Persentase Karkas dan Karkater Sensori Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) Jantan dan Betina yang Dipelihara pada Kepadatan Kandang yang Berbeda

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Puyuh merupakan salah satu jenis ternak yang mempunyai potensi besar
untuk dikembangkan. Puyuh dikenal di Indonesia pada umumnya sebagai penghasil
telur, padahal puyuh juga memiliki kegunaan lain yaitu menghasilkan daging sebagai
sumber protein hewani. Budidaya puyuh relatif lebih sederhana bila dibandingkan
dengan unggas lainnya, produksi telur yang tinggi, selang generasi yang pendek dan
persentase karkas yang cukup besar. Sampai saat ini, informasi mengenai persentase
per bagian dari karkas puyuh di Indonesia masih sangat sedikit.
Keberhasilan suatu peternakan burung puyuh dapat dipengaruhi oleh
beberapa hal yaitu, pemeliharaan, kebersihan lingkungan dan pengendalian penyakit.
Kepadatan kandang merupakan salah satu komponen utama untuk mencapai
produksi yang maksimal dengan mempertimbangkan tingkat fertilitas dan efisiensi.
Setiap puyuh membutuhkan luasan kandang antara 185-225 cm2 (Peraturan Menteri
Pertanian, 2008). Performa yang baik akan meningkatkan kualitas karkas. Pengaruh
kepadatan kandang dapat mempengaruhi performa dan kualitas karkas. Kepadatan
kandang yang berlebihan dapat merugikan karena dapat menyebabkan adanya
persaingan, peningkatan suhu kandang, dan kanibalisme yang akan menyebabkan
penurunan

produktivitas,


performa

produksi,

dan

kualitas

karkas

puyuh.

Perbandingan jantan dan betina yang optimal untuk pembibit adalah 1:2 (Woodard et
al., 1973).
Karakteristik sensori diperoleh dari pencitraan indera manusia baik itu
melalui indera penglihatan, penciuman, pengecap, pendengar maupun peraba
terhadap suatu produk pangan (Kerry et al., 2001).

Masing-masing kepadatan


kandang akan memperlihatkan perbedaan sifat organoleptik pada daging puyuh
jantan dan betina.

Sifat organoleptik yang diamati adalah warna dan aroma.

Berdasarkan uraian di atas penelitian dilakukan untuk mempelajari persentase karkas
dan menentukan tingkat kepadatan kandang yang paling optimal pada pembibitan
ternak puyuh.

1

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kepadatan kandang pembibitan yang
optimum untuk menghasilkan persentase karkas puyuh yang maksimal dan
mempelajari tingkat warna dan aroma daging puyuh.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Coturnix-coturnix japonica
Puyuh adalah salah satu jenis unggas yang dapat dimanfaatkan telur dan
dagingnya (dwiguna).

Puyuh memiliki daging dengan cita rasa yang khas dan

memiliki kandungan protein hewani yang baik untuk manusia (Peraturan Menteri
Pertanian, 2008). Menurut Vali (2008), klasifikasi Coturnix japonica adalah sebagai
berikut:
Kerajaan

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Aves


Ordo

: Galilformes

Famili

: Phasianidae

Genus

: Coturnix

Spesies

: Coturnix-coturnix japonica

Jenis kelamin puyuh dapat dibedakan berdasarkan warna bulu, suara dan
berat badannya.


Karakteristik dari puyuh (C.

japonica) menurut Nugroho dan

Mayun (1986) yaitu puyuh jantan dewasa memiliki bulu dada berwarna merah sawo
matang tanpa adanya belang serta bercak-bercak hitam sedangkan puyuh betina
dewasa memiliki bulu dada berwarna sawo matang dengan garis-garis atau belangbelang hitam; Puyuh betina memiliki bentuk tubuh lebih besar, dan berbentuk bulat
dengan ekor dan paruh pendek dan kuat; Tiga jari kaki puyuh menghadap ke depan
dan satu jari kaki ke arah belakang; Suara puyuh betina lebih kecil dibandingkan
dengan jantan; Puyuh betina dapat menghasilkan telur sampai 200-300 butir setiap
tahun dengan berat telur sekitar 10 g/butir atau 7%-8% dari berat badan.
Puyuh memiliki banyak kegunaan diantaranya adalah sebagai unggas
penghasil telur dan daging (dwiguna), selang generasi yang relatif pendek (3 – 4
generasi per tahun), biaya pemeliharaan yang relatif murah, memiliki produksi telur
yang tinggi, resisten terhadap penyakit unggas dan ukurannya yang kecil sehingga
tidak memerlukan lahan yang luas untuk membudidayakannya (Vali, 2008). C.
japonica juga dapat digunakan sebagai ternak percobaan dan memiliki keunggulan
diantaranya dewasa tubuh dan kelamin pada saat berumur sekitar enam minggu dan
pada umumnya mencapai puncak produksi telur setelah 50 hari bertelur, prolifik


3

(produktif), mudah beradaptasi dengan iklim di lingkungan tropis, pencapaian
dewasa kelamin relatif lebih cepat dan puyuh betina dapat menghasilkan

telur

sebanyak 200-300 butir pada tahun pertama bertelur. Lingkungan yang tidak optimal
dapat menurunkan produksi, tingkat efisiensi serta dapat mengakibatkan kematian
pada ternak (Tuleun et al., 2011).
Performa Produksi
Bobot Badan Puyuh
Bobot badan puyuh jantan dewasa berkisar antara 130-140 g/ekor, sedangkan
puyuh betina dewasa berkisar antara 140-160 g/ekor. Bobot badan akhir puyuh pada
umur 15 minggu pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang yaitu 136,67; 138,10
dan 135,77 g. Puyuh yang telah memasuki dewasa kelamin pertumbuhan badannya
relatif konstan (Nugraeni 2012).
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu umur, palatabilitas
ransum, energi ransum, aktivitas, kesehatan ternak, tingkat produksi, serta kualitas

dan kuantitas dari ransum yang diberikan kepada puyuh (Wahju, 1982). Apabila
terdapat kekurangan salah satu dari zat nutrisi yang dibutuhkan oleh puyuh (protein,
vitamin, mineral dan air), maka akan mengakibatkan gangguan kesehatan,
produktivitas dan reproduksi pada puyuh (Nugroho dan Mayun, 1986).
Pemberian pakan puyuh dibedakan berdasarkan umur, yaitu puyuh berumur
31-51 hari diberi pakan sebanyak 17,5 g/ekor/hari. Puyuh berumur 51-100 hari
meningkat menjadi 22,1 g/ekor/hari dan tidak berubah setelah puyuh berumur 100
hari (konstan) (Tiwari dan Panda, 1978). Konsumsi pakan puyuh per hari berkisar
antara 20,96 g/ekor/hari sampai 23,82 g/ekor/hari (Triyanto, 2007).

Menurut

Setiawan (2006), puyuh dalam mengkonsumsi ransum dipengaruhi oleh tingkat
palatabilitas serta kandungan energi yang berada di dalam pakan tersebut.
Kebutuhan nutrisi puyuh dapat dilihat pada Tabel 1.

