Produksi dan Karakterisasi Enzim Arabinosa Isomerase dari Gen Bakteri Geobacillus stearothermophilus Lokal

(1)

ABSTRACT

YONI ATMA. Production and Characterization of an Arabinose Isomerase from Gene of Geobacillus stearothermophilus Local Strain. Under direction of MAGGY T. SUHARTONO and BUDI SAKSONO.

Arabinose isomerase (AI) is an enzyme that catalyzes isomerization of galactose to tagatose. Besides being used as a low-calorie sweeteners, tagatose has been developed as a functional food because it provides many health benefits such as promoting of weight-loss, anti-halitosis, prebiotic, treating of obesity and reducing in symptoms associated with type 2 diabetes, hyperglycemia, anemia, and hemophilia. Thermostable AIs are potential for tagatose production. AI enzymes encoded by araA gene. The araA gene Geobacillus stearothermophilus originated from Tanjung Api, Poso, Indonesia has been successfully cloned and exspressed at previously study in E. coli BL21 (DE3) pLysS. However expression level of AI still low by SDS-PAGE analysis. The E. coli BL21 was incubated in 37°C at 150 rpm. This research was conducted to optimize the araA gene expression. Result from this research showed that the medium tofu liquid waste consisting yeast extract 0.5% (TLW+YE) increased enzyme productivity. Optimation production was obtained by 16 hours induction. The purification was carried out with three steps of freeze-thaw at -70°C, heat treatment (60°C, 30 minutes) and DEAE ion exchange chromatography (elution buffer 0-1000 mM NaCl). The purified enzyme exhibited optimum activity at 60°C and pH 7. The AI activity in the presence of CaCl2 and MnCl2 was increased to 152% and 563% respectively. Heat stability of enzymes in the presence of CaCl2 and MnCl2 was increased. Half-life (t1/2) AI in the presence 1 mM of CaCl2 and MnCl2 was increased becomes 301 and 990 minutes respectively.

Keywords: arabinose isomerase, tagatose, araA gene, G. stearothermophilus, E. coli BL21 (DE3) pLysS, expression


(2)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Enzim arabinosa isomerase (AI) dapat mengkatalisis secara revesible reaksi isomerisasi D-galaktosa menjadi D-tagatosa (Lee et al 2004). Tagatosa telah digunakan sebagai pemanis rendah kalori (1,5 kkal/g) (Levin 2002). Tagatosa memiliki tingkat kemanisan 92% dibandingkan sukrosa (Lee et al 2004). Tagatosa memberikan berbagai manfaat kesehatan diantaranya seperti menurunkan berat badan, prebiotik, anti-histolisis (Oh 2007) serta mereduksi sejumlah gejala yang berhubungan dengan diabetes tipe 2, hiperglikemia, obesitas, anemia dan hemophilia (Levin 2002; Lu et al 2007). Peran tagatosa sebagai antidiabetes akan bermanfaat sebagai gula alternatif di Indonesia, mengingat Indonesia menempati peringkat ke-4 dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia (Wild et al 2004).

Produksi tagatosa dalam bentuk bulk sweeteners telah dilakukan pada skala industri secara kimiawi menggunakan katalis kalsium (Beadle et al 1991). Tahapan-tahapan dan proses purifikasi yang kompleks, limbah kimia, serta produk akhir lainnya yang dihasilkan yang bukan tagatosa (by-product) menyebabkan penggunaan katalis kimia mulai ditinggalkan. Alternatif yang saat ini banyak digunakan adalah menggunakan katalis biologis seperti enzim. Sorbitol dehidrogenase dari sejumlah mikroorganisme awalnya dipelajari untuk memproduksi D-tagatosa dari galaktitol. D-psicosa 3-epimerse dari Agrobacterium tumefaciens dan D-tagatosa 3-epimerase dari Pseudomonas cichorii ternyata diketahui dapat membentuk tagatosa dari D-sorbosa. Namun substrat galaktitol ataupun D-sorbosa yang mahal menyebabkan pengembangan enzim ini tidak efisien (Oh 2007).

Enzim yang saat ini paling banyak dicari untuk memproduksi tagatosa adalah enzim arabinosa isomerase (AI). Pembentukan tagatosa dari galaktosa ini sangat efisien karena substrat yang dibutuhkan dan tahapan produksinya. Studi produksi dan pencarian enzim AI termostabil lebih difokuskan, sebab konversi D-galaktosa menjadi D-tagatosa meningkat dengan peningkatan suhu (> 50ºC) (Kim et al 2002). Selain itu, enzim-enzim pangan yang bersifat termostabil juga


(3)

2

menjadi semakin penting dalam dunia industri. Hal ini berkaitan dengan keuntungan yang akan diperoleh bila proses produksi dilakukan pada suhu tinggi, diantaranya adalah mengurangi kontaminasi, meningkatkan kecepatan reaksi sehingga menghemat waktu, tenaga dan biaya, serta menurunkan viskositas larutan fermentasi sehingga memudahkan proses produksi. Suhu yang direkomendasikan untuk aplikasi industri produksi tagatosa menggunakan enzim AI adalah 60-65ºC, karena pada suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan terjadinya reaksi pengcoklatan (Cheng et al 2009).

Sejumlah bakteri termofilik penghasil enzim AI telah dilaporkan. Beberapa diantaranya adalah Thermotoga neapolitana (Kim et al 2002), Thermus sp. (Kim et al 2003b), Thermoanaerobacter mathranii (Jorgensen et al 2004), Thermotoga maritima (Lee et al 2004), Geobacillus stearothermophilus T6 (Lee et al 2005a), Alicyclobacillus acidocaldarius (Lee et al 2005b), Bacillus stearothermophilus US100 (Rhimi & Bejar 2006), G. thermodenitrificans (Kim & Oh 2005), dan B. stearothermophilus IAM11001 (Cheng et al 2009). Produksi enzim AI yang berasal dari bakteri-bakteri termofilik tersebut diatas dilakukan dengan menggunakan inang E. coli. Gen araA yang mengkode arabinosa isomerase (AI) dikloning melalui plasmid ke bakteri E. coli BL21. E. coli kemudian akan

Gambar 1. Ilustrasi produksi tagatosa dari laktosa menggunakan katalis kalsium (Skytte 2006)


(4)

mengekspresikan atau menghasilkan enzim AI setelah diberi senyawa penginduksi. E. coli merupakan salah satu mikroorganisme yang banyak digunakan untuk produksi protein rekombinan karena alasan-alasan berikut: 1) E. coli dapat tumbuh dengan cepat, 2) suhu dan medium pertumbuhan lebih sederhana untuk mencapai massa sel yang tinggi, 3) karakteristik genetikanya telah diketahui dengan baik, dan 4) E. coli memiliki vektor kloning yang lebih banyak (Baneyx 1999).

Diantara beberapa bakteri termofilik yang diteliti, saat ini enzim AI yang berasal dari G. stearothermophilus (Gali152) memiliki kemampuan tertinggi dalam menghasilkan tagatosa dan produktivitasnya telah mendekati kriteria produksi untuk skala komersial (Oh 2007). Kim et al (2003a) melaporkan bahwa teknik imobilisasi enzim AI dari G. stearothermophilus (Gali152) dapat menghasilkan 230 g/liter tagatosa dari 500 gram/liter galaktosa dengan produktivitas 319 g/liter per hari pada sistem batch. Sedangkan fermentasi dengan sistem kontinu menghasilkan 145 g/liter tagatosa dari 300 g/liter galaktosa dengan produktivitas 1,296 g/liter per hari (Ryu et al 2003).

Fitriani dan Saksono (2010) telah melakukan kloning dan ekspresi gen araA dari strain lokal G. stearothermophilus asal Tanjung Api, Poso, Indonesia. Analisis DNA homologi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa AI dari G. stearothermophilus lokal memiliki nilai kemiripan 98% dengan G. stearothermophilus T6, 97% dengan B. stearothermophilus US100 dan A. acidocaldarius, 96% dengan Thermus sp., 95% dengan B. stearothermophilus IAM11001, dan G. thermodentrificans. Namun analisis dengan Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) menunjukkan level ekspresi enzim AI tersebut pada media ekspresi (fermentasi) Luria Bertani (LB) masih rendah. Ekspresi gen araA ini perlu ditingkatkan sehingga jumlah enzim AI yang dihasilkan optimal.

Meskipun penggunaan E. coli sebagai inang untuk memproduksi arabinosa isomerase memiliki keunggulan, akan tetapi tidak menjamin bahwa protein rekombinan yang ditargetkan terekpresikan dalam jumlah tinggi dan aktif. Apalagi suhu optimum bakteri asal berbeda dengan inang yang akan mengekpresikan, sehingga dapat mempengaruhi pembentukan dan pelipatan


(5)

4

protein ataupun enzim. Kesalahan dalam pelipatan protein dapat menyebabkan peningkatan ekspresi protein rekombinan yang tidak larut (insoluble). Protein rekombinan yang tidak larut biasanya memiliki aktivitas yang rendah. Peningkatan ekspresi protein rekombinan pada E.coli dapat dilakukan dengan modifikasi komponen medium ekspresi dan ini merupakan teknik yang paling efisien (Blommel et al 2007). Lama waktu induksi juga mempengaruhi tingginya ekpresi protein rekombinan pada bakteri E. coli (Donovan et al 1996; Azaman et al 2010). Penelitian yang telah dilakukan Putri (2010) menunjukkan bahwa limbah cair tahu yang ditambahkan ekstrak khamir dapat digunakan sebagai medium pertumbuhan E.coli rekombinan dan ekspresi protein rekombinannya. Penggunaan limbah cari tahu sebagai medium ekspresi mempermudah tahapan pemisahan protein aktif dengan inclusion body (insoluble protein).

Selain untuk meningkatkan produksi enzim, penelitian ini juga dilakukan untuk memurnikan enzim yang telah diperoleh dan mengetahui karakteristik enzim AI dari G. stearothermophilus lokal. Karakteristik AI yang ingin diketahui mencakup suhu dan pH optimum, logam aktivator dan stabilitas panas. Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh enzim AI dari isolat lokal atau sumber daya alam Indonesia yang telah terkarakterisasi. Enzim yang dihasilkan dapat digunakan untuk memproduksi tagatosa. Karakteristik enzim AI dari strain lokal ini dapat menjadi acuan untuk dibandingkan dengan enzim AI yang telah ada. Serta apakah enzim bisa langsung diterapkan pada skala industri atau diperlukan teknik lainnya untuk meningkatkan karakteristik enzim.

B. TUJUAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk:

1. Optimasi produksi enzim AI yang berasal dari gen araA bakteri G. stearothermophilus asal Tanjung Api, Poso, Indonesia.

2. Purifikasi dan karakterisasi enzim AI yang telah dihasilkan.

C. MANFAAT

Manfaat jangka panjang yang diharapkan dari penelitian ini adalah industrialisasi enzim AI. Selain itu, juga industrialisasi D-tagatosa sehingga bisa digunakan dalam industri makanan dan obat.


(6)

TINJAUAN PUSTAKA

A. ENZIM ARABINOSA ISOMERASE

L-Arabinosa isomerase (AI) merupakan enzim intraseluler yang berdasarkan klasifikasi enzim secara internasional atas reaksi yang dikatalisisnya diberi nomor kode EC 5.3.1.4. Enzim AI dapat mengkatalisis secara revesible reaksi isomerisasi L-arabinosa menjadi L-ribulosa dan D-galaktosa menjadi D-tagatosa. Perubahan L-arabinosa menjadi L-ribulosa terjadi secara in vivo, sedangkan perubahan D-galaktosa menjadi D-tagatosa dapat terjadi secara in vitro (Lee et al 2004).

