Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi pada Anak Autis di Kota Bogor

ABSTRACT
DWI MURNI MUJIYANTI. Level of Mother’s Knowledge and Consumption
Pattern in Children with Autism in Bogor. Under direction of TIURMA SINAGA
and EDDY S. MUDJAJANTO.
Autism is a developing disorder which is caused by brain destruction.
Brain destruction makes some disorder in communication, behavior, and social
ability. Most children with autism have metabolic problem, such as enzyme
deficiencies and leaky gut condition which allows proteins gluten and casein can
not be absorbed as in normal children. So, intervention of diet especially diet
GFCF (Gluten Free Casein Free) is one of the most common solution given.
Mother’s knowledge is one important thing that affects child consumption. The
general purpose of this research was to determine the relationship between
mother’s knowledge and consumption pattern in children with autism in Bogor.
The research uses cross sectional study from April to May 2011. The number of
93% samples have a frequency of eating 3 meals a day and only 17% given
cycle menu. The number of 10% samples have an allergy to food served cold,
orange, shrimp, and honey. The number of 26,67% samples taking supplement.
Most of the samples do not consume foods containing gluten or casein. Food that
contain gluten and casein are the most frequently consumed by the samples are
biscuit, milk, cheese, and yogurt. Intakes of both calories and proteins were
adequate in the majority of children, but the proteins was higher than

Recommended Dietary Allowence (RDA). The average intake of vitamin A and
magnesium were normal. However, the following nutrients did not meet the RDA
requirements at all : vitamins C, calcium, and zinc. The result showed that
nutritional status of 30% sample were normal and 40% sample were obesity. The
result showed that mother’s knowledge related to the frequency of consumption
of food containing gluten and casein in children. Samples which have a less
knowledgeable mothers, likely to consume food that contain gluten for more than
or equal to 3 times a week. However, samples with less knowledgeable mothers,
reducing the consumption of food containing casein to less than 3 times a week.
The result showed no relationship between mother’s knowledge with energy and
nutrition adequacy level, as well as nutritional status of sample. The result also
indicate that there is no relationship between adequacy level of energy and
protein with nutritional status.

Keyword : Autism, gluten free casein free, mother’s knowledge, energy and
nutrition adequacy level, food consumption

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anak merupakan individu yang berada pada satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Anak mengalami rentang
pertumbuhan dan perkembangan yang terdiri dari rentang cepat dan lambat.
Proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping,
dan perilaku sosial (Hidayat A 2004). Pada beberapa kondisi terdapat anak-anak
yang mengalami masalah perkembangan. Salah satu kelainan yang diderita
anak yang menjadi sorotan saat ini adalah autis.
Autis adalah

gangguan

perkembangan

yang

mencakup

bidang

komunikasi, interaksi, serta perilaku yang luas dan berat. Gejala autis mulai
tampak pada anak usia 18-36 bulan. Penyebabnya adalah gangguan pada

perkembangan susunan syaraf pusat yang menyebabkan terganggunya fungsi
otak. Autis bisa terjadi pada siapapun, tanpa ada perbedaan status sosial
ekonomi, pendidikan, golongan etnis, maupun bangsa (Indiarti MT 2007).
Kasus autis belakangan ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju
seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika, tetapi juga di negara berkembang
seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per
10.000 anak atau 0,15-0,20%. Apabila angka kelahiran di Indonesia enam juta
per tahun, maka jumlah penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau
6.900 anak pertahun. Jumlah anak laki-laki penyandang autis dapat mencapai
tiga sampai empat kali lebih besar daripada anak perempuan (Mashabi NA. &
Tajudin NR. 2009). Jumlah anak penderita autis di Indonesia diperkirakan
mencapai 150.000-200.000 anak.
Langkah untuk mengurangi gejala dari autis salah satunya adalah
dengan memberikan intervensi diet. Intervensi diet dimaksudkan untuk
menghilangkan atau mengurangi gejala autisme, meningkatkan kualitas hidup,
serta memberikan status nutrisi yang baik. Intoleransi dan alergi makanan
merupakan salah satu faktor pencetus yang perlu diperhatikan terhadap anak
autis. Intervensi diet khusus bagi anak penyandang autis akan sangat
bermanfaat untuk mengurangi manifestasi klinis yang terjadi, sehingga dapat
membantu dalam perbaikan tingkah laku. Terdapat beberapa terapi diet autis

yang telah diajukan untuk memperbaiki atau menyembuhkan gangguan ini.
Strategi diet autis yang telah diusulkan sebagai penanganan diantaranya yaitu:

diet bebas jamur, diet GFCF (Gluten Free Casein Free), diet bebas bahan aditif,
dan diet suplemen.
Diet yang paling sering diberikan adalah diet Gluten Free Casein Free
(GFCF). Gluten dan kasein tidak diperbolehkan untuk anak autis karena gluten
dan kasein termasuk protein yang tidak mudah dicerna. Enzim pencernaan pada
anak autis sangat kurang hingga membuat makanan tidak dicerna dengan
sempurna. Gluten dan kasein dapat mempengaruhi fungsi susunan syaraf pusat,
menimbulkan keluhan diare dan meningkatkan hiperaktivitas, yang tidak hanya
berupa gerakan tetapi juga emosinya seperti marah-marah, mengamuk atau
mengalami gangguan tidur (Suryana 2004). Hasil penelitian Latifah pada tahun
2004 menunjukkan bahwa 68,42% anak autis di Kota Bogor yang menerima diet
GFCF

menunjukkan

adanya


perbaikan

perilaku

terutama

dalam

hal

hiperaktivitas.
Dokter biasanya menyarankan untuk memperhatikan makanan untuk
anak yang telah dinyatakan autis. Diet yang dianjurkan yaitu harus bebas gluten
dan kasein. Dokter sering lupa bahwa ibu-ibu tidak tahu makanan apa saja yang
bebas gluten dan kasein, sehingga tidak sedikit orang tua yang akhirnya
kebingungan dalam memilih bahan makanan. Anak menjadi memiliki pilihan
makanan yang terbatas yang pada akhirnya berpotensi menjadikan anak mudah
terserang penyakit atau mengalami gizi kurang (Kusumayanti et al. 2005).
Seorang ibu harus bersikap lebih selektif dalam mengatur pola makan
bagi anaknya. Ibu dapat dengan tegas melarang atau memperbolehkan anak

untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu. Oleh karena itu, ibu harus memiliki
pengetahuan yang baik tentang pilihan makanan untuk anak autis. Berdasarkan
hasil penelitian Mashabi NA dan Tajudin NR pada tahun 2009, diketahui bahwa
tinggi rendahnya pengetahuan ibu akan mempengaruhi pola makan anak autis.
Penelitian Kusumayanti et al. tahun 2005 menyebutkan bahwa sebagian besar
anak penyandang autis yang di terapi di RS Sanglah Denpasar belum dapat
melaksanakan diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Salah satu alasan yang
dikemukan ibu dari penyandang autis adalah kurangnya pengetahuan ibu
tentang diet GFCF (Gluten Free Casein Free) bagi anak autis.
Oleh karena itu pengetahuan ibu tentang pangan apa saja yang boleh
dikonsumsi oleh anak autis sangat penting bagi terpenuhinya kecukupan gizi
sesuai dengan kebutuhan anak. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik

untuk mengetahui gambaran pola konsumsi anak autis khususnya pangan
sumber gluten dan kasein dan pengetahuan ibu pada anak autis di kota Bogor.
Perumusan Masalah
Anak penyandang autis jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke
tahun, bukan hanya di negara-negara maju tetapi juga di negara berkembang
seperti Indonesia. Hasil penelitian Central of Disease Control (CDC) di Amerika
Serikat menyatakan bahwa perbandingan anak penyandang autis sebesar 1 dari

150 kelahiran. Angka yang sama juga diperkirakan terjadi di tempat lain termasuk
Indonesia. Penanganan yang tepat sangat diperlukan baik dari segi psikososial
maupun asupan makanan yang sehat dan bergizi. Salah satu terapi diet yang
umum dianjurkan pada anak penderita autis adalah diet GFCF (Gluten Free
Casein Free). Ibu memegang peranan penting dalam pendampingan proses
perkembangan anak, termasuk dalam pemilihan asupan makanan yang tepat
sesuai kebutuhan anak. Pengetahuan yang cukup terutama tentang diet yang
tepat bagi anak penyandang autis sangat diperlukan agar dapat memberikan
penanganan yang tepat dan memastikan anak mendapat asupan makanan yang
cukup.
Tujuan
Tujuan umum :
Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara tingkat
pengetahuan ibu dengan pola konsumsi pada anak autis di Kota Bogor.
Tujuan khusus :
1. Mengidentifikasi karakteristik anak autis dan keluarga.
2. Mengetahui akses ibu terhadap informasi pangan dan gizi serta tingkat
pengetahuan ibu tentang pola konsumsi, makanan sumber gluten dan
kasein, serta makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan bagi
anak autis.

3. Mengetahui pola konsumsi pangan yang meliputi frekuensi makan, siklus
menu, makanan yang disukai, makanan yang biasa dikonsumsi, konsumsi
pangan sumber gluten dan kasein, konsumsi suplemen, serta tingkat
kecukupan energi dan zat gizi anak autis.
4. Menilai status gizi anak autis.
5. Menganalisis

hubungan

antara

pengetahuan

kecukupan energi dan protein anak autis.

ibu

dengan

tingkat


6. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status
gizi anak autis.
7. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein
dengan status gizi anak autis.
8. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi
konsumsi pangan sumber gluten dan kasein anak autis.
Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dan digunakan sebagai dasar dari penelitian ini
adalah :
1.

Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingkat
kecukupan energi dan protein contoh.

2.

Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi
contoh.


3.

Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan
status gizi contoh.

4.

Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi
konsumsi pangan sumber gluten dan kasein contoh.
Kegunaan
Penelitian

ini

diharapkan

dapat

memberikan


gambaran

tingkat

pengetahuan ibu tentang pola konsumsi atau diet yang selama ini telah
dilakukan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai masukan bagi para orang tua anak penyandang autis tentang
pentingnya pengetahuan dan pemberian makanan yang tepat bagi anak autis.
Penulis dan masyarakat umumnya diharapkan dapat mengetahui lebih banyak
tentang permasalahan-permasalahan anak autis, serta bagi terapis atau
pengajar dapat menjadikan sebagai bahan masukan untuk orang tua tentang
cara pemberian makan yang tepat untuk anak autis.

TINJAUAN PUSTAKA
Autis
Pengertian dan Gejala
Autisme berasal dari kata Yunani “autos” yang berarti self (diri). Kata
autisme ini digunakan di dalam bidang psikiatri untuk menunjukkan gejala
menarik diri. Istilah autis pertama kali dikemukakan pada tahun 1943 oleh Leo
Kanner, seorang psikolog dari Universitas John Hopkins. Ia memakai istilah autis
yang secara sosial tidak mau bergaul dan tenggelam dengan kerutinan, anakanak yang harus berjuang keras untuk bisa menguasai bahasa lisan namun tak
jarang menyimpan bakat intelektual tinggi. Berdasarkan penelitian terkini, gejala
autis disebabkan beberapa faktor yaitu genetik, infeksi virus rubella atau
galovirus saat dalam kandungan, faktor makanan seperti makanan yang
mengandung gluten dan kasein, gangguan metabolik yang menyebabkan
kelainan pada sistem limbik (bagian otak yang mengatur emosi), kondisi ibu yang
merokok pada saat hamil, serta pencemaran terhadap logam berat terutama
timbal (Kanner L 2007 dalam Latifah 2004).
Sari ID (2009), berpendapat istilah autis berasal dari kata autos yang
berarti diri sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang
tertarik hanya pada dunia sendiri. Autis diduga akibat kerusakan saraf otak yang
bisa muncul karena beberapa faktor, di antaranya : genetik dan faktor
lingkungan. Menurut Sutadi (2003), secara sederhana masalah atau karakteristik
yang sering terdapat pada penyandang autis adalah sebagai berikut: (1)
Kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi seperti bicara dan berbahasa. (2)
terjadi ketidaknormalan dalam hal menerima rangsang melalui panca indera
(pendengaran, penglihatan,perabaan dan lain-lain), (3) masalah gerak/motorik.
(4) kelemahan kognitif, (5) perilaku yang tidak biasa, dan (6) masalah fisik.
Menurut Yuliana & Emilia (2006), Autistic Spectrum Disorder (ASD)
adalah suatu kelompok gangguan perkembangan anak yang terdiri dari Attention
Deficit Disorder (ADD), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan
Pervasive Developmental Disorder (PDD). PDD adalah diagnosis yang diberikan
kepada anak-anak apabila menunjukkan gejala autis tetapi masih memiliki sedikit
kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi. Seorang anak yang didiagnosis
dengan

