Tingkah Laku Ingestive dan Seksual serta Agonistik Puyuh Jantan (Coturnix-coturnix japonica) pada Kepadatan Kandang yang Berbeda

RINGKASAN
Aldi Pramestya Pamungkas D14080301. 2013. Tingkah Laku Ingestive dan
Seksual serta Agonistik Puyuh Jantan (Coturnix-coturnix japonica) pada
Kepadatan Kandang yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Rudi Afnan, S.Pt.,M.Sc.Agr
Pembimbing Anggota : Muhamad Baihaqi, S.Pt.,M.Sc
Puyuh merupakan salah satu jenis ternak dwiguna, sebagai penghasil telur
dan daging yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang bergizi tinggi.
Produksi yang dihasilkan dapat dipengaruhi manajemen kandang yang diberlakukan
salah satunya adalah kepadatan kandang. Kepadatan kandang berpengaruh terhadap
tingkah laku yang diekspresikan puyuh, terutama jantan yang memiliki sifat
dominasi yang cukup kuat di kandang dibandingkan betina.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kepadatan kandang
optimal terhadap tingkah laku puyuh jantan dengan rasio jantan betina 1:2, sehingga
menghasilkan ekspresi tingkah laku yang mendukung produksi optimal. Puyuh yang
digunakan adalah Coturnix-coturnix japonica berumur sembilan minggu untuk
betina dan sepuluh minggu untuk jantan. Penelitian ini dilaksanakan selama satu
bulan di kandang B unit unggas Fakultas Peternakan, IPB. Penelitian didesain
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan tiga
ulangan. Perlakuan pertama P1 (terdiri dari 4 jantan dan 8 betina), perlakuan kedua

P2 terdiri (terdiri dari 5 jantan dan 10 betina) dan perlakuan ketiga P3 (terdiri dari 6
jantan dan 12 betina). Metode pengamatan yang digunakan adalah scan sampling
dan dilakukan dua kali pengamatan selama seminggu sekali. Tingkah laku yang
diamati adalah tingkah laku seksual, agonistik dan Ingestive. Analisis yang
digunakan adalah analisis deskriptif tingkat kepadatan kandang berbeda yaitu, P1, P2
dan P3. Perhitungan frekuensi meliputi masing-masing tingkah laku dan frekuensi
tingkah laku pagi dan siang hari.
Frekuensi tingkah laku seksual, terbanyak ditemukan pada kepadatan
kandang P1 dan P2. Frekuensi tingkah laku agonistik terbanyak terletak pada
kepadatan kandang P2 dan frekuensi tingkah laku Ingestive terbanya pada kepadatan
kandang P3.
Frekuensi tingkah laku seksual terbanyak pada pagi hari terletak pada
kepadatan kandang P1, sedangkan untuk siang hari pada kepadatan kandang P2 .
Kata-kata kunci: puyuh jantan, tingkah laku, kepadatan kandang

ii

ABSTRACT
Ingestive, Sexual and Agonistic Behavior of Male Quail (Coturnix-coturnix
japonica) In Different Stocking Density

Pamungkas, A. P, R. Afnan and M. Baihaqi
Quail have considerable potential as a producer of eggs. Some of them likes
C.japonica can spawn more than 300 points in one year at the first production. Quail
livestock production can developed optimally in good maintenance management.
Factors of stocking density, sex ratio and behavior could be affected to egg
production. The subject of this research was to determine the optimal stable density
on the behavior of quail. There were three treatment in this research, first density
(there was 4 male and 8 female), second density (there was 5 male and 10 female)
and third density (there was 6 male and 12 female). The treatment production
indicated that the P1 and P2 showed the greatest frequency of sexual was 0,11, P2
showed the greates frequency of agonistic was 0,07 and Ingestive behavior was 7,13.
The most highest sexual behavior frequency was showed at stocking density P1 and
P2. The most highest agonistic behavior frequency at stocking density P2 and the
most highest Ingestive behavior frequency at stocking density P3.
Keywords : male quail, behavior, stocking density.

iii

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Puyuh sudah sejak lama dikenal masyarakat dan telah diusahakan sebagai
usaha peternakan. Puyuh memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil telur.
Beberapa diantaranya dapat bertelur lebih dari 300 butir dalam satu tahun produksi
pertamanya (Progressio, 2003). Jenis puyuh yang paling banyak dibudidayakan di
Indonesia adalah jenis Cortunix-cortunix japonica. Cortunix-cortunix japonica
merupakan jenis puyuh yang bisa dimanfaatkan hasil telur dan dagingnya sebagai
konsumsi masyarakat.
Produksi ternak puyuh di Indonesia dibagi menjadi puyuh petelur konsumsi
dan puyuh penghasil bibit. Puyuh petelur konsumsi telur yang tidak dibuahi,
sedangkan puyuh penghasil telur pembibit menghasilkan telur yang dibuahi,
kemudian siap ditetaskan. Produksi ini bisa berkembang optimal apabila manajemen
pemeliharaan baik. Beberapa faktor pendukung peningkatan produksi puyuh adalah
intensitas cahaya, suhu dan kelembaban, kecepatan angin dan faktor lain. Penelitian
ini lebih memfokuskan terhadap puyuh pembibit. Salah satu faktor manejemen yang
dilakukan dalam penelitian ini yaitu kepadatan kandang. Faktor kepadatan kandang
serta jumlah jantan dan betina (sex ratio) tidak hanya mempengaruhi mobilitas, tetapi
juga mempengaruhi persaingan memperoleh pakan serta tingkah laku puyuh secara
keseluruhan.
Kepadatan kandang yang bervariasi tentu akan sangat berpengaruh terhadap
tingkah laku, karena puyuh yang merupakan hewan yang memiliki sistem

termoregulasi di dalam tubuhnya. Semakin tinggi kepadataan, akan mempengaruhi
suhu di kandang sekaligus mempengaruhi sistem termoregulasi dan hal inilah yabg
mempengaruhi faktor perubahan tingkah laku. Tingkah laku puyuh yang sangat
mempengaruhi hasil produksi akibat kepadatan kandang adalah tingkah laku makan
dan minum, tingkah laku agonistik serta tingkah laku seksual terutama yang
diperlihatkan jantan apabila tujuan pemeliharaan diarahkan kepada breeding atau
pembibitan. Puyuh jantan umumnya memperlihatkan tingkah laku yang cukup
mendominasi dalam mendapatkan pakan dan untuk mengawini betina.
Semakin dominan suatu jantan maka secara langsung akan mendapatkan atau
memperoleh pakan dan kesempatan kawin yang lebih tinggi dibandingkan jantan