Pada awalnya enzim AI diketahui karena kemampuan beberapa mikroorganisme menggunakan L-arabinosa sebagai sumber karbon. L-arabinosa akan dirubah menjadi D-selulosa-5-posfat yang merupakan reaksi intermediet dalam jalur pentosa fosfat. Reaksi tahap pertama pada jalur tersebut adalah terjadinya perubahan arabinosa menjadi L-ribulosa oleh enzim arabinosa isomerase (AI). Kemampuan AI dalam mengkatalisis reaksi isomerisasi galaktosa menjadi tagatosa dikarenakan kemiripan struktur konfigurasi antara galaktosa dengan L-arabinosa (Yoon et al 2003). Karena dapat mengkatalisis reaksi isomerisasi pada D-galaktosa, enzim AI sering juga disebut sebagai galaktosa isomerase (Zang et al 2010).


(7)

6

Enzim AI dapat dihasilkan oleh mikroorganisme mesofilik dan termofilik. Aerobacter aerogenes, Lactobacillus plantarum, L. gayonii, L. pentosus,L. sakei, E. coli, Mycobacterium smegmatis, Salmonella typhimurium, Bacillus subtilis dan B. halodurans merupakan mikroorganisme mesofilik penghasil enzim AI yang telah diteliti. Sedangkan mikroorganisme termofilik penghasil enzim AI yang sampai saat ini telah dipelajari antara lain seperti Thermus sp. Thermoanaerobacter mathranii, Alicyclobacillus acidocaldarius, Thermotoga neapolitana, Thermotoga maritima,, Geobacillus stearothermophilus, G. thermodenitrificans dan Acidothermus cellulolytics (Zhang et al 2007; Prabhu et al 2008; Rhimi et al 2010).

Enzim AI dikodekan oleh gen araA yang terletak pada kompleks gen L-arabinosa. Gen araA terdiri dari sekitar 1494 – 1535 pasang basa (bp). Jumlah pasang basa yang dimiliki gen araA tergantung mikroorganisme asalnya. Gen araA G. stearothermophilus strain lokal memiliki 1512 pasang basa (Fitriani & Saksono 2010). B. stearothermophilus US 100, G. stearothermophilus, dan G. thermodenitrificans mengekspresikan enzim AI yang berukuran 56 kDa (Rhimi & Bejar 2006; Kim & Oh 2005). Sebagian besar AI terdiri dari 4 (tetramer) struktur sekunder yang berbentuk alfa-heliks. Kecuali AI dari E. coli yang berupa hexamer (Wallace et al 1978). Asam amino yang berada pada sisi aktif enzim AI adalah asam glutamat pada posisi 305 dan 330. Sisi aktif AI akan mengikat substrat arabinosa ataupun galaktosa untuk dikatalisis menjadi produk. Struktur AI pada saat mengikat substrat galaktosa dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini.


(8)

Enzim AI dari bakteri termofilik memiliki pH optimum 7.0-8.5, dengan pH isoelektrik sekitar 5.0-5.8 dan suhu optimum antara 60-90ºC. Sebagian besar enzim AI membutuhkan ion logam Mn2+

dan Co2+ sebagai kofaktor. Penggunaan Co2+ sebagai kofaktor untuk menghasilkan bahan pangan tidak direkomendasikan

karena bahaya kesehatan yang ditimbulkannya (Jorgensen et al 2004). Aktivitas katalisis dan stabilitas beberapa enzim AI juga ada yang meningkat dengan keberadaan ion Fe2+, Mg2+, dan Ca2+ (Oh 2007; Kim & Oh 2005). Tidak adanya ion logam sebagai kofaktor menyebabkan aktifitas enzim AI lebih rendah (Lee et al 2005a).

B. TAGATOSA

Tagatosa adalah monosakarida dengan rumus empiris C6H12O6 dan berat molekulnya (Mr) 180,6. Tagatosa termasuk hekso-ketosa alami, akan tetapi jarang terdapat di alam. Tagatosa hanya ditemukan dalam jumlah sedikit pada beberapa buah, produk susu dan cokelat. Tagatosa memiliki struktur molekul yang hampir sama dengan fruktosa dan telah dikenal sebagai komponen yang aman digunakan pada bahan pangan dan produk farmasi. Food and Drug Administration Amerika Serikat (U.S. FDA) telah menetapkan tagatosa sebagai GRAS (Generally Recognized As Safe) komponen (Levin 2002).

Suhu leleh dari tagatosa adalah 134ºC, dan stabil pada pH 2–7. Tagatosa memiliki kelarutan yang tinggi [58% (w/w) pada 21 0C]. Karakter humektan tagatosa sama dengan sorbitol. Sifat higroskopis dari tagatosa lebih rendah jika


(9)

8

dibandingkan fruktosa. Viskositas tagatosa lebih rendah dibandingkan sukrosa pada konsentrasi yang sama, akan tetapi sedikit lebih tinggi dibandingkan fruktosa dan sorbitol. Pada suhu tinggi, reaksi Maillard dan karamelisasi oleh tagatosa akan memberikan warna coklat seperti yang dihasilkan oleh sukrosa (Levin 2002).

Tabel 1. Karakteristik fisik dan kimia tagatosa (Levin 2002; Skytte 2006)

Karakteristik Penjelasan

Nama umum D-Tagatosa, Tagatosa

Sinonim D-lyxo-hexulose

Melting point 133-137ºC

Bulk density (g/ml) 0.7-0.9

Optical rotation aD20= - 5ºC (c =1 dalam H2O)

Bentuk fisik Kristal

Nilai kalori < 1,5 kcal/g

Odor, cooling effect dan Karsinogenesitas

Tidak ada

Lu et al (2007) menyatakan bahwa tagatosa digunakan sebagai produk antidiabetes dan pengendali obesitas. Tagatosa bisa meningkatkan high density lipoprotein (HDL) dan mencegah kanker kolon. Kemampuan tagatosa dalam mengendalikan gejala hiperglikemia dikarenakan tagatosa dapat menjadi inhibitor bagi enzim maltase dan sukrase. Mekanisme tagatosa sebagai inhibitor enzim maltase dan sukrase dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Salah satu mekanisme tagatosa sebagai produk antidiabetes dan hiperglikemia (Lu et al 2007)


(10)

Konsumsi tagatosa tidak menyebabkan kerusakan gigi dan efek laktasif. Tagatosa lambat diserap oleh saluran intestinal sehingga tidak berakibat pada naiknya indeks glikemik secara cepat (Lu et al 2007). Gambar 6 memperlihatkan perbandingan respon glikemik dari tagatosa dibandingkan pemanis lainnya. Menurut Skytte (2006) hanya sekitar 25% tagatosa yang diserap pada usus halus, sisanya 75% akan difermentasi dalam usus besar oleh mikroflora menjadi asam lemak rantai pendek. Tagatosa dapat meningkatkan pertumbuhan Lactobacillus dan bakteri asam laktat lainnya. Manfaat prebiotik tagatosa telah dipelajari pada manusia dan hewan (Skytte 2006).

Gambar 6. Perbandingan respon glikemik tagatosa dengan beberapa pemanis (Skytte 2006)

Konsentrasi penggunaan tagatosa pada produk pangan bervariasi. Tagatosa digunakan sebanyak 1% pada minuman diet berkarbonasi, 2% pada produk roti, 3% pada es krim dan 15% produk candies khusus untuk penderita diabetes (Dobbs & Bell 2010). Amerika Serikat, Korea, New Zeland dan Australia telah menerapkan penggunaan tagatosa dalam produk-produk minuman, confectionary, makanan kesehatan dan pemanis rendah kalori.


(11)

10 Tabel 2. Manfaat kesehatan dan aplikasi tagatosa pada produk pangan (Oh 2007)

Manfaat kesehatan Jenis produk pangan

Rendah kalori Makanan rendah karbohidrat, sereal, minuman ringan dan health bars

No glycemic effect Diabetic food (tipe 2)

Anti halistosis Supplemen

Prebiotik Cokelat, candies, chewing gum

Flavor enhancement Yogurt, bakery, minuman susu dan confectionary

C. KONSEP DNA REKOMBINAN

Prinsip teknologi rekombinasi DNA yaitu menggabungkan molekul fragmen DNA atau gen dari organisme yang berbeda sehingga menghasilkan kombinasi baru yang sebenarnya tidak terdapat secara alami (Glick & Pasternak 2003). DNA dari manusia, hewan, tumbuhan dan mikroorganisme dapat direkombinasi. DNA rekombinan buatan sangat berguna dalam penelitian genetika. Teknologi DNA rekombinan terus mengembangkan metode untuk isolasi dan menyatukan gen menjadi kombinasi baru.

Tahap awal dari rekombinasi adalah isolasi gen target. Isolasi gen dapat dilakukan dengan 2 cara yakni pemotongan secara langsung dan isolasi mRNA untuk persiapan cDNA. Enzim endonuklease restriksi digunakan untuk memotong untai DNA. Sedangkan DNA ligase berguna untuk menggabungkan fragmen-fragmen DNA. Apabila menggunakan metode isolasi mRNA, maka harus berdasarkan prinsip reverse transcription dan memerlukan penyusunan DNA primer. Gen yang telah diperoleh kemudian disisipkan pada vektor pembawa yang akan membawa gen ke dalam sel inang (host). Sel inang yang telah ditransformasi kemudian diseleksi dan digunakan ataupun dikembangkan sebagai organisme penghasil DNA rekombinan (Lehninger 2004).

1. Plasmid

Cara insersi gen asing ke dalam sel inang pada teknik rekombinasi DNA dapat dilakukan dengan plasmid, bakteriophage, cosmid dan kromosom buatan (Prescott 2002). Plasmid dan bakteriophage merupakan vektor yang paling banyak digunakan. Plasmid adalah DNA berbentuk lingkaran yang ditemukan dalam sitoplasma spesies bakteri. Plasmid mengandung gen yang melakukan


(12)

replikasi, transkripsi dan translasi secara terpisah, tetapi dalam waktu yang bersamaan dengan kromosom. Plasmid memiliki sifat istimewa, sehingga sangat bermanfaat dalam teknik rekayasa genetika. Plasmid dapat melewati sel, pindah dari sel yang satu ke sel lainnya atau dari satu spesies bakteri ke spesies lainnya. Penggabungan gen asing ke dalam plasmid dapat dilakukan dengan mudah. Selain itu, plasmid dapat disisipi atau terkadang telah memiliki penanda seleksi (Tortora et al 2010).

Plasmid juga bisa digunakan sebagai vektor ekspresi. Ekpresi adalah perubahan fragmen DNA atau gen menjadi protein spesifik melalui tahap transkripsi dan translasi. Untuk ekspresi, plasmid harus memiliki signal pemulai tahapan transkripsi dan translasi yang diperlukan. Tingkat ekspresi gen yang dikloning dikendalikan oleh sekuen promoter dan regulator yang terdapat pada vektor ekpresi tersebut. Promoter dan regulator memberikan isyarat tempat dimana RNA polimerase berikatan dan mulai melakukan proses transkripsi (Lehninger 2004).

Pemakaian teknologi rekombinasi DNA dibidang produksi enzim secara lebih spesifik dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya aplikasi gen terpilih melalui plasmid. Pemindahan gen penyandi enzim suatu mikroba atau organisme yang bersifat unggul ke dalam mikroba lain dapat dilakukan dengan cara mengisolasi gen yang diinginkan. Kemudian memindahkan dan mengintegrasikannya ke dalam plasmid tertentu. Selanjutnya dilakukan amplifikasi gen yang diinginkan sehingga dapat meningkatkan produksi protein fungsional yang diturunkan dari gen tersebut (Suhartono 1989).