ADD

memiliki

kesulitan

dalam

mempertahankan

kemampuan

memusatkan perhatiannya. Seorang anak hiperaktif dengan ADD dinamakan
ADHD. Keduanya dianggap sebagai bentuk ASD yang lebih ringan. Asperger 's

Syndrome adalah bentuk autis yang paling ringan karena mempakan anak-anak
yang cerdas. Mereka menggunakan dan mengerti perbendaharaan kata secara
khas, tetapi memiliki minat yang sangat sempit dan menunjukkan banyak
kekurangan dari segi sosial. Seorang anak dengan Asperger 's Syndrome bisa
sangat ahli mengenai masalah mesin cuci, tapi mesin cuci adalah satu-satunya
hal yang dibicarakan.
Gejala-gejala yang terlihat pada anak yang menderita autis adalah diare
atau sembelit yang susah diatur, sakit pada bagian perut, adanya gas dan
kembung, buang air besar yang berbau busuk dan bewarna lebih muda, dan
kesulitan tidur setiap malam

yang disebabkan oleh saluran usus yang

mengalami gangguan sepanjang malam akibat asam lambung naik dan
membakar esopaghus, yaitu tempat dilaluinya makanan menuju perut (Yuliana &
Emilia E 2006).
Menurut Acocella (1996) dalam Lubis MU. (2009), ada banyak tingkah
laku yang tercakup dalam autis dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu :
1.

Isolasi sosial

Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak sosial kedalam
suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloness. Hal ini akan semakin
terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan
orang lain tidak pernah ada.
2.

Kelemahan kognitif :

Anak autis sebagian besar (± 70%) mengalami retardasi mental (IQ <
70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan
dengan kemampuan sensori motor. Terapi yang dijalankan anak autis
meningkatkan hubungan sosial mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun
pada retardasi mental yang dialami. Oleh karena itu, retardasi mental pada anak
autis, terutama sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh
penarikan diri dari lingkungan sosial.
3.

Kekurangan dalam bahasa

Lebih dari setengah autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya
mengoceh, merengek, menjerit atau menunjukkan ecolalia, yaitu menirukan apa
yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan
TV, atau potongan kata yang terdengar tanpa tujuan. Beberapa anak autis
menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri mereka sendiri
sebagai orang kedua “kamu” atau orang ketiga “dia”. Intinya anak autis tidak

dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam
pembicaraan normal
4.

Tingkah laku stereotif

Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terusmenerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan
lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan adanya
kerusakan fisik, misalnya adanya gangguan neurologis. Anak autis juga
mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering
menangis kesakitan akibat perbuatan sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah
laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga hanya tertarik
pada bagian-bagian tertentu dari sebuah objek, misalnya pada roda mainan
mobil-mobilan. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan
yang monoton.
Menurut Handojo (2003), deteksi dini autis pada anak yang dianjurkan
untuk diwaspadai oleh para orang tua adalah sebagai berikut :
1. Anak usia 30 bulan belum bisa bicara untuk komunikasi
2. Hiperaktif dan acuh kepada orang tua dan orang lain
3. Tidak bisa bermain dengan teman sebayanya
4. Ada perilaku aneh yang diulang-ulang
Jenis-jenis
Menurut Faisal Y (2003) dalam Hidayat (2004), autisme terdiri dari tiga
jenis yaitu persepsi, reaksi, dan yang timbul kemudian.
1. Autisme persepsi
Autisme persepsi merupakan autisme yang timbul sebelum lahir dengan
gejala adanya rangsangan dari luar baik kecil maupun kuat yang dapat
menimbulkan kecemasan.
2. Autisme reaktif
Autisme reaktif ditunjukkan dengan gejala berupa penderita membuat
gerakan-gerakan tertentu yang berulang-ulang dan kadang-kadang disertai
kejang dan dapat diamati pada anak usia 6-7 tahun. Anak memiliki sifat rapuh
dan mudah terpengaruh oleh dunia luar.
3. Autisme yang timbul kemudian
Jenis autisme ini diketahui setelah anak agak besar dan akan mengalami
kesulitan dalam mengubah perilakunya kerena sudah melekat atau ditambah
adanya pengalaman yang baru.

Sedangkan menurut Sari ID (2009), autis terbagi menjadi dua, yaitu
sebagai berikut :
1.

Autisme klasik.
Autis sejak lahir merupakan bawaan yang diturunkan dari orang tua ke

anak yang dilahirkan atau sering disebut autis yang disebabkan oleh genetika
(keturunan) (CDC 2000). Kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena saat
hamil, ibu terinfeksi virus seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya
seperti merkuri dan timbal yang berdampak mengacaukan proses pembentukan
sel-sel otak janin.
2.

Autisme regresif
Muncul saat anak berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya

perkembangan anak relatif normal, namun saat usia anak menginjak 2 tahun
kemampuan anak merosot. Anak tadinya sudah bisa membuat kalimat dua
sampai tiga kata berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan
tidak mau melakukan kontak mata. Kalangan ahli menganggap autisme regresif
muncul karena anak terkontaminasi langsung faktor pemicu. Paparan logam
berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan merupakan faktor yang paling
disorot.
Klasifikasi Autis
Menurut Cohen & Bolton (1994) dalam Hadrian J (2008) autisme dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya. Seringkali
pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat
diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS). Skala ini menilai
derajat kemampuan anak untuk berinteraksi dengan orang lain, melakukan
imitasi, memberi respon emosi, penggunaan tubuh dan objek, adaptasi terhadap
perubahan, memberikan respon visual, pendengaran, pengecap, penciuman dan
sentuhan. Selain itu, Childhood Autism Rating Scale juga menilai derajat
kemampuan anak dalam perilaku takut/gelisah melakukan komunikasi verbal dan
non verbal, aktivitas, konsistensi respon intelektual serta penampilan menyeluruh
Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :
a). Autis ringan
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata
walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit
respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan
dalam berkomunikasi secara dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.

