasi yang digunakan untuk memperkirakan error. Cross
validation adalah metode heuristic yang dapat diterapkan pada semua teknik
klasifikasi. Teknik ini merupakan pendekatan empiris yang menguji classifier
dengan percobaan tertentu.
Anguita et al. (2009) menjelaskan tentang K-fold cross validation yang
merupakan teknik resampling yang membagi data menjadi k subdata. Setiap
subdata berjumlah ] \ dengan l adalah jumlah seluruh data, − 1 subdata
digunakan sebagai data latih dan subdata lainnya digunakan sebagai validation set
(data uji). Perkiraan akurasi cross validation merupakan jumlah seluruh hasil
klasifikasi yang benar dibagi dengan jumlah seluruh data.

11

Confusion Matrix
Confusion matrix merupakan teknik yang digunakan untuk menghitung
akurasi pada metode klasifikasi tradisional (Lewis dan Brown 2001). Han et al.
(2012) juga menjelaskan confusion matrix sebagai teknik yang berfungsi untuk
menganalisis bagaimana classifier dapat mengenali atribut kelas yang berbeda.
Ada empat istilah yang digunakan dalam confusion matrix yaitu:
True positive (TP) : jumlah data positif yang benar diklasifikasi oleh
classifier.
True negative (TN) : jumlah data negatif yang benar diklasifikasi oleh
classifier.
False positive (FP) : jumlah data negatif yang salah diklasifikasi sebagai data
positif.
False negative (FN) : jumlah data positif yang salah diklasifikasi sebagai data
negatif.
TP dan TN digunakan ketika classifier mendapatkan klasifikasi yang benar.
FP dan FN digunakan ketika classifier salah melakukan klasifikasi. Tabel
confusion matrix ditunjukkan pada Tabel 1.

Actual
class

Tabel 1 Confusion matrix
Predicted class
Benar
Salah
Benar
TP
FN
Salah
FP
TN
Total
x′


Total
x
x+

Apabila terdapat m kelas (z ≥ 2), confusion matrix merupakan sebuah
tabel berukuran z × z. Baris pertama dengan kolom pertama mengindikasikan
jumlah atribut dari kelas i yang diklasifikasi oleh classifier sebagai kelas i. Baris
pertama dengan kolom kedua mengindikasikan jumlah atribut dari kelas i yang
diklasifikasi oleh classifier sebagai kelas j. Baris kedua kolom pertama
mengindikasikan jumlah atribut dari kelas j yang diklasifikasi oleh classifier
sebagai kelas i. Baris kedua kolom kedua mengindikasikan jumlah atribut dari
kelas j yang diklasifikasi oleh classifier sebagai kelas j. Classifier dengan nilai
akurasi yang baik memiliki atribut terbanyak yang ditunjukkan melalui kolom
diagonal dari tabel confusion matrix dan kolom lain bernilai nol atau mendekati
nilai nol. Akurasi dari sebuah classifier adalah persentase pengujian atribut yang
benar diklasifikasi oleh classifier. Perhitungan klasifikasi dapat dilihat dari
Persamaan 24.
^ | ^

=

}~G}8
~G8

× 100%

(24)

Klasifikasi
Klasifikasi adalah prosedur untuk mengelompokkan pola masukan ke dalam
kelas yang serupa. Pemilihan classifier yang sesuai memerlukan pertimbangan

12

banyak faktor, yaitu akurasi klasifikasi, kinerja algoritme dan komputasi (Quratul-ain et al.. 2010).
Probabilistic Neural Network
Probabilistic neural network (PNN) diusulkan oleh Donald Specht pada
tahun 1990 sebagai alternatif dari back-propagation neural network. PNN
memiliki beberapa kelebihan, yaitu proses pelatihan hanya memerlukan satu kali
iterasi dan solusi diperoleh menggunakan pendekatan Bayesian. Keuntungan
utama menggunakan PNN adalah pelatihannya yang mudah dan cepat. Bobot
bukan merupakan hasil pelatihan melainkan nilai yang akan menjadi masukan.
Bobot yang ada tidak pernah berganti-ganti, hanya vektor baru yang dimasukan ke
dalam matriks bobot saat proses pelatihan (Herdiyeni dan Wahyuni 2012; Wu et
al.. 2007).
Struktur PNN, terlihat pada Gambar 3, memiliki 4 lapisan penyusun yaitu
lapisan masukan, lapisan pola, lapisan penjumlahan, dan lapisan keputusan.