(13)

12 2. Plasmid pET-21b(+) dan Inang E. coli BL21 (DE3) pLysS

Plasmid pET-21b(+) merupakan salah satu plasmid yang dirancang untuk mengekspresikan gen target yang telah membawa situs pengikatan ribosom dan kodon pemulai (start codon). pET-21b(+) berukuran 5442 bp dimana peta konstruksi sistem ekspresinya terdiri dari sebuah gen lacI yang mengkode protein represor, sebuah promoter T7 yang spesifik untuk hanya T7 RNA polimerase (bukan bakteri RNA polimerase dan juga tidak terdapat dalam genom prokariotik), operator lac (lac O) yang dapat menghalangi transkripsi, multiple cloning site (MCS), sebuah gen replikasi asli dari plasmid alaminya (pBR322 ORI), dan suatu gen resistensi ampisilin (Blaber 1998). Gambar 8 menampilkan secara garis besar peta plasmid kontruksi pET-21b(+). Sistem pET memberikan hasil ekspesi protein target yang tinggi dan sangat kuat dalam mengendalikan ekpresi basal yang tidak diinginkan. Sistem pET plasmid yang berdasarkan T7 promoter merupakan yang paling tepat untuk kloning dan ekspresi DNA rekombinan di dalam E. coli (Studier & Moffatt 1986; Novagen 1999).

Gambar 8. Peta plasmid pET-21b(+) secara garis besar

Bakteri E. coli BL21 (DE3) pLysS mempunyai stabilitas yang tinggi dalam ekspresi protein. Inang ekspresi ini membawa gen T7 RNA polimerase dibawah kontrol promoter lacUV5. E. coli BL21 memiliki plasmid pLysS, plasmid ini akan mengkode sejumlah kecil lisosim T7 yang mempunyai kontrol yang tinggi terhadap ekspresi protein toksik dan resisten terhadap kloramfenikol.


(14)

Plasmid pLysS mempunyai sedikit inhibisi terhadap T7 RNA polimerase sehingga perlu diinduksi oleh isopropyl-ß -D-thiogalactopyranoside (IPTG). IPTG menginduksi T7 RNA polimerase dengan promoter lacUV5 sehingga ekspresi protein rekombinan dapat maksimal (Sambrook & Russell 2001).

3. Mekanisme Ekspresi Gen Target pada Kombinasi Plasmid pET-21b dan

E. coli BL21

Ekpresi protein pada sistem pET21b(+) dan inang E. coli BL21 merupakan sistem operon indusibel yang sangat kompleks. Operon adalah kelompok gen yang diatur secara terkoordinasi dengan fungsi yang saling terkait. Operon terdiri dari promoter, operator, kompleks gen penyandi protein fungsional dan gen pengkode represor yang berada pada bagian terluar dari operon. Promoter berfungsi sebagai tempat RNA polimerase mengawali proses transkripsi. Operator sebagai saklar yang akan menentukan perlu atau tidaknya ekspresi suatu protein atau peptida pada operon. Saklar operator akan aktif apabila represor terlepas dari operator (Campbell et al 2003).

Plasmid pET21b yang telah mengandung gen target pada posisi hilir dari T7 promoter dimasukkan ke dalam inang E. coli BL21. E. coli BL21 telah mengandung gen T7 faga yang akan menghasilkan T7 RNA polimerase. T7 RNA polimerase ini hanya bekerja dan memulai transkripsi pada situs promoter T7 (yang dalam hal ini terdapat pada plasmid pET21b[+]). Pembentukan T7 RNA polimerase diatur melalui operon tersendiri yang telah dikonstruksi pada genom E. coli BL21 (Sambrook & Russell 2001).

Penambahan senyawa IPTG akan menyebabkan represor tidak dapat menginkatifkan operator yang awalnya memblok proses transkripsi, sehingga T7 RNA polimerase dihasilkan yang selanjutnya memulai tahapan transkripsi pada T7 promoter gen target. Karena T7 merupakan promoter dari virus, maka gen target akan ditranskripsikan secara cepat selama RNA polimerase ada (Sambrook & Russell 2001). Ekspresi gen target akan naik secara cepat sebagaimana jumlah mRNA yang ditranskripsikan juga meningkat. Mekanisme pada plasmid ini serupa dengan mekanisme pemanfaatan laktosa oleh lac operon bakteri.


(15)

14

Gambar 9. Mekanisme ekspresi gen target pada E. coli BL21 (DE3) pLysS pET21b(+) araA (Sambrook & Russell 2001).

D. PURIFIKASI DAN KARAKTERISASI ENZIM

Isolasi dan pemurnian enzim intraseluler mikrobial dapat dilakukan dengan cara pemecahan dinding sel. Pemecahan dinding sel bisa secara mekanis dan non mekanis. Teknik freeze-thaw merupakan teknik pemecahan dinding sel non mekanis dengan manipulasi lingkungan. Freeze-thaw dapat memisahkan protein target dari protein membran dan inclusion bodies. Perlakuan pembekuan dan pencairan sel secara cepat akan mengakibatkan rusaknya dinding sel. Pembentukan kristal es merupakan faktor utama penyebab kerusakan ini. Yang perlu diperhatikan dalam proses pemecahan sel melalui cara freeze-thaw adalah penggunaan suhu dibawah -20ºC, perlakuan yang cepat dan sistem pelarut sel. Pada proses penghancuran ditambahkan buffer atau cairan sehingga memudahkan proses ekstraksi (Suhartono, 1989).

Pemisahan partikel dari cairan termasuk bagian penting operasi dalam isolasi enzim. Pemisahan dilakukan untuk memisahkan sel dari cairan kultur dan penggumpalan presipitat enzim. Enzim intraseluler yang telah dikeluarkan,


(16)

dipisahkan dari bagian sel dan dindingnya dengan proses sentrifugasi. Pemisahan dengan sentrifugasi merupakan sistem pemisahan berdasarkan berat. Partikel dengan berat yang berbeda akan mengendap pada kecepatan yang berbeda. Proses sentrifugasi pada enzim sebagian besar dilakukan pada suhu rendah, sehingga kehilangan aktivitas enzim dapat dijaga seminimal mungkin (Suhartono, 1989).

Pemurnian atau purifikasi enzim adalah memisahkan enzim target dari selainnya. Tujuan pemurnian enzim adalah mendapatkan enzim target dalam keadaan murni. Untuk enzim termofolik, pemurnian dengan perlakuan panas sering kali dilakukan. Dengan perlakuan panas akan memisahkan enzim yang tahan panas dari protein lain yang tidak tahan panas. Hal penting yang harus diperhatikan dalam merencanakan tahapan pemurnian yaitu mempertahankan aktivitas enzim atau mengurangi proteolisis dan denaturasi aktivitas enzim murni serta menentukan jumlah enzim yang dibutuhkan. Enzim yang kasar dan murni dapat digunakan untuk tujuan komersial. Sedangkan untuk keperluan laboratorium diperlukan enzim murni (Harris 1989).

Pemurnian enzim seringkali menggunakan kolom kromatografi. Terdapat 5 teknik kromatografi kolom yang sering digunakan antara lain seperti: kromatografi pertukaran ion, kromatografi gel filtrasi, kromatografi afinitas, kromatografi interaksi hidrofobik dan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) (Sheehan 2009). Kromatografi penukar ion memanfaatkan perbedaan afinitas antara molekul bermuatan di dalam larutan dengan senyawa yang tidak reaktif yang bermuatan berlawanan sebagai pengisi kolom. Golongan senyawa ini merupakan polimer terhidratasi yang bersifat tidak larut seperti selulosa, dekstran dan agarosa. Gugus penukar ion diimobilisasikan pada matriks. Matriks selulosa biasanya digunakan untuk memisahkan protein (termasuk enzim), polisakarida dan asam nukleat. Beberapa gugus penukar anion yaitu aminoetil (AE-) kuntenari aminoetil (QAE-) dan dietil aminoetil (DEAE-), sedangkan gugus penukar kation yaitu sulfopropil (SP-), metil sulfonat dan karboksimetil (CM-) (Widyastuti 2007).

Kromatografi penukar ion dilakukan dengan mengelusi protein enzim menggunakan buffer awal yang telah diatur. Protein enzim yang diharapkan terikat pada kolom kemudian dilepaskan dengan cara mengubah pH buffer atau


(17)

16

kekuatan ionik pelarut (Phage & Thorpe 2009). Molekul enzim atau protein terdiri atas muatan positif dan negatif tergantung pada rantai samping asam amino asam dan basa. pH pada kondisi jumlah muatan positif dan muatan negatif sama disebut titik isoelektrik (pI). pI sebagian besar protein berkisar antara pH 5 dan 9. Protein yang berada pada kondisi pH diatas pI akan bermuatan negatif, dan apabila pH dibawah pI akan bermuatan positif (Lehninger 2004). Karboksimetil selulosa (CMC) dan dietilaminoetil (DEAE) selulosa merupakan penukar ion yang banyak dipakai untuk keperluan fraksinasi enzim. Apabila kondisi elusi dapat dijaga dengan hati-hati, tingkat kemurnian yang tinggi seringkali dapat dicapai.

Agar enzim dapat bekerja secara optimal, perlu diketahui karakteristik biokimiawi enzim, seperti suhu dan pH optimum, pengaruh ion logam, stabilitas panas dan lainnya. Kondisi lingkungan harus menunjang kondisi yang dibutuhkan enzim untuk dapat berfungsi sebagai katalis suatu reaksi (Buchholz et al 2005).

Enzim adalah suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan terjadinya denaturasi. Apabila terjadi proses denaturasi, maka bagian aktif enzim akan terganggu dan dengan demikian konsentrasi efektif enzim akan berkurang dan kecepatan reaksinya juga akan menurun. Kenaikan suhu sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikkan kecepatan reaksi, akan tetapi kenaikan suhu pada saat mulai terjadinya proses denaturasi akan mengurangi kecepatan reaksi. Peningkatan suhu tertentu menyebabkan semakin meningkatnya aktivitas katalitik enzim tetapi juga semakin bertambahnya kerusakan enzim (Illanes 2008).

Struktur protein menentukan aktivitas enzim, jika strukturnya terganggu maka aktivitasnya akan berubah pula. Kenaikan suhu sampai batas tertentu dalam suatu reaksi menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi karena bertambahnya energi kinetik yang mempercepat gerak vibrasi, translasi dan rotasi enzim dan substrat sehingga memperbesar peluang keduanya untuk bereaksi. Pada suhu yang lebih besar dari batas reaksi, protein enzim dapat mengalami perubahan konformasi yang bersifat detrimal yaitu berubahnya susunan tiga dimensi yang khas dari rantai polipeptida. Hal yang sama juga dapat terjadi pada substrat yang perubahan konformasinya dapat menyebabkan gugus reaktifnya akan mengalami kesulitan pada saat memasuki sisi aktif enzim (Machielsen et al 2007).


(18)

Seperti protein pada umumnya, struktur ion enzim tergantung pada pH lingkungannya. Enzim dapat berbentuk ion positif, ion negatif atau ion bermuatan ganda (zwitter ion). Dengan demikian perubahan pH lingkungan akan berpengaruh terhadap aktivitas bagian aktif enzim dalam bentuk kompleks enzim substrat. Disamping pengaruh struktur ion pada enzim, pH rendah atau pH tinggi dapat pula menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan ini akan menyebabkan menurunnya aktivitas enzim (Lehninger 2004)

Enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH yang menyebabkan aktivitas maksimal. Profil aktivitas pH enzim menggambarkan pH pada saat gugus pemberi atau penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim berada dalam tingkat ionisasi yang diinginkan. Nilai pH optimum tidak perlu sama dengan pH lingkungan normalnya, dengan pH yang mungkin sedikit berada diatas atau dibawah pH optimum. Aktivitas katalitik enzim dalam sel mungkin diatur sebagian oleh perubahan pada pH medium atau lingkungan (Lehninger 2004).

Banyak enzim yang memerlukan tambahan komponen kimia bagi aktivitasnya. Komponen ini disebut dengan kofaktor. Kofaktor bisa berupa molekul organik seperti ion Fe, Mn dan Zn atau mungkin juga molekul organik kompleks yang disebut koenzim seperti tiamin pirofosfat, FAD serta koenzim A. Beberapa enzim memerlukan satu atau lebih kofaktor dan koenzim bagi aktivitasnya. Pada beberapa enzim, koenzim atau ion logam hanya terikat secara lemah atau dalam waktu sementara. Akan tetapi pada beberapa enzim lainnya senyawa ini terikat kuat dan permanen. Dalam hal ini disebut gugus prostetik. Enzim yang strukturnya sempurna dan aktif mengkatalisis bersama-sama dengan koenzim atau gugus logam lainnya disebut holoenzim. Koenzim dan ion logam bersifat stabil selama pemanasan, sedangkan bagian protein enzim yang disebut apoenzim akan terdenaturasi oleh pemanasan (Illanes 2008).