Tindakan-tindakan

yang

dilakukan,

seperti memukulkan kepalanya

sendiri,

mengigit kuku, gerakan tangan yang steroetif dan sebagainya, masih bisa
dikendalikan dan dikontrol dengan mudah. Karena biasanya perilaku ini
dilakukan masih sesekali saja, sehingga masih bisa dengan mudah untuk
mengendalikannya.
b). Autis sedang
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata,
namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif
atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang
stereotipik cenderung

agak

sulit

untuk

dikendalikan

tetapi

masih

bisa

dikendalikan.
c). Autis berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan
yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kepalanya
ke tembok secara berulang-ulang dan terus-menerus tanpa henti. Ketika orang
tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap
melakukannya, bahkan dalam kondisi berada dipelukan orang tuanya, anak autis
tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa
kelelahan kemudian langsung tertidur. Kondisi yang lainnya yaitu, anak terus
berlarian didalam rumah sambil menabrakkan tubuhnya ke dinding tanpa henti
hingga larut malam, keringat sudah bercucuran di sekujur tubuhnya, anak
terlihat sudah sangat kelelahan dan tak berdaya. Tetapi masih terus berlari
sambil menangis. Seperti ingin berhenti, tapi tidak mampu karena semua diluar
kontrolnya. Hingga akhirnya anak terduduk dan tertidur kelelahan.
Etiologi dan Patofisiologi
Menurut Sari ID (2009), autis merupakan penyakit yang bersifat
multifaktor. Teori pengenai penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai
berikut.
1.

Faktor genetika
Faktor genetik diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan

autisme, walaupun bukti kongkrit masih sulit ditemukan. Hal tersebut diduga
karena adanya kelainan kromosom pada anak autisme, namun kelainan itu tidak
selalu berada pada kromosom yang sama. Penelitian masih terus dilakukan
sampai saat ini.

Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih
banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau
beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki
dua kromosom X, sementara laki-laki hanya memiliki satu kromosom X.
Kegagalan fungsi pada gen yang terdapat di salah satu kromosom X pada anak
perempuan dapat digantikan oleh gen pada kromosom lainnya. Sementara pada
anak laki-laki tidak terdapat cadangan ketika kromosom X mengalami
keabnormalan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X
bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X yang
mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang
berkaitan dengan autis (Wargasetia 2003).
2.

Kelainan anatomis otak
Kelainan anatomis otak ditemukan khususnya di lobus parietalis,

serebelum serta pada sistem limbiknya. Sebanyak 43% penyandang autisme
mempunyai kelainan di lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak
tampak acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil
(serebelum), terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab
atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi
(perhatian). Jumlah sel Purkinye di otak kecil juga ditemukan sangat sedikit,
sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamin, menyebabkan
gangguan atau kekacauan lalu lintas impuls di otak. Kelainan khas juga
ditemukan di daerah sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala.
Kelainan tersebut menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kontrol terhadap
agresi dan emosi. Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, sering terlalu
agresif atau sangat pasif. Amigdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai
rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan,
rasa dan rasa takut. Hipokampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan
daya ingat. Gangguan hipokampus menyebabkan kesulitan penyimpanan
informasi baru, perilaku diulang-ulang yang aneh dan hiperaktif.
3.

Disfungsi metabolik
Disfungsi

metabolik

terutama

berhubungan

dengan

kemampuan

memecah komponen asam amino phenolik. Amino phenolik banyak ditemukan di
berbagai

makanan

dan

dilaporkan

bahwa

komponen

utamanya

dapat

menyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku pada pasien autis. Sebuah
publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi menemukan bahwa anak autis

mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat
sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino
phenolik. Komponen amino phenolik merupakan bahan baku pembentukan
neurotransmiter, jika komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi
akumulasi katekolamin yang toksik bagi saraf. Makanan yang mengandung
amino phenolik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang, dan
apel.
4.

Infeksi Kandidiasis
Strain Candida ditemukan di saluran pencernaan dalam jumlah sangat

banyak saat menggunakan antibiotik yang nantinya akan menyebabkan
terganggunya flora normal anak. Infeksi Candida albicans berat bisa dijumpai
pada anak yang banyak mengonsumsi makanan yang banyak mengandung
yeast dan karbohidrat, karena dengan adanya makanan tersebut Candida dapat
tumbuh subur. Makanan jenis ini dilaporkan menyebabkan anak menjadi autis.
Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan antara beratnya infeksi
Candida albicans dengan gejala-gejala menyerupai autis, seperti gangguan
berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata. Tetapi Dr
Bernard Rimland, seorang peneliti terkemuka di bidang autis, mengatakan bahwa
sampai sekarang hubungan antara keduanya kemungkinannya masih sangat
kecil.
5.

Teori kelebihan opioid dan hubungan antara diet protein kasein dan
gluten.
Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna.

Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari kedua
protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan “efek morfin” di
otak anak. Pori-pori yang tidak lazim kebanyakan ditemukan di membran saluran
cerna pasien autis, yang menyebabakan masuknya peptida ke dalam darah.
Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan
reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan
tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein menurunkan kadar
peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak.
Sehingga, implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh
kesembuhan pasien.
Teori lain yang masih kontroversial mengenai vaksinasi MMR yang
diberikan pada usia 15 bulan, juga teori penggunaan antibiotik, stres, merkuri

dan berbagai toksin yang ada di lingkungan. Akan tetapi, semua faktor tersebut
mungkin hanya merupakan pemicu, yang bisa terjadi pada anak yang sudah
mempunyai riwayat genetik. Teori yang berhubungan dengan diet sampai
sekarang masih ramai dibicarakan diantara berbagai teori tersebut.
Mekanisme Terjadinya Autis
1) Mekanisme Racun Logam Berat
Logam berat dapat berpengaruh buruk pada sistem saluran cerna,
sistem imun tubuh, sistem saraf, dan sistem endokrin. Logam berat mengubah
fungsi seluler dan sejumlah proses metabolisme dalam tubuh, termasuk yang
berhubungan dengan sistem saraf pusat dan sekitamya. Sebagian besar
kerusakan