4

Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Puyuh Periode Layer
Zat Nutrisi


NRC*

SNI*

Min 2900

Min 2700

Protein (%)

20

Min 17

Kalsium (%)

Min 2,5

2,5-3,5


Min 1

0,6-1

Maks 4,40

Maks 7

3,96

Maks 7

Energi Metabolis (kkal/kg)

Fosfor (%)
Serat Kasar (%)
Lemak (%)

Sumber: National Research Council (1994); Badan Standardisasi Nasional (2006)


Mortalitas
Mortalitas puyuh dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan, pakan dan
teknik pemberian pakan, sanitasi, temperatur, dan kelembaban lingkungan (Wilson et
al., 1978). Mortalitas puyuh terbagi atas tiga kelompok umur, yaitu umur 1-15 hari
persentase mortalitasnya adalah 5%-8%, umur 16-35 hari persentase mortalitasnya
1%-4% dan umur 36-360 hari persentase mortalitasnya 8%-12% (Rasyaf, 1993).
Menurut Woodard et al. (1973), pada peternak pembibitan, puyuh jantan lebih
rendah angka kematiannya bila dibandingkan dengan kematian pada puyuh betina.
Puyuh jantan juga memiliki rata-rata hidup yang lebih lama. Menurut Sengul dan
Tas (1997), tingkat kematian puyuh meningkat seiring dengan kenaikan kepadatan
kandang puyuh. Seker et al. (2009) menyatakan bahwa tingkat kematian puyuh
meningkat bersamaan dengan kenaikan ukuran kelompok, namun perbedaan tersebut
tidak signifikan.
Kepadatan Kandang
Kepadatan kandang merupakan lahan yang dibutuhkan untuk setiap ekor atau
sejumlah puyuh yang dipelihara pada ruang tertentu tanpa mengganggu aktivitas
gerak dari ternak. Kepadatan kandang dipengaruhi oleh ukuran tubuh ternak, sistem
kandang, suhu lingkungan dan ventilasi (Creswell dan Hardjosworo, 1979). Wilson
et al. (1978) menyatakan bahwa kepadatan kandang berpengaruh terhadap tingkat

konsumsi ransum.

Kepadatan kandang yang rendah cenderung menurunkan

konsumsi puyuh dan menghasilkan konversi ransum yang baik. Kepadatan kandang
yang tinggi akan menghambat pertumbuhan puyuh dan dapat berakibat kematian.

5

Kematian atau mortalitas yang tinggi pada kandang padat disebabkan oleh
faktor stres dan persaingan di dalam kandang. Kandang berukuran 100 cm, lebar 45
cm dan tinggi 27 cm dapat menampung 20-25 ekor puyuh dewasa atau setiap puyuh
membutuhkan luasan kandang antara 180-225 cm2 (Peraturan Menteri Pertanian,
2008). Kepadatan kandang yang terlalu tinggi dapat menyebabkan produksi daging
yang rendah, kemungkinan besar terjadi cidera pada ternak, tingkat mortalitas yang
tinggi serta meningkatkan kanibalisme (Mehmet, 2008). Menurut Woodard et al.
(1973), perbandingan yang optimum jantan dan betina untuk pembibit adalah 1:1
atau 1:2.

Perbandingan jantan dan betina yang optimum dapat meningkatkan

fertilitas.
Pertumbuhan dan Faktor yang Mempengaruhinya
Menurut Esen et al. (2006), karakteristik produksi ternak dipengaruhi oleh
faktor genetik dan lingkungan.

Genetik terpilih dapat memaksimalkan produksi

suatu ternak karena genetik ini merupakan hasil seleksi dari genetik yang ada.
Faktor lingkungan diantaranya adalah manajemen pemeliharaan, kualitas pakan, dan
tipe perkandangan. Selain itu, bentuk dan tipe kandang, pencahayaan, dan kepadatan
kandang merupakan faktor lingkungan yang penting pada produksi unggas.
Lingkungan yang optimal dapat meningkatkan produksi serta efisiensi dalam
pemeliharaan suatu ternak.

Lingkungan yang tidak optimal dapat menurunkan

produksi, tingkat efisiensi serta dapat mengakibatkan kematian pada ternak.
Pemuasaan Ternak
Penyembelihan puyuh yang benar dilakukan untuk memperoleh karkas puyuh
yang berkualitas baik. Sebelum proses penyembelihan, puyuh dipuasakan dari pakan
selama 3,5-4 jam. Pemuasaan bertujuan untuk mengurangi adanya kemungkinan
pakan yang masih tersisa pada saluran pencernaan dan mencegah kehilangan bobot
badan puyuh yang berlebihan. Pemuasaan air minum tidak dilakukan karena dapat
menurunkan bobot badan ternak yang hendak dipotong secara drastis (Genchev dan
Mihaylov, 2008).

Menurut Soeparno (2005), pemuasaan bertujuan untuk

mempermudah proses penyembelihan dan memperoleh bobot tubuh kosong (BTK).
Bobot tubuh kosong merupakan bobot tubuh ternak setelah dikurangi isi saluran
empedu, isi saluran pencernaan, dan isi kandung kemih ternak.

6

Penyembelihan Puyuh
Penyembelihan puyuh dilakukan dengan cara memotong ikatan diantara
kepala dan tulang cervical vertebra pertama. Eksanguinasi atau proses pengeluaran
darah dilakukan sampai dapat dipastikan bahwa tidak ada lagi darah yang berada di
dalam tubuh ternak dan dilanjutkan dengan memotong bagian metatarsal. Tahap
terakhir adalah melepaskan bulu dan kulit puyuh yang dapat dilakukan dalam satu
tahapan kerja (Genchev dan Mihaylov, 2008). Sebelum penyembelihan dilakukan
penimbangan atau disebut bobot potong. Bobot potong puyuh pada kepadatan 12, 15
dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah 129,44; 132,59 dan 131,73 g (Nugraeni,
2012).
Pengeluaran Jeroan
Karkas puyuh diletakkan dengan cara bagian punggung (dorsal) berada pada
sisi bawah dan bagian dada ada di sisi atas. Proses pengeluaran jeroan dilakukan
dengan cara membuat lubang berukuran ± 0,5 cm pada ujung sternum dengan
menggunakan

gunting.

Lubang

tersebut

diperbesar

ukurannya

sehingga

memudahkan dalam proses pengeluaran jeroan (eviserasi). Organ hati dikeluarkan
dengan cara menariknya dengan jari. Organ-organ lain yang berada di dalam ruang
abdominal/perut seperti tembolok, proventiculus, empedal,

usus kecil, usus besar

serta pankreas juga dikeluarkan dengan cara yang sama (Genchev dan Mihaylov,
2008).
Karkas
Karkas adalah bagian tubuh unggas tanpa bulu, jeroan, kepala, leher, kaki,
ginjal dan paru-paru.

Proses pemotongan ternak hidup dilakukan secara halal.

Karkas pada umumnya dapat disajikan dalam bentuk karkas beku, karkas segar, dan
karkas dingin (Badan Standardisasi Nasional, 2009). Bobot potong mempengaruhi
persentase bobot karkas.

Semakin tinggi bobot potong, maka semakin tinggi

persentase bobot karkas. Bobot karkas dipengaruhi oleh metode pengulitan karena
kulit tidak termasuk ke dalam komponen karkas. Karkas terdiri atas tiga jaringan,
yaitu daging tulang, dan lemak (Soeparno, 1992).
Menurut Jull (1977), persentase karkas dipengaruhi oleh bobot bagian tubuh
yang dibuang, seperti leher, kaki, kepala, bulu, dada, dan viscera. Persentase karkas
7

dihitung melalui perbandingan antara bobot karkas terhadap bobot badan akhir
dikalikan dengan seratus persen. Bobot karkas puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18
ekor/kandang berturut-turut adalah 70,16; 72,26 dan 73,33 g. Sedangkan persentase
karkas puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah
54,23%; 54,48% dan 55,65% (Nugraeni, 2012).