Gambar 3 Struktur PNN

Lapisan penyusun PNN dijelaskan sebagai berikut
1. Lapisan masukan (input layer)
Lapisan masukan merupakan masukan x yang terdiri atas k nilai ciri yang akan
diklasifikasikan pada salah satu kelas dari n kelas.
2. Lapisan pola (pattern layer)
Pada lapisan pola dilakukan perkalian titik (dot product) antara masukan x dan
vektor bobot xA, yaitu ZA = x xAi , ZA kemudian dibagi dengan bias (σ) tertentu
dan selanjutnya dimasukkan ke dalam fungsi Parzen, yaitu g(x) = exp(-x).
Dengan demikian, persamaan yang digunakan pada lapisan pola adalah
Persamaan 25 berikut:

13

( ) = exp ƒ−

( / „4 )…( / „4 )

+5 d

(25)

dengan xAi menyatakan vektor latih kelas ke-A urutan ke-i.
3. Lapisan penjumlahan (summation layer)
Pada lapisan penjumlahan, setiap pola pada masing-masing kelas dijumlahkan
sehingga menghasilkan probability density function untuk setiap kelas.
Persamaan 26 digunakan pada lapisan ini.
*(‡ˆ )*( H‡ˆ ) =

(

Š
(+‰) d 5 Š8„


)8
-=( Z * ƒ−

( / „4 )…( / „4)

+5 d

(26)

dengan
*(‡ˆ ) = peluang kelas c
*( H‡ˆ ) = peluang bersyarat x jika masuk ke dalam kelas c
= vektor latih kelas c urutan ke-i
ˆ= dimensi vektor masukan
= jumlah pola pelatihan kelas c
ˆ

= bias
4. Lapisan keputusan (output layer)
Pada lapisan keputusan, masukan x akan diklasifikasikan ke kelas A jika nilai
pA(x) paling besar dibandingkan kelas lainnya.

3 METODE
ME
PENELITIAN
Penelitian ini membangu
gun sistem identifikasi spesies ulat dengan alur skema
sk
seperti Gambar 4. Pada da
daerah yang diperkirakan terdapat serangan
n ulat,
dilakukan akuisisi citra den
engan mengambil citra ulat menggunakan kamera
kame
handphone. Citra tersebut dipr
iproses untuk mendapatkan bagian tubuh ulatnya
ya saja.
Citra hasil akuisisi dikirim
m ke server. Server akan mengidentifikasi spesies
spe
ulatnya. Keluaran dari server adalah
informasi spesies ulat dari citra masukan
a
an.

Daerah Serangan
Hama

Akuisisi Gambar

Informasi sp
spesies
ulat

Hasil akuisisi

Sistem identifikasi
spesies ulat

Gambar 4 Skema pengembangan sistem

Proses identifikasi spes
esies ulat terdiri dari 4 tahap yaitu preprocess
essing,
ekstraksi tekstur, klasifikasii ddan evaluasi. Teknik preprocessing yang diguna
unakan
adalah tranformasi grayscale
le. Hasil dari proses transformasi menjadi masukan
masu
untuk proses ekstraksi tekstur
tur. Teknik ekstraksi tekstur yang digunakan adalah
ad
teknik GLCM, fitur Haralick
lick, fitur Tamura, dan entropi. Keluaran ekstr
straksi
tekstur akan diklasifikasikan menggunakan
me
klasifikasi PNN dan dievaluasi dengan
den
menghitung nilai akurasinya. Tahapan
T
tersebut diperlihatkan pada Gambar 5.