Ion logam mempunyai peranan penting dalam menjaga kestabilan enzim. Logam biasanya berperan sebagai pengatur aktivitas enzim. Ion logam dapat mengaktifkan enzim melalui berbagai kemungkinan seperti : 1) menjaga bagian internal enzim, 2) menghubungkan enzim dengan substrat 3) merubah konstanta keseimbangan reaksi enzim 4) merubah tegangan permukaan reaksi enzim 5) menghilangkan inhibitor, 6) menggantikan ion logam yang tidak efektif pada sisi


(19)

18

aktif enzim maupun substrat, dan 7) merubah konformasi enzim menjadi konformasi yang lebih aktif (Whitaker et al 2003).

Beberapa jenis enzim mengandung ion logam yang telah terikat ataupun memerlukan ion logam yang sengaja ditambahkan bagi aktivitasnya. Metaloenzim mengandung ion logam fungsional dalam jumlah pasti, yang dipertahankan selama proses pemurnian. Enzim yang diaktifkan oleh logam memperlihatkan ikatan yang lebih lemah dengan logam, dan dengan demikian memerlukan logam tambahan. Oleh karena itu, perbedaan metaloenzim dengan enzim yang diaktifkan oleh logam terletak pada afinitas suatu enzim tertentu terhadap ion logamnya (Bugg 2004).

Seperti halnya katalisator, enzim dapat mempercepat reaksi kimia dengan menurunkan energi aktivasinya. Kemampuan enzim merubah substrat menjadi produk disebut sebagai aktivitas enzim. Dengan persetujuan internasional, 1,0 unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah yang menyebabkan pengubahan 1,0 mikromol (10-6

mol) substrat per menit pada keadaan pengukuran optimal. Aktivitas spesifik adalah jumlah unit substrat yang dirubah per milligram enzim (Lehninger 1982).

E. SODIUM DEDOSIL SULFAT POLIAKRILAMID GEL

ELEKTROFORESIS (SDS-PAGE)

Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) merupakan metode analisis protein secara kualitatif yang paling banyak digunakan. Secara umum SDS-PAGE bermanfaat untuk menganalisis kemurnian protein. Dan karena dapat memisahkan protein berdasarkan ukuran, maka metode ini juga dapat digunakan untuk menentukan berat molekul relatif protein (Walker 2009). Elektroforesis adalah peristiwa perpindahan partikel-partikel bermuatan karena pengaruh medan listrik. Pada tahapan SDS-PAGE, protein didenaturasi menggunakan panas, ß-merkaptoetanol, dan SDS. Protein yang terdenaturasi akan bereaksi dengan SDS yang merupakan deterjen anionik membentuk kompleks yang bermuatan negatif. Protein dalam bentuk kompleks yang bermuatan negatif ini akan dapat dipisahkan berdasarkan muatan dan ukurannya secara elektroforesis di dalam matriks gel poliakrilamid. Berat molekul protein dapat diukur dengan


(20)

bantuan protein standar (marker) yang telah diketahui berat molekulnya melalui perbandingan nilai mobilitas relatif (Rf) (Lehninger 2004).

Gel poliakrilamid tersusun atas monomer monoakrilamid yang membentuk ikatan silang dengan bantuan ammonium persulfat (APS) dan N,N,N,N -tetramethylethylenediamine (TEMED). Ukuran pori gel poliakrilamid bergantung pada konsentrasi akrilamid. SDS-PAGE terdiri dari 2 gel yaitu stacking gels dan separating gels. Stacking gels memiliki kandungan akrilamid yang lebih rendah sehingga memiliki pori yang lebih besar. Stacking gels berfungsi sebagai media agar protein terdenaturasi yang telah bermuatan negatif bergabung atau berasosiasi membentuk elips masuk kedalam separating gel. Separating gels yang memiliki pori yang lebih kecil kemudian akan memisahkan protein berdasarkan ukuran. Protein yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat melewati pori-pori pada separating gels (Walker 2009).

SDS-PAGE dilakukan dengan posisi berdiri, dimana pada bagian bawah gel diberi buffer anoda (bermuatan positif) dan dibagian atas gel diberi buffer katoda (bermuatan negatif). Kompleks protein-SDS yang telah bermuatan negatif akan bergerak melewati gel poliakrilamid menuju anoda dengan bantuan medan listrik dan buffer elektroforesis. Laju pergerakan protein bergantung pada ukuran pori dan kekuatan medan listrik. Setelah dilakukan elektroforesis, gel divisualisasi dengan pewarnaan. Pewarnaan protein dalam gel dapat dilakukan dengan pewarna Coomassie Brilliant Blue R-250 atau pewarna perak (silverstain). Dengan pewarnaan, protein dalam gel poliakrilamid akan terlihat membentuk band atau pita yang terpisah berdasarkan ukurannya masing-masing (Walker 2009).

F. PENGUKURAN KONSENTRASI PROTEIN

Menurut Walker (2009), kuantifikasi protein dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya adalah dengan: 1) absorbansi dengan sinar ultraviolet (UV absorption), 2) metode Lowry, 3) bicinchoninic acid (BCA) assay

dan 4) metode Bradford. Metode Bradford merupakan salah satu teknik penentuan

kadar protein yang berdasarkan pada pengikatan secara langsung zat warna Coomassine Brilliant Blue G250 (CBBG) oleh protein pada kondisi pH asam. Grup trifenilmetana mengikat struktur non polar protein dan grup anion sulfonat berinteraksi dengan rantai samping protein kation (protein bermuatan positif).


(21)

20

Jumlah CBBG yang terikat pada protein proporsional dengan muatan positif yang ditemukan pada protein. Reagen CBBG bebas berwarna merah-kecoklatan (panjang gelombang

maks 465 nm), sedangkan dalam suasana asam reagen CBBG akan berada dalam bentuk anion yang akan mengikat protein membentuk warna biru (panjang gelombangmaks 595 nm). (Bradford 1976).

Pada metode Bradford, penentuan protein dapat dilakukan dengan cara mikro untuk kandungan protein yang rendah dan makro untuk kandungan protein yang tinggi. Standar konsentrasi protein yang sesuai adalah 10-100 µg. Konsentrasi protein 0-10 µg biasanya digunakan dalam pengujian mikro dan 10-100 µg digunakan dalam pengujian makro. Karena lebih sederhana dan lebih

sensitif, metode ini adalah yang paling banyak digunakan untuk analisis protein secara kuantitatif (Kruger 2009).

Hubungan absorbansi dan konsentrasi protein ditentukan melalui kurva standar yang telah dibuat sebelumnya. Penetapan kurva standar dilakukan dengan menggunakan protein tertentu seperti bovin serum albumin (BSA), dengan berbagai konsentrasi. Besarnya konsentrasi BSA sebagai protein standar adalah sekitar 150-750 µg/ml (Coligan et al 2004). Hubungan antara konsentrasi larutan standar dan absorbansinya dinyatakan sebagai persamaan regresi linier: Y = a + bx. Dalam analisis dengan metode bardford ini terdapat dua jenis metode yaitu makro assay untuk konsentrasi protein tinggi dan mikro assay untuk konsentrasi protein rendah (Bradford 1976).


(22)

METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Inang atau bakteri penghasil enzim yang digunakan dalam penelitian ini adalah E. coli BL21 (DE3) pLysS pET-21b yang telah ditransformasi dengan gen araA dari bakteri Geobacillus sterothermophilus strain lokal asal Tanjung Api, Poso, Indonesia di laboratorioum Carbohydrate Bioengeenering Research Grup (CBRG) Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong.

Bahan kimia yang digunakan untuk produksi, purifikasi dan karakterisasi enzim antara lain yeast extract, tripton, NaCl, limbah cair tahu, ampisilin, kloramfenikol, isopropylthiogalactoside (IPTG), Tris, HCl, gliserol, loading protein, sodium dedosil sulfat (SDS), ammonium persulfate (APS), akrilamid, N,N,N,N-tetramethylethylenediamine (TEMED), buffer elektroforesis, protein marker, coommasie blue, metanol, standar bovin serum albumin (BSA), fruktosa, galaktosa, karbazol, sistein, etanol, asam sulfat, Bradford reagent, resin dietilaminoetil (DEAE) sepharos, NaOH, sodium asetat, sodium fosfat, MnCl2.4H2O, CaCl2.2H2O, akuades dan alkohol 70%.

Peralatan yang digunakan yakni laminar flow, sentrifus dingin, shaker inkubator, lemari pendingin (suhu 4 0C), freezer (suhu -20 dan -70ºC), mikropipet, spektrofotometer, waterbath, vorteks, perangkat elektroforesis SDS-PAGE, hot plate, pH meter, kolom kromatografi buatan (1.5x8cm), pompa kromatografi, effendof, kuvet, autoklaf, pipet Mohr, timbangan analitik dan alat-alat gelas.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan 3 tahap yaitu produksi, purifikasi dan karakterisasi. Penelitian diawali dengan produksi enzim menggunakan modifikasi medium ekpresi dan kemudian optimalisasi dengan lama waktu induksi pada medium ekspresi terpilih. Hasil yang optimal dikonfirmasi dengan SDS-PAGE (melalui ketebalan pita) dan aktivitas enzim. Ketebalan pita dan aktivitas yang tinggi pada supernatan dari presipitat diharapkan sehingga menunjukkan bahwa enzim yang diperoleh larut (soluble) pada supernatan. Hasil produksi yang paling optimal kemudian dipurifikasi dan dikarakterisasi.


(23)

22 1. Produksi Enzim

a. Persiapan medium (Shin et al 1997; Putri 2010)

Media Luria Bertani (LB) cair sebanyak 100 mL dibuat dengan komposisi (m/v) 1% bacto-pepton , 1% NaCl, dan 0.5% ekstrak khamir. Limbah cair tahu (LCT) diatur pH-nya menjadi 6.71-6.73 kemudian ditambahkan ekstrak khamir 0.5 g per 100 mL (LCT+YE). Medium LCT dan LB disterilisasi pada temperatur 121ºC selama 15 menit.

b. Persiapan kultur E. coli transfroman

Untuk persiapan dan penyegaran, kultur E. coli transfroman sebanyak 20 µl ditumbuhkan dalam 2 ml media cair Luria Bertani (LB) yang mengandung 50 µg/ml ampisilin dan 50 µg/ml kloramfenikol. Selanjutnya diinkubasi selama 16 jam pada shaker inkubator (37ºC, 150 rpm). Setelah inkubasi, kultur sebanyak 800 µl dimasukkan ke dalam effendof dan ditambahkan 200 µl gliserol, kemudian disimpan pada suhu -20ºC. Setiap satu bulan dilakukan penyegaran terhadap kultur E. coli transforman.

c. Produksi enzim dengan membandingkan medium ekspresi standar dengan medium ekspresi yang dimodifikasi (Modifikasi Cheng et al 2009)

Kultur E. coli dengan umur 16 jam diinokulasikan masing-masing sebanyak 50 µl pada 5 ml medium cair LB dan medium LCT+YE. Kedua medium ekpresi tersebut telah ditambahkan 50 µg/ml ampisilin dan 50 µg/ml kloramfenikol. Selanjutnya kultur pada medium ekpresi diinkubasi pada shaker inkubator (37ºC, 150 rpm). Setelah optical density (OD) kedua medium mencapai 0.5-0.6 (pada panjang gelombang 600 nm) maka kedua medium masing-masing dibagi menjadi 2 bagian. Untuk memisahkan perlakuan induksi dan non induksi. Induksi dilakukan dengan penambahan IPTG pada medium dengan konsentrasi akhir 1 mM, dan diinkubasi kembali selama 4 jam. Inkubasi atau waktu induksi dihentikan dengan meletakkan medium pada cairan es. Setelah itu, sel pada medium dipanen dengan setrifugasi pada kecepatan 11,000 rpm suhu 4ºC selama 15 menit. Supernatan 1 (S1) yang merupakan medium ekspresi dibuang, sedangkan pellet 1 (P1) yang tertinggal ditambahkan dengan 500 µl (25%) buffer Tris HCl pH 7.5 (kemudian divorteks untuk homogenisasi). Sebanyak 50 µl