Menurut penelitian Setiawan

(2006), burung puyuh berbeda dengan unggas jenis lainnya. Puyuh betina memiliki
bobot badan yang lebih besar dibandingkan puyuh jantan dan mulai tampak pada
umur 7 minggu.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Karkas
Karkas dipengaruhi oleh dua hal, yaitu lingkungan dan genetik. Keduanya
dapat mempengaruhi komposisi tubuh termasuk distribusi berat yang dihasilkan.
Komponen utama karkas seperti tulang, otot, dan lemak dipengaruhi oleh berat
hidup, umur serta laju pertumbuhan. Ketiga komponen tersebut memiliki besaran
proporsi yang berkebalikan, dimana salah satu bagian tersebut meningkat besaran
proporsinya, maka kedua bagian lainnya akan menurun besaran proporsinya
(Soeparno, 2005).
Parting
Parting merupakan suatu proses pemisahan bagian karkas.

Proses ini

dilakukan setelah proses eviserasi atau pengeluaran jeroan. Leher dipotong pada
sekitar daerah tulang servikal terakhir dengan tulang thoracic. Karkas tanpa kepala
dan organ dalam disebut dengan „grill cut‟ (Genchev dan Mihaylov, 2008).
Dada
Pemisahan bagian dada pada karkas puyuh dilakukan dengan cara
menggunting bagian dada mulai dari cauda sampai akhir carina sterni. Craniolateral dipotong dari bagian samping sepanjang ikatan otot pectoral.

Potongan

tersebut dilanjutkan sampai melewati tulang rawan penghubung tulang rusuk (sternal
dan vertebral) yang berhubungan secara langsung sampai ke bagian pundak
(Genchev dan Mihaylov, 2008). Bobot bagian dada puyuh pada kepadatan 12, 15
dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah 31,34; 32,85 dan 33,24 g. Sedangkan

8

persentase dada puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut
adalah 44,67%; 45,40% dan 45,27% (Nugraeni, 2012).
Paha
Genchev dan Mihaylov (2008) menyatakan bahwa pemisahan bagian paha
dilakukan dengan cara memotong bagian sisi vertebral pada penghubung tulang
pinggul melewati ujung femoral.

Pemisahan dilakukan dengan memotong pada

bagian persendian diantara tulang pinggul dan tulang paha. Pemotongan dilakukan
pada bagian persendian bertujuan untuk menghasilkan bagian karkas yaitu paha yang
berkualitas

baik.

Pemotongan

pada

bagian

menghitamnya bagian yang terpotong tersebut.

tulang dapat

menyebabkan

Bobot bagian paha puyuh pada

kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah 18,29; 18,83 dan 19,26
g. Sedangkan persentase karkas puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang
berturut-turut adalah 26,08%; 26,06% dan 26,11% (Nugraeni, 2012).
Sayap
Pemisahan bagian sayap dilakukan dengan cara memotong bagian ujung
tulang sayap yang bertemu dengan tulang bahu. Pemotongan dilakukan pada bagian
sendi diantara kedua tulang tersebut.

Pemotongan dilakukan dengan cara melingkar

di sekitar tulang bahu agar tidak ada bagian daging dada yang terhitung pada bagian
sayap.

Pemisahan bagian sayap dengan cara memotong tulang sayap tidak

dianjurkan karena dapat mempengaruhi bobot sayap dan dapat menghasilkan
potongan sayap yang kurang baik (Genchev dan Mihaylov, 2008). Bobot sayap
puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah 5,21; 5,38
dan 5,27 g. Sedangkan persentase sayap puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18
ekor/kandang berturut-turut adalah 7,42%; 7,44% dan 7,19% (Nugraeni, 2012).
Punggung dan Bagian Lain
Pemisahan bagian punggung dilakukan dengan cara memotong bagian dada
kanan dan dada kiri pada tulang rusuk yang bertemu dengan tulang belakang.
Tulang rusuk dipotong satu persatu sehingga diperoleh bagian punggung. Bagian
lain terdiri atas tulang pinggul, lumbar dan sacral, tulang thoracic dengan bagian
vertebral dari rusuk dan scapula disebut dengan “ribcage” (Genchev dan Mihaylov,
2008).

Bobot bagian punggung pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang
9

berturut-turut adalah 14,87; 14,70 dan 15,41 g. Sedangkan persentase punggung
pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah 21,19%; 20,38%
dan 21,06% (Nugraeni, 2012)
Deboning
Dada
Deboning merupakan pelepasan daging dari tulang. Deboning pada bagian
dada dilakukan dengan cara memotong otot bagian pectoral dengan pisau pada kedua
sisi dari sternum.

Tulang selangka dilepaskan dengan cara memotong otot

disekitarnya sampai bagian akhir. Daging disekitar sternum dan tulang selangka
berbentuk “V” dilepaskan secara langsung dengan menggunakan tangan (Genchev
dan Mihaylov, 2008). Daging puyuh memiliki kandungan protein sesar 21,10% dan
kandungan lemaknya relatif rendah yaitu 7,7% (Listiyowati dan Roospitasari, 1999).
Bobot daging dada pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah
26,64; 26,77 dan 26,45 g. Sedangkan persentase daging puyuh pada kepadatan 12,
15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah 21,30%; 21,07% dan 21,26%
(Nugraeni, 2012)
Paha
Menurut Genchev dan Mihaylov (2008), deboning bagian paha dilakukan
dengan cara memotong secara melingkar pada bagian ujung tulang femur. Otot yang
berada pada bagian ini dibelah pada bagian tengah pada femur yang berhubungan
langsung dengan penghubung lutut. Otot dipotong kemudian dilepaskan dari tulang.
Proses deboning pada otot paha dilakukan pada paha atas dan paha bawah. Bobot
daging paha puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah
14,94; 15,22 dan 15,57 g. Sedangkan persentase karkas puyuh pada kepadatan 12,
15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah 21,30%; 21,07% dan 21,26%
(Nugraeni, 2012)
Komponen Karkas
Otot
Menurut Muchtadi et al. (2010), otot memiliki fungsi utama bagi tubuh yaitu
untuk menggerakkan tubuh, membentuk tulang dan menutupi tulang. Otot pada

10

puyuh warnanya tidak sama di setiap bagian. Otot pada dada puyuh berwarna lebih
terang, sedangkan otot pada bagian paha berwarna lebih gelap. Hal ini disebabkan
puyuh dalam beraktivitasnya lebih banyak berjalan dari pada terbang, sehingga
pigmen mioglobinnya banyak terakumulasi pada bagian paha.
Lemak
Lemak pada unggas terbagi atas tiga jenis, yakni lemak bawah kulit
(subcutan), lemak perut bagian bawah (abdominal), dan lemak dalam otot
(intramuscular). Umur mempengaruhi kandungan lemak subkutan. Kadar lemak
subkutan puyuh berumur tiga minggu meningkat dari 13,25% menjadi 33,87% pada
umur sembilan minggu (Muchatadi et al., 2010).
Tulang
Sistem pertulangan pada ternak unggas berbeda dengan sistem pertulangan
pada mamalia. Karakteristik tulang unggas adalah ringan namun kuat dan kompak
karena di dalamnya terkandung garam kalsium yang padat. Tulang pada unggas
berfungsi sebagai tempat bertautnya daging, kerangka tubuh, melindungi organ tubuh
dan sumsum tulang (Muchtadi et al., 2010).