15

Citra Ulat
RGB

Preprocessing
Ekstraksi Fitur

GLCM

Fitur Tamura

entropi

Fitur Haralick
Penggabungan
teknik

Klasifikasi

Evaluasi

Gambar 5 Metodologi penelitian

Data Citra Ulat
Penelitian ini mengidentifikasi spesies ulat C. Pavonana (Gambar 6 (a)), S.
exigua (Gambar 6 (b)), dan S. litura (Gambar 6 (c)) dengan mengambil citra
digital masing-masing spesies. Pengambilan data dilakukan pada tiga tempat yang
berbeda. Citra spesies ulat C. pavonana dan S. exigua diambil dari ladang kubis
dan daun bawang yang berlokasi di daerah Cipanas, Jawa Barat. Citra spesies ulat
S. litura diambil dari laboratorium Bionomi dan Ekologi Serangga IPB. Ukuran
data yang digunakan adalah 128 x 512 pixel. Jumlah data yang digunakan adalah
135 citra yang terdiri dari 45 citra dari setiap spesies. Data diproses untuk
mendapatkan ciri dari masing-masing spesies.

16

(a)

(b)

(c)

Gambar 6 Contoh data citra (a) C. pavonana, (b) S. exigua, (c) S. litura

Preprocessing
Preprocessing merupakan tahap awal dari proses identifikasi spesies ulat.
Citra RGB yang diperoleh dari kamera handphone dilakukan preprocessing
terlebih dahulu. Tahapan preprocessing yang dilakukan adalah memotong
(cropping) citra asli untuk mendapatkan bagian toraks dan abdomen. Proses
selanjutnya adalah mengganti background citra menjadi putih dan merubah
ukuran citra menjadi 128 × 512. Proses tersebut dilakukan secara manual
menggunakan software Adobe Photoshop CS2. Selanjutnya, citra RGB
ditransformasi menjadi citra grayscale. Proses ini dilakukan oleh sistem. Citra
grayscale digunakan sebagai masukan untuk proses ekstraksi fitur.

Ekstraksi Tekstur
Informasi yang akan diekstraksi adalah tekstur dari tubuh ulat. Teknik
analisis tekstur yang digunakan adalah GLCM, fitur Haralick, fitur Tamura, dan
entropi.

17

Metode GLCM me
merupakan metode statistik yang menghitungg hubungan
spasial antara dua pikse
ksel yang berdekatan pada jarak dan arah tertent
entu. GLCM
terbagi dalam tiga tahapa
apan, yaitu:
1. Citra grayscale (G
Gambar 7 (a)) dipindai untuk mendapatkan nilai
ni
derajat
keabuannya (Gamba
bar 7 (b)).
0

3

4

2

2

1

3

4

0

3

2

1

2

1

0

3

b

a

Gambar 7 Contoh pemi
mindaian (a) citra grayscale, (b) kuantisasi deraja
ajat keabuan

2. Bentuk matriks co-occurrence.
co
Matriks ini dibentuk berdasa
sarkan arah
horizontal, vertikal,
al, diagonal kanan, dan diagonal kiri. Jarak yang
g digunakan
adalah 1 piksel. Seti
etiap arah diwakili oleh 1 matriks co-occurrence.. Gambar 8
merupakan contoh
oh perhitungan arah horizontal dengan jarak
k 1 piksel.
Misalkan menghitu
itung jumlah piksel bernilai 0 yang berpasanga
ngan dengan
piksel bernilai 3. Pa
Pasangan piksel 0 dan 3 terjadi sebanyak 3 kali,
kal ditandai
oleh lingkaran mera
erah pada gambar 8 (a). Hasil penjumlahan disimp
impan dalam
matriks co-occurren
rence, yang ditandai dengan lingkaran merah pada
da gambar 8
(b).
0

3

4

2

2

1

3

4

0

3

2

1

2

1

0

3

a

b

Gambar 8 Contoh
toh perhitungan matriks co-occurrence arah horizo
izontal
(a) kua
uantisasi derajat keabuan citra, (b) matriks co-occ
ccurrence
jarak 1 piksel dan arah 0o

3. Setiap matriks co-occurrence
co
dinormalisasi untuk mendapat
patkan nilai
probabilitas hubunga
ngan ketetanggaan antara dua piksel.
Matriks co-occurr
urrence tidak dapat digunakan secara langsu
gsung untuk
menganalisis tekstur citr
citra. Matriks ini akan diproses menggunakan fitu
itur Haralick
untuk mendapatkan nil
nilai teksturnya. Percobaan dilakukan pada sel
seluruh fitur
Haralick. Setiap fitur di
dihitung korelasinya dengan fitur lain. Hasil perhitungan
pe