1

yang lain. Efek dari tingkah laku jantan secara umum akan mempengaruhi tingkat
fertilitas serta daya tetas telur yang dihasilkan. Oleh karena itu diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk melihat korelasi antara kepadatan kandang dengan sex ratio yang
sudah terbukti paling optimal yaitu sebesar 1:2 terhadap tingkah laku dan performa
yang dihasilkan.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menganalisa tingkat kepadatan kandang yang

optimal terhadap tingkah laku puyuh jantan dengan rasio jantan betina 1:2, sehingga
menghasilkan ekspresi tingkah laku yang mendukung tingkat produksi yang optimal.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Puyuh
Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif
kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali
diternakkan di Amerika Serikat pada tahun 1870. Puyuh terus dikembangkan ke
seluruh penjuru dunia, sedangkan di Indonesia puyuh mulai dikenal dan diternakkan
semenjak akhir tahun 1979 (Progressio, 2003).
Menurut Pappas (2002), klasifikasi burung puyuh adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata


Subphylum

: Vertebrata

Class

: Aves

Ordo

: Galiformes

Famili

: Phasianidae

Genus

: Coturnix


Species

: Coturnix-coturnix japonica
Karakteristik Morfologi Puyuh

Puyuh menjadi makin populer dan digemari karena produksi telur dan daging
sebagai bahan makanan yang bergizi dan lezat, juga sebagai ternak percobaan pada
berbagai penelitian. Menurut Nugroho dan Mayun (1986), ciri-ciri karakteristik dari
Coturnix-coturnix japonica :
-

bentuk tubuh besar, badan bulat, ekor pendek, paruh pendek dan kuat, tiga jari
kaki menghadap ke muka dan satu jari kaki ke arah belakang

-

pertumbuhan bulu lengkap setelah berumur dua sampai tiga minggu;

-


jenis kelamin dapat dibedakan berdasarkan warna bulu, suara dan berat badan;

-

burung puyuh jantan dewasa bulu dada berwarna merah sawo matang tanpa
adanya belang serta bercak-bercak hitam;

3

-

puyuh betina dewasa memiliki bulu dada berwarna merah sawo matang dengan
garis-garis atau belang-belang hitam;

-

suara puyuh jantan lebih keras;

-


burung betina dapat berproduksi sampai 200-300 butir setiap tahun dengan
berat telur sekitar 10 g/butir atau 7%-8% dari berat badan.
Kandang
Menurut Nugraha (1981), kandang puyuh harus memperhatikan hal-hal

tertentu untuk memberikan kondisi kandang yang terbaik. Kandang harus
ditempatkan di lokasi yang memenuhi beberapa persyaratan teknis seperti yang
disajikan berikut :
1. Jauh dari Permukiman yang Padat
Tujuan dari penempatan kandang yang jauh dari pemukiman yaitu agar
puyuh tidak stres karena kebisingan di lingkungan sekitar yang berakibat pada
penurunan produksi. Masyarakat pun tidak terganggu karena bau yang ditimbulkan
karena kotoran puyuh.
2. Letak Kandang
Kandang puyuh harus dibangun di tempat yang lebih tinggi, agar sirkulasi
udara cukup baik. Bahan pembuat kandangpun harus diperhatikan. Sebaiknya
digunakan kawat ram atau bambu yang dipasang dengan jarak tertentu, sehingga
sirkulasi udara bebas keluar masuk.
3. Arah Sinar Matahari

Kandang dibangun membujur dari arah timur ke barat. Selain membunuh
kuman penyakit, sinar matahari juga akan mengurangi kelembaban kandang dan
membantu sintesis vitamin D dalam tubuh puyuh.
4. Ukuran Kandang
Ukuran kandang koloni puyuh berukuran 1 x 1 m dengan tinggi sekitar 30-35
cm. Untuk memudahkan pengambilan telur. Lantai kandang dibuat agak miring
sekitar 10 atau 20 derajat.

Alas kandang koloni yang berada di bagian bawah

sebaiknya ditempatkan penampung kotoran agar kotoran tidak mengotori kandang
koloni di bagian bawah.

4

5. Alas Kandang
Macam jenis alas yang dapat digunakan pada kandang puyuh. Pertama yaitu
kandang diberi alas yang sepenuhnya tertutup dan dilapisi dengan sekam atau ampas
gergaji yang disebut litter dan alas yang menggunakan kawat ram. Kelebihan alas
litter yaitu menghindari terperosoknya kaki-kaki puyuh. Sekam mengandung

beberapa vitamin B12 yang berguna bagi tubuh puyuh. Kelemahan alas litter yaitu
kebersihan kandang kurang terjamin dan membutuhkan tenaga dan waktu lebih
untuk membersihkan.
Jenis alas kedua yaitu menggunakan kawat ram. Kebersihan kandang lebih
mudah diperhatikan karena kotoran yang dihasilkan terkumpul pada penampung
kotoran di bawah kawat ram (Nugraha, 1981).
6. Tempat Pakan dan Minum
Tempat makan dan minum untuk puyuh (terutama puyuh grower dan layer)
dapat menggunakan tempat makan dan minum untuk ayam ras, namun dengan
melakukan modifikasi di beberapa bagian. Tujuan agar pakan dan minum tidak
mudah terinjak-injak puyuh, tidak bercampur dengan kotoran, serta mencegah agar
puyuh tidak tenggelam di tempat air minum.
Berdasarkan peruntukan, kandang puyuh dibedakan menjadi beberapa jenis
kandang yaitu : 1) kandang DOQ atau starter 2) kandang grower 3) kandang layer 4)
kandang induk dan pejantan. Secara umum, puyuh-puyuh dipelihara dalam kandang
koloni sejak DOQ hingga berproduksi. Berdasarkan hasil produksi tidak ada
perbedaan konstruksi yang mendasar antara kandang koloni dengan kandang inti.
Perbedaannya hanya terletak pada ukuran luas. Semakin tua umur puyuh (sampai
umur tertentu), ukuran kandang harus semakin luas (Nugraha, 1981).
Kepadatan dan Luasan Kandang Puyuh
Menurut Nugraha (1981), model kandang puyuh ada 2 (dua) macam yang
biasa diterapkan yaitu sistem litter (lantai sekam) dan sistem sangkar (batere).
Ukuran kandang untuk 1 m2 dapat diisi 90 ekor anak puyuh, selanjutnya menjadi 60
ekor untuk umur 10 hari sampai lepas masa anakan dan untuk puyuh dewasa menjadi
40 ekor m2. Kandang yang biasa digunakan dalam budidaya burung puyuh adalah:
a.