Bobot tulang dada puyuh pada

kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah 4,70; 6,09 dan 6,79 g.
Sedangkan persentase tulang dada puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18
ekor/kandang berturut-turut adalah 6,00%; 8,42% dan 9,27%. Bobot tulang paha
puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah 3,35; 3,61
dan 3,70 g. Sedangkan persentase tulang paha puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18
ekor/kandang berturut-turut adalah 4,31%; 5,03% dan 5,04% (Nugraeni, 2012)
Persentase Pemotongan
Winarno (2005) menyatakan bahwa pada unggas kecil seperti puyuh,
persentase pemotongan selama pertumbuhan relatif sama (konstan). Ayam broiler,
kalkun dan unggas besar lainnya persentase pemotongan meningkat selama
peningkatan umur, pertumbuhan serta kenaikan bobot tubuh ternak.
Karakteristik Sensori
Karakteristik sensori diperoleh dari pencitraan indera manusia baik itu
melalui indera penglihatan, penciuman, pengecap, pendengar maupun peraba
11

terhadap suatu produk pangan. Karakteristik sensori terdiri atas beberapa parameter,
diantaranya adalah warna, aroma, keempukan dan rasa (Kerry et al., 2001).
Warna
Warna daging identik dengan kandungan mioglobin yang terkandung dalam
suatu daging.

Aktivitas urat daging dapat membedakan kandungan mioglobin.

Aktivitas yang tinggi dapat menyebabkan kandungan mioglobin yang lebih banyak.
Jenis kelamin, umur, latihan dan jenis urat daging dapat mempengaruhi kandungan
mioglobin tersebut. Mioglobin akan terdenaturasi akibat dari proses pemanasan.
Mioglobin

yang terkandung pada

miohemikromogen.

daging akan

berubah

menjadi

globin

Globin miohemikromogen coklat merupakan pigmen utama

daging yang telah mengalami pemanasan (Lawrie, 2003).
Warna gelap atau krem kecoklatan juga dapat berasal dari hasil reaksi
Maillard yang terjadi akibat reaksi antara gugus amina primer pada protein dengan
karbohidrat khususnya gula pereduksi. Hemoprotein yang terdenaturasi merupakan
suatu kompleks berwarna krem kecoklatan daging yang sudah dimasak (Lawrie,
2003). Warna daging masak dipengaruhi oleh suhu pemasakan. Warna interior
daging yang dimasak pada suhu 80 – 85 oC berwarna coklat abu-abu (Soeparno,
2005).
Aroma
Aroma merupakan salah satu komponen dari flavor.
aroma bersifat subjektif.

Penilaian terhadap

Pemilihan panelis dan kondisi pada saat penilaian

merupakan komponen penting dalam menurunkan keragaman individu dalam respon
terhadap stimulus tertentu. Aroma pada umumnya berasal dari zat-zat kimia yang
berada pada suatu produk pangan yang memiliki sifat reaktif terhadap syaraf
olfactory. Aroma memiliki respon 10.000 kali lebih sensitif dari pada rasa (Lawrie,
2003).
Menurut Batzer et al. (1960), aroma daging dalam pemanasan merupakan
akibat adanya dilisat urat daging dalam air, yang berisi
inosinat.

glikoprotein dan asam

Bau juga dapat disebabkan karena pemanasan asam-asam amino dari

glikoprotein dengan inosin dan glucose (Batzer et al., 1962).

Penyebab aroma

daging tidak hanya disebabkan karena asam-asam amino yang bereaksi ketika

12

dipanaskan, tetapi juga lemak, karbohidrat, dan tiamin merupakan prekursor lain
yang dapat menyebabkan aroma pada suatu daging (MacLeod dan SeyyedainArdebili, 1981).

13

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Blok B, Unit Unggas.
Pemotongan puyuh dan penelitian persentase karkas dilakukan di Laboratorium
Unggas serta uji mutu hedonik dilakukan di Laboratorium Organoleptik, Bagian
Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan selama empat
bulan, yaitu dari bulan Desember 2011 sampai Maret 2012.
Materi
Ternak
Penelitian ini menggunakan puyuh (Coturnix-coturnix japonica) betina
periode bertelur umur sembilan minggu sebanyak 90 ekor dan puyuh jantan berumur
sepuluh minggu sebanyak 45 ekor yang diperoleh dari peternakan puyuh Kayumanis
Quail Farm di Daerah Salabenda, Bogor, vitamin unggas, dan pakan puyuh
komersial dengan komposisi zat makanan ransum penelitian disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian
Zat Makanan
Kadar Air (maksimal)
Protein Kasar

Jumlah (%)
12
20-22

Lemak Kasar (maksimal)

7

Serat Kasar

7

Abu (maksimal)

14

Ca

2,5-3,5

P

0,6-1

Sumber: PT. Universal Agri Bisindo (2011)

Alat
Peralatan yang digunakan saat pemeliharaan meliputi kandang baterai koloni
sebanyak sembilan petak dengan ukuran masing-masing unit adalah 62x50x26 cm
atau 3100 cm2/petak. Setiap blok kandang diisi oleh 12-18 ekor puyuh, dimana rasio
jantan dan betina yang digunakan adalah 1:2.

Sangkar menggunakan kawat

berbentuk kubus yang memiliki lubang-lubang berbentuk persegi berukuran 1 x 1

14

inci. Setiap sangkar dilengkapi satu tempat pakan, satu tempat minum dan satu
tempat feses. Kandang diberi penerangan satu buah lampu berdaya 40 watt. Kotoran
puyuh yang berada di tempat feses ditampung dengan menggunakan karung.
Pengacakan pada kandang penelitian disajikan pada Gambar 1.

P3U1

Kontrol

P1U3

P3U3
P2U3

P1U2

P2U1
P3U2
P2U2
P1U1

Gambar 1. Kandang Penelitian
Keterangan : P1U1 = 4 ekor puyuh ♂ dan 8 ekor puyuh ♀, P1U2 = 4 ekor puyuh ♂ dan 8 ekor puyuh
♀, P1U3 = 4 ekor puyuh ♂ dan 8 ekor puyuh ♀, P2U1 = 5 ekor puyuh ♂ dan 10 ekor puyuh ♀, P2U2 =
5 ekor puyuh ♂ dan 10 ekor puyuh ♀, P2U3 = 5 ekor puyuh ♂ dan 10 ekor puyuh ♀, P3U1 = 6 ekor
puyuh ♂ dan 12 ekor puyuh ♀, P3U2 = 6 ekor puyuh ♂ dan 12 ekor puyuh ♀, P3U3 = 6 ekor puyuh ♂
dan 12 ekor puyuh ♀.

Peralatan yang digunakan saat pemotongan dan penimbangan karkas meliputi
timbangan digital, pisau, dan kantung plastik ukuran 1 kg. Peralatan yang digunakan
saat uji mutu hedonik meliputi piring kecil, formulir uji sensori, alat tulis, panci,
freezer, termometer bimetal dan talenan.
Prosedur
Persiapan Kandang
Kandang dicuci dengan air dan deterjen, disiram dengan karbol, dan lantai
kemudian disiram lagi dengan air kapur.

Kandang yang digunakan dilengkapi

dengan tempat minum dan tempat pakan yang diletakkan di pinggir luar sangkar,
serta tempat feses yang diletakkan di bawah setiap sangkar.
15

Pre-eliminary
Puyuh jantan dan betina dimasukkan ke dalam kandang yang berbeda. Puyuh
diberi makan sebanyak 20g/ekor/hari dan air minum tersedia ad libitum. Puyuh
betina dan puyuh jantan diberikan campuran antara air dan vitamin pada hari
pertama. Puyuh betina diberikan perangsang telur setiap interval empat hari. Puyuh
jantan pada hari kedua dan seterusnya diberikan air minum.
Pemeliharaan
Bobot puyuh ditimbang pada awal pemeliharaan sebelum dimasukkan ke
dalam kandang.