(24)

campuran pellet dan buffer tersebut diambil dan disimpan pada lemari pendingin. Campuran pellet 1 (P1) dan buffer ini disebut juga dengan total suspensi (T). Sisa total suspensi (T) kemudian dipisahkan kembali untuk memperoleh supernatan 2

(S2) dan pellet 2 (P2) seperti yang akan dijelaskan pada tahapan purifikasi.

d. Optimasi produksi enzim pada medium ekpresi terpilih

Sebanyak 600 µl kultur E. coli transforman ditumbuhkan pada 60 ml medium ekpresi terpilih yang telah ditambahkan ampisilin dan kloramfenikol. Setelah OD kultur mencapai 0.5-0.6, kemudian diinduksi dengan penambahan IPTG (konsentrasi akhir IPTG pada medium = 1 mM). Sel dipanen setiap interval 0, 4, 8, 12, 16, 20 dan 24 jam setelah induksi. Pengambilan total suspensi sel dilakukan dengan cara yang sama dengan yang telah diterangkan sebelumnya. Setelah itu dilakukan pemisahan kembali dengan teknik freeze-thaw untuk mendapatkan supernatan 2 (S2) dan pellet 2 (P2). Penentuan keberadaan enzim dilakukan dengan perangkat gel elektroforesis SDS-PAGE. Sedangkan aktivitas enzim diukur pada panjang gelombang 560 nm.

2. Purifikasi a. Freeze-thaw

Total suspensi sel (T) atau campuran P1 dan buffer diberi perlakuan freeze-thaw dengan cara memasukkannya pada freezer bersuhu -70 0

C sampai membeku selama ± 30 menit dan mencairkannya kembali (freeze-thaw dilakukan dengan 3 kali pengulangan). Kemudian disentrifugasi pada kecepatan 11,000 rpm suhu 4 0C selama 15 menit untuk memisahkan pellet 2 (P2) dan supernatan 2 (S2). Pellet 2 (P2) ditambahkan buffer Tris HCl pH 7.5, sedangkan supernatan 2 (S2) dimurnikan lebih lanjut. Penentuan keberadaan enzim AI dilakukan menggunakan SDS-PAGE. Dan penentuan konsentrasi protein pada S2 ditentukan dengan metode Bradford. Sedangkan aktivitasnya diukur pada panjang gelombang=560 nm setelah direaksikan dengan larutan pewarna sistein karbazol asam sulfat.


(25)

24 b. Heat treatment (Lee et al 2004)

Enzim dari supernatant 2 (S2) atau enzim ekstrak kasar (Crude Extract [CE]) dipanaskan dengan waterbath pada suhu 60ºC selama 30 menit. Dengan perlakuan panas (heat treatment) akan mendenaturasi protein lain yang tidak tahan panas yang berikatan dengan enzim target. Setelah perlakuan heat treatment kemudian disentrifugasi pada kecepatan 11,000 rpm suhu 4 ºC selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh diambil (S3), sedangkan pellet dibuang. Supernatan tersebut (S3) dianalisis dengan SDS-PAGE, diukur aktivitasnya serta konsentrasi proteinnya dengan metode Bradford.

c. Kromatografi penukar anion (Cheng et al 2009)

Pertama dilakukan bufferizing terhadap kolom kromatografi DEAE dengan buffer 10 mM Tris-HCl pH 7.5. Suspensi enzim L-arabinosa isomerase hasil heat treatment (S3) diaplikasikan ke dalam kolom kromatografi DEAE. Protein dielusi secara step wise menggunakan NaCl (0, 100, 300, 400, 500 mM dan 1 M) dalam Tris-HCl pH 7.5 dengan kecepatan aliran 1 mL/menit. Fraksi ditampung dalam tabung yang berbeda masing-masing sebanyak 2 mL. Kandungan protein yang terelusi masing-masing konsentrasi garam diukur dengan absorbansi sinar ultraviolet (UV) pada panjang gelombang 280 nm. Sampel dengan nilai OD280 tertinggi kemudian digunakan dalam elektroforesis SDS-PAGE. Protein yang telah dipurifikasi disimpan pada temperatur 4°C untuk kemudian diuji aktifitasnya dan dikarakterisasi.

3. Karakterisasi

a. Suhu optimum (Rhimi et al 2009)

Pengujian suhu optimum untuk aktivitas enzim dilakukan dengan mengukur aktivitas enzim murni hasil kromatografi kolom penukar ion pada suhu 50, 60, 70, 80 dan 90 ºC selama 60 menit. Penentuan aktivitas dilakukan melalui absorbansi yang terukur pada panjang gelombang 560 nm setelah direaksikan dengan larutan sistein karbazol asam sulfat.


(26)

b. pH optimum (Cheng et al 2009)

Pengukuran pH optimum untuk aktivitas enzim dilakukan melalui pengkondisian reaksi enzim pada suhu optimum dengan berbagai variasi pH dari 5 sampai 9. Buffer yang digunakan antara lain sodium asetat (pH 5-5.5), sodium fosfat (pH 6-7) dan Tris HCl (pH 7.5-9). Enzim pada buffer yang memiliki pH berbeda tersebut diuji aktivitasnya.

c. Pengaruh ion logam

Ion-ion logam yang digunakan adalah MnCl

2 (mangan) dan CaCl2 (kalsium). Masing-masing ion logam dicampurkan ke dalam enzim dengan variasi konsentrasi 1 dan 5 mM. Setelah itu, aktivitas enzim di ukur untuk dibandingkan dengan kontrol (tanpa ion logam).

d. Stabilitas panas

Enzim murni tanpa penambahan logam dan dengan penambahan masing-masing 1 mM CaCl2 dan MnCl2 diinkubasi pada suhu 65ºC hingga rentang waktu 150 menit. Setiap interval waktu 0, 30, 60, 90, 120 dan 150 menit enzim dikoleksi dan kemudian diuji aktivitasnya.


(27)

26 Gambar 10. Skema alur Penelitian

1. Produksi Enzim

Uji keberadaan gen pengkode enzim

Optimasi produksi Produksi enzim

Heat treatment

Kromatografi penukar ion

Freeze-thaw

E. coli BL21 pLysS E. coli BL21 pLysS pET21 E. colitransforman

Media LB Media LCT + YE

Lama waktu induksi (0, 4, 8, 12, 16, 20, 24) jam

2. Purifikasi Enzim

3. Karakterisasi

Enzim murni

Penentuan suhu optimum Penentuan pH optimum Pengaruh logam Stabilitas panas pada suhu 65 0C p

50, 60, 70, 80, 90 0C 5, 5.5, 6, 6.5, 7, 7.5, 8, 8.5, 9 Mn dan Ca (1 dan 5 mM) Lama waktu induksi terpilih


(28)

C. METODE ANALISIS

1. Pengukuran Absorbansi pada panjang gelombang 600 nm

Kultur diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang pengukuran 600 nm. Pengukuran absorbansi (Optical Density/OD) ini dimaksudkan untuk menduga pola pertumbuhan bakteri. Pengukuran dilakukan dengan mengencerkan 0.5 ml kultur menggunakan aquades hingga diperoleh pengenceran 10 x (0.5 ml kultur + 4.5 ml aquades). Blanko yang digunakan adalah medium kultur/ekspresi yang diencerkan pada pengenceran yang sama. Absorbansi (OD) sampel dihitung dengan cara:

OD = ODterukur x Faktor Pengenceran (FP)

2. Elektroforesis SDS-PAGE (Modifikasi Walker 2009)

Marker protein terdiri dari: beta-galaktosidase 116.0 kDa, bovine Serum albumin 66.2 kDa, ovalbumin 45 kDa, laktat dehidrogenase 35 kDa, REase Bsp981 25.0 kDa. Enzim dimasukkan sebanyak 10 µl ke dalam tube kecil (tube khusus PCR) dan dicampurkan dengan 10 µl loading protein untuk selanjutnya didenaturasi pada suhu 100ºC selam 5 menit. Sebelum dimasukkan ke dalam sumur pada gel elektroforesis, campuran enzim dan loading protein yang telah didenaturasi dimasukkan dalam lemari pendingin. Elektroforesis dilakukan dengan perangkat elektroforesis. Gel terdiri dari 2 bagian yaitu separating gel dan konsentrat gel. Separating gel dibuat terlebih dahulu dan berada pada bagian bawah, sedangkan konsentrat gel berada pada bagian atas. Komposisi separating dan konsentrat gel yakni:

Tabel 3. Komposisi separating dan konsentrat (stacking) gel untuk SDS-PAGE

Senyawa kimia Separating gel Konsentrat gel

2H2O 7.55 ml 3.1 ml

1.5 M Tris HCl pH 8.8 3.75 ml

0.5 M Tris HCl pH 6.8 1.25 ml

44% Akrilamid 3.40 ml 0.55 ml

10 % SDS 150 µl 50 µl

APS 150 µl 50 µl

TEMED 15 µl 5 µl


(29)

28

Gel dibiarkan mengering tetapi sebelumnya sumur pada gel telah dibuat. Gel dipasang pada perangkat gel elektroforesis dengan posisi berdiri dan direndam dengan buffer elektroforesis. Kemudian marker dan sampel enzim dimasukkan masing-masing sebanyak 7 µl pada sumur gel. Running elektroforesis dilakukan selama ±40 menit. Setelah itu gel dilepaskan dan direndam dalam larutan commasie blue selama 30 menit. Gel yang telah direndam dalam larutan commasie blue diletakkan pada roker. Tahap selanjutnya gel dibilas dengan aquades dan kemudian direndam kembali dalam larutan destaining selama 1 malam. Band atau pita protein dengan berat molekul berbeda akan terpisah. Hasil yang diperoleh didokumentasikan melalui alat komputer dan multiscan.

3. Pengukuran Aktivitas Enzim (Dische & Borenfreund 1951)

Tabel 4. Bahan-bahan yang dipersiapkan untuk uji aktivitas enzim

Bahan Blanko Blanko

substrat

Blanko enzim

Campuran reaksi

Aquades steril 225 µl 100 µl 175 µl 50 µl

1 M Buffer 25 µl 25 µl 25 µl 25 µl

100 mM Galaktosa - 125 µl - 125 µl

Enzim - - 50 µl 50 µl

Total 250 µl 250 µl 250 µl 250 µl

Larutan blanko, blanko substrat, blanko enzim dan campuran reaksi (enzim+substrat) dipersiapkan. Persiapan perlakuan tersebut dilakukan pada suhu dingin untuk menginaktifkan reaksi enzimatis. Perlakuan tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 60ºC selama 60 menit daan selanjutnya dimasukkan dalam lemari pendingin selama 10 menit. Masing-masing perlakuan (blanko, blanko substrat, blanko enzim dan campuran reaksi) dimasukkan sebanyak 100 µl ke dalam 900 µl larutan uji aktivitas (tabel 5).