Kandang untuk induk pembibitan. Kandang ini berpengaruh langsung
terhadap produktivitas dan kemampuan menghasilkan telur yang

5

berkualitas baik. Besar atau ukuran kandang yang digunakan harus sesuai
dengan jumlah puyuh yang dipelihara. Ideal satu ekor puyuh dewasa
membutuhkan luas kandang 200 m2.
b.

Kandang untuk induk petelur. Kandang ini berfungsi sebagai kandang
untuk induk pembibit serta mempunyai bentuk, ukuran, dan peralatan yang
sama.

c.

Kandang untuk puyuh umur grower (3-6 minggu) dan layer (lebih dari 6
minggu). Bentuk, ukuran maupun peralatan sama dengan kandang untuk
induk petelur. Alas kandang biasa berupa kawat ram.
Perbandingan Jantan dan Betina

Woodard (1973) menjelaskan bahwa perbandingan jantan dan betina pada
puyuh mempengaruhi fertilitas telur. Perbandingan burung puyuh jantan dengan
betina yang makin kecil akan menurunkan ferlititas. Fertilitas yang tinggi dicapai
jika dalam satu kandang terdapat puyuh jantan dan puyuh betina dengan
perbandingan satu banding dua. Panda (1980) menyatakan bahwa daya tunas telur
73,78% diperoleh pada perbandingan jenis kelamin jantan dan betina satu banding
dua. Junurmawan (1983) menyatakan fertilitas tertinggi dihasilkan dari perbandingan
puyuh jantan dengan betina satu banding satu. Penggunaan pejantan dalam satu
kandang koloni umumnya adalah lebih dari satu dan perbandingan jantan yang biasa
digunakan satu banding empat.
Tingkah Laku
Tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian hewan terhadap
lingkungan dan pada banyak kasus merupakan hasil seleksi alam seperti
terbentuknya struktur fisik (Craig, 1981). Fungsi tingkah laku adalah menyesuaikan
diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam.
Tingkah laku pada tingkat adaptasi ditentukan dengan kemampuan belajar hewan
untuk menyesuaikan tingkah laku terhadap suatu lingkungan yang baru. Menurut
Stanley dan Andrykovitch (1984), tingkah laku maupun kemampuan belajar hewan
ditentukan oleh sepasang atau lebih gen sehingga terdapat variasi tingkah laku
individu dalam satu spesies, meskipun secara umum relatif sama dan tingkah laku
tersebut dapat diwariskan pada keturunan berupa tingkah laku dasar. Tingkah laku

6

dasar hewan merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir (innate behavior),
antara lain gerakan menjauh atau mendekat dari stimulus, perubahan pola tingkah
laku akibat mekanisme fisiologi seperti tingkah laku jantan dan betina saat estrus
(Stanley dan Andrykovitch, 1984).
Tingkah laku merupakan suatu aktivitas yang melibatkan fungsi fisiologis.
Setiap macam perilaku melibatkan penerimaan rangsangan melalui panca indera,
perubahan rangsangan-rangsangan ini menjadi aktivitas neural, aksi integrasi
susunan syaraf, dan akhirnya aktivitsa organ motorik, baik internal maupun
eksternal. Umumnya tingkah laku yang diarahkan untuk suatu tujuan (seperti makan,
minum, tidur dan seksual) terdiri atas tiga tahap yang jelas dan terjadi secara siklis.
Tiga tahap tersebut yaitu perilaku apetitif, konsumatoris dan refraktoris. Tahap
apetitif dapat sederhana dan kompleks, sering mencakup mencari dari perilaku yang
diubah, dan yang banyak dipelajari. Tahap refraktoris mencakup hilang perhatian
dan berhenti aktivitas konsumatoris, meskipun kesempatan untuk memberi respon
selalu ada (Tanudimadja dan Kusumamidihardja, 1985).
Tingkah Laku Makan
Secara umum hewan mempunyai tiga cara dalam memperoleh makanan,
yaitu tahap (1) tetap berada di tempat dan makanan datang sendiri, (2) berjalan untuk
mencari makanan dan (3) menjadi parasit bagi organisme lain. Tingkah laku makan
dipengaruhi oleh faktor genetik, suhu lingkungan, jenis makanan yang tersedia dan
habitat (Warsono, 2002).
Tingkah laku makan disebabkan oleh ada rangsangan dari luar (makanan) dan
rangsangan dari dalam (adanya kebutuhan atau lapar). Tingkah laku ini berkembang
sesuai dengan perkembangan proses belajar (Alikodra, 1990).
Tingkah Laku Agonistik
Agonistik berasal dari kata latin yang berarti berjuang (Tomaszewazka et al.,
1991). Agonistik mempunyai pengertian yang cukup luas seperti menonjolkan
postur, melakukan pendekatan, menakut-nakuti, berkelahi dan terbang, juga meliputi
seluruh tingkah laku yang berhubungan dengan agresifitas, kepatuhan dan
pertahanan. Menurut Frazer (1975), tingkah laku agonistik merupakan tingkah laku

7

yang memperlihatkan tingkah laku aktif dan pasif, tingkah laku aktif seperti
berkelahi, berlari atau terbang serta tingkah laku agresif.
Pola perilaku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa yang
dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan
seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat
ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart, 1985). Perilaku agonistik ini
merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan
dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies.

Menurut

Ensminger

(1991), tingkah laku yang termasuk dalam tingkah laku agonistik adalah berkelahi,
berlari atau terbang dan tingkah laku lain yang mempunyai hubungan dengan
konflik. Hewan jantan memiliki tingkah laku berkelahi lebih tinggi dibandingkan
dengan betina, hal ini dipengaruhi hormon, terutama hormon testosteron.
Menurut Craig (1981), tingkah laku agonistik juga dimiliki hewan betina
dengan frekuensi sangat kecil karena betina juga dapat memproduksi hormon.
Hormon androgen yang dihasilkan ovari dan pituitary glan, namun jumlahnya tidak
sebanyak yang diproduksi jantan.
Tingkal Laku Seksual
Tingkah laku seksual merupakan tingkah laku interaksi antara jantan dengan
betina yang sedang estrus. Tingkah laku ini ditunjukkan saat seekor jantan dewasa
kelamin siap melakukan kopulasi ke dalam alat kelamin betina dan betina yang
sudah dewasa kelamin serta sedang mengalami estrus akan tetap diam jika sedang
terjadi proses kopulasi (standing heat). Apabila ternak betina tidak estrus, maka
ketika jantan akan melakukan proses kopulasi, secara otomatis betina akan lari
menghindar. Tingkah laku seksual ini sangat penting untuk memelihara
kelangsungan kelompok. Prilaku seksual merupakan salah satu prilaku belajar
(Septiana, 1996).