18

korelasi menunjukan nilai terbaik diperoleh dari fitur entropy (Persamaan 6),
homogeneity (Persamaan 7), information measure of correlation1 (Persamaan 14),
information measure of correlation2 (Persamaan 15). Hasil perhitungan korelasi
fitur terbaik dapat dilihat pada lampiran 1. Entropy merupakan fitur yang
mengukur informasi ketidakpastian gray level. Homogeneity merupakan fitur
yang mengukur nilai kemiripan antara nilai-nilai keabuan dari piksel citra (Suresh
dan Shunmuganathan 2012). Information measure of correlation merupakan fitur
yang mengukur hubungan antara entropi baris, entropi kolom dan entropi dari
matriks co-occurrence.
Fitur selanjutnya yang digunakan adalah fitur Tamura dengan menghitung
tingkat kekasaran (coarseness) tekstur citra. Masukan fitur ini adalah citra
grayscale. Indikasi tingkat kekasaran citra yang digunakan adalah 0, 1, 2 dan 3.
Perhitungan coarseness terdiri dari lima tahap yaitu:
1. Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat blok (windowing) piksel
( , ) dengan ukuran 2b . Untuk = 0 maka blok yang dipilih berukuran
1 × 1. Untuk = 1 maka blok yang dipilih berukuran 2 × 2. Untuk = 2
maka blok yang dipilih berukuran 4 × 4. Untuk = 3, blok yang dipilih
berukuran 8 × 8.
2. Hitung nilai rata-rata piksel cb ( , ) pada setiap blok. Nilai rataan cb ( , )
dihitung menggunakan Persamaan 17.
3. Hitung selisih nilai rata-rata piksel cb ( , ) antara blok satu dengan blok
berikutnya pada arah horizontal Žfb,g • dengan Persamaan 18 dan pada arah
vertikal Žfb,i • dengan Persamaan 19.
4. Tentukan nilai output (jklmn ) terbesar dengan Persamaan 20.
5. Hitung nilai coarseness pada nilai (jklmn ) terbesar dengan Persamaan 22.
Nilai entropi diproses pada citra grayscale hasil preprocessing. Distribusi
nilai piksel dihitung menggunakan histogram. Histogram grayscale dinormalisasi
dan dihitung nilai entropinya menggunakan Persamaan 23. Nilai entropi yang
diperoleh akan menjadi fitur dalam proses klasifikasi.

Penggabungan Teknik
Teknik ekstraksi fitur GLCM, fitur Haralick, fitur Tamura dan entropi
diujicobakan pada data citra ulat sebanyak 135 citra dari 3 kelas. Namun, hasil
percobaan menunjukkan akurasi yang diperoleh dari masing-mesing teknik kecil.
Oleh sebab itu, kami menggabungkan keempat teknik analisis tekstur tersebut
untuk mengidentifikasi spesies ulat. Nilai hasil ekstraksi fitur Haralick
digabungkan dengan hasil ekstraksi fitur Tamura yaitu coarseness, dan hasil
ekstraksi fitur entropi (Gambar 9). Hasil penggabungan fitur ini akan diklasifikasi
menggunakan teknik PNN.

19

Haralick
Entropi
Homogeneity
GLCM +
fitur Haralick
Information of
correlation 1

Penggabungan
fitur

Information of
correlation 2
Fitur Tamura

Coarseness

Shannon Entropi
Gambar 9 Penggabungan teknik analisis fitur

Pembagian Data
Data hasil ekstraksi dibagi menjadi dua bagian yaitu data latih dan data uji
dengan proporsi masing-masing data adalah 80% dan 20%. Untuk memenuhi
proporsi data tersebut, teknik pembagian data yang digunakan adalah k-fold cross
validation dengan nilai = 5. Setiap fold memiliki dua jenis data yaitu data latih
dan data uji dengan penggunaan data yang berbeda untuk setiap fold. Data hasil
ekstraksi dibagi menjadi 5 bagian dengan proporsi 20% untuk setiap bagian
sehingga diperoleh S1, S2, S3, S4, S5. Data latih terdiri dari 4 subdata sedangkan
data uji terdiri dari 1 subdata. Skenario pembagian data terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Skenario pembagian data
Fold
Data
Subset
Fold 1
Data latih S1, S2, S3, S4
Data uji
S5
Fold 2
Data latih S1, S2, S3, S5
S4
Data uji
Fold 3
Data latih S1, S2, S4, S5
S3
Data uji
Fold 4
Data latih S1, S3, S4, S5
Data uji
S2
Fold 5
Data latih S2, S3, S4, S5
Data uji
S1