Tabel 5. Larutan uji aktivitas

Bahan Volume

10 mM Karbazol 30 µl 100 mM L-cystein 30 µl 9 M H2SO4 900 µl

Total 960


(30)

Setelah dicampur dengan larutan uji aktivitas, masing-masing perlakuan kemudian diinkubasi kembali pada suhu 60ºC selama 30 menit. Standar fruktosa juga diinkubasi dengan kondisi yang sama. Pengukuran aktivitas dilakukan melalui absorbansi pada panjang gelombang 560 nm. Penentuan absorbansi dari tagatosa yang telah dibentuk dihitung dengan cara sesuai tabel berikut ini:

Perlakuan Absorbansi Minus Blanko Reaksi

Blanko A

Blanko substrat B B-A = E

Blanko enzim C C-A = F

Campuran reaksi D D-A = G G – (E+F) = H

Kemudian nilai absorbansi (H) diplotkan pada kurva standar untuk menentukan konsentasi (mM atau M) tagatosa (produk) yang terbentuk. Karena konsentrasi yang terbentuk akibat dari 100 µl campuran dalam larutan uji aktivitas, sedangkan volume reaksi sendiri awalnya 250 µl, maka:

Pengukuran UA/ml untuk arabinosa isomerase dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut:

4. Penentuan Kadar Protein

Penentuan kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode Bradford (1976). Protein sebanyak 50 µl direaksikan dengan 1.5 ml pereaksi Bradford, kemudian divortex dan diinkubasi selama 2-5 menit pada suhu 37ºC. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 595 nm. Blanko menggunakan buffer Tris-HCl yang direaksikan dengan 1.5 ml pereaksi Bradford. Standar protein menggunakan bovine serum albumin (BSA) pada kisaran 0 – 100 µg dari stock 2 mg/ml. Penentuan kadar protein akan membantu untuk menghitung aktivitas spesifik enzim arabinosa isomerase. Aktivitas spesifik adalah jumlah unit enzim per miligram protein.

UA/ml = 2.5 x Konsentrasi (µM)

60 menit x (50 µl x 10-3)

Konsentrasi x 250 µl = 2.5 x Konsentrasi


(31)

30 5. Pehitungan Aktivitas Spesifik Enzim (Rhimi & Bejar 2006)

Tabel 6. Cara perhitungan aktivitas spesifik enzim

Volume Aktivitas (U/ml)

Total Aktivitas (U)

Protein (mg/ml)

Total Protein

(mg)

Aktivitas spesifik

(U/mg)

A B A x B = C D D x A = F AxB = C

DxA F

6. Pendugaan Waktu Paruh (t1/2) Enzim (Toledo 2006)

Nilai t1/2 suatu enzim adalah waktu inkubasi pada suhu tertentu yang menyebabkan aktivitas enzim tersisa 50% dari aktivitas semula. Karena laju reaksi enzim dipengaruhi oleh lebih dari satu faktor dan tidak berbanding lurus (orde satu), maka kinetika deaktivasi enzim adalah:

-dA/dt = k [A]

ln At = A0 – kt………. (1) Dimana : A = aktivitas enzim (At dan A0)

t = waktu

k = konstanta laju deaktivasi enzim Maka penurunan rumus untuk t1/2 adalah:

ln At = - kt + A0 ………... (2) ln (At/A0) = - kt

karena (At/A0) = 0.5, sehingga ln (0.5) = -kt

- k = ln 0.5/t

t1/2 = - ln (0.5) ………. (3)


(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENGUJIAN BAKTERI TRANSFORMAN

Pengujian bakteri hasil transformasi dilakukan untuk memastikan bahwa gen pengkode enzim arabinosa isomerase (AI) dari Geobacillus stearothermophilus lokal yaitu gen araA benar-benar masuk ke vektor ekspresi dan kemudian dapat terekspresi dengan sistem induksi IPTG. Bakteri atau inang E.coli BL21 pLysS dan E. coli BL21 (DE3) pLysS pET21b digunakan sebagai pembanding. Protein target yang diharapkan terekspresi kemudian dianalisis dengan Sodium Dedocyl Sulfate Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) berdasarkan berat molekul.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa protein atau enzim target telah terekspresi dengan sistem induksi IPTG pada bakteri transfroman E. coli BL21 pET21b(+) araA. Sedangkan pada inang E. coli BL21 tanpa plasmid ataupun E.coli BL21 dengan plasmid pET21b, protein atau enzim target tidak ada (data tidak ditampilkan). Enzim arabinosa isomerase (AI) dari Geobacillus stearothermophilus lokal memiliki berat molekul 56 kDa (Fitriani & Saksono 2010). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa enzim AI yang dikodekan oleh gen araA dari G. stearothermophilus T6, G. thermodenitrificans, B. stearothemophilus US100 dan B. stearothermophilus IAM 11001 setelah terekspresi menggunakan inang E. coli memiliki berat molekul 56 kDa (Lee et al 2005a; Kim & Oh 2005; Rhimi & Bejar 2006; Cheng et al 2009).

Terekspresinya enzim AI pada bakteri transforman disebabkan adanya gen araA yang mengkodenya. E. coli BL21 dan E. coli BL21 pET21b tidak memiliki gen araA asal Geobacillus stearothermophilus lokal. Gen araA ini telah disisipkan pada vektor ekpresi yaitu pET21b(+) tepatnya pada bagian hilir T7 promoter dan bagian hulu terminator. Gen araA akan diekpresikan menjadi protein atau enzim AI setelah ditambahkan senyawa penginduksi isopropyl-ß-D-thiogalactopyranoside (IPTG). IPTG menyebabkan represor terlepas dari operator. Sehingga terjadi sintesis atau pembentukan protein/enzim target dengan melibatkan T7 RNA polimerase asal bakteri BL21 (DE3) (Sorensen & Mortensen 2005).


(33)

32 116 kDa

B. PRODUKSI ENZIM ARABINOSA ISOMERASE

Produksi enzim AI dilakukan dengan memodifikasi medium ekspresi. Modifikasi medium ekspresi dilakukan karena enzim target yang diharapkan tidak terekspresi secara maksimal pada medium ekspresi yang biasa digunakan yaitu media cair Luria Bertani (LB). Pita yang masih tipis dari analisis SDS-PAGE (data tidak ditampilkan) menunjukkan bahwa tidak diperolehnya kondisi overekspresi.

Berdasarkan penelitian Putri (2010) diketahui bahwa limbah cair tahu yang ditambahkan ekstrak khamir dan diatur pH-nya dapat digunakan sebagai medium pertumbuhan dan medium ekspresi protein rekombinan. E. coli transfroman yang ditumbuhkan pada media limbah cair tahu dengan penambahan ekstrak kamir 0,5% (m/v) memberikan level ekspresi yang tinggi. Penggunaan limbah cair tahu sebagai medium ekspresi lebih memudahkan tahapan pemisahan enzim target dari protein membran setelah freeze-thaw dibandingkan medim LB.

~56 kDa

LB LCT+YE

Gambar 11. Perbandingan ekpresi enzim AI pada 2 jenis medium ekpresi berbeda. Keterangan: LB = luria bertani, LCT+YE=limbah cair tahu + yeast extract, M=marker, ni= non induksi, t=total suspensi sel, s2=supernatan 2, p2=pellet 2.

66.2 kDa

45 kDa

35 kDa

25 kDa


(34)

Dari analisis dengan SDS-PAGE (gambar 11) telah terkonfirmasi bahwa medium ekpresi yang lebih baik untuk produksi enzim arabinosa isomerase adalah limbah cair tahu yang ditambahkan ekstrak kamir (LCT+YE). Media cair LB juga dapat digunakan sebagai medium ekspesi, akan tetapi pita (band) enzim target yang dihasilkan sangat tipis dibandingkan dengan medium LCT + YE. Perlakuan non induksi atau tanpa penambahan isopropyl-beta-D-thiogalactopyranosidasei (IPTG) bertujuan agar lebih meyakinkan bahwa yang terekspresi dengan berat molekul 56 kDa adalah enzim target. Sedangkan adanya running terhadap total, supernatant ke-2 dan pellet ke-2 agar diketahui bahwa enzim AI terdapat pada supernatan.

Sistem ekspresi protein rekombinan dengan inang E. coli BL21 dan plasmid pET21b merupakan sistem ekspresi modern dan telah banyak diterapkan. Gen target yang dikloning pada plasmid pET21b berada pada posisi hilir (downsteam) dari promoter atau T7 promoter. T7 promoter berada pada bagian hulu dari operator. T7 promoter ini hanya akan mengenali T7 RNA polimerase dari T7 faga pada E. coli BL21 untuk memulai transkripsi gen target. Karena keberadaan represor pada operator masing-masing genom E. coli BL21 (DE3) dan plasmid pET menyebabkan kecil kemungkinan T7 RNA polimerase diproduksi. Meskipun diproduksi, plasmid pLysS yang mengkode T7 lisosim akan menginaktifkan T7 RNA polimerase sebelum bergabung dengan T7 promoter. Jika T7 lisosim tidak mampu juga menginaktifkan seluruh T7 RNA polimerase, maka keberadaan represor pada operator pET akan menghambat transkripsi gen target (Sambrook & Russell 2001). Penambahan IPTG sebagai senyawa penginduksi akan menyebabkan represor terlepas dari operator sehingga RNA polimerase diproduksi dan kemudian berikatan dengan T7 promoter (Sorensen & Mortensen 2005). Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya enzim target yang dihasilkan apabila tidak diinduksi dengan IPTG. Oleh karena gen pengkode T7 RNA polimerase berasal dari virus bakteri (faga), maka proses transkripsi ini akan berlangsung dengan cepat dan T7 RNA polimerase diproduksi dalam jumlah banyak.


(35)

34 Limbah cair tahu yang ditambahkan ekstrak khamir (LCT+YE) dapat

digunakan sebagai medium untuk memproduksi enzim AI asal Geobacillus stearothermophilus lokal menggunakan inang E. coli BL21 pLysS pET21b dikarenakan medium ekspresi ini mengandung sumber carbon (C), nitrogen (N) dan mineral yang dibutuhkan oleh bakteri transfroman tersebut. Limbah cair tahu cukup potensial digunakan sebagai media fermentasi karena masih memiliki komponen nutrisi yang cukup lengkap bagi pertumbuhan mikroba (Kawira 1993). Limbah cair tahu mengandung 0.01% sumber karbon, 0.08% sumber nitrogen dan 27.5% mineral berupa kalsium, magnesium, besi, natrium, kalium, dan fosfor (Nurdin 1989). C dan N berguna sebagai sumber energi untuk metabolisme atau sintesis protein. Sedangkan mineral berfungsi sebagai kofaktor serta membantu membawa nutrisi ke dalam sel.

Pemilihan media fermentasi merupakan faktor yang sangat penting dalam memproduksi enzim dari mikroba, disamping faktor lain seperti kondisi fermentasi dan spesies mikroorganisme (Aunstrup 1979). Menurut Meyrath & Volvasek (1975), konsentrasi karbon murni yang rendah dan protein yang tinggi pada media akan meningkatkan produksi enzim dari mikroba. Ketika bakteri diinokulasikan ke dalam medium, bakteri akan memanfaatkan karbon sebagai sumber energi untuk beradaptasi dengan medium. Setelah sumber karbon murni habis atau tersisa sedikit, bakteri kemudian mulai mensintesis enzim-enzim yang dapat digunakan untuk menghidrolisis protein menjadi asam-asam amino.

Asam-Gambar 12. Mekanisme ekspresi terinduksi IPTG pada inang E. coli BL21(DE3) dengan sistem pET (Sorensen & Mortensen 2005)


(36)

asam amino ini akan digunakan sebagai sumber energi oleh bakteri untuk bertahan hidup dan melakukan replikasi.