8

Zat Makanan
Kadar Air
Protein Kasar
Lemak Kasar
Serat Kasar
Abu
Ca
P

Jumlah (%)
12
20-22
7
7
14
2,5-3,5
0,6-1

Taraf perlakuan yang adalah tingkat kepadatan kandang dengan ratio jantan
betina 1:2, yaitu:
P1 : Kepadatan kandang 258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan empat ekor dan
betina delapan ekor
P2 : Kepadatan kandang 206,67 cm2/ekor dengan jumlah jantan lima ekor dan betina
10 ekor
P3 : Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan enam ekor dan
betina 12 ekor
Analisis Data Performa Produksi
Data performa produksi berupa rataan konsumsi dianalisis secara deskriptif.
Analisis perhitungan rataan konsumsi terdiri atas nilai rataan beserta standar deviasi.
Analisis Data Tingkah Laku
Data hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif dan merupakan penguraian
serta penjelasan mengenai jenis aktifitas yang dilakukan, lama beraktivitas, frekuensi
setiap aktivitas yang dilakukan, dan ritme aktivitas. Analisis perhitungan tingkah
laku harian untuk mengetahui persentase tingkah laku dengan menggunakan
persamaan matematika (Martin dan Bateson, 1993) :

Keterangan :

P = X x 100%
Y
P = persentase tingkah laku.
X = jumlah kegiatan tingkah laku yang diamati, dan.
Y = jumlah seluruh tingkah laku yang terjadi.

Selanjutnya data diintepretasikan dalam bentuk persentase untuk mengetahui
proposisi penggunaan lama waktu ternak beraktivitas dan frekuensi setiap aktivitas.
Table dan grafik menggambarkan peubah-peubah yang diukur dengan grafik yang
menggambarkan intensitas tingkah laku.
Peubah yang diamati
1. Jumlah dan Frekuensi Tingkah Ingestive Puyuh Jantan
Jumlah tingkah laku mengkonsumsi pakan, air minum dan zat hara
lainnya dengan cara mematuk pakan sampai puyuh tersebut mengangkat
keluar kepalanya dari tempat pakan. Setiap tingkah laku Ingestive individu

14

(X) dibagi dengan seluruh frekuensi tingkah laku yang diamati dalam satu
kandang perlakuan(Y) dikali 100%.
2. Jumlah dan Frekuensi Tingkah Laku Seksual Puyuh Jantan
Tingkah laku yang ditunjukkan jantan pada betina dengan memasukan
alat kelamin jantan ke dalam alat kelamin betina setiap individu (X) dibagi
dengan frekuensi seluruh tingkah laku yang diamati (X) dalam satuan waktu
pengamatan setiap individu dikali 100%. Tingkah laku seksual abnormal
(jantan mengawini jantan lainnya tidak dihitung).
3. Jumlah dan Frekuensi Tingkah Laku Agonistik Puyuh Jantan
Jumlah tingkah laku agresifitas yang memperlihatkan perlawanan
seekor puyuh terhadap puyuh lainnya dengan cara mematuk-matuk lawan.
Setiap tindakan agresifitas puyuh individu (Y) dibagi dengan frekuensi
seluruh tingkah laku yang diamati (Y) pengamatan setiap individu dikali
100%.
4. Rataan Konsumsi Pakan
Rataan konsumsi pakan diukur dari jumlah total konsumsi pakan
selama pemeliharaan. Jumlah total konsumsi tersebut kemudian dibagi
dengan lamanya hari pemeliharaan.

15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Manajemen Pemeliharaan
Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil
maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini
menggunakan puyuh jenis Coturnix-coturnix japonica. Faktor manajemen yang
menjadi perlakuan dalam penelitian adalah kepadatan kandang. Menurut North dan
Bell (1990), sistem perkandangan sangat penting untuk menciptakan iklim mikro
yang sangat diperlukan agar fungsi fisologis tubuh ternak dapat berjalan dengan
sempurna secara alami. Ukuran tubuh serta aktivitas puyuh sangat mempengaruhi
luasan kandang yang diperlukan (Appleby et al., 1992).
Puyuh yang digunakan dalam penelitian ini berumur 9 minggu untuk jantan
dan 10 minggu untuk betina. Menurut Peraturan Kementerian Pertanian (2008),
kepadatan kandang yang diperlukan dalam memelihara puyuh yang berumur 9-10
minggu yaitu sebesar 185-225 cm2/ekor. Kepadatan kandang dapat dimodifikasi.
Kepadatan kandang yang tinggi dapat digunakan, akan tetapi keadaan sirkulasi udara
dikandang sangat baik dan ternak juga dapat menjangkau tempat pakan dan minum
dengan mudah (Appleby et al., 1992). Kandang yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan kandang yang tersedia di lapang, yaitu terdiri dari bahan utama kayu
sebagai rangka dan kawat yang digunakan sebagai alasnya. Selain kepadatan
kandang, kondisi lingkungan sekitar kandang juga sangat mempengaruhi tingkah
laku ternak. Data suhu yang diambil dalam penelitian kali ini disajikan pada Table 2.
Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah
Laku
Suhu (ºC)
Minggu
Pagi
Siang
1

24

27

2

25

28

3

25

26

4

25

27

Berdasarkan data pengamatan suhu lingkungan sekitar kandang dapat dilihat
bahwa rataan suhu pada pagi hari sebesar 24,5 ºC dan rataan suhu pada siang hari
sebesar 27 ºC. Menurut Priyanto (1990), suhu lingkungan yang optimal untuk

16

pertumbuhan puyuh adalah 20-25 ºC. Suhu kandang pada siang hari sedikit lebih
panas dibandingkan suhu optimal puyuh, tetapi hal ini tidak terlalu mempengaruhi
produksinya karena puyuh sudah mulai beradaptasi dengan suhu lingkungan. Suhu
fisiologis tubuh untuk puyuh adalah 42,2 ºC dan suhu kulit 39 ºC. Kepadatan
kandang yang tinggi dapat meningkatkan suhu tubuh, suhu kulit, detak jantung dan
laju pernafasan (Azeem, 2010).
Tingkah Laku Puyuh Jantan
Tingkah laku puyuh jantan yang diamati meliputi, tingkah laku seksual,
tingkah laku agonistik dan tingkah laku Ingestive. Rataan persentasi tingkah laku
disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan frekuensi tingkah laku puyuh jantan, tingkah
laku Ingestive memiliki jumlah frekuensi tertinggi di setiap perlakuan. Kemudian
tingkah laku yang memiliki frekuensi terendah adalah agonistik. Rendah frekuensi
tingkah laku agonistik dalam penelitian ini sangatlah diharapkan karena dapat
mengurangi frekuensi tingkah laku seksual dan Ingestive.
Tabel 3. Frekuensi Tingkah Laku Puyuh Jantan dengan Kepadatan Kandang yang
Berbeda
Frekuensi Tingkah Laku (%)
Perlakuan
Seksual
Agonistik
Ingestive
Makan
Minum
P1 (jantan 4 ekor)