20

Klasifikasi PNN
PNN merupakan teknik klasifikasi yang melakukan pembelajaran terhadap
data untuk membentuk sebuah pola klasifikasi. Proses pembelajaran dilakukan
pada data latih dan menghasilkan model klasifikasi. Selanjutnya data uji akan
diuji pada model klasifikasi. Data uji adalah data yang tidak digunakan dalam
proses pembelajaran.
Klasifikasi dilakukan untuk mengelompokan data pada masing-masing
kelas. Kelas yang digunakan terdiri dari kelas C. pavonana (kelas 1), S. exigua
(kelas 2), dan S. litura (kelas 3). Data hasil ekstraksi setiap kelas dibagi
berdasarkan skenario pembagian data. Setiap subdata terdiri dari 9 citra. Setiap
fold terdiri dari 36 data latih dari setiap kelas sehingga jumlah seluruh data latih
adalah 108 data dan 9 data uji dari setiap kelas sehingga jumlah seluruh data uji
adalah 27 data. Setiap fold diklasifikasi menggunakan PNN untuk mendapatkan
pembagian data terbaik.

Evaluasi
Evaluasi dari kinerja model klasifikasi didasarkan pada banyaknya data uji
yang diprediksi secara benar dan salah. Perhitungan hasil klasifikasi data setiap
fold menggunakan tabel confussion matrix (Tabel 1). Setiap tabel confussion
matrix diproses untuk mendapatkan nilai akurasi. Nilai akurasi merupakan nilai
perbandingan antara jumlah data yang berhasil dikenali oleh classifier dengan
jumlah total data pengujian (Persamaan 24). Kinerja sistem identifikasi dihitung
dengan mencari rata-rata akurasi dari seluruh fold.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Preprocessing
Citra yang diguna
nakan harus fokus pada bagian abdomen dan toraks ulat
untuk mendapatkan tek
ekstur khusus tubuh ulat tersebut tanpa terpeng
ngaruh oleh
tekstur dari objek lain. O
Oleh sebab itu, dilakukan tahapan preprocessing
ing. Tahapan
preprocessing terdiri dar
dari dua tahap. Tahap awal merupakan tahap prep
reprocessing
yang dilakukan secara ma
manual dengan bantuan Adobe Photoshop CS2.. P
Pada tahap
ini, dilakukan pemotong
ngan citra asli untuk diambil bagian abdomen dan toraks
ulat serta mengganti bac
background menjadi berwarna putih. Ukuran citr
citra menjadi
128 x 512 pixel. Tahap
ap kedua merupakan tahap preprocessing yang
ng dilakukan
oleh sistem. Proses yang
ng dilakukan pada tahap ini adalah mengonversi citra RGB
hasil tahap manual menjadi
citra grayscale. Contoh hasil preprocess
men
essing untuk
setiap spesies ulat dapa
apat dilihat pada Tabel 3. Citra grayscale aka
kan menjadi
masukan dari proses ekst
kstraksi fitur.
Tab
abel 3 Contoh citra hasil preprocessing
C. pav
avonana
S. exigua

S. litura
litu

Citra Asli

Citra
Masukan

Citra
Grayscale

Ekstraksi Fitur dengan Tamura
ang digunakan adalah coarseness. Coarseness mengukur
Fitur Tamura yan
tingkat kekasaran darii citra
ci grayscale. Fitur ini menghasilkan satu nilai
ai untuk satu
citra. Hasil ekstraksi fitur
fit ini ditampilkan dalam bentuk diagram batang
ba
pada
Gambar 10. Sumbu horizontal
ho
merupakan jumlah citra pada se