Pemeliharaan dilakukan selama enam minggu.

dibedakan berdasarkan

tingkat

kepadatan

kandang

Pemeliharaan

yang berbeda

dengan

perbandingan jantan dan betina 1:2. Pemberian pakan sebanyak 20g/ekor/hari dan
dilakukan pada pagi hari pukul 07.00 WIB. Air minum diberikan ad libitum. Sisa
pakan ditimbang pada pagi hari setiap hari sebelum diberikan pakanyang baru.
Penyembelihan, Parting, dan Deboning
Puyuh yang telah dipelihara selama enam minggu ditimbang satu per satu
untuk mendapatkan bobot hidup. Sampel puyuh yang disembelih sebanyak 30% dari
setiap perlakuan. Bobot potong puyuh diperoleh setelah pemuasaan selama 3,5 - 4
jam (Genchev and Mihaylova, 2008).
Proses penyembelihan dilakukan pada bagian ikatan diantara tulang servikalis
pertama dengan cara memotong oesophagus, trachea, pembuluh darah vena
jugularis dan arteri carotid.

Kemudian dilakukan pengeluaran darah.

Proses

selanjutnya pemotongan bagian kepala, leher, metatarsal dan metacar-pus kemudian
bulu dan kulit puyuh dibuang.
Proses pengeluaran jeroan dengan cara melubangi ujung sternum pada bagian
dada sebesar 0,5 cm dengan menggunakan gunting. Lubang diperbesar dengan jari
kemudian jeroan ditarik keluar.
Proses parting dilakukan dengan cara memotong karkas menjadi bagianbagian sayap, paha, dada, dan punggung. Proses deboning hanya dilakukan pada
bagian dada dan paha.

Persentase karkas dihitung berdasarkan bobot potong.

Persentase sayap, paha, dada, punggung dan tulang dihitung berdasarkan bobot
karkas.

16

Penilaian Sensori
Penilaian sensori yang dilakukan menggunakan uji mutu hedonik dengan
metode skoring. Sampel daging puyuh diambil sebanyak empat ekor dari masingmasing perlakuan dan jenis kelamin.

Daging yang digunakan adalah bagian dada.

Proses pembersihan daging dilakukan dengan air mengalir.

Proses pemasakan

dengan cara mengukus daging puyuh sampai suhu 80 – 85 oC atau berwarna coklat
abu-abu (Soeparno, 2005).
Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 15 orang.
Panelis mendapatkan pengarahan untuk menyamakan persepsi terhadap atribut
sensori yaitu warna dan aroma daging puyuh yang akan menjadi objek uji. Sebagai
sampel pembanding menggunakan daging dada bebek dan ayam broiler. Setelah
mendapatkan pengarahan, panelis satu persatu memasuki bilik untuk menilai sampel
yang diujikan.
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri
dari tiga perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah kepadatan
kandang pada rasio jantan:betina yaitu 1:2 yang terdiri dari tiga taraf perlakuan,
yaitu:
P1

: 12 ekor/kandang (258,33 cm2/ekor)

P2

: 15 ekor/kandang (206,67 cm2/ekor)

P3

: 18 ekor/kandang (172,22 cm2/ekor)
Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini menurut Mattjik dan

Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut:
Yijk = μ + Pi + εij
Yijk

: Nilai pengamatan pada luasan kandang kandang ke-i, jenis kelamin ke-j dan
ulangan ke-k

µ

: Rataan umum

Pi

: Pengaruh perlakuan kepadatan kandang ke-i (i = 12, 15, 18 ekor)

εij

: Pengaruh galat percobaan kepadatan kandang ke-i pada ulangan ke-j
17

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis ragam (Steel dan Torrie, 1991).
terjadi perbedaan antar perlakuan dilakukan uji Tukey.

Apabila

Data persentase

ditransformasi arcsin sebelum dianalisis ragam. Peubah yang diamati pada penelitian
ini adalah bobot hidup, bobot potong, persentase karkas, persentase dari bobot setiap
bagian karkas, persentase bobot daging, persentase bobot tulang serta tingkat warna
dan aroma daging puyuh.
Peubah
1. Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan merupakan selisih berat pakan yang diberikan dikurangi
berat pakan yang tersisa.
2. Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan merupakan selisih pengukuran bobot puyuh diakhir
dan diawal penelitian berlangsung.
3. Bobot Hidup
Bobot hidup dihitung berdasarkan penimbangan puyuh pada akhir
pemeliharaan.
4. Bobot Potong
Bobot potong dihitung berdasarkan penimbangan puyuh sebelum dipotong
dan setelah dipuasakan dari pakan selama 3,5-4 jam.
5. Persentase karkas
Persentase karkas dihitung dengan cara membagi bobot karkas (gram) dengan
bobot potong setelah itu dikalikan seratus persen.
6. Bobot dan Persentase Dada (%)
Bobot dada diperoleh dengan cara menimbang dada dengan menggunakan
timbangan digital. Persentase dada dihitung dengan cara membagi bobot dada
(gram) dengan bobot karkas (gram) setelah itu dikalikan seratus persen.
7. Bobot dan Persentase Sayap (%)
Bobot sayap diperoleh dengan cara menimbang sayap dengan menggunakan
timbangan digital. Persentase sayap dihitung dengan cara membagi bobot sayap
(gram) dengan bobot karkas (gram) setelah itu dikalikan seratus persen.

18

8. Bobot, Persentase Paha
Bobot paha diperoleh dengan cara menimbang pada dengan menggunakan
timbangan digital. Persentase paha diperoleh dengan cara membagi bobot paha
(gram) dengan bobot karkas (gram) setelah itu dikalikan seratus persen.
9. Rasio Daging dan Tulang Karkas
Rasio daging dan tulang karkas diperoleh dengan cara membandingkan bobot
daging dan tulang. Daging ditimbang setelah proses deboning.
10. Karakteristik Sensori
Penilaian terhadap karakteristik sensori daging puyuh jantan dan betina
dilakukan melalui uji mutu hedonik dengan menggunakan metode skoring.
Pengujian dilakukan terhadap beberapa parameter, yaitu warna dan aroma.
Sampel sebanyak tiga unit disajikan bersamaan dan panelis diminta menilai dan
memberikan skor sesuai

dengan keterangan skor, yaitu: 1 =

putih

kekuningan/sangat tidak bau khas puyuh; 2 = kuning/tidak bau khas puyuh; 3 =
kuning kekreman/agak bau khas puyuh; 4 = krem/bau khas puyuh; 5 = krem
kecoklatan/sangat bau khas puyuh.