0,11

0,01

0,47

0,41

P2 (jantan 5 ekor)

0,11

0,07

0,42

0,40

P3 (jantan 6 ekor)

0,08

0,02

0,34

0,56

Tingkah Laku Ingestive
Tingkah laku Ingestive merupakan tingkah laku memasukan makanan atau
unsur hara ke dalam mulut atau paruh, dalam penelitian ini tingkah laku Ingestive
yang dimaksud adalah tingkah laku makan dan minum. Pengamatan tingkah laku ini
dinilai sangat penting di dalam peternakan pembibit, karena baik jantan ataupun
betina memerlukan asupan energi untuk dapat melakukan aktivitas sepanjang hari
(Setyaningrum, 2007).
Berdasarkan data penelitian, frekuensi tingkah laku Ingestive tertinggi
terdapat pada kepadatan kandang P3 sebesar 0,90 (tingkah laku makan 0,34 dan
minum 0,56) diikuti P1 sebesar 0,88 (tingkah laku makan 0,47 dan minum 0,41) dan

17

0,56

0.6

Frekuensi Tingkah Laku

0.5

0,47

0,41

0.4

0,42

0,40
0,34

0.3

Makan
Minum

0.2
0.1
0
P1

P2
Perlakuan Kepadatan Kandang

P3

faktor lain yang menyebabkan sedikitnya frekuensi tingkah laku Ingestive pada
kepadatan kandang P2 adalah tingginya frekuensi agonistik. Tingginya frekuensi
agonistik tersebut mengindikasikan bahwa adanya persaingan di dalam kandang, bisa
berupa persaingan memperebutkan pakan ataupun persaingan memperebutkan
betina. Puyuh pada kepadatan kandang P3 yang memiliki kepadatan kandang lebih
tinggi dibandingkan P2 tetapi memiliki frekuensi tingkah laku Ingestive yang lebih
tinggi. Hal ini bukan dikarenakan terbatasnya akses, melainkan kepadatan kandang
yang cukup tinggi akan meningkatkan panas tubuh yang dihasilkan, sehingga
memacu sistem homeothermic untuk mencegah suhu di dalam badan naik dengan
mengurangi asupan pakan sementara. Hal ini dapat dilihat bahwa frekuensi minum
pada kepadatan kandang P3 lebih tinggi dibandingkan frekuensi makannya.
Tingginya kepadatan mendorong puyuh untuk banyak minum. Prilaku minum sangat
dekat hubungannya dengan prilaku makan (Appleby et al., 1992). Air yang diminum
mempunyai tujuan penting, yaitu sebagai makanan yang penting untuk metabolisme
dalam tubuh ternak, serta dapat membantu melepaskan panas tubuh dengan cara
konduksi dan penguapan (Williamson dan Payne, 2003). Selain itu pada kepadatan
kandang P3 frekuensi tingkah laku agonistik tidak terlalu tinggi, sehingga persaingan
dalam memperebutkan makanan tidak terlalu tinggi dan puyuh dapat makan dan
minum dengan tenang tanpa gangguan. Frekuensi tingkah laku Ingestive pada
kepadatan P1 sebesar 0,88 . Nilai ini lebih besar dari kepadatan kandang P2
dikarenakan kepadatan kandang yang rendah memberikan kenyamanan pada
kandang untuk berekspresi dan dapat meminimalisir adanya dominasi pakan. Selain
itu frekuensi tingkah laku agonistiknya juga paling rendah diantara kepadatan
kandang yang lain.
Tingkah Laku Seksual
Tingkah laku seksual merupakan jenis tingkah laku yang menunjukkan terjadi
interaksi antara ternak jantan dengan ternak betina yang sedang estrus. Interaksi
yang terjadi ditunjukkan dengan cara ternak jantan yang sudah dewasa kelamin
melakukan kopulasi (memasukan kelamin) kepada ternak betina (Septiana, 1996).
Pengamatan tingkah laku seksual ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi tingkah
laku seksual tersebut selama penelitian dengan kepadatan yang berbeda. Peternakan
yang bertujuan untuk pembibitan, jumlah frekuensi tingkah laku seksual ini sangat

19

0.12

0,11

0,11

Frekuensi Tingkah Laku

0.1

0,08
0.08
0.06
0.04
0.02
0
P1

P2
Perlakuan Kepadatan Kandang

P3

untuk berekspresi, selain itu rendahnya kepadatan kandang juga mengurangi tingkah
laku agonistik. Data ini juga didukung oleh hasil penelitian Ananda, P (2008),
dimana hasil penelitian menunjukan kepadatan kandang P1 memiliki tingkat fertilitas
yang paling tinggi yaitu sebesar 87,14±4,95 dibandingkan dengan kepadatan
kandang P2 dan P3 yaitu sebesar 75,50±4,26 dan 80,21±2,73. Kepadatan kandang P2
sangat sesuai dengan jumlah ternak di dalamnya, sehingga ternak dapat
mengekspresikan tingkah lakunya dengan bebas. Menurut Peraturan Kementerian
Pertanian (2008), kepadatan kandang yang optimal untuk puyuh adalah sebesar 185225 cm2/ekor. Jika berdasarkan aturan Peraturan Kementerian Pertanian 2008,
kandang P3 yang digunakan dalam penelitian, kepadatannya tidak termaksud dalam
range tersebut, sehingga menyebabkan kondisi kandang kurang nyaman untuk
mengekspresikan tingkah laku tersebut.
Tingkah laku seksual juga dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah
suhu dan pencahayaan. Kepadatan kandang yang tinggi menyebabkan rendahnya
sirkulasi udara di dalam kandang, sehingga cekaman panas yang diterima oleh puyuh
akan mengurangi aktivitas demi menjaga kondisi fisiologisnya. Pengaruh cahaya
pada ternak unggas adalah memudahkan untuk penglihatan, untuk merangsang siklus
internal dalam kaitannya dengan perubahan panjang hari, serta untuk merangsang
pelepasan hormon (Nesu, 2006). Pengaruh faktor cahaya dalam tingkah laku seksual
pada kepadatan kandang yang tinggi dapat menyebabkan penetrasi cahaya ke dalam
kandang menjadi sedikit. Menurut Setyawan (2006), cahaya yang diterima mata
unggas akan dilanjutkan ke bagian otak yang disebut hypothalamus. Hypothalamus
ini berperan sebagai pengatur fungsi organ-organ tubuh yang menggerakan aktivitas
hidup, salah satunya adalah tingkah laku seksual serta sekresi kelenjar anterior
pituitary. Hal inilah yang menyebabkan mengapa frekuensi tingkah laku seksual
pada kepadatan kandang P3 menjadi paling sedikit karena penetrasi cahaya yang
diterima puyuh menjadi sangat sedikit pada kepadatan kandang P3.
Frekuensi tingkah laku seksual ini diperoleh dengan cara mengamati tingkah
laku yang terjadi secara normal. Apabila terdapat puyuh yang melakukan tingkah
laku seksual antar sesama maka tidak dimaksukan ke dalam data penelitian. Hal ini
karena data tersebut sangat tidak berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan, karena