yang

disebabkan

oleh

logam

berat

disebabkan

oleh

perkembangbiakan radikal bebas oksidan. Radikal bebas adalah molekul
yang secara energi keberadaannya tidak seimbang, yaitu terdiri dari elektron
yang tidak berpasangan yang mengambil elektron dari molekul lainnya.
Radikal bebas umumnya muncul bila molekul sel-sel bereaksi dengan
oksigen. Produksi radikal bebas yang berlebihan dapat terjadi apabila
seseorang

terpapar logam berat

atau

anak-anak memiliki defisiensi

antioksidan secara genetis. Radikal bebas akan dapat merusak jaringan di
seluruh tubuh, termasuk otak. Antioksidan seperti vitamin A, C, dan E
melindungi tubuh terhadap radikal bebas dan pada tingkat tertentu
memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas (McCandless 2003).
2) Imun Tubuh dan Saluran Cerna Berinteraksi
Otak adalah bagian tubuh yang membutuhkan zat gizi penting.
Kebutuhan tersebut sangat bergantung pada interaksi kompleks antarasistem
imun, kelenjar endoktrin, dan saluran pencemaan. Imun tubuh adalah
pemimpin pertahanan tubuh menghadapi bakteri patogen, jamur, dan virus.
Sistem imun juga dapat membedakan antarmolekul asing (Foreign)
dan molekul tubuh sendiri (self) dan menggerakkan sel-sel dan antibodi untuk
menghadapi molekul asing. Sistem imun seharusnya bereaksi apabila ada
masalah, tetapi anak autis mempunyai sistem imun yang malfungsi. Seringkali
perubahan fungsi ini menyebabakan tubuh salah mengidentifikasi sel-sel
sendiri dan molekul asing. Malfungsi ini menyebabkan terjadinya peradangan
saluran cerna (McCandless 2003). Saluran cerna merupakan penghalang
penting antara patogen yang datang dari luar dan organ-organ dalam, dimana

sejumlah mekanisme imun terdapat pada ephitalium. Lapisan usus ini
bertugas memblokir patogen luar agar tidak melakukan perusakan.
3) Pertumbuhan Jamur yang Berlebih dapat Melukai Sistem Saluran Cerna
Pemberian antibiotik yang berlebihan mengakibatkan banyak bakteri
yang resisten terhadap antibiotik. Antibiotik bukan hanya membunuh patogen,
tetapi sekaligus membunuh bakteri-bakteri pelindung (probiotik) usus. Diare
kronis atau sembelit pada anak dapat menunjukkan gejala pertumbuhan jamur
yang berlebihan pada banyak individu. Pertumbuhan bakteri dan jamur yang
berlebihan dapat melukai sistem saluran cerna dan merupakan salah satu
penyebab spektrum autis (McCandless 2003).
4) Peningkatan Permeabilitas Mukosa Usus dan Malabsorpsi
Jamur memproduksi hasil sampingan yang beracun yang dapat
menyebabkan berbagai jenis penyakit pencernaan, terasuk sindrom iritasi
usus besar (irritable bowel syndrome), sembelit yang kronis atau diare (Walsh
2003 dalam Yuliana & Emilia E 2006). Salah satu racun hasil sampingan ini
adalah enzim yang membiarkan jamur tersebut menggali lubang di dinding
usus yang dapat mengakibatkan terjadinya keadaan leaky gut. Racun-racun
yang diproduksi oleh jamur ini benar-benar mengebor lubang-lubang pada
dinding usus dan meresap ke dalam aliran darah anak. Substansi racun ini
dapat melukai atau merusak sawar darah otak yang menyebabkan rusaknya
kesadaran, kemampuan kognitif, kemampuan bicara atau tingkah laku. Sawar
darah otak merupakan suatu dinding yang impermeabel. Sawar darah
berfungsi melindungi otak dari berbagai gangguan yang dapat menyebabkan
disfungsi otak.
Penyerapan protein yang tidak cukup atau tidak sesuai oleh usus
dapat menyebabkan kelainan sistem pencernaan. Sistem pencernaan yang
sehat akan mampu mencerna makanan yang kompleks dan memecahnya ke
dalam bentuk yang dapat diserap oleh sel-sel tubuh yang kemudian diubah
menjadi energi melalui metabolisme tubuh (McCandless 2003). Sewaktu
dicerna, banyak protein yang dipecah menjadi asam amino tunggal, yang
lainnya dibawa sebagai rantai yang sedikit lebih besar. Pada anak autis,
protein dan peptida yang tidak dapat dicema berasal dari casein dan gluten.
Peptida yang tidak bisa diterima tubuh dapat memasuki aliran darah dan
apabila terbawa ke otak akan memiliki efek seperti opioid (Shattock 2002
dalam Yuliana & Emilia E. 2004).

Lubang-lubang yang berukuran abnormal di antara dinding-dinding
lapisan sel usus akan membiarkan opioid dan zat-zat beracun lainnya
merembes memasuki aliran darah (Shattock 2002 dalam Yuliana & Emilia E.
2004). Racun-racun ini tidak seharusnya berada di tempat tersebut, maka
sistem imun mengenali substansi-substansi ini sebagai benda asing dan
membuat antibodi menentang mereka. Beberapa patogen usus yang masuk
dalam aliran darah, biasanya akan dihancurkan oleh munculnya reaksi imun.
Akan tetapi pecahan dinding sel patogen yang telah dihancurkan ini dapat
menyebabkan peradangan dan sampai tingkat tertentu dapat tersangkut di
lokasi-lokasi seluruh tubuh termasuk hati dan otak itu sendiri. Substansi racun
tersebut