19

HASIL DAN PEMBAHASAN
Performa Puyuh
Performa puyuh meliputi bobot badan awal, bobot badan akhir, total
konsumsi pakan, rata-rata konsumsi pakan, dan mortalitas puyuh (Coturnix-coturnix
japonica) pada perbedaan kepadatan kandang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Performa Puyuh
Variabel

Kepadatan Kandang (ekor/kandang)
12

15

18

Bobot Badan Awal (g)

129,70 ± 8,10

131,41 ± 6,05

133,14 ± 8,74

Bobot Badan Akhir (g)

133,40 ± 8,63

a

a

134,14 ±9,17a

Total Kosumsi Pakan (g/ekor)

788,20 ± 20,50a

798,70 ± 21,40a

812,33 ± 3,54a

Rata-rata Konsumsi Pakan (g/ekor/hari)

18,77 ± 0,49a

19,02 ± 0,51a

19,34 ± 0,08a

Mortalitas (ekor)

1,00 ± 1,00a

1,33 ± 1,53a

0,67 ± 0,58a

132,67 ± 5,78

Keterangan: Superskrip yang sama pada baris yang sama tidak menunjukan perbedaan yang nyata
(P>0,05)

Bobot Badan Awal
Kepadatan kandang merupakan lahan yang dibutuhkan untuk setiap ekor atau
sejumlah puyuh yang dipelihara pada ruang tertentu tanpa mengganggu aktivitas
gerak dari ternak. Kepadatan kandang dipengaruhi oleh ukuran tubuh ternak, sistem
kandang, suhu lingkungan dan ventilasi (Creswell dan Hardjosworo, 1979).
Kepadatan kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah 12 ekor/kandang atau
258,33 cm2/ekor, 15 ekor/kandang atau 206,67 cm2/ekor, dan 18 ekor/kandang atau
172,22 cm2/ekor. Setiap puyuh membutuhkan luasan kandang antara 180-225 cm2
(Peraturan Menteri Pertanian, 2008).
Bobot badan awal merupakan bobot puyuh pada awal penelitian. Rataan
bobot badan tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Penelitian ini menggunakan
perbandingan puyuh jantan dan puyuh betina = 1:2. Menurut Woodard et al. (1973),
perbandingan yang optimum jantan dan betina untuk pembibit adalah 1:1 atau 1:2.
Perbandingan jantan dan betina yang optimum dapat meningkatkan fertilitas.
Penggunaan perbandingan 1:2 pada penelitian ini lebih

bertujuan untuk

menghasilkan suatu perbandingan yang optimum, namun tetap efisien. Jantan yang
terlalu banyak hanya akan meningkatkan jumlah konsumsi ransum yang akan
dihabiskan setiap harinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot badan

20

awal untuk masing-masing kepadatan 12 ekor/kandang, 15 ekor/kandang, dan 18
ekor/kandang adalah 129,70 g; 131,41 g; 133,14 g. Bobot yang tidak berbeda dari
penelitian ini disebabkan karena bobot puyuh yang digunakan adalah seragam.
Bobot Badan Akhir
Bobot badan akhir pada usaha peternakan puyuh merupakan salah satu faktor
yang biasanya tidak dijadikan indikasi keberhasilan dari usaha tersebut.

Usaha

puyuh memprioritaskan telur puyuh sebagai komoditi utamanya. Perhitungan berat
akhir dapat digunakan sebagai acuan pada penjualan karkas pada masa akhir
produksi atau telah memasuki masa afkir dari puyuh tersebut.

Puyuh memiliki

daging dengan cita rasa yang khas dan memiliki kandungan protein hewani yang
baik untuk manusia (Peraturan Menteri Pertanian, 2008). Menurut Listiyowati dan
Roospitasri (1999), daging puyuh memiliki kandungan protein dan lemak sebesar
21,10% dan 7,7%.
Bobot badan akhir merupakan bobot puyuh pada akhir masa pemeliharaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot badan awal untuk masing-masing
kepadatan 12 ekor/kandang, 15 ekor/kandang, dan 18 ekor/kandang adalah 133,40 g;
132,67 g; 134,14 g. Analisis statistik menunjukkan bahwa bobot badan akhir tidak
dipengaruhi oleh kepadatan kandang. Bobot badan akhir puyuh pada penelitian ini
tidak jauh berbeda dengan penelitian Nugraeni (2012) menunjukkan bobot akhir
puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah 136,67;
138,10 dan 135,77 g. Bobot akhir puyuh pertumbuhannya relatif sedikit karena
puyuh pada penelitian ini telah dewasa tubuh dan kelamin sehingga pertambahan
bobot badannya relatif konstan.
Konsumsi Ransum
Ransum merupakan pakan yang yang dikonsumsi oleh ternak selama rentang
waktu 24 jam. Puyuh mengkonsumsi ransum bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
energi dan zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuhnya. Pakan yang baik adalah
cukup dalam kuantitas maupun kualitasnya. Apabila kuantitasnya cukup namun
kualitasnya kurang, maka puyuh akan terus mengkonsumsi pakan tersebut sampai
kebutuhan tubuhnya terpenuhi.

Konsumsi ransum yang berlebhan dapat

mengakibatkan berat badan puyuh yang berlebihan (over weight) maupun tidak

21

efisiennya penggunaan ransum.

Jika kualitasnya tercukupi dalam kuantitas pakan

yang rendah tentu harga pakan tersebut akan mahal.
Total konsumsi ransum puyuh merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi
oleh burung puyuh selama masa pemeliharaan. Menurut Setiawan (2006), konsumsi
ransum puyuh dipengaruhi oleh tingkat palatabilitas serta kandungan energi yang
berada di dalam pakan tersebut.

Hasil penelitian selama enam minggu masa

pemeliharaan menunjukkan bahwa rataan total konsumsi pakan untuk masingmasing kepadatan 12 ekor/kandang, 15 ekor/kandang, dan 18 ekor/kandang adalah
788,20 g/ekor; 798,70 g/ekor; 812,33 g/ekor. Analisis statistik menunjukkan bahwa
total konsumsi ransum tidak dipengaruhi oleh kepadatan kandang.

Penggunaan

pejantan dua kali jumlah betina dalam satu kandang tidak mempengaruhi konsumsi
pakan serta tidak menimbulkan persaingan sesama pejantan.
Rata-rata konsumsi ransum per ekor per hari yaitu 18,77 g/ekor/hari untuk
kepadatan 12 ekor/kandang, 19,02 g/ekor/hari untuk kepadatan 15 ekor/kandang, dan
19,34 g/ekor/hari untuk kepadatan 18 ekor/kandang.

Berdasarkan hasil analisis

ragam yang telah dilakukan, kepadatan kandang tidak berpengaruh terhadap
konsumsi pakan per hari per ekor puyuh. Penelitian Triyanto (2007) menunjukkan
bahwa konsumsi puyuh per hari yaitu berkisar antara 20,96 g/ekor/hari sampai 23,82
g/ekor/hari. Puyuh pada penelitian ini rata-rata konsumsinya lebih rendah karena
pakan yang diberikan hanya 20 g/ekor/hari.
Mortalitas
Mortalitas merupakan suatu pengukuran terhadap kematian yang terjadi di
dalam suatu populasi. Rataan mortalitas pada penelitian ini adalah satu ekor puyuh
per kandang atau sembilan ekor (6,21%) dari 145 ekor puyuh yang digunakan selama
penelitian. Analisis statistik menunjukkan bahwa mortalitas tidak dipengaruhi oleh
kepadatan kandang. Mortalitas yang tidak berbeda disebabkan karena kematian pada
puyuh disebabkan oleh konstruksi kandang yang kurang baik, sehingga banyak
puyuh yang paruhnya tertusuk dan tersangkut.
Konstruksi yang kurang baik terlihat pada lubang kandang yang berfungsi
sebagai saluran telur serta lantai kandang. Puyuh banyak terjepit pada lubang saluran
telur sebagai bentuk upaya mengeluarkan diri dari kandang.