21

0.08

0,07

Frekuensi Tingkah Laku

0.07
0.06
0.05
0.04
0.03

0,02

0.02

0,01
0.01
0
P1

P2
Perlakuan Kepadatan Kandang

P3

Berdasarkan data yang diperoleh, persentase frekuensi tingkah laku agonistik
terbesar terdapat pada kandang dengan perlakuan P2, dengan nilai sebesar 0,07. Hal
ini terjadi karena ada dominasi jantan, sehingga menyebabkan adanya persaingan
dalam memperebutkan pakan serta kawin. Pola tingkah laku agonistik merupakan
interaksi sosial antara ternak yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu
dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat
dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh
(Hart, 1985). Selanjutnya dinyatakan bahwa tingkah laku agonistik ini merupakan
hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan
subordinat antara tingkatan sosial spesies (Tomazweska, et,al.,1991). Frekuensi
tingkah laku agonistik yang paling rendah terdapat pada kepadatan kandang P1 yaitu
sebesar 0,01. Hal ini disebabkan kepadatan kandang yang rendah, yaitu sebesar
258,33 cm2/ekor yang dapat meminimalisasi terjadinya interaksi fisik ataupun
persaingan dalam memperebutkan pakan pada puyuh jantan. Tingkah laku agonistik
ini juga berkaitan erat dengan tingkah laku mematuk. Prilaku mematuk merupakan
aktivitas untuk mencari kesibukan lain dan mengalihkan aktivitas makan (Sahroni,
2001). Perilaku kanibalisme ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain jika
kelompok ternak yang dipelihara secara bersamaan mempunyai ukuran tubuh, jenis
kelamin dan umur yang berbeda. Penelitian ini menggunakan puyuh jantan yang
berumur seragam. Sifat kanibalisme ini dapat diminimalisasi apabila puyuh
dipelihara dengan sistem lantai kawat berupa lantai (Wood-Gush, 1971).
Tingkah Laku Pagi dan Siang pada Perlakuan yang Berbeda
Perbedaan kepadatan kandang akan mempengaruhi tingkah laku yang
dihasilkan. Tingginya kepadatan kandang akan berkorelasi dengan tinggi suhu di
dalam kandang itu sendiri, suhu tiap waktunya tentu akan berbeda, baik pagi hari
maupun siang hari. Unggas merupakan jenis hewan diurnal, dimana aktivitas
dipengaruhi oleh panjang hari terang dan lingkungan sosial di sekitar (Moris, 1967).
Pagi hari merupakan saat dimana puyuh memenuhi kebutuhan pokok, seperti makan
dan minum (Setyaningrum, 2007). Siang hari adalah waktu puyuh menurunkan
sedikit aktivitas sambil beristirahat. Hal ini sangat penting bagi puyuh karena
aktivitas yang terus menerus dapat menyebabkan stres dan mengganggu kesehatan
serta menurunkan produksi. Hal inilah yang menyebabkan perlu diamati tingkah laku

23

100%
90%

Frekuensi Tingkah Laku

80%
70%
60%

Minum

50%

Makan

40%

Agonistik

30%

Seksual

20%
10%
0%
P1

P2
Perlakuan Kepadatan Kandang

P3

100%
90%

Frekuensi Tingkah Laku

80%
70%
60%

Minum

50%

Makan

40%

Agonistik

30%

Seksual

20%
10%
0%
P1

P2
Perlakuan Kepadatan Kandang

P3

Menurut penelitian Sumbawati (1992), tingkat konsumsi pakan puyuh baik jantan
dan betina sebesar 109,69-135,59 g/ekor/minggu. Rataan konsumsi pakan burung
baik jantan maupun betina pada penelitian Kusumowati (1992) berkisar antara
127,12-165,15 g/ekor/minggu.
Frekuensi tingkah laku yang paling banyak disiang hari adalah tingkah laku
Ingestive, baik pada perlakuan P1, P2 maupun P3. Tingginya frekuensi tingkah laku
Ingestive pada P3 yaitu sebesar 100% mengindikasikan bahwa tingginya kepadatan
kandang disertai suhu panas siang hari menyebabkan ternak mengurangi aktifitasnya
dan lebih menjaga suhu didalam tubuh agar tidak terlalu panas, yaitu dengan cara
mengkonsumsi banyak air. Hal ini sesuai dengan Bell dan Weaver (2002) yang
menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi tingkat cekaman, suhu lingkungan
dan aktivitas ternak. Suhu lingkungan yang tinggi (cekaman panas) aktivitas tubuh
berkurang konsumsi pakan berkurang dan konsumsi air minum meningkat.
Rendahnya tingkah laku seksual pada kepadatan kandang P3 dan P1 yaitu sebesar
0% dan 1%, disebabkan karena tingginya suhu didalam kandang menyebabkan
ternak malas beraktifitas, selain itu sesuai dengan Nataamijaya (1984) bahwa
tingginya suhu kandang menyebabkan rendahnya durasi fertilitas pada puyuh jantan.
Suhu tinggi juga menyebabkan kesuburan sperma puyuh jantan juga berkurang.
Frekuensi seksual pada kepadatan kandang P2 lebih tinggi dibandingkan dengan
kepadatan kandang yang lain yaitu sebesar 8% karena pada siang hari kondisi
kandang P2 jauh lebih tenang dikarenakan kepadatan kandang yang tidak terlalu
tinggi dan tidak terlalu rendah ini menyebabkan puyuh tidak terlalu banyak aktivitas
di pagi hari sehingga masih menyimpan energi untuk melakukan kopulasi dan juga
pada siang hari ini tingkah laku agonistik juga jauh berkurang yaitu sebesar 4%.
Kemudian pada siang hari puyuh cenderung mengurangi aktivitas sebab suhu yang
tinggi menyebakan sistem homeothermik pada puyuh untuk mengurangi panas yang
dikeluarkan tubuh dengan panting.