dapat

merusak bahkan

melampaui kemampuan

hati untuk

membersihkan racun tersebut apabila terdapat dalam jumlah yang cukup
banyak. Penumpukan patogen tersebut dapat menimbulkan kehilangan
memori dan kebingungan.
Faktor Resiko Kejadian Autis
Penyebab autis secara pasti sampai saat ini belum diketahui. Para ahli
hanya meyakini disebabkan oleh multifaktor yang saling berkaitan satu sama
lain, seperti: faktor genetik, abnormalitas sistem pencernaan (gastro-intestinal),
polusi lingkungan, disfungsi imunologi, gangguan metabolisme (inborn error),
gangguan pada masa kehamilan/persalinan, abnormalitas susunan syaraf
pusat/struktur otak, dan abnormalitas biokimiawi. Adapun faktor-faktor resiko
yang diduga menjadi penyebab dari autis tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tokoplasmosis
Tokoplasmosis yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh
protozoa tokoplasma gondii. Manusia dapat terinfeksi parasit ini melalui
makanan yang mengandung parasit. Ibu hamil yang mengalami
keguguran
Toplasmosis

berulang
ibu

dapat

dapat

dipastikan

menyebabkan

penyebabnya
abortus,

tokoplasma.

kematian

janin,

pertumbuhan janin terhambat, partus prematus dan kematian neonatal.
Bayi yang terkena biasanya berat badan lahirnya rendah, memperlihatkan
gejala

penyakit

neurologi

dengan

konvulasi,

hidrocefalus

atau

mikrocefalus dan kalsifikasi pada parenkim otak. Kalsifikasi pada
parenkim otak dapat menyebabkan pertumbuhan sel-sel otak dan
pembentukan cabang sel otak terhambat sehingga komunikasi antar sel

terganggu, sehingga di kemudian hari anak akan mengalami hambatan
dalam perkembangan otak.
2. Pendarahan antenatal
Pendarahan antenatal adalah kondisi dimana ibu hamil mengalami
perdarahan

yang

dapat

disebabkan

karena

gangguan

plasenta.

Gangguan pada plasenta akan menyebabkan terganggunya suplai
oksigen dan glukosa pada janin. Suplai yang tidak mencukupi akan
membuat perkembangan otak janin terganggu.
3. Hiperemesis gravidarum
Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang sering
pada kehamilan trimester I yang menyebabkan keadaan umum menjadi
buruk.

Hiperemesis

gravidarum

dapat

menyebabkan

cadangan

karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi, kekurangan
cairan

yang

diminum

dan

kekurangan

cairan

karena

muntah

menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraselular dan plasma serta
natrium dan klorida dalam darah turun. Dehidrasi menyebabkan
hemokonsentrasi sehingga aliran darah ke jaringan berkurang demikian
pula aliran darah ke janin berkurang sehingga suplai oksigen dan glukosa
untuk otak janin berkurang.
4. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
BBLR adalah suatu kejadian dimana berat badan bayi saat lahir
kurang dari 2500 gram. BBLR dapat disebabkan karena gizi yang kurang
saat dalam kandungan. Bayi BBLR dapat mengalami gangguan
metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipoksia, keadaan ini dapat
menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob sehingga otak mengalami
kerusakan pada periode perinatal.
5. Trauma lahir
Trauma lahir adalah trauma akibat pertolongan pada persalinan
misalnya trauma karena tindakan forsep dan vakum. Trauma lahir dapat
menyebabkan

perdarahan

intraserebral,

perdarahan

subarahnoid,

subdural hematon yang mengakibatkan gangguan otak baik secara
langsung maupun tidak langsung sehingga terjadi gangguan aliran darah.
6. Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak dapat bernafas secara spontan
dan teratur setelah lahir. Asfiksi dapat terjadi selama kehamilan akibat

kondisi atau kehamilan yang diderita ibu seperti gizi yang buruk, penyakit
menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung. Asfiksi dapat
terjadi juga secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu selama
persalinan. Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan bersifat lebih
mendadak dan hampir selalu mengakibatkan anoksia dan hipoksia janin
dan berkahir dengan asfiksia bayi.
7.

Kejang demam
Kejang demam adalah keadaan dimana bayi mengalami kejang
yang didahului oleh panas badan karena suatu penyakit infeksi yang
diderita bayi. Kejang demam menyebabkan peningkatan metabolisme
dalam tubuh, apabila berlangsung lama dapat menyebabkan kekurangan
glukosa, oksigen, dan berkurangnya aliran darah otak sehingga terjadi
gangguan sel. Apabila berlangsung lama dapat terjadi kerusakan neuron.

8. Mump, Measles, dan Rubella (MMR)
Vaksinasi MMR merupakan vaksin kombinasi yang terdiri dari
vaksin hidup yang dilemahkan, yaitu vaksin campak, rubella, dan
gondongan. Bahan pengawet vaksin menggunakan thimerasol, suatu
senyawa merkuri organik yang telah lama digunakan sebagai pengawet
dan stabilizer dalam vaksin. Efek kumulatif yang terjadi pada pemberian
berbagai macam vaksin yang mengandung thimerasol dalam waktu
singkat seperti pada program vaksinasi akan meningkatkan sensitivitas
yang tinggi pada beberapa anak terhadap merkuri. Akibat yang
ditimbulkan karena keracunan merkuri adalah demielinisasi dendrit otak.
Berdasarkan hasil penelitian Muhartomo H (2004) dengan melakukan
study case control diperoleh hasil bahwa perdarahan antenatal dan asfiksia
lahir terbukti sebagai faktor resiko autis.
Jenis-jenis Terapi
Terdapat beberapa terapi yang digunakan untuk penanganan anak autis
selain terapi biomedis yang bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh
melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi-terapi tersebut diantaranya yaitu:
a. Terapi Wicara
Terapi untuk membantu anak autis melancarkan otot-otot mulut
sehingga membantu anak autis berbicara lebih baik (Suryana 2004).