Limbah cair tahu diperkirakan masih mengandung sedikit sumber karbon dari pati kedelai. Protein pada limbah cair tahu berasal dari kedelai. Dalam proses pembuatan tahu, pada proses ekstraksi dengan air panas, sekitar 79-82% kandungan protein kedelai dapat diekstrak. Dari protein yang terekstrak ini, pada waktu pengendapan tahu tidak semuanya mengendap. Banyaknya protein yang dapat digumpalkan atau diendapkan tergantung pada jenis penggumpalnya. Karena tidak terekstraksinya dan terendapnya semua protein yang terdapat pada kedelai, maka pada limbah cair tahu masih terdapat protein kedelai (Nurdin 1989). Penambahan ekstrak khamir ke dalam media limbah cair tahu meningkatkan kandungan nutrisi medium. Ekstrak khamir merupakan protein sel tunggal yang kaya akan asam amino, peptida, vitamin-vitamin B dan trace element. Ekstrak khamir juga mengandung asam nukleat terutama RNA (Singleton & Sainsbury 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Nurdin (1989) menunjukkan bahwa limbah cair tahu lebih baik dalam menghasilkan enzim protease asal bakteri Bacillus licheniformis BCC 0607 dibandingkan medium sintetis. Pada penelitian ini, medium LCT+YE lebih baik sebagai medium ekpresi enzim AI dibandingkan LB karena LCT+YE mengandung mineral yang lebih lengkap. Natrium, kalium dan kalsium menjaga agar protein dan komponen nutrisi lainnya dapat secara simultan dibawa ke dalam sel melalui mekanisme transpor aktif. Sedangkan magnesium (Mg) berfungsi sebagai kofaktor esensial dalam sintesis protein. Sintesis protein oleh E. coli membutuhkan Mg untuk mengaktifkan asam amino dari poolnya, mengawali proses translasi (initiation) dan pada tahap pemanjangan (elongation) menjadi oligopeptida atau protein (Stader 1995; Prescott 2002). Kalsium juga diketahui dapat meningkatkan produksi enzim rekombinan pada E. coli BL21. Penelitian yang telah dilakukan oleh Delgado (2009) menunjukkan bahwa level ekpresi protein rekombinan oleh E. coli BL21 secara jelas meningkat 15% lebih tinggi pada medium LB yang ditambahkan kalsium (Ca) dibandingkan medium LB saja. Ca diduga berperan sebagai pembawa pesan intreseluler (intracellular messenger) dalam sel prokariotik.


(37)

36 C. OPTIMASI PRODUKSI DENGAN LAMA WAKTU INDUKSI

Ekspresi protein rekombinan dengan sistem terinduksi masih merupakan pilihan untuk memproduksi enzim AI. Enzim AI yang dihasilkan dari beberapa genus bakteri, menggunakan senyawa penginduksi supaya gen target mengalami transkripsi dan translasi. Lama waktu induksi yang digunakan untuk ekspresi enzim ini bervariasi. Lee et al (2005a) memproduksi enzim AI asal G. stearothermophilus T6 dan B. halodurans dengan lama waktu induksi 4 jam, sedangkan Lee et al (2004) menggunakan lama waktu induksi 5 jam untuk ekpresi enzim AI asal T. maritima. Chouayekh et al (2007), Cheng et al (2009) dan Cheng et al (2010) memproduksi enzim AI yang masing-masing secara berurutan berasal dari L. plantarum, B. stearothermophilus IAM 11001, dan Acidothermus cellulolytics dengan lama waktu induksi 6 jam. Kim et al (2002) menggunakan lama waktu induksi 15 jam untuk menghasilkan enzim AI asal T. neapolitana. Enzim AI asal Lactobacillus sakei dihasilkan dengan menginduksi inang ekspresi selama semalaman (overnight) (Rhimi et al 2010). Lama waktu induksi yang dilakukan pada studi tersebut diatas adalah untuk menghasilkan enzim AI, dan pada studi tersebut tidak disebutkan atau dibahas tentang optimasi produksi.

Menurut Donovan (1996) terdapat dua poin penting yang perlu diperhatikan agar diperoleh hasil maksimum dari ekspresi terinduksi protein rekombinan pada bakteri. Yang pertama adalah siklus pertumbuhan bakteri tersebut, sehingga diketahui kapan induksi mulai dilakukan. Dan yang kedua yaitu lama waktu induksi. Induksi sebaiknya dilakukan pada saat siklus bakteri telah mencapai setengah fase eksponensial (mid eksponential) karena pada fase ini metabolisme bakteri berlangsung cepat dan sinstesis senyawa metabolitnya meningkat beberapa kali lipat dibandingkan fase-fase lainnya. Semakin lama induksi dilakukan maka semakin lama represor terlepas dari operator dan RNA polimerase yang dihasilkan akan semakin banyak pula. Kopetzki et al (1989) menyatakan bahwa induksi yang terlalu kuat akan menyebabkan beban metabolisme bagi inang dan bisa merangsang terbentuknya inclusion bodies. Oleh karena itu, konsentrasi senyawa penginduksi yang ditambahkan harus minimal. Konsentrasi akhir senyawa penginduksi sebesar 1 mM pada media ekpresi merupakan konsentrasi yang ideal.


(38)

Jam ke-0 Jam ke-4 Jam ke-8 Jam ke-12 Jam ke-16 Jam ke-20 Jam ke-24 116 kDa 66.2 kDa 45 kDa 35 kDa ~ 56 kDa

Khoo et al (2010) menyimpulkan bahwa konsentrasi IPTG 1 mM adalah konsentrasi terbaik untuk menghasilkan protein rekombinan menggunakan inang E. coli. Chen & Morgan (2006) menyebutkan bahwa waktu induksi yang terlalu lama akan menyebabkan nutrisi yang diperlukan oleh kultur akan cepat habis. Sehingga sangat penting untuk menyeimbangkan kapasitas induksi dan produksi protein rekombinan, agar diperoleh enzim target dalam jumlah banyak dan dengan aktivitas maksimum.

M

Gambar 13. Grafik optical density (kerapatan sel) dan aktivitas enzim yang dikoleksi dari kultur serta setelah induksi

Gambar 14. SDS-PAGE hasil optimasi produksi enzim dengan lama waktu induksi. Running dari kiri ke kanan M=marker dan jam setelah induksi (berurutan dari kiri ke kanan: total

-0.3 0.2 0.7 1.2 1.7 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 O D = 6 0 0 n m a k ti vi ta s e n zi m (U /m l)

Kultur dan lama Induksi


(39)

38

Pada gambar 14 terlihat hasil ekspresi enzim target (supernatan ke-2) antara jam ke-12 , 16 dan 20 hampir sama tebal (bandnya). Akan tetapi pada gambar 13 terlihat produksi enzim AI yang paling optimum adalah dengan lama waktu induksi 16 jam. Gambar 13 menunjukkan bahwa aktivitas enzim tertinggi terdapat pada lama waktu induksi 16 jam dan 20 jam. Tetapi induksi 16 jam memiliki aktivitas enzim pada bagian supernatan yang lebih tinggi (±2000 U/ml) dibandingkan jam ke-20 (±1500 U/ml). Bagian supernatan ke-2 merupakan bagian enzim yang larut dan memiliki aktivitas tinggi.

Gambar 13 menunjukkan bahwa kultur dan induksi jam ke-0 tidak memiliki aktivitas enzimatis terhadap substrat galaktosa yang diberikan. Hal ini menjelaskan bahwa tidak ada enzim AI yang diproduksi pada perlakuan tersebut. Karena jika dibandingkan dengan jam ke-4 setelah induksi, aktivitas enzim AI nampak meningkat secara tajam. Dari gambar 13 diketahui bahwa aktivitas enzim AI terus meningkat apabila waktu induksi diperpanjang hingga 16 jam. Kemudian setelah itu, aktivitas enzim AI kembali menurun. Gambar 13 juga menunjukkan bahwa enzim AI diproduksi secara optimal pada fase stasioner dari fase pertumbuhan inang ekspresi (E. coli BL21 pET21b-araA). Enzim dari mikroba dihasilkan secara optimal pada akhir fase eksponensial atau awal fase stasioner. Tetapi ada juga enzim dihasilkan secara maksimal pada fase stasioner. Optimasi produksi enzim keratinase dari bakteri termofilik diperoleh pada fase pertumbuhan stasioner (Gumulya 2004). Dan enzim protease dari Bacillus subtilis rekombinan dihasilkan secara maksimal pada awal fase stasioner (Sugiarto 2001). Saat memasuki fase stasioner, bakteri akan mengeluarkan senyawa metabolit lebih banyak. Hal ini merupakan bentuk respon stress bakteri terhadap kondisi yang sedang dialaminya, karena akan memasuki fase kematian (Jay et al 2005).

Pada gambar 13 terlihat bahwa pellet ke-2 yang merupakan campuran membrane sel bakteri dan inclusion bodies tidak memiliki aktivitas apabila induksi dilakukan selama 4 dan 8 jam. Tetapi jika waktu induksi diperpanjang maka pellet sedikit memberikan aktivitas. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya beberapa bagian enzim yang membentuk inclusion bodies dan bergabung bersama pellet ke-2. Kemungkinan terbentuknya inclusion bodies dipertegas melalui keberadaan pita pada posisi 56 kDa dibagian pellet dari perlakuan 12-24


(1)

97 Lanjutan lampiran 9.

Perhitungan aktivitas relatif selama inkubasi terhadap enzim dengan penambahan logam Ca

Perlakuan/

inkubasi Absorbansi

Tagatosa (mM)

Tagatosa (µM)

Tagatosa (µM) oleh 50 µl enzim

Aktivitas (UA/ml)

Aktivitas relatif (%)

Aktivitas relatif rata-rata (%)

Standar deviasi

kontrol

0.195 0.525 525.114 1312.785 437.595 99.306

100 2.833 0.203 0.545 545.259 1363.148 454.383 103.115

0.192 0.516 515.982 1289.954 429.985 97.579 30 menit

0.191 0.514 513.564 1283.911 427.970 97.122

95.682 2.319 0.191 0.512 512.490 1281.225 427.075 96.918

0.183 0.492 491.808 1229.519 409.840 93.007 60 menit

0.178 0.479 478.915 1197.287 399.096 90.569

90.772 1.181 0.181 0.487 486.704 1216.761 405.587 92.042

0.176 0.474 474.349 1185.872 395.291 89.705 90 menit

0.157 0.423 422.509 1056.272 352.091 79.902

81.426 1.414 0.163 0.437 437.282 1093.204 364.401 82.696

0.161 0.432 431.910 1079.774 359.925 81.680 120 menit

0.154 0.415 415.257 1038.141 346.047 78.530

80.274 3.021 0.165 0.443 442.922 1107.306 369.102 83.762

0.154 0.415 415.257 1038.141 346.047 78.530 150 menit

0.127 0.341 340.854 852.135 284.045 64.460

69.726 5.415 0.148 0.398 398.066 995.165 331.722 75.279


(2)

98 Lanjutan lampiran 9.

Pengukuran aktivitas relatif enzim selama inkubasi enzim dengan penambahan logam Mn

Perlakuan/

inkubasi Absorbansi

Tagatosa (mM)

Tagatosa (µM)

Tagatosa (µM) oleh 50 µl enzim

Aktivitas (UA/ml)

Aktivitas relatif (%)

Aktivitas relatif rata-rata (%)

Standar deviasi

kontrol

0.268 0.720 719.581 1798.952 599.651 102.096

100 2.334 0.263 0.708 707.763 1769.406 589.802 100.419

0.256 0.687 687.080 1717.701 572.567 97.485 30 menit

0.258 0.695 694.601 1736.503 578.834 98.552

98.692 1.207 0.262 0.705 704.539 1761.348 587.116 99.962

0.256 0.688 687.618 1719.044 573.015 97.561 60 menit

0.255 0.686 685.737 1714.343 571.448 97.294

97.142 0.513 0.256 0.688 687.618 1719.044 573.015 97.561

0.253 0.681 680.634 1701.585 567.195 96.570 90 menit

0.246 0.660 659.952 1649.879 549.960 93.636

94.474 2.472 0.255 0.685 685.469 1713.672 571.224 97.256

0.243 0.652 652.162 1630.406 543.469 92.530 120 menit

0.241 0.649 648.939 1622.348 540.783 92.073

92.315 0.270 0.243 0.653 652.699 1631.749 543.916 92.607

0.242 0.650 650.282 1625.705 541.902 92.264 150 menit

0.240 0.644 644.373 1610.932 536.977 91.425

90.968 0.962 0.236 0.633 633.360 1583.400 527.800 89.863


(3)

99 Lampiran 10. Perhitungan untuk penentuan waktu paruh en

Tanpa Logam Waktu inkubasi

(menit)

aktivitas (U/ml)

aktivitas

(U/L) Ln

0 433.491 433491.509 12.979 30 391.783 391783.806 12.878 60 360.745 360745.516 12.796 90 303.145 303145.611 12.622 120 279.120 279120.780 12.539 150 188.095 188095.024 12.144

Enzim +Logam Ca Waktu inkubasi

(menit)

aktivitas (U/ml)

aktivitas

(U/L) Ln

0 440.654 440654.191 12.996 30 421.628 421628.316 12.951 60 399.991 399991.046 12.899 90 358.805 358805.623 12.790 120 353.732 353732.056 12.776 150 307.249 307249.232 12.635 Enzim+ Logam Mn

Waktu inkubasi (menit)

aktivitas (U/ml)

aktivitas

(U/L) Ln

0 587.339 587339.958 13.283 30 579.654 579654.997 13.270 60 570.552 570552.422 13.254 90 554.884 554884.054 13.226 120 542.200 542200.137 13.203 150 534.291 534291.342 13.188 PERHITUNGAN

Perlakuan ln 0.5 k t1/2 (menit)

Enzim tanpa logam -0.693 -0.0051 135.911 Enzim+Ca -0.693 -0.0023 301.368 Enzim+Mn -0.693 -0.0007 990.210


(4)

RINGKASAN

YONI ATMA. Produksi dan Karakterisasi Enzim Arabinosa Isomerase dari Gen Bakteri Geobacillus stearothermophilus Lokal. Dibimbing oleh MAGGY T. SUHARTONO dan BUDI SAKSONO.