Panting atau hiperventilasi thermik adalah

penguapan air melalui saluran pernafasan yang dilakukan secara cepat (Yuawanta,
2004). Anatomi serta fisiologis puyuh lebih mendukung untuk penyimpanan panas
daripada untuk pelepasan panas, hal ini lah yang menyebabkan puyuh harus
mengkonsumsi banyak air ataupun mengatur sistem pernafasan untuk mendinginkan

26

tubuh (Mulyatini, 2011).

Puyuh tidak memiliki kelenjar keringat sehingga

membutuhkan pengeluaran panas melalui penguapan air (Card dan Nesheim, 1972).
Pembahasan Umum
Tingkah Laku A
P1
2
P2
3
P3
1
Keterangan:

A = Ingestive
B = Seksual
C = Agonistik

Tingkah Laku B
1
2
3

Tingkah Laku C
3
1
2

1 = Paling Tinggi
2 = Sedang
3 = Paling Rendah

Tabel 3. Scoring Tingkah laku terhadap Kepadatan Kandang
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil penilaian seluruh tingkah
laku yang diekpresikan terhadap kepadatan kandang yang bebeda memberikan hasil
sebagai berikut: 1) Kepadatan kandang yang paling optimal dalam penelitian ini
adalah kepadatan kandang P1 (258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan empat ekor
dan betina delapan ekor) yaitu ditandai dengan frekuensi tingkah laku seksual yang
paling tinggi dan frekuensi tingkah laku agonistik yang paling rendah. Selain itu
berdasarkan Ananda, P (2012) tingkat fertilitas telur tertinggi juga berada pada
kepadatan kandang P1. 2) Kepadatan kandang yang optimal kedua adalah kepadatan
kandang P3 (Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan enam ekor
dan betina 12 ekor) hal ini ditandai dengan hasil frekuensi tingkah laku ingestive
yang paling tinggi dan tingkah laku agonistik yang sedang walaupun tingkah laku
seksual paling rendah. Hal ini membuktikan bahwa kepadatan kandang tersebut
masih cukup optimal untuk puyuh penggemukan. 3) Kepadatan kandang yang paling
tidak optimal terdapat pada kepadatan kandang P2 (Kepadatan kandang 206,67
cm2/ekor dengan jumlah jantan lima ekor dan betina 10 ekor) hal ini ditandai dengan
tingginya tingkah laku agonistik yang menggangu kenyamanan kandang khususnya
puyuh pembibit. Frekuensi tingkah laku ingestive yang rendah membuktikan bahwa
efek dari agonistik yang tinggi menggangu aktivitas makan dan minum puyuh.

27

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Frekuensi tingkah laku seksual, paling banyak terjadi pada kepadatan
kandang P1 dan P2 yaitu sebesar 0,11. Frekuensi tingkah laku agonistik tertinggi
terjadi pada kepadatan kandang P2 sebesar 0,07 dan frekuensi Ingestive paling tinggi
pada kepadatan P3 sebesar 0,90. Pengamatan frekuensi tingkah laku pada pagi hari
untuk seksual paling banyak pada kepadatan kandang yang paling rendah yaitu P1
dengan frekuensi agonistik yang cukup rendah dan pada siang harinya pada
kepadatan P2.
Saran
Perlu adanya perhitungan secara ekonomis antara tingkat kepadatan kandang
serta biaya

yang dibutuhkan dan hasil

produksi

yang

diperoleh tanpa

mengesampingkan konsep animal welfare. Perlu penelitian lanjut tentang tingkah
laku puyuh betina serta dikaitkan dengan data fertilitas telurnya.

28

TINGKAH LAKU SEKSUAL DAN AGONISTIK SERTA
INGESTIVE PUYUH JANTAN (Coturnix coturnix
japonica) PADA KEPADATAN KANDANG
YANG BERBEDA

ALDI PRAMESTYA PAMUNGKAS
D14080301

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

iv

RINGKASAN
Aldi Pramestya Pamungkas D14080301. 2013. Tingkah Laku Ingestive dan
Seksual serta Agonistik Puyuh Jantan (Coturnix-coturnix japonica) pada
Kepadatan Kandang yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Rudi Afnan, S.Pt.,M.Sc.Agr
Pembimbing Anggota : Muhamad Baihaqi, S.Pt.,M.Sc
Puyuh merupakan salah satu jenis ternak dwiguna, sebagai penghasil telur
dan daging yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang bergizi tinggi.
Produksi yang dihasilkan dapat dipengaruhi manajemen kandang yang diberlakukan
salah satunya adalah kepadatan kandang. Kepadatan kandang berpengaruh terhadap
tingkah laku yang diekspresikan puyuh, terutama jantan yang memiliki sifat
dominasi yang cukup kuat di kandang dibandingkan betina.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kepadatan kandang
optimal terhadap tingkah laku puyuh jantan dengan rasio jantan betina 1:2, sehingga
menghasilkan ekspresi tingkah laku yang mendukung produksi optimal. Puyuh yang
digunakan adalah Coturnix-coturnix japonica berumur sembilan minggu untuk
betina dan sepuluh minggu untuk jantan. Penelitian ini dilaksanakan selama satu
bulan di kandang B unit unggas Fakultas Peternakan, IPB. Penelitian didesain
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan tiga
ulangan. Perlakuan pertama P1 (terdiri dari 4 jantan dan 8 betina), perlakuan kedua
P2 terdiri (terdiri dari 5 jantan dan 10 betina) dan perlakuan ketiga P3 (terdiri dari 6
jantan dan 12 betina). Metode pengamatan yang digunakan adalah scan sampling
dan dilakukan dua kali pengamatan selama seminggu sekali. Tingkah laku yang
diamati adalah tingkah laku seksual, agonistik dan Ingestive. Analisis yang
digunakan adalah analisis deskriptif tingkat kepadatan kandang berbeda yaitu, P1, P2
dan P3. Perhitungan frekuensi meliputi masing-masing tingkah laku dan frekuensi
tingkah laku pagi dan siang hari.
Frekuensi tingkah laku seksual, terbanyak ditemukan pada kepadatan
kandang P1 dan P2. Frekuensi tingkah laku agonistik terbanyak terletak pada
kepadatan kandang P2 dan frekuensi tingkah laku Ingestive terbanya pada kepadatan
kandang P3.
Frekuensi tingkah laku seksual terbanyak pada pagi hari terletak pada
kepadatan kandang P1, sedangkan untuk siang hari pada kepadatan kandang P2 .
Kata-kata kunci: puyuh jantan, tingkah laku, kepadatan kandang

ii

ABSTRACT
Ingestive, Sexual and Agonistic Behavior of Male Quail (Coturnix-coturnix
japonica) In Different Stocking Density
Pamungkas, A. P, R. Afnan and M. Baihaqi
Quail have considerable potential as a producer of eggs. Some of them likes
C.japonica can spawn more than 300 points in one year at the first production. Quail
livestock production can developed optimally in good maintenance management.
Factors of stocking density, sex ratio and behavior could be affected to egg
production. The subject of this research was to determine the optimal stable density
on the behavior of quail. There were three treatment in this research, first density
(there was 4 male and 8 female), second density (there was 5 male and 10 female)
and third density (there was 6 male and 12 female). The treatment production
indicated that the P1 and P2 showed the greatest frequency of sexual was 0,11, P2
showed the greates frequency of agonistic was 0,07 and Ingestive behavior was 7,13.
The most highest sexual behavior frequency was showed at stocking density P1 and
P2. The most highest agonistic behavior frequency at stocking density P2 and the
most highest Ingestive behavior frequency at stocking density P3.
Keywords : male quail, behavior, stocking density.