b. Terapi Perilaku
Metode untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, terapi
ini lebih dikenal dengan nama ABA (Applied Behavior Analysis) atau
metode Lovass (Handojo 2003).
c. Terapi Okupasi
Terapi untuk melatih motorik halus anak autis. Terapi okupasi
untuk membantu menguatkan, memperbaiki, koordinasi dan keterampilan
ototnya (Suryana 2004).
d. Terapi Bermain
Proses terapi psikologik pada anak, dimana alat permainan
menjadi sarana utama untuk mencapai tujuan (Sutadi 2003).
e. Terapi Sensory Integration
Pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori (sentuhan,
gerakan, keseimbangan, penciuman, pengecapan, penglihatan dan
pendengaran) yang sangat berguna untuk menghasilkan respon yang
bermakna (Sutadi 2003).
f. Terapi Auditory Integration
Terapi untuk anak autis agar pendengarannya lebih sempurna
(Suryana 2004).
g. Terapi Pijat
Terapi pijat anak autis efektif memperlancar peredaran darah yang
berfungsi mendistribusikan oksigen, nutrisi, dan mengangkut racun tubuh
sehingga tidak mengendap dan menimbulkan penyakit. Fokus pemijatan
untuk anak autis terletak di beberapa titik di bagian kepala, seperti seperti
puncak kepala, tengkuk dibagian leher, pangkal tulang kepala dan area
sclap atau area puncak ke samping kepala bersambung kearah telinga.
Orangtua yang cukup aktif melakukan pemijatan dalam waktu satu
bulan memperlihatkan perkembangan anak yang cukup signifikan.
Terlebih lagi jika terapi pijat diberikan lebih dini kepada anak karena titik
meridian akupunkturnya masih mudah dibentuk sehingga aliran darah
tetap stabil. Level pemberian terapi pijat, disesuaikan dengan kondisi
anak. Satu seri akupuntur yaitu 10-12 kali dalam 1 minggu, tergantung
tingkat keparahan. Level autis terparah membutuhkan terapi sampai 3
seri (Hoedijono S 2011).

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga
Besar Keluarga
Data besar keluarga berdasarkan BKKBN 1998 dikategorikan menjadi
tiga kelompok yaitu keluarga kecil yang terdiri dari ≤ empat orang, keluarga
sedang dengan jumlah anggota keluarga sebanyak lima sampai enam orang,
dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga sebanyak ≥ tujuh orang.
Besar keluarga didefinisikan sebagai keseluruhan jumlah anggota keluarga yang
terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama.
Kejadian kurang energi protein berat sedikit dijumpai pada keluarga
yang memiliki anggota lebih kecil. Hal ini terjadi karena, jika besar keluarga
bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua
tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan
relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 2003).
Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang

atau

masyarakat

untuk

menyerap

informasi

dan

mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
dalam hal kesehatan dan gizi (Fallah 2004 dalam WKNPG 2004).
Tingkat pendidikan orang tua mempunyai korelasi positif dengan cara
mendidik dan mengasuh anak. Tingkat pendidikan baik langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi pola komunikasi antar anggota keluarga.
Pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola, kerangka berpikir, persepsi,
pemahaman

dan

kepribadian

yang

nantinya

merupakan

bekal

dalam

berkomunikasi (Gunarsa & Gunarsa 1995).
Pendapatan
Keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam
menentukan pemilihan bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik.
Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya
beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan
dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi.
Penurunan pendapatan terkait erat dengan penurunan tingkat ketahahan
pangan dan terjadinya masalah gizi kurang. Keterkaitan ketahanan pangan dan
ketidaktahanan pangan dapat dijelaskan dengan hukum Engel

dimana saat

terjadi

peningkatan

pendapatan,

konsumen

akan

membelanjakan

pendapatannya untuk pangan dengan alokasi semakin kecil. Sebaliknya bila
pendapatan menurun, alokasi yang dibelanjakan untuk pangan semakin
meningkat (Soekirman 2000).
Pengetahuan Gizi dan Akses Ibu terhadap Informasi Gizi dan Kesehatan
Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman. Pengetahuan juga
dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman,
buku, dan surat kabar (Tjitarsa IB 1992). Pengetahuan didefinisikan secara
sederhana sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Pengetahuan gizi
adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara
zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat
menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah dan buruk.
Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan akan membuat seseorang
mengerti sesuatu hal dan mengubah kebiasaannya, sehingga meningkatkan
pengetahuan akan merubah kebiasaan seseorang mengenai sesuatu. Jika
peningkatan itu terjadi pada pengetahuan akan gizi, maka akan terjadi
perubahan kebiasaan terkait dengan gizi sehingga menjadi lebih baik.
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan,
makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan
cara pengolahan makan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang
serta bagaimana cara hidup sehat (Notoatmodjo 2003). Menurut Paterrson dan
Pietinen (2009), tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap
dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh
pada keadaan gizi yang bersangkutan.
Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal.
Pendidikan formal adalah jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah
sesuai dengan kurikulum yang sudah ditetapkan dan terdapat jenjang kronologis
yang ketat untuk tingkatan umur populasi sasarannya. Pendidikan informal
adalah jenis pendidikan yang berlangsung seumur hidup yang mempelajari
seluruh aspek kehidupan (Pranadji 1989). Selain pengetahuan gizi, akses ibu
terhadap informasi dapat menjadi indikator kemampuan ibu untuk merawat anak
secara lebih baik. Berbagai informasi gizi dan kesehatan dapat diperoleh dengan
melihat atau mendengar sendiri, melalui alat-alat komunikasi seperti membaca
surat kabar/majalah, mendengarkan siaran radio, menyaksikan siaran televisi
atau melalui penyuluhan (Engle et al. 1997 dalam Milyawati 2008).