Mortalitas puyuh

dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan, pakan dan teknik pemberian pakan,
22

sanitasi, temperatur, dan kelembaban lingkungan (Wilson et al., 1978). Puyuh yang
mati terdiri atas delapan ekor puyuh betina dan satu ekor puyuh jantan. Puyuh betina
lebih banyak mati karena puyuh betina tingkat agresivitasnya lebih tinggi. Menurut
Woodard et al. (1973), pada peternak pembibitan, puyuh jantan lebih rendah angka
kematiannya bila dibandingkan dengan kematian pada puyuh betina. Puyuh jantan
juga memiliki rata-rata hidup yang lebih lama. Hasil ini berbeda dengan Sengul dan
Tas (1997), tingkat kematian puyuh meningkat seiring dengan kenaikan ukuran
kelompok puyuh dan Seker et al. (2009) menyatakan bahwa tingkat kematian puyuh
meningkat bersamaan dengan kenaikan ukuran kelompok, namun perbedaan tersebut
tidak signifikan.
Karakteristik Karkas Puyuh
Karakteristik karkas puyuh meliputi bobot badan awal, bobot badan akhir,
bobot potong, karkas yang terdiri atas sayap, paha, dada, punggung, daging dada,
daging paha, tulang dada, dan tulang paha, persentase karkas yang terdiri atas
persentase sayap, persentase paha, persentase dada, persentase punggung, persentase
daging dada, persentase daging paha, persentase tulang dada, dan persentase tulang
paha disajikan pada Tabel 4 untuk karkas jantan dan Tabel 5 untuk karkas betina.
Bobot Badan Awal
Bobot badan awal dibedakan berdasarkan jenis kelamin, yaitu jantan dan
betina. Puyuh jantan secara genetik memiliki bobot badan dewasa yang lebih rendah
dibandingkan dengan bobot badan puyuh betina pada umur yang sama. Menurut
penelitian Setiawan (2006), burung puyuh berbeda dengan unggas jenis lainnya.
Puyuh betina memiliki bobot badan yang lebih besar dibandingkan puyuh jantan dan
mulai tampak pada umur 7 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan
bobot awal jantan dan bobot awal betina untuk masing-masing kepadatan 12
ekor/kandang, 15 ekor/kandang, dan 18 ekor/kandang adalah 123,02 g; 126,23 g;
126,34 g, dan 136,38 g; 136,58 g; 139,94 g. Analisis statistik menunjukkan bahwa
bobot badan awal puyuh tidak dipengaruhi oleh kepadatan kandang, baik pada puyuh
jantan maupun pada puyuh betina. Bobot badan awal puyuh yang tidak berbeda dari
penelitian ini disebabkan oleh bobot awal puyuh yang tidak berbeda dari penelitian

23

Tabel 4. Karakteristik Karkas Puyuh Jantan pada Kepadatan yang Berbeda
Peubah

Kepadatan Kandang (ekor/kandang)
12

15

18

Bobot Badan Awal (g)

123,02±4,57

126,23±2,58

126,34±0,86

Bobot Badan Akhir (g)

a

127,16±5,61

a

127,88±3,25

126,42±4,42a

Bobot Potong (g)

124,38±5,14a

124,27±4,41a

122,32±4,76a

Karkas (g)

72,45±2,88a

71,69±2,49a

68,05±6,86a

Sayap

4,92±0,42a

4,61±0,61a

4,50±0,38a

Paha

18,95±0,72a

19,26±0,94a

18,91±0,55a

Dada

32,98±2,01a

32,00±1,42a

31,92±1,80a

Punggung

15,29±1,58a

15,70±0,50a

14,92±1,15a

Daging Dada

25,40±1,58a

25,30±2,05a

25,94±0,63a

Daging Paha

15,48±1,50a

15,02±0,99a

15,86±0,83a

Tulang Dada

7,58±0,67a

6,70±1,49a

5,98±1,23a

Tulang Paha

3,47±0,92a

4,23±0,87a

3,06±0,40a

49,75±1,20a

49,41±0,12a

48,22±2,29a

Sayap

15,09±0,56a

14,68±0,93a

14,99±0,70a

Paha

30,76±0,67a

31,22±0,29a

32,03±1,60a

Dada

42,46±0,76a

41,92±0,28a

43,61±2,50a

Punggung

27,31±1,73a

27,90±0,80a

28,12±2,70a

Daging Dada

36,29±0,46a

36,40±1,35a

38,49±2,52a

Daging Paha

27,52±1,04a

27,26±0,91a

29,01±1,04a

Tulang Dada

18,93±0,84a

17,81±1,93a

17,24±1,20a

Tulang Paha

12,55±2,04a

14,00±1,35a

12,36±1,47a

Paha

4,79±1,89a

3,66±0,86a

5,27±0,95a

Dada

3,36±0,26a

3,92±1,03a

4,44±0,73a

Karkas (% bobot potong)

Rasio Daging : Tulang

Keterangan: Superskrip yang sama pada baris yang sama tidak menunjukan perbedaan yang nyata
(P>0,05)

ini disebabkan oleh bobot puyuh baik bobot puyuh jantan maupun puyuh betina
yang digunakan seragam dari berat dan umurnya.
Puyuh jantan yang digunakan pada penelitian ini berumur sepuluh minggu
sedangkan puyuh betina berumur sembilan minggu. Perbedaan umur dilakukan
agar tidak terjadi perkawinan dalam (inbreeding). Inbreeding dapat

24

Tabel 5. Karakteristik Karkas Puyuh Betina pada Kepadatan yang Berbeda
Peubah

Kepadatan Kandang (ekor/kandang)
12

15

18

Bobot Badan Awal (g)

136,38±3,03

136,58±2,11

139,94±7,17

Bobot Badan Akhir (g)

139,10±6,30a

139,10±5,76a

141,00±7,38a

Bobot Potong (g)

132,30±6,63a

133,50±6,08a

138,37±5,61a

Karkas (g)

74,98±3,16a

75,10±4,94a

77,33±4,10a

Sayap

4,97±0,29a

5,41±0,15a

5,14±0,16a

Paha

15,37±1,37a

14,71±1,02a

16,54±0,95a

Dada

26,28±1,12a

27,75±0,47a

26,49±2,61a

Punggung

16,08±1,28a

14,98±3,00a

15,98±0,98a

Daging Dada

26,28±1,12a

27,75±0,47a

26,49±2,61 a

Daging Paha

15,37±1,37a

14,71±1,02a

16,54±0,95a

Tulang Dada

8,65±0,68a

6,99±1,10a

8,42±0,35a

Tulang Paha

3,58±0,94a

5,06±1,07a

3,89±0,54a

48,84±0,34a

48,58±1,34a

48,38±1,56a

Sayap

14,09±0,16a

15,57±0,50a

14,98±0,20a

Paha

30,18±0,55a

30,84±0,69a

30,98±0,47a

Dada

36,31±0,23a

37,49±1,28a

35,86±0,91a

Punggung

27,56±0,57a

26,40±2,07a

27,14±0,15a

Daging Dada

36,29±0,46a

36,40±1,35a

38,49±2,52a

Daging Paha

26,90±0,71a

26,29±0,15a

27,63±1,11a

Tulang Dada

19,89±1,27a

17,81±1,53a

19,27±0,46a

Tulang Paha

12,56±1,96a

14,94±1,09a

12,89±1,99a

Paha

4,57±1,55a

2,96±0,39a

4,32±0,71a

Dada

3,06±0,36a

4,04±0,70a

3,15±0,34a

Karkas (% bobot potong)

Rasio Daging : Tulang

Keterangan: Superskrip yang sama pada baris yang sama tidak menunjukan perbedaan yang nyata
(P>0,05)

mengakibatkan banyak kerugian, diantaranya adanya kemungkinan anak terlahir
cacat dan mati, pertumbuhan dan produksi yang tidak maksimal sekalipun telah
diberikan vitamin dan pakan kualitas terbaik.

Puyuh betina berumur sembilan

sampai sepuluh minggu telah memasuki fase puncak produksi.

25

Bobot Badan Akhir
Bobot badan akhir merupakan bobot setelah masa pemeliharaan dan sebelum
dilakukan pemuasaan.