iii

TINGKAH LAKU SEKSUAL DAN AGONISTIK SERTA
INGESTIVE PUYUH JANTAN (Coturnix coturnix
japonica) PADA KEPADATAN KANDANG
YANG BERBEDA

ALDI PRAMESTYA PAMUNGKAS
D14080301

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

iv

Judul :

Nama :

Tingkah Laku Ingestive dan Seksual serta Agonistik Puyuh Jantan
(Coturnix-coturnix japonica) pada Kepadatan Kandang yang
Berbeda
Aldi Pramestya Pamungkas

NIM

D14080301

:

Menyetujui,

Pembimbng Utama

Pembimbing Anggota

(Dr. Rudi Afnan, S.Pt.,M.Sc.Agr)
NIP. 19680625 200801 1 010

(Muhamad Baihaqi, S.Pt.,M.Sc)
NIP. 19800129 200501 1 005

Mengetahui,
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc)
NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 19 Desember 2012

Tanggal Lulus:

v

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 30 Juli 1990 di Jakarta. Penulis adalah anak
ke-dua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Andika dan Ibu Ramayani.
Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1995 masuk TK Tunas
Bangsa Jakarta dan lulus pada tahun 1996. Pendidikan dasar dimulai pada tahun
1996 dan diselesaikan pada tahun 2002 di SDN Kramat Pela 03 pagi Jakarta.
Pendidikan lanjut dimulai pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahu 2005 di
SMPN 13 Jakarta. Penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 60 Jakarta pada tahun
2005 dan diselesaikan pada tahun 2008.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan mendapatkan
Beasiswa Masuk Universitas (BMU). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa di
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.
Penulis terlibat aktif di kelembagaan, antara lain sebagai staf Budaya
Olahraga dan Seni (BOS), Badan Eksekutif Mahasiwa Fakultas Peternakan (BEM-D)
periode 2009-2010, Ketua Departemen BOS, BEM-D periode 2010-2011 dan Staf
BOS, BEM KM IPB periode 2011-2012. Penulis pernah mengikuti magang di Balai
Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah di Purwokerto pada tahun 2010. Penulis
juga aktif di berbagai kepanitiaan antara lain Ketua Pelaksana Dekan Cup tahun
2010, Kepanitian Masa Perkenalan Fakultas (MPF) tahun 2010 dan 2011, Ketua Biro
acara D’Day Art and Cultur tahun 2010, Kepanitiaan Malam Keakraban Departemen
tahun 2011, Kepanitiaan Malam Keakraban Kelas tahun 2012 dan Kepanitiaan
Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2012. Penulis juga pernah menjadi asisten
mata kuliah Hasil Ikutan Ternak tahun 2012.

vi

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan berkah, hidayah dan inayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan
Skripsi berjudul Tingkah Laku Ingestive dan Seksual serta Agonistik Puyuh Jantan
(Coturnix-coturnix Japonica) pada Kepadatan Kandang yang Berbeda. Skripsi ini
ditulis untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana pada Program Sarjana
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat dan para umatnya.
Penelitian tentang puyuh jantan ini menggunakan metode scan sampling, hal
yang menjadi bahan pengamatan adalah tingkah laku seksual, agonistik dan Ingestive
puyuh jantan pada kepadatan yang berbeda. Umumnya para peternak puyuh hanya
memikirkan nilai ekonomis dan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya saat
menjalankan peternakan tanpa memikirkan segi animal walfare. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi kepada para peternak puyuh, mengenai
kapadatan kandang yang tepat dalam memelihara puyuh terutama puyuh yang
bergerak di bidang pembibitan.
Penulis masih menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
masukan dan kritik sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para
pembaca.
Bogor, Januari 2013
Penulis

vii

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ......................................................................................................

i

ABSTRACT .........................................................................................................

iii

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................

v

RIWAYAT HIDUP .............................................................................................

vi

KATA PENGANTAR .........................................................................................

vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................

viii

DAFTAR TABEL ................................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................

xi

PENDAHULUAN ...............................................................................................

1

Latar Belakang .........................................................................................
Tujuan ......................................................................................................

1
2

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................

3

Puyuh .......................................................................................................
Karakteristik Morfologi Puyuh ................................................................
Kandang ...................................................................................................
Kepadatan dan Luasan Kandang Puyuh ..................................................
Perbandingan Jantan dan Betina ..............................................................
Tingkah Laku ...........................................................................................
Tingkah Laku Makan ...............................................................................
Tingkah Laku Agonistik ..........................................................................
Tingkal Laku Seksual ..............................................................................

3
3
4
5
6
6
7
7
8

MATERI DAN METODE ...................................................................................

9

Lokasi dan Waktu ....................................................................................
Materi .......................................................................................................
Ternak ..........................................................................................
Kandang .......................................................................................
Peralatan .......................................................................................
Pakan ............................................................................................
Vitamin ........................................................................................
Prosedur ...................................................................................................
Persiapan Kandang ......................................................................
Kedatangan Puyuh .......................................................................
Pemeliharaan ................................................................................
Pengambilan Data Tingkah Laku ................................................
Rancangan dan Analisis Data ..................................................................
Analisis Data Performa Produksi .................................................
Analisis Data Tingkah Laku ........................................................
Peubah yang diamati ....................................................................

9
9
9
9
10
10
11
11
11
12
12
13
13
14
14
14

HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................

16
viii

Manajemen Pemeliharaan ........................................................................
Tingkah Laku Puyuh Jantan ....................................................................
Tingkah Laku Ingestive ...............................................................
Tingkah Laku Seksual .................................................................
Tingkah Laku Agonistik ..............................................................
Tingkah Laku Pagi dan Siang pada Perlakuan yang Berbeda .................
Pembahasan Umum .................................................................................

16
17
17
19
22
23
27

KESIMPULAN DAN SARAN .......................