Enzim arabinosa isomerase (AI) dapat mengkatalisis secara revesible reaksi isomerisasi D-galaktosa menjadi D-tagatosa. Tagatosa telah digunakan sebagai pemanis rendah kalori (1,5 kkal/g) yang memiliki tingkat kemanisan 92% dibandingkan sukrosa. Tagatosa memberikan berbagai manfaat kesehatan diantaranya seperti menurunkan berat badan, prebiotik, anti-histolisis serta mereduksi sejumlah gejala yang berhubungan dengan diabetes tipe 2, hiperglikemia, obesitas, anemia dan hemophilia. Peran tagatosa sebagai antidiabetes akan bermanfaat sebagai gula alternatif di Indonesia, mengingat Indonesia menempati peringkat ke-4 dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia.

Produksi tagatosa menggunakan katalis logam memiliki banyak kekurangan. Sedangkan penggunaan beberapa jenis enzim seperti sorbitol dehidrogenase, D-psicosa 3-epimerse, dan D-tagatosa 3-epimerase meskipun lebih ramah lingkungan dibandingkan katalis logam, akan tetapi 3 jenis enzim tersebut membutuhkan substrat yang sangat mahal. Oleh sebab itu, saat ini enzim paling banyak dicari untuk memproduksi tagatosa adalah enzim arabinosa isomerase (AI). Pembentukan tagatosa oleh enzim AI sangat efisien karena substrat yang dibutuhkan dan tahapan produksinya.

Studi produksi dan pencarian enzim AI termostabil lebih difokuskan, sebab konversi D-galaktosa menjadi D-tagatosa meningkat dengan peningkatan suhu (> 50ºC). Selain itu, enzim-enzim pangan yang bersifat termostabil juga menjadi semakin penting dalam dunia industri. Hal ini berkaitan dengan keuntungan yang akan diperoleh bila proses produksi dilakukan pada suhu tinggi. Produksi enzim AI pada bakteri dilakukan dengan menggunakan inang E. coli. Gen araA yang mengkode AI dikloning melalui plasmid ke bakteri E. coli BL21. E. coli kemudian akan mengekspresikan atau menghasilkan AI setelah diberi senyawa penginduksi. Diantara beberapa bakteri temofilik yang telah diteliti, AI yang berasal dari bakteri G. stearothermophilus memiliki kemampuan tertinggi dalam menghasilkan tagatosa dan telah mendekati skala produksi komersial.

Kloning dan ekspresi gen araA dari G. stearothermophilus lokal asal Tanjung Api, Poso, Indonesia menggunakan inang E. coli BL21 pLysS pET21b telah dilakukan pada studi sebelumnya. Namun analisis dengan Sodium Dodecyl

Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) menunjukkan tingkat

ekspresi gen araA pada media ekspresi (fermentasi) Luria Bertani (LB) masih rendah. Ekspresi gen araA ini perlu ditingkatkan sehingga jumlah enzim AI yang dihasilkan optimal. Selain untuk meningkatkan produksi enzim, penelitian ini juga dilakukan untuk memurnikan enzim yang telah diperoleh dan menganalisis karakteristik enzim AI dari G. stearothermophilus lokal.

Penelitian dilakukan dengan 3 tahap yaitu produksi, purifikasi dan karakterisasi. Penelitian diawali dengan produksi enzim melalui modifikasi medium ekpresi. Modifikasi medium ekpresi dilakukan dengan menggunakan


(5)

limbah cair tahu yang ditambahkan dengan 0.5% ekstrak khamir (m/v) (LCT+YE) dan diatur pH media LCT+YE tersebut sama dengan pH Luria Bertani (LB). Tingkat ekspresi enzim pada media LCT+YE dibandingkan dengan LB. Selanjutnya dilakukan optimasi produksi dengan lama waktu induksi pada medium ekspresi terpilih. Hasil yang optimal dikonfirmasi dengan SDS-PAGE (melalui ketebalan pita) dan aktivitas enzim. Hasil produksi yang paling optimal kemudian dipurifikasi dan dikarakterisasi.

Purifikasi dilakukan melalui 3 langkah secara kontinu, antara lain: 1) freeze-thaw dengan cara memasukkannya total suspensi sel pada freezer bersuhu -700C sampai membeku selama ± 30 menit dan mencairkannya kembali (freeze-thaw dilakukan dengan 3 kali pengulangan), 2) heat treatment pada suhu 600C selama 30 menit, dan 3) kromatografi penukar ion dengan resin dietil amino etil (DEAE). Larutan NaCl dengan konsentrasi 0, 100, 300, 400, 500 dan 1000 mM digunakan sebagai garam pengelusi ketika purifikasi menggunakan kolom kromatografi dilakukan. Enzim murni yang diperoleh kemudian dikarakterisasi yang meliputi penentuan suhu dan pH optimum, logam aktivator, stabilitas panas serta waktu paruh enzim.

Analisis keberadaan enzim target dilakukan menggunakan SDS-PAGE. Metode Bradford digunakan untuk analisis protein atau enzim secara kuantitatif.

Bovine serum albumin (BSA) digunakan sebagai standar protein saat analisis

dengan larutan Bradford. Enzim yang telah direaksikan dengan larutan Bradford dibiarkan selama 2-5 menit pada suhu 370C, kemudian absorbansinya diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Aktivitas enzim diukur dengan metode larutan pewarna sisten karbazol asam sulfat. Substrat galaktosa direaksikan dengan enzim, kemudian diinkubasi pada suhu 600C selama 60 menit. Setelah reaksi enzimatis dihentikan, kemudian diberi larutan pewarna sisten karbazol asam sulfat dan diinkubasi kembali pada suhu 600C selama 30 menit. Absorbansi warna diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 560 nm. Pada pengukuran aktivitas enzim, fruktosa digunakan sebagai standar produk yang telah terbentuk.

Dari analisis dengan SDS-PAGE disimpulkan bahwa medium ekpresi yang lebih baik untuk produksi enzim AI adalah LCT + YE. Media cair LB juga dapat digunakan sebagai medium ekspesi, akan tetapi pita enzim target yang dihasilkan sangat tipis dibandingkan dengan medium LCT + YE. Optimasi produksi enzim AI dengan mekanisme ekspresi terinduksi yang paling optimum adalah dengan lama waktu induksi 16 jam. Aktivitas total suspensi sel tertinggi terdapat pada lama waktu induksi 16 jam dan 20 jam. Tetapi induksi selama 16 jam memiliki aktivitas enzim pada bagian supernatant ke-2 yang lebih tinggi (±2000 U/ml) dibandingkan induksi jam ke-20 (±1500 U/ml). Bagian supernatan ke-2 merupakan bagian enzim pada sitosol yang larut dan memiliki aktivitas tinggi.

Pada tahapan purifikasi, analisis dengan SDS-PAGE dan uji aktivitas diketahui enzim AI terelusi pada fraksi nomor 49-55. Dari SDS-PAGE diketahui bahwa enzim dengan berat molekul 56 kDa berada pada fraksi 50, 51 dan 52, sedangkan pada fraksi lain tidak menunjukkan keberadaan pita pada posisi 56 kDa. Pita tunggal (single band) pada fraksi 50, 51 dan 52 mengindikasikan enzim AI telah cukup murni dan terpisah dari protein lainnya. Fraksi 50, 51 dan 52 juga memiliki aktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan fraksi lainnya. Fraksi 49-55 terelusi oleh konsentrasi NaCl 300 mM. Aktivitas spesifik enzim murni pada


(6)

fraksi 50, 51 dan 52 antara lain secara berurutan adalah 345, 282 dan 364 U/mg. Kuantifikasi protein dengan metode Bradford juga mengkonfirmasikan bahwa protein hasil elusi kromatografi penukar ion lebih tinggi pada fraksi 50, 51 dan 52 dibandingkan fraksi lainnya.

Enzim AI murni memiliki aktivitas optimal pada suhu 600C dan pH 7. Enzim AI membutuhkan logam kalsium (Ca) dan mangan (Mn) untuk meningkatkan aktivitas dan stabilitas panasnya. Penambahan CaCl2 meningkatkan aktivitas relatif enzim AI dari G. stearothermophilus lokal hingga menjadi 154% pada konsentrasi 1 mM dan 130% pada konsentrasi 5 mM. Dan penambahan MnCl2 meningkatkan aktivitas relatif enzim hingga menjadi 525% pada konsentrasi 1 mM dan 560% pada konsentrasi 5 mM. Inkubasi pada suhu 65 0C selama 150 menit menurunkan aktivitas enzim AI murni tanpa penambahan logam hingga tersisa 43%. Sedangkan dengan penambahan 1 mM logam CaCl2 dan MnCl2, aktivitas enzim AI masih tersisa masing-masing 70% dan 91%. Pendugaan waktu paruh (t1/2) enzim AI hasil pemurnian dilakukan dengan penentuan nilai konstanta deaktivasi enzim (k) terlebih dahulu. t1/2 enzim tanpa logam pada suhu 65 0C adalah 136 menit. Dan dengan penambahan 1 mM CaCl2

dan MnCl2, t1/2 AI meningkat menjadi masing-masing 301 dan 990 menit.

Enzim AI dari beberapa bakteri termofilik yang telah diteliti tidak ada yang menunjukkan karakteristik yang 100% sama, meskipun enzim AI dihasilkan oleh gen yang sama (gen araA), namun genus, spesies, strain ataupun tempat isolasi bakteri yang berbeda dapat memberikan karakteristik yang berbeda pula. Waktu paruh enzim AI lokal pada suhu 65 0C dengan penambahan 1 mM MnCl2 jauh lebih lama dibandingkan beberapa enzim AI termostabil yang telah ada. Salah satu strategi peningkatan produksi tagatosa menggunakan enzim AI adalah mencari enzim dengan waktu paruh yang lama. Dari hasil penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa enzim AI dari G. stearothermophilus lokal dapat langsung diaplikasikan pada industri. Suhu yang direkomendasikan untuk aplikasi industri produksi tagatosa menggunakan enzim AI adalah 60-65ºC, karena pada suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan terjadinya reaksi pengcoklatan.

Kata kunci: enzim arabinosa isomerase, tagatosa, gen araA,

G. stearothermophilus, E. coli BL21 (DE3) pLysS pET-21b,