Tujuan diperolehnya bobot badan akhir adalah untuk

mengetahui selisih antara bobot badan puyuh pada saat awal pemeliharaan dengan
bobot badan pada saat akhir pemeliharaan. Bobot badan akhir yang diharapkan
adalah puyuh mengalami kenaikkan bobot badan, walalupun pada peternakan puyuh
pembibit bobot badan bukan menjadi prioritas utama dalam produksi. Peternakan
puyuh pembibit hanya menekankan produksinya dalam menghasilkan telur yang
fertil, berkualitas baik agar dapat menghasilkan DOQ (day old quail) yang baik.
Berdasarkan hasil analisis ragam, bobot badan akhir puyuh tidak dipengaruhi
oleh kepadatan kandang, baik pada puyuh jantan maupun pada puyuh betina. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot awal jantan dan bobot awal betina untuk
masing-masing kepadatan 12 ekor/kandang, 15 ekor/kandang, dan 18 ekor/kandang
adalah 127,16 g; 127,88 g; 126,42 g, dan 139,64 g; 137,47 g; 141,87 g. Analisis
statistik menunjukkan bahwa bobot badan akhir puyuh tidak dipengaruhi oleh
kepadatan kandang, baik pada puyuh jantan maupun pada puyuh betina. Bobot
badan akhir puyuh pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Nugraeni
(2012) menunjukkan bobot akhir puyuh pada kepadatan 12, 15 dan 18 ekor/kandang
berturut-turut adalah 136,67; 138,10 dan 135,77 g. Bobot badan akhir puyuh yang
tidak berbeda pada masing-masing jenis kelamin dari penelitian ini disebabkan oleh
bobot puyuh baik bobot puyuh jantan maupun puyuh betina yang digunakan
pertumbuhan berat badannya relatif seragam.

Hal tersebut dapat ditunjang dari

jumlah maupun rata-rata konsumsi pakan per ekor puyuh pada setiap kepadatan
sama, dan rendahnya sifat dominasi puyuh antar kepadatan. Lingkungan berperan
penting dalam menghasilkan suatu produksi yang optimal. Lingkungan yang tidak
optimal dapat menurunkan produksi, tingkat efisiensi sertadapat mengakibatkan
kematian pada ternak (Tuleun et al., 2011).
Bobot Potong
Bobot potong diperoleh berdasarkan berat yang terukur setelah dilakukan
pemuasaan. Menurut Soeparno (2005), pemuasaan bertujuan untuk mempermudah
proses penyembelihan dan memperoleh bobot tubuh kosong (BTK). Bobot tubuh
kosong merupakan bobot tubuh ternak setelah dikurangi isi saluran empedu, isi
26

saluran pencernaan, dan isi kandung kemih ternak. Penyembelihan puyuh yang
benar dilakukan untuk memperoleh karkas puyuh yang berkualitas baik. Sebelum
proses penyembelihan, puyuh dipuasakan dari pakan selama 3,5-4 jam. Pemuasaan
bertujuan untuk mengurangi adanya kemungkinan pakan yang masih tersisa pada
saluran pencernaan dan mencegah kehilangan bobot badan puyuh yang berlebihan.
Pemuasaan air minum tidak dilakukan karena dapat menurunkan bobot badan ternak
yang hendak dipotong secara drastis (Genchev dan Mihaylov, 2008). Pemuasaan
kurang dari 3,5 jam dapat menyebabkan masih tersisa pakan sehingga dapat
mempengaruhi berat potong dan menurunkan persentase karkas. Pemuasaan yang
terlalu lama (>4 jam) juga memiliki dampak buruk, yaitu puyuh akan kehilangan
berat badan secara berlebihan bahkan sakit yang disebabkan puyuh kekurangan
nutrisi dalam waktu yang cukup lama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot potong jantan dan bobot
potong betina untuk masing-masing kepadatan 12 ekor/kandang, 15 ekor/kandang,
dan 18 ekor/kandang adalah 124,38 g; 124,27 g; 122,32 g, dan 132,30 g; 133,50 g;
138,37 g.

Analisis statistik menunjukkan bahwa bobot potong puyuh tidak

dipengaruhi oleh kepadatan kandang, baik pada puyuh jantan maupun pada puyuh
betina. Bobot badan potong puyuh pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
penelitian Nugraeni (2012) menunjukkan bobot potong puyuh pada kepadatan 12, 15
dan 18 ekor/kandang berturut-turut adalah 129,44; 132,59 dan 131,73 g. Bobot
potong puyuh yang tidak berbeda pada masing-masing jenis kelamin dari penelitian
ini disebabkan oleh bobot puyuh baik bobot puyuh jantan maupun puyuh betina yang
digunakan pertumbuhan berat badannya relatif seragam, waktu pemuasaan yang
tepat, dan tidak ada stres berlebihan dari lingkungan. Puyuh betina memiliki bobot
potong yang lebih besar karena secara genetik memiliki karakter tubuh yang lebih
besar dibandingkan dengan puyuh jantan. Puyuh jantan dan betina tidak terjadi
kehilangan berat badan (weight loss) yang berlebihan. Puyuh jantan mengalami
penurunan berat badan berkisar antara 2,78-4,1 g/ekor, sedangkan puyuh betina
mengalami penurunan bobot badan berkisar antara 3,5-7,34 g/ekor.
Karkas
Menurut Badan Standardisasi Nasional (2009), karkas merupakan suatu
proses pemotongan ternak untuk menghasilkan tubuh unggas tanpa bulu, jeroan,
27

kepala, leher, kaki, ginjal dan paru-paru. Karkas dibagi atas tiga jenis, yaitu karkas
segar, karkas dingin dan karkas beku. Pemotongan karkas dilakukan secara halal.
Daging tulang, dan lemak merupak bagian-bagian penyusun suatu karkas ternak
(Soeparno, 1992). Karkas yang digunakan pada penelitian ini adalah karkas segar.
Ternak yang telah disembelih kemudian dikuliti, dikeluarkan jeroannya. Karkas
yang telah diperoleh langsung digunakan tanpa harus disimpan terlebih dahulu, baik
itu dalam penyimpanan dingin maupun penyimpanan beku.

Winarno (2005)

menyatakan bahwa pada unggas kecil seperti puyuh, persentase pemotongan selama
pertumbuhan relatif sama (konstan). Ayam broiler, kalkun dan unggas besar lainnya
persentase pemotongan meningkat selama peningkatan umur, pertumbuhan serta
kenaikan bobot tubuh ternak.
Lingkungan dan genetik dapat mempengaruhi komposisi suatu karkas ternak,
termasuk distribusi berat yang diperoleh.

Otot, tulang, dan lemak merupakan

komponen utama karkas. Proporsi diantara ketiganya berkebalikan. Apabila besaran
proporsi dari salah satu bagian menurun maka kedua besaran proporsinya bagian
lainnya meningkat (Soeparno, 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan
bobot karkas jantan dan bobot karkas betina untuk masing-masing kepadatan 12
ekor/kandang, 15 ekor/kandang, dan 18 ekor/kandang adalah 72,45 g; 71,69 g; 68,05
g, dan 74,98 g; 75,10 g; 77,33 g. Berdasarkan persentase bobot karkas jantan dan
bobot karkas betina untuk masing-masing kepadatan 12 ekor/kandang, 15
ekor/kandang, dan 18 ekor/kandang adalah 49,75%; 49,41%; 48,22%, dan 48,84%;
48,58%; 48,38%.

Analisis statistik menunjukkan bahwa bobot karkas puyuh tidak

dipengaruhi oleh kepadatan kand