Satu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi
didasarkan pada tiga kenyataan : (1) status gizi yang cukup adalah penting bagi
kesehatan dan kesejahteraan, (2) setiap orang akan cukup gizi jika makanan
yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk tumbuh
optimal, pemeliharaan tubuh dan memenuhi kebutuhan energi, (3) ilmu gizi
memberikan

fakta-fakta

yang

perlu

sehingga

penduduk

dapat

belajar

menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo 2003).
Riyadi (1996), menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi
jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi adalah banyaknya informasi yang
dimiliki oleh seseorang mengenai kebutuhan tubuh akan zat gizi, kemampuan
seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan bahan
pangan, dan cara pemanfaatan pangan yang sesuai dengan keadaannya. Oleh
karena itu, pengetahuan gizi sangat erat kaitannya dengan baik buruknya
kualitas makanan yang dikonsumsi.
Penyuluhan pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan menggunakan
instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test).
Instrumen ini merupakan bentuk tes objektif yang paling sering digunakan.
Multiple choice test dapat digunakan untuk mengukur berbagai aspek terkait di
dalam ranah kognitif. Oleh karena itu, bentuk tes ini sangat baik untuk
mengetahui dampak intervensi penyuluhan gizi yang berupa berubahnya
pengetahuan gizi seseorang. Penggunaan multiple choice test dapat dilakukan
untuk mengukur berbagai aspek yang meliputi pemahaman terhadap suatu
istilah, fakta yang spesifik, metode dan prosedur, penerapan suatu prinsip, dan
sebab akibat (Khomsan 2000).
Kategori pengetahuan gizi dapat dibagi pada tiga kelompok yaitu baik,
sedang, dan kurang. Cara pengkategoriaan dilakukan dengan menetapkan cut
off point dari skor yang telah dijadikan persen. Menurut Khomsan (2000), untuk
keseragaman maka digunakan cut off point sebagai berikut :
Tabel 1 Cut off point pengkategorian pengetahuan gizi
Kategori Pengetahuan Gizi
Skor
Baik
>80%
Sedang
60-80%
Kurang
< 60%

Kebiasaan Makan
Model analisis perilaku konsumsi pangan anak-anak yang dikembangkan
oleh Lund dan Burk (1969), mengatakan bahwa suatu konsumsi pangan terjadi
karena ada motivasi (needs, drives, desires) yang ditentukan oleh beragam
proses kognitif mencakup persepsi, memori, berpikir, memutuskan untuk
bertindak. Kebutuhan hidup manusia (termasuk anak-anak) pada dasarnya
mencakup tiga macam yaitu kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis, dan
kebutuhan sosial. Selain ketiga macam kebutuhan tersebut, ada faktor lain yang
berkaitan langsung dengan kognitif dan tidak langsung dengan motivasi yaitu
pengetahuan dan kepercayaan anak-anak terhadap makanan dan sikap serta
penilaian anak terhadap makanan (Suhardjo 1989).
Lund dan Burk menyatakan bahwa ada dua faktor lingkungan yang
sangat berpengaruh terhadap pembentukan kebiasaan makan keluarga yaitu
lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Empat variabel utama yang perlu
diperhatikan dari lingkungan keluarga mencakup pengetahuan dan kepercayaan
terhadap makanan serta sikap keluarga terhadap makanan. Kedua variabel
tersebut dipengaruhi oleh variabel primer sosial ekonomi seperti status ekonomi
keluarga. Sementara faktor utama yang berkaitan dengan lingkungan sekolah
yang dapat dianggap penting dalam menentukan pola kebiasaan makan anakanak adalah pengalaman dan pendidikan di sekolah serta pengetahuan dan
sikap terhadap makanan dari guru yang mengajarkan (Suhardjo 1989) .
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah
pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah
tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan
dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pola
konsumsi

pangan

merupakan

susunan

jenis

pangan

yang

dikonsumsi

berdasarkan kriteria tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992).
Makanan sangat penting untuk kelangsungan kehidupan, setiap
makanan yang dikonsumsi akan memberikan pengaruh pada status gizi dan
kesehatan. Makanan mengandung berbagai zat gizi yang penting yang
dibutuhkan

tubuh

untuk

kecukupan

energinya,

pertumbuhan,

dan

perkembangan, tingkah laku normal, terhindar dari berbagai macam penyakit,
dan untuk perbaikan jaringan tubuh. Konsumsi harian zat gizi yang penting

dipengaruhi oleh variasi makanan yang dikonsumsi dan jumlahnya (Marotz et al.
2004).
Cara

seseorang

atau

sekelompok orang memilih

pangan

dan

memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh fisiologik, psikologik,
budaya, dan sosial dikenal sebagai kebiasaan makan. Kebiasaan makan
kadang-kadang disebut pola makan, kebiasaan pangan, atau pola pangan
(Suhardjo 1989). Ibu merupakan pelaku utama dalam keluarga pada proses
pengambilan keputusan, terutama yang berhubungan dengan konsumsi pangan.
Latar belakang pendidikan, budaya dan status sosial ekonomi berpengaruh
sangat besar terhadap pola makan keluarga, apalagi jika keluarga tersebut
memiliki anak autis (Mashabi NA. & Tajudin NR. 2009).
Anak autis menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Anak autis
biasanya hanya menyukai makanan yang sangat terbatas jenis dan nilai gizinya.
Anak yang menyukai sayuran dan makanan bergizi lainnyapun mungkin juga
tidak mendapatkan gizi yang cukup untuk kebutuhan otaknya karena
ketidakmampuan anak untuk mencerna, menyerap, dan atau memfungsikan zat
gizi yang masuk ke dalam tubuhnya dengan baik (McCandless 2003). Siklus
menu pada anak autis perlu diberikan agar anak tidak terlalu cepat atau peka
terhadap makanan tertentu.
Diet untuk Penderita Autis
Kunci kesembuhan anak autisme yang terbaik ada dua, yaitu intervensi
terapi perilaku dengan metode ABA (Applied Behaviour Analysis) dan intervensi
biomedis. ABA dipergunakan pertama kali dalam penanganan autisme oleh
Lovaas, sehingga disebut dengan metode Lovaas. Metode ini melatih anak
berkemampuan bahasa, sosial, akademis, dan kemampuan membantu diri
sendiri. Salah satu penyebab autis adalah gangguan metabolisme, maka
pengaturan konsumsi pangan merupakan hal yang penting untuk dilakukan
sebagai salah satu metode intervensi biomedis. Makanan juga berguna untuk
menghindari timbulnya penyimpangan metabolisme selain untuk proses tumbuh
kembang (Wirakusumah 2003 dalam Latifah 2004).
Anak autis mayoritas menderita gangguan kesehatan saluran cerna.
Penelitian menunjukkan bahwa 60-70% dari keseluruhan sistem imun manusia
terletak di saluran usus dan organ-organ pencernaan. Kenyataan ini membuat
saluran cerna sebagai organ sistem imun terbesar dalam tubuh manusia
(McCandless 2003). Pola makan pada anak terutama anak autis harus

mengandung jumlah zat gizi, terutama karbohidr